Anda di halaman 1dari 26

PERKEMBANGAN POLITIK HUKUM PIDANA DAN

SISTEM HUKUM PIDANA DI INDONESIA

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas


Mata Kuliah Politik Hukum Pidana

Dosen Pengajar :

Oleh :
DZAKY

2022

Kelas : MIH Bekasi

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM PASCA SARJANA


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BHAYANGKARA JAKARTA RAYA
2023
DAFTAR ISI
Cover.................................................................................................................. i
Daftar Isi............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.................................................................... 1
B. Rumusan Masalah............................................................................ 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian........................................................ 4
D. Metode Penelitian......................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Politik Hukum Pidana Di


Indonesia........................................................................................... 5
B. Penyebab Ketentuan Pasal RUU-KUHP Mendapatkan Penolakan
Dari Masyarakat................................................................................ 8
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan........................................................................................ 22
B. Saran.................................................................................................. 22
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 24
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada 5 Juni 2015, Presiden akhirnya menerbitkan Surat Presiden untuk
memulai pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU-
KUHP) antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). RUU-KUHP ini
diyakini akan mengganti KUHP yang saat ini berlaku dan dianggap sebagai
peninggalan rezim kolonial. Setidaknya ada tiga dogma dasar yang dianut
pemerintah mengenai perlunya penggantian KUHP dengan KUHP baru, yaitu
prinsip dekolonisasi, deharmonisasi, dan demokratisasi hukum pidana Indonesia.
Ketiga prinsip ini yang kemudiandiimplementasikan dalam RUU-KUHP yang
diserahkan oleh pemerintah kepada DPR.
Persoalannya, RUU-KUHP ternyata memiliki ketentuan-ketentuan yang luar
biasa banyaknya dimana pemerintah dan DPR juga belum memiliki pengalaman
yang cukup untuk membahas suatu rancangan legislasi. Di samping itu,jumlah
pasalnya juga banyak (sejumlah 768 pasal). Oleh karena itu, dibutuhkan inovasi
khusus dalam pembahasan RUU-KUHP tersebut.
Dalam perkembangannya diketahui, menjelang RUU-KUHP tersebut
disahkan oleh Presiden dan DPR, RUU-KUHP tersebut mendapatkan sejumlah
protes dari berbagai macam kalangan karena terdapat beberapa pasal yang
dianggap kontroversial dalam penerapannya di masyarakat. Salah satunya adalah
mengenai bagian ke enam dari RUU-KUHP yang mengatur mengenai Tindak
Pidana Penghasutan, Kecerobohan Pemeliharaan dan Penganiayaan Hewan.
Adapun ketentuan tindak pidana tersebut di atur pada ketentuan Pasal 340
dan pada bagian keenam RUU-KUHP yang mengatur mengenai delik Tindak
pidana kecerobohan yang membahayakan umum, dimana delik tersebut mengatur
mengenai
1. Membiarkan di jalan umum hewan dengan tidak melakukan penjagaan
atau pengawasan sehingga dapat menimbulkan kerugian;
2. Membiarkan ternak yang di bawah penjagaannya terlepas berkeliaran di
jalan umum.
3. Berburu dan memasng perangkap hewan tanpa izin.

1
4. Serta tindak pidana kesusilaan (Pasal 341 RUU-KUHP) juga mencakup
berbagai perilaku menyimpang yaitu Melakukan Penganiayaan, menyakiti
dan melakukan sesuatu yang menyebabkan cacat pada Hewan, bahkan
hingga hewan tersebut mati dengan alasan yang tidak wajar.
Adapun ketentuan Pasal 340 RUU-KUHP tersebut menyatakan, “Dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling
banyak kategori II, Setiap Orang yang:
a. Menghasut hewan sehingga membahayakan orang;
b. Menghasut hewan yang sedang ditunggangi atau hewan yang sedang
menarik kereta, gerobak, atau yang dibebani Barang;
c. Tidak mencegah hewan yang ada dalam penjagaannya yang menyerang
orang atau hewan;
d. Tidak menjaga secara patut hewan buas yang ada dalam penjagaannya;
atau
e. Memelihara hewan buas yang berbahaya tidak melaporkan kepada
Pejabat yang berwenang.
Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 341 RUU-KUHP juga disebutkan bahwa,
1. Dipidana karena melakukan penganiayaan hewan dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II,
Setiap Orang yang:
a. Menyakiti atau melukai hewan atau merugikan kesehatannya dengan
melampaui batas atau tanpa tujuan yang patut; atau
b. Melakukan hubungan seksual dengan hewan.
2. Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
hewan sakit lebih dari 1 (satu) minggu, cacat, Luka Berat, atau mati
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan
atau pidana denda paling banyak kategori III.
3. Dalam hal hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) milik pelaku
Tindak Pidana, hewan tersebut dapat dirampas dan ditempatkan ke tempat
yang layak bagi hewan.
Adanya ketentuan Pasal 340 RUU-KUHP sendiri menimbulkan pro dan
kontra dikalangan masyarakat, dimana banyak kalangan maupun segelintir pihak

2
yang merasa khawatir, bahwa apabila ketentuan Pasal 340 RUU-KUHP disahkan
tentunya akan menimbulkan potensi terjadinya kriminalisasi, dan menyebabkan
perpecahan di lingkungan masyarakat khususnya dikalangan pemelihara hewan,
baik unggas maupun hewan ternak lainnya.
Kondisi tersebut tentunya memerlukan pembahasan lebih lanjut, dimana
peneliti akan membahas mengenai kondisi dari permasalahan tersebut dalam karya
tulis yang berjudul, “PERKEMBANGAN POLITIK HUKUM PIDANA DAN
SISTEM HUKUM PIDANA DI INDONESIA”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka diketahui permasalahan yang
hendak dibahas adalah mengenai :
1. Bagaimanakah sejarah perkembangan politik hukum pidana di Indonesia?
2. Apakah yang menjadi penyebab RUU-KUHP mendapatkan penolakan dari
masyarakat?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka diketahui tujuan penelitian ini
adalah :
a. Untuk menganalisis urgensi dalam pembentukan dan perancangan Rancangan
Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia.
b. Untuk menganalisis penyebab RUU-KUHP mendapatkan penolakan dari
masyarakat.
2. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka diketahui manfaat yang hendak
diperoleh dalam penulisan karya tulis ini adalah :
a. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis penelitian ini adalah sebagai karya ilmiah untuk
pengembangan ilmu hukum pada umumnya Ilmu Hukum, dan mengenai
urgensi dalam pembentukan dan perancangan Rancangan Undang-Undang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia.
b. Kegunaan Praktis

3
Kegunaan praktis penelitian ini adalah sebagai pemenuhan kewajiban tugas
perkuliahan serta sebagai masukan ilmiah kepada pembentuk aturan hukum
dalam Ilmu Hukum, khususnya dalam hal urgensi dalam pembentukan dan
perancangan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana di Indonesia, serta penyebab ketentuan Pasal RUU-KUHP
mendapatkan pertentangan dari masyarakat.
D. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif, yaitu penelitian hukum
yang meletakan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang
dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundangan,
putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran).1 Bentuk penelitian ini
menggunakan deskriptif analitis yaitu penelitian yang bertujuan untuk memberikan
gambaran secara rinci, sistematis dan menyeluruh mengenai segala sesuatu yang
berhubungan dengan bentuk perkembangan politik hukum di bidang pengadaan
perumahan di Indonesia. Kemudian teknik pengumpulan bahan hukum dalam
penelitian ini menggunakan studi kepustakaan (library research) dan penelitian
langsung di lapangan. Studi kepustakaan adalah suatu teknik (prosedur) pengumpulan
atau penggalian data kepustakaan. Data kepustakaan adalah data yang sudah
didokumentasikan sehingga penggalian data kepustakaan tidak perlu dilakukan secara
langsung ke masyarakat (lapangan).2

1 Mukti Fajar ND, Dualisme Penelitian Hukum, Pustaka Pelajar : Yogyakarta, 2013. hlm. 23
2Ibid., hlm. 43.

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Perkembangan Politik Hukum Pidana Di Indonesia
Dalam sejarahnya, sistem tata hukum yang digunakan sebelum 17 Agustus
1945 antara lain sistem hukum hindia Belanda berupa sistem hukum barat (civil law)
dan sistem hukum asli (hukum adat). Dimana sebelum Indonesia di jajah Belanda
sistem hukum yang dipergunakan untuk menyelesaikan sengketa di Masyarakat
adalah hukum adat.3
Sejarah hukum pidana Indonesia secara umum tidak dapat dilepaskan dari
keberadaan masyarakat Indonesia, masyarakat Indonesia yang terbagi dalam banyak
kerajaan, masyarakat Indonesia di bawah jajahan Belanda dan masyarakat Indonesia
setelah masa kemerdekaan. Hukum pidana modern Indonesia dimulai pada masa
masuknya bangsa Belanda di Indonesia, adapun hukum yang ada dan berkembang
sebelum itu atau setelahnya, yang hidup dimasyarakat tanpa pengakuan pemeritah
Belanda dikenal dengan hukum adat. Pada masa penjajahan Belanda pemerintah
Belanda berusaha melakukan kodifikasi hukum di Indonesia, dimulai tahun 1830 dan
berakhir pada tahun 1840, namun kodifikasi hukum ini tidak termasuk dalam
lapangan hukum pidana. Akibat perlawanan bangsa Indonesia, perdagangan rempah-
rempah yang dimonopoli oleh VOC menjadi menurun sehingga berakibat VOC jatuh
bangkrut. Jatuhnya citra VOC di Eropa merupakan salah satu pertimbangan bagi
pemerintah Belanda untuk mengambil alih kekuasaan VOC dengan membentuk
pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia. Pada waktu pengambilalihan kekuasaan
tersebut, negeri Belanda baru saja mendapatkan kedaulatan kembali dari tangan
Perancis, yang pada masa berkuasanya diberlakukan Code Penal Perancis. Tahun
1870 Belanda menyusun rancangan KUHP baru. KUHP tersebut diberlakukan
tanggal 1 September 1886 untuk menggantikan Code Penal Perancis. Berdasarkan
asas konkordansi, KUHP Belanda itu diberlakukan pula untuk Hindia Belanda bagi
orang Eropa yang berada di sana dengan berbagai perubahan disesuaikan dengan
keadaan senyatanya di Hindia Belanda.4

3 Rocky Marbun, Topo Santoso dan Hotma P Sibuea, Politik Hukum Pidana dan Sistem Hukum
Pidana Di Indonesia, Jakarta, Setara Pers, 2019. hlm. 8
4 Hanafi Amrani, Politik Pembaharuan Hukum Pidana, UII Press, Yogyakarta, 2020. hlm.20

5
Tetapi dengan Koninklijk Besluit tanggal 12 April 1898 dalam Staatblad 1898
Nomor 30, oleh panitia De Pauly disusun KUHP baru yang khusus hendak
diberlakukan terhadap bangsa Eropa yang berada di Indonesia hingga kini.
Pembentukan KUHP yang hendak diperuntukkan bagi bangsa Eropa ditunda
pelaksanaannya sampai rancangan KUHP bagi penduduk asli selesai, karena
pemerintah Belanda bermaksud untuk memberlakukan kedua KUHP tersebut
sekaligus pada waktu yang bersamaan. Sementara itu, rencana KUHP untuk
penduduk asli dari Slingenberg telah selesai disusun, tetapi selanjutnya harus
dihentikan dan tak dapat diberlakukan karena menteri daerah jajahan Idenberg
berpendapat bahwa dualisme hukum pidana harus dihapuskan. Untuk maksud itu
dibentuk suatu komisi untuk mengatasi hal yang dapat menyelesaikan tugasnya pada
tahun 1913. Rancangan itu kemudian disahkan menjadi undang-undang, namun
demikian KUHP itu baru mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1918 untuk semua
golongan penduduk.5
Pada masa itu di Hindia Belanda masih ada beberapa macam peradilan untuk
macam-macam golongan penduduk. Macam-macam peradilan tersebut adalah
Peradilan Gubernemen untuk seluruh Hindia Belanda, Peradilan Asli untuk daerah-
daerah di mana rakyat dibiarkan menyelenggarakan peradilannya sendiri, Peradilan
Swapraja, Peradilan Agama, dan Peradilan desa. Masing-masing peradilan tersebut
tunduk pada hukum yang berbeda, termasuk dalam lapangan hukum pidana. Hal
tersebut menciptakan keadaan yang menyebabkan tidak dapat diadakannya unifi kasi
hukum. Untuk peradilan Guberneman berlaku KUHP, untuk Peradilan Swapraja
sesuai dengan Selfb estuurregelen 1938 dan Ordonansi Inheems 18 Februari 1932
berlaku hukum adat. Sehingga ini pulalah yang menjadi dasar hukum berlaku dan
tetap terpeliharanya hukum adat, termasuk hukum pidana adat. Jadi ada dua sistem
hukum pidana yang berlaku secara legal di Hindia Belanda.6
Pemerintah Hindia Belanda sebenarnya sengaja mengadakan beberapa tatanan
peradilan dengan motivasi penghematan keuangan negara, mengingat daerah Hindia
Belanda yang sangat luas. Selain itu daerah-daerah yang dibiarkan hidup peradilan
lain selain Peradilan Gubernemen adalah daerah yang secara ekonomi tidak begitu

5 Ibid., hlm. 21
6 Ibid., hlm. 21-22

6
penting. Keadaan seperti ini terus bertahan sampai berakhirnya kekuasaan pemerintah
Hindia Belanda di Indonesia sebagai akibat datangnya balatentara Jepang yang
semula dipandang bangsa Indonesia sebagai ‘saudara tua’ yang akan melepaskan
bangsa Indonesia dari penjajahan, termasuk penjajahan di bidang hukum. Dualisme
hukum pidana di Hindia Belanda masih tetap bertahan.7
Dalam hukum pidana kemudian diberlakukan interimaire strafbepalingen.
Pasal 1 ketentuan ini menentukan hukum pidana yang sudah ada sebelum tahun 1848
tetap berlaku dan mengalami sedikit perubahan dalam sistem hukumnya. Walaupun
sudah ada interimaire strafbepalingen, pemerintah Belanda tetap berusaha
menciptakan kodifikasi dan unifikasi dalam lapangan hukum pidana, usaha ini
akhirnya membuahkan hasil dengan diundangkannya koninklijk besluitn 10 Februari
1866. wetboek van strafrech voor nederlansch indie (wetboek voor de europeanen)
dikonkordinasikan dengan Code Penal Perancis yang sedang berlaku di Belanda.
Inilah yang kemudian menjadi Wetboek van Strafrecht atau dapat disebut Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku sampai saat ini dengan
perubahan-perubahan yang dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia.
Zaman Indonesia merdeka untuk menghindari kekosongan hukum berdasarkan
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 semua perundang-undangan yang ada masih
berlaku selama belum diadakan yang baru. Untuk mengisi kekosongan hukum pada
masa tersebut maka diundangkanlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang
berlakunya hukum pidana yang berlaku di Jawa dan Madura (berdasarkan Peraturan
Pemerintah No 8 Tahun 1946 diberlakukan juga untuk daerah Sumatra) dan
dikukuhkan dengan Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 untuk diberlakukan
untuk seluruh daerah Indonesia untuk menghapus dualsme hukum pidana Indonesia.
Dengan demikian hukum pidana yang berlaku di Indonesia sekarang ialah KUHP
sebagaimana ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo
Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 beserta perubahan-perubahannya antara lain
dalam Undang-Undang 1 Tahun 1960 tentang perubahan KUHP, Undang-Undang
Nomor 16 Prp Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan dalam KUHP, Undang-
Undang Nomor 18 Prp. Tahun 1960 tentang Perubahan Jumlah Maksimum Pidana
Denda Dalam KUHP, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Penambahan

7 Ibid., hlm. 23

7
Ketentuan-Ketentuan Mengenai Pembajakan Udara pada Bab XXIX Buku ke II
KUHP.

B. Penyebab Ketentuan Pasal RUU-KUHP Mendapatkan Penolakan Dari


Masyarakat
Bicara RUU KUHP tentu harus memahami pula historinya kenapa RUU KUHP
itu harus lahir. Salah satunya karena KUHP yang saat ini masih kita gunakan usianya
sudah menginjak 3 abad. KUHP ini merupakan Code Penal Perancis yang lahir 1791,
kemudian ditiru oleh Belanda dalam bentuk WvS (Wetboek van Strafrecht) tahun
1881. Resmi berlaku di Hindia Belanda 1918 dan setelah memasuki era kemerdekaan,
berdasarkan UU No 1 tahun 1946 KUHP ini berlaku di Indonesia sampai dengan
detik ini. Sebagai produk kolonial, bahkan lahir dari rahim Code Penal Perancis
diabad 17 silam maka tentu isinya menyesuaikan dengan zamannya, kebutuhan lokal,
termasuk nilai dan asas didalamnya. Betul ada penyesuaian dengan Indonesia tetapi
sifatnya parsial alias tambal sulam.
Pembaharuan terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
merupakan proses panjang. Dimulai sejak Seminar Hukum Nasional I pada 1963,
usaha pembaruan KUHP terus berlangsung berpuluh tahun hingga saat ini. Mulai dari
Tim Perumus yang saling berganti dan bahkan sebagian besar di antaranya sudah
mendahului kita. Begitu juga corak pengaturan yang berbeda dan berkembang dari
satu rancangan ke rancangan lain.
Dalam catatan sejarah hukum pidana Indonesia, Staatsblad Nomor 732 yang
disahkan pada tahun 19151 merupakan aturan pertama yang dimiliki negeri ini.
Dokumen yang lebih dikenal dengan sebutan Wetboek van Strafrecht voor
Nederlandsch-Indie (WvS-NI) kemudian diadopsi oleh Indonesia melalui Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Menariknya,
peraturan yang disebut sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ini
tidak langsung diberlakukan untuk seluruh wilayah Indonesia. Setelah pengesahannya
di tahun 1946, KUHP diberlakukan terbatas pada wilayah Jawa dan Madura. Perlu

8
waktu sekitar 12 tahun bagi bangsa ini untuk memperluas cakupan keberlakuan
KUHP ini ke seluruh wilayah Republik Indonesia.8
Meski demikian, Mardjono Reksodiputro mengingatkan, meski telah beberapa
kali diubah, teks otentik KUHP ini masih dalam bahasa Belanda mengingat belum
pernah ada terjemahan yang ditetapkan secara resmi oleh Pemerintah Indonesia
sebagai terjemahan WvS-NI tersebut.9
Beberapa buku terjemahan KUHP yang beredar dan dirujuk akademisi serta
praktisi hukum di Indonesia, seperti terjemahan Prof. Moeljatno, Prof. Satochid
Kartanegara, Prof. Andi Hamzah, dan lain-lain, bukanlah terjemahan yang disahkan
secara resmi sebagai terjemahan WvS voor Nederlands-Indie.4 Dengan kondisi yang
demikian, kemungkinan terjadinya beda atau salah tafsir dalam teks bahasa Indonesia
terhadap bahasa Belanda menjadi sangat besar. Ketiadaan terjemahan resmi ini serta
keinginan untuk memiliki KUHP dengan teks bahasa Indonesia mendorong
Pemerintah mengkaji penyusunan KUHP Nasional pada tahun 1980. Pada waktu itu,
Prof. Soedarto membentuk tim di Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), yang
beranggotakan Prof. Oemar Seno Adji, Prof. Ruslan Saleh, dan Prof. J. E. Sahetapy,
untuk melakukan kajian tersebut.5 Hasil kajian yang berupa prakarsa penyusunan
suatu Rancangan KUHP Nasional (RKUHP) pun disetujui Presiden Soeharto. Hal-hal
yang disepakati oleh tim adalah tidak membuat KUHP dari nol, melainkan akan
melakukan rekodifikasi KUHP Hindia-Belanda, dimana “rekodifikasi” yang
dimaksud mempunyai arti sederhana, yaitu:10
1. Mengubah/menerjemahkan teks Bahasa Belanda menjadi teks Bahasa
Indonesia baku dan mudah dimengerti rakyat Indonesia;
2. Mengubah sistem yang dipergunakan, dari tiga Buku menjadi dua Buku; dan
tidak membedakan lagi antara “misdrijven” (kejahatan) dan “overtredingen”
(pelanggaran);
3. Menambah dan mengurangi pasal-pasal dalam Buku Kesatu (Ketentuan
Umum) dan Buku Kedua (Tindak Pidana) dan merumuskan kembali unsur-
unsur tindak pidana yang dipertahankan atau ditambah.

8 Anugerah Rizki Akbari, et. all., Membedah Konstruksi RUU KUHP, Jakarta : Sekolah Tinggi Hukum
Indonesia Jentera, 2019. hlm. 12
9 Ibid., hlm. 13
10 Ibid., hlm. 14

9
Pada rapat-rapat awal, tim tersebut kemudian menyepakati beberapa teori untuk
rekodifikasi. Untuk Buku I, disepakati beberapa hal antara lain:11
1. Dihapuskannya perbedaan antara “kejahatan” dan “pelanggaran”;
2. Dipergunakannya istilah “tindak pidana” untuk “strafbaar feit”;
3. Asas legalitas tetap diakui, akan tetapi hukum pidana adat yang berlaku
harus diberi tempat;
4. Pengertian “dolus” dan “culpa” ditegaskan maknanya;
5. Pertanggungjawaban pidana korporasi dicantumkan;
6. Kurang kemampuan bertanggungjawab pidana dicantumkan;
7. Alasan penghapus sifat melawan hukumnya perbuatan yang di luar
undang-undang dicantumkan (materiele/formele wederrechtelijkheid);
8. Diadakan sistem sanksi yang menganut sistem dua jalur (pidana dan
tindakan);
9. Dibedakan antara sanksi untuk pelaku dewasa (di atas umur 18 tahun) dan
pelaku anak (anak adalah yang berumur 12-18 tahun); sedangkan anak
yang belum mencapai umur dua belas tahun, tidak dapat
dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana;
10. Diadakan kategori denda serta dicantumkan pedoman pemidanaan dan
pedoman penerapan pidana penjara.
Untuk rekodifikasi buku II, disepakati adanya beberapa tindak pidana baru,
yaitu:12
1. Melalui Buku I (asas-asas) dikenal “delik adat” dalam rumusan “berlakunya
hukum yang hidup yang menentukan bahwa menurut adat setempat
seseorang patut dipidana, walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam
peraturan perundang-undangan”;
2. Tindak pidana terhadap keamanan negara dari bahaya komunisme, ini
merupakan delik terhadap negara dan pemerintahan;
3. Tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama, ini merupakan
delik terhadap ketertiban sosial;

11 Ibid., hlm. 14-15


12 Ibid., hlm. 20

10
4. Tindak pidana terhadap penyelenggaraan peradilan, ini merupakan delik
“contempt of court”;
5. Tindak pidana terhadap pencemaran lingkungan, ini merupakan delik
membahayakan keamanan orang dan barang;
6. Tindak pidana komputer, ini dapat merupakan “fraud by computer
manipulation–computer espionage–software piracy–computer sabotage–
unauthorized access” dan secara umum dapat dikategorikan sebagai
“computer-related economic crimes”;
Pada tahun 1987–1993, ketika Ketua Tim dipegang oleh Mardjono
Reksodiputro, terdapat beberapa prinsip yang disepakati akan terkandung dalam
penyusunan Rancangan KUHP Nasional, antara lain: Bahwa hukum pidana juga
dipergunakan untuk menegaskan ataupun menegakkan kembali nilai-nilai sosial dasar
(basic social values) perilaku hidup bermasyarakat dalam negara kesatuan RI yang
dijiwai oleh falsafah dan ideologi Negara Pancasila. Bahwa hukum pidana sedapat
mungkin hanya dipergunakan dalam keadaan di mana cara lain melakukan
pengendalian sosial tidak atau belum dapat diharapkan keefektifannya.13
Dalam menegakkan hukum pidana sesuai dengan kedua pembatasan di atas,
harus diusahakan dengan sungguh-sungguh bahwa caranya seminimal mungkin
mengganggu hak dan kebebasan individu, tanpa mengurangi perlindungan terhadap
kepentingan kolektifitas masyarakat demokratik modern Indonesia; Oleh karena itu
pula, Rancangan KUHP Nasional harus secara jelas dan dalam bahasa yang dapat
dipahami warga masyarakat, merumuskan:14
1. Perbuatan apa yang merupakan tindak pidana, dan
2. Kesalahan macam apa yang disyaratkan untuk memberikan
pertanggungjawaban pidana kepada pelaku.
Setelah menyelesaikan penyusunan Buku I dan penjelasan pasal demi pasal
pada tahun 1986, dilanjutkan dengan perumusan Buku II KUHP dengan
menggabungkan pasal-pasal yang masih relevan dari Buku III lama ke dalam Buku II
baru. Pada tanggal 13 Maret 1993, Mardjono Reksodiputro sebagai Ketua Tim
didampingi oleh Ketua BPHN dan anggota tim menyerahkan naskah lengkap

13 Ibid., hlm. 20
14 Ibid., hlm. 21

11
RKUHP nasional kepada Menteri Kehakiman, Ismail Saleh, di Departemen
Kehakiman, Kuningan, Jakarta Selatan. Penyusunan RKUHP Nasional berlanjut di
masa Menteri Kehakiman Oetojo Oesman dan Direktur Hukum dan Perundang-
undangan Bagir Manan pada tahun 1993-1998. Namun, pada masa ini, RKUHP
Nasional diubah kembali dengan alasan modelnya tidak sesuai dengan pakem lama,
seperti tidak semua pasal perlu dijelaskan. Akibat dari “pembongkaran” penjelasan
RKUHP ini, RKUHP yang telah disusun selama 12 (dua belas) tahun ‘ditidurkan’
selama 5 (lima) tahun di Departemen Kehakiman.15
Pada tahun 1998, Menteri Kehakiman Muladi kembali mengajukan RKUHP
Nasional ke DPR, namun saat itu gagal karena pada saat itu bukanlah hal yang
mendesak untuk dibahas. Penyusunan RKUHP Nasional kemudian dilanjutkan oleh
Menteri Kehakiman selanjutnya hingga akhirnya secara resmi diserahkan oleh
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada akhir tahun 2012. Pembahasan sempat
dilakukan selama beberapa waktu, namun terhenti karena masa bakti DPR telah habis
di tahun 2014. Setelah melewati berbagai dinamika pembahasan, RKUHP kembali
dan diserahkan kembali ke DPR oleh Presiden Joko Widodo pada 5 Juni 2015 untuk
dibahas secara bersama-sama.16
Dalam penjelasan RKUHP yang diserahkan oleh Pemerintah kepada DPR
dinyatakan bahwa penyusunan RKUHP tidak lagi membawa misi tunggal, yaitu misi
dekolonisasi hukum pidana, akan tetapi juga mengandung tiga misi penting lainnya
yaitu demokratisasi hukum pidana, konsolidasi hukum pidana, dan adaptasi serta
harmonisasi terhadap berbagai perkembangan baru di bidang hukum pidana. Keempat
misi inilah yang diklaim Pemerintah akan membawa nuansa baru dalam hukum
pidana yang bertujuan untuk menciptakan dan menegakkan konsistensi, keadilan,
kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum dengan memperhatikan keseimbangan
antara kepentingan nasional, kepentingan masyarakat dan kepentingan individu dalam
Negara Republik Indonesia berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.17
Dengan berbagai perkembangan yang terjadi di ranah hukum pidana, khususnya
dengan diaturnya berbagai asas-asas di undang-undang yang menyimpangi ketentuan
15 Ibid., hlm. 19
16 Ibid., hlm. 19-20
17 Ibid., hlm. 34

12
umum di KUHP, upaya memperbarui hukum pidana melalui RKUHP merupakan
sebuah tantangan tersendiri. Secara lebih khusus, konstruksi pengaturan asas-asas
hukum pidana dalam Buku 1 RKUHP harus disusun sedemikian rupa agar tetap
mengacu pada prinsip-prinsip fundamental hukum pidana seraya mengakomodasi
perkembangan yang ada. Oleh sebab itu, telaah akademik atas penyusunan dan
perumusan asas-asas hukum pidana di dalam Buku 1 RKUHP merupakan suatu
keharusan.
Semangat dari adanya pembentukan dari RUU KUHP sesungguhnya adalah
melakukan penal reform atau pembaharuan hukum pidana yang pada hakekatnya
mengandung makna suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum
pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sosio politik, sosio filosofik dan sosio kultural
masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan criminal dan
kebijakan penegakan hukum di Indonesia.
Jadi upaya yang dilakukan oleh tim perumus RUU KUHP yang sudah diinisiasi
sejak tahun 1963 era orde lama adalah melakukan pembaharuan KUHP yang sifatnya
total dan bukan parsial sebagaimana selama ini dilakukan. Misalnya hanya mengganti
istilah gulden menjadi rupiah, lalu memperluas asas territorial termasuk kapal dan
pesawat udara dan lain sebagainya. Sementara asas-asas dan nilai-nilai didalamnya
masih berprinsip kolonial yang liberal dan individual. Berbeda jauh dengan nilai-nilai
Pancasila kita yang menjadi sumber dari segala sumber hukum. Oleh karenanya RUU
KUHP yang ingin dibangun adalah sebuah mahakarya nasional anak bangsa yang
selaras dengan nilai-nilai sosio politik, sosio filosofik dan sosio kultural masyarakat
Indonesia.18
Menurut Muladi, sebagai Tim Penyusun RUU KUHP, sejak dicetuskan 1963,
sudah 17 anggota tim penyusun yang wafat. Sudah melewati 13 Menteri Kehakiman.
Artinya ini RUU bukan barang karbitan yang dibuat kemarin sore, dan bukan pula
didesain oleh orang yang bukan ahlinya. Namun bukan pula menyebut ini karya
sempurna karena tak ada gading yang tak retak. Namun menolak RUU KUHP yang
seolah salah semuanya, terlebih karena belum membacanya secara konfrehensif juga
terlihat tidak arief. Penundaan pengesahan RUU KUHP ini diambil sisi positifnya
guna menuju arah penyempurnaan. Disisi lain juga bentuk sosialisasi dan edukasi

18 Ibid., hlm. 35

13
secara tidak langsung sekaligus membuka mata publik perihal peraturan yang nanti
akan diberlakukan kepadanya. Namun kiranya proses ini tidak memakan waktu yang
lama lagi. Sehingga kita memiliki KUHP Nasional dan tentunya jalur konstitusional
melalui MK tetap terbuka untuk menggugat.19
Dalam keterangan pihak pemerintah, menerapkan 6 prinsip dasar dalam
pembahasan RUU KUHP ini. Keenamnya antara lain;20
1. Penerapan asas legalitas pasif. Berdasarkan asas tersebut hukum positif yang
tertulis maupun tidak tertulis dapat diterapkan di Indonesia supaya tidak
bertentangan dengan Pancasila dan undang-undang dasar 1945 serta asas-
asas hukum lainnya.
2. Perluasan pertanggungjawaban pidana.  Korporasi kini bisa menjadi subjek
hukum pidana sehingga bisa dimintai pertanggungjawaban hukum.
3. Penerapan doktrin ultimum remedium, yakni sistem pemidanaan diatur
dengan tujuan tidak menderitakan tapi memasyarakatkan dan pembinaan. 
4. Pidana mati kini merupakan pidana yang sifatnya khusus yang selalu
diancam secara alternatif. Artinya harus diancamkan dengan pidana seumur
hidup atau penjara paling lama 20 tahun.  Selain itu harus diatur dengan
syarat-syarat atau kriteria khusus dalam penjatuhan pidana mati.
5. RUU KUHP merupakan bagian dari rekodifikasi dan pengaturan-pengaturan
terhadap berbagai jenis tindak pidana yang telah ada di KUHP dan undang-
undang terkait lainnya. RUU KUHP telah menyesuaikan dengan
perkembangan masyarakat modern. 
6. Pengaturan tindak pidana khusus dalam RUU KUHP diatur dengan kriteria-
kriteria yang jelas dan pasti. Dikategorikan sebagai tindak pidana khusus,
untuk merespon perkembangan teknologi dan komunikasi yang telah
mempengaruhi kejahatan yang lebih luas,  lintas batas, dan terorganisir. 
Berdasarkan penjelasan tersebut tentunya dapat dilihat mengenai urgensi dalam
pembentukan dan perancangan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana di Indonesia, dimana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang ada
saat ini masih belum cukup mengakomodir setiap delik yang kini sudah berkembang

19 Ibid., hlm. 22
20 Ibid., hlm. 22

14
pesat mengikuti perkembangan zaman, selain itu Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana yang ada saat ini masih berasal dari zaman belanda dan masih merupakan
terjemahan yang belum resmi sehingga dikhawatirkan terjadi multi tafsir dalam
penerapannya di masyarakat maupun dikalangan penegak hukum.
Jika melihat struktur dan jumlah pasal yang ada dalam Buku I RKUHP terkesan
terdapat perbedaan yang cukup besar antara RKUHP dengan KUHP. Namun, jika
ditelisik lebih dalam sebenarnya tidak demikian. RKUHP hanya mengubah tata letak
ketentuan-ketentuan yang ada pada KUHP yang berlaku saat ini, dengan sedikit
penambahan dan pengurangan materi di beberapa bagian. Bab I RKUHP tentang
Ruang Lingkup Berlakunya Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Pidana dapat
dijadikan contoh untuk melihat bahwa materi yang diatur di dalam RKUHP
mengambil sebagian besar pengaturan Bab I KUHP. Bab yang terdiri dari 11 pasal
dengan sejumlah ayat ini pada dasarnya mengambil Bab I Buku I KUHP tentang
Batas-Batas Berlakunya Aturan Pidana Dalam Undang-Undang.
Diketahui berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya terdapat beberapa
pasal dalam RUU-KUHP yang viral dan dikritik publik. Sebelum lebih jauh, penulis
sampaikan dulu bahwa RUU KUHP terdiri atas dua buku, yakni buku satu tentang
ketentuan umum ada 187 Pasal dan buku dua tentang tindak pidana ada 627 Pasal.
Jadi ada 814 pasal dalam RUU KUHP.
Adapun dalam pembahasan pada karya tulis ini, diketahui bahwa Pasal yang
dirpotes adalah mengenai ketentuan Pasal 340 RUU-KUHP yang menyatakan,
“Dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda
paling banyak Kategori II (denda maksimal Rp 10 juta-red), setiap orang yang tidak
mencegah hewan yang ada dalam penjagaannya yang menyerang orang atau hewan.
Selain hal di atas, pemilik hewan juga akan dikenai 6 bulan penjara, apabila:
1. Menghasut hewan sehingga membahayakan orang;
2. Menghasut hewan yang sedang ditunggangi atau hewan yang sedang
menarik kereta atau gerobak atau yang dibebani barang;
3. Tidak menjaga secara patut hewan buas yang ada dalam penjagaannya; atau
4. Memelihara hewan buas yang berbahaya tidak melaporkan kepada Pejabat
yang berwenang.

15
Bahkan di pasal 341 mengatur warga yang memperkosa hewan ternak atau
berhubungan seksual dengan hewan juga bisa dipidana., dimana ketentuan pasal 341
RUU-KUHP menyebutkan,  
1. Dipidana karena melakukan penganiayaan hewan dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II,
setiap orang yang:
a. Menyakiti atau melukai hewan atau merugikan kesehatannya dengan
melampaui batas atau tanpa tujuan yang patut.
b. Melakukan hubungan seksual dengan hewan.
2. Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan hewan
sakit lebih dari 1 (satu) minggu, cacat, Luka Berat, atau mati dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau
pidana denda paling banyak Kategori III (Rp50 juta).
3. Dalam hal hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) milik pelaku tindak
pidana, hewan tersebut dapat dirampas dan ditempatkan ke tempat yang
layak bagi hewan.
Ketentuan Pasal Unggas tersebut di RUU KUHP menjadi viral karena dinilai
terlalu mengada-ada. Pasal itu juga sudah ada dalam KUHP yang berlaku saat ini.
Dalam KUHP yang berlaku saat ini, 'Pasal Unggas Jalan-jalan' tertuang dalam Pasal
548, 549, 550. Dalam RUU KUHP, menjadi Pasal 278, Pasal 279 dan Pasal 280.
Adapun ketentuan Pasal 278 RUU-KUHP menyebutkan “Setiap Orang yang
membiarkan unggas yang diternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah
ditaburi benih atau tanaman milik orang lain dipidana dengan pidana denda paling
banyak Kategori II (maksimal Rp 10 juta).”
Kemudian Pasal 279 RUU-KUHP menyebutkan, “1. Setiap Orang yang
membiarkan Ternaknya berjalan di kebun, tanah perumputan, tanah yang ditaburi
benih atau penanaman, atau tanah yang disiapkan untuk ditaburi benih atau ditanami
dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori II. 2. Ternak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dirampas untuk negara.”
Selanjutnya ketentuan Pasal 280 RUU-KUHP menyebutkan, “Dipidana dengan
pidana denda paling banyak Kategori II, Setiap Orang yang:

16
a. Berjalan atau berkendaraan di atas tanah pembenihan, penanaman, atau
yang disiapkan untuk itu yang merupakan milik orang lain; atau
b. Tanpa hak berjalan atau berkendaraan di atas tanah yang oleh pemiliknya
dilarang Masuk atau sudah diberi larangan Masuk dengan jelas.
Pada kenyataannya diketahui masalah pengaturan tersebut ternyata bukan
mengada-ada, namun hal demikian kerap kali terjadi pada ruang lingkup masyarakat
yang hidup diwilayah pertanian maupun perkebunan, dimana hal tersebut dapat
dilihat dalam berkas putusan Mahkamah Agung (MA). Salah satunya di Kabupaten
Asahan, Sumatera Utara, Dalam kasus ini segerombolan lembu milik Toro Irwandi
memasuki lokasi areal perkebunan milik suatu perusahaan pada 15 November 2014.
Lembu itu memakan daun serta batang bibit tanaman karet yang baru ditanam.21
Akibat lembu makan bibit tanaman itu, perusahaan merugi. Tentu perusahaan
tidak terima dengan hal tersebut dan melaporkan Toro ke Polsek Prapat Janji. Toro
selaku pemilik kena Pasal 549 ayat 1 KUHP. Pasal ini berbunyi: Barangsiapa tanpa
wewenang membiarkan ternaknya berjalan di kebun, di padang rumput, atau di
ladang rumput atau di padang rumput kering, baik di tanah yang telah ditaburi,
ditugali atau ditanami ataupun yang sudah siap untuk ditaburi, ditugali atau ditanami
atau yang hasilnya belum diambil, ataupun di tanah kepunyaan orang lain, yang oleh
yang berhak dilarang dimasuki dan sudah diberi tanda larangan yang jelas bagi
pelanggar, diancam dengan pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima
rupiah (dikonfersi dengan kurs hari ini Rp 375 ribu).22
Setelah dibuktikan di pengadilan, hakim menyatakan Toro bersalah karena
membiarkan hewannya berjalan di kebun, oleh orang yang berhak melarang dimasuki
dengan sudah diberi tanda larangan yang nyata bagi si pelanggar. "Menjatuhkan
pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana denda sejumlah Rp 300 ribu,
dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar oleh terdakwa diganti dengan pidana
kurungan selama 3 hari," ujar hakim tunggal Lusiana Amping pada 28 November
2014.23

21 Supriyadi Widodo Eddyono, Miko S. Ginting , dan Anggara, Mengawal Pembahasan RUU-
KUHP : dari Evaluasi ke Rekomendasi, Jakarta : ICJR, 2019. hlm. 79
22 Ibid., hlm. 80
23 Ibid., hlm. 81

17
Dalam pertimbangannya hakim mengatakan bahwa perbuatan Terdakwa yang
tidak mengawasi penggembalaan lembu miliknya itu menyebabkan kerugian bagi
saksi korban. Adapun penyebab pengaturan Pasal mengenai unggas dan hewan ternak
ini masih diatur dalam RUU-KUHP karena diwilayah Indonesia masih banyak desa,
masyarakat pun masih banyak yang agraris yang petani, masyarakat yang
membuatkan sawah, serta tidak jarang ada saja pihak yang beritikad tidak baik, terkait
adanya kegiatan masyarakat dalam mengelola persawahan dan perkebunan sehingga
terkadang menaruh beberapa jenis binatang yang dapat menjadi hama bagi tumbuhan
pertanian dan perkebunan.
Sejatinya penyebab terjadinya penolakan dan pertentangan dari masyarakat atas
berlakunya pasal-pasal yang dianggap kontroversial dalam RUU-KUHP, termasuk
mengenai berlakunya ketentuan mengenai kelalaian dalam pemeliharaan hewan,
diketahui karena adanya beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Kurangnya pengkajian pemerintah mengenai pemberian keterangan dalam
pasal-pasal yang dianggap cukup kontroversial, seperti dalam Pasal 340
RUU-KUHP, dimana pemberian keterangan dari ketentuan Pasal 340 RUU
KUHP tersebut hanya memberikan keterangan sebagai berikut :
“Huruf a : Yang dimaksud dengan “menghasut hewan” adalah membuat
hewan bereaksi panik sehingga menyebabkan hewan tersebut agresif,
menimbulkan kegelisahan, ketakutan pada hewan yang dapat
membahayakan manusia, hewan, dan barang.
Huruf b : Cukup jelas.
Huruf c : Cukup jelas.
Huruf d : Cukup jelas.
Pemberian keterangan terhadap unsur-unsur yang terkandung dalam suatu
pasal tentunya amat sangat penting, khususnya penjelasan mengenai situasi,
kondisi, dan kualifikasi dari pasal yang dimaksud, sehingga pasal tersebut
dalam penerapannya tidak mengalami kekeliruan yang diakibatkan multi
tafsir, maupun kesalahan penafsiran. Penjelasan tersebut juga tentunya amat
sangat penting bagi masyarakat, karena adanya penjelasan mengenai situasi,
kondisi, dan kualifikasi, serta akibat hukum dari penerapan suatu pasal,
tentunya dapat menghilangkan kekhawatiran di masyarakat.

18
2. Kurangnya sosialisasi dari pihak pemerintah kepada masyarakat dalam
memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai produk perundang-
undangan yang hendak dikeluarkan dan disahkan oleh pemerintah, dimana
pemerintah tentunya perlu memberikan penjelasan dan pemahaman
terhadap masyarakat mengenai setiap peraturan yang hendak dibuat,
dirancang, disusun, dan disahkan oleh pemerintah, sehingga adanya
peraturan akan membuat ketenangan di masyarakat, dan menghilangkan
munculnya itikad tidak baik dari beberapa pihak yang hendak melakukan
pelanggaran atau kejahatan atas suatu hal yang diatur dalam peraturan yang
dibuat pemerintah, dan bukan berefek sebaliknya, seperti munculnya
kekhawatiran akan rasa takut terjadinya kriminalisasi terhadap masyarakat.
Disinilah pemerintah seharusnya memberikan sosialisasi pada masyarakat,
bahwa penerapan dalam Pasal RUU-KUHP khususnya terhadap Pasal 340
RUU-KUHP, tidak dapat sembarangan diterapkan, karena tentunya terdapat
beberapa asas hukum yang membatasi berlakunya ketentuan Pasal 340
tersebut, dimana asas-asas hukum tersebut berlaku sebagai syarat
berlakunya seluruh pasal yang terdapat dalam RUU-KUHP, termasuk dalam
Penerapan Pasal 340 RUU-KUHP. Selain itu untuk terjadinya kriminalisasi
tentunya dapat diminimalisir, karena proses pembuktian terhadap delik yang
ada dalam RUU-KUHP, tentunya harus melalui beragam prosedur, seperti
prosedur, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan, sehingga
tidak semua perbuatan dapat diterapkan delik pidana. Pemerintah pun perlu
juga seharusnya memberikan informasi, mengenai upaya-upaya hukum non
litigasi yang dapat ditempuh masyarakat, terutama terhadap delik-delik
seperti dalam Pasal 340 RUU-KUHP, dimana terhadap delik ini, tidak
hanya upaya pemidanaan yang dapat diterapkan, namun juga sebelum
terjadinya pemidanaan, para pihak dapat melakukan upaya non litigasi
sebagai alternatif penyelesaian sengketa, sehingga apabila meskipun terjadi
pelanggaran terhadap delik dalam RUU-KUHP, namun upaya pemidanaan
merupakan solusi akhir, bukan solusi awal maupun solusi penentu, dalam
menegakan hukum dan sebagai upaya menjaga ketertiban dan keamanan
dimasyarakat.

19
3. Munculnya pihak-pihak berkepentingan yang hendak memanfaatkan situasi
dan kondisi dari kurang jelasnya suatu peraturan, seperti dalam RUU-
KUHP, diduga terdapat beberapa pihak yang hendak memanfaatkan kurang
jelasnya pengaturan dari RUU-KUHP dan kurangnya pengetahuan
masyarakat mengenai RUU-KUHP akibat kurangnya sosialisasi dari
pemerintah. Hal ini tentunya tidak luput dari adanya beberapa pihak yang
hendak memanfaatkan situasi dan kondisi dari lemahnya RUU-KUHP yang
dibuat, dimana dalam setiap protes yang mengemuka, tidak jarang
diketemukan adanya oknum-oknum yang hendak memanfaatkan suatu
pergerakan masyarakat dan ketidaktahuan dari masyarakat, untuk
kepentingan pribadi maupun kelompoknya.
4. Adanya perspektif dimasyarakat bahwa ketentuan Pasal dalam RUU-KUHP
khususnya mengenai ketentuan Pasal 340 RUU-KUHP terkesan mengada-
ada.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diketahui penyebab terjadinya
penolakan dari disahkannya RUU-KUHP khususnya mengenai ketentuan Pasal 340
RUU-KUHP yang mendapatkan pertentangan dari masyarakat, dikarenakan
kurangnya pengkajian pemerintah mengenai pemberian keterangan dalam pasal-pasal
yang dianggap cukup kontroversial, seperti dalam Pasal 340 RUU-KUHP, serta
kurangnya sosialisasi dari pemerintah dalam menginformasikan kepada masyarakat
mengenai prosedur berlakunya RUU-KUHP, sehingga menimbulkan keresahan
dimasyarakat mengenai potensi terjadinya kriminalisasi terhadap masyarakat yang
memiliki hewan peliharaan seperti unggas, hewan peliharaan rumahan, dan hewan
ternak, serta adanya kesan, bahwa Pasal 340 RUU-KUHP tersebut mengada-ada.
Menurut hemat peneliti, disinilah pemerintah seharusnya memberikan
sosialisasi pada masyarakat, bahwa penerapan dalam Pasal RUU-KUHP khususnya
terhadap Pasal 340 RUU-KUHP, tidak dapat sembarangan diterapkan, karena
tentunya terdapat beberapa asas hukum yang membatasi berlakunya ketentuan Pasal
340 tersebut, dimana asas-asas hukum tersebut berlaku sebagai syarat berlakunya
seluruh pasal yang terdapat dalam RUU-KUHP, termasuk dalam Penerapan Pasal 340
RUU-KUHP. Selain itu untuk terjadinya kriminalisasi tentunya dapat diminimalisir,
karena proses pembuktian terhadap delik yang ada dalam RUU-KUHP, tentunya

20
harus melalui beragam prosedur, seperti prosedur, penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di pengadilan, sehingga tidak semua perbuatan dapat diterapkan delik
pidana. Pemerintah pun perlu juga seharusnya memberikan informasi, mengenai
upaya-upaya hukum non litigasi yang dapat ditempuh masyarakat, terutama terhadap
delik-delik seperti dalam Pasal 340 RUU-KUHP, dimana terhadap delik ini, tidak
hanya upaya pemidanaan yang dapat diterapkan, namun juga sebelum terjadinya
pemidanaan, para pihak dapat melakukan upaya non litigasi sebagai alternatif
penyelesaian sengketa, sehingga apabila meskipun terjadi pelanggaran terhadap delik
dalam RUU-KUHP, namun upaya pemidanaan merupakan solusi akhir, bukan solusi
awal maupun solusi penentu, dalam menegakan hukum dan sebagai upaya menjaga
ketertiban dan keamanan dimasyarakat.

21
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Urgensi dalam pembentukan dan perancangan Rancangan Undang-Undang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia, dimana Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana yang ada saat ini masih belum cukup mengakomodir
setiap delik yang kini sudah berkembang pesat mengikuti perkembangan
zaman, selain itu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang ada saat ini
masih berasal dari zaman belanda dan masih merupakan terjemahan yang
belum resmi sehingga dikhawatirkan terjadi multi tafsir dalam penerapannya di
masyarakat maupun dikalangan penegak hukum.
2. Penyebab terjadinya penolakan dari disahkannya RUU-KUHP khususnya
mengenai ketentuan Pasal 340 RUU-KUHP yang mendapatkan pertentangan
dari masyarakat, dikarenakan kurangnya pengkajian pemerintah mengenai
pemberian keterangan dalam pasal-pasal yang dianggap cukup kontroversial,
seperti dalam Pasal 340 RUU-KUHP, serta kurangnya sosialisasi dari
pemerintah dalam menginformasikan kepada masyarakat mengenai prosedur
berlakunya RUU-KUHP, sehingga menimbulkan keresahan dimasyarakat
mengenai potensi terjadinya kriminalisasi terhadap masyarakat yang memiliki
hewan peliharaan seperti unggas, hewan peliharaan rumahan, dan hewan
ternak, serta adanya kesan, bahwa Pasal 340 RUU-KUHP tersebut mengada-
ada.
B. Saran
1. Kedepannya diharapkan pemerintah dalam membentuk suatu peraturan
perundang-undangan memperhatikan secara khusus, mengenai pentingnya
pemberian keterangan terhadap unsur-unsur yang terkandung dalam suatu
pasal tentunya amat sangat penting, khususnya penjelasan mengenai situasi,
kondisi, dan kualifikasi dari pasal yang dimaksud, sehingga pasal tersebut
dalam penerapannya tidak mengalami kekeliruan yang diakibatkan multi tafsir,
maupun kesalahan penafsiran. Penjelasan tersebut juga tentunya amat sangat
penting bagi masyarakat, karena adanya penjelasan mengenai situasi, kondisi,

22
dan kualifikasi, serta akibat hukum dari penerapan suatu pasal, tentunya dapat
menghilangkan kekhawatiran di masyarakat.
2. Kedepannya diharapkan pemerintah memberikan sosialisasi pada masyarakat,
bahwa penerapan dalam Pasal RUU-KUHP khususnya terhadap Pasal 340
RUU-KUHP, tidak dapat sembarangan diterapkan, karena tentunya terdapat
beberapa asas hukum yang membatasi berlakunya ketentuan Pasal 340
tersebut, dimana asas-asas hukum tersebut berlaku sebagai syarat berlakunya
seluruh pasal yang terdapat dalam RUU-KUHP, termasuk dalam Penerapan
Pasal 340 RUU-KUHP. Selain itu untuk terjadinya kriminalisasi tentunya
dapat diminimalisir, karena proses pembuktian terhadap delik yang ada dalam
RUU-KUHP, tentunya harus melalui beragam prosedur, seperti prosedur,
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan, sehingga tidak semua
perbuatan dapat diterapkan delik pidana. Pemerintah pun perlu juga seharusnya
memberikan informasi, mengenai upaya-upaya hukum non litigasi yang dapat
ditempuh masyarakat, terutama terhadap delik-delik seperti dalam Pasal 340
RUU-KUHP, dimana terhadap delik ini, tidak hanya upaya pemidanaan yang
dapat diterapkan, namun juga sebelum terjadinya pemidanaan, para pihak
dapat melakukan upaya non litigasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa,
sehingga apabila meskipun terjadi pelanggaran terhadap delik dalam RUU-
KUHP, namun upaya pemidanaan merupakan solusi akhir, bukan solusi awal
maupun solusi penentu, dalam menegakan hukum dan sebagai upaya menjaga
ketertiban dan keamanan dimasyarakat.

23
DAFTAR PUSTAKA

A. Peraturan Perundang-Undangan
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Republik Indonesia, Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana
B. Buku-Buku
Anugerah Rizki Akbari, et. all., Membedah Konstruksi RUU KUHP, Jakarta :
Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, 2019.

Hanafi Amrani, Politik Pembaharuan Hukum Pidana, UII Press, Yogyakarta,


2020.

Mukti Fajar ND, Dualisme Penelitian Hukum, Pustaka Pelajar : Yogyakarta,


2013.

Supriyadi Widodo Eddyono, Miko S. Ginting , dan Anggara, Mengawal


Pembahasan RUU-KUHP : dari Evaluasi ke Rekomendasi, Jakarta :
ICJR, 2019.

Rocky Marbun, Topo Santoso dan Hotma P Sibuea, Politik Hukum Pidana dan
Sistem Hukum Pidana Di Indonesia, Jakarta, Setara Pers, 2019.

24

Anda mungkin juga menyukai