Anda di halaman 1dari 13

MEWUJUDKAN KONSEP NEGARA HUKUM

PANCASILA DI INDONESIA

MAKALAH

DI SUSUN OLEH:
Lukman Hakim : 202220251021

UNIVERSITAS BHAYANGKARA JAKARTA RAYA


FAKULTAS HUKUM
2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Negara hukum Indonesia lahir bukan sebagai reaksi dari kaum liberalis
terhadap pemerintahan absolut, tetapi atas keinginan bangsa Indonesia untuk
membina kehidupan negara dan masyarakat yang lebih baik guna mencapai
tujuan yang telah ditetapkan, menurut cara-cara yang telah disepakati. Hal ini
disebabkan karena latar belakang sosial budaya bangsa Indonesia yang
berbeda dengan bangsa lain. Bangsa Indonesia dalam pembentukan negara
hukumnya didasarkan pada cita-cita hukum (rechtsidee) Pancasila. Menurut
Mochtar Kusumaatmaja tujuan hukum berdasarkan Pancasila adalah “Untuk
memberikan pengayoman kepada manusia, yakni melindungi manusia secara
pasif (negatif) dengan mencegah tindakan sewenang-wenang dan secara aktif
(positif) dengan menciptakan kondisi kemasyarakatan berlangsung secara
wajar sehingga secara adil tiap manusia memperoleh kesempatan secara luas
dan sama untuk mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya secara
utuh “.
Mengenai konsep negara hukum yang didasarkan pada Pancasila ,
Hasan Zaini mengemukakan bahwa, “Dasar negara hukum menurut
Pancasila antara lain dilandasi oleh pengakuan adanya hukum Tuhan, hukum
kodrat dan hukum etis. Lain dari pada itu dapat disusun kedudukan dan
hubungan tiga macam hukum antara satu dengan yang lain dan terhadap
negara serta hukum positif di dalam satu rangka”.
Seperti telah dinyatakan dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 bahwa negara
Indonesia adalah negara hukum (Rechtsstaat) tidak berdasarkan atas
kekuasaan belaka (Machtsstaat), yang dalam Perubahan UUD 1945
penjelasan bahwa Indonesia merupakan negara hukum sangatlah bernilai
konstitutif kemudian ditegaskan ke dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) yang
menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”.

1
Dalam Perubahan UUD 1945 inilah tidak disebutkan lagi bahwa
Indonesia menganut konsep Rechtsstaat namun lebih diterjemahkan kedalam
konsep negara hukum. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah konsep
negara hukum yang sesungguhnya dianut oleh Indonesia pasca Perubahan
UUD 1945 dan bagaimana penerapan dari konsep negara hukum itu sendiri
dijalankan dengan konsep yang diusung dalam Pancasila.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, diketahui bahwa
yang hendak dibahas adalah berkenaan dengan bagaimana cara mewujudkan
paham negara hukum berlandaskan pancasila di Indonesia.

2
BAB II
PEMBAHASAN CARA MEWUJUDKAN KONSEP NEGARA HUKUM
BERDASARKAN PANCASILA

Ide negara hukum telah lama dikembangkan oleh para filsuf dari zaman
Yunani Kuno. Plato dalam the Republic berpendapat bahwa adalah mungkin
mewujudkan negara ideal untuk mencapai kebaikan yang berintikan kebaikan.
Oleh karena itu kekuasaan harus dipegang oleh orang yang mengetahui kebaikan,
yaitu seorang filosof (the philosopher king). Dalam buku yang lain the Statesman
dan the Law , Plato menyatakan bahwa yang dapat diwujudkan adalah bentuk
paling baik kedua (the second best) yang menempatkan supremasi hukum.
Pemerintahan yang mampu mencegah kemerosotan kekuasaan seseorang adalah
pemerintahan oleh hukum.
Cita negara hukum menurut Plato tersebut kemudian dipertegas oleh
Aristoteles. Menurut Aristoteles, yang memerintah dalam suatu negara bukanlah
manusia, melainkan pikiran yang adil dan kesusilaanlah yang menentukan baik
atau buruknya suatu hukum. Menurut Aristoteles, suatu negara yang baik ialah
negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan rakyat.
Prinsip-prinsip negara hukum selalu berkembang seiring dengan
perkembangan masyarakat dan negara. Oleh karena itu melahirkan prinsip-prinsip
penting baru untuk mewujudkan negara hukum. Terdapat duabelas prinsip pokok
sebagai pilar utama penyangga berdirinya negara hukum yaitu :
1. Supremasi hukum.
2. Persamaan dalam hukum.
3. Asas Legalitas.
4. Pembatasan Kekuasaan.
5. Organ-organ Penunjang yang Independen.
6. Peradilan yang bebas dan tidak memihak.
7. Peradilan Tata Usaha Negara.
8. Mahkamah Konstitusi.

3
9. Perlindungan Hak Asasi Manusia
10. Bersifat Demokratis
11. Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara.
12. Transparansi dan control sosial.
Konsistensi penerapan prinsip negara hukum dalam suatu negara
melahirkan teori legalitas yang dipegang teguh semua negara hukum modern.
Teori legalitas mensyaratkan dihormatinya prinsip-prinsip hukum dan peraturan
perundang-undangan dalam segala tindakan dan kebijakan negara.
Ideologi dan Konstitusi Menurut Jimly Asshiddiqie konsensus yang
menjamin tegaknya konstitusionalisme di zaman modern pada umumnya
dipahami bersandar pada tiga elemen kesepakatan(consensus), sebagai berikut :
1. Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama;
2. Kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau
penyelenggaraan negara;
3. Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur
ketatanegaraan.
Kesepakatan (consensus) pertama, berkenan dengan cita-cita bersama yang
pada puncak abstraksinya paling mungkin mencerminkan kesamaan-kesamaan
kepentingan di antara warga masyarakat yang dalam kenyataannya harus hidup di
tengah pluralisme dan kemajemukan. Oleh karena itu, untuk menjamin
kebersamaan dalam kerangka kehidupan bernegara, diperlukan tentang tujuan-
tujuan atas cita-cita bersama yang biasa disebut dengan falsafah kenegaraan atau
staatsidee (cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische grondslag di antara
sesama warga masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara.
Di negara republik Indonesia, dasar-dasar filosofis yang dimaksudkan
adalah Pancasila yang berarti lima sila atau lima prinsip dasar untuk mencapai
atau mewujudkan empat tujuan bernegara. Kelima sila terseuibut adalah :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa,
2. Kemanusiaan yang adil dan Beradab,
3. Persatuan Indonesia,

4
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan
5. Keadilan Sosial Bagi seluruh Rakyat Indonesia. Kelima sila tersebut
dipakai sebagai dasar filosofis ideologis untuk mewujudkan empat
tujuan atau cita-cita bernegara sebagaimana tertuang dalam Pembukaan
UUD 1945 Alinea IV, yaitu :
a. melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia,
b. meningkatkan kesejahteraan umum,
c. mencerdaskan kehidupan bangsa,
d. ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial. Kesepakatan kedua adalah
kesepakatan bahwa basis pemerintahan didasarkan atas aturan
hukum dan konstitusi. Konstitusi dijadikan pegangan tertinggi dalam
memutuskan segala sesuatu yang harus didasarkan atas hukum.
Kesepakatan ketiga berhubungan dengan
a. bangunan organ negara dan prosedur yang mengatur
kekuasaannya
b. hubungan antar organ negara satu sama lain
c. hubungan antara organ-organ negara itu dengan warga negara.
Perubahan UUD 1945 sebagai agenda utama reformasi seluruh Fraksi di
MPR pada Sidang Tahunan MPR 1999 membuat kesepakatan tentang arah
perubahan UUD 1945, yaitu :
1. Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945;
2. Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3. Mempertahankan sistem presidensiil (sekaligus menyempurnakan agar
betul-betul memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensiil;
4. Memindahkan hal-hal normative yang ada dalam penjelasan UUD 1945
ke dalam pasal-pasal UUD 1945;
5. Menempuh cara addendum dalam melakukan amandemen terhadap
UUD 1945.

5
Persamaan kedua konsep hukum ,baik the rule of law maupun rechtsstaat
diakui adanya kedaulatan hukum atau supremasi hukum, melindungi individu
terhadap pemerintah yang sewenang-wenang dan memungkinkan kepada individu
untuk menikmati hak-hak sipil dan politiknya sebagai manusia. Mengutip
pendapat Lawrence M. Friedman sebagaimana dikutip Satya Arinanto mengkaji
tentang sistem hukum di Indonesia berdasarkan 3 hal, yaitu :
1. Structure ( tatanan tentang kelembagaan dan kinerja lembaga);
2. Substance (materi hukum);
3. Legal culture (budaya hukum)
Berdasarkan ketiga kriteria tersebut di atas maka ditentukan tujuan
pembangunan sistem hukum nasional yaitu, sistem hukum nasional yang adil,
konsekuen, tidak diskriminatif (termasuk tidak diskriminatif terhadap perempuan
atau bias jender); terjaminnya konsistensi seluruh peraturan perundang-undangan
pada tingkat pusat dan daerah serta tidak bertentangan dengan peraturan yang
lebih tinggi; kelembagaan peradilan dan penegak hukum yang berwibawa, bersih,
professional dalam upaya memulihkan kembali kepercayaan masyarakat secara
keseluruhan kepada hukum.
Dalam melakukan perumusan konsep penyelenggaraan negara Indonesia
berdasarkan konsep negara hukum Pancasila, sebelumnya perlu diketahui apakah
tujuan penyelenggaraan negara Indonesia, atau apakah tujuan negara Indonesia.
Hal ini penting karena konsep penyelenggaraan negara hukum Pancasila harus
selalu tertuju pada terwujudnya tujuan negara Indonesia. Tujuan negara Indonesia
secara definitif tertuang dalam alenia keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945
yaitu :
1. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia;
2. Memajukan kesejahteraan umum;
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa;
4. Ikut melaksanakan perdamaian dunia, berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Terwujudnya tujuan negara ini menjadi kewajiban negara Indonesia sebagai
organisasi tertinggi bangsa Indonesia yang penyelenggaraannya harus didasarkan

6
pada lima dasar negara (Pancasila). Dari sini dapat dipahami bahwa Pancasila
merupakan pedoman utama kegiatan penyelenggaraan negara yang didasarkan
atas prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam rangka terwujudnya tujuan negara Indonesia tersebut maka dalam
setiap kebijakan negara yang diambil oleh para penyelenggara negara (termasuk
di dalamnya upaya melakukan pembangunan sistem hukum nasional) dalam
upaya penyelenggaraan negara hukum Pancasila harus sesuai dengan empat
prinsip cita hukum (rechtsidee) dan Indonesia (Pancasila), yakni:
1. Menjaga integrasi bangsa dan negara baik secara ideologis maupun
secara teritorial;
2. Mewujudkan kedaulatan rakyat (demokrasi) dan negara hukum
(nomokrasi) sekaligus, sebagai satu kesatuan tidak terpisahkan;
3. Mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia;
4. Menciptakan toleransi atas dasar kemanusiaan dan berkeadaban dalam
hidup beragama.
Oleh karenanya dalam penyelenggaraan negara hukum Pancasila, harus
dibangun suatu sistem hukum nasional yang :
1. Bertujuan untuk menjamin integrasi bangsa dan negara baik secara
ideologis maupun secara teritorial;
2. Berdasarkan atas kesepakatan rakyat baik diputuskan melalui
musyawarah mufakat maupun pemungutan suara, dan hasilnua dapat
diuji konsistensinya secara yuridis dengan rechtsidee;
3. Bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial;
4. Bertujuan untuk mewujudkan toleransi beragama yang berkeadaban,
dalam arti tidak boleh mengistimewakan atau mendiskriminasikan
kelompok-kelompok atau golongan-golongan tertentu.
Dengan didasarkan pada prinsip-prinsip Pancasila yang bersifat prismatik
inilah maka diharapkan lahir sebuah sistem hukum nasional Indonesia yang

7
seutuhnya sehingga dapat mewujudkan tujuan negara Indonesia sebagaimana
yang tercantum dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945.
Adapun dalam pembangunan sistem hukum nasional dewasa ini (pasca
reformasi) tidak terlepas dari berbagai hambatan baik itu yang berasal dari dalam
(intern) maupun luar (ekstern). Hambatan yang berasal dari dalam antara lain
pertama, budaya masyarakat yang cenderung feodalistik dan paternalistik
menyebabkan hukum menjadi elitis dan korup.
Sedangkan hambatan yang berasal dari luar adalah pertama, pengaruh
globalisasi yang membawa ideologi-ideologi lain diluar Pancasila sehingga
mempengaruhi pemahaman yang utuh terhadap Pancasila serta mempengaruhi
pola pikir (mind set) masyarakat. Kedua, adanya tekanan politik luar negeri
negara adikuasa, sehingga terjadi pertentangan antara kepentingan nasional dan
kepentingan asing yang sangat mempengaruhi proses pembangunan sistem hukum
nasional.
Dengan begitu maka diharapkan dapat tercipta suatu sistem hukum nasional
yang :
1. Dapat menjamin integrasi bangsa dan negara baik secara ideologis
maupun secara teritorial;
2. Berdasarkan atas kesepakatan rakyat baik diputuskan melalui
musyawarah mufakat maupun pemungutan suara, dan hasilnya dapat
diuji konsistensinya secara yuridis dengan rechtsidee;
3. Dapat mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial;
4. Dapat mewujudkan toleransi beragama yang berkeadaban, dalam arti
tidak boleh mengistimewakan atau mendiskriminasikan kelompok-
kelompok atau golongan-golongan tertentu.
Selain itu, sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) UU 12/2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, pembentukan hukum nasional perlu dilandasi
asas pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan,
bhinneka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum, keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan. Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan ini

8
merupakan derivasi dari nilai-nilai luhur Pancasila sebagai cita hukum
(rechtsidee). Dengan demikian, Pancasila menjadi ruh dan spirit yang menjiwai
pembentukan hukum nasional.
Oleh karena Pancasila merupakan ruh dari UUD 1945 yang termuat dalam
bagian Pembukaan, maka adalah suatu keniscayaan bahwa Pancasila juga
merupakan batu uji dalam perkara pembubaran partai politik. Bahkan lebih jauh
lagi, dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara konstitusi, maka
selain mendasarkan pada pasal-pasal UUD 1945, juga harus mendasarkan pada
Pancasila sebagai batu uji dalam setiap perkara konstitusi. Nilai-nilai luhur
Pancasila yang abstrak telah dijadikan standar evaluasi konstitusionalitas norma
hukum, dalam hal ini undang-undang, kemudian dijewantahkan dan tercerminkan
dalam setiap putusan-putusan Mahkamah Konstitusi. Tak sampai disitu, sebagai
lembaga pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi melihat adanya kepentingan
terhadap setiap ikhtiar untuk meneguhkan Pancasila sebagai staats fundamental
norm yang sekaligus menjadi jiwa dari UUD 1945. Hal ini sejalan dengan visi
Mahkamah Konstitusi yakni tegaknya konstitusi melalui peradilan konstitusi yang
independen, imparsial dan adil. Pada konteks inilah tugas konstitusional
Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi pada dasarnya mencakup pula
tugas mengawal tegaknya Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara. Hal inilah
yang menjadi alasan mengapa di samping sebagai pengawal konstitusi (the
guardian of constitution), Mahkamah Konstitusi juga berperan sebagai pengawal
ideologi negara (the guardian of state’s ideology).
Oleh karena itu, di luar fungsi sebagai peradilan konstitusi, MK turut aktif
mengambil peran dan tanggung jawab membumikan kembali Pancasila dan
konstitusi dengan mendirikan Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi.
Hal ini dilatarbelakangi oleh hasil pertemuan para pimpinan lembaga negara
pada 24 Mei 2011 bertempat di Gedung Mahkamah Konstitusi yang diantaranya
menyepakati perlunya upaya untuk merevitalisasi, mereaktualisasi, dan
mereinternalisasi nilai-nilai Pancasila melalui gerakan bersama secara sistematis,
terstruktur dan massive dengan melibatkan seluruh elemen bangsa sehingga ruh
Pancasila merasuk ke dalam sumsum dan nadi setiap penyelenggaraan negara dan

9
masyarakat serta menjadi pedoman perilaku dalam kehidupan berbangsa,
bernegara, dan berkonstitusi.
Dalam pertemuan itu pula disepakati bahwa upaya membumikan Pancasila
bukanlah monopoli satu lembaga, meskipun saat ini telah terbentuk Unit Kerja
Presiden Pemantapan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) yang di nahkodai oleh Yudi
Latif, namun seluruh lembaga negara dapat berperan membumikan Pancasila
sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangannya masing-masing.
Dengan demikian Pancasila harus menjadi ruh yang melandasi
pembentukan hukum nasional dan setiap tindakan penyelenggaraan negara dan
masyarakat sehingga prinsip ketuhanan yang sarat nuansa moral menjadi pondasi
inti yang menyinari sila kemanusiaan, sila persatuan, sila Kerakyatan, dan sila
keadilan sosial sehingga terwujud negara kesejahteraan yang relijius (religious
welfare state) sebagaimana dicita-citakan oleh para pendiri negara (the founding
fathers).

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Untuk mewujudkan konsep negara hukum Pancasila terletak pada
pelaksanaan negara hukum harus didasari pada sila-sila yang ada didalam
Pancasila, dimana negara hukum Pancasila, memandang Ketuhanan Yang
Maha Esa sebagai causa prima, tidak akan memberikan toleransi jaminan
konstitusional kebebasan anti agama hidup di tengah-tengah tata hukum
Indonesia. Negara hukum Indonesia mempunyai ciri-ciri tersendiri yang
menunjukkan aspek-aspek khusus dari hak asasi antara lain tidak memisahkan
antara agama dengan negara, adanya pengakuan hak-hak asasi manusia
seperti dikenal di Barat, adanya pengakuan atas hak-hak sosial ekonomi
rakyat yang harus dijamin dan menjadi tanggung jawab negara- yang isinya
berbeda jalannya dengan konsep rule of law ataupun socialist legality.
B. Saran
Agar dalam bernegara hukum. bangsa dan negara Indonesia kembali
kepada falsafah Pancasila. Hal ini karena setelah adanya amindemen. negara
hukun menurut UUD 1945 telah mulai mengikis keberadaan Falsafah
Pancasila sebagai dasar negara. Maka dengan itu diperlukan amandemen
kelima dengan maksud memperkuat kedudukan Pancasila di dalani kehidupan
bernegara terutama yang terkait dengan unsur-unsur negara hukum Pancasila.

11
DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, Arief. Kebebasan Berserikat di Indonesia (Suatu Analisis Pengaruh


Perubahan Sistem Politik terhadap Penafsiran Hukum). Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, 2006.

Hernowo. Implementasi Pancasila Menjamin Integrasi Nasional Berdasarkan


Wawasan Kesatuan dan Persatuan Bangsa. Jakarta: LPPKB, 2006.

Kaelan.Pendidikan Pancasila.Yogyakarta: Paradigma, 2004.

Kartohadiprodjo, Soediman. Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa


Indonesia. Jakarta: Gatra Pustaka, 2010.

Mahfud MD, Mohammad. Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi.


Jakarta: Pustaka LP3ES, 2006.

12

Anda mungkin juga menyukai