Anda di halaman 1dari 24

“TINDAK PIDANA KORUPSI PADA BANK BUMN AKIBAT DARI KREDIT

MACET (NON PERFORMING LOAN)


SUATU TINJAUN PRAKTIS MENGENAI PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA
DAN PELAKSANAAN HUKUMAN PIDANA KORUPSI SERTA REMISI BAGI
TERPIDANA KORUPSI”

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat jenis-jenis hukuman yang


salah satunya adalah hukuman subsider untuk menggantikan hukuman denda atau dalam
rangka pengembalian kerugian negara.

Pada suatu putusan pengadilan terdapat amar putusan yang salah satu contohnya adalah
sebagai berikut :
“1. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa XYZ dengan pidana penjara selama 10
(sepuluh) tahun dan denda sebesar Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah)
subsider pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan;
2. Menghukum Terdakwa XYZ membayar uang penggantian kerugian keuangan negara
dalam hal ini PT Bank Negara BUMN sebesar UD 5000 subsider pidana kurungan
selama 3 (tiga) bulan.”

B. Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan hukum pidana subsider ?


2. Bagaimana mekanisme pelaksanaan hukuman pidana subsider di Indonesia?
3. Apakah terdapat perbedaan dalam pelaksanaan putusan pidana subsider pada Tindak
Pidana Umum, Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Perbankan?

1
4. Kapan pelaksanaan hukuman pidana subsider yang telah berkekuatan hukum tetap?
Apakah pada saat awal pelaksanaan hukuman primer (pokok) atau pada saat akhir
pelaksanaan hukuman primer (pokok)?
5. Apabila seseorang terpidana dinyatakan hukuman pidana denda dengan subsider
pidana kurungan, apakah yang bersangkutan dapat memenuhi pembayaran denda
tersebut secara sukarela (tanpa perintah eksekusi jaksa) pada saat yang bersangkutan
masih menjalani pidana primer (pokok)?
6. Bagaimana mekanisme pembayaran hukuman denda?
7. Apabila hukuman subsider menggantikan kerugian negara pada tindak pidana korupsi,
sedangkan kerugian negara tersebut bersumber dari tidak dilaksanakannya kewajiban
terdakwa atas kredit macet pada bank BUMN, apakah hukuman subsider tersebut
dapat menggantikan/menggugurkan kewajiban terdakwa yang secara perdata
memiliki hutang/kredit kepada bank?
8. Apakah pelaksanaan hukuman subsider tersebut mempengaruhi remisi yang akan
didapat terdakwa?

C. Dasar Hukum
Bahwa tulisan ini dibuat dengan tetap merujuk kepada ketentuan dan persyaratan-persyaratan
sebagaimana diatur di dalam:
1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie)
(untuk selanjutnya disebut sebagai “KUHPerdata”).
2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP).
4) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut
dengan UU Pemberantasan Tipikor).

2
5) Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang  Perbankan (selanjutnya
disebut UU Perbankan).
6) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
7) Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan
(UU BPK).
8) Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua
Peraturan Pemerintah No. 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
9) Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas,
Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga
Pemerintah Non Departemen.
10) Keputusan Presiden RI Nomor 174 tahun 1999 tentang Jenis-jenis Remisi
berikut besarannya.
11) Keputusan Menteri Hukum dan Peraturan Perundang-undangan
No.M.09.HN.02.01 tahun 2000 tentang Remisi Tambahan bagi Narapidana
dan Anak Didik.
12) Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI No. M.03-PS.01.04 tahun 2000
tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Remisi Bagi Narapidana yang
Menjalani Pidana Penjara Seumur Hidup menjadi Pidana Penjara Sementara.
13) Yurisprudensi putusan Kasasi MA No.1144 K/Pid/2006 tanggal 13
September 2007.
14) Yurisprudensi Putusan Kasasi Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor:
1344 K/Pid/2005.
15) Putusan Mahkamah Agung Nomor 939 K/Pid.Sus/2013.

3
BAB II
PEMBAHASAN

1. Non Performing Loan Dalam Perspektif Tindak Pidana Korupsi

Pada dasarnya kredit macet merupakan wanprestasi yang diatur dalam Pasal


1238 KUHPerdata. Namun demikian dalam hal tertentu maka sifat keperdataannya dapat
berubah menjadi pidana dan dapat dikatakan korupsi, apabila terpenuhi unsur kesengajaan,
merugikan keuangan negara, melakukan perbuatan melawan hukum dan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain, yang berlaku kumulatif yang terkandung dalam ketentuan Pasal 2 dan
Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor, harus ditafsirkan bersifat kumulatif.

Yang menilai/menetapkan adanya kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan


(“BPK”). Ini sesuai dengan pasal 10 UU BPK:
 
“BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh
perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara,
pengelola Badan Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau
badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara”
 
Kerugian Negara sendiri adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan
pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai (pasal 1
ayat (15) UU BPK). Penilaian kerugian tersebut dilakukan dengan keputusan BPK (pasal 10
ayat (2) UU BPK).

Selain BPK, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (“BPKP”) juga berwenang


untuk menetapkan mengenai adanya kerugian negara. Ini terkait dengan fungsi BPKP yaitu
melaksanakan pengawasan terhadap keuangan dan pembangunan (Pasal 52 Keppres No. 103
Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata

4
Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen). Jadi, yang menilai/menetapkan kerugian
negara, adalah BPK dan BPKP. Adapun perhitungan kerugian negara sendiri bersifat
kasuistis, atau dilihat per kasus.

Side streaming adalah istilah lain dari perbuatan penyalahgunaan fasilitas kredit yang
didapatkan dari perbankan. Jadi, penggunaan kredit yang telah diperoleh tidak sesuai dengan
peruntukan awalnya. Pada praktek side streaming, nasabah menggunakan kredit yang telah
diperolehnya dari bank untuk peruntukan lain daripada yang telah ditentukan dalam
perjanjian kredit. Artinya, nasabah melakukan pelanggaran terhadap objek perjanjian, karena
menggunakan kredit tidak sesuai perjanjian awalnya. Ini menimbulkan resiko adanya kredit
bermasalah (Non Performing Loan), yang bisa berujung pada kegagalan nasabah dalam
melakukan pembayaran utangnya pada Bank. Dalam prakteknya, beberapa kasus Non
Performing Loan karena penyalahgunaan kredit yang terjadi pada bank milik pemerintah
(Bank BUMN atau Bank BUMD) kemudian ditindaklanjuti dengan pengusutan kasus
korupsi. Ini karena diduga telah terjadi tindak pidana korupsi di dalamnya. Contohnya pada
yurisprudensi putusan Kasasi MA No.1144 K/Pid/2006 tanggal 13 September 2007 tentang
perkara kredit macet di PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. dimana, dalam putusan tersebut,
majelis kasasi memutus ECW Neloe (Dirut Bank Mandiri), I Wayan Pugeg (Direktur Risk
Management Bank Mandiri), M Sholeh Tasripan (EVP Coordinator
Corporate and Government Bank Mandiri) bersama-sama Edyson (Dirut PT Cipta Graha
Nusantara) telah melanggar ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) UU Korupsi jo Pasal 55 ayat (1)
ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Akibat hukum dari adanya Non Performing Loan yang dipidana dengan pemidanaan korupsi,
maka mekanisme pengembalian aset tidak lagi menempuh cara-cara perdata biasa melainkan
melaui cara-cara pengembalian kerugian keuangan negara sebagaimana yang diatur dalam
UU Pemberantasan Korupsi.

5
2. Hukuman Pidana Pokok, Hukuman Pidana Tambahan dan Hukuman Pidana
Subsider dalam Pidana Umum, Pidana Korupsi dan Perbankan.

Dalam KUHP (Kitab Undang Undang Hukum Pidana) hukuman dibedakan menjadi dua,
yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan. Pengaturan ini terdapat dalam Pasal 10
KUHP. Yang termasuk dalam hukuman pokok yaitu:

a. hukuman mati,
b. hukuman penjara,
c. hukuman kurungan,
d. hukuman denda.

Yang termasuk hukuman tambahan yaitu:

a. pencabutan beberapa hak tertentu,


b. perampasan barang yang tertentu,
c. pengumuman keputusan hakim.

Sedangkan mengenai definisi subsider, Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan


pengertian subsider adalah sebagai pengganti apabila hal pokok tidak terjadi. Dalam
kaitannya dengan pemidanaan maka hukuman kurungan dilaksanakan sebagai pengganti
hukuman denda apabila terhukum tidak membayarnya. Jadi, secara umum, pengertian
subsider/subsidair adalah pengganti.

Dalam artikel ini, contoh putusan yang diberikan adalah sebagai berikut :
“1. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa XYZ dengan pidana penjara selama 10
(sepuluh) tahun dan denda sebesar Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah)
subsider pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan;

6
2. Menghukum Terdakwa XYZ membayar uang penggantian kerugian keuangan negara
dalam hal ini PT Bank Negara BUMN sebesar UD 5000 subsider pidana kurungan
selama 3 (tiga) bulan.”

Dalam praktik, bunyi putusan dalam tindak pidana tidak menyebutkan kata “subsider”,
sebagai contoh Putusan Mahkamah Agung Nomor 939 K/Pid.Sus/2013 yang amarnya
berbunyi sebagai berikut :
“Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4
(empat) tahun dan denda sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dengan
ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan
selama 6 (enam) bulan.”

Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana khusus, karena itu ancaman pidananya juga
khusus tidak sebagaimana tindak pidana lainnya, yaitu meliputi hukuman mati, hukuman
penjara, hukuman kurungan dan hukuman denda (pidana pokok). Selain itu mungkin juga
dijatuhi beberapa pidana tambahan, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UU
Pemberantasan Tipikor yang menyebutkan sebagai berikut :

“Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum


Pidana, sebagai pidana tambahan adalah :
a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang
tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi,
termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu
pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;
b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebayak-banyaknya sama dengan harta
benda yag diperoleh dari tindak pidana korupsi;
c. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;

7
d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau
sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada
terpidana.”

Dalam beberapa perkara, beberapa jenis hukuman tersebut dapat dijatuhkan secara bersamaan
karena diancam secara kumulatif (yaitu hukuman penjara, hukuman denda, dan hukuman
pembayaran uang pengganti).

Dalam UU Perbankan terdapat  tiga belas macam tindak pidana yang diatur  mulai dari pasal
46 sampai dengan Pasal 50A. Ketiga belas tindak pidana itu dapat digolongkan ke dalam
empat macam:

1.       Tindak pidana yang berkaitan dengan perizinan, diatur dalam Pasal 46.
2.       Tindak Pidana yang berkaitan dengan rahasia bank, diatur dalam Pasal 47 ayat (1) ayat
(2) dan Pasal 47 A.
3.       Tindak pidana yang berkaitan dengan pengawasan dan pembinaan bank diatur dalam
pasal 8 ayat (1) dan ayat (2).
4.       Tindak pidana yang berkaitan dengan usaha bank diatur dalam pasal 49 ayat (1) huruf
a,b dan c, ayat (2) huruf a dan b, Pasal 50 dan Pasal 50A.
Hukuman dalam tindak pidana perbankan tidak mengenal hukuman uang pengganti
sebagaimana dikenal dalam hukuman pemidanaan tindak pidana korupsi, sehingga pada
dasarnya hukuman dalam tindak pidana perbankan tidak berbeda dengan jenis hukuman
dalam tindak pidana umum.

3. Hukuman Pidana Denda dan Pidana Pengganti dalam Tindak Pidana Umum, Tindak
Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Perbankan

Sebagaimana berlaku pada tindak pidana umumnya, pelaku tindak pidana korupsi dan tindak
pidana perbankan diancam dengan pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana Pokoknya

8
diatur sebagaimana dalam Pasal 10 KUHP, yaitu pidana mati, pidana penjara (seumur hidup
dan sementara waktu), pidana kurungan, dan pidana denda.

Mengenai pelaksanaan hukuman pidana denda tidak terdapat perbedaan dalam tindak pidana
umum, tindak pidana korupsi dan tindak pidana perbankan yakni mengikuti ketentuan Pasal
273 KUHAP yang menyebutkan :
(1) Jika putusan pengadilan menjatuhkan pidana denda, kepada terpidana diberikan jangka
waktu satu bulan untuk membayar denda tersebut kecuali dalam putusan acara
pemeriksaan cepat yang harus seketika dilunasi.
(2) Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1)
dapat diperpanjang untuk paling lama satu bulan.
(3) Jika putusan pengadilan juga menetapkan bahwa barang bukti dirampas untuk negara,
selain pengecualian sebagaimana tersebut pada Pasal 46, jaksa menguasakan benda
tersebut kepada kantor lelang negara dan dalam waktu tiga bulan untuk dijual lelang,
yang hasilnya dimasukkan ke kas negara untuk dan atas nama jaksa.
(4) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (3) dapat diperpanjang untuk paling
lama satu bulan.
Apabila hukuman pidana denda tidak dilaksanakan oleh terpidana sebagaimana jangka waktu
yang ditentukan dalam Pasal 273 KUHAP maka terpidana menjalani hukuman pidana
kurungan dengan jangka waktu yang telah ditentukan dalam putusan.

Aturan hukum mengenai denda secara umum adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 30 dan
Pasal 31 KUHP. Dimana dengan memperhatikan ketentuan aturan denda dalam KUHP
tersebut maka diperoleh konstruksi hukum sebagai berikut:
- Jika pidana denda tidak dibayar, ia diganti dengan pidana kurungan . Dengan
konstruksi tersebut maka jika pembayaran uang denda tidak dibayar terpidana maka
diganti dengan pidana kurungan dan jika pidana kurungan tersebut telah dijalani
terpidana maka konsekuensi lebih lanjutnya, uang denda tersebut menjadi hapus.

9
- Terpidana berwenang membebaskan dirinya dari pidana kurungan pengganti dengan
membayar dendanya. Dengan konstruksi tersebut maka jika uang denda tersebut
dibayar, pidana kurungan tersebut tidak perlu dijalani.

Untuk pidana tambahan, dalam tindak pidana perbankan tidak diatur lebih lanjut dalam
undang-undang perbankan sehingga pelaksanaannya sama dengan tindak pidana umum,
sedangkan untuk pidana tambahan dalam tindak pidana korupsi diatur lebih detail dalam UU
Pemberantasan Tipikor. Salah satu jenis pidana tambahan adalah pembayaran uang
pengganti sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UU Pemberantasan Tipikor. Pidana tambahan
dalam tindak pidana Korupsi lain dapat berupa:
a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak
bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk
perusahaan milik terpidana tempat tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari
barang yang menggantikan barang-barang tersebut;
b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta
yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;
d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau
sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada
terpidana;
e. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan
sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, harta
bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut;
f. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar
uang pengganti, dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman
maksimal dari pidana pokoknya sesuai ketentuan UU Pemberantasan Tipikor dan
lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

10
Adapun bunyi selengkapnya pasal 18 UU Pemberantasan Tipikor adalah sebagai berikut :
(1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, sebagai pidana tambahan adalah :

a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang
tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana
korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi
dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;
b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebayak-banyaknya sama dengan
harta benda yag diperoleh dari tindak pidana korupsi;
c. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu)
tahun;
d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau
sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah
kepada terpidana.
(2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan
dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
(3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar
uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan
pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya
sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah
ditentukan dalam putusan pengadilan.”

Berdasarkan jabaran di atas dapat dipahami bahwa karena pembayaran uang pengganti
merupakan pidana tambahan, maka penjatuhannya tidak mungkin secara mandiri, melainkan
selalu mengikuti pidana pokok.

11
Dalam hal hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti maka
terpidana diberi tenggang waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan berkekuatan
hukum tetap untuk melunasinya. Jika dalam waktu yang ditentukan tersebut telah habis maka
jaksa sebagai eksekutor dapat menyita dan melelang barang benda terpidana (Pasal 18 ayat
(2) UU Pemberantasan Tipikor).

Jaksa tidak dapat memperpanjang batas waktu terpidana untuk membayar uang penggantinya
seperti pidana denda yang diatur pada pasal 273 ayat (2) KUHAP. Pidana pembayaran uang
pengganti dan pidana denda memiliki sifat yang berbeda, hal ini dapat dilihat bahwasanya
pidana uang pengganti merupakan pidana tambahan sedangkan pidana denda merupakan
pidana pokok. Walaupun jaksa tidak dapat memperpanjang tenggang waktu pembayaran
pidana uang pengganti tetapi mengingat bunyi Pasal 18 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor
maka jaksa masih dapat menentukan tahapan pembayaran uang pengganti, tetapi tidak
melebih tenggang waktu satu bulan tersebut.

Materi pasal 18 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor dijumpai kata “....harta bendanya dapat
disita dan dilelang....” harta benda yang dimaksud disini adalah harta benda milik terpidana
yang bukan harta benda hasil dari tindak pidana korupsi dan/atau harta benda kepunyaan
terpidana yang bukan digunakan untuk melakukan tindak pidana, karena jika memang
terbukti disidang pengadilan harta benda kepunyaan terpidana tersebut merupakan harta
benda korupsi, maka harta tersebut dirampas dengan menggunakan pidana perampasan sesuai
pasal 18 ayat (1) huruf b UU Pemberantasan Tipikor.

Pasal 18 ayat (3) UU Pemberantasan Tipikor menentukan dalam hal terpidana tidak
mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti dalam tenggang
waktu yang ditentukan ayat (2) maka terpidana dipidana penjara yang lamanya tidak melebihi
ancaman maksimal pidana pokoknya dan pidana tersebut sudah dicantumkan dalam putusan.
Pidana subsider penjara dalam pasal tersebut terdapat tiga syarat :

12
1. Pidana subsider baru berlaku dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang
mencukupi untuk membayar uang pengganti. Terpidana dalam waktu 1 (satu) bulan
setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap ternyata tidak mempunyai lagi uang
tunai untuk membayar uang pengganti, juga hasil lelang dari harta bendanya tidak
mencukupi untuk membayar uang pengganti.
2. Lamanya pidana penjara pengganti tidak melebihi ancaman pidana maksimum dari pasal
UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3. Lamanya pidana penjara pengganti telah ditentukan dalam putusan pengadilan. Dengan
adanya ketentuan tersebut maka juga menjadi kewajiban hakim dalam putusan untuk
mencantumkan pidana pengganti ini menghindari apabila uang pengganti tidak dapat
dibayar seluruh atau sebagian.

4. Upaya Pengembalian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi

UU Pemberantasan Tipikor, melalui Pasal 18 ayat (2), memang menetapkan jangka waktu
yang sangat singkat yakni 1 (satu) bulan bagi terpidana untuk melunasi pidana uang
pengganti, selain itu juga menyediakan cadangan pidana berupa penyitaan harta terpidana
yang kemudian akan dilelang untuk memenuhi uang pengganti.

Pidana Subsider atau pidana kurungan pengganti sangat dihindari dalam rangka
menggantikan pidana uang pengganti bagi Terdakwa perkara korupsi yang telah terbukti dan
menyakinkan melakukan tindak pidana korupsi. Karena pada dasarnya terdakwa yang
terbukti melakukan korupsi wajib mengembalikan uang hasil korupsi sebagai cara untuk
memulihkan kerugian negara. Pidana penjara subsider dapat menutup kesempatan negara
untuk memperoleh kembali kerugian akibat korupsi. Mahkamah Agung (MA) contohnya
dalam banyak putusan hanya menjatuhkan uang pengganti tanpa pidana penjara subsider
sebagai cara untuk memaksa terdakwa mengembalikan uang Negara.1

1
Kebijakan Peradilan, Sambutan Ketua MA pada Rakernas MA di Makassar September
2007

13
Pidana penjara subsider dapat dijatuhkan terhadap korupsi dengan jumlah kerugian negara
yang kecil, atau karena keadaan tertentu terdakwa tidak mungkin membayar. Apabila karena
ketentuan hukum harus ada pidana penjara subsider maka pidana kurungan pengganti
tersebut harus diperberat.2

Mahkamah Agung berpendirian, eksekusi uang pengganti tidak memerlukan gugatan


tersendiri. Pidana uang pengganti adalah satu kesatuan putusan pidana yang dijatuhkan
majelis hakim. Wewenang eksekusi setiap putusan pidana ada pada Jaksa Penuntut Umum,
termasuk pidana uang pengganti. Apabila eksekusi uang pengganti menggunakan gugatan
tersendiri maka akan bertentangan dengan pelaksanaan pemidanaan.3

Uang pengganti bukan utang terdakwa (terpidana). Tidak ada hubungan keperdataan antara
terdakwa (terpidana) yang telah merugikan negara sehingga negara perlu menggugat secara
keperdataan baik atas dasar wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. Pidana uang
pengganti adalah putusan hakim yang wajib serta merta dilaksanakan oleh Jaksa Penuntut
Umum. Setiap kekayaan terdakwa dapat dikuasai negara untuk membayar uang pengganti.4

Dalam perkara korupsi sebagaimana diatur UU Pemberantasan Tipikor diatur mengenai


pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi baik melalui jalur keperdataan (civil
procedure) berupa gugatan perdata maupun jalur kepidanaan (criminal procedure).
Pengembalian aset (asset recovery) pelaku tindak pidana korupsi melalui gugatan perdata
secara runtun diatur dalam ketentuan Pasal 32 , Pasal 33 dan Pasal 34 serta Pasal 38C UU
Pemberantasan Tipikor.

2
Ibid.
3
Ibid.
4
Ibid.

14
Pasal 32 ayat (1)
“Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak
pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian
keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan
tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan
kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan.”

Pasal 32 ayat (2)


“Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapus hak untuk menuntut
kerugian terhadap keuangan negara.”

Pasal 33
“Dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara
nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas
perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada
instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.”

Pasal 34
“Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang
pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian negara, maka penuntut umum
segera menyerahkan salinan berkas acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara
atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap
ahli warisnya.”

Pasal 38 C
“Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang
pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian negara, maka penuntut umum
segera menyerahkan salinan berkas acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara

15
atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap
ahli warisnya.”

Ketentuan-ketentuan sebagaimana tersebut di atas memberikan kewenangan kepada Jaksa


Pengacara Negara atau instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan perdata kepada
terpidana dan atau ahli warisnya baik ditingkat penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di
sidang pengadilan.

Apabila diperinci pengembalian aset dari jalur kepidanaan ini dilakukan melalui proses
persidangan dimana hakim di samping menjatuhkan pidana pokok juga dapat menjatuhkan
pidana tambahan. Pidana tambahan dapat dijatuhkan hakim dalam kapasitasnya yang
berkorelasi dengan pengembalian aset melalui prosedur pidana ini dapat berupa :

1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau barang yang tidak
bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk
perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga
dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut. (Pasal 18 ayat (1) huruf a UU
Pemberantasan Tipikor).
2. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta
benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Jika terpidana tidak membayar uang
pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b paling lama dalam
waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti
tersebut. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta yang mencukupi untuk membayar
uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan
pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya
sesuai dengan ketentuan dalam UU Pemberantasan Tipikor, lamanya pidana tersebut
sudah ditentukan dalam putusan pengadilan. (Pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2), ayat (3)
UU Pemberantasan Tipikor).

16
3. Pidana denda dimana aspek ini dalam UU Pemberantasan Tipikor mempergunakan
perumusan sanksi pidana (strafsoort) bersifat kumulatif (pidana penjara dan atau pidana
denda) dan kumulatif-alternatif (pidana penjara dan atau pidana denda).
4. Penetapan perampasan barang-barang yang telah disita dalam hal terdakwa meninggal
dunia (peradilan in absentia) sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup
kuat bahwa pelaku telah melakukan tindak pidana korupsi. Penetapan hakim atas
perampasan ini tidak dapat dimohonkan upaya hukum banding dan setiap orang yang
berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan
penetapan tersebut dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
pengumuman. (Pasal 38 ayat (5), (6), (7) UU Pemberantasan Tipikor).
5. Putusan perampasan harta benda untuk negara dalam hal terdakwa tidak dapat
membuktikan bahwa harta benda tersebut diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi
yang dituntut oleh Penuntut Umum pada saat membacakan tuntutan dalam perkara
pokok. (Pasal 38B ayat (2), (3) UU Pemberantasan Tipikor).

Selain melalui jalur kepidanaan dan jalur keperdataan maka dalam praktik peradilan lazim
juga terjadi pelaku melakukan tindakan lain berupa pengembalian aset yang diduga berasal
dari tindak pidana korupsi dimana modus operandi pengembalian tersebut dilakukan secara
sukarela. Misalnya dalam praktik terjadi dalam perkara Abdullah Puteh sebagaimana telah
diputus Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor: 1344 K/Pid/2005.

5. Ketentuan Pemberian Remisi Bagi Terpidana

Undang-Undang Dasar 1945, baik dalam pembukaan maupun dalam batang tubuhnya
menyebutkan secara tegas bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. Pemasyarakatan
adalah bagian dari sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) yaitu
sebagai penegak hukum yang mempunyai tugas pokok melaksanakan pembinaan narapidana
sebagai bagian akhir dari sistem pemindaan.

17
Aturan dasar yang mengatur pemberian remisi bagi narapidana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Selain itu pemberian remisi bagi narapidana
di Lembaga Pemasyarakatan diatur dalam beberapa peraturan antara lain : Keputusan
Presiden RI Nomor 174 tahun 1999 tentang Jenis-jenis Remisi berikut besarannya, Keputusan
Menteri Hukum dan Peraturan Perundang-undangan No.M.09.HN.02.01 tahun 2000 tentang
Remisi Tambahan bagi Narapidana dan Anak Didik, Keputusan Menteri Kehakiman dan
HAM RI No. M.03-PS.01.04 tahun 2000 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Remisi
Bagi Narapidana yang Menjalani Pidana Penjara Seumur Hidup menjadi Pidana Penjara
Sementara dan Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Peraturan
Pemerintah No. 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan.

Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Peraturan Pemerintah
No. 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan, telah memberikan batasan-batasan diberikannya remisi khusus untuk tindak
pidana antara lain: tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, korupsi,
kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta
kejahatan transnasional terorganisasi lainnya yang dianggap merupakan kejahatan luar biasa
karena mengakibatkan kerugian yang besar bagi negara atau masyarakat,

Khusus dalam batasan remisi bagi terpidana korupsi adalah terpidana korupsi tidak akan
mendapatkan remisi sampai dengan dibayarkannya hukuman pidana uang denda dan
hukuman pidana uang pengganti sebagaimana terlihat dalam pasal 34 dan Pasal 34 A ayat (1)
Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Peraturan Pemerintah
No. 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan sebagai berikut:

Pasal 34
(1) Setiap Narapidana dan Anak Pidana berhak mendapatkan Remisi.

18
(2) Remisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada Narapidana dan
Anak Pidana yang telah memenuhi syarat:
a. berkelakuan baik; dan
b. telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan.
(3) Persyaratan berkelakuan baik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dibuktikan
dengan:
a. tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 6 (enam) bulan
terakhir, terhitung sebelum tanggal pemberian Remisi; dan
b. telah mengikuti program pembinaan yang diselenggarakan oleh LAPAS dengan
predikat baik.

Pasal 34 A ayat (1)

(1) Pemberian Remisi bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana
terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap
keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan
transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 juga harus memenuhi persyaratan:
a. bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara
tindak pidana yang dilakukannya;
b. telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan
pengadilan untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana
korupsi; dan
c. telah mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh LAPAS dan/atau
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, serta menyatakan ikrar :
1) kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi
Narapidana Warga Negara Indonesia, atau
2) tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis bagi
Narapidana Warga Negara Asing,

19
yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme.

Apabila terpidana korupsi tidak membayar hukuman pidana uang pengganti maka terpidana
menjalani hukuman subsider berupa pidana penjara yang lamanya telah ditentukan dalam
putusan dan untuk hukuman pidana denda apabila terpidana tidak membayarnya maka
terpidana korupsi menjalani hukuman pidana subsider berupa pidana kurungan dengan
ketentuan terpidana korupsi tidak mendapatkan remisi sebagaimana diatur dalam Pasal 34
dan 34 A ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua
Peraturan Pemerintah No. 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak
Warga Binaan Pemasyarakatan.

20
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut :
1. Dalam kaitannya dengan pemidanaan maka hukuman kurungan dilaksanakan sebagai
pengganti hukuman denda apabila terpidana tidak membayarnya sedangkan terhadap
hukuman pidana uang pengganti dalam tindak pidana korupsi apabila terpidana tidak
membayarnya maka diganti dengan hukuman penjara yang mana lamanya ditentukan
dalam putusan pengadilan. Jadi, secara umum, pengertian hukuman pidana subsider
adalah hukuman pengganti.

2. Apabila hukuman pidana denda tidak dilaksanakan oleh terpidana maka terpidana
menjalani hukuman pidana pengganti sebagaimana ketentuan Pasal 273 KUHAP,
Pasal 30 dan Pasal 31 KUHP.

3. Terhadap pelaksanaan hukuman pidana akibat tidak dibayarnya hukuman pidana


denda, maka tidak terdapat perbedaan antara tindak pidana umum, tindak pidana
korupsi dan tindak pidana perbankan. Dalam hal tidak dibayarnya uang pengganti
dalam jangka waktu yang telah ditentukan yakni 1 (satu) bulan setelah putusan
memperoleh kekuatan hukum tetap, maka dalam tindak pidana korupsi, Jaksa menyita
terlebih dahulu harta benda dari terpidana korupsi untuk dilelang (sebagaimana Pasal
18 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor), apabila harta benda terpidana korupsi tidak
mencukupi untuk membayar pidana uang pengganti, barulah hukuman pengganti
berupa pidana penjara dilaksanakan (sebagaimana Pasal 18 ayat (3) UU
Pemberantasan Tipikor).

4. Jika melihat dari batasan rumusan contoh putusan dalam artikel ini yang menyebutkan

21
“1. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa XYZ dengan pidana penjara selama 10
(sepuluh) tahun dan denda sebesar Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah)
subsider pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan;
2. Menghukum Terdakwa XYZ membayar uang penggantian kerugian keuangan
negara dalam hal ini PT Bank Negara BUMN sebesar USD 5000 subsider
pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan”
Maka dapat disimpulkan apabila Terdakwa XYZ tidak membayar hukuman pidana
denda sebesar Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) maka Terdakwa XYZ
menjalani hukuman pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan dan apabila Terdakwa
XYZ tidak membayar uang penggantian kerugian keuangan negara sebesar USD
5.000 maka Terdakwa XYZ menjalani pidana penjara selama 3 (tiga) bulan. Dengan
demikian hukuman yang dijalani oleh Terdakwa XYZ adalah pidana 10 (sepuluh)
tahun ditambah dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan (akibat tidak dibayar
denda) dan akibat tidak dibayat uang pengganti selama 3 (tiga) bulan, sehingga
hukuman keseluruhan yang dijalani oleh Terdakwa XYZ adalah 10 (sepuluh) tahun
pidana penjara ditambat 3 bulan pidana penjara dan tiga bulan pidana kurungan.
Adapun pidana kurungan 3 bulan baru dilaksanakan setelah pidana penjara 10
(sepuluh) tahun dan pidana penjara 3 bulan selesai dilaksanakan.

5. Sebagaimana ketentuan pasal 273 KUHAP dan Pasal 30 dan 31 KUHP maka
pembayaran pidana denda dapat dilakukan oleh terpidana secara sukarela sejak
putusan berkekuatan hukum tetap.

6. Pembayaran hukuman pidana dendan mengikuti ketentuan Pasal 273 KUHAP yang
menentukan terpidana diberikan jangka waktu satu bulan untuk membayar denda
tersebut kecuali dalam putusan acara pemeriksaan cepat yang harus dilunasi seketika,
jika terdapat alasan kuat jangka waktu untuk pembayaran denda dapat diperpanjang
untuk paling lama satu bulan.

22
7. Akibat hukum dari adanya Non Performing Loan yang dipidana dengan pemidanaan
korupsi, maka mekanisme pengembalian aset tidak lagi menempuh cara-cara perdata
biasa melainkan melalui cara-cara pengembalian kerugian keuangan negara
sebagaimana yang diatur dalam UU Pemberantasan Tipikor.
Dalam perkara korupsi sebagaimana diatur UU Pemberantasan Tipikor diatur
mengenai pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi baik melalui jalur
keperdataan (civil procedure) berupa gugatan perdata maupun jalur kepidanaan
(criminal procedure). Pengembalian aset (asset recovery) pelaku tindak pidana
korupsi melalui gugatan perdata secara runtun diatur dalam ketentuan Pasal 32 , Pasal
33 dan Pasal 34 serta Pasal 38C UU Pemberantasan Tipikor.
Perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau barang yang
tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi,
termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu
pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut. (Pasal 18 ayat (1)
huruf a UU Pemberantasan Tipikor).
Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta
benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Jika terpidana tidak membayar uang
pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b paling lama dalam
waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang
pengganti tersebut. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta yang mencukupi
untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka
dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum
dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam UU Pemberantasan Tipikor,
lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan. (Pasal 18 ayat
(1) huruf b, ayat (2), ayat (3) UU Pemberantasan Tipikor).
Jika kemudian ternyata upaya pengembalian kerugian keuangan negara sebagaimana
ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor tidak mencukupi
untuk membayar pidana uang pengganti, maka terpidana korupsi dipidana penjara

23
yang lamanya sudah ditentukan dalam putusan pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap.
Dalam kasus legal opini ini adalah jika Terdakwa XYZ seluruh harta bendanya tidak
mencukupi untuk membayar uang pengganti sebesar USD 5.000 maka Terdakwa
XYZ menggantinya dengan menjalani pidana penjara selama 3 (tiga) bulan.

8. Apabila terpidana korupsi tidak membayar hukuman pidana uang pengganti maka
terpidana korupsi menjalani hukuman pengganti berupa hukuman pidana penjara yang
lamanya telah ditentukan dalam putusan sedangkan terhadap hukuman pidana denda,
apabila terpidana korupsi tidak membayarnya maka terpidana korupsi menjalani
hukuman kurungan yang lamanya telah ditentukan dalam putusan pengadilan, dengan
ketentuan terpidana korupsi tidak mendapatkan remisi sebagaimana diatur dalam
Pasal 34 dan 34 A ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 tentang
Perubahan Kedua Peraturan Pemerintah No. 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata
Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

24

Anda mungkin juga menyukai