Anda di halaman 1dari 5

TUGAS JUDICIAL REVIEW

Nama: Fadel Anugrah


NIM: B021211068
Kelas: Judicial Review (A)

A. Sejarah Judicial Review


Lembaga pengujian konstitusional yang sudah mendunia dan seperti yang kita kenal saat
ini bermula dari putusan Supreme Court (Mahkamah Agung) AS dalam kasus Marbury versus
Madison pada tahun 1803. Sejak saat itu “wabah” pengujian konstitusional atau yang populer
disebut judicial review ini mulai menyebar dan akhirnya mendapat kedudukan yang penting
dalam dunia hukum seperti sekarang ini. Begitu fenomenal dan luar biasanya putusan “Marbury
vs Madison” ini, William H. Rehnquist menyebut kasus ini sebagai “most famous case ever
decided by the US Supreme Court.” Selain itu para pakar juga menyebut kasus ini dengan
berbagai sebutan/istilah, antara lain ‘most brilliant innovation’ atau ‘landmark decision’ bahkan
ada pula yang menyebutnya dengan nada penuh pujian sebagai ‘single most important decision
in American Constitutional Law.’
Kasus ini sendiri bermula pada saat John Adams yang dikenal sebagai tokoh Federalist
(Partai Federal) menjabat sebagai Presiden AS yang kedua untuk masa jabatan 1797-1801.
Persoalan mulai muncul ketika John Adams sebagai incumbent pada Pemilu tahun 1800 kalah
dari pesaingnya Tohmas Jefferson dan Aaron Burr. Sementara yang memenangkan Pemilu adalah
Thomas Jefferson dari Partai Democratic Republic. Oleh kerananya, menurut konstitusi, yang
akan menjadi Presiden selanjutnya untuk masa bakti 1801-1805 adalah Thomas Jefferson. Ia akan
mulai menjabat sebagai presiden pada tanggal 4 Maret 1801.Dalam masa peralihan menjelang
pergantian presiden itulah John Adams membuat banyak kebijakan dan keputusan yang menurut
banyak analis dianggap sebagai upaya nepotisme atau upaya untuk mendudukan teman dekat dan
kerabatnya pada posisi-posisi tertentu sebelum ia digantikan oleh Presiden terpilih Thomas
Jefferson. Salah satu diantara mereka yang ditempatkan oleh John Adams itu adalah John
Marshall. Sebelumnya ia adalah Secretary of State (Menteri Sekretaris Negara) namun kemudian
diangkat oleh John Adams menjadi Ketua Mahakamah Agung AS (Chief Justice).
Pengangkatan-pengangkatan yang demikian ternyata terus menerus dilakukan oleh John
Adams, bahkan hingga detik-detik terakhir pergantian presiden, yaitu malam tanggal 3 Maret
menjelang dini hari tanggal 4 Maret 1801. Di waktu-waktu terakhir itu John Adams masih sibuk
menandatangani beberapa surat keputusan penganggakatan hakim perdamaian (justice of piece)
dengan dibantu oleh John Marshall yang ketika itu merangkap jabatan sebagai Secretary of State
sekaligus Chief of Supreme Court. Sebetulnya tindakan penandatanganan surat keputusan
pengangkatan (commission) itu dapat dikatakan hanya bersifat administratif (penetapan) saja,
karena secara prosedural, ketentuan-ketentuan atau syarat-syarat pengangkatan itu sudah
ditempuh sebelumnya. Misalnya telah mendapat persetujuan Senat dan sebagainya.
Mereka-mereka yang namanya tercantum dalam surat pengangkatan hakim perdamaian itu
antara lain ialah William Marbury, Denis Ramsay, Robert Townsend, William Harper. Karena
surat pengangkatannya itu ditandatangani dan dicap di detik-detik terakhir menjelang pergantian
Presiden dari John Adams ke Thomas Jefferson (4 Maret 1801), William Marbury dan kawan-
kawannya itu kemudian dijuluki sebagai “midnight judges”.Celakanya, karena ditandatangani
dalam waktu yang sempit dan tergesa-gesa, salinan surat pengangkatan tersebut tidak sempat
diserahterimakan kepada yang bersangkutan sebagaimana mestinya karena esok harinya, tanggal
4 Maret 1801 adalah hari pergantian presiden dari John Adams ke Thomas Jefferson. Akhirnya
surat-surat tersebut ditahan di kantor kepresidenan oleh James Madison yang diangkat oleh
Presiden Thomas Jefferson sebagai Secretary of State untuk menggantikan John Marshall yang
telah duduk di bangku Supreme Court. Madison menahan surat itu karena dianggap sudah tidak
relevan karena Presiden sudah berganti dari John Adams ke Thomas Jefferson.
Di pihak lain, Marbury dkk yang menganggap proses pengangkatannya konstitusional dan
telah memenuhi prosedur yang benar, tidak begitu saja menerima penahanan surat tersebut. Pada
Desember 1801, Marbury melalui kuasa hukumnya Charles Lee (Mantan Jaksa Agung Federal)
mengajukan tuntuan kepada Mahkamah Agung Federal agar sesuai kewenangannya berdasarkan
section 13 Judiciary Act 1789 mengeluarkan Writs of Mandamus, agar Pemerintah Federal
menyerahkan salinan surat pengangkatan mereka sebagaimana mestinya. Kasus ini sendiri pada
waktu itu sangat kontroversial dan menyita perhatian. Sementara publik pada umumnya tidak
bersimpati terhadap permohonan Pemohon (Marbury dkk). Dalam perjalanannya, persidangan
yang sebetulnya kental dengan nuansa politis ini sempat mendapat resistensi dari Pemerintahan
Thomas Jefferson yang kala itu juga menguasai Kongres. Pemerintah yang pada waktu itu
diwakili oleh Secretary of State James Madison menolak memberikan keterangan di persidangan.
Di pihak lain, Kongres mengesahkan undang-undang yang pada pokoknya berisi penundaan
seluruh persidangan Supreme Court selama 14 bulan, dari Desember 1801 hingga Februari 1803.
Setelah menjalani tahun tanpa persidangan (1802), persidangan atas kasus Marbury versus
Madison ini kembali digelar pada Februari 1803. Setelah melalui proses yang cukup panjang
dengan resistensi yang kuat dari pemerintahaan Thomas Jefferson dan Kongres yang
mendukungnya, Supreme Court dibawah pimpinan John Marshall akhirnya menjatuhkan putusan
atas kasus tersebut pada bulan itu juga (Februari 1803). Putusan yang dijatuhkan oleh Mahkamah
Agung AS sendiri memuat banyak keunikan dan penemuan hukum yang belum pernah dilakukan
sebelumnya. Pada pokoknya putusan tersebut menolak tuntutan Marbury dkk yang meminta agar
MA mengeluarkan Writs of Mandamus berdasarkan Judiciary Act 1789. Uniknya di dalam
pertimbangan hukumnya (ratio decidendi) MA justru membenarkan dalil-dalil (posita) Pemohon
dan menyatakan bahwa sebetulnya permohonan Pemohon beralasan hukum. Dengan kata lain
Pemohon memiliki memiliki kedudukan hukum serta memiliki alas hukum (berhak) yang sah atas
apa yang ia tuntut (surat pengangkatan hakim perdamaian; commission). Akan tetapi mengapa
kemudian amar putusannya justru menolak tuntutan Pemohon ?
Permohonan Marbury dkk ditolak bukan karena alasan-alasan permohonannya (posita)
tidak dapat diterima atau tidak beralasan hukum, melainkan karena tuntutan mereka (petitum)
yang meminta MA mengeluarkan Writs of Mandamus berdasarkan Section 13 Judiciary Act 1789
yang tidak dapat dipenuhi oleh MA. Sebaliknya, MA justru menilai ketentuan Judiciary Act 1789
yang dijadikan dasar bagi Marbury dkk untuk meminta MA mengeluarkan writ of mandamus itu
tidak sesuai dan bertentangan dengan Article III Section 2 Konstitusi AS. Oleh karena itu MA
tidak bisa mengabulkan tuntutan Pemohon dan justru malah membatalkan Judiciary Act 1789
karena dianggap inkonstitusional. Dari putusan itulah kemudian mekanisme judicial review
ditemukan dan dikembangkan dalam praktek penegakan konstitusi. Mahkamah Agung AS telah
melakukan penerobosan hukum dan penemuan hukum (rechtsvinding) dalam taraf yang sangat
luar biasa yang akhirnya melahirkan sistem yang sama sekali baru, tidak hanya di Amerika
melainkan diseluruh dunia. Pada waktu putusan itu dijatuhkan, tidak ada satu pasal atau satu ayat
pun dari Konstitusi AS yang memberikan ruang/wewenang bagi Mahkamah Agung untuk
membatalkan suatu undang-undang.
Di dalam salah satu pertimbangan hukumnya, Supreme Court mendalilkan pertimbangan
sebagai berikut:
“It one of the purpose of written constitution to define and limit the powers of the
legislature. The legislature cannot be permittes to pass statutes contrary to a constitution,
if the letter is to prevail as superior law. A court avoid choosing between the constitution
and a conflicting statute when both are relevant to a case which the court is asked to decide.
Since the constitution is paramount law, judges have no choice but to prefer it to refuse to
give effect to the latter.”
Di dalam mengambil putusan fenomenal tersebut Chief Justice John Marshall
mengemukakan tiga alasan mengapa ia sampai pada putusan itu. Pertama, hakim bersumpah
untuk menujunjung tinggi konstitusi, sehingga jika ada peraturan yang dianggap bertentangan
dengan konstitusi, maka hakim harus melakukan pengujian terhadap peraturan tersebut. Kedua,
Konstitusi adalah the supreme law of the land sehingga harus ada peluang pengujian terhadap
peraturan yang ada dibawahnya agar isi konstitusi itu tidak dilanggar. Ketiga, hakim tidak boleh
menolak perkara sehingga kalau ada yang mengajukan permintaan judicial review, permintaan
tersebut haruslah dipenuhi. Demikian itulah sekilas sejarah judicial review yang berasal dari
putusan fenomenal Supreme Court AS pada tahun 1803 yang kala itu diketuai oleh John Marshall.
Meskipun awalnya putusan tersebut mengundang reaksi, kontroversi, bahkan cercaan dari
banyak pihak, namun secara umum putusan itu diterima juga dalam sistem hukum Amerika.
Buktinya tujuh tahun berselang, tahun 1810, Supreme Court yang diketuai John Marshall kembali
melakukan judicial review dalam kasus yang dikenal dengan sebutan kasus Fletcher versus Peck.
Bahkan lama kelamaan seiring dengan berjalannya waktu dan kebutuhan yang nyata akan
pengujian konstitusionalitas norma hukum, mekanisme judicial review semakin melembaga dan
semakin dibutuhkan. Praktek yang terjadi di Amerika Serikat pada 1803 melalui putusan Marbury
versus Madison itu kemudian menjadi perbincangan dan perdebatan dikalangan ahli hukum, tidak
saja di Amerika Serikat sendiri, melainkan di seluruh dunia. Hingga pada akhirnya sistem ini
dipelajari, diserap, dan dipraketkan oleh banyak negara di dunia dengan penyesuaian dan
modifikasinya masing-masing sesuai dengan latar belakang sejarah, sistem hukum, konstruksi
kekuasaan kehakiman, serta hal-hal lainnya yang pada akhirnya menjadikan judicial review ini
sebagai tren yang sangat maju di dalam hukum konstitusi diseluruh dunia.
B. Kewenangan Mahkamah Konstitusi

• Menguji Undang Undang terhadap Undang-undang Dasar 1945


• Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya dibentuk oleh
UUD 1945
• Memutus pembubaran partai
• Memutus perselisihan tentang hasil pemilu
• Memutus perselisihan tentang hasil pilkada (untuk sementara karena belum ada pengadilan
yang mengatur hal tersebut, maka kewenangan tersebut diberikan kepada MK untuk
sementara waktu).
Kewenangan MK diatas sesuai dengan pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi :
“Tugas Mahkamah Konstitusi sebagaimana juga kewenangan Mahkamah Konstitusi,
antara lain menguji UU terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai
politik, dan memutus perselisihan hasil pemilu.”
C. Model Pengujian Konstitusional
Ada tiga model yang lapat disebut paling penting, yaitu Model Amerika Serikat (Supreme
Court), Model Austria (Bunderverfassungsgeric htshof), dan Model Prancis (Conseil
Constitutionnel). Dari Model Austria, berkembang beberapa varian penting, dan salah satunya
adalah apa yang dikembangkan di Jerman dengan "Bundes Verfassungsgerichthof" yang
mempunyai kedudukan tergolong sangat kuat. Oleh karena itu, menarik juga membandingkan
model-model pelembagaan sistem pengujian konstitusionalitas (constitutional review) itu di tiga
negara, yaitu Amerika Serikat, Prancis, dan Jerman.
Sistem atau mekanisme judicial review' mengenai konstitusionalitas hukum
constitutionality of laws) telah diterapkan dalam praktik sejak lebih dari 200 tahun yang lalu di
Amerika serikat, akan tetapi di eropa hal ini baru benar-benar diterapkan setelah Perang Dunia II
Karena pebedaan pengalaman sejarahnya , Sistem praktik yang diterapkan di Eropa itu banyak
pula perbedaannya dengan apa yang dilembangkan di Amerika Serikat. Jika pengujian
konstitusionalitas di Amerika Serikat dilakukan di antara pengadilan di negara bagian dan
Mahkamah Agung Federal, maka dalam model yang diterapkan di Eropa, pengujian itu dilakukan
sangat tersentralisasi dan terpusat hanya pada satu lembaga.
D. Model Kelsenian (The Kelsenian Model)
Para hakim di Eropa adalah pejabat karir (carrer bureaucrats) yang tidak mungkin
membatalkan suatu undang-undang yang ditetapkan oleh parlemen. Oleh karena itu, untuk
memastikan bahwa setiap undang-undang yang ditetapkan oleh parlemen itu tidak bertentangan
dengan UndangUndang Dasar, oleh Hans Kelsen, dianggap penting untuk menciptakan satu badan
khusus yang berisi orang-orang yang independen yang sebagiannya berasal dari kalangan
akademisi. Sampai sekarang, sebagian hakim konstitusi di Austria selalu berasal dari fakultas
hukum perguruan tinggi. Tugas semacam ini tidak mungkin diperil kan kepada para hakim birokrat
yang biasa, karena mereka harus mempunyai keahlian dalam menilai secara mendalam apakah
sesuatu undang-undang yang dibahas dan ditetapkan di parlemen bertentangan atau tidak berten
tangan dengan konstitusi.
Menurut Hans Kelsen, Mahkamah Konstitusi diharapkan berperan sebagai “a negative
legislator” yang diberi kewenangan mengesampingkan dan bahkan membatalkan undang-undang
yang nyatanyata bertentargan dengan konstitusi. Namun, dalam perkembangan di banyak negara
demokrasi parlementer, karena banyaknya undangundang yang telah dibatalkan oleh lembaga
pengawal konstitusi ini, maka kritik yang muncul kemudian ialah bahwa pergadilan ini lama-lama
berubah menjadi legislator positif, bukan lagi legislator negatif seperti yang dibayangkan oleh
Hans Kelsen. Para hakim konstitusi sama sekali tidak dipilih oleh rakyat secara langsung tetapi
berwenang mengabaikan kehendak mayoritas rakyat dalam sistem demokrasi parlementer
(unelected positive legislator prone to undermining the will of parliamentary democracies).
E. Pengangkatan dan Masa Jabatan Hakim
Baik di Francis maupun di Jerman, para hakim konsttusi Konstitusi diangkat untuk 1 kali
masa jabatan yaitu untuk waktu 12 tahun di Jerman. Prosedur pengangkatan itu murni bersifat
politik (political pointment, bukan berdasarkan karir). DI Prancis, Presiden Republik, Ketua
Majelis Nasional, dan Ketua Senat masing-masing mengajukan 1 orang Dewan Konstitusi setiap
3 tahun sekali. Di Jerman, prosedurrya lebih rinci di mana para hakim konstitusi diajukan oleh
partal politik terkait, dan diplih di parlemen atas dasar konsensus yang luas di kalangan anggota
parlemen. Dewan Konstitusi Prancis (Conseil Constitutionnel) apabila dibandingkan dengan
Mahkamah Konstitusi Jerman,sifatnya lebih politis. Dewan konstitusi lebih merupakan lembaga
politik daripada lembaga hukum (pengadilan) dalam arti yang lazim.
Oleh karena itu, meskipun sebagian besar kalangan menganinya sebagai bentuk pengadilan
juga, tetapi banyak yang mempersoalkan legitimsinya sebagai lembaga hukum.Sebaliknya,
Mahkamah Konstitusi Federal Jerman di Karlsruhe, pada umumnya, dianggap lebih bebas dari
politik. Apalagi Kalsruhe sangat jauh dari hiruk pikuk ibukota kota Berlin.Dalam
perkembangannya dewasa ini, Mahkamah Konstitusi Jerman cenderung makin kuat dan
berwibawa, tejapi bersamaan dengan itu berkembang pula kritik bahwa pengawal konstitusi ini
cenderung makin terjebak menjadi terlalu aktif (too activist) Sementara itu, Dewan Konstitusi
Prancis (Conseil Constitutionnel) dibentuk oleh Presiden Charles de Gaulle untuk melindungi
pemerintahan eksekutif yang baru terbentuk ketika itu dari kuatnya peran parlemen di zamannya.
Oleh karena itu, pada mulanya, Dewan Konstitusi Prancis memang tidak dirancang untuk tujuan
membangun lembaga yang netral dan independen terhadap kepentingan Pemerintah. Tentu saja
dewasa ini situasi dan kondisinya telah berubah. Kewenangan Dewan konstitusi ini telah
meningkat pesat dari ketika pertama didirikan. Sekarang, posisi dan perannya lebih netral dalam
rangka menjaga batas-batas antara kekuasaan cabang lembaga legislatif dengan eksekutif
(safeguard the boundaries between legis lature and the executive).
F. Pengujian Abstrak Versus Konkret dan A Priori Versus A Posteriori
Dewan Konstitusi Prancis diberi kewenangan untuk melakukan pengujian undang-undang
secara a priori atau bersifat preventif (ex ante review). Yang berhak mengajukan permohonan
untuk itu dibatasi hanya Presiden, Perdana Menteri, Ketua Parlemen Ketua Senat atau 60 orang
anggota parlemen atau senator. Dalam praktiknya di atas permukaan, peranan Dewan Konstitusi
Prancis ini dapat dikatakan mirip atau seolah merupakan perluasan saja dari ruang persidangan
parlemer.
Inisiatif perluasan persidangan itu datang dari mosi yang diajukan kelompok minoritas
yang kalah dalam pemungutan suara dalam rangka pembentukan undang-undang tertentu.
Sementara itu, Mahkamah Konstitusi Jerman, terlibat dalam proses pengujian konstitusionalitas,
baik atas norma yang bersifat konkret maupun yang bersifat abstrak, baik melalui pengujian yang
bersifat a priori (ex ante review) ataupun a posteriori (ex post review). Pengujian abstrak menurut
beberapa ahli memang diakui lebih memungkinkan menyebabkan terjadinya politisal Peradilan
konstitusional ini, daripada pada pengujian konkret (concrete review), Akan tetapi, dalam sistem
yang dikembangkan di Amerika Serikat, perbedaan antara 'abstract and concrete review in
sebenarnya lebih merupakan perbedaan di permukaan daripada perbedaan yang rill (more apparent
than real)

Anda mungkin juga menyukai