Lembaga pengujian konstitusional yang sudah mendunia dan seperti yang kita kenal saat ini bermula dari putusan Supreme Court (Mahkamah Agung) AS dalam kasus Marbury versus Madison pada tahun 1803. Sejak saat itu “wabah” pengujian konstitusional atau yang populer disebut judicial review ini mulai menyebar dan akhirnya mendapat kedudukan yang penting dalam dunia hukum seperti sekarang ini. Begitu fenomenal dan luar biasanya putusan “Marbury vs Madison” ini, William H. Rehnquist menyebut kasus ini sebagai “most famous case ever decided by the US Supreme Court.” Selain itu para pakar juga menyebut kasus ini dengan berbagai sebutan/istilah, antara lain ‘most brilliant innovation’ atau ‘landmark decision’ bahkan ada pula yang menyebutnya dengan nada penuh pujian sebagai ‘single most important decision in American Constitutional Law.’ Kasus ini sendiri bermula pada saat John Adams yang dikenal sebagai tokoh Federalist (Partai Federal) menjabat sebagai Presiden AS yang kedua untuk masa jabatan 1797-1801. Persoalan mulai muncul ketika John Adams sebagai incumbent pada Pemilu tahun 1800 kalah dari pesaingnya Tohmas Jefferson dan Aaron Burr. Sementara yang memenangkan Pemilu adalah Thomas Jefferson dari Partai Democratic Republic. Oleh kerananya, menurut konstitusi, yang akan menjadi Presiden selanjutnya untuk masa bakti 1801-1805 adalah Thomas Jefferson. Ia akan mulai menjabat sebagai presiden pada tanggal 4 Maret 1801.Dalam masa peralihan menjelang pergantian presiden itulah John Adams membuat banyak kebijakan dan keputusan yang menurut banyak analis dianggap sebagai upaya nepotisme atau upaya untuk mendudukan teman dekat dan kerabatnya pada posisi-posisi tertentu sebelum ia digantikan oleh Presiden terpilih Thomas Jefferson. Salah satu diantara mereka yang ditempatkan oleh John Adams itu adalah John Marshall. Sebelumnya ia adalah Secretary of State (Menteri Sekretaris Negara) namun kemudian diangkat oleh John Adams menjadi Ketua Mahakamah Agung AS (Chief Justice). Pengangkatan-pengangkatan yang demikian ternyata terus menerus dilakukan oleh John Adams, bahkan hingga detik-detik terakhir pergantian presiden, yaitu malam tanggal 3 Maret menjelang dini hari tanggal 4 Maret 1801. Di waktu-waktu terakhir itu John Adams masih sibuk menandatangani beberapa surat keputusan penganggakatan hakim perdamaian (justice of piece) dengan dibantu oleh John Marshall yang ketika itu merangkap jabatan sebagai Secretary of State sekaligus Chief of Supreme Court. Sebetulnya tindakan penandatanganan surat keputusan pengangkatan (commission) itu dapat dikatakan hanya bersifat administratif (penetapan) saja, karena secara prosedural, ketentuan-ketentuan atau syarat-syarat pengangkatan itu sudah ditempuh sebelumnya. Misalnya telah mendapat persetujuan Senat dan sebagainya. Mereka-mereka yang namanya tercantum dalam surat pengangkatan hakim perdamaian itu antara lain ialah William Marbury, Denis Ramsay, Robert Townsend, William Harper. Karena surat pengangkatannya itu ditandatangani dan dicap di detik-detik terakhir menjelang pergantian Presiden dari John Adams ke Thomas Jefferson (4 Maret 1801), William Marbury dan kawan- kawannya itu kemudian dijuluki sebagai “midnight judges”.Celakanya, karena ditandatangani dalam waktu yang sempit dan tergesa-gesa, salinan surat pengangkatan tersebut tidak sempat diserahterimakan kepada yang bersangkutan sebagaimana mestinya karena esok harinya, tanggal 4 Maret 1801 adalah hari pergantian presiden dari John Adams ke Thomas Jefferson. Akhirnya surat-surat tersebut ditahan di kantor kepresidenan oleh James Madison yang diangkat oleh Presiden Thomas Jefferson sebagai Secretary of State untuk menggantikan John Marshall yang telah duduk di bangku Supreme Court. Madison menahan surat itu karena dianggap sudah tidak relevan karena Presiden sudah berganti dari John Adams ke Thomas Jefferson. Di pihak lain, Marbury dkk yang menganggap proses pengangkatannya konstitusional dan telah memenuhi prosedur yang benar, tidak begitu saja menerima penahanan surat tersebut. Pada Desember 1801, Marbury melalui kuasa hukumnya Charles Lee (Mantan Jaksa Agung Federal) mengajukan tuntuan kepada Mahkamah Agung Federal agar sesuai kewenangannya berdasarkan section 13 Judiciary Act 1789 mengeluarkan Writs of Mandamus, agar Pemerintah Federal menyerahkan salinan surat pengangkatan mereka sebagaimana mestinya. Kasus ini sendiri pada waktu itu sangat kontroversial dan menyita perhatian. Sementara publik pada umumnya tidak bersimpati terhadap permohonan Pemohon (Marbury dkk). Dalam perjalanannya, persidangan yang sebetulnya kental dengan nuansa politis ini sempat mendapat resistensi dari Pemerintahan Thomas Jefferson yang kala itu juga menguasai Kongres. Pemerintah yang pada waktu itu diwakili oleh Secretary of State James Madison menolak memberikan keterangan di persidangan. Di pihak lain, Kongres mengesahkan undang-undang yang pada pokoknya berisi penundaan seluruh persidangan Supreme Court selama 14 bulan, dari Desember 1801 hingga Februari 1803. Setelah menjalani tahun tanpa persidangan (1802), persidangan atas kasus Marbury versus Madison ini kembali digelar pada Februari 1803. Setelah melalui proses yang cukup panjang dengan resistensi yang kuat dari pemerintahaan Thomas Jefferson dan Kongres yang mendukungnya, Supreme Court dibawah pimpinan John Marshall akhirnya menjatuhkan putusan atas kasus tersebut pada bulan itu juga (Februari 1803). Putusan yang dijatuhkan oleh Mahkamah Agung AS sendiri memuat banyak keunikan dan penemuan hukum yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Pada pokoknya putusan tersebut menolak tuntutan Marbury dkk yang meminta agar MA mengeluarkan Writs of Mandamus berdasarkan Judiciary Act 1789. Uniknya di dalam pertimbangan hukumnya (ratio decidendi) MA justru membenarkan dalil-dalil (posita) Pemohon dan menyatakan bahwa sebetulnya permohonan Pemohon beralasan hukum. Dengan kata lain Pemohon memiliki memiliki kedudukan hukum serta memiliki alas hukum (berhak) yang sah atas apa yang ia tuntut (surat pengangkatan hakim perdamaian; commission). Akan tetapi mengapa kemudian amar putusannya justru menolak tuntutan Pemohon ? Permohonan Marbury dkk ditolak bukan karena alasan-alasan permohonannya (posita) tidak dapat diterima atau tidak beralasan hukum, melainkan karena tuntutan mereka (petitum) yang meminta MA mengeluarkan Writs of Mandamus berdasarkan Section 13 Judiciary Act 1789 yang tidak dapat dipenuhi oleh MA. Sebaliknya, MA justru menilai ketentuan Judiciary Act 1789 yang dijadikan dasar bagi Marbury dkk untuk meminta MA mengeluarkan writ of mandamus itu tidak sesuai dan bertentangan dengan Article III Section 2 Konstitusi AS. Oleh karena itu MA tidak bisa mengabulkan tuntutan Pemohon dan justru malah membatalkan Judiciary Act 1789 karena dianggap inkonstitusional. Dari putusan itulah kemudian mekanisme judicial review ditemukan dan dikembangkan dalam praktek penegakan konstitusi. Mahkamah Agung AS telah melakukan penerobosan hukum dan penemuan hukum (rechtsvinding) dalam taraf yang sangat luar biasa yang akhirnya melahirkan sistem yang sama sekali baru, tidak hanya di Amerika melainkan diseluruh dunia. Pada waktu putusan itu dijatuhkan, tidak ada satu pasal atau satu ayat pun dari Konstitusi AS yang memberikan ruang/wewenang bagi Mahkamah Agung untuk membatalkan suatu undang-undang. Di dalam salah satu pertimbangan hukumnya, Supreme Court mendalilkan pertimbangan sebagai berikut: “It one of the purpose of written constitution to define and limit the powers of the legislature. The legislature cannot be permittes to pass statutes contrary to a constitution, if the letter is to prevail as superior law. A court avoid choosing between the constitution and a conflicting statute when both are relevant to a case which the court is asked to decide. Since the constitution is paramount law, judges have no choice but to prefer it to refuse to give effect to the latter.” Di dalam mengambil putusan fenomenal tersebut Chief Justice John Marshall mengemukakan tiga alasan mengapa ia sampai pada putusan itu. Pertama, hakim bersumpah untuk menujunjung tinggi konstitusi, sehingga jika ada peraturan yang dianggap bertentangan dengan konstitusi, maka hakim harus melakukan pengujian terhadap peraturan tersebut. Kedua, Konstitusi adalah the supreme law of the land sehingga harus ada peluang pengujian terhadap peraturan yang ada dibawahnya agar isi konstitusi itu tidak dilanggar. Ketiga, hakim tidak boleh menolak perkara sehingga kalau ada yang mengajukan permintaan judicial review, permintaan tersebut haruslah dipenuhi. Demikian itulah sekilas sejarah judicial review yang berasal dari putusan fenomenal Supreme Court AS pada tahun 1803 yang kala itu diketuai oleh John Marshall. Meskipun awalnya putusan tersebut mengundang reaksi, kontroversi, bahkan cercaan dari banyak pihak, namun secara umum putusan itu diterima juga dalam sistem hukum Amerika. Buktinya tujuh tahun berselang, tahun 1810, Supreme Court yang diketuai John Marshall kembali melakukan judicial review dalam kasus yang dikenal dengan sebutan kasus Fletcher versus Peck. Bahkan lama kelamaan seiring dengan berjalannya waktu dan kebutuhan yang nyata akan pengujian konstitusionalitas norma hukum, mekanisme judicial review semakin melembaga dan semakin dibutuhkan. Praktek yang terjadi di Amerika Serikat pada 1803 melalui putusan Marbury versus Madison itu kemudian menjadi perbincangan dan perdebatan dikalangan ahli hukum, tidak saja di Amerika Serikat sendiri, melainkan di seluruh dunia. Hingga pada akhirnya sistem ini dipelajari, diserap, dan dipraketkan oleh banyak negara di dunia dengan penyesuaian dan modifikasinya masing-masing sesuai dengan latar belakang sejarah, sistem hukum, konstruksi kekuasaan kehakiman, serta hal-hal lainnya yang pada akhirnya menjadikan judicial review ini sebagai tren yang sangat maju di dalam hukum konstitusi diseluruh dunia. B. Kewenangan Mahkamah Konstitusi
• Menguji Undang Undang terhadap Undang-undang Dasar 1945
• Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya dibentuk oleh UUD 1945 • Memutus pembubaran partai • Memutus perselisihan tentang hasil pemilu • Memutus perselisihan tentang hasil pilkada (untuk sementara karena belum ada pengadilan yang mengatur hal tersebut, maka kewenangan tersebut diberikan kepada MK untuk sementara waktu). Kewenangan MK diatas sesuai dengan pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi : “Tugas Mahkamah Konstitusi sebagaimana juga kewenangan Mahkamah Konstitusi, antara lain menguji UU terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilu.” C. Model Pengujian Konstitusional Ada tiga model yang lapat disebut paling penting, yaitu Model Amerika Serikat (Supreme Court), Model Austria (Bunderverfassungsgeric htshof), dan Model Prancis (Conseil Constitutionnel). Dari Model Austria, berkembang beberapa varian penting, dan salah satunya adalah apa yang dikembangkan di Jerman dengan "Bundes Verfassungsgerichthof" yang mempunyai kedudukan tergolong sangat kuat. Oleh karena itu, menarik juga membandingkan model-model pelembagaan sistem pengujian konstitusionalitas (constitutional review) itu di tiga negara, yaitu Amerika Serikat, Prancis, dan Jerman. Sistem atau mekanisme judicial review' mengenai konstitusionalitas hukum constitutionality of laws) telah diterapkan dalam praktik sejak lebih dari 200 tahun yang lalu di Amerika serikat, akan tetapi di eropa hal ini baru benar-benar diterapkan setelah Perang Dunia II Karena pebedaan pengalaman sejarahnya , Sistem praktik yang diterapkan di Eropa itu banyak pula perbedaannya dengan apa yang dilembangkan di Amerika Serikat. Jika pengujian konstitusionalitas di Amerika Serikat dilakukan di antara pengadilan di negara bagian dan Mahkamah Agung Federal, maka dalam model yang diterapkan di Eropa, pengujian itu dilakukan sangat tersentralisasi dan terpusat hanya pada satu lembaga. D. Model Kelsenian (The Kelsenian Model) Para hakim di Eropa adalah pejabat karir (carrer bureaucrats) yang tidak mungkin membatalkan suatu undang-undang yang ditetapkan oleh parlemen. Oleh karena itu, untuk memastikan bahwa setiap undang-undang yang ditetapkan oleh parlemen itu tidak bertentangan dengan UndangUndang Dasar, oleh Hans Kelsen, dianggap penting untuk menciptakan satu badan khusus yang berisi orang-orang yang independen yang sebagiannya berasal dari kalangan akademisi. Sampai sekarang, sebagian hakim konstitusi di Austria selalu berasal dari fakultas hukum perguruan tinggi. Tugas semacam ini tidak mungkin diperil kan kepada para hakim birokrat yang biasa, karena mereka harus mempunyai keahlian dalam menilai secara mendalam apakah sesuatu undang-undang yang dibahas dan ditetapkan di parlemen bertentangan atau tidak berten tangan dengan konstitusi. Menurut Hans Kelsen, Mahkamah Konstitusi diharapkan berperan sebagai “a negative legislator” yang diberi kewenangan mengesampingkan dan bahkan membatalkan undang-undang yang nyatanyata bertentargan dengan konstitusi. Namun, dalam perkembangan di banyak negara demokrasi parlementer, karena banyaknya undangundang yang telah dibatalkan oleh lembaga pengawal konstitusi ini, maka kritik yang muncul kemudian ialah bahwa pergadilan ini lama-lama berubah menjadi legislator positif, bukan lagi legislator negatif seperti yang dibayangkan oleh Hans Kelsen. Para hakim konstitusi sama sekali tidak dipilih oleh rakyat secara langsung tetapi berwenang mengabaikan kehendak mayoritas rakyat dalam sistem demokrasi parlementer (unelected positive legislator prone to undermining the will of parliamentary democracies). E. Pengangkatan dan Masa Jabatan Hakim Baik di Francis maupun di Jerman, para hakim konsttusi Konstitusi diangkat untuk 1 kali masa jabatan yaitu untuk waktu 12 tahun di Jerman. Prosedur pengangkatan itu murni bersifat politik (political pointment, bukan berdasarkan karir). DI Prancis, Presiden Republik, Ketua Majelis Nasional, dan Ketua Senat masing-masing mengajukan 1 orang Dewan Konstitusi setiap 3 tahun sekali. Di Jerman, prosedurrya lebih rinci di mana para hakim konstitusi diajukan oleh partal politik terkait, dan diplih di parlemen atas dasar konsensus yang luas di kalangan anggota parlemen. Dewan Konstitusi Prancis (Conseil Constitutionnel) apabila dibandingkan dengan Mahkamah Konstitusi Jerman,sifatnya lebih politis. Dewan konstitusi lebih merupakan lembaga politik daripada lembaga hukum (pengadilan) dalam arti yang lazim. Oleh karena itu, meskipun sebagian besar kalangan menganinya sebagai bentuk pengadilan juga, tetapi banyak yang mempersoalkan legitimsinya sebagai lembaga hukum.Sebaliknya, Mahkamah Konstitusi Federal Jerman di Karlsruhe, pada umumnya, dianggap lebih bebas dari politik. Apalagi Kalsruhe sangat jauh dari hiruk pikuk ibukota kota Berlin.Dalam perkembangannya dewasa ini, Mahkamah Konstitusi Jerman cenderung makin kuat dan berwibawa, tejapi bersamaan dengan itu berkembang pula kritik bahwa pengawal konstitusi ini cenderung makin terjebak menjadi terlalu aktif (too activist) Sementara itu, Dewan Konstitusi Prancis (Conseil Constitutionnel) dibentuk oleh Presiden Charles de Gaulle untuk melindungi pemerintahan eksekutif yang baru terbentuk ketika itu dari kuatnya peran parlemen di zamannya. Oleh karena itu, pada mulanya, Dewan Konstitusi Prancis memang tidak dirancang untuk tujuan membangun lembaga yang netral dan independen terhadap kepentingan Pemerintah. Tentu saja dewasa ini situasi dan kondisinya telah berubah. Kewenangan Dewan konstitusi ini telah meningkat pesat dari ketika pertama didirikan. Sekarang, posisi dan perannya lebih netral dalam rangka menjaga batas-batas antara kekuasaan cabang lembaga legislatif dengan eksekutif (safeguard the boundaries between legis lature and the executive). F. Pengujian Abstrak Versus Konkret dan A Priori Versus A Posteriori Dewan Konstitusi Prancis diberi kewenangan untuk melakukan pengujian undang-undang secara a priori atau bersifat preventif (ex ante review). Yang berhak mengajukan permohonan untuk itu dibatasi hanya Presiden, Perdana Menteri, Ketua Parlemen Ketua Senat atau 60 orang anggota parlemen atau senator. Dalam praktiknya di atas permukaan, peranan Dewan Konstitusi Prancis ini dapat dikatakan mirip atau seolah merupakan perluasan saja dari ruang persidangan parlemer. Inisiatif perluasan persidangan itu datang dari mosi yang diajukan kelompok minoritas yang kalah dalam pemungutan suara dalam rangka pembentukan undang-undang tertentu. Sementara itu, Mahkamah Konstitusi Jerman, terlibat dalam proses pengujian konstitusionalitas, baik atas norma yang bersifat konkret maupun yang bersifat abstrak, baik melalui pengujian yang bersifat a priori (ex ante review) ataupun a posteriori (ex post review). Pengujian abstrak menurut beberapa ahli memang diakui lebih memungkinkan menyebabkan terjadinya politisal Peradilan konstitusional ini, daripada pada pengujian konkret (concrete review), Akan tetapi, dalam sistem yang dikembangkan di Amerika Serikat, perbedaan antara 'abstract and concrete review in sebenarnya lebih merupakan perbedaan di permukaan daripada perbedaan yang rill (more apparent than real)