Anda di halaman 1dari 21

Kasus BLBI

Penyimpangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dapat dianggap sebagai sebuah
lembaran hitam dalam kehidupan perbankan nasional. Sementara penanganan terhadap kasuskasus penyimpangan BLBI tersebut dapat pula dicatat sebagai sebuah lembaran hitam dalam
sejarah kehidupan hukum Indonesia. Catatan tersebut bukanlah sesuatu yang berlebihan bila
dikaitkan dengan adanya berbagai implikasi yuridis yang kemudian muncul sebagai akibat
berbelit-belitnya proses penanganan kasus penyalahgunaan dana BLBI. Ketidaksamaan persepsi
di kalangan hukum sendiri tentang penanganan kasus-kasus BLBI adalah gambaran tentang
betapa kehidupan hukum kita semakin menjauh dari kepastian hukum.
Ada dua aspek hukum yang cenderung mendapatkan perhatian dan mengemuka dalam
berbagai diskusi terkait dengan masalah BLBI. Pertama, apakah penyimpangan BLBI itu
merupakan sesuatu yang berada dalam ranah hukum keperdataan, atau apakah kasusnya
kemudian dapat berkembang menjadi sesuatu yang berada dalam lingkup hukum pidana. Kedua,
masalah penyelesaian terhadap kasus-kasus penyimpangan BLBI yang telah menimbulkan
berbagai kontrovesri. Tulisan ini mencoba membedah keduanya, namun tidaklah dimaksudkan
untuk membahasnya secara tuntas, melainkan hanya beberapa bagian yang dianggap relevan
sekedar untuk bahan diskusi para forum ini.
B. Analisis Hukum Kasus BLBI
BLBI pada hakikatnya adalah sebuah fasilitas yang secara khusus diberikan oleh Bank
Indonesia kepada pihak perbankan nasional untuk menanggulangi masalah kesulitan likuiditas
yang dihadapinya. Dari pengertian ini dapat dipahami, bahwa kebijakan itu ditempuh adalah
untuk tujuan menyelamatkan dunia perbankan nasional dari kehancuran yang dipastikan akan
berimplikasi terhadap perekonomian nasional. Akan tetapi persoalannya kemudian adalah, tujuan
yang baik itu ternyata telah disalahgunakan oleh sebagian penerima fasilitas untuk memperkaya
diri. Artinya, bantuan likuiditas itu tidak digunakan sesuai dengan maksud dikeluarkannya
kebijakan tersebut. Akibatnya terjadi kerugian negara dalam jumlah yang sangat besar.
Bantuan likuiditas dalam berbagai bentuk dan jenis yang diberikan kepada bank penerima,
pada awalnya adalah sesuatu yang berada dalam lapangan hukum keperdataan, karena para
pihak dilandasi oleh adanya hubungan hukum dalam bentuk perjanjian atau kontrak sebagai
kreditur dan debitur. Berdasarkan verifikasi terhadap data hasil olahan pengawas bank penerima
BLBI, ditemui oleh BPK dan BPKP adanya indikasi penyalahgunaan BLBI oleh bank penerima.
Menurut tujuannya, dana BLBI itu hanyalah untuk dana pihak ketiga (masyarakat), namun pada
kenyataannya juga digunakan untuk me-reimburse transaksi bank yang tidak layak dibiayai
oleh dana BLBI.
Oleh karena adanya penyalahgunaan atau penyimpangan penggunaan dana BLBI oleh bank
penerima, yang kemudian ternyata merugikan keuangan negara, maka persoalannya tentu tidak
lagi hanya sekedar kasus yang mesti diselesaikan dengan menggunakan ketentuan hukum
keperdataan. Artinya masalah BLBI telah berkembang menjadi perkara pidana. Penyalahgunaan
dana BLBI yang menimbulkan kerugian keuangan negara itu, telah cukup memenuhi rumusan
hukum pidana berdasarkan UU Nomor 3 tahun 1971 jo UU Nomor 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001,
untuk membawa kasus-kasus BLBI itu ke dalam proses peradilan untuk dimintakan
pertanggungjawaban pidana.
Meskipun demikian, kita tentu tidak boleh men-generalisasi semua kasus BLBI sebagai
perbuatan melawan hukum dalam konteks hukum pidana. Tentu ada kasus-kasus yang memang
terjadi semata-mata karena sesuatu yang mesti diselesaikan melalui jalur hukum keperdataan.
Ada beberapa bentuk perilaku menyimpang dalam kaitannya dengan BLBI yang dapat
diklasifikasikan sebagai tindak pidana, di antaranya:
Pemberian BLBI dilakukan kepada pihak yang tidak pantas menerimanya;
Konspirasi antara oknum Bank Indonesia dengan bank penerima BLBI;
Pemberian BLBI melebihi jumlah yang sepantasnya;
Penyimpangan dalam penyaluran dana BLBI;
Di samping itu, studi hukum yang dilakukan Satgas BLBI telah mengidentifikasi bentuk-bentuk
penyimpangan penggunaan BLBI, antara lain: Penggunaan dana BLBI oleh penerima secara
1

menyimpang, seperti digunakan untuk keperluan pembelian devisa dan memindahkan asset ke
luar negeri, membawanya ke pasar uang atau digunakan untuk operasionalisasi bank, serta
untuk membayar pinjaman kepada kelompok sendiri (group perusahaan penerima BLBI). Studi
hukum;
Membayar atau melunasi kewajiban kepada pihak terafiliasi;
Membayar atau melunasi dana pihak ketiga yang melanggar ketentuan;
Membiayai kontrak derivatif baru atau kerugiaan karena kontrak derivative lama jatuh tempo
Membiayai penempatan baru di pasar uang antar bank (PUAB), atau pelunasan kewajiban yang
timbul dari transaksi PUAB;
Membiayai ekspansi kredit atau merelasasikan kelonggaran tarik dari komitmen kredit yang
sudah ada;
Bentuk-bentuk penyimpangan lainnya seperti:
Pembayaran kepada pihak ketiga yang masih mempunyai kewajiban kepada bank;
Penarikan dana tunai dari giro bank di BI yang penggunaannya tidak jelas;
Pelunasan kewajiban antar bank, dan sebagainya.
Penyimpangan-penyimpangan tersebut dilakukan dengan berbagai cara dan modus operandi
yang pada prinsipnya tidak sesuai dengan penggunaan dana BLBI yang seharusnya dilakukan.
Bertolak dari adanya penyimpangan dalam berbagai bentuk dan modus operandi yang
merugikan keuangan negara, maka penyelesaian terhadap kasus-kasus BLBI mesti ditanggapi
dengan menggunakan ketentuan-ketentuan hukum pidana.
Dalam soal penanganan terhadap kasus-kasus penyalahgunaan dana BLBI, kalangan hukum
cenderung pula memperdebatkan aturan-aturan hukum pidana yang mesti digunakan.
Masalahnya terletak pada penerapan ketentuan pidana yang ada dalam UU Nomor 10 tahun
1998 tentang Perubahan UU Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan atau ketentuan pidana
dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Artinya, sejauhmana dan dalam hal-hal apa
sajakah ketentuan-ketentuan hukum pidana tentang korupsi dapat diimplementasikan terhadap
pelanggaran atau penyalahgunaan dana BLBI.
Pembuat UU Perbankan telah merumuskan berbagai kategori perbuatan yang dapat
dikategorikan sebagai tindak pidana perbankan. Perbuatan-perbuatan tersebut meliputi:
Tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan perizinan;
Tindak pidana perbankan di bidang rahasia bank;
Tindak pidana perbankan di bidang pengawasan;
Tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan kegiatan usaha bank (kolusi managemen);
Tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan pihak terafiliasi.
Dilihat dari rumusan delik yang ada dalam UU Perbankan, tidak ada satu rumusanpun yang
dapat digunakan untuk menjangkau pelaku penyalahgunaan dana BLBI. Oleh karena itu kasuskasus BLBI yang mengandung indikasi kriminal mesti ditanggapi dengan menggunakan
ketentuan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penanganan terhadap kasus-kasus
penyimpangan dana BLBI yang dilakukan oleh pemerintah, kepada bangsa ini telah
dipertontonkan adanya kontradiksi antara keinginan untuk menegakkan supremasi hukum pada
satu sisi dengan realitas tentang betapa hukum (khususnya hukum pidana) telah dikorbankan
untuk memenuhi kebijakan pemulihan ekonomi pada sisi yang lain. Dengan alasan untuk
menyelamatkan keuangan negara dari para pelaku ekonomi yang nakal, maka perbuatanperbuatan yang dalam perspektif hukum pidana telah memenuhi unsur delik, ternyata hanya
diselesaikan dengan cara-cara yang justru semakin menjauh dari cita-cita penegakan supremasi
hukum. Kebijakan pemberian release and discharge bagi para debitur nakal yang melakukan
penyimpangan dana BLBI secara besar-besaran sebagaimana dituangkan dalam Inpres Nomor 8
tahun 2002 telah memperlemah daya laku hukum pidana untuk menyeret para pelaku ke dalam
proses peradilan pidana. Oleh karena itu, kebijakan yang tertuang dalam Master Settlement and
Acquisition Agreement (MSAA) tersebut dapat dinilai sebagai sesuatu yang kontradiktif dalam
penegakan supremasi hukum.
Di samping itu, kebijakan tersebut juga telah memperagakan adanya diskriminasi dalam
penegakan hukum pidana di bidang perbankan. Betapa tidak, dengan kebijakan release and
discharge, pelanggaran-pelanggaran hukum pidana dalam kaitannya dengan pemberian BLBI
2

dapat di kesampingkan manakala penerima BLBI bersikap koperatif dalam pengembalian


utangnya. Artinya, para pelaku penyimpangan dana BLBI yang secara faktual telah memenuhi
rumusan hukum pidana dibebaskan dari kemungkinan adanya tuntutan pidana atas pelanggaranpelanggaran hukum pidana yang telah dilakukannya apabila yang bersangkutan melunasi
utangnya. Hal tersebut tertuang dalam salah satu butir Inpres Nomor 8 tahun 2002 yang
menginstruksikan agar obligor yang telah membayar utangnya secara tunai sebesar minimum
30% dan bersedia membayar sisanya dengan sertifikat bukti kepada Badan Penyehatan
Perbankan Nasional (BPPN), diberikan surat keterangan lunas (SKL). Dengan SKL tersebut mereka
yang telah diperiksa dalam proses penyidikan akan diberikan surat penghentian penyidikan
perkara (SP3), dan mereka yang tengah diproses di pengadilan dapat dibebaskan dengan
menjadikan SKL sebagai novum atau bukti baru.
Pemberian pembebasan dari tuntutan pidana seperti itu adalah tidak logis dan tidak dikenal
dalam ajaran hukum pidana. Hukum pidana hanya mengajarkan, bahwa pengembalian kerugian
keuangan negara ( dalam hal ini adalah kerugian sebagai akibat penyimpangan dana BLBI ) tidak
menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan. Hal ini bahkan sudah mendapat tempat
dalam kebijakan perundang-undangan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 4 UU Nomor 31
tahun 1999 yang berbunyi: pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian
negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 dan Pasal 3. Jadi sekalipun utang yang timbul dari BLBI dilunasi oleh penerimanya,
namun tidak dapat mengakibatkan dihapuskannya tuntutan pidana apabila dalam penyaluran
dan penerimaan BLBI itu terdapat penyimpangan-penyimpangan yang mengandung indikasi
kriminal. Oleh karena itu, kalau kita ingin konsisten dengan penegakan supremasi hukum, maka
penyimpangan-penyimpangan yang mengandung indikasi kriminal dalam praktek perbankan
seperti itu harus diteruskan ke dalam proses peradilan pidana tanpa mempertimbangkan apakah
pelakunya koperatif atau tidak dalam melunasi utang-utangnya.
Di samping itu, pemberian release and discharge, adalah sebuah inkonsistensi yang
menampakkan secara nyata adanya ketidakadilan, sehingga dapat menyentuh rasa keadilan
masyarakat. Kebijakan tersebut telah melanggar prinsip persamaan di hadapan hukum (equality
before the law) yang diakui dan diterima sebagai asas fundamental oleh bangsa-bangsa beradab,
sehinga perlu dituangkan dalam konstitusi sebagai constitutional right. Kalaupun ada kasuskasus penyalahgunaan dana BLBI yang telah diproses dengan hukum pidana, itu tidaklah
mendapatkan respons hukum yang memadai. Ada kasus-kasus yang telah berada pada tahap
penyidikan, tapi kemudian dihentikan penyidikannya karena adanya berbagai intervensi. Ada
pula kasus-kasus yang telah diajukan ke pengadilan, tapi kemudian pelakunya dilepaskan atau
dibebaskan. Ada pula yang pelakunya dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan
kemudian dipidana, tapi sebelum dieksekusi terpidana telah kabur atau melarikan diri terlebih
dahulu ke luar negeri. Bahkan ada pula yang diadili secara in-absentia, meskipun pelaku
dipidana, namun hukum tidak dapat berbuat banyak karena pelakunya tidak bisa diekstradisi.
Fakta-fakta seperti itu dapat menggambarkan kondisi tentang betapa bobroknya penegakan
hukum di republik ini.
Adanya tarik ulur secara politis antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah dalam
penyelesaian masalah BLBI patut pula ditanggapi atau bahkan dicurigai adanya sesuatu yang
tidak beres dalam penyelesaian masalah BLBI. Dengan segala hak konstitusional yang dimiliki
DPR, nampaknya mereka tidak berdaya menghadapi pemerintah dengan segala argumentasinya.
Ketidakberesan lain dalam penanganan kasus BLBI semakin terkuak dengan tertangkapnya jaksa
Urip Tri Gunawan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu yang lalu. Urip
kemudian ditetapkan sebagai tersangka menerima suap terkait dengan penanganan penghentian
penyidikan kasus BLBI atas sama Syamsul Nursalim.
Pasca tertangkapnya Urip ada keinginan untuk mendesak agar KPK mengambil alih
penanganan kasus penyalahgunaan dana BLBI, baik yang ditangani oleh kejaksaan maupun yang
ditangani oleh kepolisian. Persoalan hukum yang timbul kemudian adalah perdebatan tentang
apakah KPK mempunyai kewenangan untuk menangani kasus-kasus yang terjadi sebelum komisi
itu terbentuk atau tidak. Akar permasalah yang diperdebatkan terkait dengan asas non retroaktif
(tidak berlaku surut) yang merupakan konsekuensi yuridis dari asas legalitas (Pasal 1 ayat (1)
3

KUHP) sebagai suatu asas fundamental dalam hukum pidana. Dalam konteks asas itu, hukum
pidana tidak dapat dikenakan kepada perbuatan-perbuatan yang terjadi sebelum undang-undang
diberlakukan. Artinya, ketentuan-ketentuan pidana tidak dapat diterapkan terhadap perbuatanperbuatan yang terjadi sebelum undang-undang pidana berlaku.
Asas non retroaktif dimaksudkan untuk melindungi seseorang dari perlakuan sewenangwenang aparat penegak hukum yang menggunakan undang-undang yang berlaku setelah
perbuatan dilakukan. Dalam konteks asas tersebut hanya perbuatan-perbuatan yang telah
dikriminalisasi dalam suatu undang-undang sebagai tindak pidana orang dapat dituntut dan
dijatuhi pidana. Mesti pula dipahami, bahwa yang menjadi sasaran dari asas non retroaktif ini
adalah perbuatan atau perilaku yang dapat dipidana, sehingga ia berada dalam ruang lingkup
hukum pidana materil.
Sedangkan kewenangan penyidikan berada dalam ranah hukum pidana formil, sehingga
dengan demikian kewenangan KPK untuk mengambil alih penanganan kasus-kasus
penyalahgunaan dana BLBI tidak perlu dikaitkan dengan asas non retroaktif. Dasar hukum untuk
melakukan pengambil alihan sudah dirumuskan pembuat undang-undang secara eksplisit dalam
Pasal 68 UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di
dalam pasal itu ditegaskan, bahwa semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya Komisi
Pemberantasan Korupsi, dapat diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9. Hanya saja persoalan selanjutnya adalah
apakah KPK memiliki keberanian untuk mendobrak pemahaman yang sempit tentang asas non
retroaktif. Namun keberanian itu perlu didukung oleh kesamaan persepsi antara sesama aparat
penegak hukum dalam konteks sistem peradilan pidana.
C. Penutup
Berangkat dari uraian tersebut di atas dapat ditarik beberapa pemikiran konklusif sebagai
berikut:
Penyalahgunaan dana BLBI yang merugikan keuangan negara adalah perbuatan melawan hukum
(wederrechtelijk), sehingga memenuhi rumusan perundang-undangan pidana sebagai tindak
pidana korupsi;
Pemberian release and discharge sebagaimana tertuang dalam Inpres Nomor 8 tahun 2002
dapat dianggap sebuah kebijakan yang telah menjungkir-balikkan asas-asas hukum yang
menjadi sendi dari sebuah negara hukum; dan dapat mengakibatkan disfungsionalisasi hukum
pidana;
Kewenangan KPK untuk mengambil alih penanganan kasus-kasus penyalahgunaan dana BLBI
tidak perlu dikaitkan dengan asas non retroaktif, karena sasaran dari asas non retroaktif adalah
perbuatan sebagai sesuatu yang berada dalam ruang lingkup hukum pidana materil.
http://www.umarazmar.com/2013/10/kasus-blbi-analisis-hukum.html?m=1
3. Penghentian Kasus BLBI
Kasus ini tidak dapat dihentikan hanya dengan membayar/mengembalikan dana BLBI oleh para
obligor. Hal ini dikarenakan, pengembalian uang negara itu tidak akan menghapuskan
dipidananya pelaku tindak pidana korupsi.
Sesuai dengan pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 yang
menyatakan bahwa: Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak
menghapuskan dipidanya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal Pasal 2 dan
Pasal 3. Lebih lanjut di dalam penjelasan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tersebut, pasal
4 menyebut bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara hanya
merupakan salah satu faktor yang meringankan. Oleh karena itu, kasus BLBI tidak bisa selesai
hanya dengan mengembalikan dana BLBI kepada pemerintah melalu Bank Indonesia oleh bankirbankir bank yang bermasalah.
4. Peraturan Perundang-undangan Untuk Menjerat Pelaku Kasus BLBI dan Proses Penyelesaiannya
Ketentuan peraturan perundang-undangan yang dapat menjerat para pelaku di balik kasus BLBI
adalah ketentuan di dalam Undang-undang No.3 Tahun 1971 (pasal 1 ayat (1) angkat {a} dan
{b}) Juncto Undang-undang No.31 Tahun 1999 (pasal 2 ayat (1), pasal 3, dan pasal 4).
4

Selain dijerat oleh ketiga Undang-undang korupsi di atas, juga bisa oleh Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) mengenai penyertaan, percobaan, maupun penyitaan (pasal 39 KUHP).
Untuk proses penyelesaiannya, bisa menggunakan Undang-undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955
Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi maupun Undang-undang
No.3 Tahun 1971 Juncto Undang-undang No.31 Tahun 1999.
5. Pendapat Saya
Setelah membaca kronologinya dan menganalisis kasus BLBI, semakin jelaslah sebenarnya
bagaimana murat maritnya sistem birokrasi negeri ini. Saya sempat berpikir heran, mengapa
Mendiang Presiden Soeharto dengan enaknya menerapkan langkah-langkah yang
mencengangkan untuk mengatasi krisis moneter pada tahun 1997 Mei 1998. Diantaranya yaitu
tadi, melikuidasi 16 bank, membantu bank sehat yang mengalami kesulitan likuiditas alias dana
BLBI, sedangkan bank yang sakit akan dimerger atau dilikuidasi.
Dulu, zaman tahun 1997 1998, pers masih belum sebebas sekarang. Jadi saya dan jutaan
masyarakat Indonesia lainnya tentu sangat awam atau tidak familiar dengan kebijakan-kebijakan
ekonomi. Hanyalah Pemerintah, anggota DPR dan pakar-pakar ekonomilah yang sangat mengerti
masalah ekonomi. Coba lihat pers sekarang, sangat bebas dan pro rakyat. Tayangan-tayangan
berita atau tulisan di surat kabar sangat membantu kita untuk mengetahui dengan jelas kondisi
kenegaraan kita ini, baik itu di bidang ekonomi, hukum dan perundang-undangan serta lain
sebagainya. Kadang ada juga yang menginvestigasi beritanya itu sampai ke akar-akarnya.
Walaupun saya yakin birokrasi negeri ini tetap bobrok, tapi setidaknya pers dan media lainnya
sudah memberitakan yang terbaik untuk perubahan negeri ini.
Kembali ke topik, jadi BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) lahir karena untuk mengatasi
masalah ini, yaitu menutupi talangan hutang luar negeri yang dilakukan para bankir tersebut.
Bank yang banyak menjamur sebagai akibat kebijakan deregulasi perbankan di masa orde baru
akhirnya runtuh dan jatuh bangkrut, serta tetap tidak kuat menahan nilai mata uang rupiah yang
anjlok, juga sektor perekonomian kita (industrialisasi yang dibantu oleh kredit bank) yang
berantakan akibat kredit macet. Kredit macet itu saling berkaitan seperti tali temali, antara
industri terhadap bank, bank terhadap pemerintah, pemerintah terhadap bantuan asing,
sehingga menambah beban hutang luar negeri kita dengan total menjadi 600 triliun. Akhirnya
banyak bank yang diambil alih pemerintah dan kemudian dijual kembali di bursa saham setelah
sehat atau merger (digabungkan). Ada juga yang dinyatakan bangkrut dan hilang tak tentu
rimbanya (begitu pula pemiliknya).
https://0sprey.wordpress.com/2011/09/24/analisis-kasus-blbi/
Nasabah Mandiri
Kasus pembobolan dana nasabah PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) sempat menghebohkan
perbankan Indonesia. Seperti diketahui, kasus tersebut mulai ramai diperbincangkan sejak Sabru
10 Mei 2014. Kabar yang beredar, ada nasabah yang mengaku kehilangan dana, ada juga
nasabah yang mengaku rekeningnya di Bank Mandiri terblokir. Isu itu terus berkembang luas
hingga puncaknya pada Senin 12 Mei kartu ATM para nasabah terblokir. Menanggapi kasus
tersebut, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Halim Alamsyah mengatakan bahwa BI akan
memeriksa manajemen bank. "Kita akan periksa kualitas semua bank dari
manajemen,"ungkapnya di Bank Indonesia, Jumat (16/5/2014). Halim yang juga Anggota Dewan
Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai sebenarnya pengamanan dari setiap ATM sudah
baik, karena dilengkapi oleh CCTV dan satpam. "Kalau keamanan sebenarnya cukup baik, tapi
kan sebenarnya pembobolan itu terjadi dari hal-hal sederhana," paparnya. Sementara itu, ketika
ditanyakan terkait pihak Bank Mandiri, Menurutnya saat ini manajeman Bank Mandiri responsif.
"Sejauh ini sikap bank mandiri responsif," jelas.
(rzk)
Bank Century
2.
Proses penyelesaian kasus century dari sisi yudikatif
KPK merupakan salah satu pilar yang terpenting dalam kemajuan ekonomi dan demokrasi di
Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Oleh karena itu peran KPK harus didukung penuh oleh
pemerintah, parlemen, dan berbagai lembaga yudikatif serta lembaga-lembaga negara lainnya.
Komisi Pemberantasan Korupsi harus terus menerus didukung dari tingkat daerah sampai tingkat
pusat. Walaupun demikian dapat kita lihat bahwa peran Kepolisian Negara Republik Indonesia
5

juga sangatlah penting sekali. Polri telah menjadi suatu landasan yang vital dan kuat dalam
membangun negara yang aman, makmur dan berdaulat. Kejaksaan Agung (Kejagung) Republik
Indonesia juga adalah sebuah institusi negara yang jelas perannya sangat vital sekali dalam
mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang aman, tertib, adil dan sejahtera.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengambil langkah baru dalam upaya penanganan kasus
Bank Century. Dalam waktu dekat, KPK akan segera berkoordinasi dengan pihak Polri. Tim
penyelidik KPK akan menggelar pertemuan dengan tim penyidik Polri. Dalam waktu dekat
penyelidik KPK akan mengundang penyidik Polri untuk membicarakan kemajuan proses
penanganan kasus Century, rencana tersebut tercetus setelah dua pimpinan KPK, Wakil Ketua
KPK Bidang Pencegahan Haryono Umar dan Mochammad Jasin menggelar pertemuan dengan
petinggi Polri, terkait persoalan penarikan empat penyidik Polri. Upaya koordinasi itu merupakan
tindak lanjut dari pertemuan pimpinan KPK dengan petinggi Polri,
Dalam pertemuan tersebut, penyelidik KPK dan penyidik Polri akan saling bertukar data dan
informasi, untuk melengkapi penanganan perkara masing-masing pihak. Di samping itu, KPK juga
akan meminta gelar perkara penanganan kasus Bank Century yang sudah dilakukan pihak Polri.
Ini masih dalam lingkup supervisi dan koordinasi KPK dengan penegak hukum lain.
KPK dan Polri memiliki tugas masing-masing. Berdasarkan hasil penyelidikan KPK, ditemukan
dugaan tindak pidana korupsi dan tindak pidana perbankan. Untuk itu, lembaga antikorupsi itu
menangani dugaan tindak pidana korupsi, sedangkan pihak Polri akan mengambil alih dugaan
tindak pidana perbankan dan tindak pidana pencucian uang (money laundering). Selain upaya
koordinasi dengan pihak Polri, KPK juga membahas pertemuan antara lembaga superbodi itu
dengan Polri dan juga Kejaksaan. Tujuannya, mengkaji ulang kesepakatan antara tiga lembaga
tersebut, terkait masalah penanganan kasus dan kebutuhan SDM di KPK. Karena itu, dalam waktu
dekat KPK akan menandatangani naskah saling kesepahaman antara ketiga pihak tersebut.
Segala sesuatu mengenai penegakan hukum kedepan menjadi poin-poin dalam MoU, MoU
tersebeut dapat bermuara pada revisi kebutuhan SDM di KPK.
KPK akan serius dalam menangani kasus Bank Century. Penanganan kasus ini masih dalam
penyelidikan. Untuk meningkatkan penanganan ke tahap penyidikan KPK sangat hati-hati dan
terikat dengan UU Tipikor yang mensyaratkan memiliki dua alat bukti. Sesuai UU Tipikor 30/2002
KPK harus memiliki 2 alat bukti yang cukup untuk naik ke penyidikan. KPK pun tidak mau
gegabah dan berusaha hati-hati dalam menangani kasus ini. Meski sudah berulang kali
melangsungkan gelar perkara, KPK masih belum mampu menemukan dua alat bukti yang cukup
untuk menaikkan status kasus menjadi penyidikan. Hingga saat ini, KPK masih mendalami
sejumlah data dan informasi yang didapat terkait kasus Bank Century, termasuk data dan
keterangan yang diperoleh dari hasil pemeriksaan Wapres Boediono dan Menkeu Sri Mulyani
3.
Penyelesaian kasus bank century dari sudut pandang penulis
Penyelesaian kasus bank century tidak semudah membalikan telapak tangan namun
penaganannya harus sesuai dengan prosedur hokum yang berlaku, penyelesaian kasus bank
century menurut penulis yaitu Kita jangan lupa, bahwa ada dua aspek persoalan terkait Bank
Century. Pertama, dugaan kejahatan perbankan (oleh pemilik lama Bank Century), dan itu sudah
dan sedang ditangani, jadi jangan dipersoalkan lagi. Kedua, ini sebenarnya yang jadi ramai,
adanya dugaan aliran dana talangan (bail out) dari Bank Century ke parpol dan/atau orang
parpol. KPK harus mulai dari sini, yaitu melihat dan membuktikan bahwa memang ada yang
tidak benar dalam aliran dana talangan Bank Century seperti yang dituduhkan dulu. Kalau tidak
ada, selesai, dalam arti hanya ada aspek kejahatan perbankan, dan itu bukan kewenangan KPK.
Kalau benar bahwa ada aliran dana yang tidak benar, baru KPK menyelidiki, apakah ada indikasi
hal itu terjadi, artinya disengaja oleh para pengambil keputusan bail out Bank Century. Kalau
indikasi itu ada, seret para pengambil keputusan itu dan pihak terkait lainnya ke pengadilan
tipikor. Kalau tidak ada indikasi, maka hentikan proses hukumnya.
Isu seputar skandal Bank Century yang disinyalir bahwa penggelontoran dana trilunan rupiah
dari pemerintah untuk menyelamatkan bank itu demi deposan besar. bahwa salah satu tindakan
yang harus segera dilakukan pemerintah untuk tidak membiarkan oknum tertentu membawa lari
uang nasabah bank kita ke luar negeri adalah dengan meninjau kembali rezim devisa bebas yang
berlalku di negari ini.dengan berlakunya rezim devisa bebas ini maka kecendrungan besar orang
6

asing maupun orang Indonesia sendiri untuk melarikan uang-uang nasabah bank ke luar negeri.
Jadi pemerintah harus segera mencabut rezim devisa bebas
4.
Implikasi Terhadap Pemerintahan Ke Depan
Proses politik peristiwa Bank Century adalah pembelajaran yang sangat berharga bagi bangsa
ini ke depan dalam tatanan pemerintahan terutama dalam kaitan pelaksanaan fungsi legislatif,
eksekutif dan yudikatif, kita dapat melihat sejauh mana pembatasan fungsi masing-masing dapat
dimengerti dan dilaksanakan secara konsekuen. Tampak dalam peristiwa ini terjadi duplikasi atau
tumpang tindihnya penerapan fungsi hukum, antara DPR, kepolisian, kejaksaan, KPK bahkan
pengadilan, kita dapat melihat sementara KPK sedang memanggil pihak-pihak terkait dalam
peristiwa Bank Century, di tempat lain (gedung Dewan) proses politik berlangsung, untuk
peristiwa yang sama, dalam hal ini fungsi yang manakah yang sedang dilakukan oleh wakil
rakyat yang terhormat, kepolisian, Kejaksaan,Atau KPK , atau mungkinkah fungsi pengadilan
dengan telah disebutkannya orang-orang yang bersalah secara politik walaupun belum melewati
proses hukum, belum lagi terbentuknya opini bersalah di tengah masyarakat sebagai dampak
teriakan bersalah yang sangat lantang disuarakan oleh anggota dewan baik di gedung dewan
maupun melalui perdebatan yang ditayangkan langsung oleh media elektronik. Kebingungan
masyarakat semakin memuncak dengan adanya perdebatan para petinggi negeri yang
menyatakan diri sebagai pakar/ahli hukum politik atau hukum Tata Negara yang saling
bertentangan, sehingga menjadikan kebenaran yang sesungguhnya semakin jauh dari
pemahaman masyarakat. Pada sisi yang lain setelah peristiwa Bank Century ini masih adakah
pejabat pemerintah yang berani menggunakan kewenangan yang diberikan kepadanya kalau
kemudian dalam kurun waktu tertentu akan dinilai menurut persepsi pihak-pihak yang
sebenarnya tidak ahli dalam bidang tersebut dengan menggunakan kacamata yang berbeda.
Kesimpulan
Kasus Bank Century bukalah sekedar kasus perbankan ataupun pengingkaran terhadap prinsipprinsip tata kelola perusahaan yang baik. Tetapi kasus ini telah memasuki ranah politik, dengan
terbangunnya perdebatan antar elite politik mengenai layak tidaknya Bank tersebut
mendapatkan bantuan. Persoalan ini juga kembali mencederai kepercayaan masyarakat terhadap
sistem keuangan kita beserta dengan para pelakunya. Pembentukan Pansus Bank Century
sebelumnya telah disetujui 9 fraksi di DPR, dan diharapkan menghasilkan suatu rekomendasi
yang bersifat terang benderang agar masyarakat, terutama para nasabah Bank Century merasa
puas dan dananya dapat dikembalikan. dan opsi lain yang menyatakan kebijakan bailout Century
sudah benar untuk mencegah dampak negatif dan sistemik dari skandal tersebut.
Dalam penanganan bank century penyelidik KPK dan penyidik Polri akan saling bertukar data
dan informasi, untuk melengkapi penanganan perkara masing-masing pihak. Di samping itu, KPK
juga akan meminta gelar perkara penanganan kasus Bank Century yang sudah dilakukan pihak
Polri. Ini masih dalam lingkup supervisi dan koordinasi KPK dengan penegak hukum lain. Proses
politik peristiwa Bank Century adalah pembelajaran yang sangat berharga bagi bangsa ini ke
depan dalam tatanan pemerintahan terutama dalam kaitan pelaksanaan fungsi legislatif,
eksekutif dan yudikatif, kita dapat melihat sejauh mana pembatasan fungsi masing-masing dapat
dimengerti dan dilaksanakan secara konsekuen.
Saran
Agar bisa sama sama mengawasi pelaksanaan pemerintahan yang telah berjalan dan
masyarakat dituntut kritis melihat fenomena yang terjadi dan harus mengambil sikap dan
tindakan.
Supaya lebih meningkatkan pengawasan sehingga tidak ada lagi kasus kasus seperti bank
century yang memperlihatkan betapa lemahnya pengawasan pemerintah terhadap perbankan.
http://ekoariefbudianto.blogspot.com/p/analisis-bank-centuy.html?m=1
Penyelesaian Kasus Bank Century dan Solusinya
Krisis yang dialami Bank Century bukan disebabkan karena adanya krisis global, tetapi karena
disebakan permasalahan internal bank tersebut. Permasalahan internal tersebut adalah adanya
penipuan yang dilakukan oleh pihak manajemen bank terhadap nasabah menyangkut:
Penyelewengan dana nasabah hingga Rp 2,8 Trilliun (nasabah Bank Century sebesar Rp 1,4
Triliun dan nasabah Antaboga Deltas Sekuritas Indonesia sebesar Rp 1,4 Triliiun) Penjualan reksa
7

dana fiktif produk Antaboga Deltas Sekuritas Indonesia. Dimana produk tersebut tidak memiliki
izin BI dan Bappepam LK. Kedua permasalahan tersebut menimbulkan kerugian yang sangat
besar bagi nasabah Bank Century. Dimana mereka tidak dapat melakukan transaksi perbankan
dan uang mereka pun untuk sementara tidak dapat dicairkan.
Kasus Bank Century sangat merugikan nasabahnya. Dimana setelah Bank Century melakukan
kalah kliring, nasabah Bank Century tidak dapat melakukan transaksi perbankan baik transaksi
tunai maupun transaksi nontunai. Setelah kalah kliring, pada hari yang sama, nasabah Bank
Century tidak dapat menarik uang kas dari ATM Bank Century maupun dari ATM bersama.
Kemudian para nasabah mendatangi kantor Bank Century untuk meminta klarifikasi kepada
petugas Bank. Namun, petugas bank tidak dapat memberikan jaminan bahwa besok uang dapat
ditarik melalui ATM atau tidak. Sehingga penarikan dana hanya bisa dilakukan melalui teller
dengan jumlah dibatasi hingga Rp 1 juta. Hal ini menimbulkan kekhawatiran nasabah terhadap
nasib dananya di Bank Century.
Setelah tanggal 13 November 2008, nasabah Bank Century mengakui transksi dalam bentuk
valas tidak dapat diambil, kliring pun tidak bisa, bahkan transfer pun juga tidak bisa. Pihak bank
hanya mengijinkan pemindahan dana deposito ke tabungan dolar. Sehingga uang tidak dapat
keluar dari bank. Hal ini terjadi pada semua nasabah Bank Century. Nasabah bank merasa tertipu
dan dirugikan dikarenakan banyak uang nasabah yang tersimpan di bank namun sekarang tidak
dapat dicairkan. Para nasabah menganggap bahwa Bank Century telah memperjualbelikan
produk investasi ilegal. Pasalnya, produk investasi Antaboga yang dipasarkan Bank Century tidak
terdaftar di Bapepam-LK. Dan sudah sepatutnya pihak manajemen Bank Century mengetahui
bahwa produk tersebut adalah illegal.
Hal ini menimbulkan banyak aksi protes yang dilakukan oleh nasabah. Para nasabah melakukan
aksi protes dengan melakukan unjuk rasa hingga menduduki kantor cabang Bank Century.
Bahkan para nasabah pun melaporkan aksi penipuan tersebut ke Mabes Polri hingga DPR untuk
segera menyelesaikan kasus tersebut, dan meminta uang deposito mereka dikembalikan. Selain
itu, para nasabah pun mengusut kinerja Bapepam-LK dan BI yang dinilai tidak bekerja dengan
baik. Dikarenakan BI dan Bapepam tidak tegas dan menutup mata dalam mengusut investasi
fiktif Bank Century yang telah dilakukan sejak tahun 2000 silam. Kasus tersebut pun dapat
berimbas kepada bank-bank lain, dimana masyarakat tidak akan percaya lagi terhadap sistem
perbankan nasional. Sehingga kasus Bank Century ini dpt merugikan dunia perbankan Indonesia.
Solusi Kasus Bank Century
Dari sisi manager Bank Century menghadapi dilema dalam etika dan bisnis. Hal tersebut
dikarenakan manager memberikan keputusan pemegang saham Bank Century kepada Robert
Tantular, padahal keputusan tersebut merugikan nasabah Bank Century. Tetapi disisi lain,
manager memiliki dilema dimana pemegang saham mengancam atau menekan karyawan dan
manager untuk menjual reksadana fiktif tersebut kepada nasabah. Manajer Bank Century harus
memilih dua pilihan antara mengikuti perintah pemegang saham atau tidak mengikuti perintah
tersebut tetapi dengan kemungkinan dia berserta karyawan yang lain terkena PHK. Dan pada
akhirnya manager tersebut memilih untuk mengikuti perintah pemegang saham dikarenakan
manager beranggapan dengan memilih option tersebut maka perusahaan akan tetap sustain
serta melindungi karyawan lain agar tidak terkena PHK dan sanksi lainnya. Walaupun sebenarnya
tindakan manager bertentangan dengan hukum dan etika bisnis. Solusi dari masalah ini
sebaiknya manager lebih mengutamakan kepentingan konsumen yaitu nasabah Bank Century.
Karena salah satu kewajiban perusahaan adalah memberikan jaminan produk yang aman.
Dari sisi pemegang saham yaitu Robert Tantular, terdapat beberapa pelanggaran etika bisnis,
yaitu memaksa manajer dan karyawan Bank Century untuk menjual produk reksadana dari
Antaboga dengan cara mengancam akan mem-PHK atau tidak memberi promosi dan kenaikan
gaji kepada karyawan dan manajer yang tidak mau menjual reksadana tersebut kepada nasabah.
Pelanggaran yang terakhir adalah, pemegang saham mengalihkan dana nasabah ke rekening
pribadi. Sehingga dapat dikatakan pemegang saham hanya mementingkan kepentingan pribadi
dibanding kepentingan perusahaan, karyawan, dan nasabahnya (konsumen). Solusi untuk
pemegang saham sebaiknya pemegang saham mendaftarkan terlebih dahulu produk reksadana
ke BAPPEPAM untuk mendapat izin penjualan reksadana secara sah. Kemudian, seharusnya
8

pemegang saham memberlakukan dana sabah sesuai dengan fungsinya (reliability), yaitu tidak
menyalah gunakan dana yang sudah dipercayakan nasabah untuk kepentingan pribadi.
Dalam kasus Bank Century ini nasabah menjadi pihak yang sangat dirugikan. Dimana Bank
Century sudah merugikan para nasabahnya kurang lebih sebesar 2,3 trilyun. Hal ini
menyebabkan Bank Century kehilangan kepercayaan dari nasabah. Selain itu karena dana
nasabah telah disalahgunakan maka menyebabkan nasabah menjadi tidak sustain, dalam artian
ada nasabah tidak dapat melanjutkan usahanya, bahkan ada nasabah yang bunuh diri
dikarenakan hal ini. Solusi untuk nasabah sebaiknya dalam memilih investasi atau reksadana
nasabah diharapkan untuk lebih berhati-hati dan kritis terhadap produk yang akan dibelinya. Jika
produk tersebut adalah berupa investasi atau reksadana, nasabah dapat memeriksa kevalidan
produk tersebut dengan menghubungi pihak BAPPEPAM.
Dikarenakan kasus ini kinerja BI dan BAPPEPAM sebagai pengawas tertinggi dari bank-bank
nasional menjadi diragukan, karena BI dan BAPPEPAM tidak tegas dan lalai dalam memproses
kasus yang menimpa Bank Century. Dimana sebenarnya BI dan BAPPEPAM telah mengetahui
keberadaan reksadana fiktif ini sejak tahun 2005. Untuk Bank-bank nasional lainnya pengaruh
kasus Bank Century mengakibatkan hampir terjadinya efek domino dikarenakan masyarakat
menjadi kurang percaya dan takut bila bank-bank nasional lainnya memiliki penyakit yang
sama dengan Bank Century dikarenakan krisis global, dengan kata lain merusak nama baik bank
secara umum. Solusi untuk BI dan BAPPEPAM sebaiknya harus lebih tegas dalam menangani dan
mengawasi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh bank-bank yang diawasinya. Selain itu
sebaiknya mereka lebih sigap dan tidak saling melempar tanggung jawab satu sama lain. Dan
saran untuk Bank Nasional lainnya, sebaiknya bank-bank tersebut harus lebih memperhatikan
kepentingan konsumen atau nasabah agr tdk terjadi kasus yg sama.
sumber : http://sanya-alliairani.blogspot.com/2012/06/permasalahan-dan-solusi-dalam-bank.html
http://atikaa08.student.ipb.ac.id/2010/06/18/permasalahan-bank-century-dan-solusinya
ANALISIS HUKUM TERHADAP KASUS BANK CENTURY BERDASARKAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992
TENTANG PERBANKAN
Dapat dikatakan bahwa Bank Century merupakan tragedi kebangkrutan terbesar dalam
ranah perbankan di Indonesia pada tahun 2009. Pemerintah terpaksa melakukan bail out 6.7
triliun rupiah untuk menyelamatkan likuiditas Bank Century. Dimana keputusan penyelamatan
berasal dari permintaan Bank Indonesia karena dapat berdampak sistemik dengan menyeret 23
bank lainnya.
Kasus bermula dari dugaan penyelewengan dana nasabah oleh Antaboga Sekuritas
sebagai pemegang 7.52% saham Bank Century dalam permainan instrumen derivatif. Kasus
penyelewengan dana tersebut berkembang ke arah missmanagement yang dilakukan oleh
pengelola DPK (dana pihak ketiga) Bank Century. Mencuatnya kasus Bank Century sering
dikaitkan dengan dampak krisis global yang menerpa lembaga keuangan dunia dan berdampak
sistemik pada perbankan Indonesia. Namun olah data badan penyidik keuangan (BPK)
menemukan bahwa kasus Bank Century sudah terendus sebelum krisis global terjadi. Hal ini
menimbulkan kecurigaan adanya pengalihan isu, sehingga para nasabah dan investor menjadi
maklum dengan kasus likuiditas akibat efek krisis global yang berdampak pada Bank Century.
Terjadi force majeur krisis dalam bentuk pembodohan opini publik. Hal ini dikuatkan oleh hasil
penyidikan BPK yang menyebutkan bahwa Bank Century sudah cacat dari lahir. Berdasar hal
tersebut, nampaknya Bank Century sejak dulu sampai diambil LPS selalu melanggar aturan,
dimana pelanggaran yang terjadi berupa tingkat minimum CAR (Rasio kecukupan modal), batas
maksimal pemberian kredit, dan FPJP (Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek).
Dilihat dari kronologis kasus Bank Century, hal yang perlu di garis bawahi adalah praktik
FPJP yang cenderung menetapkan bunga pinjaman di atas bunga yang berlaku di pasar. Dengan
suku bunga kredit yang tinggi, jumlah default (gagal bayar) yang terjadi pun meningkat. Hal ini
menjadikan NPL(non-performing loan) bank Century berada di atas level normal NPL perbankan
pada umumnya. Jika kita menganalisis FPJP secara mendetail, hal ini sama dengan skema
subprime mortgage. Bank menetapkan bunga yang tinggi untuk mendapatkan return yang tinggi
tanpa memperdulikan kreditor yang belum tentu dapat membayar pokok ditambah bunganya.
9

Selain faktor suku bunga dan pinjaman jangka pendek yang irrasional dan beresiko tinggi,
manajemen Bank Century juga terbukti bersalah karena menggunakan dana nasabah untuk
berinvestasi dalam instrumen derivatif, bukan disalurkan ke pembiayaan sektor riil. Instrumen
derivatif merupakan instrumen yang penuh dengan permainan spekulasi. Setiap bank tentu
mengharapkan return yang tinggi, namun cara yang dilakukan Bank Century merugikan nasabah.
Hal tersebut sama saja menzalimi pihak nasabah karena tidak terdapat transparansi dalam
usaha yang dijalankan. Nasabah dijanjikan imbal hasil (return) yang tinggi dan janji-janji yang
terlalu menggiurkan dari pihak perbankan tanpa memberi informasi yang jelas tentang aliran
pemanfaatan dananya. Kasus Bank Century juga digolongkan penipuan. Penipuan bermula dari
sisi manajerial bank dengan ditemukan adanya praktik moral hazard. Hal ini timbul karena
kurangnya pengawasan dari BI dan rendahnya etika serta moral para eksekutifnya. Bukti
ketidakberesan manajemen Bank Century dalam menjalankan operasionalnya semakin terlihat
ketika ditetapkannya status tersangka kepada mantan Direktur Utama Bank Century,
terhadapnya diduga telah melanggar Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perbankan
A. Kesimpulan
Dari penafsiran hukum pada bab sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan bahwa selain
faktor suku bunga dan pinjaman jangka pendek yang irrasional dan beresiko tinggi, manajemen
Bank Century juga terbukti bersalah karena menggunakan dana nasabah untuk berinvestasi
dalam instrumen derivatif, bukan disalurkan ke pembiayaan sektor riil. Instrumen derivatif
merupakan instrumen yang penuh dengan permainan spekulasi.
B. Rekomendasi
Sebagai rekomendasi maka penulis menyebutkan beberapa hal yang diharapkan semoga
saja dapat memberikan masukan kepada pihak-pihak yang terkait, diantaranya yaitu :
1. Penanganan yang serius terhadap permasalahan Bank Century yang sudah merugikan uang
negara sebesar Rp. 6,77 trillion.
2. Penjatuhan sanksi pidana yang tegas terhadap mantan Direktur Utama Bank Century sehingga
dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku.
Kasus Bank Mega Money Laundering
Pusat Pelaporan dan AnalisisTransaksi Keuangan (PPATK) menyimpulkan kasus pembobolan
dana PT Elnusa Tbk dan Pemkab Batubara di PT Bank Mega Tbk, merupakan tindak pidana
pencucian uang. Wakil Ketua PPATK Gunadi mengatakan aliran dana Elnusa mengarah ke
perorangan dan diinvestasikan di deposito. Sedangkan dana Pemkab Batubara mengarah ke
rekening perseorangan dan diinvestasikan deposito. Kami juga menemukan adanya
penyalahgunaan Jabatan di Bank Mega Cabang Bekasi-Jababeka, kata Gunadi dalam rapat
dengar pendapat dengan Komisi XI, Rabu (25/5).
Gunadi menjelaskan, berdasarkan penelusuran PPATK sejak April 2011, dalam kasus Elnusa
terdapat 33 laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) dan 69 laporan transaksi
keuangan tunai (LTKT). Untuk Dana Pemkab Batubara, terdapat 18 LTKM dan 34 LTKT. Saat ini,
PPATK telah mengirim laporan tersebut kepada penyidik Polda dan Kejaksaan Agung. Dalam
kasus dana Pemkab Batubara, PPATK telah membekukan 10 rekening yang dicurigai menerima
dana dari rekening Pemkab Batubara yang ada di Bank Mega Jababeka. Kami menstop 10
rekening yang ditengarai dari rekening Pemerintah Kabupaten Batubara yang jumlahnya senilai
Rp4,4 miliar, tuturnya. Menurut Gunadi, uang Rp4,4 miliar itu bisa dapat menjadikan asset
recovery Bank Mega. Selain itu, PPATK menemukan adanya kesamaan modus yang terjadi pada
pembobolan di Bank Megayakni adanya tindak pidana pencucian uang. Atas kasus ini, PPATK
memberikan lima rekomendasi kepada Bank Indonesia (BI) agar lebih mengamankan sistem
perbankan nasional. Pertama, penyidik dan penuntut umum harus mencantumkan adanya
pengenaan sanksi pidana pencucian uang sesuai dengan Pasal 7 Undang-undang tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU). Kedua, PPATK
mengusulkan peningkatan kerjasama antar bank dan penyedia jasa keuangan lainnya dalam
membantu proses penyelamatan dana hasil tindak pidana seperti penundaan transaksi
dalam Pasal 26 Undang-undang PPTPPU. Ketiga, peningkatan peran aktif penyedia jasa
keuangan, PPATK dan penegak hukum untuk melaksanakan kewenangan yang diberikan UU
10

PPTPPU, seperti penundaan transaksi, penghentian sementara transaksi dan pemblokiran guna
mencegah berpindahnya dana dari hasil tindak pidana. Kelima, penyedia jasa keuangan
khususnya bank wajib melakukan enhanced due diligence dalam hal terdapat transaksi
penempatan Deposito on Call (DoC) dana milik Pemerintah Daerah/BUMN dalam jumlah yang
signifikan atau besar pada kantor cabang bank atau cabang pembantu bank yang relatif kecil.
Sekadar catatan, Pasal 7 UU PPTPPU menyatakan, selain terkena sanksi denda, korporasi
bisa terancam izin usahanya. Sanksi berat ini berlaku jika perusahaan ikut terlibat atau
menikmati hasil kejahatan. Sanksi paling ringan berupa denda maksimal Rp1 miliar, bila bank
sebagai penyedia jasa keuangan sengaja tidak melaporkan keberadaan transaksi mencurigakan.
BI sendiri baru saja menjatuhkan sanksi kepada Bank Mega terkait kasus pembobolan dana
Elnusa sebesar Rp111 miliar & Pemkab Batubara Rp80 miliar. Namun, BI memutuskan tdk
mencabut izin usaha bank milik Chairul Tanjung tsb.
http://fahmitorture.blogspot.com/2013/09/kasus-bank-mega-money-laundering.html?m=1
Analisis Kasus Money Laundry
Pelaku dari money laundering sebagai kejahatan terorganisir, dilakukan oleh orang yang
menguasai atau mempunyai pengetahuan khusus di dunia penyedia jasa keuangan. Bahkan
mereka harus menguasai ilmu pengetahuan di bidang komputer. Salah satu contoh kasus money
laundering ialah kasus Bank Global. Pembobolan bank tersebut bukan dilakukan melalui suatu
teknik yang canggih, melainkan karena adanya niat buruk dari pengelola bank yang
memanfaatkan kelengahan pengawasan BI maupun Bapepam. Maka dari itu pemerintah
menutup Bank Global. Pada waktu dibekukan kegiatan usahanya, Bank Global sudah nyaris
kolaps. Angka Capital Adequacy Ratio (CAR) atau rasio kecukupan modalnya sudah berada pada
titik minus 39 persen. Dengan adanya indikasi berbagai pelanggaran ditambah dengan
ketertutupan dari pihak manajemen, maka BI kemudian bertindak lebih tegas, yakni
membekukan kegiatan usaha dengan tujuan demi menyelamatkan asset, mencegah kerugian
lebih besar lagi, serta yang utama ialah mengamankan dana nasabah.
Adapun contoh kasus lainnya tentang money laundering adalah kasus Bank BNI, yaitu
adanya pembobolan Bank BNI sebesar Rp 1,7 triliun melalui L/C (Letter of Credit) fiktif dengan
adanya pemberian kredit L/C oleh pihak Cab.BNI Utama Kebayoran Baru. Bobolnya uang
sejumlah Rp 1,7 triliun bermula dari PT. Gramarindo Mega Indonesia (Perusahaan milik Erri
Lumowa dan Adrian Woworuntu) mengajukan permohonan pembiayaan ekspor impor dari BNI
Cab Kebayoran Baru Jakarta Selatan. PT Gramarindo rencananya akan melakukan ekspor pasir
dan minyak residu ke negara-negara Afrika dan Timur Tengah. Dalam mengajukan permohonan
pembiayaan tersebut PT. Gramarindo mendapatkan jaminan L/C dari Dubai Bank Kenya, The Wall
Street Banking Corporation, Middle East Bank Kenya, Ltd. Ross Bank Swiss dan Bank One (New
York).
Berdasarkan L/C yang dipecah-pecah menjadi 80 L/C kecil namun keseluruhannya berjumlah Rp
1,7 triliun tersebut, menghasilkan yang kredit ekspor dalam mata uang dollar dan Euro yang
telah dicairkan sejak bulan Juli 2002 sampai bulan Juli 2003. Belakangan baru diketahui kalau
ternyata ekspor tersebut hanya fiktif belaka, yaitu dengan membuat dokumen ekspor fiktif, PT
Gramarindo Group dapat menikmati uang dan menggunakan uang tersebut. Dalam transaksi
perdagangan luar negeri, terjadi hubungan dagang antara penjual dari suatu negara dan Negara
lainnya dibutuhkan pengertian dan kerjasama yang baik dan saling menguntungkan serta tetap
berpedoman kepada ketentuan-ketentuan hukum dagang dari masing-masing negara.
Salah satu cara pembayaran yang dipergunakan di dalam perdagangan luar negeri adalah cara
kredit dokumenter, yaitu dengan mempergunakan warkat berharga yang disebut Letter of Credit.
L/C merupakan suatu warkat yang diterbitkan oleh suatu bank atas permintaan pihak pemakai
jasa atau pembeli yang ditujukan kepada pihak ketiga lainnya, yang mengakibatkan bank
pembuka L/C (opening bank) untuk:
1.
Melakukan pembayaran kepada piahk ketiga (beneficiary) atau ordernya, atau harus
membayar, menegosiasi/mengambil alih wesel-wesel tanpa syarat sebagai pembayaran pada
waktu tertentu dikemudian hari yang ditarik oleh penjual.

11

2.
Memberi kuasa kepada bank lain untuk melakukan pembayaran yang dimaksud, atau harus
membayar, menegosiasi/mengambil alih wesel-wesel atas penyerahan dokumen-dokumen yang
ditentukan dan sesuai syarat serta kondisi dari kredit yang bersangkutan.
Berdasarkan kasus bank di atas, maka dapat dianalisis bahwa pencucian uang itu didasari oleh
modus operandi, yaitu:
1.
Penempatan;
2. Pelapisan;
3.
Integrasi atau Penyatuan; yaitu melakukan penyatuan uang haram tersebut kepada
kegiatan-kegiatan perekonomian.
Perlu diketahui, saat ini semakin banyaknya kasus money laundering di Indonesia disebabkan
karena kurang seriusnya Pemerintah dalam menanggulangi kasus tersebut, serta masih
lemahnya hukum di negara Indonesia. Dampak yang terjadi dari praktek ini ialah terlepasnya
control arus uang masuk (inflow) dan keluar (outflow) suatu Negara yang pada gilirannya akan
dapat mengganggu mekanisme pasar. Adapun cara yang dilakukan untuk menghilangkan atau
mengurangi praktek cuci mencuci uang illegal ini ialah dengan cara adanya penindakan tegas
dari pemerintah.
CitiBank
Kasus pembobolan dana nasabah Citibank pada tahun 2011 banyak menyita perhatian
masyarakat. Pelaku dari pembobolan ini bernama Inong Melinda atau yang lebih dikenal dengan
nama Melinda Dee selaku mantan Relationship Manger Citigold yang memiliki gaya hidup mewah
bersama suaminya yang seorang artis bernama Andhika Gumilang. Dalam melakukan aksinya, ia
dibantu oleh suami, adiknya yang bernama Visca Lovitasari, suami dari adiknya yang bernama
Ismail, beberapa bawahannya, dan pemimpin perusahaan yang didirikannya.Menurut pernyataan
salah satu karyawan yang bekerja disana, Melinda Dee merupakan seorang karyawati Citibank
senior yang sudah menangani nasabah kurang lebih 15 tahun. Melinda Dee dikenal sebagai
karyawati yang piawai dalam mengelola hubungan dengan para nasabah, sehingga ia mendapat
kepercayaan khusus untuk menangani para nasabah yang memiliki deposito di atas Rp500 juta.
Untuk mendapatkan kepercayaan dari para nasabahnya, Melinda Dee melayani mereka
secara istimewa. Hal ini tidak dilakukannya dalam waktu singkat, tetapi dalam waktu lama dan
terus-menerus sampai mendapat kepercayaan dari nasabah. Melinda Dee sangat pintar dalam
melihat pola transaksi para nasabahnya, kemudian ia menyodorkan blanko kosong untuk
ditandatangani. Blanko kosong inilah yang dipakai untuk menarik dana dengan meminta bantuan
salah satu bawahannya untuk mentransfer uang tersebut ke empat perusahaannya. Untuk
menyamarkan bukti kejahatannya, Melinda Dee memalsukan kepemilikan perusahaannya
dengan nama orang lain. Dari perusahaan-perusahaannya, Melinda dapat menarik dana untuk
kepentingan pribadi, suaminya, adiknya, dan suami adiknya. Untuk menyimpan semua uang itu,
Andhika membuka banyak rekening dengan menggunakan identitas berbeda dan KTP palsu.
Kejahatan Melinda berakhir pada tanggal 23 Maret 2011 ketika delapan penyidik yang
berasal dari Direktorat Ekonomi Khusus Badan Reserse dan Mabes Polri menangkapnya di
kawasan SCBD Jakarta Selatan. Polisi menetapkan Melinda sebagai tersangka setelah mendapat
laporan dari beberapa nasabah. Polisi menduga dana yang berhasil dibobol sebesar Rp 17 miliar,
tetapi ini baru sebagian nasabah yang melapor kepada polisi. Kelurga dan rekannya yang terlibat
pun ikut ditangkap karena tealah membantu, menyimpan, dan melakukan pencucian uang. Polisi
juga menyita sejumlah bukti berupa dokukmen, uang tunai, mobil mewah, dan ratusan item.
Adapun Andhika, suami Melinda, didakwa pasal 6 ayat 1 huruf a, b, d, f yaitu UU mengenai tindak
pidana pencucian uang juncto pasal 65 ayat 1 KUHP, pasal 5 ayat 1 yaitu UU mengenai
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang juncto pasal 65 ayat 1 KUHP, dan
pasal 263 ayat 2 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara. Sedangkan untuk
adiknya, Visca, dan suaminya didakwa menyimpan uang dari Melinda. Untuk rekan-rekannya
diadili karena ikut membantu dalam kejahatan yang dilakukan Melinda.
Untuk Melinda sendiri, ia dijerat pasal 49 ayat 1 dan 2 UU No. 7 tahun 1992 sebagaimana
diubah dengan UU No.10 tahun 1998 tentang perbankan dan atau pasal 6 UU No.15 tahun 2002
sebagaimana diubah dengan UU No. 25 tahun 2003 sebagaimana diubah dengan UU No. 8 tahun
2010 tentang tindak pidana pencucian uang. Melinda pun dihukum dengan hukuman 8 tahun
penjara dan denda sebesar Rp10 miliar.
12

Pendapat Adanya kasus pembobolan dana nasabah ini dapat mengurangi kepercayaan
masyarakat terhadap bank sehingga akan menurunkan tingkat saving di bank. Sistem keamanan
bank masih terlau lemah. Karena kasus seperti ini biasanya banyak melibatkan pihak internal
yang mengetahui celah-celah keamanan bank, tetapi tidak menutup kemungkinan adanya pihak
eksternal. Lemahnya pengawasan dan koordinasi dari BI. Akses BI terhadap bank sangat
terbatas, sehingga hal ini perlu dibenahi. Untuk kedepannya BI jangan hanya mengandalkan
laporan keuangan dari bank saja, tetapi juga laporan lain. Selain itu, keterbatasan SDM juga
mempersulit pengawasan di kantor-kantor cabang terutama di daerah. Memperketat sistem
perekrutan karyawan bank. Pilihlah SDM yang memiliki selain skill dan pengetahuan yang cukup
luas, juga perilaku jujur dan komitmen yg tinggi pd profesinya. Kasus ini dpt menimbulkan
kerugian & dmpk buruk bg Citibank khususnya pada manajemen likuiditasnya, yaitu kemampuan
manajemen bank u/ memenuhi semua kewajiban. Resiko yg timbul adl pendanaan & resiko i%.
PPATK: Malinda Melakukan Pencucian Uang
Ketua Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein menyatakan,
Inong Malinda Dee diduga melakukan praktik pencucian uang. Menurutnya, dalam
perkembangan kasus tersangka pembobolan dana nasabah Private Banking Citibank itu kental
dengan unsur-unsur pencucian uang. Menurut data PPATK, terungkap dana yang dibobol eks
Manajer Relationship Citibank itu mengalir melalui 28 transaksi perbankan."Transaksi tersebar di
delapan bank dan dua asuransi. Kasus Melinda jelas-jelas ada unsur pencucian uang, seperti
adanya transfer, pembelian kendaraan, dan lainnya," kata Yunus kepada Liputan6.com di Jakarta,
Rabu (13/4). Dengan demikian, lanjut Yunus, Malinda dapat dijerat dengan Pasal 3 UU No. 8/2010
tentang Pencucian Uang. Dalam pasal tersebut dinyatakan, siapa pun yang melakukan transaksi
perbankan guna mengubah atau menukar harta kekayaan yang semestinya dicurigai atau tak
patut, diancam denda Rp 10 Miliar dengan penjara selama 20 tahun. Menurut analis senior
PPATK, ada beberapa modus pencucian uang. Di antaranya, menitipkan uang hasil kejahatan di
sejumlah rekening milik orang lain ataupun membentuk usaha baru dengan maksud memberikan
legitimasi atas kekayaan hasil tindak pidana. "Makanya kepatutan itu sendiri mesti dilihat dari
profil seseorang. Tidak bisa sekadar menerima dan menyimpan dana nasabah. Harus dilihat juga
apakah mungkin nasabah bisa mempunyai harta tersebut," tandasnya. Dalam kasus Malinda,
PPATK hingga kini belum bisa membongkar identitas para nasabah private banking. Alasannya,
hal itu merupakan hak nasabah untuk melaporkannya.(BJK/YUS)
Jejak Pencucian Uang Malinda Dee
Dugaan adanya praktik pencucian uang di balik kasus penggelapan uang nasabah oleh
Malinda Dee terus merebak. Berbagai jejak yang mengarah ke sana pun mulai diindikasikan
banyak praktisi dan pengamat hukum serta perbankan. Jejak yang paling mengarah disebutsebut adalah tidak adanya nasabah yang jadi korban yang ribut-ribut meminta haknya maupun
mengadu ke polisi. Realitas itu membangkitkan keheranan banyak kalangan. Sebab, kasusnya
sendiri begitu hiruk pikuk. Apalagi jumlah nasabah Citibank yang ditangani Malinda tidak kurang
dari 236 nasabah. Bukan sesuatu yang mustahil para nasabah itu adalah org2 sangat kaya yang
hartanya tidak ingin diketahui banyak org. Knp tdk mau diketahui? Bukan hanya krn tkt jd ssran
rampok, tp bs jd asl usul uangnya jg tdk jls, kt praktisi hkm Luhut MP Pangaribuan di Jkarta,
Rabu 6 April 2011 mlm.
Kemungkinan lain adalah para orang kaya yang menjadi nasabah mantan Senior
Relationship Manager Citibank ini sengaja tidak mau diketahui karena menghindari kewajiban
pajak dari uang besarnya itu. Secara logika, kata Luhut, banyak hal yang ganjil dalam kasus
Malinda ini. Selain tidak ada korban yang ribut-ribut, juga perpindahan uang dari rekening
nasabah di Citibank ke rekening Malinda. Menimbulkan tanda tanya apakah sengaja
dipindahkan atau sudah melalui kesepakatan untuk dikembangkan lewat jalur pinjam-meminjam
dengan deal-deal keuntungan. Tujuannya supaya uang berputar dan tercucikan, ungkap Luhut.
Ia menambahkan, perpindahan uang itu bukan terjadi dalam satu dua bulan. Tapi bertahuntahun. Bisa jadi ini adalah bagian dari modus pencucian uang para orang kaya yang tidak mau
diketahui asal usul kekayaannya, sebut Luhut.

13

Praktik-praktik pencucian uang dengan cara-cara seperti itu, menurutnya, bukan sesuatu yang
asing di Indonesia. Buktinya, kata dia, Indonesia sudah menerbitkan tiga UU terkait dengan
tindak pidana pencucian uang.
UU-nya terus diperbaharaui. Itu artinya dari tahun ke tahun ada peningkatan kualitas
tindak pidana pencucian uang sehingga pemerintah harus mengantisipasinya dengan merevisi
regulasi dan sanksi hukum, jelasnya. Tiga UU yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian
uang yang diterbitkan pemerintah terdiri dari UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 25 Tahun 2003 tentanghal sama, dan
UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pencucian Uang. Modusmodus yang ada itu harus ditelusuri polisi. Sehingga bukan hanya Malinda yang bisa dijerat.
Tetapi juga para nasabah kaya yg tidak mau diketahui asal-usul kekayaannya, disamping pihak
Citibank yg melonggarkan pengawasan shingga praktik itu bisa berlangsung bertahun-tahun.
Pihak kepolisian tdk menafikan jejak2 pencucian uang yg muncul dlm kasus ini. Kita terus
melakukan pendalaman thdp berbagai kemungkinan, trmsuk kemungkinan adanya praktik
pencucian uang dalam kasus Malinda, kt Kadiv Humas Polri Irjen Pol Anton Bahrul Alam.
Melinda Dee Dituntut 13 Tahun Penjara Pembobol Citybank Inong Malinda Dee dituntut
dengan hukuman 13 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar (subsider 7 bulan kurungan) atas
kasus yang menimpanya. Tuntutan tersebut di bacakan oleh Jaksa Penuntut Umum PN Jakarta
Selatan. Kabar akan Melinda Dee memang membuat heboh Indonesia beberapa waktu lalu, yang
mana MD didakwa atas kasus penggelapan uang dan terlibat dalam praktik pencucian uang total
Rp 40 miliar. Jumlah yang sgt fantastis memang, Inong Melinda Dee yg juga sebagai Citigold
Executive dgn 209 nasabah sgt mdh dlm melakukan aksinya tsb.
Sebagaimana yang diberitakan sebelumnya, MD dengan sengaja mengisi form kosong dan
pemindahbukuan berlanjut meminta tanda tangan yang digunakan seolah2 u/ kepentingan
nasabah. Dr sinilah proses pentransferan dana dr nasabah pun berlangsung yg di alihkan ke nmr
rek adiknya. Aksinya berlnjt k pencucian uang dmn Melinda Dee sengaja menyembunyikan asal
muasal tindak pidananya. Sejmlh dna hsl kejahatan dia trf dr & k perusahaan jasa keuangan agr
amn & tdk mdh terdeteksi.
Pengacara Duga Keterlibatan Atasan Malinda Dee Sidang lanjutan kasus tindak pidana
perbankan dan pencucian uang nasabah Citibank dengan terdakwa bekas Senior Manager of
Relationship Citibank Indonesia, Inong Malinda Dee, kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan, Senin, 14 November 2011, dengan agenda minta keterangan saksi. Keempat saksi yang
dihadirkan antara lain Vice President Retail Bank Head Citibank Indonesia Meliana Sutikno; HRD
Retail Bank Citibank Indonesia Vera Tarmihaja; Internal Investigator Citibank Indonesia
Espandiary Akbar; dan pengacara Citibank, Rizki Marjuki. Pengacara Malinda, Batara Simbolon,
menduga keterlibatan atsn Malinda/pejabat di atas teller shg hrs ikut bertanggung jawab dalam
kasus ini. Menurut standar operasional Citibank, transaksi di atas Rp 300 juta sudah bukan
kewenangan teller, kenapa bisa lolos? Orang Citibank juga yang bilang kalau speciment tanda
tangan diverifikasi pakai alat. Ini bank kelas Amerika, enggak mungkin salah, kata Batara usai
sidang.Batara juga melihat ada kejanggalan pada modus pencucian uang nasabah melalui
transaksi liar yang baru diketahui 2011. Padahal transaksi sudah terjadi sejak 2007. Kenapa
audit internal yang dilakukan tiap hari, tiap minggu, tiap bulan, dan triwulan tidak menemukan
transaksi seperti ini? Dalam manajemen bank, jika ada kesalahan selisih Rp 1.000 saja, petugas
bank enggak boleh pulang, katanya. Hakim ketua, Gusrizal, menanyakan kepada manajemen
Citibank tentang standar operasional transaksi di Citibank. Kenapa sampai terjadi ada transaksi
di atas Rp 300 juta dan bahkan miliaran tanpa sepengetahuan nasabah? Dan kenapa baru
diketahui tahun 2011, padahal kan sudah terjadi sejak 2007? tanyanya. Dalam kesaksiannya,
Meliana mengakui jika untuk transaksi, terutama di atas Rp 300 juta, harus dilakukan nasabah
sendiri dengan verifikasi yang ketat. Transaksi di atas Rp 300 juta harus diverifikasi head of
teller atau supervisor-nya, katanya. Meliana menduga ada perbuatan yang terencana oleh
Malinda dan beberapa orang sehingga bank terkelabui. Kami menyerahkan ke pengadilan untuk
membuktikannya, ujarnya. Ia menambahkan, beberapa teller yang diperiksanya mengaku dari
117 transaksi, 90 persen di antaranya diketahui nasabah yang memang datang ke bank.
14

Padahal setelah kami investigasi, faktanya tidak seperti itu. Nasabah tidak tahu-menahu
dan tidak kenal dengan nama orang tujuan transaksi, ungkapnya. Transaksi dilakukan oleh
sedikitnya tiga rekening nasabah ke beberapa kerabat Malinda. Di antaranya adik kandungnya,
Visca Lovitasari; dan Ismail, adik dari suami sirinya, Andhika Gumilang. Manajemen Citibank juga
menemukan transaksi pembelian beberapa aset, seperti mobil mewah dan apartemen. Ada 117
transaksi yang dilakukan tanpa sepengetahuan nasabah. Kerugiannya mencapai Rp 44 miliar,
tegas Espandiary. Menurutnya, modus transaksi liar itu dengan cara memalsukan tanda tangan
nasabah atau meminta tanda tangan nasabah dalam form yang belum disebutkan tujuan
transaksinya. Citibank telah mengganti sebagian besar dana nasabah yang dicuri tersebut.
Sidang akan dilanjutkan 16 November 2011 dengan agenda meminta keterangan saksi lainnya.
Korban Malinda Akan Bersaksi di Sidang Tersangka kasus pencucian uang dan kejahatan
perbankan, Inong Malinda Dee, hari ini akan kembali menjalani sidang di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan. Agenda sidang hari ini, Rabu, 16 November 2011, adalah mendengarkan
kesaksian para korban. "Ada sidangnya, agendanya saksi," kata pengacara Malinda, Batara
Simbolon, hari ini. Batara mengatakan para saksi yang akan hadir antara lain Brand Manager
Land Mark, Paulina, serta tiga korban praktek pencucian uang Malinda yaitu Suryati T. Budiman,
Rohli bin Pateni, dan Susetyo. Juru bicara Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Matius Samiaji,
membenarkan hal tersebut. Sidang Malinda dilaksanakan hari ini karena Ketua Majelis
persidangan setiap hari Selasa harus memimpin sidang di Pengadilan Tipikor. Malinda sudah
menjalani sidang mendengarkan saksi pada hari Senin lalu. Jaksa Penuntut Umum mendakwa
tersangka Inong Malinda Dee telah melakukan penggelapan dan pencucian uang melalui 117
transaksi. Total dana nasabah yang digelapkan mantan Senior Manager of Relationship Citibank
ini mencapai Rp 40 miliar. Transaksi ini diduga terjadi mulai 22 Januari 2007 hingga 7 Februari
2011.
Malinda diduga telah mengalirkan milliaran dana nasabahnya ke beberapa rekening yang
kemudian diketahui ditransfer kembali ke rekening miliknya. Transaksi ini terdiri dari 64 transaksi
uang rupiah senilai Rp 27,36 miliar dan 53 transaksi uang dolar senilai US$ 2,08 juta. Malinda
dijerat pasal berlapis, yaitu pasal dalam Undang-Undang Perbankan dan pasal Undang-Undang
Tindak Pidana Pencucian Uang. Pertama, ia dijerat Pasal 49 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No 7
Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
juncto Pasal 55 ayat 1 dan Pasal 65 KUHP. Ia juga dijerat Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No 25 Tahun 2003 tentang Pidana
Pencucian Uang juncto Pasal 65 KUHP. Ketiga, ia dijerat dengan Pasal 3 Undang-Undang No 8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal
65 ayat 1 KUHP.
Hingga saat ini pihak JPU memang belum memberikan tuntutan hukuman terhadap Malinda
secara pasti. Namun Malinda dapat dituntut maksimal 15 tahun penjara.
PPATK Puas Malinda Dee Dihukum Penjara 8 Tahun dan Denda Rp 10 Miliar Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyampaikan apresiasi terhadap Jaksa dan
Hakim dalam kasus penggelapan dana nasabah Citibank yang dilakukan Malinda Dee. Hukuman
8 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar diharapkan bisa menjadi efek jera bagi masyarakat.
"Apresiasi yang tinggi harus diberikan kepada Jaksa dan Hakim yang telah berhasil membongkar
praktek penggelapan dana nasabah dan pencucian uang dalam perkara Malinda Dee," ungkap
Wakil Kepala PPATK Agus Santoso
"Hukuman cukup berat dimana 8 tahun plus denda Rp 10 miliar. Mudah-mudahan putusan
ini bisa memberikan efek jera dan menjadi pelajaran," imbuh Agus. Dijelaskan Agus, masyarakat
harusnya bisa mengambil hikmah dibalik kasus Malinda Dee ini. Sehingga, kedepan segala
praktek pencucian uang bisa diberantas dari hukuman yang berat tersebut. "Itu prestasi bagus
dalam penegakan hukum kita," tutupnya. Malinda sebelumnya divonis 8 tahun penjara dan
denda Rp 10 miliar. Mantan pegawai Citibank itu terbukti melakukan penggelapan dan
pemindahan rekening nasabah, serta pencucian uang. Usai sidang, kuasa hukum Malinda,
Suwidji, mengatakan sedang berpikir untuk melakukan banding. "Untuk keputusannya kami
cukup puas, tapi fakta persidangannya kami tidak puas," katanya. Sementara itu JPU yang
15

dikomandoi Tatang Sutarna juga menyatakan pikir-pikir atas vonis 8 tahun penjara bagi Malinda
itu.
TANGGAPAN : Kasus penggelapan uang nasabah Citibank Indonesia yang dilakukan oleh
seorang Senior Relation Manager Citibank Indonesia, Malinda Dee dengan memperalat seorang
teller nya, yakni Dwi merupakan salah satu contoh kejahatan kerah putih di dunia perbankan.
Model kejahatan kerah putih ini merupakan evolusi tindak kejahatan dalam dunia moderen.
Menurut sebuah artikel online yang saya baca, dalam sejarah di negara-negara maju, kejahatan
ini disebut sebagai business crime atau economic criminality. Karena pelaku kejahatan ini banyak
melibatkan para pengusaha, pegawai perbankan, lembaga keuangan dan para pejabat.
Kasus yang melibatkan Malinda Dee ini merupakan kasus kejahatan kerah putih ( white
collar crime ) yang canggih, karena didukung oleh jaringan teknologi yang mutakhir. Selain itu
pengawasan Bank Indonesia ( BI ) yang lemah karena keterbatasan Sumber Daya Manusia
( SDM ) dalam mengawasi kantor-kantor cabang terutama di daerah-daerah juga membuat
pembobolan atau penggelapan uang nasabah menjadi mudah terjadi. Hukum tidak lagi menjadi
ancaman bagi mereka yang melakukan kejahatan kerah putih termasuk Malinda Dee mungkin
salah satunya. Karena selama ini seperti yang kita ketahui,para pelaku pembobol bank maupun
pelaku korupsi yang mendapat hukuman penjara bertahun-tahun, tetapi ternyata didalam
penjara mereka masih diberikan fasilitas yang nyaman dan mereka tidak mendapat hukuman
yang berat. Atau bisa saja dengan membayar beberapa miliar rupiah pada oknum-oknum
penegak hukum mereka sudah dapat bebas kembali. Ini membuat para pelaku kejahatan korupsi
dan kejahatan kerah putih sekalipun tidak lagi memperdulikan hukum sehingga kasus seperti
pembobolan uang nasabah Citibank tidak mungkin tidak akan terulang lagi.
Oknum pegawai Bank biasanya memanfaatkan kebiasaan para nasabah yang sangat
mudah percaya pada pegawai Bank. Jika kasus ini dibiarkan terus berlanjut tanpa adanya
tindakan tegas dari Pemerintah, maka akan membuat para nasabah kehilangan kepercayaan. Hal
tersebut akan berdampak negatif pada Bank, salah satunya adalah kebangkrutan. Karena Bank
juga akan dikenakan sanksi, seperti yang dialami oleh Citibank. Tidak boleh menambah nasabah
baru layanan Citigold, Citibank kini juga dilarang menawarkan kartu kredit. Pembobolan uang
nasabah yang melibatkan Malinda Dee dan teller nya di Citibank sebenarnya bisa saja dicegah.
Dimulai dengan memperketat pengawasan internal, untuk mencegah oknum-oknum pegawai
bank yang nakal. Untuk memperketat pengawasan tersebut memang membutuhkan biaya yang
tidak sedikit, tetapi diharapkan dapat meminimalisir terjadinya kasus pembobolan uang nasabah.
Kemudian dengan memperketat perekrutan Sumber Daya Manusia ( SDM ) perbankan sehingga
yang diterima benar-benar yang mempunyai kredibilitas tinggi. Tidak hanya dari sisi skill dan
knowledge namun lebih penting dari itu attitude, yang menyangkut kejujuran dan komitmen
tinggi pada profesi bankir. Dan yang selanjutnya Pemerintah harus mulai memperkuat
penegakan hukum, membersihkan aparat atau oknum-oknum penegak hukum yang masih dapat
dengan mudah disuap. Lalu memperbaiki dua kelemahan mendasar BI yaitu pengawasan dan
koordinasi. Dua hal ini harus terus-menerus diperbaiki karena selama ini dijadikan jalan bagi
pembobol bank untuk beraksi. Atau dengan mengadakan kerjasama dengan para provider
seperti Telkomsel, Satelindo dll untuk pengungkapan jaringan melalui mobile phone.
CARA MENGATASI PENYELESAIAN KASUS MELINDA DEE
DUNIA perbankan nasional kembali diguncang oleh kasus pembobolan oleh orang dalam,
sebagaimana dilakukan Melinda Dee melalui tempat kerjanya, Citibank Jakarta, dan Farah Anissa
Yustisia di Bank Mandiri Cabang RSUP Dokter Kariadi Semarang. Padahal belum lama berselang,
publik dikejutkan oleh kasus pembobolan ATM Bank Central Asia (BCA). Modus membobol
Citibank ini sederhana, hanya manipulasi data dan mengalihkan dana nasabah ke rekening
tersangka. Tersangka menggunakan trik menyulap blangko investasi kosong yang ditandatangani
nasabah untuk pencairan dana. Tingkat kepercayaan tinggi dari nasabah kepada tersangka yang
telah bekerja selama 20 tahun di Citibank membuat pelaku dengan mudah mengeruk uang
dalam jumlah besar. Kenyataan ini makin mengiris tipis kepercayaan masyarakat pada dunia
perbankan. Bagaimana tidak, selama ini kita sering dibuai promosi perbankan mengenai
kehebatan dan keandalan teknologi. Begitu pula sistem dan standar prosedur yang sudah relatif
lebih baik dari sisi keamanannya. Namun, seiring dengan hal itu kita juga disodori banyaknya
16

kasus penipuan dan pembobolan (fraud) yang dilakukan oleh oknum internal perbankan itu
sendiri. Menurut saya, ada tiga hal mendasar yang menyebabkan kasus pembobolan bank di
Indonesia kian hari kian mengkhawatirkan.1; rusaknya fungsi hukum sebagai rambu2 kejahatan.
Selama ini tidak ada hukuman berat terhadap pelaku pembobol bank sehingga kemudian beredar
pemeo di kalangan pembobol bank, Kalau membobol bank jangan tanggung-tanggung. Yang
besar sekalian. Setelah itu ckp keluar bbrp M rp untuk oknum penegak hukum maka semuanya
akan beres.
Kedua; lemahnya sistem pengawasan Bank Indonesia (BI) mengingat keterbatasan SDM
sehingga mereka mengalami kesulitan mengawasi kantor-kantor cabang terutama di daerahdaerah, meskipun di daerah itu terdapat kantor perwakilan BI. Dalam hal ini, bank sentral itu
mestinya bisa menggunakan instrumen forum bankir di daerah untuk memperbaiki kontrol
internal bank. Ketiga; lemahnya koordinasi BI pusat dan daerah. Fungsi monitoring BI hanya
mengandalkan laporan bank itu. Akses BI ke informasi bank sangat terbatas sehingga jika terjadi
pembobolan, sudah terlambat bagi BI untuk melakukan sesuatu. Kondisi inilah yang perlu
dibenahi, artinya ke depan BI tidak boleh hanya mengandalkan laporan dari bank, namun harus
proaktif menggali informasi di luar laporan bank. Fenomena kasus pembobolan bank di Tanah Air
dewasa ini, jika dibiarkan terus berlanjut tanpa ada tindakan konkret preventif untuk
menanganinya akan membuat masyarakat kehilangan kepercayaan pada dunia perbankan.
Padahal perbankan adalah lembaga urat nadi perekonomian.
Untuk mencegah agar tidak terjadi lagi kasus pembobolan bank, setidaknya ada tiga hal yang
bisa dilakukan oleh pemerintah (dalam hal ini BI). Pertama; memperkuat penegakan hukum.
Cara ini memang klise, namun untuk mewujudkan law enforcement, salah satu prasyarat
utamanya adalah membersihkan aparat penegak hukum. Jika jaksa, polisi, ataupun hakim masih
kotor, maka penegakan hukum sulit diwujudkan.
Kedua; memperbaiki dua kelemahan mendasar BI: pengawasan dan koordinasi. Dua hal ini
harus terus-menerus diperbaiki karena selama ini dijadikan jalan bagi pembobol bank untuk
beraksi. Sistem perbankan sebenarnya cukup kuat untuk mencegah pembobolan oleh orang
dalam tapi faktanya tidak bisa menjamin 100%.
Ketiga; memperketat proses perekrutan SDM perbankan sehingga yang diterima benarbenar yang mempunyai kredibilitas tinggi. Tidak hanya dari sisi skill dan knowledge namun lebih
penting dari itu attitude, yang menyangkut kejujuran dan komitmen tinggi pada profesi bankir.
Semuanya harus dipenuhi guna menjaga keberlangsungan bisnis perbankan mengingat
keterkaitannya dengan kepercayaan nasabah dan dunia usaha.
http://www.iniunik.web.id/2011/04/8-kasus-pembobolan-bank-di-indonesia.html#axzz1xNZwA5uv
Pembobolan simpanan nasabah kakap oleh Melinda selama kurang lebih tiga tahun berakhir
23 Maret 2011 setelah delapan penyidik dari Direktorat Ekonomi dan Khusus Badan Reserse
Kriminal Markas Besar Polri menangkap Melinda di apartemennya di kawasan SCBD, Jakarta
Selatan. Tim dari Mabes Polri bergerak setelah mendapat laporan pihak Citibank pada bulan
Januari.
Dalam keterangan saksi di pengadilan terlihat modus yang digunakan Melinda, yakni dengan
menyalahgunakan kepercayaan para nasabah kakap terhadap dirinya. Oleh Melinda, nasabahnasabah kaya dan sibuk itu disodori blanko kosong untuk ditandatangani agar memudahkan
transaksi. Namun ternyata Melinda mencuri uang tersebut sedikit-demi sedikit tanpa disadari
pemilik rekening melalui persekongkolan jahat dengan bawahannya, Dwi Herawati, Novianty
Iriane dan Betharia Panjaitan selaku Head Teller Citibank. Jaksa Penuntut Umum mendakwa
Melinda melakukan penggelapan dan pencucian uang dalam kurun waktu 22 Januari 2007 hingga
7 Februari 2011 melalui 117 transaksi, dimana 64 transaksi di antaranya dalam bentuk pecahan
rupiah senilai Rp27,36 miliar dan 53 transaksi senilai 2,08 juta dolar AS.
Bagaimana Melinda beroperasi selama itu? Guna meraih kepercayaan nasabah, wanita 47
tahun tersebut terlebih dahulu memperlakukan mereka secara istimewa, misalnya dengan
melayani di ruang khusus di kantor Citibank. Perlakuan ini tidak hanya diberikannya dalam waktu
singkat, tetapi hingga puluhan tahun sampai nasabah sangat percaya.
Dari sini, Melinda secara cermat menelisik pola transaksi nasabah yang bersangkutan,
kemudian mengajukan blanko kosong untuk ditanda tangani. Blanko inilah yang dia gunakanan
17

untuk menarik dana dengan memerintahkan Dwi mentransfer uang ke beberapa perusahaan
miliknya. Melinda juga menggunakan surat kuasa dari nasabah, sehingga nasabah seolah-olah
datang ke bank untuk melakukan transaksi. Untuk mengaburkan bukti kejahatan, Melinda
membuat perusahaan pribadinya yang dialiri dana nasabah Citibank atas nama orang lain. Pada
akhirnya, duit inilah yang digunakannya, antara lain untuk menyicil angsuran mobil super mewah
seperti Ferrari. Tengok saja kesaksian Rohly Pateni, salah satu nasabah yang menjadi korban
Melinda. Dia mengaku sangat percaya kepada Melinda karena sudah 18 tahun menjadi nasabah
Citibank dan ditangani Melinda. Dia jarang mengecek rekeningnya karena sibuk bekerja.
Berdasarkan kesaksian mantan Citigold Executive Head di Citibank Landmark, Reniwati Hamid,
Melinda mengalirkan dana nasabah ke empat perusahaan miliknya yaitu, PT Sarwahita Global
Manajemen, PT Porta Axell Amitee, PT Qadeera Agilo Resources, dan PT Axcomm Infoteco Centro.
Reniwati sendiri menjabat sebagai Direktur Utma di empat perusahaan yang didirikannya
bersama Melinda, Roy Sanggilawang, dan Gesang Timora tersebut. Dari keempat perusahaan ini,
Melinda kembali menarik uang untuk kepentingan pribadinya, Andhika maupun adiknya, Visca
Lovitasari serta suami Visca, Ismail bin Janim. Andhika menampung uang curian itu dengan
membuka banyak rekening dengan identitas berbeda karena menggunakan KTP palsu. Dia juga
diseret ke muka pengadilan dengan tuduhan melakukan tindak pidana pencucian uang dengan
menerima dan menampung uang yang diduga hasil tindak pidana istri sirinya. Andhika didakwa
melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a, b, d, f UU Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 65 ayat
(1) KUHP, dan Pasal 5 ayat (1) UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP, dan Pasal 263 Ayat (2) KUHP dengan ancaman hukuman
maksimal 15 tahun penjara. Adapun Visca ditetapkan diadili setelah menampung dana dari
Melinda senilai lebih dari Rp8miliar, dalam kurun waktu 24 Januari 2007 sampai tanggal 19
Oktober 2010. Tahap pertama Melinda menyetor sebesar Rp2.063.723.000. Lalu, Malinda
mengirim lagi Rp.5.429.199.000 dan selanjutnya Rp66juta, dan terakhir Rp401.480.000. Jaksa
mengatakan, dari tiap transaksi itu, Visca mendapat imbalan sebesar Rp5 juta. Sedangkan
suaminya, Ismail yang juga diadili didakwa menampung uang dari Melinda sekira Rp20,4 miliar
sejak bulan Januari 2010 hingga Oktober 2010 dalam 51 kali transaksi. Sementara itu, jaksa
menjerat Melinda dengan pasal berlapis, yaitu pasal dalam Undang-Undang Perbankan dan pasal
Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang. Pertama, dia dijerat Pasal 49 ayat 1 dan 2
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perbankan juncto Pasal 55 ayat 1 dan pasal 65 KUHP. Kedua, Pasal 3 ayat 1
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No 25
Tahun 2003 tentang Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 65 KUHP. Ketiga, Pasal 3 UndangUndang No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP. Ancamannya adalah 15 tahun penjara.
Fakta lain yang cukup menarik adalah keterlibatan Wakil Gubernur Lembaga Ketahanan
Nasional (Lemhannas) Marsekal Madya TNI Rio Mendung Thalieb. Dia menjadi Komisaris Utama
PT Sarwahita Group Managemen, namun mengaku tak melakukan bisnis dalam perusahaan
tersebut. Tidak jelas apakah pengakuan ini benar atau tidak karena tidak pernah ada
pemeriksaan terhadap yang bersangkutan. Yang juga tak terungkap dari kasus tersebut adalah
identitas dan latar belakang nasabah yang ditangani Melinda yang kabarnya mencapai puluhan
orang. Sebab, yang melapor ke polisi cuma tiga orang. Semula, banyak pihak berharap seluruh
nasabahnya melapor sehingga di sisi lain juga bisa ditelisik apakah ada di antaranya pejabat
negara sekaligus mencari tahu darimana sumber uang itu. Selain menjerat Melinda, Andhika,
Visca, dan Ismail, polisi juga menyeret rekan kerja Melinda yakni Reniwati Hamid, RJ selaku Cash
Official Manajer atau atasan teller, dan SW selaku Cash Supervisor Manager. Mereka menyusul
Dwi Herawati binti Harno Wijoyo, Novianty Iriane binti Emon, dan Betharia Panjaitan yang lebih
dahulu ditetapkan sebagai tersangka dan tengah menjalani persidangan dengan tuduhan turut
membantu perbuatan Melinda. Kasus ini masih akan berlanjut di tahun 2012 karena semua
terdakwa masih menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Belum satu pun dari
mereka yang dijatuhi vonis oleh hakim. Proses persidangan bisa saja berlanjut hingga beberapa
tahun ke depan jika persidangan berlanjut ke tingkat Mahkamah Agung.
ANALISA KASUS PERBANKAN
18

Inong Malinda dee, mantan senior Relationship Manager Citibank diduga melakukan tindak
pidana pencucian dana nasabah Citibank sebesar lebih dari Rp 16 milyar. Nasabah-nasabah yang
ditangani Malinda biasanya adalah nasabah kelas kakap dengan dana lebih dari Rp 500 juta.
Sedangkan bank-bank di Indonesia masih didominasi bukan oleh nasabah seperti itu. Motif
pelaku adalah untuk memuaskan dan menyenangkan suami keduanya yaitu Andhika Gumilang.
Modus Operandi yang dilakukan pelaku sebagai karyawan bank adalah dengan sengaja
melakukan pengaburan transaksi dan pencatatan tidak benar terhadap bebrapa slip transfer. Slip
transfer digunakan untuk menarik dana pada rekening nasabah dan memindahkan dana milik
nasabah tanpa seizin nasabah ke beberapa rekening yang dikuasai oleh pelaku. Pelaku
mengalirkan hasil penggelapan dana nasabah Citibank ke 30 rekening. Total dana yang
digelapkan pelaku diduga mencapai lebih dari Rp 16 milyar. Dana tersebut dibelanjakan barang
mewah berupa empat mobil mewah dan dua apartemen yang disita polisi. Penyidikan kasus ini
relatif terhambat lantaran sejauh ini baru tiga nasabah yang berani melapor polisi. Korban pelaku
diduga lebih dari jumlah tersebut karena pelaku memiliki ratusan nasabah. Proses penyelidikan
terbentur aturan perbankan yang merahasiakan identitas serta jumlah dana nasabah dan saat ini
penyelidikan masih tertuju pada lalu lintas dari tiga nasabah saja. Hubungan antara bank dengan
nasabahnya ternyata tidaklah seperti hubungan kontraktual biasa, tetapi dalam hubungan
tersebut terdapat pula kewajiban bagi bank untuk tidak membuka rahasia dari nasabahnya
kepada pihak lain mana pun kecuali jika ditentukan lain oleh perundang-undang yang berlaku.
Menurut pasal 1 angka 28 undang-undang perbankan, yang dimaksud dengan rahasia bank
adalah segala sesuatu yang berhub dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan
simpanannya.
Analisa Dari Segi Perbankan Kasus ini tentunya bisa menimbulkan kerugian dan dampak
buruk bagi dunia perbankan Indonesia serta Citibank itu sendiri khususnya pada manajemen
likuiditasnya. Manajemen likuiditas adalah Kemampuan manajemen bank dalam menyediakan
dana yang cukup utk memenuhi semua kewajibannya maupun komitmen yg telah dikeluarkan
kpd nasabah serta pengelolaan atas reserve requirement (RR) atau Primary reserve atau Giro
wajib minimum sesuai ketentuan BI, dan secondary reserve. Resiko yang dapat timbul apabila
gagal dalam manajemen likuiditas adalah resiko pendanaan dan resiko bunga. Bisa dikatakan
bahwa implikasi negatif dari kasus ini, Jika Citibank tidak bisa atau tidak memiliki kemampuan
dalam menyediakan dana yang cukup untuk memenuhi semua kewajibannya maupun komitmen
yang telah dikeluarkan nasabah sebab penggelapan dana oleh Malinda Dee ini maka Citibank
bisa saja dilikuidasi oleh Bank Indonesia serta hilangnya trust atau kepercayan nasabah dan
masyarakat kepada Citibank pada khususnya dan perbankan indonesia pada umumnya.
Informasi baru, Citibank mengkonfirmasikan k masyarakat bhwa phk Citibank menjamin uang
nasabah & amn.
Analisa Dari Segi Politik dan Sosial Media berpengaruh besar dalam membentuk main set
pola pikir masyarakat. Yang terjadi saat ini media dapat dipesan untuk mengabarkan suatu berita
dan fokus pada berita tersebut dalam jangka waktu yang sudah ditentukan yang memang
sengaja untuk membuat masyarakat lupa dengan kasus besar yang sudah terlanjur menjadi
berita besar sebelumnya. Jika kita peka mengamati situasi nasional, maka kasus Malinda dee ini
merupakan isu turunan untuk menutupi kasus besar yang pernah terjadi dan diberitakan
sebelumnya, sebut saja kasus talangan dana Bank Century dan beberapa kasus lainnya yang
memang sedang menyudutkan pemerintah Indonesia sekarang ini.
Analisa Dari Segi Hukum Pencucian uang adalah suatu proses atau perbuatan yang
bertujuanuntuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang atau harta kekayaan yang
diperoleh dari hasil tindak pidana yang kemudian diubah menjadi harta kekayaan yang seolaholah dari kegiatan yang sah. Sesuai dengan pasal 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002
tentang Tindak PidanaPencucian Uang, tindak pidana yang menjadi pemicu terjadinya pencucian
uang meliputi korupsi, penyuapan, penyeelundupan barang/tenaga kerja/imigran, Perbankan,
narkotika, psikotropika, perdagangan budak/wanita/anak/senjata gelap, penculikan, terorisme,
pencurian, penggelapan, dan penipuan. Dengan sudah dikeluarkannya UU Nomor 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang ini, tindak pidana pencucian uang dapat dicegah atau
19

diberantas, antara lain kriminalisasi atas semua perbuatan dalam setiap tahap proses pencucian
uang yang tda:
Pnmptan (placement) yakni upy mnmptkn uang tunai yg brsl dr tndk pdana k dlm sistm
kuangan (finncialsistm)/upaya mnmpatkan uang giral (cheque, wesel bank, sertifikat, dpsito, dll)
kmbli k dlm sistem keuangan, trtama sistem prbnkan
Trf (layering) yakni upaya untik mentransfer harta kekayaan yang berasal dari tindak
pidana (dirty money) yang telah berhasil ditempatkan pada penyedia jasa keuangan (terutama
bank) sebagai hasil upaya penempatan (placement) ke penyedia jasa keuangan yang lai.
Dilakukannya layering, membuat penegak hukum sulit u/ dpt mengetahui asal usul harta
kekayaan tsb
Menggunakan harta kekayaan (integration) yakni upay menggunakan harta kekayaan yg
brsl dr tindak pidana yg telah berhasil msk k dlm sistem keuangn melalui penempatan/trf shg
seolah2 mjadi harta kekayaan halal (clean money), u/ kegiatan bisnis yang halal atau u/
membiayai kembali kegiatan kejahatan. Pelaku dijerat pasal 49 ayat 1 dan 2 UU No 7 tahun 1992
sebagaimana diubah dengan UU No 10 tahun 1998 tentang perbankan dan atau pasal 6 UU No
15 tahun 2002 sebagaimana diubah dgn UU No 25 tahun 2003 sebagaimana diubah dgn UU no 8
thn 2010 ttg tindak pidana pencucian Uang dan pastinya pelaku dikenakan sanksi berpa denda &
hkmn pjr. http://diptyaaris.wordpress.com/2012/12/20/analisis-kasus-melinda-dee/ Hubungan
Dengan Image Citibank Saat Ini Pihak Citibank telah membuat pernyataan dari kasus
pembobolan dana nasabah sebesar 17M oleh Malinda Dee. Citibank memberikan jaminan
perlindungan para nasabah dan Citibank juga menegaskan akang mengambil langkah ganti-rugi
bagi nasabah yang telah dilakukan oleh aksi Malinda. Bank Indonesia menuturkan, merebaknya
kasus penggelapan dana nasabah di Citibank telah merusak citra dari Citibank itu sendiri. Kabid
Humas BI, Difi A Johansyah menuturkan kendati belum diberikan sanksi, tapi image Citibank
sudah rusak. Ini adalah dampak yang tak langsung untuk Citibank. JAKARTA - Mantan
Kabareskrim Polri Komjen Susno Duadji mengatakan, untuk mengungkap pengungkapan kasus
penggelapan dana Citibank yang dilakukan mantan petinggi Citibank Malinda Dee, penyidik
harus melakukan penelusuran mendalam. Susno Duadji yang mantan pegawai PPATK melalui
salah satu pengacaranya, Ari Yusuf Amir mengatakan, untuk mengungkap kasus yag Malinda
Dee, penyidik harus melakukan pengungkapan secara kolektif.
Inilah saran Susno: 1. Transaksi tunai Rp500jt k ats & trnsksi mencrgkan hrs dilprkn o/ PJK
(penyedia jsa keuangan) kpd PPATK.
2. Hal tersebut sesuai dengan UU No 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang vide
pasal 25 jo pasal 30 ayat (3), PJK wajib melaporkan transaksi. Bila tak dilaporkan maka bank
diancam sanksi administrasi, peringatan, teguran tertulis, pengumuman pada publik terhadap
sanksi yang diberikan, denda administrasi.
3. Sedangkan untuk mengungkap terlibat atau tidak si nasabah Malinda Dee dalam pencucian
uang dapat diidentifikasi dari dari besarnya transaksi dan asal usul uang, dan underlying
transaction atau alasan transaksi.
4. Sednagkan untuk mengungkap transaksi nasabah Malinda Dee terlibat money laundering
atau tidak harus diungkapkan asal usul uang, mengungkap underlying transaction, mengungkap
profil dan kebiasaan transaksi nasabah- wajar tidak nasabah dgn penghasilan resmi. Misalnya, Rp
X bertransaksi Rp XY.
5. Beban Pembuktian sumber uang ada pd nasabah/pembuktian terbalik untuk unsur asal uang
guna menentukan haram/tidak.
http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=186979:inilah-saransusno-soal-kasus-malinda&catid=17:politik&Itemid=30
Kasus Citi Bank & Pengaruhnya Terhadap Citra Perusahaan
Kita melihat terdapat 2 Kasus Citi bank yang saat ini sedang hangat dibicarakan baik dikalangan
masyarakat umum,pemerintah & anggota DPR . Kasus tersebut yaitu :
1. Kasus pengelapan uang oleh Malinda Dee
Melalui desas desus penyidik tentang terlibatnya Malinda Dee mantan Senior Relationship
Manager Citibank itu didakwa mengelapkan sedikitnya Rp. 20 miliar uang nasabah, bukti
20

penyelewengan terlihat sangat jelas dgn bukti2, sejumlah apartemen di jantung segitga emas Jkt
, 4 mobil mewah sekelas Ferari &Hummer, serta sejumlah properti d Inggris & Australia.
Dengan terlibatnya Malinda Dee sampai saat ini belum ada nasabah yang mengadukan
perempuan 57 tahun yang seronok itu ke kantor polisi.Salah seorang redaksi tempo
mengetahui bahwa sebagai perwira tinggi polisi yang membuat kasus ini terbongkar bahkan
tidak melaporkan ke tempat ia berdinas, selain itu dua nasabah lain hanya mengungkapkan
kepada Citibank bahwa uang mereka uang berjumlah miliaran rupiah ternyata amblas.
Tapi dengan adanya kasus tersebut pihak management Citibank bersedia mengganti
uang nasabah tetapi sungguh belum jelas apakah nasabah yang bertindak ceroboh juga akan
mendapat ganti. Walaupun hubungan antara nasabah citigold dan manajer seperti Malinda itu
lebih banyak lewat telepon, Citibank biasanya melakukan cek ulang kepada nasabah apabila
terjadi penarikan uang dalam jumlah besar. Setelah proses verifikasi itu, barulah bank
memindahkan uang nasabah, misalnya untuk membeli produk investasi. Dlm kasus seperti ini,
belum ada kepastian apakah citibank akan mengganti kerugian nasabah.
Selain beberapa aksi dan cara yang Malinda lakukan demi adanya kesepakatan dengan
nasabah aksi bawah tangan ini berlangsung di luar pengetahuan pihak bank menguatkan dugaan
Malinda Dee tidak bergerak sendiri. Malinda Dee mendirikan sebuah kantor sebagai salah satu
komisaris pemegang sahamnya diduga seorang perwira tinggi TNI. Disinilah Malinda Dee
memutarkan uang yang di gaet Malinda dari nasabah Citigold yang dilayaninya. Inilah yang
disebut dengan pencucian uang yang dilakukan Malinda Dee. Selain diduga Malinda Dee
melakukan pencucian uang, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK ) perlu
melacak para klien Malinda itu.Jika nasabah enggan untuk diselidiki kita bisa bayangkan betapa
besar jumlah uang dalam rekening itu. Dan PPATK jelas mempunyai kewenangan memonitor
rekening yang mencurigakan, sesuai dengan Undang Undang Nomor 25/2003 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang.
Dampak kasus CitiBank terhadap citra CitiBank Kedua kasus yang dipaparkan diatas tentu
saja membawa dampak terhadap citra perusahaan. Seperti kita ketahui mengutip pendapat
Sutisna mengemukakan citra adalah total persepsi terhadap suatu obyek yang dibentuk dengan
memproses informasi dari berbagai sumber setiap waktu ( 2001:83). Jadi kita bisa menyimpulkan
informasi tentang kasus pengelapan uang oleh Malinda Dee dan kasus dugaan terbunuhnya
nasabah citi bank Irzen Octa telah membuat persespsi buruk masyarakat terhadap CitiBank. Jelas
sekali citra buruk sudah disandang oleh CitiBank. Kasus CitiBank berimbas juga terhadap bank
bank lain. Kepercayaan nasabah sedikit pudar dengan mulai bertanya-tanya atas keamanan dana
mereka di sebuah bank. Kemunduran pedapatan Citibank pun akan terjadi. Banyak nasabah yang
menarik uangnya karena merasa tidak aman. Ini tidak hanya terjadi pada Citibank namun akan
berdampak pula pada bank-bank lain seperti Bank Bukopin, dimana banyak nasabahnya yang
mempertanyakan keamanan dana mereka.
Kesimpulan 1. Perusahaan harus dapat menjaga citranya dengan kinerja yang baik; 2. Citra yang
buruk akan dapat merusak reputasi perusahaan; 3. Kepercayaan akan suatu perusahaan
tergantung dari citra yang telah ada dan terus dijaga.

21

Anda mungkin juga menyukai