Anda di halaman 1dari 3

Nama : Ardian Dwi Cahyo

Npm : 20.0102.0070

Kelas : Akuntansi 20B

RISIKO LIKUIDITAS

Masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)

A. Latar Belakang

Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) adalah skema bantuan (pinjaman) yang diberikan
Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas pada saat terjadinya
krisis monster 1998 di Indonesia. Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan
IMF dalam mengatasi masalah krisis. Pada bulan Desember 1998, BI telah menyalurkan BLBI
sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank. BLBI dan Hukum vone Bunekom

Penyimpangan atau korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) telah
menunjukkan kepada kita ongkos korupsi masa lalu yang harus ditanggung seluruh rakyat
Indonesia, Rakyat jadi korban karena efek berkepanjangannya dalam bentuk pengembalian
utang. Sementara para penjahat diampuni dan tetap dapat 'bertengger' dengan leluasa di atas
pundi-pundi uang yang dicuri. Harus diakui penyimpangan dana BLBI merupakan kasus korupsi
terbesar yang pernah terjadi di negeri ini. Fakta ini bisa dilihat dari hasil audit Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK). Dari Rp 144,5 triliun dana BIBI yang dikucurkan kepada 48 bank umum
nasional, Rp 138,4 triliun dinyatakan berpotensi merugikan negara..

Dana-dana tersebut kurang jelas penggunaannya. Juga terdapat penyimpangan dalam


penyaluran maupun penggunaan dana BLBI yang dilakukan pemegang saham, baik secara
langsung atau tidak langsung melalui grup bank tersebut. Sedangkan hasil audit Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terhadap 42 bank penerima BLBI
menemukan penyimpangan sebesar Rp 54.5 triliun. Sebanyak Rp 53.4 triliun merupakan
penyimpangan berindikasi korupsi dan tindak pidana perbankan. Upaya menyeret para pelaku
korupsi dana BLBI sampai saat ini masih terbentur kendala penegakan hukum. Seolah hukum
bungkam dan tidak bertaring menghadapi para 'konglomerat hitam'. Untuk penanganan kasus
ini, Kejaksaan Agung tidak menunjukkan kemajuan signifikan dari tahun ke tahun.

B. Permasalahan

 Kasus BLBI

BLBI telah berjalan kurang lebih selama 10 (sepuluh) tahun sejak krisis moneter tahun
1997/1998. Langkah penegakan hukum telah dilaksanakan yang mengakibatkan pengambil
kebijakan pengucuran BLBI telah dijatuhi hukuman sedangkan 2 (dua) direksi lainnya di SP3-kan
oleh Kejagung, dan sejumlah kecil penerima BLBI dihukum. Pemerintah telah menetapkan
kebijakan hukum menggunakan penyelesaian di luar pengadilan dengan payung hukum UU
Nomor 25 tahun 2000 tentang Propenas dan Payung Politik TAP MPR RI kemudian ditindak
lanjuti dengan Inpres Nomor 8 tahun 2002 yang mengesahkan perjanjian MSAA, MRNIA, APU,
dan SKL Konsekuensi dari Inpres tersebut adalah dihentikannya penyidikan kasus BLBI (SP3)
oleh kejaksaan agung namun tidak merujuk kepada ketentuan KUHAP atau UU Kejaksaan. Surat
Keterangan Lunas (SKL) terhadap obligor yang diharapkan kooperatif (melunasi seluruh
kewajibannya) tidak memberikan hasil maksimal untuk kepentingan Negara. Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 6 Mei 2008 yang telah membatalkan SP3 Kejaksaan
Agung yang telah dikeluarkan atas nama Kasus SYN (BDNI) tertanggal 14 Juni tahun 2004
merupakan bukti bahwa payung hukum di atas tidak memenuhi asas kepastian hukum dan
belum berpihak kepada kepentingan masyarakat luas. Sedangkan pengembalian atas kerugian
Negara tidak mencapai 10% dari total dana BLBI yang telah disalurkan.

 Analisis Hukum Kasus BLBI

BLBI pada hakikatnya adalah sebuah fasilitas yang secara khusus diberikan oleh Bank
Indonesia kepada pihak perbankan nasional untuk menanggulangi masalah kesulitan likuiditas
yang dihadapinya. Dari pengertian ini dapat dipahami, bahwa kebijakan itu ditempuh adalah
untuk tujuan menyelamatkan dunia perbankan nasional dari kehancuran yang dipastikan akan
berimplikasi terhadap perekonomian nasional. Akan tetapi persoalannya kemudian adalah,
tujuan yang baik itu ternyata telah disalahgunakan oleh sebagian penerima fasilitas untuk
memperkaya diri. Artinya, bantuan likuiditas itu tidak digunakan sesuai dengan maksud
dikeluarkannya kebijakan tersebut. Akibatnya terjadi kerugian negara dalam jumlah yang sangat
besar.

Bantuan likuiditas dalam berbagai bentuk dan jenis yang diberikan kepada bank penerima,
pada awalnya adalah sesuatu yang berada dalam lapangan hukum keperdataan, karena para
pihak dilandasi oleh adanya hubungan hukum dalam bentuk perjanjian atau kontrak sebagai
kreditur dan debitur. Berdasarkan verifikasi terhadap data hasil olahan pengawas bank
penerima BLBI, ditemui oleh BPK dan BPKP adanya indikasi penyalahgunaan BLBI oleh bank
penerima. Menurut tujuannya, dana BLBI itu hanyalah untuk dana pihak ketiga (masyarakat),
namun pada kenyataannya juga digunakan untuk membayar kembali transaksi bank yang tidak
layak dibiayai oleh dana BLBI.

Oleh karena adanya penyalahgunaan atau penyimpangan penggunaan dana BLBI oleh bank
penerima, yang kemudian ternyata merugikan keuangan negara, maka persoalannya tentu tidak
lagi hanya sekedar kasus yang mesti diselesaikan dengan menggunakan ketentuan hukum
keperdataan. Artinya masalah BLBI telah berkembang menjadi perkara pidana. Penyalahgunaan
dana BLBI yang menimbulkan kerugian keuangan negara itu, telah cukup memenuhi rumusan
hukum pidana berdasarkan UU Nomor 3 tahun 1971 jo UU Nomor 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001,
untuk membawa kasus-kasus BLBI itu ke dalam proses peradilan untuk dimintakan
pertanggungjawaban pidana.

C. Kesimpulan

BLBI terjadi karena ketidak- percayaan masyarakat kepada dunia perbankan dan prospek
ekonomi Indonesia sehingga terjadi rush pena- rikan dana simpanan nasabah secara besar-
besaran dan berkelanjutan. Akibatnya dana yang ada di bank-bank menjadi "kering" sehingga
memaksa mereka meminta bantuan likuiditas kepada Bank Indonesia dalam kapasi- tasnya
sebagai lender of last resort.

Namun ternyata bantuan likuiditas yang diberikan Bank Indonesia. mengalami


penyimpangan penyaluran yang luar biasa. Penyimpangan ini melibatkan multi pihak dan multi
dimensi. Pemerintah telah melakukan beberapa upaya untuk menyelesaikan masalah BLBI.
Namun langkah pemerintah terkesan lamban, kurang serius dan tidak tegas sehingga hasilnya
masih sangat jauh dari yang diharapkan. Oleh karena itu di tengah kondisi pro dan kontra
sebaiknya semua pihak duduk bersama dengan penuh kesadaran dan adalah uang rakyat.
Dengan demikian penyelesaian BLBI akan mendekati harapan rakyat Indonesia, dan tentunya
masalah BLBI ini menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi dunia perbankan Indonesia
menuju masa depan.

Anda mungkin juga menyukai