NPM : 2206010922
Kelas : Hukum Tata Negara/Sore
Mata Kuliah : Peradilan Konstitusi
TUGAS RINGKASAN
BUKU MODEL-MODEL PENGUJIAN KONSTITUSIONAL DI BERBAFAI NEGARA
Diantara para sarjana, ada saja yang suka mengaitkan sejarah perkembangan
sesuatu dengan latarbelakang yang sangat jauh ke belakang, misalnya dengan sejarah masa
Yunani Kuno. Padahal, perkembangan ide yang dipersoalkan kadang-kadang memang
diketahui baru tumbuh di zaman modrn sekarang. Ide “contitusional review” ini pun tidak
luput dari kebiasaan untuk mengaitkannya dengan perkembangan dimasa kerjaan Athena
kuno. Oleh Mauro Cappelictti, misalnya, digambarkan bahwa sistem hukum Yunani kuno, di
kerjaan Athena, memang membedakan anatara “nomos” dengan “psephima” yang kurang
lebih dizaman sekarang mencerminkan perbedaan anatara ‘constitutinal law’ dengan
‘dercee’. Pada masa itu, satu prinsip dasar diterapkan dengan tegas bahwa ‘psephisma’
(decree), apapun isinya, tidak boleh bertentangan dengan ‘nomoi’, baik dalam bentuknya
ataupun substansinya.
Bahkan pada tahun 1784 montesque sendiri yang sebenarnya adalah seorang hakim
dengan penuh keyakinan mengusulkan gagasan pemisahan kekuasaan negara secara ketat,
meskipun hal itu menyebabkan lembaga kehakiman turun wibawa menajdi “inanimate
being”, sekedar “bouche de la loi”. Bagi Montesquieu, lembaga pengadilan bukanlah “a true
and legitimate power of government like the legislature, but merely a subordinate
appendage”. Pandangan yang cenderung merehkan pengadilan ini didukung pula oleh
dominannya pengaruh J.J. Rousscau yang menganggap bahwa kehendak seluruh rakyat itu
menjelma hanya melalui proses legislasi yang ditetapkan oleh para wakil rakyat yang duduk
di parlemen baru.
Dalam pemilihan umum tahun 1800 untuk masa jabatan kedunya, John Adams
dikalahkan oleh Thomas Jefferson dari Partai Democratic-Republic, Setelah kalah, dalam
masa peralihan untuk serah terima jabatan dengan Presiden terpilih Thomas Jefferson, John
Adams membuat keputusan-keputusan diantaranya, menurut para pengeritiknya
dimaksudkan untuk menyelamatkan sahabat-sahabatnya sendiri supaya mendapatkan
kedudukan-kedudukan yang penting. Termasuk , Secretary of State John Marshall diangkat
menjadi ketua Mahkamah Agung (Chief Justice).
Bahkan sampai menjelang jam 00:00 tengah malam tanggal 3 Maret 1801, masa
peralihan pemerintahan ke presiden baru. Presiden John Adams, dengan dibantu oleh John
Marshall yang kerika iru sudah resmimenjadi Ketua MA dengan tetap merangkap sebagai
Secretary of State, masih terus menyiapkan dan mendatangi surat-surat pengangkatan
pejabat, termasuk beberapa orang diangkat menjadi duta besar hakim. Diantara mereka itu
adalah William Marbury, Dennis Ramsay, Robert Townsend Hooe, dan William Harper yang
diangkat menjadi hakim perdamaian (justices of peace).
Atas dasar penahanan surat itulah maka William Marbury dan kawan-kawan melalui
kuasa hukum mereka, yaitu Charles Lee yang dikenal sebagai mantan Jaksa Agung Federal,
mengajukan tuntutan langsung ke MA yang dipimpin oleh John Marshall agar sesuai dengan
kewenangannya memerintahkan Pemerintahan melaksanakan tugas yang dikenal sebagai
‘writ of mandamus’ dalam rangka penyerahan surat-surat pengangkatan tersebut.
Karena, pengangkatan mereka menjadi hakim telah mendapatkan persetujuan
Kongres sebagaimana mestinya dan pengangkatn itu telah pula dituangkan dalam
keputusan Presiden yang telah ditandatangani dan telah dicap resmi (sealed). Menurut para
pengugat melalui Charles Lee, berdasarkan Judiciary Act Tahun 1789, MA berwenang
memeriksa dan memutuskan perkara yang mereka ajukan serta mengeluarkan ‘writ of
mandamus’ yang mereka tuntut. Tetapi, Pemerintahan Jefferson tetap menolak pula
memberikan keterangan yang diminta oleh MA agar Pemerintah menunjukan bukti-bukti
mengapa menurut Pemerintah ‘the writ of mandamus’ seperti yang didalihkan didalihkan
penggugat tidak dapat dikeluarkan. Malah sebaliknya, Kongres yang dikuasi oleh kaum
Republik yang berpihak kepada Pemerintah Thomas Jefferson mengesahkan undang-undang
yang menunda semua persidangan Mahkamah Agung selama lebih dari 1 tahun.
Pada persidangan yang diadakan kemudian pada bulan Februari 1803, kasus
Marbury vs Madison ini kembali menajdi pusat perhatian. Pro kontra muncul dalam
masyarakat Amerika Serikat mengenai hal ini. Bahkan dari Pemerintahan dan Kongres
muncul komentar-komentar yang pada pokoknya tidak berpihak kepada penggugat.
Tetapi, dalam putusan yang ditulis sendiri oleh John Marshall, jelas sekali MA
membenarkan bahwa pemerintahan John Adams telah melakukan semua persyaratan yang
ditentukan oleh hukum sehingga William Marbury dan kawan-kawan dianggap memang
berhak atas surat-surat pengangkatan mereka itu menurut hukum. Namun, MA sendiri
dalam putusannya menyatakan tidak berwenang memerintahkan keapda aparat pemerintah
untuk menyerahkan surat-surat yang dimaksud. MA sendiri menyatakan bahwa apa yang
diminta oleh penggugat, yaitu agar MA mengeluarkan ‘writ of mandamus’ sebagaimana
ditentukan oleh Section 3 dari Judiciary Act itu sendiri justru bertentangan dengan Article III
Section 2 Konstitusi Amerika Serikat.
Oleh karena itu, dalil yang di pakai oleh Mahkamah Agung dibawah pimpinan Chief
Justice John Marshall untuk memeriksa perkara Marbury vs Madison itu, bukanlah melalui
pintu Judiciary Act 1789 tersebut, melalui kewenangan yang ditafsirkannya dari konstitusi.
Dari sinilah kemudian berkembang pengertian bahwa MA pada pokoknya merupakan
lembaga pengawal Konstitusi (the Guardian of the Constitution of the United States of
America) yang bertanggung jawab menjamin agar norma dasar yang terkandung didalamnya
sungguh-sungguh ditaati dan dilaksanakan. Dengan sendirinya, menurut John Marshall,
segala undang-undang buatan Kongres, apabila bertentangan dengan konstitusi sebagai ‘the
supreme law of the land’ harus dinyatakan ‘null and void’. Kewenangan inilah yang
kemudian dikenal sebagai doktrin ‘judicial review’ sebagai sesuatu yang sama sekali baru
dalam perkembangan sejarah hukum di Amerika Serikat sendiri dan juga didunia. Dengan
putusan itu, maka meskipun dalam pertimbangannya membenarkan bahwa hak Marbury
dan kawan-kawan adalah sah menurut hukum, tetapi gugatan Marbury dan kawan-kawan
ditolak karena MA menyatakan tidak berwenang mengeluarkan ‘writ of mandamus’ itu
sendiri yang dinilai oleh MA bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, yaitu tepatnya
bertentangan dengan ketentuan Section 2 Article III UUD Amerika Serikat.
Sebagaimana akibat kontroversi ‘judicial review’ yang luas mengenai keputusan Chief
Justice John Marshall dam kasus Marbury vs Madison (1803), perdebatan pemikiran hukum
mengenai soal ini juga berpengaruh sampai ke daratan eropa. Para ahli hukum di Inggris,
Austia, Jerman, Italia, dan Perancis terlibat sangat aktif mendiskusikan fenomena putusan
John Marshall.
Memang telah lama diterima sebagai dogma bahwa pengadilan tidak boleh menolak
untuk menerapkan seuatu undang-undang, meskipun undang-undang itu dinilai
bertentangan dengan konstitusi. Namun, pada prinsip pemisahan kekuasaan memberikan
jalan keluar yang sama sekali berbeda. Pengadilan yang menolak untuk melaksanakan
undang-undang karena alasan undang-undang itu bertentangan dengan konstitusi, tidaklah
dapat disebut mencampuri urusan lembaga legislative. Keberadaan undang-undang yang
bersangkutan tidak disentuh oleh pengadilan, keberlakuanntya secara formal tidak
terganggu.
Pada akhir abad ke-19, George Jeliinek, ahli hukum kenamaan dari Austria
mengembangkan gagasan agar kepada MA dapat ditambahkan kewenangan untuk
melakukan ‘judicial review’ seperti yang dipraktekan John Marshall. Pada Tahun 1867, MA
Austria mendapatkan kewenangan baru untuk menangani sengketa juridis yang
berhubungan dengan perlindungan atas hak-hak pollitik individu warga negara vis-à-vis
berhadapan dengan pemerintah (public administration).
Model ”Judicial Review” menurut tradisi Amerika Serikat didasarkan ata pengalaman
Mahkamah Agung Amerika Serikat memutus perkara Marbury versus Madion pada tahun
1803. Dalam model ini, pengujian konstitusic-nalitas (constitutional! Review) dilakukan
sepenuhnya oleh Mahkamah Agung dengan status sebagai the Guardian of the Constitution.
Diamping itu, menurut doktrin yang kemudian biasa disebut sebagai doktrin yang kemudian
bia diebut sebagai doktrin Jhon Marshal! (John Marhall’s doctrine), ‘judical review’ juga
dilakukan atas persoalan-persoalan kontitunaliotas oleh emua pengadilan biaa melalui
prosedur yang dinamakan pengujian terdesentralisasi atau pengujian tersebar (a
desentralized or diffuse or dispered riview) di dalam perkara yang diperiksa di pengadilan
biasa (incidenter). Artinya, pengujian demikian itu, tidak bersifat institusional sebagai
perkara yang berdiri sendiri, melainkan termasuk di dalam perkara yang lain yang sedang
diperiksa oleh hakim dalam semua lapisan pengadilan.
Model ‘Constitutional Riview’ ala Autria ini dapat diebut juga sebagai Contiental
Model yang didasarkan atas model yang dikembangkan berdasarkan pemikiran Hans
Kelsen pada tahun 1919-1920. Setelah idenya diadopi kedalam rumusan UUD pada
tahun 1930, Mahkamah Konstitusi (Verfassungsgerichtshof) yang pertama dibentuk
pada tahun 1920. Model ini menyangkut hubungan yang saling berkaitan antrara prinsip
supremasi parlemen (the principle of the supremacy of the Parlement). Asumsi dasarnya
adalah bahwa pemberlakuan prinsip ‘upremasi parlemen (the supremacy of the
parlement)
UUD Pranci tahun1958 menentukan adanya lembaga baru yang disebut ‘Coneil
Constitutionnel’, melengkapi lembaga peradilan tertinggi dibidang hukum adminitrasi
yang sudah ada sejak sebelumnya, yaitu “Conseil d’Etat”
Model campuran Amerika Serikat dan Eropa Kontinental dengan unur-unsur, baik
dari sistem yang tersebar dan sistem yang terkonsentrasi, tercampur dalam satu
kesatuan. Di sistem campuran ini, meskipun pengujiam konstitusional dilakukan
secara terpusat di MK atau MA, atau bahkan terpusat pada kamar tertentu dalam
badan peradilan yang ada, semua tingkatan pengadilan pun dapat menyampingkan
berlaku suatu undang-undang yang dinilai bertentang dengan konstitusi
6. Model Belgia
Badan peradilan tempat dimana fungsi pengujian kontitusionalitas itu dikaitkan
tumbuh dalam kerangka konsepsi arbitrase, maka dapat dikatakan model yang
dikembangkan oleh belgia ini agak berbeda dengan negara lainnya,. Sebenarnya
secara umum dapat dikatakan bahwa sistem hukum Belgia dipengaruhi oleh
Perancis, Belanda, dan Jerman.
1. Amerika-Perancis-Austria
Sistem atau mekanisme ‘judicial review’ mengenai konstitusionalitas hukum
telah diterapkan kedalam praktek sejak lebih dari 200 tahun yang lalu di Amerika
Serikat, tetapi di Eropa hal ini baru sungguh-sungguh diterapkan secara luas setelah
Perang Dunia II. Karena perbedaan pengalaman sejarahnya masing-masing, maka
praktek yang diterapkan di Eropa itu banyak pula perbedaannya dengan apa yang
biasa dikembangkan di Amerika Serikat.
Jika pengujian konstitutsionalitas di Amerika Serikat dilakukan tersebar dan
terdesentralisasi di antara pengadilan dinegara bagian dan MA Federal, maka dalam
Model yang diterapkan di Eropa, pengujian itu dilakukan sangat tersentralisasi dan
terpusat hanya pada satu lembaga.
Dengan mengadakan perbandingan secara umum mengenai praktek di tiga
negara, yaitu Amerika Serikat, Perancis, dan Jerman dapat dikemukakan beberapa
permaan dan perbedaan anatara mekanisme peradilan konstitusional oleh MK dan
Dewan Konstitusi dengan yang diterapkan oleh MA Amerika Serikat.
Dalam hubungan ini berkembang juga kritik diantara para ahli mengenai
legitimasi lembaga-lembaga MK dan begitupun Dewan Konstitusi atau ‘Conseil
Contitutionel’ yang dkembangkan menurut tradisi Eropa
1) Model Kelsenian (the Kelsenian Model)
Para hakim di Eropa adalah pejabat karir yang tidak mungkin
membatalkan suatu undang-udang yang ditetapkan oleh parlemen.
Karena itu, untuk memastikan bahwa setiap undang-undang yabg
ditetapkan oleh parlemen itu tidak bertentangan dengan UUD, oleh Hans
Kelsen, di anggap penting untuk menciptakan satu badan khusus yang
berisi orang-orang yang ndependen yang sebagiannya berasal dari
kalangan akademisi.
2) Pengankatan dan Masa Jabatan Hakim
Baik di Perancis maupun di Jerman, para hakim konstitusi atau anngota
Dewan Konstitusi diangkat untuk satu kali masa jabatan, yaitu untuk
waktu 9 tahun Perancis dan 12 tahun di Jerman. Prosedur pengangkatan
itu murni bersifat politik. Di Perancis, Presiden Republik, Ketua Majelis
Nasional, dan Ketua Senat masing-masing mengajukan 1 orang untuk
menjadi anggota Dewan Konstitusi setiap 3 tahun sekali.
3) Pengujian Abstrak versus Kongkrit dan A Priori versus A Posteriori
Dewan Konstitusi Perancis diberi kewenangan untuk melakukan
pengujian undang-undang secara a priori atau bersifat preventif. Yang
berhak mengajukan permohonan untuk itu dibatasi hanya Presiden,
Perdana Menteri, Ketua Parlemen, Ketua Senat atau 60 orang anggota
parlemen atau senator. Dalam prakteknya diatas permukaan, perenan
Dewan Konstitusi Perancis ini dapat dikatakan mirip atau seolah
merupakan perluasan saja dari ruang persidangan parlemen. Inisiatif
perluasan persidangan itu datang dari mosi yang diajukan kelompok
minoritas yang kalah dalam pemungutan suara dalam rangka
pembentukan undang-undang tertentu.
4) Interpretasi Hukum dan Politik
Dalam sistem di Eropa, baik di Jerman maupun Perancis, para hakim
konstitusi ataupun councellor Dewan Konstitusi, tidak terlalu merasa
perlu terikat pada paham ‘orisinalisme’ dalam memahami norma-norma
dasar yang terkandung dalam UUD. Meskipin ketentuan dan prinsip-
prinsip dasar penafsiran yang dipergunakan di kedua negara tersebut
sama sekali berbeda, dan berlainan pula dengan apa yang berlaku di
Amerika Serikat tetapi beberapa elemen yang sama atau mirip, meskipun
hanya dalam substansinya, bukan dalam bentuknya, cukup banyak
terlihat disana-sini.
Mahkamah Agung Amerika Serikat adalah lembaga peradilan yang pertama kali
melakukan ‘judicial review’ terhadap undang-undang hasil kerja parlemen yang di Amerika
Serikat disebut Kongres, yaitu dalam putusannya atas kasus Marbury vs Madison pada
tahun 1803. Ketentuan UUD Amerika Serikat sendiri mengenai cabang kekuasaan
kehakiman diatur dalam Article III yang oleh para ahli disebut sebagai ketentuan mengenai
cabang kekuasaan yang lebih pendek dari ketiga cabang eksekutif, dan legislature, serta
judiciary dalam konstitusi Amerika Serikat
Mahkamah Konstitusi Austria didirikan pada tahun 1920 atas jasa Hans Kelsen.
Karena itu, Mahkamah Konstitusi Austria ini disebut ‘the Kelsenian Court’ dan menurut Alec
Stone, merupakan prototope model pengujian konstitusional di Eropa sebagai konsepsi yang
sama sekali bertolak belakang dari model yang dikembangkan di Amerika Serikat.
Mahkamah Konstitusi Austria inilah yang disebut sebagai MK pertama didunia, didesain oleh
Hans Kelsen sebagai lembaga peradilan khusus untuk menjamin agar konstitusi sebagai
hukum yang paling tinggi dapat ditegakan dalam praktek.
Susunan organisasinya terdiri dari 1 orang Ketua (Presiden) dan 1 orang Wakil Ketua,
12 orang Anggota (Mitglieder), dan 6 orang Anggota Pengganti (Ersatz-mitglierder). Semua
orang menyandang gelar sarjana hukum dengan minimum pengalaman dibidang profesi
hukum sekurang-kurangnya 10 tahun. Yang dipilih menjadi anggota ditentukan 3 orang
diantaranya, dan demikian pula 2 orang dari anggota pengganti diharuskan berdomisili di
luar kota Wina (Vienna).
Kewenangan Mahkamah