Anda di halaman 1dari 24

PENGARUH TRADISI (HUKUM ADAT) DALAM PEMBANGUNAN HUKUM

DI INDONESIA

(Tinjauan dari Sosiologi Hukum)

A. Pendahuluan

Pakar hukum Indonesia Stajipto Raharjo sering mengemukakan bahwa

era reformasi yang menggelinding di penghujung akhir tahun 90-an ini

menjadikan Indonesia sebagai “laboratorium hukum” terbaik dan terlengkap di

dunia. Dari pernyataan tersebut setidaknya dapat dipetik dua pesan yang hendak

disampaikan :

pertama, sebuah sindiran tajam tentang adanya kebobrokan system hukum yang

ada di Indonesia, baik menyangkut substansi hukumnya, maupun implementasi

dan penegakan hukumnya.

Kedua, harapan kepada semua pihak baik kalangan legislasi, akademisi, praktisi

hukum dan masyarakat luas, untuk memberikan perhatian yang serius dan

maksimal dalam rangka pembangunan system hukum Indonesia

Era reformasi telah memberikan spirit dan kesadaran baru untuk

membangun system hukum Indonesia yang dicita-citakan. “Reformasi Hukum”

telah menjadi jargon primadona, walaupun amat disayangkan karena ternyata

harapan masyarakat yang begitu besar dan menggebu terhadap terwujudnya

Negara hukum yang menjamin kepastian hukum dan keadilan tidak mendapat

respon yang seimbang dari kalangan legislasi, politisi maupun aparat penegak

hukum. Oleh karena itu ide Negara hukum yang demokratis menjadi ide yang

1
harus diperjuangkan dan diterapkan dalam menegakka supremasi hukum di

Indonesia.

B. Permasalahan

Dalam makalah ini yang menjadi permasalahan yang akan dipaparkan

dalam pembahasan adalah : Bagaimanakah Pengaruh Tradisis Hukum Adat dalam

Pembangunan Hukum di Indonesia dilihat dari Perspektif Sosiologi Hukum ?

C. Pembahasan

1. Konsep Negara Hukum sebagai Fondasi Pembangunan Hukum Indonesia

Konsep Negara hukum merupakan konsep yang sangat popular. Dalm

sejarah dikenal dua konsep yang sangat berpengaruh yaitu “rechtsstaat” Jerman

dan “the rule of law” Inggris. Walaupun pemikiran kedua konsep itu sudah lama

mendahului adanya, tapai kedua istilah itu baru mulai popular di eropa pada awal

abad XIX

Konsep “rechtsstaat” lahir Dari perjuangan menentang absolutisme

sehingga sifatnya revolusioner dan bertumpu pada “Civil Law atau Modern

Roman Law” sebaliknya konsep “the rule of law” berkembang secara evolusioner

dan berdasarkan pada system hukum “common law” atau “Anglo saxon”

Adapun syaratr-syarat dasar “rechstaat” atau “the rule of law” ada;ah

sebagai berikut (Reformasi hukum, 2000 : 1):

a. Asas legislasi syarat ini mengadung pengertian bahwa segala tindak tanduk

pemerintah harus didasarkan atas dasar peraturan perundang-undangan

2
(Wettelike Groundslag). Dengan landasan ini undang-undang dalam arti

formal dan undang-undang dasar muerpakan tumpukan dasar tindak

pemerintahan. Dalam hubungan ini pembentukan undang-undang merupakan

bagian penting Negara hukum.

b. adanya pembagian kekuasaan (distribution of power) syarat ini mengadung

makna bahwa kekuasaan Negara tidak boleh bertumpu pada satu tangan, mesti

ada pembagian tugas dan wewenang

c. negara hukum memiliki hak-hak dasar (Groundrechten), dalam hal ini

menekankan bahwa hak-hak dasar merupakan sasaran perlindungan hukum

bagi rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan pembentukan undang-undang

d. pengawasan pengadilan, dalam hal ini memberi batasan bahwa bagi rakyat

tersedia saluran melalui pengadilan yang bebas untuk menguji keabsahan

tindak pemerintahan (rechtmatigheid toetsing)

Dengan terminology berbeda Frans Magnis Suseno mengemukakan, ada

empat syarat atau cirri penting Negara hukum yang mempunyai hubungan

pertautan atau tali temali satu sama lain yaitu ( Frans Magnis Suseno, 1991: 298-

301) :

1) adanya asas legalitas yang artinya pemerintah bertindak semata-mata atas dasar

hukum yang berlaku;

2) adanya kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman terutama dalam

fungsinya untuk menegakkan hukum dan keadilan;

3) adanya jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia,

4) adanya pemerintahan berdasarkan system konstitusi atau hukum dasar

3
Kant, Stahl, dan Dicey juga memandang “separation of powers” sebagai salah

satu cirri dari faham”rechtstaat” ataupun “rule of law” (Oemar Seno Adji, tt,

20).

Dalam konteks ke indonesiaan ide Negara hukum telah mulai

diperkenakan sejak tahun 1854 oleh pemerintah Hindia Belanda dengan

dikeluarkannya Regeringsreglemen. Implementasi ide Negara hukum ini terus

dikukuhkan oleh para pendiri Negara Republik Indonesia (founding father) yaitu

dengan memasukkannya dalam penjelasan Undang-Undang dasar 1945 yang

berbunyi : Negara Indonesia berdasar atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasar

atas kekuasaan belaka (Machtsstaat). Disebutkan juga bahwa Pemerintah

Indonesia berdasar atas system konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat

absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas)

Jadi dapat dikatakan bahwa secara yuridis kedudukan Negara Indonesia

sebagai Negara hukum cukup kuat, karena secara konstitusional pernyataan atau

deklarasi bahwa Negara Republik Indonesia sebagai Negara hukum ini ditegaskan

dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Menurut Daniel S.Lev penegasan yuridis konstitusional Negara Republik

Indonesia sebagai Negara hukum sangatlah tepat, karena secara sosiologis

berbagai golongan masyarakat Indonesia juga menopang Negara hukum dengan

berbagai alasan. Dilihat dari kacamata Sosiologi Hukum Kelompok etnis non

Jawa termasuk etnis Cina menopang Negara hukum karena melihat manfaat

Negara hukum yang lebih mendorong diciptakannya norma-norma yang lebih

bersifat public dari pada norma-norma birokratis yang lebih mengandalkan pada

4
basis patrimonial dari pada rasional. Kelompok minoritas agama seperti Kristen

dan Katolik mendukung ideology Negara hukum karena dalam Negara hukum

mereka melihat adanya janji perlindungan secara normative dan ekonomi.

Demikian pula kelompok Islam memberi dukungan kuat terhadap konsep Negara

hukum terutam dari golongan modernis yang peranannya sangat marginal secar

social dan politik. Walaupun dari segi jumlah merupakan mayoritas, namun dari

segi social dan politik golongan Islam di Indonesia sering disubordinasi pada

artistokrasi lama yang secara fisik nampak sebagai orang muslim namun sering

memusuhi nilai-nilai Islam dan tuntutan-tuntutan politiknya. Bagi kelompok

Islam konsep Negara hukum memberikan kekuatan protektif terhadap pengaruh

mereka yang terbatas untuk masuk dalam lingkaran kekuasaan politik nasional

(Daniel S. Lev, 1990: 386).

Secara operasional, konsep Negara hukum ini sudah diintrodusir dalam

peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari UUD, diantaranya dalam

TAP MPR NO. IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis BEsar Haluan Negara tahun

1999-2004, yaitu dalam Bab IV mengenai Arah Kebijakan Bidang Hukum, yang

pada poin pertama menyebutkan :”Mengembangkan budaya hukum di semua

lapisan masyarakat untuk terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum dalam

kernagka supremasi hukum dan tegaknya Negara hukum”

Peraturan perundang-undangan lain yang merupakan penjabaran

operasional konsep Negara hukum diantaranya adalah UU No. 14 tahun 1970

tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan perubahan dalam

5
UU No. 35 Tahun 1999 dan kemudian diperbaharui dengan Undang-undang No. 4

Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

Paparan diatas menunjukkan bahwa pilihan sebagai Negara hukum bagi

Negara Indonesia adalah merupakan pilihan yang tepat dan sekaligus tidak dapat

dihindari sebagai bagian dair komunitas dunia modern yang ditopang oleh

globalisasi dihampir segala bidang ini. Permasalahan berikutnya adalah

implementasi dari konsep Negara hukum Indonesia itu selanjutnya.

Pembangunan hukum Indonesia yang sudah dimulai sejak Proklamasi

Kemerdekaan Negara Republik Indonesia telah menghasilkan system hukum

sebagaimana yang ada sekarang. System hukum yang dibangun oleh rezim Orde

lama adalah system hukum yang kurang memperhatikan atau bahkan menabrak

sendi-sendi Negara hukum. Diantara produk perundang-undangan yang

menguatkan hal itu adalah UU No. 9 Tahun 1964 dan UU No. 13 Tahun 1965

yang memberikan wewenang kepada presiden untuk mencampuri urusan

pengadilan.

Dilihat dari perkembangan atau perubahannya Pada masa rezim Orde

Lama berkuasa, salah satu pilar keberadaan Negara hukum yaitu adanya badan

kekuasaan kehakiman yang merdeka telah terdistorsi, sehingga secara yuridis

formal keberadaan kekuasaan kehakiman yang bebas sudah tidak ada lagi.

Konfigurasi politik dan birokrasi yang dianut penguasa Orde lama banyak yang

menyimpang dari Undang-Undang Dasar 1945, diantaranya diangkatnya

pimpinan MPRS, DPR GR, DPAS, dan Mahkamah Agung sebagai Menteri,

sehingga karena kedudukannya itu mereka harus bertanggung jawab kepada

6
Presiden. Akibat konfigurasi politik dan birokrasi yang demikian menjadikan

terjadi hubungan vertical antara Presiden dengan lembaga tertinggi dan tinggi

Negara itu, dengan kedudukan Presiden brada di tempat teratas. Konfigurasi

politik dan birokrasi sebagaimana diuraikan di atas pada hakekatnya mengandung

“peradilan Terpimpin” artinya peradilan yang tidak bebas, disebabkan kehendak

mewujudkan Demokrasi Terpimpin, sebagai inti dari isi Manipol selaku haluan

Negara yang semula ditetapkan dengan pen pres dan dikuatkan oleh TAP MPR

No. I/MPRS/1960. (Sjachran Basah, 1989: 94).

Wantjik Saleh secar ekstrim mengatakan bahwa UU no. 19 Tahun 1964

dan UU No. 13 Tahun 1965 telah menciptakan peradilam tidak bebas yang

mengakibatkan goncangn salah satu “tiang agung” dari Undang-undang Dasar

1945 yang dapat meruntuhkan Indonesia sebagai Negara hukum berdasarkan

Pancasila.(K. Wantjik Saleh, 1976: 20). Sedangkan Yusril Ihza Mahendra

mengatakan bahwa pada masa Pemerintahan Kabinet Presidential Soekarno,

kemerdekaan kekuasaan kehakiman teah sirna sama sekali.(Yusril Ihza Mahendra,

1996: 4)

Sistem hukum yang terbangun pada zaman Orde Baru tidak juga banyak

berbeda dengan yang dihasilkan oleh rezim orde lama. Menurut Sarbini

Soemawinata, pada awalnya Orde Baru memang didukung oleh hamper seluruh

kekuatan demokrasi, kekuatan yang pada dasarnya didorong oleh cita-cita

kerakyatan yang mendambakan pemerintahan yang bersih, adil, bermoral tinggi,

dan demokratis. Akan tetapi 3 atau 4 tahun setelah berdirinya Orde baru mulai

mendapatkan koreksi tajam/penentangan dari kekuatan oposisi (kekuatan yang

7
tadinya ikut mendukugn berdirinya Orde baru), karena Orde Baru mulai

menunjukkan gejala-gejala yang menyimpang dari cita-cita awal berdirinya.

Rezim Orde baru menunjukkan kelemahan-kelemahan dan keserakahan yang

makin lama makin besar dan menguasai seluruh kekuasaan Negara. Orang-orang

yang berkuasa mulai memusatkan perhatian dan pamrihnya kepada kekuasaan dan

kekayaan. Maka timbullah korupsi, kolusi, cronyism, nepotisme yang meliputi

seluruh kehidupan masyarakat dan Negara, khususnya meliputi bagian kehidupan

yang dikuasai oleh birokrasi dan usaha-usaha ekonomi dari orang-orang di sekitar

pusat kekuasaan.(Sarbini Soemawinata, 1998: 6-7). Kebobrokan birokrasi

sebagaimana diuraikan diatas berjalan seiring dengan merosotnya nilai-nilai

akhlak dan disiplin nasional.

Sependapat dengan Sarbini Soemawinata, I.S. Susanto mengatakan bahwa

birokrasi yang berkembang /dikembangkan selama rezim Orde Baru telah

menyimpang dari paradigma/hakekat keberadaan birokrasi itu sendiri. Paradigma

birokrasi seharusnya adalah pelayanan kepada masyarakat untuk tercapainya

kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi birokrasi pada zaman orde baru termasuk

didalamnya birokrasi system Peradilan Pidana (SPP) tidak lagi berparadigma

kesejahteraan masyarakat, akan tetapi berparadigma kekuasaan yang bercirikan

minta dilayani masyarakat (seharusnya melayani), eksekutif, arogan, dan korup.

(I.S. Susanto, 1998).

Apabila dihubungkan dengan sosiologi hukum sebagaimana dikemukakan

oleh Nonet dan Selznick yang mengkategorisasi hukum dalam tiga tipe yaitu tipe

hukum represif, tipe hukum otonom dan tipe hukum responsive, maka system

8
hukum yang dibangun oleh rezim Orde lama dan Orde baru, khususnya

menyangkut kekuasaan kehakiman, dapat dikategorikan ke dalam tipe hukum

represif. (I.S. Susanto, 1998: 22).

Menurut Nonet dan Selznick yang juga dikutip oleh Peters dan Koesrani

Siswosoebroto, hukum represif adalah hukum yang mengabdi kepada

kekuasaan reprsif, (W. Philippe Nonet & Philip Selznick, 1978: 16). yaitu

kekuasaan yang kuran memperhatikan kepentingan-kepentingan rakyat

yang diperintahnya, disamping institusi-institusi hukum yang ada langsung

terbuka bagi kekuasaan politik. (A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto,

tt, 166-167)

Tumbangnya rezim Orde baru pada tahun 1998, dijadikan tonggak

kelahiran suatu orde yang sering disebut sebagai orde reformasi. Perubahan-

perubahan yang terjadi pada era reformasi ini, reformasi hukum nasional

merupakan kebutuhan yang paling fundamental, karena dengan reformasi hukum

ini dipecaya akan menghasilkan system hukum yang responsive dan

menggerakkan gerbong reformasi di lain sektor kehidupan masyarakat.

Nonet dan Selznick (1978: 96-113) mengartikan hukum responsive

(responsive law) adalah hukum yang berfungsi sebagai bentuk respon

terhadap kebutuhan dan aspirasi social (law as facilitator of response to social

needs and aspirations).

Reformasi hukum nasional harus berpihak kepada kepentingan rakyat dan

keadilan, meliputi pembangunan hukum yang berkaitan dengan hal-hal sebagai

berikut (Arief Ghosita, 2000: 51) :

9
1. Usaha-usaha\ yang terdiri atas kegiatan-kegiatan memperbaiki, mengurangi,

menambah hukum yang berlaku atau menggantikannya dengan yang baru

sesuai dengan kebutuhan, situasi dan kondisi di Indonesia

2. memenuhi persyaratan tertentu yang menunjang pengembangan kebenaran,

keadilan dan kesejahteraan rakyat berdasarkan UUD 1945 sebagai

pengamalan Pancasila

3. pengembangan landasan filosofis, etis, dan yuridis tertentu

4. pengembangan bahasa yang tepat dalam peraturan perundang-undangan, agar

dapat dipahami dan dihayati oleh banyak orang sebagai subyek dan obyek

hukum, sehingga mendukung penerapannya

5. pengadaan dan partisipasi alat penegak hukum yang memahami dan

menghayati makna hukum sebagai sarana dan dasar pembangunan kebenaran,

keadilan, dan kesejahteraan

6. pemahaman dan penghayatan reformasi hukum sebagai suatu bentuk

perwujudan pelayanan kesejahteraan manusia. Hukum harus dapat

mendukung pelayanan terhadap sesame manusia yang mempunyai

permasalahan dalam berbagai bidang penghidupan dan kehidupan.

Dalam melakukan pembaharuan hukum nasional, perlu diperhatikan

syarat-syarat yang harus dipenuhi sehingga menghasilkan suatu produk

perundang-undangan yang baik dan responsive terhadap kebutuhan hukum

masyarakat. Adapun persyaratan yang sekaligus dapat dijadikan alat pengukur

kualitas hukum atau suatu perundang-undangan adalah sebagai berikut (Arief

Gosita, 2000: 52-53):

10
1. Rasional positif. Substansi suatu peraturan harus dapat dilaksanakan secara

konseptual, berprogram, professional dan tidak emosional. Dengan demikian

dapat dicegah penetuan sikap dan pengambilan tindakan yang dapa

menimbulkan penderitaan mental, fisik, dan social pada seseorang.

2. Dapat dipertanggung jawabkan. Substansi dari suatu peraturan harus dapat

dipertanggungjawabkan secara horizontal, terhadap sesama manusia (manusia

yang sama harkat dan martabat sebagai manusia, dan berada dengan kita )

dan secara vertical, terhadap Tuhan (kebebasan beragama, beribadah)

3. Bermanfat. Peraturan perundang-undangan tersebut harus bermanfaat untuk

diri sendiri dan orang lain (masing-masing dapat melaksanakan hak dan

kewajibannya secara bertanggungjawab)

4. mengembangkan rasa kebersamaan, kerukunan, kesatuan, dan persatuan.

Substansi suatu peraturan merupakan dasar hukum dan pedoman mewujdukan

kebersamaan, kerukunan, kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia.

Penerapannya tidak boleh diskriminatif, destruktif, monopolitis, atau

menguntungkan golongan orang tertentu saja (anti sara, mendukung

kebebasan beragama, pendidikan dan pelayanan)

5. Mengembangkan kebenaran, keadilan, kesejahteraan rakyat. Suatu peraturan

suatu berjutuan mewujudkan kebenaran, keadilan dan kesejahteraan rakyat.

Terutama rakyat golongan lemah mental, fisik dan social (anak, perempuan ,

penyandang cacat , dsb)

6. Mengutamakan perspektif kepentingan yang diatur/dilayani dan bukan

perspektif kepentingan yang mengatur/melayani. Suatu peraturan terutama

11
harus dapat menjadi dasar hukum dan pedoman melindungi kepentingan (hak

dan kewajban) yang menjadi obyek pengaturan dan pelayanan, dan bukan

kepentingan para pengusaha atau para pelaksana tugas yang mengatur dan

melayani

7. Sebagai pengamalan pancasila. Substansi suatu peraturan harus merupakan

pewujudan terpadu pengamalan semua sila Pancasila

8. Berlandaskan Hukum secara integrative. Substansi suatu peraturan harus

dapat dipahami dan dihayati oleh para obyek dan subyek hukum, sehingga

dapat diterapkan secara terpadu dan harmonis dengan peraturan yang lain.

Akibatnya, perlu diusahakan adanya koreksi, penyesuaian, pembaharuan

peraturan perundang-undangan sesuai situasi dan kondisi terakhir dan terbaik

untuk masyarakat.

9. Berlandaskan Etika.suatu peraturan harus merupakan perwujudan dari suatu

etika profesi, dan dapat dipertanggung jawabkan secara moral menurut

biodang profesi masing-masing.

10. Mengembangkan hak asasi dan kewajiban asasi yang bersangkutan. Suatu

peraturan tidak hanya dapat menjadi dasar hukum memperjuangkan hak asasi

manusia, tetapi juga untuk mengusahakan pelaksanaan kewajiban asasi

manusia sesuai dengan kemampuan, situasi, dan kondisi yang bersangkutan

11. Tidak dapat dipakai sebagai dasar hukum untuk menyalahgunakan

kedudukan, kewenangan, kekuasaan dan kekuatan demi kepentingan pribadi

atau kelompok. Suatu peraturan yang baik tidak dapat dimanfaatkan orang

12
untuk menyalahgunakan kekuasaan, kekuatan yang diperoleh dari kedudukan

dan kewenangan untuk mencari keuntungan pribadi atau kelompok

12. Mengembangkan respon/keadilan yang memulihkan. Suatu peraturan harus

dapat menjadi dasar hukum para obyek dan subyek hukum, berpartisipasi

dalam usaha-usaha memulihkan (restorative) terhadap para korban yang

menderita (kerugian) mental, fisik dan social dengan memberikan asistensi

(pelayanan, pendampingan) ganti kerugian (restitusi, kompensasi) dsb

13. Tidak Merupakan factor Viktimogen. Substansi suatu peraturan tidak boleh

berakibat terjadonya suatu penimbulan (viktimisasi), sehingga yang

bersangkutan menderita mental, fisik, dan social. Sebaiknya juga memuat

sanksi bagi para penimbul korban

14. Tidak merupakan factor kriminogen. Substansi suatu peraturan tidak boleh

terjadi suatu kejahatan (kekerasan, penipuan, penyuapan, korupsi dan

sebagainya)

15. Mendukung penerapan unsure-unsur manajemen: kooperasi, koordinasi,

integrasi, sinkronisasi dan simplifikasi. Dalam pembuatan dan penerapan

peraturan diperlukan adanya pelaksanaan unsure-unsur manajemen,. Seperti

kooperasi (antar instansi), koordinasi (antar instansi), integrasi (interdisipliner,

intersektoral, inter departemental), sinkronisasi (kesinambungan usaha),

simplifikasi (perumusan sederhana, mudah dimengerti oleh banyak orang

untuk dilaksanakan). Sampai saat ini unsure ini masih diabaikan.

16. Berdasarkan citra yang tepat mengenai obyek dan subyek hukum, sebagai

manusia yang sama harkat dan martabatnya. Citra yang tepat mengenai

13
manusia ini dapat menjadi landasan dalam mencegah perbuatan yang

merugikan rakyat dan landasan pengembangan respons yang restorative

terhadap rakyat yang menderita mental, fisik, dan social penerapan hukum

yang negative.

17. Mengembangkan lima senses, yaitu sense of belonging (rasa memiliki), sense

of respom\nsibility (rasa tanggung jawab), sense of commitmen (memiliki

komitmen), sense of sharing (rasa berbagi), dan sense of servingm (saling

melayani).

Untuk mengahasilkan suatu produk perundang-undangan yang memenuhi

persyaratan sebagaimana diatas, tentulah tidak mudah. Pertama, diperlukan

komitmen yang tinggi (political will) dasri penguasa, khususnya lembaga legislasi

(pembuat undang-undang) dan pemerintah dari puncak kekerasan sampai di

tingkat paling bawah.

Kedua, diperlukan pengetahuan dan keahlian yang memadai menyangkut

legal drafting, sosiologi hukum, antropologi hukum, politik hukum dan iolmu

pendukung lainnya. Ketiga, masyarakat sebagai obyek sekaligus subyek hukum

harus bersikap aktif memerikan masukan dan pressure dalam rangka reformasi

hukum dan penegakannya

Kajian terakhir ini akan meninjau sejauhmana kedudukan adat istiadat

((hukum adat) dalam pergumulan pembangunan hukum Indonesia dewasa ini.

Apakah menjadi penghambat pembaharuan hukum, ataukah sebaliknya, sebagai

support atau pendorong, bahkan penyedia bahan pembaharuan hukum Indonesia

14
2. Hukum adat dalam Pergumulan Pembaharuan Hukum Indonesia dilihat dari

Sosiologi Hukum

Hukum adat yang dimaksud dalam tulisan ini, dalah suatu istilah atau

penyebutan terhadap hukum yang tidak tertulis, hukum kebiasaan (customary

law), atau hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Penyebutan hukum

adat dengan istilah hukum yang tidak tertulis ini pernah digunakanoleh pasal 32

UUDS 1950, dan dalam pasal 14 ayat (1) UU No. 14 tahun 1970 tentang

Ketentuan Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Sedangkan Ketetapan MPRS

No II/MPRS/1960 menggunakan istilah “hukum adat”. Undang-Undang No. 14

tahun 1970 telah mengalami perubahan terakhir dengan Undang-undang No. 4

Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Eksistensi hukum adat hukum tidak tertulis dalam pergumulan hukum

nasional, antara lain terdapat di dalam lampiran A dari Ketetapan MPRS No

II/MPRS/1960 pada paragrap 402 No. 34 dan 35 yang menyebutkan bahwa asas-

asas yang harus diperhatikan oleh para Pembina Hukum Nasional yaitu (Soerodjo

Wignjodipoero, 1984: 63):

a. Pembinaan hukum nasional harus diarahkan kepada homogeniter hukum

dengan memperahtikn kenyataan-kenyataan yang hidup di Indonesia

b. Harus sesuai dengan haluan Negara dan berlandaskan hukum adat yang tidak

menghambat perkembangan masyarakat adil dan makmur

UU No. 14 Tahun 1970 dalam penjelasan Umum butir 7-nya juga secara

implicit mengakui eksistensi hukum adat.

15
Ketetapan MPR No II/MPR/1993 juga menegaskan kembali tentang

keberadaan hukum yang tidak tertulis dalam hubungannya dengan pembangunan

hukum nasional. Dalam TAP MPR tersebut ditegaskan bahwa materi hukum

meliputi aturan hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang berlaku dalam

menyelenggarakan segenap dimensi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa

dan bernegara.

Apa bila kita melihat wacana dalam sosiologi hukum pengakuan

terhadap keberadaa dan peran hukum adat dalam praktek kehidupan masyarakat

dan bernegara sudah diakui sejak lama. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya

adalah dalam masyarakat yang berubah dan berkembang sangat cepat karena

dorongan globalisasi ini apakah adat istiadat, tradisi, atau lebih spesifik hukum

adat dengan segala karakteristiknya yang khas itu tidak menjadi penghambat

dalam pembangunan hukum nasional?

Menurut paton (1951), hakikat pembangunan hukum ialah pembinaan

hukum dan pembaharuan hukum. Pembangunan hukum mencakup apa yang

diburu oleh hukum pada penghabisan dan pengukukuhan univikasi hukum.

Pembinaan hukum ialah perawatan hukum yang telah ada, jagi bukan

menghancurkan, memanjakan dan membiarkannya tumbuh sesukanya. Sedangkan

pembaruan hukum ialah membentuk tatanan hukum yang baru kembali (S.R.Nur,

1995: 195).

Dalam konstalasi pembahasan kedudukan hukum adat dalam

pembangunan hukum nasional ini, menarik untuk diperhatikan adalah paham

adat (S.R. Nur, 1995: 198).yang berpendirian bahwa hukum berproses dalam

16
masyarakat bukan karena semata-mata tergantung pada adanya sesuatu penetapan

dari kekuasaan/pemerintah. Penetapan dari penguasa memang diperlukan dalam

masyarakat adat tetapi hal itu hanya merupakan pengkaidahan dari tertib adat

yang telah berlaku (S.R. Nur, 1995: 199)

Penetapan oleh penguasa sebagaimana tersebut diatas adalah konkritisasi

hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Hal yang paling positif

suatu hukum diwujudkan dalam suatu peraturan perundang-undangan (hukum

tertulis) adalah adanya suatu kepastian. Kepastian hukum baik bagi penguasa,

maupun bagi masyarakat. Akan tetapi hukum tertulis juga memiliki kelemahan,

yang sifatnya yang kaku ini menjadikan hukum ini tidak dapat secara tepat dan

cepat menyesuaikan diri dengan kebutuhan hukum masyarakat yang sangat

dinamis

Peraturan perundang-undangan yang baik adalah apabila dapat

menampung persoalan yang baru yang akan dating dan dibawa oleh perubahan-

perubahan yang terus menerus dalam masyarakat. Undang-undang dalam suatu

Negara modern dituntut untuk dapat digunakan mempertahankan stabilitas

masyarakat, tetapi sekaligus dapat menampung segala persoalan yang dibawa oleh

perubahan-perubahan yang dialami oleh masyarakat. Hukum yang demikian

adalah hukum yang menjalankan peran stability and change.

Menurut N. Smith sebagaimana dikutip oleh Loebby Loqman (1995: 65-

66), ada dua cara timbulnya suatu perundang-undangan, yakni lahir secara vertical

dan lahir secara horizontal.

17
Suatu ketentuan perundang-undangan yang lahir secara vertical dimulai

dengan suatu pemikiran serta diskusi oleh beberapa ahli. Dalam tahap pertama ini

ide suatu ketentuan timbul dan dilakukan diskusi terhadap hal yang akan diatur.

Tahap berikutnya adalah proses lahirnya peraturan perundang-undangan. Hasil

pemikiran diskusi yang merupakan rencana akademik tersebut dilakukan

penjabaran dalam bentuk perundang-undangannya. Setelah lahir undang-

undangnya, tahap berikutnya adalah penerapan ketentuan itu yang akhirnya dalam

perjalanan penerapan ketentuan tersebut tidak jarang terbentuk kebijaksanaan

yang bersifat kompromistis demi terlaksananya ketentuan dalam perundang-

undangan itu. Itulah sebabnya terjadi suatu ketentuan perundang-undangan yang

pada suatu waktu dilaksanakan tidak sesuai dengan ide dasarnya, bahkan ada yang

menyimpang sama sekali dari ide dasarnya yang terdapat dalam rencana atau draf

akademiknya

Cara kedua timbulnya suatu ketentuan perundang-undangan adalah lahir

secara horizontal. Hukumnya timbul dalam masyarakat itu sendiri. Artinya telah

lahir norma baru atau perubahan norma dalam masyarakat tersebut. Dari norma

yang timbul/baru tersebut, dengan modifikasi tertentu dilembagakan dalam suatu

ketentuan perundang-undangan. Sehingga apabila ketentuan perundang-undangan

itu lahir, biasanya tidak menimbulkan kesulitan dalam penerapannya. Karena

ketentuan perundang-undangan yang dilahirkan sesuai dengan norma yang

memang telah terwujud dalam masyarakat itu.

Dalam hal lahirnya suatu peraturan perundang-undangan secara horizontal

ini perlu diperhatikan adanya just living law dan un just living law. Hukum yang

18
hidup dalam masyarakat tidak selalu adil dan baik. Ada kalanya hukum yang

hidup di masyarakat itu baik dan adil untuk masyarakat tertentu yang bersifat

minoritas, akan tetapi merupakan ketidakadilan apabila dilihat secara makro

dalam konteks masyarakat Indonesia secara keseluruhan. (Satjipto Rahardjo,

1986: 38-41)

Oleh karena sifat Dari hukum adat atau hukum yang hidup dalam

masyarakat itu sedemikian khasnya, ia lebih bersifat kedaerahan, sektoral, ht

erogen, dan partikularistik, maka untuk dapat diangkat atau diadopsi menjadi

hukum positif dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang berlaku secara

nasional (dikodifikasi dan di unifikasi) memerlukan pemikiran dan pertimbangan

yang mendalam. Karena apabila hal itu dipaksakan, maka akan menimbulkan

akibat yang negative, seperti penetangan terhadap hukum, melemahnya wibawa

hukum dan aparat penegak hukum, dan tidak tercapainya tujuan dibentuknya

peraturan perundang-undangan dimaksud

Untuk melakukan suatu pengkajian terhadap hukum adat, termasuk dalam

konstalasi pernanya dalam pergumulan pembangunan hukum nasional, haruslah

atau paling tepat kalau dilakukan dengan pendekatan atau perspektif hukum dan

masyarakat atau perspektif sosiologis. Pilihan terhadap pendekatan Sosiologi

Hukum ini terutama disebabkan karena (Soerjono Soekanto, 1982: 85):

1. Sebagai hukum kebiasaan, hukum adat merupakan suatu abstraksi dari peri

kelakuan nyata yang terakhir dan unik

2. untuk mengadakan identifikasi terhadap hukumadat, ada kecenderungan untuk

mempergunakan metode sosiologis dan antropologis)

19
3. konsepsi-konsepsi “kedudukan” dan “peranan” merupakan konsepsi-konsepsi

(sebagai bagian dari struktur social)

Dengan pendekatan sosiologi hukum ini tanpa menafikkan perkembangan

dan pengaruh internasional , hukum adat sebagai hukum kebiasaan yang tidak

terkodifikasi atau tertulis akan tetap menjadi sumber hukum baru dalam hal-hal

yang belum/tidak ditetapkan oleh undang-undang

Pada hakekatnya di dalam Negara hukum Indonesia ini keadilan dan

kebenaran yang hendak dituju oleh hukum itu, wajib merupakan kebenaran dan

keadilan yang dicerminkan oleh perasaan keadilan dan kebenaran yang hidup

dalam hati nurani rakyat. Memperhatikan akan hal ini, maka kiranya kaidah-

kaidah adat istiadat yang senantiasa timbul, berkembang serta hidup dalam

masyarakat seperti kehidupan masyarakat itu sendir, yang merupakan satu-

satunya sumber hukum baru yang dapat memenuhi kebutuhan rakyat. (Soerojo

Wignjodipoero, 1984: 65)

Demikian juga pendapat Nasrun yang menyatakan bahwa justru adat

itulah yang menentukan sifat dan corak ke Indonesiaan dari kepribadian bangsa

Indonesia. Justru adat itulah yang merupakan salah satu penjelmaan jiwa

Indonesia dari abad ke abad. (Soerojo Wignjodipoero, 1984: 65).

Jadi peranan hukum adat dalam system hukum nasional tetaplah sangat

penting, karena hukum adat yang bersumber pada tradisi dan kebudayaan

tradisional serta kesadaran hukum rakyat ternyata merupakan unsure yang

esensial dalam pembangunan hukum nasional. Hal ini selaras dengan hasil

20
seminar Hukum Nasional ke 4 yang antara lain sebagai berikut (Soerojo

Wignjodipoero, 1984: 66):

a. Sistem Hukum Nasional harus sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran hukum

rakyat Indonesia

b. Landasan Hukum Nasional adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945

c. Fungsi Hukum Nasional adalah pengayoman

d. Dalam rangka menciptakan ketertiban dan kepastian hukum untuk

memperlancar pembangunan Nasional. Hukum Nasional sejauh mungkin

diusahakan dalam bentuk tertulis. Di samping itu hukum yang tidak tertulis

tetap merupakan bagian dari hukum nasional

e. Untuk memelihara persatuan dan kesatuan, Hukum Nasional dibina kea rah

unifikasi dengan memperhatikan kesadaran hukum masyarakat, khususnya

dalam bidang-bidang yang erat kaitannya dengan kehidupan spiritual

f. Dan seterusnya

D. Penutup

Mengakhiri pembahasan ini sekiranya dapat dikemukakan beberapa

kesimpulan sebagai berikut:

1. Pembangunan Hukum Nasional merupakan urgensi factual dalam rangka

mencapai tujuan Negara, yaitu masyarakat tertib, adil, makmur dan sejahtera,

materiil dan spiritual

2. Hakikat pembangunan Hukum Nasional ialah pembinaan hukum dan

pembaharuan hukum. Pembinaan hukum adalah perawatan hukum yang

21
telah ada, jadi bukan menghancurkan, memanjakan dan membiarkannya

tumbuh sesukanya. Sedangkan pembaharuan hukum ialah membentuk

tatanan hukum yang baru kembali

3. Hukum adat, hukum tidak tertulis, atau hukum yang hidup dalam

masyarakat yang terlahir karena tradisi dan adat istiadat masyarakat,

merupakan salah satu bahan hukum atau sumber hukum yang potensial

dan esensial dalam pembangunan Hukum nasional

4. Dilihat dari kacamata Sosiologi Hukum tradisi atau adat istiadat bukan

merupakan factor penghambat pembangunan Hukum nasional, akan tetapi

justru menjadi sumber inspirasi, spirit dan bahan hukum dalam

pembangunan Hukum Nasional., karena hukum yang baik adalah hukum

yang mengakomodasi, merespon atau setidaknya selaras dan tidak

bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat dimana hukum itu

akan diberlakukan.

22
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, 1986, Tebaran Pikian tentang Studi Hukum dan Masyarakat,


Jakarta: Media Sarana Press

Adji, Oemar Seno, 1985, Peradilan Bebas Negara Hukum, Jakarta: Erlangga

Basah, Sjachran, 1989, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi
di Indonesia, Bandung: Alumni

Gosita, Arief, Reformasi Hukum yang Berpihak Kepada Rakyat dan Keadilan
(Beberapa catatan), Jurnal Keadilan, Lembaga Pengkajian Hukum dan
Keadilan, Jakarta, Vol.1 No. 2 Desember 2000.

Harman, Benny K, 1997, Konfigurasi Politik dan kekuasaan Kehakiman di


Indonesia, Jakarta, ELSAM: 1997.

Karya Ilmiah Para Pakar, 1995, Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia,
Bandung, Eresco

Kusumaatmaja, Mochtar, 1975, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam


Pembangunan Nasional, Jakarta: Bina Cipta

Lev, Daniel S., 1990, Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan dan
Perubahan, Cetakan. 1, Jakarta: LP3ES

Mahendra, Yusril Ihza, 1996, Makalah Seminar Nasional, Kekuasaan kehakiman


dan system Peradilan di Indonesia”:Adakah Kemerdekaan Kekuasaan
Kehakiman”, Semarang: Fak. Hukum UNDIP

Nonet, Philippe & Philip Selznick, 1978, Law and Society in Transition; Toward
Responsive Law, New York: Harper Colophon Books.

Peter, A.A.G dan Koesriani Siswosoebroto (Ed.), 1990, Hukum dan


Perkembangan Sosial Buku Teks Sosiologi Hukum Buku III, Jakarta:
Sinar Harapan.

Rahardjo, Satjipto, 1996, Makalah Seminar Nasional, Kekuasaan Kehakiman dan


Sistem Peradilan di Indonesia: Sistem Pengadilan di
Indonesia(Gagasan kea rah Pembangunan, Semarang : Fakultas hukum
UNDIP

23
---------------, 1997, Makalah Semiar Nasional,Perlindungan HAM dan Proses
Peradilan Pidana dengan Judul “Konsep Keadilan dalam Perlindungan
HAM, Surakarta: Fakultas Hukum UMS

Reformasi hukum,2000, Antara Cita dan Fakta, Jurnal keadilan Vol. 1 No. 2
Lembaga kajian Hukum dqan Keadilan, Jakarta: Desember

Saleh. K. Wantjik, 1976 Kehakiman dan Peradilan, Jakrta: Sumber Cahaya

Soekanto, Soerjono, 1983, Faktor-faktor yang mempengaruhiu Pewnegakan


hukum, Jakarta: Rajawali

Sumawinata, Sarbini, 1998, Revolusi 1998, Jkrta: Yayasan Kerakyatan

Susanto, I.S, 1998: Bahan Kuliah Lembaga dan Pranata Hukum Program
Magister Ilmu Hukum, Semarang UNDIP

Suseno, Franz Magnis, 1991, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar


Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia

--------------, 1995, Kuasa dan Moral, Jakrta: gramedia

W. Kusuma, Mulyana & Paul S. Baut, 1986, Hukum Politik dan Perubahan
Sosial, Jakarta: Yayasan Bantuan hukum Indonesia

Wignjodipoero, Soerjono, 1984, Pengantar dan Asas hukum Adat, Jakarta:


Gunung Agung.

24

Anda mungkin juga menyukai