Anda di halaman 1dari 14

Nama : Muhammad Rechanda Haidir Madan

NPM : 2206010922
Kelas : Hukum Tata Negara/Sore
Mata Kuliah : Peradilan Konstitusi
TUGAS RINGKASAN
BUKU MODEL-MODEL PENGUJIAN KONSTITUSIONAL DI BERBAFAI NEGARA

Sejarah “institusi” yang berperan melakukan kegitan “constitutional review” didunia


berkembang pesat memalui tahap-tahap pengalaman yang beragam setiap negara. Ada
yang melembagakan fusngsi pengujian konstitusional itu dalam lembaga tersendiri bernama
Mahkamah Konstitusi. Ada pula yang mengaitkan fungsi pengujian itu kepada lembaga yang
sudah ada, yaitu Mahkamah Agung. Ada pula yang memberikan tugas untuk menjalakan
fungsi pengujian itu kepada badan-badan khusus dalam kerangka lembaga-lembaga lain
seperti badan-badan pengadilan yang sudah ada; dan ada pula yang tidak menerima adanya
fungsi pengujiam semacam itu sama sekali

Pekembangan abad ke-19

Diantara para sarjana, ada saja yang suka mengaitkan sejarah perkembangan
sesuatu dengan latarbelakang yang sangat jauh ke belakang, misalnya dengan sejarah masa
Yunani Kuno. Padahal, perkembangan ide yang dipersoalkan kadang-kadang memang
diketahui baru tumbuh di zaman modrn sekarang. Ide “contitusional review” ini pun tidak
luput dari kebiasaan untuk mengaitkannya dengan perkembangan dimasa kerjaan Athena
kuno. Oleh Mauro Cappelictti, misalnya, digambarkan bahwa sistem hukum Yunani kuno, di
kerjaan Athena, memang membedakan anatara “nomos” dengan “psephima” yang kurang
lebih dizaman sekarang mencerminkan perbedaan anatara ‘constitutinal law’ dengan
‘dercee’. Pada masa itu, satu prinsip dasar diterapkan dengan tegas bahwa ‘psephisma’
(decree), apapun isinya, tidak boleh bertentangan dengan ‘nomoi’, baik dalam bentuknya
ataupun substansinya.

Beberapa elemen dari mekanisme yang kemudian disebut sebagai ‘contitutional


review’ ataupun ‘judicial review’ dapat pula ditelusuri kedalam praktek yang diterapkan di
Kerjaan Jerman pada sekitar tahun 1180. Pada mulanya, lembaga peradilan berurusan
dengan persoalan sengketa kewenangan diantara para individu penguasa, dan Sebagian
bahkan berkenaan dengan pelanggaran hak-hak individu.

Di perancis perkembangan gagasan yang kemudian disebut sebagai ‘judicial review’


atau ‘constitutional review’ ini juga mendapat perhatian yang cukup luas pada sekitar abad
ke-18. Karena kuatnya oengaruh ide-ide kebebasan yang tumbuh menjelang dan sesudah
pecahnya revolusi Perancis.

Bahkan pada tahun 1784 montesque sendiri yang sebenarnya adalah seorang hakim
dengan penuh keyakinan mengusulkan gagasan pemisahan kekuasaan negara secara ketat,
meskipun hal itu menyebabkan lembaga kehakiman turun wibawa menajdi “inanimate
being”, sekedar “bouche de la loi”. Bagi Montesquieu, lembaga pengadilan bukanlah “a true
and legitimate power of government like the legislature, but merely a subordinate
appendage”. Pandangan yang cenderung merehkan pengadilan ini didukung pula oleh
dominannya pengaruh J.J. Rousscau yang menganggap bahwa kehendak seluruh rakyat itu
menjelma hanya melalui proses legislasi yang ditetapkan oleh para wakil rakyat yang duduk
di parlemen baru.

Dalam perkembangan selanjutnya, sejarah ketatanegaraan Perancis sampai sekarang


tidak pernah sunyi dari perdebatan terus menerus mengenai gagasan ‘judical review’ ini.
Perdebatan konseptual terus berlangsung diantara kelompok yang mengutamakan prinsip
“supremasi parlemen” dengan mereka yang mengutamakan prinsip “supremasi konstitusi”.

Sesudah perkembangan di Perancis samapai awal dan pertengahan abad ke-19,


proyek ‘constitutional reviw’ atau ‘judicial review’ yang lebih serius lagi didaratan Eropa
muncul pula dalam berbagai konstitusi dinegara-negara Norwegia, Denmark, dan Yunani
(Greece). Namun, perkembangan pada abad ke-19 di beberapa negara-negara tersebut,
dapat dikatakan mulai terkait dengan pengaruh perkembangan yang terjadi di Amerika
Serikat yang pada tahun 1803, di sentakan oleh putusan yang sangat kontroversial dan
mengundang perdebatan yang sangat luas diantara para politisi dan ahli hukum, yaitu
putusan Mahkamah Agung atas perkara Marbury vs Madison.

Kasus Marbury vs Madison di Amerika Serikat (1830)


Adalah John Marshall yang berperan penting dalam penyelesaian kasus Marbury vs
Madison (1830) dengan memperkenalkan mekanisme ‘contitutional review’ atau ‘judicial
review’ ini pertama kali dalam praktek peradilan di Amerika Serikat. Semula, Hohn Marshall
adalah menjabat sebagai Secretary of State dalam Pemerintahan Presiden John Adamsyang
dikenal sebagai tokoh The Federalist (Partai Federal).

Dalam pemilihan umum tahun 1800 untuk masa jabatan kedunya, John Adams
dikalahkan oleh Thomas Jefferson dari Partai Democratic-Republic, Setelah kalah, dalam
masa peralihan untuk serah terima jabatan dengan Presiden terpilih Thomas Jefferson, John
Adams membuat keputusan-keputusan diantaranya, menurut para pengeritiknya
dimaksudkan untuk menyelamatkan sahabat-sahabatnya sendiri supaya mendapatkan
kedudukan-kedudukan yang penting. Termasuk , Secretary of State John Marshall diangkat
menjadi ketua Mahkamah Agung (Chief Justice).

Bahkan sampai menjelang jam 00:00 tengah malam tanggal 3 Maret 1801, masa
peralihan pemerintahan ke presiden baru. Presiden John Adams, dengan dibantu oleh John
Marshall yang kerika iru sudah resmimenjadi Ketua MA dengan tetap merangkap sebagai
Secretary of State, masih terus menyiapkan dan mendatangi surat-surat pengangkatan
pejabat, termasuk beberapa orang diangkat menjadi duta besar hakim. Diantara mereka itu
adalah William Marbury, Dennis Ramsay, Robert Townsend Hooe, dan William Harper yang
diangkat menjadi hakim perdamaian (justices of peace).

Sayangnya, kopi surat pengangkatan mereka tidak sempat lagi diserahterimakan


sebagaimana mestinya. Pada keesokan harinya, tanggal 1 Maret 1801, surat-surat tersebut
masih berada dikantor kepresidenan. Karena itu, ketika Thomas Jefferson sebagai Presiden
baru mulai bekerja pada hari pertama, surat-surat tersebut ditahan oleh James Madison
yang diangkat oleh Presiden Thomas Jefferson sebagai the Secretary of State menggantikan
John Marshall.

Atas dasar penahanan surat itulah maka William Marbury dan kawan-kawan melalui
kuasa hukum mereka, yaitu Charles Lee yang dikenal sebagai mantan Jaksa Agung Federal,
mengajukan tuntutan langsung ke MA yang dipimpin oleh John Marshall agar sesuai dengan
kewenangannya memerintahkan Pemerintahan melaksanakan tugas yang dikenal sebagai
‘writ of mandamus’ dalam rangka penyerahan surat-surat pengangkatan tersebut.
Karena, pengangkatan mereka menjadi hakim telah mendapatkan persetujuan
Kongres sebagaimana mestinya dan pengangkatn itu telah pula dituangkan dalam
keputusan Presiden yang telah ditandatangani dan telah dicap resmi (sealed). Menurut para
pengugat melalui Charles Lee, berdasarkan Judiciary Act Tahun 1789, MA berwenang
memeriksa dan memutuskan perkara yang mereka ajukan serta mengeluarkan ‘writ of
mandamus’ yang mereka tuntut. Tetapi, Pemerintahan Jefferson tetap menolak pula
memberikan keterangan yang diminta oleh MA agar Pemerintah menunjukan bukti-bukti
mengapa menurut Pemerintah ‘the writ of mandamus’ seperti yang didalihkan didalihkan
penggugat tidak dapat dikeluarkan. Malah sebaliknya, Kongres yang dikuasi oleh kaum
Republik yang berpihak kepada Pemerintah Thomas Jefferson mengesahkan undang-undang
yang menunda semua persidangan Mahkamah Agung selama lebih dari 1 tahun.

Pada persidangan yang diadakan kemudian pada bulan Februari 1803, kasus
Marbury vs Madison ini kembali menajdi pusat perhatian. Pro kontra muncul dalam
masyarakat Amerika Serikat mengenai hal ini. Bahkan dari Pemerintahan dan Kongres
muncul komentar-komentar yang pada pokoknya tidak berpihak kepada penggugat.

Tetapi, dalam putusan yang ditulis sendiri oleh John Marshall, jelas sekali MA
membenarkan bahwa pemerintahan John Adams telah melakukan semua persyaratan yang
ditentukan oleh hukum sehingga William Marbury dan kawan-kawan dianggap memang
berhak atas surat-surat pengangkatan mereka itu menurut hukum. Namun, MA sendiri
dalam putusannya menyatakan tidak berwenang memerintahkan keapda aparat pemerintah
untuk menyerahkan surat-surat yang dimaksud. MA sendiri menyatakan bahwa apa yang
diminta oleh penggugat, yaitu agar MA mengeluarkan ‘writ of mandamus’ sebagaimana
ditentukan oleh Section 3 dari Judiciary Act itu sendiri justru bertentangan dengan Article III
Section 2 Konstitusi Amerika Serikat.

Oleh karena itu, dalil yang di pakai oleh Mahkamah Agung dibawah pimpinan Chief
Justice John Marshall untuk memeriksa perkara Marbury vs Madison itu, bukanlah melalui
pintu Judiciary Act 1789 tersebut, melalui kewenangan yang ditafsirkannya dari konstitusi.
Dari sinilah kemudian berkembang pengertian bahwa MA pada pokoknya merupakan
lembaga pengawal Konstitusi (the Guardian of the Constitution of the United States of
America) yang bertanggung jawab menjamin agar norma dasar yang terkandung didalamnya
sungguh-sungguh ditaati dan dilaksanakan. Dengan sendirinya, menurut John Marshall,
segala undang-undang buatan Kongres, apabila bertentangan dengan konstitusi sebagai ‘the
supreme law of the land’ harus dinyatakan ‘null and void’. Kewenangan inilah yang
kemudian dikenal sebagai doktrin ‘judicial review’ sebagai sesuatu yang sama sekali baru
dalam perkembangan sejarah hukum di Amerika Serikat sendiri dan juga didunia. Dengan
putusan itu, maka meskipun dalam pertimbangannya membenarkan bahwa hak Marbury
dan kawan-kawan adalah sah menurut hukum, tetapi gugatan Marbury dan kawan-kawan
ditolak karena MA menyatakan tidak berwenang mengeluarkan ‘writ of mandamus’ itu
sendiri yang dinilai oleh MA bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, yaitu tepatnya
bertentangan dengan ketentuan Section 2 Article III UUD Amerika Serikat.

Kewenangan untuk membatalkan undang-undang ini sama sekali tidak termaktub


dalam UUD, karena itu merupakan sesuatu yang sama sekali baru bahkan dalam sejarah
hukum di dunia.

Pertengahan Abad Ke-19 dan Awal Abad Ke-20

Sebagaimana akibat kontroversi ‘judicial review’ yang luas mengenai keputusan Chief
Justice John Marshall dam kasus Marbury vs Madison (1803), perdebatan pemikiran hukum
mengenai soal ini juga berpengaruh sampai ke daratan eropa. Para ahli hukum di Inggris,
Austia, Jerman, Italia, dan Perancis terlibat sangat aktif mendiskusikan fenomena putusan
John Marshall.

Memang telah lama diterima sebagai dogma bahwa pengadilan tidak boleh menolak
untuk menerapkan seuatu undang-undang, meskipun undang-undang itu dinilai
bertentangan dengan konstitusi. Namun, pada prinsip pemisahan kekuasaan memberikan
jalan keluar yang sama sekali berbeda. Pengadilan yang menolak untuk melaksanakan
undang-undang karena alasan undang-undang itu bertentangan dengan konstitusi, tidaklah
dapat disebut mencampuri urusan lembaga legislative. Keberadaan undang-undang yang
bersangkutan tidak disentuh oleh pengadilan, keberlakuanntya secara formal tidak
terganggu.

Pada akhir abad ke-19, George Jeliinek, ahli hukum kenamaan dari Austria
mengembangkan gagasan agar kepada MA dapat ditambahkan kewenangan untuk
melakukan ‘judicial review’ seperti yang dipraktekan John Marshall. Pada Tahun 1867, MA
Austria mendapatkan kewenangan baru untuk menangani sengketa juridis yang
berhubungan dengan perlindungan atas hak-hak pollitik individu warga negara vis-à-vis
berhadapan dengan pemerintah (public administration).

Sebaliknya, pengadilan negara-negara bagian membuat berbagai putusan berkenaan


dengan ‘constirutional complaints’ (Staatliche Verfassungsbeschwerde). Perkembangan yang
terjadi ini pulalah yang selanjutnya makin mendorong lahirnya ide Prof. Hans Kelsen untuk
membentuk mahkamah yang berdiri sendiri diluar MA Federal Austria.

Bekebalikan dari perkembangan diatas, sistem hukum hukum modern di Inggris


justru tidak mengenal ‘constitutional review’ ataupun ‘judicial review’ sama sekali.
Perkembangan sejarah hukum Inggris memang mengandung berbagai elemen ‘contitutional
review’, misalnya prinsip supremasi konstitusi (the principle of the supremacy of the
Constitution). Prinsip ini bahkan sudah ditemukan sejak tahun 1610, dan dapat dikatakan
pengaruhnya sangat menentukan perkembangan tradisi hukum Inggris selanjutnya.

BERBAGAI MODEL PENGUJIAN KONSTITUSIONAL

1. Model Amerika Serikat

Model ”Judicial Review” menurut tradisi Amerika Serikat didasarkan ata pengalaman
Mahkamah Agung Amerika Serikat memutus perkara Marbury versus Madion pada tahun
1803. Dalam model ini, pengujian konstitusic-nalitas (constitutional! Review) dilakukan
sepenuhnya oleh Mahkamah Agung dengan status sebagai the Guardian of the Constitution.
Diamping itu, menurut doktrin yang kemudian biasa disebut sebagai doktrin yang kemudian
bia diebut sebagai doktrin Jhon Marshal! (John Marhall’s doctrine), ‘judical review’ juga
dilakukan atas persoalan-persoalan kontitunaliotas oleh emua pengadilan biaa melalui
prosedur yang dinamakan pengujian terdesentralisasi atau pengujian tersebar (a
desentralized or diffuse or dispered riview) di dalam perkara yang diperiksa di pengadilan
biasa (incidenter). Artinya, pengujian demikian itu, tidak bersifat institusional sebagai
perkara yang berdiri sendiri, melainkan termasuk di dalam perkara yang lain yang sedang
diperiksa oleh hakim dalam semua lapisan pengadilan.

2. Model Austria (Continental Model)

Model ‘Constitutional Riview’ ala Autria ini dapat diebut juga sebagai Contiental
Model yang didasarkan atas model yang dikembangkan berdasarkan pemikiran Hans
Kelsen pada tahun 1919-1920. Setelah idenya diadopi kedalam rumusan UUD pada
tahun 1930, Mahkamah Konstitusi (Verfassungsgerichtshof) yang pertama dibentuk
pada tahun 1920. Model ini menyangkut hubungan yang saling berkaitan antrara prinsip
supremasi parlemen (the principle of the supremacy of the Parlement). Asumsi dasarnya
adalah bahwa pemberlakuan prinsip ‘upremasi parlemen (the supremacy of the
parlement)

3. Model ‘Constitutional Council’ Perancis (Conseil Constitutionnel)

UUD Pranci tahun1958 menentukan adanya lembaga baru yang disebut ‘Coneil
Constitutionnel’, melengkapi lembaga peradilan tertinggi dibidang hukum adminitrasi
yang sudah ada sejak sebelumnya, yaitu “Conseil d’Etat”

4. Model Campuran Amerika dan Kontinental

Model campuran Amerika Serikat dan Eropa Kontinental dengan unur-unsur, baik
dari sistem yang tersebar dan sistem yang terkonsentrasi, tercampur dalam satu
kesatuan. Di sistem campuran ini, meskipun pengujiam konstitusional dilakukan
secara terpusat di MK atau MA, atau bahkan terpusat pada kamar tertentu dalam
badan peradilan yang ada, semua tingkatan pengadilan pun dapat menyampingkan
berlaku suatu undang-undang yang dinilai bertentang dengan konstitusi

5. Model Pengujian Oleh Special Chambers


Di eropa terdapat beberapa negara yang mempunyai model kelembagaan yang
tersendiri dalam menjalankan fungsi pengujian konstitusional ini. Negara-negara
yang dimaksud itu adalah Islandia, Liechtensteinn Monako, Kosovo, dan Belgia
dengan Mahkamah Arbitrasenya. Namun karena sifatnya agak unik, Saya cenderung
menempatkan Belgia sebagai negara yang mempraktekan model yang tersendiri
dalam rangka fungsi pengujian konstitusional.

6. Model Belgia
Badan peradilan tempat dimana fungsi pengujian kontitusionalitas itu dikaitkan
tumbuh dalam kerangka konsepsi arbitrase, maka dapat dikatakan model yang
dikembangkan oleh belgia ini agak berbeda dengan negara lainnya,. Sebenarnya
secara umum dapat dikatakan bahwa sistem hukum Belgia dipengaruhi oleh
Perancis, Belanda, dan Jerman.

7. Model Tanpa Judicial Review


Di Eropa, terdapat Kerajaan Inggris dan Kerajaan Belanda yang keduanya sama-sama
berpendirian yang mirip bagwa pengujian ‘judicial’ tidak seharusnya dilakukan
sehingga sampai sekarang mereka tidak mengadopsikan prosedur pengujian ini
kedalam sistem hukum nasional mereka. Demikian pula negara-negara yang
menganut paham komunisme di Eropa Timur, di Asia, dan beberapa negara Amerika
Selatan, semua tidak memiliki sistem pengujian konstitusionalitas oleh hakim atau
lembaga yang berkaitan dengan fungsi peradilan.
8. Model Legislative Review
Bisa saja di satu negara tidak dikenal adanya ‘judicial review’ dalam arti pengujian
konstitusionalitas oleh hakim, tapi justru menerapkan mekanisme pengujian oleh
lembaga legislatif, atau bahkan eksekutif. Salah satu contoh model negara seperti ini
adalah pengujian konstitusionalitas dilakukan oleh lembaga legislative atau badan-
badan yang terkait dengan cabang kekuasaan lagislatif.

9. Model Executive Review


Model ini pada pokoknya tidak mesti terkait dengan persoalan ‘constitutional
review’. Ia dapat saja terkait dan dikaitkan, dan dapat pula tidak terkait sama sekali.
Misalnya, Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah,
sebagaimana telah direvisi dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah, mengatur mengenai ketentuan pembatalan PERDA.
10. Model International Review
Model kesepuluh adalah ‘judical riview’ yang dilakukan oleh “International Judical
Institutions” yang diberi fungsi-fungsi tertentu dalam rangka ‘contitutional riview’.
Saya menganggap perlu menyebutkan model kesepuluh ini secara tersendiri, karena
kita tidak melepaskan diri dari arus perkembangan besar yang terjadi didalam teori
dan praktek ketatanegaraan dewasa ini. Salah satu fenomena penting yang
mempengaruhi ilmu hukum tata negara pada akhir abad ke-20 adalah munculnya
bentuk organisasi bernama European Community dan European Union.
TIGA MODEL UTAMA PENGUJIAN KONSTITUSIONAL

1. Amerika-Perancis-Austria
Sistem atau mekanisme ‘judicial review’ mengenai konstitusionalitas hukum
telah diterapkan kedalam praktek sejak lebih dari 200 tahun yang lalu di Amerika
Serikat, tetapi di Eropa hal ini baru sungguh-sungguh diterapkan secara luas setelah
Perang Dunia II. Karena perbedaan pengalaman sejarahnya masing-masing, maka
praktek yang diterapkan di Eropa itu banyak pula perbedaannya dengan apa yang
biasa dikembangkan di Amerika Serikat.
Jika pengujian konstitutsionalitas di Amerika Serikat dilakukan tersebar dan
terdesentralisasi di antara pengadilan dinegara bagian dan MA Federal, maka dalam
Model yang diterapkan di Eropa, pengujian itu dilakukan sangat tersentralisasi dan
terpusat hanya pada satu lembaga.
Dengan mengadakan perbandingan secara umum mengenai praktek di tiga
negara, yaitu Amerika Serikat, Perancis, dan Jerman dapat dikemukakan beberapa
permaan dan perbedaan anatara mekanisme peradilan konstitusional oleh MK dan
Dewan Konstitusi dengan yang diterapkan oleh MA Amerika Serikat.
Dalam hubungan ini berkembang juga kritik diantara para ahli mengenai
legitimasi lembaga-lembaga MK dan begitupun Dewan Konstitusi atau ‘Conseil
Contitutionel’ yang dkembangkan menurut tradisi Eropa
1) Model Kelsenian (the Kelsenian Model)
Para hakim di Eropa adalah pejabat karir yang tidak mungkin
membatalkan suatu undang-udang yang ditetapkan oleh parlemen.
Karena itu, untuk memastikan bahwa setiap undang-undang yabg
ditetapkan oleh parlemen itu tidak bertentangan dengan UUD, oleh Hans
Kelsen, di anggap penting untuk menciptakan satu badan khusus yang
berisi orang-orang yang ndependen yang sebagiannya berasal dari
kalangan akademisi.
2) Pengankatan dan Masa Jabatan Hakim
Baik di Perancis maupun di Jerman, para hakim konstitusi atau anngota
Dewan Konstitusi diangkat untuk satu kali masa jabatan, yaitu untuk
waktu 9 tahun Perancis dan 12 tahun di Jerman. Prosedur pengangkatan
itu murni bersifat politik. Di Perancis, Presiden Republik, Ketua Majelis
Nasional, dan Ketua Senat masing-masing mengajukan 1 orang untuk
menjadi anggota Dewan Konstitusi setiap 3 tahun sekali.
3) Pengujian Abstrak versus Kongkrit dan A Priori versus A Posteriori
Dewan Konstitusi Perancis diberi kewenangan untuk melakukan
pengujian undang-undang secara a priori atau bersifat preventif. Yang
berhak mengajukan permohonan untuk itu dibatasi hanya Presiden,
Perdana Menteri, Ketua Parlemen, Ketua Senat atau 60 orang anggota
parlemen atau senator. Dalam prakteknya diatas permukaan, perenan
Dewan Konstitusi Perancis ini dapat dikatakan mirip atau seolah
merupakan perluasan saja dari ruang persidangan parlemen. Inisiatif
perluasan persidangan itu datang dari mosi yang diajukan kelompok
minoritas yang kalah dalam pemungutan suara dalam rangka
pembentukan undang-undang tertentu.
4) Interpretasi Hukum dan Politik
Dalam sistem di Eropa, baik di Jerman maupun Perancis, para hakim
konstitusi ataupun councellor Dewan Konstitusi, tidak terlalu merasa
perlu terikat pada paham ‘orisinalisme’ dalam memahami norma-norma
dasar yang terkandung dalam UUD. Meskipin ketentuan dan prinsip-
prinsip dasar penafsiran yang dipergunakan di kedua negara tersebut
sama sekali berbeda, dan berlainan pula dengan apa yang berlaku di
Amerika Serikat tetapi beberapa elemen yang sama atau mirip, meskipun
hanya dalam substansinya, bukan dalam bentuknya, cukup banyak
terlihat disana-sini.

Mahkamah Agung Amerika Serikat

Mahkamah Agung Amerika Serikat adalah lembaga peradilan yang pertama kali
melakukan ‘judicial review’ terhadap undang-undang hasil kerja parlemen yang di Amerika
Serikat disebut Kongres, yaitu dalam putusannya atas kasus Marbury vs Madison pada
tahun 1803. Ketentuan UUD Amerika Serikat sendiri mengenai cabang kekuasaan
kehakiman diatur dalam Article III yang oleh para ahli disebut sebagai ketentuan mengenai
cabang kekuasaan yang lebih pendek dari ketiga cabang eksekutif, dan legislature, serta
judiciary dalam konstitusi Amerika Serikat

Mahkamah Kontitusi Austria

Mahkamah Konstitusi Austria didirikan pada tahun 1920 atas jasa Hans Kelsen.
Karena itu, Mahkamah Konstitusi Austria ini disebut ‘the Kelsenian Court’ dan menurut Alec
Stone, merupakan prototope model pengujian konstitusional di Eropa sebagai konsepsi yang
sama sekali bertolak belakang dari model yang dikembangkan di Amerika Serikat.
Mahkamah Konstitusi Austria inilah yang disebut sebagai MK pertama didunia, didesain oleh
Hans Kelsen sebagai lembaga peradilan khusus untuk menjamin agar konstitusi sebagai
hukum yang paling tinggi dapat ditegakan dalam praktek.

Susunan organisasinya terdiri dari 1 orang Ketua (Presiden) dan 1 orang Wakil Ketua,
12 orang Anggota (Mitglieder), dan 6 orang Anggota Pengganti (Ersatz-mitglierder). Semua
orang menyandang gelar sarjana hukum dengan minimum pengalaman dibidang profesi
hukum sekurang-kurangnya 10 tahun. Yang dipilih menjadi anggota ditentukan 3 orang
diantaranya, dan demikian pula 2 orang dari anggota pengganti diharuskan berdomisili di
luar kota Wina (Vienna).

Kewenangan Mahkamah

Tercatat 9 macam kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi Austria.


Yang terpenting di antaranya adalah pengujian konstitusionalitas undang-undang.
Kesembilan itu adalah:

1. Pengujian Konstitusionalitas Undang-Undang


Kewenangan untuk menguji konstitusional undang-undang tercatat sebagai
kewenangan yang paling pokok dan paling banyak jumlah kasusnya di MK Austria.
Yang diuji adalah norma umum dan abstrak yang terkandung, baik dalam bentuk UU
Federal atau konstitusi negara bagian. Pengujian kontitusionalitas tersebut dapat
dilakukan oleh MK secara ‘ex-officio’ ketika menghadapi suatu perkara yang lain atau
sebagai perkara secara tersendiri atas permintaan pemohon. Permohanan dapat
diajukan oleh lembaga negara ataypun individu warga negara. Di MK Austria sendiri,
jenis permohonan uji konstitusionalitas undang-undang oleh individu warga negara
ini, menurut Herbert Hausmaniger tergolong baru, yaitu baru diadopsi pada tahun
1975 dari praktek MK Jerman.
2. Pengujian Legalitas Peraturan di bawah UU
Berdasarkan article 139 Konstitusi Austria, peraturan yang ditetapkan oleh
pemerintah federal dapat dinyatakan ‘tidak sah’ oleh MK atas permintaan lembaga
atau perorangan warga negara. Disamping itu MK juga diberi kewenangan untuk
bertindak secara ‘ex-officio’ atas inisiatif sendiri, yaitu atas dasar alasan
‘prejudiciality’, yaitu manakala Mahkamah harus menguji peraturan yang
bersangkutan pada saat menangani suatu perkara lain yang terkait.
3. Pengujian Perjanjian Internasional
Mahkamah Konstitusi Austria juga diberi kewenangan berdasarkan article
140 a UUD Austia untuk menguji legalitas atau konstitusionalitas perjanjian
internasional sesuai dengan derajatnya dalam hirarki norma hukum. Ada perjanjian
internasional yang dapat diberlakukan menjadi hukum nasional setelah diratifikasi
melalui undang-undang dan ada pula yang cukup dengan keputusan pemerintah
saja, namun demikian kuatnya kedudukan hukum European Union dan European
Community konstitusi negara-negara anggota tidak dapat lagi dianggap lebih tinggi
kedudukannya daripada European Charter dan Konvensi-konvensi sebagi bentuk
perjanjian antar negara dari negara-negara anggotanya.
4. Perselisihan Pemilihan Umum
Mahkamah Konstitusi Austria berwenang pula mengadili legalitas hasi
pemilihan umum, Prakarsa-prakarsa populer dan referendum yang diselenggarakan
menurut UUD. Berkenaan dengan hal ini MK Austria di beri kewenangan untuk
menentukan perolehan ataupun hilangnya kursi seorang anngota di lembaga
perwakilan rakyat. Bahkan MK Austia dapat pula membatalkan suatu pemilihan
umum apabila proses pelaksaannya terbukti menyimpang atau bertentangan dengan
hukum dan konstitusi serta terbukti pula bahwa penyimpangan tersebut memang
mempengaruhi hasil perolehan suara dan perolehan kursi,
5. Peradilan Impeachment
Mahkamah Konstitusi dapat diminta untuk menjalankan tugas peradilan
dalam rangka ‘impeachment’ terhadap pejabat negara tertinggi, karena kelalainnya
memenuhi pelanggaran hukum yang dilakukannya dalam menjalankan jabatannya.
Sanksi yang dapat dijatuhkan atas perkara ‘impeachment’ ini apabila terbukti adalah
sanksi pemberhentian jabatan. Namun apabila pelanggaran yang terbukti hanya
pelanggaran ringan, MK berwenang menjatuhkan sanksi yang ringan pula, yaitu
dengan hanya menyatakan bahwa pelanggaran ringan dimaksud memang terbukti
telah dilakukan oleh yang bersangkutan. Pernyataan MK ini sudah cukup sebagai
sanksi atas pelanggaran ringan tersebut.
6. Kewenangan sebagai Pengadilan Administrasi Khusus yang terkait dengan
‘constitutional complaint’ individu warga negara
Dalam keadaan tertentu, Mahkamah juga dapat berfungsi sebagai pengadilan
administrasi negara yang bersifat khusus, yaitu untuk mengadili legalitas keputusan
konkrit pejabat pemerintah. Gugatan dari individu warga negara yang merasa
dirugikan hak konstitusionalitasnya oleh keputusan kongkrit itu, hanya dapar
diajukan ke MK apabila upaya hukum melalui proses peradilan administrasi negara
telah ditempuh dan tidak tersedia lagi upaya hukum yang lain, kecuali ke MK.
7. Sengketa kewenangan dan pedapatan keuangan antar negara bagian dan antara
negara bagian dengan Federal
MK Austria mempunyai kewenangan pula yang terkait dengan sengketa
keuangan tertentu terhadap Federasi, Negara Bagian, atau Pemerintah lokal yang
tidak tunduk kepada juridiksi pengadilan biasa ataupun pengadilan tata usaha
negara. Misalnya, dalam perkara yang berkenaan dengan gaji pegawai negeri,
ataupun mengenai sengketa pembagian pendapatan keuangan antar daerah atau
negara bagian dengan pusat.
8. Sengketa kewenangan antar lembaga negara
Mahkamah Konstitusi Austria juga di beri kewenangan untuk menyelesaikan
perengeketaan antar lembaga negara berkenaan dengan isu kewenangan
konstitusional. Sengketa itu dapat terjadi antara pengadilan dan pemerintah, anatara
pengadilan biasa dengan pengadilan tata usaha negara atau bahkan dengan MK itu
sendiri. Sengketa kewenangan juga dapat terjadi antar negara bagian atau negeri
bagaian dengan federasi. MK dapat pula memutus sengketa yang timbul dari
perjanjian internasional antara Federasi dengan Negara Bagian, dan antar Negara
Bagian yang satu dengan Negara Bagian yang lain. Mahkamah juga dapat menguji
kewenangan Badan Audit Keuangan dan Kantor-kantor Advokat Publik.
9. Kewenangan Memberikan Penafsiran UUD
Mahkamah Konstitusi Austria juga dapat diminta untuk memberikan
penafsiran otentik secara terbatas atas suatu ketentuan UUD. Misalnya ketentuan
yang mengatur pembagian kekuasaan antara Federasi dengan Negara Bagian dalam
prakteknya sering menimbulkan salah pengertian berkaitan dengan kewenangan
menetapkan ‘legislative acts’ dan ‘administrarive acts’.
Kewenangan untuk memberikan tafsir ini bersifat ‘advisory’ yang dalam
sistem di berbagi negara lain seperti Amerika Serikat dianggap sangat terlarang.
Dengan sistem ini, hakim konstitusi diberi kewenangan untuk memberikan semacam
fatwa konstitusional atas sesuatu persoalan yang diajukan diluar prosedur atau
mekanisme peradilan.

Anda mungkin juga menyukai