Anda di halaman 1dari 23

UNIVERSITAS INDONESIA

MAKALAH KECIL PERTAMA

Wewenang Uji Materiil Oleh Lembaga Kehakiman Mahkamah


Agung
(Perkembangan Amerika Serikat dan Indonesia)
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Politik Hukum

Dosen Pengampu: Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H.

Bintang Parashtheo

NPM 2006615490 (No. Presensi 19)

Kelas Hukum Ekonomi Pagi

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
JAKARTA
APRIL 2021
A. Pendahuluan

1. Latar Belakang

Semua bermula pada suatu tahun, sebuah tahun yang berat bagi suatu

negara besar dimana kejadian pertama kali munculnya sejarah pengujian

(judicial review) dimulai sejak adanya kasus Marbury versus Madison Ketika

Mahkamah Agung Amerika Serikat dipimpin oleh John Marshall pada tahun

1803.1 Semejak kasus tersebut, ide pengujian Undang – Undang menjadi

populer dan secara luas didiskusikan dan diperbincangkan dibanyak negara,

yang kemudian merambah kebanyak negara – negara Eropa, salah satunya

adalah negara Jerman,2 hingga ke negara Asia Tenggara dimana ide ini juga

mempengaruhi sehinnga “the founding fathers” Indonesia dalam sidang BPUPKI

tanggal 15 Juli 1945 mendiskusikannya secara mendalam.3

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD

1945) dalam Amandemen Ketiganya secara tegas menyebutkan bahwa negara

Indonesia adalah negara hukum.4 Aturan dasar yang dapat dikatakan sebagai

1 Jimly Asshiddiqie, “Mahkamah Konstitusi dan Pengujian Undang – Undang”, Artikel dimuat

dalam Jurnal Hukum Nomor 27 Vol. 11 September 2004: 1-6, 2004, hlm. 2.
2 Cholidin Nasir, “Judicial Review di Amerika Serikat, Jerman, dan Indonesia”, Artikel dimuat

dalam Jurnal Hukum Progresif, Vol. 8, No. 1, April 2020, 2020, hlm. 67.
3 Jimly Asshiddiqie, Op.cit.
4 Republik Indonesia, Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Amandemen Ketiga, Pasal 1 ayat (3).

1
pedoman semua aspek – aspek berkehidupan. Disebabkan hal tersebut, seluruh

tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, berpedoman

pada norma hukum.5 Negara menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan

negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya

dilakukan di bawah kekuasaan hukum, disebabkan hal tersebut, seluruh sistem

penyelenggaraan ketatanegaraan harus berdasarkan konstitusi.6

Penyelenggaraan negara yang didelegasikan kepada organ – organ

negara harus berjalan sesuai dengan koridor hukum yang ditentukan oleh

konstitusi.7 Dapat disimpulkan bahwa setiap penyelenggaraan kekuasaan

negara atau pemerintahan selalu terbangun oleh dan berlandaskan pada prinsip

– prinsip serta ketentuan – ketentuan konstitusi.8

Sistem ketatanegaraan di Indonesia menngenal lembaga yang bernama

Mahkamah Konstitusi. Lahir dan adanya lemabaga ini dalam struktur

ketatanegaraan Indonesia adalah dalam rangka mewujudkan sistem pemisahan

kekuasaan (separation of power) dengan prinsip check and balance.9

5 Marwan Effendy, Kejaksaan RI: Posisi Dan Fungsinya Dari Prespektif Hukum, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 1.
6 Mahfud MD., Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: LP3ES,

2007), hlm. 57.


7 Jimly Assiddiqie, Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: SInar Grafika, 2010),

hlm. 57.
8 Bachtiar, Problematika Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi pada Pengujian UU

Terhadap UUD, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2015), hlm. 9.


9 Jimly Assiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006) hlm.

20.

2
Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji secara

konstitusionalitas suatu Undang – Undang, menguji sejauh mana Undang –

Undang yang bersangkutan bersesuai atau bertentangan dengan UUD.10

Pengujian ini penting karena Undang – Undang adalah produk politik, sebab ia

merupakan kristalisasi, formalisasi, atau legalisasi dari kehendak – kehendak

politik yang saling bersaingan, baik melalui kompromi politik maupun melalui

dominasi oleh kekuatan politik yang terbesar.11

Selain Mahkamah Konstitusi, di negara Belanda sistem uji materiil (judicial

review) juga dilakukan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara. Pendirian

Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu perubahan terpenting

dalam sistem hukum Indonesia.12 Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana

Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa Kekuasaan kehakiman

dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di

bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,

lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh

sebuah Mahkamah Konstitusi. Dimana Mahkamah Agung mempunyai

kewenangan untuk uji materiil namun, hanya dibatasi pada objek peraturan

10 Bachtiar, Op. cit, hlm. 11.


11 Mahfud MD., Politik Hukum Indonesia, Edisi Revisi, Cetakan kedua, (Jakarta: Rajawali Press,
2009), hlm. 5.
12 Adriaan W. Bedner, Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, (Jakarta: Hu-Ma, 2010) hlm.

1.

3
tertentu. Tentu hal ini berbeda dengan sistem yang berlaku di Amerika Serikat

selaku cikal bakal ditemukannya uji materiil dimana wewewang tersebut

dipegang oleh Makhamah Agung namun berbeda sebagaimana penerapan di

Indonesia, maka perkembangan dapat dikatakan sebagai faktor utama adanya

perbedaan diantara sistem pemegang wewenang uji materiil dikedua negara

tersebut.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan apa yang dijelaskan dalam latar belakang di atas, dapat

dirumuskan dan diambil beberapa permasalah yaitu:

1. Bagaimana sejarah politik yang berkaitan dengan uji materiil di negara

Amerika Serikat?

2. Bagaimana sistem uji materiil yang dianut oleh negara Amerika Serikat dan

Indonesia?

3. Tujuan

Berdasarkan apa yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah diatas, dapat

diambil tujuan daripada makalah ini dibuat, yaitu:

1. Untuk mengetahui sejarah politik yang berkaitan dengan uji materiil di negara

Amerika Serikat

4
2. Untuk Mengetahui sistem uji materiil yang dianut oleh negara Amerika Serikat

dan Indonesia.

B. Sejarah Politik Yang Berkaitan Dengan Uji Materiil di

Negara Amerika Serikat

Judicial review atau uji materiil tidak dikenal sama sekali pada awal

sejarahnya negara Amerika Serikat hingga munculnya gugatan pertama judicial

review yang diajukan ke Makmakah Agung Amerika serikat terjadi pada tahun

1796 dalam kasus Hylton vs. Amerika Serikat. Sebelum membahas lebih lanjut

mengenai sejarah perjalanan politik hukum dalam uji materiil di Indonesia, lebih

dahulu harus dipahami mengenai konsepsi daripada demokrasi. Negara hukum

yang demokratis, tidak akan terlepas dari pembahasan tiga subtansi dasar yangn

dikandungnya, yaitu negara hukum itu sendiri, konstitusi, dan demokrasi. 13

Negara hukum pada hakikatnya menghendaki adanya supremasi

konstitusi. Supremasi konstitusi di samping merupakan akibat daripada konsep

negara hukum, sekaligus juga merupakan pelaksanaan demokrasi karena

konstitusi merupakan wujud pelaksanaan perjanjian sosial tertinggi. 14 Paham

13 Bachtiar, Op. cit, hlm. 28.


14 Satya Arinanto dan Ninuk Triyanti, Memahami Hukum dan Konstruksi Sampai Implementasi,
(Jakarta: Rajawali Press, 2009), hlm. 223.

5
negara berdasarkan atas konstitusi tidak dapat dipisahkan dari negara

berdasarkan hukum. Keduanya sama – sama bertujuan untuk membatasi

kekuasaan pemerintah dan menolak setiap bentuk kekuasaan tanpa batas. 15

Konstitusi adalah fondasi menuju demokrasi.16 yang berarti merupakan

dasar untuk tujuan demokrasi atau dapat dikatakan sebuah prasyarat untuk

demokrasi dapat berjalan dengan baik, atau dengan kata lain penyelenggaraan

pemerintahan harus terbangun oleh dan berlandaskan pada prinsip – prinsip dan

ketentuan – ketentuan konstitusi.17

Berlanjut kepada sejarah judicial review di Amerika Serikat, dimana pada

kasus Marbury vs Madison di tahun 1803 merupakan sejarah awal adanya

judicial review pada masa masa pemerintahan Presiden John Marshall.

Walaupun objek gugatan bukanlah sebuah Undang – Undang, namun sebuah

writ of mandamus yaitu sebuah gugatan untuk membuat oejabat publik untuk

melakukan sesuatu saja.18

Semula, John Marshall adalah menjabat sebagai Secretary of State dalam

Pemerintahan Presiden John Adams yang dikenal sebagai tokoh The Federalist

(Partai Federal). Presiden John Adams adalah Presidan pertama yang

15 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia,

(Bandung: Alumni, 1993), hlm. 104.


16 Norbert Eschborn, Tugas dan Tantangan Mahkamah Konstitusi di Negara – Negara

Transformasi dengan Contoh Indonesia, (Jakarta: Konrad Adenauer Stiftung, 2005) hlm. 27.
17 Bachtiar, Op. cit, hlm. 29.
18 Cholidin Nasir, Op.Cit, hlm. 69.

6
menduduki Gedung Kepresidenan yang baru dibangun. Istrinya Abigail tiba

disana pertama kalinya di bulan November tahun 1800.19 Dalam pemilihan

umum tahun 1800 untuk masa jabatan keduanya, John Adams dikalahkan oleh

Thomas Jefferson dari Partai Democratic-Republic.20

Setelah kalah, dalam masa peralihan untuk serah terima jabatan dengan

Presiden terpilih Thomas Jefferson, John Adams membuat keputusan-

keputusan yang di antaranya, menurut para pengeritiknya dimaksudkan untuk

menyelamatkan sahabat-sahabatnya sendiri supaya mendapatkan kedudukan-

kedudukan yang penting. Termasuk, Secretary of State John Marshall

diangkatnya menjadi Ketua Mahkamah Agung (Chief Justice).21

Maret 1801 Jefferson berjalan dari rumah indekos dekat ke ruang senat

didalam bangunan Capitol untuk mengambil sumpahnya dari John Marshall,

sepupu jauhnya dan Hakim Ketua Amerika Serikat yang baru dipilih dari

Marshall.22 Mereka-mereka yang namanya tercantum dalam surat pengangkatan

hakim perdamaian itu antara lain ialah William Marbury, Denis Ramsay, Robert

Townsend, William Harper. Karena surat pengangkatannya itu ditandatangani

19 Satya Arinanto, Politik Hukum 3, (Jakarta: Faculty of Law University of Indonesia, 2001), hlm.
3.
20 Susan Dunn, Jefferson's Second Revolution: The Election Crisis of 1800 and the Triumph of

Republicanism, (New York: Houghton Mifflin Company, 2004), hlm. 28.


21 Jimly Asshiddiqie, Sejarah Constitutional Review Dan Gagasan Pembentukan Mahkamah

Konstitusi, http://jimlyschool.com/read/analisis/276/sejarah-constitutional-review-gagasan-
pembentukan-mk/, 2012, diakses pada tanggal 15 April 2021.
22 Satya Arinanto, Op.Cit, hlm. 5.

7
dan dicap di detik-detik terakhir menjelang pergantian Presiden dari John Adams

ke Thomas Jefferson (4 Maret 1801), William Marbury dan kawan-kawannya itu

kemudian dijuluki sebagai “midnight judges”.23

Sayangnya, copy surat pengangkatan mereka tidak sempat lagi

diserahterimakan sebagaimana mestinya. Pada keesokan harinya, tanggal 4

Maret 1801, surat-surat tersebut masih berada di kantor kepresidenan. Karena

itu, ketika Thomas Jefferson sebagai Presiden baru mulai bekerja pada hari

pertama, surat – surat itu ditahan oleh James Madison yang diangkat oleh

Presiden Thomas Jefferson sebagai the Secretary of State menggantikan John

Marshall.24 Madison menahan surat itu karena dianggap sudah tidak relevan

karena Presiden sudah berganti dari John Adams ke Thomas Jefferson.25

Atas dasar penahanan surat itulah maka Willaim Marbury dkk melalui

kuasa hukum mereka, yaitu Charles Lee yang dikenal sebagai mantan Jaksa

Agung Federal, mengajukan tuntutan langsung ke Mahkamah Agung yang

dipimpin oleh John Marshall agar sesuai dengan kewenangannya

memerintahkan Pemerintah melaksanakan tugas yang dikenal sebagai „writ of

mandamus‟ dalam rangka penyerahan surat-surat pengangkatan tersebut.

23William H. Rehnquist, The Supreme Court (Revised and Update), (New York: Vintage Books
– Random House, 2002), hlm. 26-27.
24 Jimly Asshiddiqie, Op.cit.
25 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, (Jakarta:
Konstitusi Press, 2005), hlm. 17.

8
Karena, pengangkatan mereka menjadi hakim telah mendapat persetujuan

Kongres sebagaimana mestinya dan pengangkatan itu telah pula dituangkan

dalam Keputusan Presiden yang telah ditandatangani dan telah dicap resmi

(sealed).26

Ketua MA John Marshall saat itu menyatakan bahwa Section 13 Judiciary

Act of 1789 yang memberikan kewenangan MA mengeluarkan surat perintah

pengadilan (writ of mandamus) yang memerintahkan pejabat melaksanakan

tugas dari jabatannya itu, yang juga berlaku kepada pejabat negara dengan

posisi setinggi James Madison (Secretary of State/setingkat Mendagri dan Menlu

digabungkan di Indonesia) pada waktu itu dinyatakan bertentangan dengan

Pasal III Konstitusi Amerika Serikat di mana MA hanya berwenang untuk perkara

yang melibatkan duta besar, pejabat setingkat menteri, pejabat konsuler dari

negara lain serta perkara yang melibatkan satu negara bagian sebagai pihak

dalam perkara tersebut, sementara Marbury bukan kedua-duanya27

Pro kontra muncul dalam masyarakat Amerika Serikat mengenai hal ini.

Bahkan dari Pemerintah dan Kongres muncul komentar-komentar yang pada

pokoknya tidak berpihak kepada para penggugat. Tetapi, dalam putusan yang

ditulis sendiri oleh John Marshall, jelas sekali Mahkamah Agung membenarkan

26 Jimly Asshiddiqie, Sejarah Constitutional Review Dan Gagasan Pembentukan Mahkamah


Konstitusi, Op.cit.
27 Abdul Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi: Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi,

(Yogyakarta: Total Media, 2009), hlm.188.

9
bahwa pemerintahan John Adams telah melakukan semua persyaratan yang

ditentukan oleh hukum sehingga William Marbury dan kawan-kawan dianggap

memang berhak atas surat-surat pengangkatan mereka itu menurut hukum.

Namun, Mahkamah Agung sendiri dalam putusannya menyatakan tidak

berwenang memerintahkan kepada aparat pemerintah untuk menyerahkan

surat-surat dimaksud.28

Di dalam salah satu pertimbangan hukumnya, Supreme Court mendalilkan

pertimbangan sebagai berikut:

“It one of the purpose of written constitution to define and limit the powers
of the legislature. The legislature cannot be permittes to pass statutes
contrary to a constitution, if the letter is to prevail as superior law. A court
avoid choosing between the constitution and a conflicting statute when
both are relevant to a case which the court is asked to decide. Since the
constitution is paramount law, judges have no choice but to prefer it to
refuse to give effect to the latter.”29
Mahkamah Agung menyatakan bahwa apa yang diminta oleh penggugat,

yaitu agar Mahkamah Agung mengeluarkan ‘writ of mandamus’ sebagaimana

ditentukan oleh Section 13 dari Judiciary Act Tahun 1789 tidak dapat dibenarkan,

karena ketentuan Judiciary Act itu sendiri justru bertentangan dengan Article III

Section 2 Konstitusi Amerika Serikat. Oleh karena itu, dalil yang dipakai oleh

28 Jimly Asshiddiqie, Op.cit.


29 Ahmad Zaenal Fanani, Hermeneutika Hukum sebagai Metode Penemuan Hukum: Telaah
Filsafat Hukum, (Makalah), tanpa penerbit, tanpa tempat terbit, tanpa tahun, hlm. 11-12.

10
Mahkamah Agung di bawah pimpinan Chief Justice John Marshall untuk

memeriksa perkara Marbury versus Madison itu, bukanlah melalui pintu Judiciary

Act Tahun 1789 tersebut, melainkan melalui kewenangan yang ditafsirkannnya

dari dari konstitusi. Konstitusi tertulis dimaksudkan penyusunnya sebagai

kaidah-kaidah hukum yang paling fundamental sehingga tindakan-tindakan

eksekutif—termasuk UU yang dihasilkan kekuasaan legislatif---yang

bertentangan dengan kaidah-kaidah konstitusi tidak berlaku sah dan tidak

mengikat. Pengadilan memiliki kewanangan untuk menilai hal tersebut.30

Dengan sendirinya, menurut John Marshall, segala undang-undang

buatan Kongres, apabila bertentangan dengan konstitusi sebagai „the supreme

law of the land’ harus dinyatakan „null and void‟. Kewenangan inilah yang

kemudian dikenal sebagai doktrin ‘judicial review‟ sebagai sesuatu yang sama

sekali baru dalam perkembangan sejarah hukum di Amerika Serikat sendiri dan

juga di dunia.31

Di dalam mengambil putusan fenomenal tersebut Chief Justice John

Marshall mengemukakan tiga alasan mengapa ia sampai pada putusan itu.

Pertama, hakim bersumpah untuk menujunjung tinggi konstitusi, sehingga jika

ada peraturan yang dianggap bertentangan dengan konstitusi, maka hakim

30 Benny K Harman, Mempertimbangkan Mahkamah Konstitusi: Sejarah Pemikiran Pengujian


UU terhadap UUD, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2013), hlm. 63.
31 Jimly Asshiddiqie, Op.cit.

11
harus melakukan pengujian terhadap peraturan tersebut. Kedua, Konstitusi

adalah the supreme law of the land sehingga harus ada peluang pengujian

terhadap peraturan yang ada dibawahnya agar isi konstitusi itu tidak dilanggar.

Ketiga, hakim tidak boleh menolak perkara sehingga kalau ada yang

mengajukan permintaan judicial review, permintaan tersebut haruslah

dipenuhi.32

Dengan putusan itu, maka meskipun dalam pertimbangannya

membenarkan bahwa hak Marbury dkk adalah sah menurut hukum, tetapi

gugatan Marbury dkk ditolak karena Mahkamah Agung menyatakan tidak

berwenang mengeluarkan „writ of mandamus‟ seperti yang diminta. Namun

demikian, yang lebih penting lagi putusan itu justru membatalkan undang-

undang yang mengatur tentang ‘writ of mandamus’ itu sendiri yang dinilai oleh

Mahkamah Agung bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, yaitu tepatnya

bertentangan dengan ketentuan Section 2 Article III UUD Amerika Serikat.33

32 Mahfud MD., Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 99.
33 Jimly Asshiddiqie, Op.cit.

12
C. Sistem Uji Materiil Yang Dianut Oleh Negara Amerika

Serikat Dan Indonesia.

Konstitusi merupakan penyusunan jabatan dalam suatu negara dan

menetukan apa yang dimaksudkan dengan badan pemerintahan dan apa akhir

dari setiap masyarakat, konstitusi merupakan aturan – aturan dan penguasa

harus mengatur negara menurut aturan – aturan tersebut.34 Walaupun pemikiran

tersbut masih bisa dibilang belum jelas, memicu timbulnya konsep rerchtsstaat

dari freidrich Julius Stahl, unsur – unsur senaga hukum (rechtsstaat) sebagai

berikut:35

a. Perlindungan hak – hak asasi manusia;

b. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak – hak itu;

c. Pemerintahan berdasarkan peraturan perUndang – Undangan; dan

d. Peradilan administrasi perselisihan.

Kemudian, pada negara anglo-saxon, timbul konsep negara hukum (rule

of law) dari A.V. Dicey, dengan unsur – unsur sebagai berikut:36

34 Azhary, Negara Hukum Indonesia, (Jakarta: UI-Press, 1995), hlm. 20.


35 Miriam Budiardjo, Dasar – Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 57-58.
36 Ibid.

13
a. Supremasi aturan – aturan hukum (supremacy of the law); tidak adanya

kekuasaan sewenang wenang (absence of arbitrary power), dalam arti bahwa

seseorang hanya boleh dihukum kalua melanggar hukum;

b. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality vefore the law).

Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun pejabat; dan

c. Terjaminnya hak – hak mannusia oleh Undang – Undang (di negara lain oleh

Undang – Undang Dasar) serta keputusan – keputusan pengadilan.

dalam pengujian norma terdapat dua istilah, yaitu Toetsingrecht dan

Judicial Review, kedua istilah tersebut, menurut Fatmawati, tergantung dari

tradisi hukum yang dianut oleh satu negara, bagi negara yang menganut tradisi

hukum civil law dikenal dengan Toetsingrecht dan bagi negara yang menganut

tradisi hukum common law dikenal dengan Judicial Review.37 meskipun memiliki

pengertian yang sama antara Toetsingrecht dan Judicial Review yaitu hak untuk

menguji, akan tetapi Toetsingrecht dilakukan tidak hanya oleh hakim melainkan

juga dilakukan oleh lembaga negara lain yang diberi kewenangan berdasarkan

peraturan perundang-undangan dalam hal ini lembaga legislatif dan lembaga

eksekutif.

Judicial review secara kelembagaan adalah pengujian oleh lembaga

peradilan dimana pada mulanya hanya terkait dengan norma konkret, seperti

37 Fatmawati, Hak Menguji (Toetsingsrechts) Yang Dimiliki Hakim Dalam Sistem Hukum
Indonesia, (Jakarta: PT. Radja Grafindo Press, 2005), hlm. 45.

14
keputusan-keputusan yang bersifat administratif yang dalam bahasa Belanda

disebut beschikking. Dalam bahasa Inggris peninjauan atas putusan pengadilan

juga disebut judicial review, seperti pengajuan banding, pengajuan kasasi, dan

peninjauan kembali yang kesemuanya adalah judicial review dalam bentuk

concrete norm review.38

Dalam sejarah amandemen Undang-Undang Dasar Amerikan Serikat yang

telah dilakukan selama kurang lebih 28 kali amandemen, tidak ditemukan

perubahan yang secara materil berkaitan dengan ketentuan di bidang kekuasaan

kehakiman. Karena itu kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-

Undang Dasar Amerika Serikat sampai saat ini adalah tetap di tangan

Mahkamah Agung (Supreme Court).Karena itu seluruh kekuasaan dan

kewenangan di bidang peradilan Amerika Serikat termasuk di dalamnya untuk

melakukan peradilan konstitusi atas pengujian perundang-undangan (judicial

review) tetap berada di tangan Mahkamah Agung (Supreme Court).39

Sementara, Mahkamah Agung Republik Indonesia merupakan lembaga

yang oleh Undang-Undang Dasar 1945 diberikan kewenangan langsung untuk

melaksanakan kekuasaan kehakiman. Sejak dikeluarkannya Ketetapan MPR

38 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta:

Bhuana Ilmu Populer, 2008), hlm. 33.


39 Yoyon M. Darusman, Pelaksanaan Pengujian Perundang – Undangan (Judicial Review)

Sebagai Suatu Proses Pengawasan Hukum Di Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia dan
Amerika Serikat (Suatu Studi Perbandingan), Jurnal Surya Kencana Satu (Dinamika Masalah Hukum
& Keadilan) Volume 3/Nomor 1/Maret 2013. 2013, hlm. 10.

15
Nomor : III/MPR/1973 (Pasal 11); Ketetapan MPR Nomor : III/MPR/1978 (Pasal

11); Undang-Undang Nomor : 14 Tahun 1970 (Pasal 26); Undang-Undang

Nomor : 14 Tahun 1985 (Pasal 31), sampai dengan perubahan ketiga Undang-

Undang Dasar 1945 dan perubahan berbagai undang-undang di bidang

kekusaaan kehakiman, yang kesemuannya menetapkan bahwa Mahkamah

Agung RI memiliki kedudukan dan kewenangan untuk melakukan pengujian

peraturan perundang-undangan yang derajatnya di bawah undang-undang.40

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah

perubahan ketiga tahun 2001, maka pengujian perayuran perundang-undangan

secara substabtif dan pengorganisasiannya juga berubah sebagaimana yang

diatur dalam Pasal 24 Ayat (2), Pasal 24A Ayat (1), Pasal 24C Ayat (1).

Pasal 24 Ayat (2)


Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitsi.***).
Pasal 24A Ayat (1)
Mahkamah Agung berwewenang mengadili pada tingkat kasasi,
meguji peaturan perundang-unangan dibawah undang-undang terhadap

40 Zainal Arifin Hoesin, Judicial Review Di Mahkamah Agung RI, Tiga Dekade Pengujian
Perundang – undangan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 58.

16
undangundang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh
undangundang.***
Pasal 24 C Ayat (1)
Mahkamah Konstitusi berwewenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-undang Dasar, memutus sengketa
kewenangankewenangan lembaga Negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-undang Dasar, memutus pembubaran partai
politik, dan memutus perselisihan tentang pemilihan umum.***).

D. Penutup

1. Kesimpulan

Judicial review yang dikenal secara perdana dalam sejarah adalah karena

adanya kasus Marbury vs. Madison yang diadili oleh Mahkamah Agung Amerika

Serikat, kemudian terus berlangsung dan berkembang judicial review di negara

lain. Judicial review di Amerika Serikat tidak diajukan langsung dalam menguji

langsung undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar melainkan melalui

kasus yang konkret. Judicial review di Amerika Serikat tidak hanya dilakukan

oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat tetapi juga oleh setiap Pengadilan yang

dikenal dengan model desentralisasi. Indonesia merupakan negara yang tidak

hanya memiliki lembaga peradilan Mahkamah Agung, tetapi juga memiliki

17
Mahkamah Konstitusi, dimana yaitu judicial review dilakukan oleh satu lembaga

yaitu Mahkamah Konstitusi, akan tetapi di Indonesia membedakan antara

pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung,

yaitu judicial review undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar menjadi

kewenangan Mahkamah Konstitusi dan judicial review peraturan perundang-

undangan di bawah undang menjadi kewenangan Mahkamah Agung.

2. Saran

Politik merupakan istilah yang sangat dekat dengan negara, bahkan segala

sesuatu yang berkaitan dengan negara adalah tidak lain dan tidak bukan

merupakan hasil daripada politik, termasuk di dalamnya adalah lembaga penguji

materiil. Sebagai lembaga mandiri yang berfungsi untuk mengawasi dan

mencegah terjadinya kesewenangan terhadap eksekutif ataupun legislatif, perlu

dijaganya lembaga yang sehat dan baik agar terlepas dari segala politik yang

mengikuti, jangan sampai lembaga yang seharusnya bersifat mandiri,

Perbedaan sistem yang dianut oleh Indonesia yang berbeda dengan sejarah asli

uji matriil tidak memiliki dampak yang signifikan, namun patut kembali dilihat

kedalam sejarah politik bagaimana Indonesia memakai sistem adanya

Mahkamah Konstitusi, apakah Indonesia menciptakan sistem tersebut atau

18
mengadaptasi dari negara lain yang juga mengembangkan sistem judicial review

ini.

E. Daftar Pustaka

1. Buku

Abdul Latif, 2009, Fungsi Mahkamah Konstitusi: Upaya Mewujudkan Negara


Hukum Demokrasi, Yogyakarta: Total Media,

Adriaan W. Bedner. 2010. Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Jakarta:


Hu-Ma,

Azhary, 1995, Negara Hukum Indonesia, Jakarta: UI-Press,

Bachtiar, 2015, Problematika Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi pada


Pengujian UU Terhadap UUD, Jakarta: Raih Asa Sukses,

Bagir Manan dan Kuntana Magnar. 1993. Beberapa Masalah Hukum Tata
Negara Indonesia, Bandung: Alumni,

Benny K Harman, 2013, Mempertimbangkan Mahkamah Konstitusi: Sejarah


Pemikiran Pengujian UU terhadap UUD, Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia,

Fatmawati, 2005, Hak Menguji (Toetsingsrechts) Yang Dimiliki Hakim Dalam


Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta: PT. Radja Grafindo Press,

Jimly Asshiddiqie, 2005, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai


Negara, Jakarta: Konstitusi Press,

______________, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta:


Konstitusi Press,

______________, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca


Reformasi, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer,

19
______________, 2010, Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia, Jakarta:
SInar Grafika,

Marwan Effendy, 2005, Kejaksaan RI: Posisi Dan Fungsinya Dari Prespektif
Hukum, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,

Mahfud MD., 2007, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen


Konstitusi, Jakarta: LP3ES,

__________, 2009, Politik Hukum Indonesia, Edisi Revisi, Cetakan kedua,


Jakarta: Rajawali Press,

__________, 2010, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen


Konstitusi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

Miriam Budiardjo. 1982. Dasar – Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia,

Satya Arinanto, 2001, Politik Hukum 3, Jakarta: Faculty of Law University of


Indonesia,

____________ dan Ninuk Triyanti. 2009. Memahami Hukum dan Konstruksi


Sampai Implementasi, Jakarta: Rajawali Press,

Norbert Eschborn. 2005. Tugas dan Tantangan Mahkamah Konstitusi di Negara


– Negara Transformasi dengan Contoh Indonesia, Jakarta: Konrad
Adenauer Stiftung,

Susan Dunn, 2004, Jefferson's Second Revolution: The Election Crisis of 1800
and the Triumph of Republicanism, New York: Houghton Mifflin
Company,

William H. Rehnquist, 2002, The Supreme Court (Revised and Update), New
York: Vintage Books – Random House,

Zainal Arifin Hoesin, 2009, Judicial Review Di Mahkamah Agung RI, Tiga Dekade
Pengujian Perundang – undangan, Jakarta: Raja Grafindo Persada,

20
2. Majalah Ilmiah

Ahmad Zaenal Fanani, tanpa tahun, “Hermeneutika Hukum sebagai Metode


Penemuan Hukum: Telaah Filsafat Hukum”, (Makalah), tanpa penerbit,
tanpa tempat terbit,

Jimly Asshiddiqie, 2004, “Mahkamah Konstitusi dan Pengujian Undang –


Undang”, Artikel dimuat dalam Jurnal Hukum Nomor 27 Vol. 11
September 2004,

Cholidin Nasir, 2020, “Judicial Review di Amerika Serikat, Jerman, dan


Indonesia”, Artikel dimuat dalam Jurnal Hukum Progresif, Vol. 8, No. 1,
April 2020,

Yoyon M. Darusman, 2013, Pelaksanaan Pengujian Perundang – Undangan


(Judicial Review) Sebagai Suatu Proses Pengawasan Hukum Di Dalam
Sistem Ketatanegaraan Indonesia dan Amerika Serikat (Suatu Studi
Perbandingan), Jurnal Surya Kencana Satu (Dinamika Masalah Hukum
& Keadilan) Volume 3/Nomor 1/Maret 2013,

3. Peraturan PerUndang – Undangan

Republik Indonesia. 1945. Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia,

4. Internet

Jimly Asshiddiqie, 2012, Sejarah Constitutional Review Dan Gagasan


Pembentukan Mahkamah Konstitusi,
http://jimlyschool.com/read/analisis/276/sejarah-constitutional-review-
gagasan-pembentukan-mk/,

21
22

Anda mungkin juga menyukai