Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH KELOMPOK 4

PENDIDIKAN KEWARGANAEGARAAN
PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA

Dosen Pengampu : Rio Sundari, S.IP., M.A.

Disusun Oleh

Kelompok 4 :

Elsa Fitricia (2307134891)

Salwa Tri Naibila (2307112451)

Shaqira Azzahra Yahsar (2307114007)

Tiara Amanda Muslim (2307110961)

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS RIAU
2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadiran Tuhan Yang Maha Esa atas karunia serta berkat-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dengan harapan dan tepat pada
waktunya. Makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan. Makalah ini berjudul Penegakan Hukum di Indonesia.

Kami berterima kasih kepada dosen pengampu Bapak Rio Sundari, S.IP., M.A. yang
telah mengajar mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Dan kami juga berterima kasih
kepada semua pihak yang membantu dalam penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Kami mengharapkan
kritik dan saran dari semua pihak yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata kami mohon maaf jika terdapat kesalahan dalam penyusunan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca untuk menambah pengetahuan.

Pekanbaru, 03 Oktober 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................... 1

DAFTAR ISI.................................................................................................................. 2

BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................................ 3

1.1 Latar Belakang Masalah................................................................................................ 3

1.2 Rumusan Masalah......................................................................................................... 5

1.3 Tujuan Penulisan............................................................................................................ 5

1.4 Metode Penulisan........................................................................................................... 5

BAB 11 PEMBAHASAN.............................................................................................. 6

2.1 Pengertian Penegakan Hukum..................................................................................... 6

2.2 Pengertian Aparatur Penegak Hukum.......................................................................... 9

2.3 Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum.......................................................... 11

2.4 Permasalahan Penegakan Hukum di Indonesia........................................................... 13

2.5 Pemberdayaan Masyarakat dan Penegakan Hukum..................................................... 17

BAB III PENUTUP...................................................................................................... 19

3.1 Kesimpulan...................................................................................................................... 19

3.2 Daftar Pustaka.................................................................................................................. 20

2
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Bergulirnya iklim reformasi dan demokratisasi di Indoneseia dalam kurun waktu


beberapa tahun terakhir ini telah membawa angin perubahan berupa kebebasan berekspresi
yang sangat bebas. Kebebasan tersebut pada beberapa kesempatan telah “kebabalasan”
bahkan berujung pada konflik horisontal maupun konflik vertikal. Konflik yang tidak
terkelola dengan baik ditambah dendam masa lalu pada masa Pemerintahan Orde Baru,
yang sangat otoriter berdampak pada kekerasan bahkan telah terjadi konflik bersenjata.
Bahkan beberapa daerah telah jatuh korban berjumlah ratusan bahkan mungkin ribuan.
Terjadi pula pengusiran dan pemusnahan kelompok etnis tertentu (genocide) oleh kelompok
etnis lain. Kekerasan, kontak senjata dan pemusnahan etnis seakan menjadi “menu utama”
berbagai media di tanah air.

Sejarah bangsa Indonesia hingga kini mencatat berbagai penderitaan, kesengsaraan


dan kesenjangan sosial, yang disebabkan oleh perilaku tidak adil dan diskriminatif atas
dasar etnik, ras, warna kulit, budaya, bahasa, agama, golongan, jenis kelamin dan status
sosial lainnya. Perilaku tidak adil dan diskriminatif tersebut merupakan pelanggaran hak
asasi manusia, baik yang bersifat vertikal (dilakukan oleh aparat negara terhadap warga
negara atau sebaliknya) maupun horisontal (antarwarga negara sendiri) dan tidak sedikit
yang masuk dalam kategori pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violation of
human rights).

Pada kenyataannya selama lebih lima tujuh tahun usia Republik Indonesia, pelaksanaan
penghormatan, perlindungan atau penegakan hak asasi manusia masih jauh dari
memuaskan.

Hal tersebut tercermin dari kejadian berupa penangkapan yang tidak sah,
penculikan, penganiayaan, perkosaan, penghilangan paksa, pembunuhan, pemusnahan

3
kelompok etnis tertentu, pembakaran sarana pendidikan dan tempat ibadah, dan teror bom
yang semakin berkembang. Selain itu, terjadi pula penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat
publik dan aparat penegak hukum, pemelihara keamanan, dan pelindung rakyat, tetapi
justru mengintimidasi, menganiaya, menghilangkan paksa dan/atau menghilangkan
nyawa. Bahkan pada beberapa kesempatan yang lalu, Pengadilan HAM Ad Hoc Kasus
pelanggaran HAM berat Timtim telah membebaskan sebagian terbesar para Jendaral
Angkatan Darat dari segala tuntutan hukum.

Padahal secara jelas dan tegas untuk melaksanakan amanat Undang-undang Dasar
1945, Majelis Permusyarwaratan Rakyat melalui Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998
tentang Hak Asasi Manusia, telah menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara
dan seluruh aparatur Pemerintah, untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan
pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat. Telah terbentuk juga
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang No.
26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang diikuti dengan pengukuhan
melalui Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

4
1.2 Rumusan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang tersebut, agar dalam penulisan ini penulis
mendapatkan hasil yang diinginkan, maka penulis mengemukakan beberapa perumusan
masalah. Rumusan masalah itu adalah :

Adapun rumusan masalah dalam pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah penegakan hukum itu?

2. Apakah itu aparatur penegak hukum?

3. Apakah Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum?

4. Apakah Permasalahan Penegakan Hukum di Indonesia?

5. Bagaimana Pemberdayaan Masyarakat dan Penegakan Hukum?

Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini antara lain:

1. Untuk memenuhi tugas mata kuiah Sistem Hukum Indonesia

2. Untuk menambah pengetahuan tentang Penegakan Hukum

3. Untuk mengetahui berbagai permasalahan Penegakan Hukum di Indonesia

1.3 Metode Penulisan

Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah studi pustaka atau
studi literatur, yaitu penulis mengambil sumber penulisan dari internet dan jurnal hukum.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Penegakan Hukum

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau


berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu
lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh
subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh
subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan
hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja
yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu
dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan
atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan
hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk
menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana
seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur
penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.

Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu
dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan
sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan
yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang
hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya
menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu,
penerjemahan perkataan ‘law enforcement’ ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan
perkataan ‘penegakan hukum’ dalam arti luas dan dapat pula digunakan istilah
‘penegakan peraturan’ dalam arti sempit. Pembedaan antara formalitas aturan hukum
yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul

6
dalam bahasa Inggeris sendiri dengan dikembangkannya istilah ‘the rule of law’ versus
‘the rule of just law’ atau dalam istilah ‘the rule of law and not of man’ versus istilah ‘the
rule by law’ yang berarti ‘the rule of man by law’. Dalam istilah ‘the rule of law’
terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal,
melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena
itu, digunakan istilah ‘the rule of just law’. Dalam istilah ‘the rule of law and not
of man’ dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu
negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya
adalah ‘the rule by law’ yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang
menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan .

Dengan uraian di atas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakan
hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik
dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti materiel yang luas, sebagai
pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang
bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan
kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum
yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari pengertian yang luas itu,
pembahasan kita tentang penegakan hukum dapat kita tentukan sendiri batas-batasnya.
Apakah kita akan membahas keseluruhan aspek dan dimensi penegakan hukum itu,
baik dari segi subjeknya maupun objeknya atau kita batasi hanya membahas hal-hal
tertentu saja, misalnya, hanya menelaah aspek-aspek subjektifnya saja. Makalah ini
memang sengaja dibuat untuk memberikan gambaran saja mengenai keseluruhan
aspek yang terkait dengan tema penegakan hukum itu.

PENEGAKAN HUKUM OBJEKTIF

Seperti disebut di muka, secara objektif, norma hukum yang hendak


ditegakkan mencakup pengertian hukum formal dan hukum materiel. Hukum formal
hanya bersangkutan dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis, sedangkan
hukum materiel mencakup pula pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Dalam bahasa yang tersendiri, kadang-kadang orang membedakan antara

7
pengertian penegakan hukum dan penegakan keadilan. Penegakan hukum dapat
dikaitkan dengan pengertian ‘law enforcement’ dalam arti sempit, sedangkan penegakan
hukum dalam arti luas, dalam arti hukum materiel, diistilahkan dengan penegakan keadilan.
Dalam bahasa Inggeris juga terkadang dibedakan antara konsepsi ‘court of law’ dalam
arti pengadilan hukum dan ‘court of justice’ atau pengadilan keadilan. Bahkan,
dengan semangat yang sama pula, Mahkamah Agung di Amerika Serikat disebut dengan
istilah ‘Supreme Court of Justice’.

Istilah-istilah itu dimaksudkan untuk menegaskan bahwa hukum yang harus


ditegakkan itu pada intinya bukanlah norma aturan itu sendiri, melainkan nilai-nilai
keadilan yang terkandung di dalamnya. Memang ada doktrin yang membedakan
antara tugas hakim dalam proses pembuktian dalam perkara pidana dan perdata. Dalam
perkara perdata dikatakan bahwa hakim cukup menemukan kebenaran formil belaka,
sedangkan dalam perkara pidana barulah hakim diwajibkan mencari dan menemukan
kebenaran materiel yang menyangkut nilai-nilai keadilan yang harus diwujudkan
dalam peradilan pidana. Namun demikian, hakikat tugas hakim itu sendiri memang
seharusnya mencari dan menemukan kebenaran materiel untuk mewujudkan keadilan
materiel. Kewajiban demikian berlaku, baik dalam bidang pidana maupun di lapangan
hukum perdata. Pengertian kita tentang penegakan hukum sudah seharusnya berisi
penegakan keadilan itu sendiri, sehingga istilah penegakan hukum dan penegakan
keadilan merupakan dua sisi dari mata uang yang sama.

Setiap norma hukum sudah dengan sendirinya mengandung ketentuan tentang hak-
hak dan kewajiban-kewajiban para subjek hukum dalam lalu lintas hukum. Norma- norma
hukum yang bersifat dasar, tentulah berisi rumusan hak-hak dan kewajiban- kewajiban yang
juga dasar dan mendasar. Karena itu, secara akademis, sebenarnya, persoalan hak dan
kewajiban asasi manusia memang menyangkut konsepsi yang niscaya terkandung di
dalamnya dimensi hak dan kewajiban secara paralel dan bersilang. Karena itu, secara
akademis, hak asasi manusia mestinya diimbangi dengan kewajiban asasi manusia. Akan
tetapi, dalam perkembangan sejarah, issue hak asasi manusia itu sendiri terkait erat
dengan persoalan ketidakadilan yang timbul dalam kaitannya

8
dengan persoalan kekuasaan. Dalam sejarah, kekuasaan yang diorganisasikan ke
dalam dan melalui organ-organ negara, seringkali terbukti melahirkan penindasan dan
ketidakadilan.

Karena itu, sejarah umat manusia mewariskan gagasan perlindungan dan


penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Gagasan perlindungan dan
penghormatan hak asasi manusia ini bahkan diadopsikan ke dalam pemikiran
mengenai pembatasan kekuasaan yang kemudian dikenal dengan aliran
konstitusionalisme. Aliran konstitusionalime inilah yang memberi warna modern terhadap
ide-ide demokrasi dan nomokrasi (negara hukum) dalam sejarah, sehingga perlindungan
konstitusional terhadap hak asasi manusia dianggap sebagai ciri utama yang perlu ada
dalam setiap negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) ataupun negara
demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy).

Dengan perkataan lain, issue hak asasi manusia itu sebenarnya terkait erat dengan
persoalan penegakan hukum dan keadilan itu sendiri. Karena itu, sebenarnya,
tidaklah terlalu tepat untuk mengembangkan istilah penegakan hak asasi manusia
secara tersendiri. Lagi pula, apakah hak asasi manusia dapat ditegakkan? Bukankah
yang ditegakkan itu adalah aturan hukum dan konstitusi yang menjamin hak asasi manusia
itu, dan bukannya hak asasinya itu sendiri? Namun, dalam praktek sehari-hari, kita memang
sudah salah kaprah. Kita sudah terbiasa menggunakan istilah penegakan ‘hak asasi
manusia’. Masalahnya, kesadaran umum mengenai hak-hak asasi manusia dan kesadaran
untuk menghormati hak-hak asasi orang lain di kalangan masyarakat kitapun
memang belum berkembang secara sehat.

2.2 Aparatur Penegak Hukum

Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak


hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak
hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi, polisi,
penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir pemasyarakatan. Setiap aparat dan

9
aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau
perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya
pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana.

Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat tiga elemen
penting yang mempengaruhi, yaitu: (i) institusi penegak hukum beserta berbagai
perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya;
(ii) budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan
aparatnya, dan (iii) perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja
kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja,
baik hukum materielnya maupun hukum acaranya. Upaya penegakan hukum secara
sistemik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses
penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata.

Namun, selain ketiga faktor di atas, keluhan berkenaan dengan kinerja penegakan
hukum di negara kita selama ini, sebenarnya juga memerlukan analisis yang lebih
menyeluruh lagi. Upaya penegakan hukum hanya satu elemen saja dari keseluruhan
persoalan kita sebagai Negara Hukum yang mencita-citakan upaya menegakkan dan
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hukum tidak mungkin akan
tegak, jika hukum itu sendiri tidak atau belum mencerminkan perasaan atau nilai-
nilai keadilan yang hidup dalam masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin
keadilan jika materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai lagi
dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja berkenaan dengan
upaya penegakan hukum tetapi juga pembaruan hukum atau pembuatan hukum baru.
Karena itu, ada empat fungsi penting yang memerlukan perhatian yang seksama, yang
yaitu (i) pembuatan hukum (‘the legislation of law’ atau ‘law and rule making’), (ii)
sosialisasi, penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum (socialization and
promulgation of law, dan (iii) penegakan hukum (the enforcement of law).

Ketiganya membutuhkan dukungan (iv) adminstrasi hukum (the administration of


law) yang efektif dan efisien yang dijalankan oleh pemerintahan (eksekutif) yang

10
bertanggungjawab (accountable). Karena itu, pengembangan administrasi hukum dan
sistem hukum dapat disebut sebagai agenda penting yang keempat sebagai tambahan
terhadap ketiga agenda tersebut di atas. Dalam arti luas, ‘the administration of law’
itu mencakup pengertian pelaksanaan hukum (rules executing) dan tata administrasi hukum
itu sendiri dalam pengertian yang sempit. Misalnya dapat dipersoalkan sejauhmana
sistem dokumentasi dan publikasi berbagai produk hukum yang ada selama ini telah
dikembangkan dalam rangka pendokumentasian peraturan-peraturan (regels), keputusan-
keputusan administrasi negara (beschikkings), ataupun penetapan dan putusan (vonis)
hakim di seluruh jajaran dan lapisan pemerintahan dari pusat sampai ke daerah-
daerah. Jika sistem administrasinya tidak jelas, bagaimana mungkin akses masyarakat
luas terhadap aneka bentuk produk hukum tersebut dapat terbuka? Jika akses tidak
ada, bagaimana mungkin mengharapkan masyarakat dapat taat pada aturan yang tidak
diketahuinya? Meskipun ada teori ‘fiktie’ yang diakui sebagai doktrin hukum yang
bersifat universal, hukum juga perlu difungsikan sebagai sarana pendidikan dan
pembaruan masyarakat (social reform), dan karena itu ketidaktahuan masyarakat akan
hukum tidak boleh dibiarkan tanpa usaha sosialisasi dan pembudayaan hukum secara
sistematis dan bersengaja.

2.3 Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum

Menurut Soerjono Soekanto, dalam bukunya faktor-faktor yang mempengaruhi


penegakan hukum (2002:5) menyebutkan bahwa masalah pokok dari penegakan hukum
sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya, yaitu :

a) Faktor hukumnya sendiri yaitu berupa undang-undang


b) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang
menerapkan hukum.
c) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
d) Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
e) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada
karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

11
Kemudian Al. Wisnubroto dalam bukunya yang berjudul Hakim dan peradilan di
Indonesia (1997:88-90) memuat beberapa faktor internal yang mempengaruhi hakim dalam
mengambil keputusan. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi hakim dalam
mempertimbangkan suatu keputusan adalah :

1. Faktor Subjektif

a. Sikap prilaku apriori

Sering kali hakim dalam mengadili suatu perkara sejak awal dihinggapi suatu
prasangka atau dugaan bahwa terdakwa atau tergugat bersalah, sehingga harus dihukum
atau dinyatakan sebagai pihak yang kalah. Sikap ini jelas bertentangan dengan asas yang
dijunjung tinggi dalam peradilan modern, yakni asas praduga tak bersalah (presumtion of
innocence), terutama dalam perkara pidana. Sikap yang bersifat memihak salah satu pihak
(biasanya adalah penuntut umum atau penggugat) dan tidak adil ini bisa saja terjadi karena
hakim terjebak oleh rutinitas penanganan perkara yang menumpuk dan target penyelesaian
yang tidak seimbang.

b. Sikap perilaku emosional

Perilaku hakim yang mudah tersinggung, pendendam dan pemarah akan berbeda
dengan prilaku hakim yang penuh pengertian, sabar dan teliti dalam menangani suatu
perkara. Hal ini jelas sangat berpengaruh pada hasil putusannya.

c. Sikap Arrogence power

Hakim yang memiliki sikap arogan, merasa dirinya berkuasa dan pintar melebihi
orang lain seperti jaksa, penasihat hukum apalagi terdakwa atau pihak-pihak yang
bersengketa lainnya, sering kali mempengaruhi Keputusannya.

d. Moral

Faktor ini merupakan landasan yang sangat vital bagi insan penegak keadilan,
terutama hakim. Faktor ini berfungsi membentengi tindakan hakim terhadap cobaan-cobaan
yang mengarah pada penyimpangan, penyelewengan dan sikap tidak adil lainnya.

12
2. Faktor Objektif

a. Latar belakang sosial budaya

Latar belakang sosial hakim mempengaruhi sikap perilaku hakim. Dalam beberapa
kajian sosiologis menunjukkan bahwa, hakim yang berasal dari status sosial tinggi berbeda
cara memandang suatu permasalahan yang ada dalam masyarakat dengan hakim yang
berasal dari lingkungan status sosial menengah atau rendah.

b. Profesionalisme

Profesionalisme yang meliputi knowledge (pengetahuan, wawasan)


danskills (keahlian, keterampilan) yang ditunjang dengan ketekunan dan ketelitian
merupakan faktor yang mempengaruhi cara hakim mengambil keputusan masalah
profesionalisme ini juga sering dikaitkan dengan kode etik di lingkungan peradilan. Oleh
sebab itu hakim yang menangani suatu perkara dengan berpegang teguh pada etika profesi
tentu akan menghasilkan putusan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan.

2.4 Permasalahan Penegakan Huukum di Indonesia

Indonesia tengah mengalami krisis kepatuhan hukum karena hukum telah


kehilangan substansinya. Permasalahan hukum di Indonesia yang saat ini sedang terjadi
disebabkan oleh beberapa hal yaitu sistem peradilannya, perangkat hukumny, inkonsistensi
penegakan hukum, intervensi kekuasaan maupun perlindungan hukum. Diantara banyaknya
permasalahan tersebut adalah adanya inkonsistensi penegakan hukum yang dilaksanakan
oleh aparat baik polisi, jaksa, hakim maupun pemerintah (eksekutif) yang ada dalam
wilayah peradilan yang bersangkutan. Inkonsistensi penegakan hukum kadang melibatkan
masyarakat itu sendiri dan dalam media elektronik maupun media cetak. Inkonsistensi
penegakan hukum ini secara tidak disadari telah berlangsung dari hari ke hari. Contoh kecil
dari Inkonsistensi penegakan hukum yang terjadi pada saat berkendaraan dijalan raya
dikota besar seperti di Jakarta yang memberlakukan aturan "three-in-one".

Aturan ini tidak akan berlaku bagi TNI dan Polri. Bahkan polisi yang bertugas
membiarkan begitu saja mobil dinas TNI atau Polri yang melintas meski mobil tersebut

13
berpenumpang kurang dari tiga orang atau bahkan terkadang polisi yang bertugas
memberikan penghormatan apabila penumpangnya berpangkat lebih tinggi. Secara tidak
disadari hal tersebut merupakan diskriminasi terhadap masyarakat awam tapi sayangnya
banyak masyarakat yang tidak menyadari hal tersebut.

Ketimpangan dan putusan hukum yang tidak menyentuh rasa keadilan masyarakat
tetap dirasakan dari hari ke hari. Berikut ini beberapa kasus inkonsistensi penegakan hukum
di Indonesia yang dikelompokan berdasarlan beberapa alasan yang banyak ditemui oleh
masyarakat awam baik melalui pengalaman pencari keadilan itu sendiri maupun peristiwa
lain yang bisa diikuti melalui media cetak dan media elektronik.

a. Tingkat kekayaan seseorang.

Tingkat kekayaan seseorang dapat memperingan masa tahan seseorang yang


melakukan pelanggaran. Pelaku pelanggaran bisa menyewa pengacara mahal yang bisa
mementahkan dakwaan kejaksaan untuk memperingan masa tahanannya atau jika perlu
pelaku dapat membayar hakim atau jaksa agar memperingan masa tahanannya. Sebaliknya
dengan pelaku pelanggaran yang tidak memiliki uang yang banyak maka pelaku hanya bisa
membayar pengacara semampunya atau tidak sedikit pula yang mereka hanya pasrah
menerima putusan hakim. Padahal jika dibandingkan kasus pelanggarannya tidak
merugikan pemerintah milyaran rupiah. Inilah yang terjadi di Indonesia saat ini. Hukum
bisa dibeli dengan uang.

b. Tingkat Jabatan Seseorang

Mari kita simak kasus berikut ini. Kasus Ancolgate berkaitan dengan studi banding
keluar negri yang diikuti oleh sekitar 40 orang anggota DPRD DKI Komisi D. Dalam studi
banding tersebut anggota DPRD yang berangkat memanfaatkan dua sumber keuangan
yaitu SPJ anggaran yang diperoleh dari anggaran DPRD DKI sekitar 5,2 M dan uang saku
dari PT. Pembangunan Jaya Ancol sekitar 2,1 M. Dalam kasus ini 9 orang staf Bapedal DKI
Bambang Sungkono dan Kepala Dinas Tata Kota DKI Ahmadin Ahmad tidak dikenai
tindakan apapun. Penyelesaian masalah ini dilakukan setelah media cetak dan media
elektronik menemukan ketidaksesuaian dalam masalah pendanaan studi banding tersebut.

14
Penyelesaian secara administratif ini seakan dilakukan agar dapat mencegah tindakan
hukum yang mungkin bisa dilakukan. Rasa ketidakadilan masyarakat terurik ketika sanksi
ini hanya dikenalan pada pegawai rendahan. Pihak kejaksaan pun terkesan mengulur-ulur
janji untuk mengusut kasus ini sampai ke pejabat tinggi DKI yaitu Gubernur Sutiyoso (saat
itu) yang sebagai komisaris PT. Pembangunan Jaya Ancol ikut bertanggungjawab.

Dari kasus diatas terlihat sekali bahwa seseorang yang memiliki jabatan tinggi
mendapat keringanan hukuman dibanding pegawai rendahannya. Entah apa penyebabnya
sampai hal ini terjadi. Secara tidak langsung hal ini bisa disebut sebagai ketidakadilan
hukum dimana karna jabatan seseorang yang tinggi hukuman yang didapat ketika
melakukan pelanggaran hukumannya pun lebih ringan dibandingkan seseorang yang
jabatannya rendah walaupun pada kasus yang sama.

c. Nepotisme

Terdakwa Letda (Inf) Agus Isrok anak mantan Kepala Staf Angkatan Darat
(KASAD), Jendral (TNI) Subagyo H.S. diperingan hukumannya oldh mahkamah militer
dari empat tahum penjara menjadi dua tahun penjara. Disamping itu, terdakwa juga
dikembalikan ke kesatuannya selama dua minggu sambil menunggu dan berpikir terhadap
vonis mahkamah militer tinggi. Putusan ini terasa tidk adil dibandingkan dengan vonis-
vonis kasus narkoba lainnya yang terjadi di Indonesia yang didasarkan atas pelaksanaan
UU Psikotropika. Disamping itu, proses pengadilan ini juga memperlihatkan eksklusivitas
hukum militer yang diterapkan pada kasus narkoba. Jelas sekaki kasus ini mengesankan
adanya diskriminasi hukum bagi keluarga bekas pejabat.

d. Tekanan Internasional

Kasus Atambua, Nusa Tenggara Timur xang terjadi 6 September 2000 yang menewaskan
tiga orang staf NHCR mendapat perhatian Internasional dengan cepat. Tekanan
Internasional ini mengakibatjan pemerintah Indonesia bertindak dengan melucuti
pesenjataan milisi Timor Timor dan mengadiji beberapa bekas anggota milisi Timor Leste
yang dianggap bertanggungjawab. Apabila dibandingkan dengan kasus-kasus kekerasan
yamg terjadi di bagian lain di Indonesia seperti Ambon, Aceh, Samlar, Sampit, kasus

15
Atambua termasuk kasus yang memgalami penyelesaian secara cepat dan tanggap dari
aparat. Dalam enam bulan sejak kasus ini terjadi, kekerasan berhasil diatasi, milisi berhasil
dilucuti dan situasi kembali aman dan normal. Meskipun kasus lainnya juga mendapat
perhatian dari Internasional, namun tekanan yang diberikn pada kasus ini lebih menekan
pemerintah Indonesia untuk dapat diselesaikan secepatnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa
derajat tekanan Internasional menentukan kecepatan aparat melakukan penegakan hukum
dalam mengatasi kasus kekerasan.

Dari beberapa kasus tadi, dapat menimbulkan masalah yang paling dirasakan oleh
masyarakat dan membawa dampak yang sangat buruk bagi kehidupan bermasyarakat.
Persepsi masyarakat menjadi buruk terhadap penegakan hukum. Hal ini membuat
masyarakat tidak mempercayai huktm sebagai sarana penyelesaian konflik dan cenderung
menyelesaikan permasalahannya diluar jalur hukum. Pemanfaatan inkonsistensi penegakan
hukum oleh sekelompok orang demi kepentingannya sendiri, selaku berakibat merugikan
pihak yang tidak mempunyai kemampuan yang setara. Akibatnya rasa ketidakadilan dan
ketidakpuasan tumbuh subur di masyarakat Indonesia. Penegakan hukum di Indonesia
harus terus diupayakan dengan mulai memperbaiki kinerja dan moral aparat baik polisi,
jaksa, hakim maupun pemerintah (eksekutif) yang ada dalam wilayah peradilan
bersangkutan. Tanpa adanya perbaikan tersebut segala bentuk KKN akan terus berpengaruh
dalam proses penegakan hukum di Indonesia.

Selain itu materi hukum sendiri juga harus terus menerus diperbaiki, peran DPR
sebagai lembaga legislatif untuk lebih aktif dalam memperbaiki dan menciptakan perundang-
undangan yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman dan lebih tegas lagi. Peningkatan
kesadaran hukum masyarakat juga menjadi faktor kunci dalam penegakan hukum secara
konsisten. Jadi, keterpurukan penegakan hukum di Indonesia terletak pada faktor integritas
aparat penegak hukum, aturan hukum yang tidak responsif, serta tidak diaplikasikannya nilai-
nilai Pancasila khususnya nilai kemanusiaan, nilai musyawarah untuk mufakat dan nilai
keadilan dalam penegakan hukum oleh aparat penegak hukum, sehingga menimbulkan
ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum yang ada di Indonesia. Hasil
penelitian, menunjukkan tingkat kepercayaan

16
masyarakat terhadap penegakan hukum sangat dipengaruhi oleh keadaan atau
situasional suatu daerah, apabila disuatu daerah penegakan hukumnya baik, maka
tingkat kepercayaan masyarakat juga baik di daerah tersebut, namun apabila
penegakan hukumnya kurang baik, maka tingkat kepercayaan masyarakat terhadap
penegakan hukum di daerah tersebut menjadi kurang baik.

Dalam rangka pembentukan hukum nasional, perlu dibentuk konsepsi sistem


hukum Indonesia, yang penulis sebut dengan Indonesia Juripridence maka nilai-nilai
Pancasila harus diserap dalam pembentukan hukum, sehingga dibutuhkan standar
hukum yang bersifat united legal frame work dan united legal opinion (Kesatuan
pandangan) di antara aparat penegak hukum sehingga perlu dibentuk Undang-Undang
sinergitas terpadu dalam pelaksanaan tugas penegakan hukum. Untuk mengembalikan
kepercayaan masyarakat, maka dibutuhkan aparat penegak hukum yang memiliki integritas
baik, aturan hukum yang responsif yang sejalan dengan nilai-nilai Pancasila dan
selanjutnya diimplementasikan ke dalam pelaksanaan tugas sehari-hari oleh aparat penegak
hukum.

2.5 Pemberdayaan Masyarakat Dan Penegakan Hukum

Suatu hukum hanya dapat dilaksanakan dan diterapkan dengan baik apabila dalam
Masyarakat terdapat suatu struktur yang memungkinkan bagi setiap anggota masyarakat
untuk mewujudkan cita-cita hukum tersebut. Oleh karena itu jika kita mengharapkan
perilaku hukum masyarakat yang baik, maka kita harus menciptakan struktur sosial
masyarakat yang baik pula. Selama struktur sosial masyarakat tidak terkandung kearah
susunan masyarakat yang baik maka selama itu pula perilaku hukum masyarakat sulit
untuk mengarah kepada perilaku hukum yang baik.

Selanjutnya, harus pula dipahami bahwa kesadaran hukum yang menyangkut


perilaku manusia, tidak dapat dilepaskan dari sikap batin. Oleh karena itu kesadaran hukum
yang dimaksudkan haruslah memiliki keterkaitan pula dengan sikap batin pelakunya.

17
Dengan kata lain, harus terdapat kaitan yang erat antara sikap batin dan tindakan yang
dilakukan oleh seseorang

Berdasarkan uraian-uraian yang telah kami kemukakan pada bahagian terdahulu, maka
pada bahagian ini dapat kami simpulkan hal-hal sebagai berikut:

1) Bahwa pemberdayaan masyarakat dalam proses penegakan hukum meliputi


peningkatan, pengetahuan masyarakat terhadap kaedah hukum itu sendiri termasuk
pengetahuan dan pemahamannya terhadap isi kaedah hukum itu, ketaatan dan
kepatuhan masyarakat terhadap kaedah hukum itu dan pola perilaku hukum masyarakat
itu sendiri.

2) Bahwa pemahaman hukum masyarakat dipengaruhi oleh struktur sosial tempat di mana
hukum itu berlaku, karenanya untuk mencapai terpeliharanya tertib hukum melalui
kesadaran hukum masyarakat, maka perlu pula dibenahi struktur masyarakat yang
bersangkutan, seperti struktur ekonomi, politik, pendidikan, pertahanan keamanan dan
lain sebagainya yang terdapat dalam sistem sosial

3) Bahwa pemberdayaan masyarakat untuk memelihara tertib hukum, tidak hanya


dipengaruhi oleh faktor juridis semata, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor non juridis
seperti sikap penegak hukum, sarana dan prasarana, budaya hukum dan masyarakat
sebagai pemegang peran;

4) Bahwa perlu kiranya untuk menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat agar tertib
hukum terpelihara dengan baik disusun suatu kaedah hukum yang sesuai dengan aspirasi
masyarakat Indonesia, sesuai dengan asas-asas hukum Indonesia dengan kata lain perlu
diperhatikan segi substansialnya, bukan segi formalnya seperti yang berkembang selama ini

18
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau


berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam
lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara.
Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak
hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur
penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu, dimulai dari
saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir pemasyarakatan.Dalam
pelaksaanaan proses penegakan hukum pelaporan atau pengaduan, penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta
upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana.

Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat tiga elemen
penting yang mempengaruhi, yaitu: (i) institusi penegak hukum beserta berbagai
perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja
kelembagaannya; (ii) budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk
mengenai kesejahteraan aparatnya, dan (iii) perangkat peraturan yang mendukung
baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan
standar kerja, baik hukum materielnya maupun hukum acaranya. Upaya penegakan
hukum secara sistemik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan.

19
3.2 Daftar Pustaka

Mahkamah Agung RI. Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung RI. Jakarta:
Mahkamah Agung RI, 2003.
Kertas Kerja Pembaruan Sistem Pengeloaan Pengadilan. Jakarta:
Mahkamah Agung RI, 2003.
Bagaimana Undang-Undang Dibuat. Seri Panduan Legislasi. Jakarta:
Https://www.coursehero.com/ Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu
terdapat tiga elemen penting | Course Hero

20

Anda mungkin juga menyukai