Anda di halaman 1dari 12

PRINSIP NEGARA HUKUM INDONESIA

Apriliasya Mah Mudah, Albita Suhaili, Amelia Selli Putri Cahyani, Abimanyu Achmad
Mahendra
Program Studi Hukum Tata Negara, Institut Agama Islam Negeri Ponorogo

A. Pendahuluan
Konsep negara hukum Indonesia yang diakui dalam UUD 1945 dan
berdasarkan Pancasila mencerminkan bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral
dan etika budaya Indonesia. Negara ini adalah negara keluarga, dimana hak-hak
individu diakui namun kepentingan nasional dan masyarakat diutamakan di atas
kepentingan individu. Lebih jauh lagi, negara ini adalah negara dimana keamanan
hukum dan keadilan berkuasa, dimana keamanan hukum dan keadilan dicapai melalui
harmonisasi prinsip-prinsip Rechtsstaat dan supremasi hukum. Selanjutnya, negara
hukum Indonesia adalah negara yang taat kepada Tuhan, mengakui Ketuhanan Yang
Maha Esa dan memberikan kebebasan beragama kepada warga negaranya. Negara ini
memadukan hukum sebagai alat perubahan sosial dengan hukum sebagai cerminan
budaya masyarakat, mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan
memajukan masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip Pancasila.
Pada akhirnya, landasan peraturan perundang-undangan nasional harus
bersifat netral dan universal, memenuhi syarat Pancasila sebagai perekat dan pemersatu,
serta mengedepankan kerja sama dan saling toleransi. Namun dalam praktiknya,
penerapan konsep negara hukum di Indonesia tidak selalu mencerminkan cita-cita
tersebut. Meskipun UUD 1945 mengakui supremasi hukum berdasarkan Pancasila,
namun implementasinya seringkali tidak konsisten. Pemahaman terhadap konsep rule
of law yang dianut Indonesia masih simpang siur, baik itu Rechtsstaat maupun rule of
law yang dapat menimbulkan ketidakamanan hukum. Selain itu, upaya pengembangan
hukum pasca reformasi terkadang terbukti tidak merata. Banyak permasalahan yang
muncul, seperti Ambiguitas konsep yaitu kurangnya kejelasan terhadap konsep negara
hukum yang dianut Indonesia, baik itu Rechtsstaat maupun negara hukum,
menyebabkan ketidakpastian dalam implementasi penegakan hukumnya. Proses
pembangunan hukum pasca reformasi sering kali tampak tidak merata sehingga
mengurangi keseragaman penerapan konsep negara hukum. Kemudian Hubungan
Negara dan Agama, meski negara hukum Indonesia berlandaskan Tuhan, namun
persoalan hubungan negara dan agama masih menjadi perdebatan, terutama mengenai
pengaruh agama. Problematika berikutnya ada Hak Asasi Manusia, meskipun UUD
1945 menghormati hak asasi manusia, masih terdapat perdebatan mengenai sejauh
mana penghormatan terhadap hak-hak individu dalam kaitannya dengan kepentingan
nasional. Perubahan UUD 1945 pun juga dapat mempengaruhi konsep negara hukum,
sehingga kejelasannya harus diperhatikan. Dalam praktiknya, negara hukum Indonesia
berupaya memadukan berbagai asas hukum, budaya, dan nilai-nilai lokal dengan tujuan
menciptakan sistem hukum yang sesuai dengan Pancasila.
Namun permasalahan konsistensi, penafsiran, dan perdebatan ambigu antara
hak individu dan kepentingan nasional masih menjadi permasalahan yang perlu diatasi
dalam upaya penerapan konsep negara hukum secara bermakna dan ideal.
B. Pembahasan
1. Konsep Negara Hukum
Menurut Didi (1992:20), bahwa negara hukum adalah negara berlandaskan atas
hukum dan keadilan bagi warganya. Maksudnya adalah segala kewenangan dan
tindakan alat-alat perlengkapan negara atau penguasa, semata-mata berdasarkan
hukum atau dengan kata lain diatur oleh hukum. Hal yang demikian akan
mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup warganya.
Sudargo Gautama sebagaimana dikutip oleh Didi (1992:23) mengemukakan
tiga ciri atau unsur-unsur dari negara hukum, yakni:
1. Terdapat pembatasan kekuatan negara terhadap perorangan, maksudnya negara
tidak dapat bertindak sewenang-wenang, tindakan negara dibatasi oleh hukum,
individu mempunyai hak terhadap penguasa.
2. Asas legalitas bahwa setiap tindakan negara harus berdasarkan hukum yang telah
diadakan terlebih dahulu yang harus ditaati juga oleh pemerintah atau aparaturnya.
3. Pemisahan kekuasaan bahwa agar hak asasi betul-betul terlindungi adalah dengan
pemisahan kekuasaan yaitu badan yang membuat peraturan perundang-undangan
melaksanakan dan mengadili harus terpisah satu sama lain tidak berada dalam satu
tangan.1
Brian Tamanaha (2004), seperti dikutip oleh Marjanne Termoshuizen-Artz
dalam Jurnal Hukum Jentera, membagi konsep ‘rule of law’ dalam dua kategori, “formal
and substantive”. Setiap kategori, yaitu “rule of law” dalam arti formal dan “rule of law”
dalam arti substantif, masing-masing mempunyai tiga bentuk, sehingga konsep Negara
Hukum atau “Rule of Law” itu sendiri menurutnya mempunyai 6 bentuk sebagai berikut:
1. Rule by Law (bukan rule of law), di mana hukum hanya difungsikan sebagai “instrument
of government action”. Hukum hanya dipahami dan difungsikan sebagai alat kekuasaan
belaka, tetapi derajat kepastian dan prediktabilitasnya sangat tinggi, serta sangat
disukai oleh para penguasa sendiri, baik yang menguasai modal maupun yang
menguasai proses-proses pengambilan keputusan politik.
2. Formal Legality, yang mencakup ciri-ciri yang bersifat (i) prinsip prospektivitas (rule
written in advance) dan tidak boleh bersifat retroaktif, (ii) bersifat umum dalam arti

1Putera Astomo, “Prinsip-prinsip Negara Hukum Indonesia dalam UUD NRI Tahun 1945”, Jurnal Hukum
Unsulbar, Volume 1, Nomor 1 (2018): 2.
berlaku untuk semua orang, (iii) jelas (clear), (iv) public, dan (v) relatif stabil. Artinya,
dalam bentuk yang formal legality itu, diidealkan bahwa prediktabilitas hukum sangat
diutamakan.
3. Democracy and Legality. Demokrasi yang dinamis diimbangi oleh hukum yang
menjamin kepastian. Tetapi, menurut Brian Tamanaha, sebagai ”a procedural mode of
legitimation” demokrasi juga mengandung keterbatasan-keterbatasan yang serupa
dengan “formal legality”. Seperti dalam “formal legality”, rezim demokrasi juga dapat
menghasilkan hukum yang buruk dan tidak adil. Karena itu, dalam suatu sistem
demokrasi yang berdasar atas hukum dalam arti formal atau rule of law dalam arti
formal sekali pun, tetap dapat juga timbul ketidakpastian hukum. Jika nilai
kepastian dan prediktabilitas itulah yang diutamakan, maka praktik demokrasi itu
dapat saja dianggap menjadi lebih buruk daripada rezim otoriter yang lebih
menjamin stabilitas dan kepastian.
4. “Substantive Views” yang menjamin “Individual Rights” atau lebih dikenal dengan
pandangan substantif terhadap hak individu.
5. Hak Martabat dan Keadilan (Rights of Dignity and/or Justice)
6. Social Welfare, substantive equality, welfare, preservation of community.2
2. Negara Hukum Indonesia
Istilah negara hukum Indonesia sering dipadankan dengan rechtsstaat dan juga
istilah the rule of law. Jika dilihat dari sejumlah konstitusi yang pernah berlaku di
Indonesia, dapat dikatakan bahwa semua konstitusi dimaksud selalu menegaskan
bangsa Indonesia sebagai negara hukum. Terkait dengan hal itu, istilah yang digunakan
dalam UUD 1945 sebelum perubahan adalah “Negara yang berdasarkan atas hukum
(rechtsstaat)”. Di samping itu juga, dalam rangka menunjukkan ciri khas bangsa
Indonesia, juga dikenal istilah negara hukum dengan menambah atribut Pancasila
sehingga atas dasar itu, maka kemudian sering disebut sebagai negara hukum Pancasila
Selanjutnya, dalam Konstitusi RIS 1949, istilah negara hukum disebutkan
secara tegas, baik dalam Mukadimah maupun di dalam Batang Tubuhnya. Dalam alinea
ke 4 Mukadimah Konstitusi RIS, ditegaskan bahwa “Untuk mewujudkan kebahagiaan

2Brian Tamanaha (Cambridge University Press, 2004), lihat Marjanne Termoshuizen-Artz, "The
Concept of Rule of Law”, Jumal Hukum Jentera, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Jakarta, edisi
3-Tahun II, (2004): 83-92.
kesejahteraan, perdamaian dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum
Indonesia Merdeka yang berdaulat sempurna” Dalam Pasal 1 ayat (1) dipertegas lagi
bahwa “Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara
hukum yang demokrasi dan berbentuk federasi.” Hal itu menunjukkan bahwa konsepsi
negara hukum selalu dijadikan dasar dalam membangun kehidupan suatu negara.
Hal yang sama dapat juga dilihat dalam UUDS 1950, di mana istilah negara
hukum secara jelas dicantumkan dalam Mukadimah dan Batang Tubuh. Alinea ke 4
Mukadimah UUD 1950 berbunyi: “Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami
itu dalam suatu piagam Negara yang berbentuk republik kesatuan, berdasarkan
pengakuan Ketuhanan Yang Maha Esa, peri-kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan
keadilan sosial, untuk mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan, perdamaian dan
kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia Merdeka yang berdaulat
sempurna”. Kemudian dalam Bab I bagian 1, Pasal 1 ayat (1) UUDS 1950, ditegaskan
lagi bahwa: “Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum
yang demokratis dan berbentuk kesatuan”.3
Jika dilihat dari kedua UUD tersebut, tampak dengan jelas bahwa istilah negara
hukum dicantumkan secara jelas dan tegas. Kedua UUD itu menggunakan pengertian
negara hukum dikaitkan atau dihubungkan dengan pengertian demokratis, sehingga
menjadi rumusan negara hukum yang demokratis.
Selanjutnya, dalam UUD 1945 sebelum perubahan, khususnya sebagai
perubahan ketiga yang dilakukan pada tahun 2001, baik dalam Pembukaan maupun
Batang Tubuh atau pasal-pasalnya, tidak ditemukan rumusan atau istilah negara hukum.
Istilah negara hukum hanya terdapat dalam Bagian Penjelasan, yaitu “Sistem
Pemerintahan Negara” disebutkan bahwa “Indonesia ialah negara yang berdasarkan
atas hukum (rechtsstaat)”. Menurut penulis, rumusan atau ungkapan negara yang
berdasarkan atas hukum hampir menyerupai terminologi yang dikenal di Inggris atau
Anglo Saxon, yaitu seperti the state according to law, sedangkan istilah rechtsstaat di antara
tanda kurung dalam Penjelasan UUD 1945 di atas, merupakan istilah atau rumusan
yang sering digunakan di negara-negara Eropa Kontinental, seperti Jerman dan

3
Haposan Siallagan, “Penerapan Prinsip Negara Hukum di Indonesia,” Jurnal Sosiohumaniora, Volume 18,
No. 2, (2016): 135.
Belanda. Oleh sebab itu, maka dapat dikemukakan bahwa penggunaan kedua ungkapan
tersebut dalam Penjelasan UUD 1945, menandakan bahwa substansi negara hukum
Indonesia tidak ter- lepas dari pengaruh paham Anglo Saxon dan Eropa Kontinental.
Kini, dalam UUD 1945 setelah perubahan, penegasan negara hukum bagi
Indonesia dilakukan melalui Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Namun demikian, tidak
ditemukan penjelasan terkait dengan negara hukum mana sesungguhnya yang bangsa
Indonesia saat ini. Apakah negara hukum dalam arti rechtsstaat atau negara hukum
dalam arti the rule of law atau justru merupakan negara hukum dengan ciri khas tersendiri.
Sebagaimana diketahui bahwa secara umum, lazimnya konsep negara hukum
selalu merujuk pada dua aliran utama, yaitu negara hukum dalam arti rechtsstaat dan
negara hukum dalam arti the rule of law. Namun dalam UUD 1945 setelah perubahan,
penegasan konsep negara hukum bagi Indonesia tidak dibarengi dengan penjelasan
lanjutan terkait dengan paham negara hukum yang dianut. Hal demikian pada
prinsipnya mengakibatkan paham negara hukum yang dianut Indonesia menjadi
kurang mengandung kejelasan serta kepastian. Belum lagi ditambah dengan apa yang
dikemukakan Dayanto (2013:498) bahwa pembangunan hukum pasca reformasi
terkesan tambal sulam.
Penerapan prinsip negara hukum di Indonesia dapat dikatakan dijalankan tanpa
berpatokan secara langsung pada prinsip rechtsstaat atau rule of law. Janpatar Simamora
(2016:26) mengemukakan bahwa terwujudnya negara hukum sebagaimana yang dicita-
citakan dalam UUD 1945 akan dapat direalisasikan bila seluruh proses penyelenggaraan
pemerintahan atau negara benar-benar didasarkan pada kaidah-kaidah yang tertuang
dalam konstitusi itu sendiri.4
Negara hukum Indonesia memiliki ciri-ciri tersendiri yang barangkali berbeda
dengan negara hukum yang diterapkan di berbagai negara. Hanya saja, untuk prinsip
umumnya, seperti adanya upaya perlindungan terhadap hak asasi manusia, adanya
pemisahan atau pembagian kekuasaan, adanya pelaksanaan kedaulatan rakyat, adanya
penyelenggaraan pemerintahan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan adanya peradilan administrasi negara masih tetap digunakan sebagai
dasar dalam mewujudkan negara hukum di Indonesia.

4
Ibid, 135.
Berdasarkan pelaksanaannya kemudiannya, sejumlah unsur penting tersebut
diwujudkan dengan baik. Terkait dengan perlindungan hak asasi manusia, UUD 1945
setelah perubahan cukup mengakomodasi masalah hak asasi manusia secara lengkap.
Bahkan dapat dikatakan jauh lebih lengkap dari pengaturan yang terdapat dalam
konstitusi yang pernah berlaku sebelumnya.
Demikian juga halnya dengan pemisahan atau pembagian kekuasaan, dilakukan
melalui sejumlah lembaga negara yang diatur dalam UUD. Presiden menjalankan
kekuasaan eksekutif, DPR dan DPD menjalankan kekuasaan legislatif serta adanya MA
dan MK sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman atau kekuasaan yudikatif (Janpatar
Simamora, 2015:332). Keberadaan lembaga-lembaga negara tersebut diatur secara jelas
dan tegas untuk menjalankan kekuasaan negara secara terpisah. Namun demikian
dalam pelaksanaannya, kendati disebut terpisah, masing-masing lembaga negara saling
melakukan pengawasan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki demi terciptanya
fungsi kontrol terhadap sesama lembaga negara.5
Terkait dengan unsur berikutnya, yaitu pelaksanaan kedaulatan rakyat, unsur
tersebut juga diterapkan secara langsung di Indonesia. Dilakukannya proses pemilihan
secara langsung terhadap presiden dan wakil presiden serta para kepala daerah cukup
menunjukkan bahwa Indonesia sangat menjunjung tinggi pelaksanaan kedaulatan
rakyat. Berdasarkan sistem demokrasi yang dijalankan di Indonesia, rakyat merupakan
pemegang kedaulatan tertinggi. Bahkan dilihat dari model pelaksanaan demokrasi
secara langsung di Indonesia, dapat dikatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu
negara yang paling demokratis dalam menjalankan dan merealisasikan kedaulatan
rakyat.
Selanjutnya, terkait dengan unsur penyelenggaraan pemerintahan negara yang
didasarkan pada peraturan perundang-undangan atau didasarkan pada hukum yang
berlaku, hal tersebut dapat dilihat dari pelaksanaan kekuasaan negara yang selalu
dilandaskan pada aturan yang sudah ada sebelumnya. Setiap aktivitas pemerintahan
tidak dimungkinkan dijalankan tanpa adanya aturan hukum yang menjadi acuan dan
dasar pelaksanaannya. Dalam konteks ini, sangat terlihat dengan jelas bagaimana
hukum dijadikan sebagai dasar dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara.

5
Ibid, 136.
Selain itu, perwujudan unsur negara hukum berikutnya adalah dapat dilihat dari
adanya peradilan tata usaha negara sebagai jalan dan sarana dalam rangka melindungi
kepentingan individu dalam masyarakat dari pelaksanaan kekuasaan negara oleh
pemerintah. Oleh sebab itu, adanya peradilan tata usaha negara pada prinsipnya
dimaksudkan untuk melindungi kepentingan individu dalam masyarakat atas
pelaksanaan kekuasaan negara atau pemerintahan.
Dilihat dari sejumlah unsur tersebut, dapat ditegaskan bahwa penerapan
prinsip negara hukum Indonesia didasarkan pada prinsip tersendiri yang barangkali
tidak selalu sejalan secara utuh dengan prinsip-prinsip negara hukum sebagaimana
dikenal pada masa awal lahirnya konsep negara hukum. Hal demikian dapat dimaknai
sebagai bentuk dinamika atau perkembangan perwujudan negara hukum dalam tataran
kekinian. Bagaimanapun juga bahwa prinsip negara hukum akan selalu mengalami
perkembangan dari waktu ke waktu sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan yang
dialami oleh suatu negara.
Seiring dengan adanya penerapan negara hukum dengan prinsip tersendiri di
Indonesia, tentu sangat diharapkan agar pelaksanaan negara hukum itu sendiri benar-
benar berjalan sesuai dengan unsur-unsur yang terkandung dalam prinsip negara
hukum. Penerapan negara hukum sangat membutuhkan konsistensi agar kemudian
dapat berjalan dengan baik serta mampu mencapai tujuan negara hukum itu sendiri.6
3. Konsepsi Negara Hukum Indonesia Berdasarkan Pancasila
Seperti telah dinyatakan dalam Penjelasan UUD 1945 bahwa negara Indonesia
adalah negara hukum (Rechtsstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka
(Machtsstaat), yang dalam Perubahan UUD 1945 penjelasan bahwa Indonesia
merupakan negara hukum sangatlah bernilai konstitutif kemudian ditegaskan ke dalam
Pasal 1 ayat (3) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
NRI Tahun 1945) yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Dalam Perubahan UUD 1945 inilah tidak disebutkan lagi bahwa Indonesia menganut
konsep Rechtsstaat namun lebih diterjemahkan kedalam konsep negara hukum. Yang
menjadi pertanyaan adalah apakah konsep negara hukum yang sesungguhnya dianut
oleh Indonesia pasca Perubahan UUD 1945, apakah itu Rechtsstaat ataukah the Rule

6 Ibid, 137.
of Law (?)Pertanyaan yang muncul dan tidak kalah penting juga adalah apakah sebelum
dilakukannya Perubahan UUD 1945 negara Indonesia memang benar-benar
sepenuhnya menganut konsep Rechtsstaat (?).7
Untuk dapat mengetahui apakah konsep negara hukum yang sebenarnya dianut
oleh negara Indonesia adalah dengan melihat pada Pembukaan dan Pasal-pasal dalam
UUD NRI Tahun 1945 sebagai keseluruhan sumber politik hukum Indonesia. Adapun
yang menjadikan dasar penegasan keduanya sebagai sumber politik hukum nasional
adalah pertama, Pembukaan dan Pasal-pasal dalam UUD NRI Tahun 1945 memuat
tujuan, dasar, cita hukum, dan norma dasar negara Indonesia yang harus menjadi tujuan
dan pijakan dari politik hukum Indonesia. Kedua, Pembukaan dan Pasal-pasal dalam
UUD NRI Tahun 1945 mengandung nilai khas yang bersumber dari pandangan dan
budaya bangsa Indonesia yang diwariskan oleh nenek moyang bangsa Indonesia.
Dengan melihat pada dua parameter tersebut jelas bahwa konsep yang dianut
oleh negara hukum Indonesia sejak zaman kemerdekaan hingga saat ini bukanlah
konsep Rechtsstaat dan bukan pula konsep the Rule of Law, melainkan membentuk
suatu konsep negara hukum baru yang bersumber pada pandangan dan falsafah hidup
luhur bangsa Indonesia. Konsep baru tersebut adalah negara hukum Pancasila sebagai
kristalisasi pandangan dan falsafah hidup yang sarat dengan nilai-nilai etika dan moral
yang luhur bangsa Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945
dan tersirat di dalam Pasal-pasal UUD NRI Tahun 1945. Dapat dipahami bahwa
Pancasila merupakan norma dasar negara Indonesia (grundnorm) dan juga merupakan
cita hukum negara Indonesia (rechtsidee) sebagai kerangka keyakinan (belief
framework) yang bersifat normatif dan konstitutif. Bersifat normatif karena berfungsi
sebagai pangkal dan prasyarat ideal yang mendasari setiap hukum positif, dan bersifat
konstitutif karena mengarahkan hukum pada tujuan yang hendak dicapai. Pada tahap
selanjutnya Pancasila menjadi pokok kaidah fundamental negara
“staatsfundamentalnorm” dengan dicantumkan dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 (UUD 1945).
Konsep negara hukum Pancasila inilah yang menjadi karakteristik utama dan
membedakan sistem hukum Indonesia dengan sistem hukum lainnya, dimana jika

7 Arief Hidayat, “Negara Hukum Berwatak Pancasila”, Jurnal Review Politik, (2017), 3.
dikaitkan dengan literatur tentang kombinasi antara lebih dari satu pilihan nilai sosial,
disebut sebagai pilihan prismatik yang dalam konteks hukum disebut sebagai hukum
prismatik. Dapat dipahami bahwa negara hukum Pancasila adalah bersifat prismatik
(hukum prismatik). Hukum prismatik adalah hukum yang mengintegrasikan unsur-
unsur baik dari yanterkandung di dalam berbagai hukum (sistem hukum) sehingga
terbentuk suatu hukum yang baru dan utuh.
Adapun karakteristik dari negara hukum Pancasila adalah sebagai berikut.
Pertama, merupakan suatu negara kekeluargaan. Dalam suatu negara kekeluargaan
terdapat pengakuan terhadap hak-hak individu (termasuk pula hak milik) atau HAM
namun dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional (kepentingan bersama)
diatas kepentingan individu tersebut. Hal ini di satu sisi sejalan dengan nilai sosial
masyarakat Indonesia yang bersifat paguyuban, namun disisi lain juga sejalan
pergeseran masyarakat Indonesia ke arah masyarakat modern yang bersifat patembayan.
Hal ini sungguh jauh bertolak belakang dengan konsep negara hukum barat yang
menekankan pada kebebasan individu seluas-luasnya, sekaligus bertolak belakang
dengan konsep negara hukum sosialisme-komunisme yang menekankan pada
kepentingan komunal atau bersama. Dalam negara hukum Pancasila, diusahakan
terciptanya suatu harmoni dan keseimbangan antara kepentingan individu dan
kepentingan nasional (masyarakat) dengan memberikan pada negara kemungkinan
untuk melakukan campur tangan sepanjang diperlukan bagi terciptanya tata kehidupan
berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan prinsip-prinsip Pancasila.8
Kedua, merupakan negara hukum yang berkepastian dan berkeadilan. Dengan
sifatnya yang prismatik maka konsep negara hukum Pancasila dalam kegiatan
berhukum baik dalam proses pembentukan maupun pengimplementasiannya
dilakukan dengan memadukan berbagai unsur yang baik yang terkandung dalam
konsep Rechtsstaat maupunthe Rule of Law yakni dengan memadukan antara prinsip
kepastian hukum dengan prinsip keadilan,serta konsep dan sistem hukum lain,
misalnya sistem hukum adat dan sistem hukum agama yang hidup di nusantara ini,
sehingga terciptalah suatu prasyarat bahwa kepastian hukum harus ditegakkan demi
menegakkan keadilan dalam masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip Pancasila.

8Moh. Mahfud M.D., Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2006),
hal. 23.
Ketiga, merupakan religious nation state. Dengan melihat pada hubungan antara
negara dan agama maka konsep negara hukum Pancasila tidaklah menganut
sekulerisme tetapi juga bukanlah sebuah negara agama seperti dalam teokrasi dan
dalam konsep Nomokrasi Islam. Konsep negara hukum Pancasila yang adalah sebuah
konsep negara yang berketuhanan. Berketuhanan adalah dalam arti bahwa kehidupan
berbangsa dan bernegara Indonesia didasarkan atas kepercayaan kepada Ketuhanan
Yang Maha Esa, dengan begitu maka terbukalah suatu kebebasan bagi warga negara
untuk memeluk agama dan kepercayaan sesuai keyakinan masing-masing. Konsekuensi
logis dari pilihan prismatik ini adalah bahwa atheisme dan juga komunisme dilarang
karena telah mengesampingkan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Keempat, memadukan hukum sebagai sarana perubahan masyarakat dan hukum
sebagai cermin budaya masyarakat. Dengan memadukan kedua konsep ini negara
hukum Pancasila mencoba untuk memelihara dan mencerminkan nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat (living law) sekaligus pula melakukan positivisasi terhadap living law
tersebut untuk mendorong dan mengarahkan masyarakat pada perkembangan dan
kemajuan yang sesuai dengan prinsip-prinsip Pancasila. Saya kurang setuju dengan
berlakunya prinsip pluralisme/multikulturalisme diterapkan di Indonesia. Pandangan
Saya semestinya di Indonesia menganut asas/prinsip Bhinneka Tunggal Ika dalam
membangun sistem hukum nasional. Sehingga meskipun kita perlu menganut prinsip
unifikasi hukum, namun unifikasi hukum yang kita anut dan kita bangun mestilah
memperhatikan sisi-sisi universal dari setiap perbedaan sebagaimana prinsip Bhinneka
Tunggal Ika.
Kelima, basis pembuatan dan pembentukan hukum nasional haruslah
didasarkan pada prinsip hukum yang bersifat netral dan universal, dalam pengertian
bahwa harus memenuhi persyaratan utama yaitu Pancasila sebagai perekat dan
pemersatu; berlandaskan nilai yang dapat diterima oleh semua kepentingan dan tidak
mengistimewakan kelompok atau golongan tertentu; mengutamakan prinsip gotong
royong dan toleransi; serta adanya kesamaan visi-misi, tujuan dan orientasi yang sama
disertai dengan saling percaya.9

9
Ibid, 23.
C. Kesimpulan
Dari sini dapat disimpulkan bahwa Konsep Negara Hukum (Rechtsstaat) dan
The Rule of Law memiliki akar sejarah yang panjang dalam perkembangan ilmu hukum
dan politik di berbagai negara. Meskipun keduanya berusaha menegaskan supremasi
hukum atas penguasa negara, ada perbedaan antara keduanya, di mana Rechtsstaat lahir
dari perlawanan terhadap absolutisme, sementara The Rule of Law berkembang secara
evolusioner. Konsep Negara Hukum Indonesia mengacu pada UUD 1945, yang
menyatakan bahwa "Negara Indonesia adalah Negara Hukum." Dalam konsep ini,
hukum diidealkan sebagai panglima dalam kehidupan kenegaraan, bukan politik atau
ekonomi. Hal ini mencerminkan prinsip "the rule of law, not of man," di mana
pemerintahan berdasarkan hukum sebagai sistem, bukan individu yang bertindak
sebagai "wayang" dari sistem. Negara Hukum Indonesia dibangun dengan
mengembangkan perangkat hukum, suprastruktur dan infrastruktur kelembagaan
politik, ekonomi, dan sosial yang tertib, serta budaya dan kesadaran hukum yang
rasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Konsep Negara Hukum di Indonesia juga memiliki ciri khas tersendiri, yang
mungkin berbeda dari konsep Negara Hukum di negara lain. Meskipun terdapat
pengaruh dari Rechtsstaat dan The Rule of Law, negara hukum Indonesia lebih
mencerminkan prinsip-prinsip Pancasila sebagai kerangka keyakinan yang normatif
dan konstitutif. Negara Hukum Pancasila menekankan pentingnya kepentingan
nasional di atas kepentingan individu, memadukan prinsip kepastian hukum dengan
prinsip keadilan, mengakomodasi peran agama dalam kehidupan berbangsa, dan
mencerminkan nilai-nilai etika dan moral dalam masyarakat. Penerapan prinsip Negara
Hukum di Indonesia harus konsisten dan berlandaskan pada prinsip-prinsip yang
tertuang dalam konstitusi, dengan menjunjung tinggi keadilan, kepastian hukum, dan
kepentingan nasional. Konsep Negara Hukum Indonesia mungkin terus mengalami
perkembangan seiring dengan kebutuhan dan perubahan dalam masyarakat, tetapi
tetap memiliki fondasi dalam Pancasila sebagai norma dasar negara.
Artikel ini menyajikan pemahaman yang mendalam tentang konsep Negara
Hukum di Indonesia dan bagaimana konsep ini mencerminkan nilai-nilai Pancasila
serta prinsip-prinsip hukum yang berlaku di negara ini.
Daftar Pustaka
Asshiddiqie, Jimly. 2012. Gagasan Negara Hukum Indonesia. Majalah Hukum
Nasional, no. 1: 1.
Astomo, Putera. 2018. Prinsip-prinsip Negara Hukum Indonesia dalam UUD NRI
Tahun 1945. Jurnal Hukum Unsulbar 1 (1): 2.
Hidayat, Arief. 2017. Negara Hukum Berwatak Pancasila. Jurnal Review Politik,
Mahfud M.D., Moh. 2006. Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi.
Jakarta: Pustaka LP3ES.
Siallagan, Haposan. 2016. Penerapan Prinsip Negara Hukum di Indonesia. Jurnal
Sosiohumaniora 18 (2).
Tamanaha, Brian. 2004. The Concept of Rule of Law. Dalam Jumal Hukum Jentera,
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Jakarta, edisi 3-Tahun II (Marjanne
Termoshuizen-Artz, ed.), 83-92. Cambridge University Press.

Anda mungkin juga menyukai