Anda di halaman 1dari 21

PROSES PERLINDUNGAN DAN

PENEGAKAN HUKUM DI
INDONESIA
Mata Pelajaran : PPKn
Kelas : XI IPS 2

Disusun oleh :
KADEK BIMA PUTRA

SMA NEGERI 2 BANJAR


Kata Pengantar

Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan
berkat dan bimbingan-Nya, saya dapat menyelesaikan makalah Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan dengan judul “Proses Perlindungan dan Penegakan Hukum di Indonesia”.
Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas pelajaran PPKn yang ditujukan
kepada guru mata pelajaran PPKn. Tidak lupa, saya juga mengucapkan terima kasih kepada
pembimbing . yang dengan sabar membimbing saya. Serta kepada semua pihak yang telah
mendukung dalam proses terciptanya makalah ini. Dalam makalah ini saya mencoba untuk
menjelaskan tentang penegakan hukum di Indonesia yang mencakup pengertian, latar
belakang masalah, faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, dan sebagainya.
Kami menyadari masih banyak terdapat kekurangan yang ditemukan dalam karya tulis
ini. Oleh sebab itu, kami mengharapkan masukan-masukan dan kritik yang membangun
sebagai bahan evaluasi guna memperbaiki karya tulis ini. Semoga laporan ini bisa bermanfaat
bagi semua dan terkhusus bagi selaku penyusun. Dengan ini saya ucapkan terima kasih.

Banjar, Maret 23

Penyusun
Daftar Isi
HALAMAN JUDUL ........................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ......................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Perlindungan Hukum ............................................................................... 3
2.2 Pengertian Penegakan Hukum ................................................................................... 3
2.3 Pengertian Aparatur Penegak Hukum ....................................................................... 4
2.4 Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum ....................................................... 11
2.5 Permasalahan Penegakan Hukum di Indonesia ......................................................... 13
2.6 Pemberdayaan Masyarakat dan Penegakan Hukum .................................................. 15
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ................................................................................................................ 17
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 18
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas menerangkan dalam pasal 1 ayat (3) UUD
1945 perubahan ketiga yang berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Artinya,
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum
(rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan (machstaat), dan pemerintah berdasarkan
sistem konsitusi (hukum dasar), bukan absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Dan
perwujudan hukum tersebut terdapat dalam UUD 1945 serta peraturan perundangan di
bawahnya. Tetapi kenapa sistem hukum di negeri ini selalu menjadi topik yang tak
bosan-bosannya diperbincangkan dan selalu membuat masalah. Apakah sistem yang
berlaku tidak sesuai dengan karakter bangsa Indonesia? Apakah para pelaku hukum yang
tidak mengetahui ganjaran setiap tindakan penyelewengan yang mereka lakukan? Atau
apakah ganjaran dari sistem hukum tersebut yang kurang tegas untuk mengatasi berbagai
macam permasalahan tindak pidana?
Dalam negara hukum, segala permasalahan diselesaikan sesuai hukum yang berlaku.
Akan tetapi, praktik perlindungan dan penegakan hukum terkadang berbeda dengan
prosedur yang ditetapkan. Oleh karena itu, perlindungan dan penegakan hukum di
Indonesia untuk menjamin keadilan dan kebenaran dalam kehidupan bermasyarakat harus
segera dibenahi agar tidak terjadi penyelewengan hukum yang dilakukan oleh oknum-
oknum yang tidak bertanggung jawab. Seorang yang melanggar hukum harus ditindak
sesuai aturan hukum yang berlaku. Perlindungan dan penegakan hukum harus memenuhi
rasa keadilan masyarakat.
Hukum Negara ialah aturan bagi Negara itu sendiri, bagaimana suatu Negara
menciptakan keadaan yang relevan, keadaan yang menentramkan kehidupan sosial
masyarakatnya, menghindarkan dari segala bentuk tindak pidana maupun perdata. Namun
tidak di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini, pemberitaan di media masa sungguh
tragis. Bahkan dari Hasil survei terbaru dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI)
menyebutkan bahwa 56,0 persen publik menyatakan tidak puas dengan penegakan hukum
di Indonesia, hanya 29,8 persen menyatakan puas, sedangkan sisanya 14,2 persen tidak
menjawab. Sebuah fenomena yang menggambarkan betapa rendahnya wibawa hukum di
mata publik.
Dengan landasan pemikiran ini, penulis akan mencoba memaparkan mengenai
hukum, perlindungannya, penegakannya, aspek-aspek yang menjadi subjek dan objeknya,
serta penerapannya di tengah masyarakat yang tidak puas dengan keadaan penegakan
hukum di Indonesia sekarang ini.

1.2 Rumusan Masalah


Dengan memperhatikan latar belakang tersebut, supaya penyusun mendapatkan hasil
yang diinginkan, maka penyusun mengemukakan beberapa perumusan masalah.
Adapun rumusan masalah dalam pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah perlindungan dan penegakan hukum itu?
2. Apakah itu aparatur penegak hukum?
3. Apakah Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum?
4. Apakah Permasalahan Penegakan Hukum di Indonesia?
5. Bagaimana Pemberdayaan Masyarakat dan Penegakan Hukum?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum merupakan hak setiap warga negara Indonesia, artinya seluruh
warga negara Indonesia tanpa membedakan berdasarkan golongan tertentu, berhak
mendapatkan perlindungan hukum dari sesuatu yang mengancam dirinya. Penegakan hukum
merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide keadilan, kepastian hukum, dan
kemanfaatan sosial menjadi kenyataan.
Indonesia sebagai negara hukum, segala sesuatunya harus berdasarkan pada hukum
(asas legalitas). Perlindungan hukum diberlakukan bagi setiap orang sebagai bentuk
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia terhadap ketentuan hukum yang mungkin saja
melanggar hak-hak individu. Setiap orang memiliki hak dan diperlakukan sama di hadapan
hukum. Semua masyarakat Indonesia mendapat perlindungan hukum karena negara hukum
melindungi segenap warga negara tanpa membeda-bedakannya.
Hukum dapat diartikan sebagai himpunan peraturan-peraturan (perintah dan larangan)
yang dibuat oleh penguasa negara atau pemerintah untuk mengatur tingkah laku manusia
dalam bermasyarakat, bersifat memaksa, dan memiliki sanksi yang harus dipatuhi oleh
masyarakat. Sedangkan perlindungan adalah suatu proses cara perbuatan untuk melindungi
seseorang. Jadi perlindungan hukum adalah jaminan perlindungan pemerintah dan atau
masyarakat kepada warga negara dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan
peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perlindungan hukum juga dapat diartikan sebbagai upaya melindungi secara hukum
terhadap jiwa raga, harta benda seseorang, dan Hak Asasi Manusia (HAM), yang terdiri atas
hak untuk hidup, hak kemerdekaan, hak beragama, dan sebagainya. Dengan demikian,
pelanggaran hukum apapun yang dilakukan terhadap hal-hal tersebut di atas akan dikenakan
sanksi.
2.2 Pengertian Penegakan Hukum
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu
lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas
dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang
terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua
subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif
atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma
aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam
arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya
aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu
aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum
itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan
daya paksa.
Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya,
yaitudari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas
dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan
yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang
hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya
menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu,
penerjemahan perkataan ‘law enforcement’ ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan
perkataan ‘penegakan hukum’ dalam arti luas dan dapat pula digunakan istilah
‘penegakan peraturan’ dalam arti sempit. Pembedaan antara formalitas aturan hukum
yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul
dalam bahasa Inggeris sendiri dengan dikembangkannya istilah ‘the rule of law’ versus ‘the
rule of just law’ atau dalam istilah ‘the rule of law and not of man’ versus istilah ‘the rule by
law’ yang berarti ‘the rule of man by law’. Dalam istilah ‘the rule of law’ terkandung makna
pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan
mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan
istilah ‘the rule of just law’. Dalam istilah ‘the rule of law and not of man’
dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara
hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah ‘the
rule by law’ yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan
hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.
2.3 Pengertian Aparatur Penegak Hukum
Penegakan hukum di Indonesia tidak terlepas dari peran para aparat penegak hukum.
Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat
(orangnya) penegak hukum. Menurut Pasal 1 Bab 1 Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), yang dimaksud aparat penegak hukum oleh undang-undang ini sebagai
berikut.
A. Penyelidik ialah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat Pegawai Negeri
Sipil tertentu yang diberikan wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan
penyelidikan. (Pasal 6 KUHAP)
Wewenang (Pasal 7 ayat [1] KUHAP) :
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
2. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
3. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
4. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
6. Mengambil sidik jari dan memotret seorang;
7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
8. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan
perkara;
9. Mengadakan penghentian penyidikan;
10. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

B. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak
sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh
hukum tetap. (UU No 8 tahun 1981 tentang KUHP)
Tugas Jaksa:
1. Sebagai penuntut umum
2. Pelaksana putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
(eksekutor)

C. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
bertindak seagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah
memperoleh hukum tetap.
Berdasarkan Pasal 14 KUHAP Penuntut Umum mempunyai wewenang :
1. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik pembantu;
2. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan
memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan (4), dengan memberikan petunjuk
dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;
3. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan
dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
4. Membuat surat dakwaan;
5. Melimpahkan perkara ke pengadilan;
6. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu
perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun
kepada saksi untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;
7. Melakukan penuntutan;
8. Menutup perkara demi kepentingan hukum;
9. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut
umum menurut ketentuan undang-undang;
10. Melaksanakan penetapan hakim.

D. Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi kewenangan oleh undang-undang
untuk mengadili.
Tugas dan wewenang hakim:
Dalam Bidang Manajemen Peradilan
1. Membantu pimpinan pengadilan dalam membuat program kerja jangka pendek dan
jangka panjang, pelaksanaannya serta pengorganisasiannya.
2. Melakukan pengawasan yang ditugaskan ketua untuk mengamati apakah pelaksanaan
tugas, umpamanya mengenai penyelenggaraan administrasi perkara perdata dan
pidana serta pelaksanaan eksekusi, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku dan melaporkannya kepada Ketua Pengadilan.
3. Melakukan pengawasan dan pengamatan (KIMWASMAT) terhadap pelaksanaan
putusan pidana di Lembaga pemasyarakatan dan melaporkannya kepada MA.
4. Melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan peradilan di
Pengadilan Negeri yang ditugaskan kepadanya serta rneneruskannya kepada
kepustakaan hukum.
5. Dalam Bidang Perdata
6. Menetapkan hari sidang.
7. Membuat catatan pinggir pada berita acara dan putusan Pengadilan Negeri mengenai
hukum yang dianggap penting.
8. Bertanggungjawab atas pembuatan dan kebenaran berita acara persidangan dan
menandatanganinya sebelum hari sidang berikutnya.
9. Dalam hal Pengadilan Tinggi melakukan pemeriksaan tambahan untuk mendengar
sendiri para pihak dan saksi, maka Hakim bertanggungjawab atas pembuatan dan
kebenaran berita acara persidangan serta menandatanganinya.
10. Mengemukakan pendapat dalam musyawarah.
11. Menyiapkan dan memaraf naskah putusan lengkap untuk dibacakan.
12. Menandatangani putusan yang sudah diucapkan dalam persidangan.
13. Melaksanakan pembinaan dan mengawasi bidang hukum perdata yang ditugaskan
kepadanya.
14. Melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penyeleng¬garaan peradilan di
Pengadilan Negeri yang ditugaskan kepadanya.
Dalam Bidang Pidana
1. Menetapkan hari sidang untuk perkara dengan acara biasa.
2. Menetapkan terdakwa ditahan, dikeluarkan dari tahanan atau dirubah jenis
penahanannya.
3. Bertanggungjawab atas pembuatan dan kebenaran berita acara persidangan dan
menandatanganinya sebelum sidang berikutnya.
4. Mengemukakan pendapat dalam musyawarah.
5. Menyiapkan dan memaraf naskah putusan lengkap untuk dibacakan.
6. Hakim wajib menandatangani putusan yang sudah diucapkan dalam persidangan.
7. Menghubungi BAPAS agar menghadiri persidangan dalam hal terdakwanya masih
dibawah umur.
8. Memproses permohonan grasi.
9. Melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap keadaan dan perilaku narapidana
yang berada di lembaga pemasyarakatan serta melaporkannya kepada Mahkamah
Agung.
10. Melakukan pengawasan yang ditugaskan ketua untuk mengamati apakah pelaksanaan
tugas mengenai penyelenggaraan administrasi perkara pidana/ bidang pidana dan
eksekusi serta melaporkannya kepada Pimpinan Pengadilan.
11. Mempelajari dan mendiskusikan secara berkala kepustakaan hukum yang diterima
dari Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.

E. Penasehat hukum adalah seseorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh
undang-undang untuk memberikan bantuan hukum.
Wewenang penasehat hukum:
Mengajukan fakta dan pertimbangan yang ada sangkut pautnya dengan klien yang
sedang dibelanya dalam perkara tersebut, sehingga akan terjadi keseimbangan dalam
persidangan yang akan berpengaruh pada keputusan Hakim yang adil.
Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan
tugas atau perannya, yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya
pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana.
Aparat penegak hukum akan memutuskan perkara hukum di peradilan hukum. Lembaga-
lembaga peradilan hukum sebagai berikut.
A. Peradilan Umum
Peradilan umum adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang
menjalankan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya. Adapun
kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum dilaksanakan oleh Pengadilan Tinggi
merupakan pengadilan tingkat banding yang berkedudukan di ibu kota provinsi, dengan
daerah hukum meliputi wilayah provinsi dan Pengadilan Negeri adalah suatu pengadilan
yang sehari-hari memeriksa dan memutuskan perkara tingkat pertama dari segala perkara
perdata dan pidana untuk semua golongan yang berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota,
dengan daerah hukum meliputi wilayah kabupaten/kota.
B. Peradilan Agama
Peradilan Agama adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung bagi rakyat
pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam
undang-undang. Dalam lingkungan Peradilan Agama, kekuasaan kehakiman dilaksanakan
oleh Pengadilan Tinggi Agama merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan
Agama sebagai pengadilan tingkat banding yang berkedudukan di ibu kota Provinsi dan
Pengadilan Negeri Agama atau yang biasa disebut Pengadilan Agama merupakan sebuah
lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota kabupaten
atau kota.
C. Peradilan Militer
Peradilan Militer adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang
melaksanakan kekuasaan kehakiman mengenai kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan
tindak pidana militer. Pengadilan dalam lingkungan militer terdiri atas Pengadilan Militer
Utama, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer, dan Pengadilan Militer Pertempuran.
D. Peradilan Tata Usaha Negara
Peradilan Tata Usaha Negara adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung
yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa
Tata Usaha Negara. Kekuasaan Kehakiman pada Peradilan Tata Usaha Negara dilaksanakan
oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tata Usaha Negara.

Lembaga Perlindungan dan Penegakan Hukum


Lembaga perlindungan dan penegakan hukum di Indonesia, antara lain Mahkamah Konstitusi
(MK), Mahkamah Agung (MA), Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Kejaksaan, Komisi
Yudisial, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
A. Mahkamah Konstitusi (MK)
Dalam pasal 24 ayat (1) dan (2) UUD 1945 dijelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi
merupakan salah satu pelaku Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Dan pula ditegaskan bahwa Negara Indonesia
adalah negara hukum.
Dalam penjelasan umum Undang-Undang RI Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi dijelaskan bahwa sejalan dengan prinsip ketatanegaraan di atas, maka salah satu
substansi penting perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani
perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar
dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita
demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya
pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman
kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap
konstitusi.
Berdasarkan pasal 24 C ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara R.I. tahun 1945,
Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan untuk :
1. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara R.I tahun 1945.
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenanganya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara R.I. tahun 1945.
3. Memutus pembubaran partai politik.
4. Memutus perselisihan hasil pemilihan umum, dan
5. Memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara R.I. tahun 1945.
Indepedensi Mahkamah Konstitusi disebutkan dalam pasal 2 Undang-Undang R.I. Nomor 24
tahun 2003 sebagai berikut :
“Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan
kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan“.
B. Mahkamah Agung (MA)
Dalam Pasal 1 UU RI Nomor 5 tahun 2004 yang kemudian telah diubah dan ditambah
dengan UU RI Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU Nomor 14 tahun 1985
tentang Mahkamah Agung disebutkan bahwa Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945.
Selanjutnya dalam Pasal 24 A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara R.I. disebutkan bahwa
Mahkamah Agung berwenang untuk :
1. Mengadili pada tingkat kasasi,
2. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang- undang terhadap undang-
undang,
3. Kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
Selanjutnya dalam pasal 2 UU Nomor 14 tahun 1985 sebagaimana telah diubah dan ditambah
dengan Undang-Undang Negara R.I. Nomor 5 tahun 2004 dan terakhir telah diubah dan
ditambah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU
Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung telah diatur tentang independensi
Mahkamah Agung yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut :
“Mahkamah Agung adalah Lembaga Tinggi Negara dari semua Lingkungan Peradilan, yang
dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh
lain.”
C. Kejaksaan
Kejaksaan Republik Indonesia atau Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan
undang-undang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) UU RI Nomor 16 tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tersebut
disebutkan bahwa “Kekuasaan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
secara merdeka”.
Dalam penjelasan umum angka 1 UU RI Nomor 16 Tahun 2004 tersebut dijelaskan bahwa
Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang
penuntutan ditegaskan kekuasaan Negara tersebut dilaksanakan secara merdeka. Oleh karena
itu, Kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh
kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lainnya. Selanjutnya ditentukan Jaksa Agung
bertanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan
berdasarkan hukum dan hati nurani. Dengan demikian Jaksa Agung selaku pimpinan
Kejaksaan dapat sepenuhnya merumuskan dan mengendalikan arah dan kebijakan
penanganan perkara untuk keberhasilan penuntutan.
D. Kepolisian
Dalam Pasal 1 angka (1) UU RI Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia disebutkan bahwa Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi
dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang – undangan. Sedangkan dalam Pasal 8
ayat (1) UU RI Nomor 2 tahun 2002 tersebut disebutkan bahwa kedudukan Kepolisian
Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden.
Pada awal era reformasi, salah satu tuntutan yang mencuat dan segera direspon oleh
Pemerintah adalah pemisahan Polri dan ABRI. Melalui Inpres Nomor: 02/1999 telah diambil
langkah-langkah kebijakan pemisahan Polri dari ABRI dan penempatannya untuk sementara
pada Dephankam, yang ditandai oleh suatu upacara bersejarah pada tanggal 1 April 1999 di
Mabes ABRI Cilangkap. Langkah tersebut telah ditindak lanjuti dengan berbagai kebijakan
Menhankam/Panglima TNI yang menyerahkan wewenang pembinaan dan operasional Polri
dari Pangab kepada Menhankam dan Kapolri.
Secara universal, tugas pokok lembaga kepolisian mencakup dua hal, yaitu pemeliharaan
keamanan dan ketertiban (peace and order maintenance) dan penegakan hukum (law
enforcement). Dalam perkembangannya, tanggung jawab “pemeliharaan” dipandang pasif,
sehingga tidak mampu menanggulangi kejahatan. Polisi kemudian dituntut untuk secara
proaktif melakukan “pembinaan”, sehingga tidak hanya “menjaga” agar kamtib terpelihara,
tetapi juga menumbuhkan kesadaran masyarakat, menggugah dan mengajak peran serta
masyarakat dalam upaya pemeliharaan keamanan dan ketertiban, dan bahkan ikut
memecahkan masalah-masalah sosial yang menjadi sumber kejahatan. Tugas-tugas ini
dipersembahkan oleh polisi untuk membantu (to support) masyarakat dalam memenuhi
kebutuhannya akan rasa aman, sehingga memungkinkan tercapainya kesejahteraan.
E. Komisi Yudisial
Dalam ketentuan Pasal 1 angka (1) UU R.I. Nomor 22 tahun 2004 yang kemudian telah
diubah dan ditambah dengan UU RI Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial
disebutkan bahwa Komisi Yudisial adalah lembaga Negara sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Ditegaskan pula bahwa Negara
Indonesia adalah negara hukum.
Sejalan dengan prinsip ketatanegaraan di atas, salah satu substansi penting perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 adalah adanya Komisi
Yudisial. Komisi Yudisial tersebut merupakan lembaga Negara yang bersifat mandiri yang
berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Pasal 24 B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 memberikan
landasan hukum yang kuat bagi reformasi bidang hukum, yakni dengan memberikan
kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk mewujudkan checks and balances, walaupun
Komisi Yudisial bukan pelaku kekuasaan kehakiman namun fungsinya berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman.
F. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ( Komnas HAM )
Dalam Pasal 1 angka (7) UU R.I. Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
disebutkan bahwa Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Komnas
HAM adalah lembaga mandiri yang berkedudukan setingkat dalam negara lainnya yang
berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyaluran, pemantauan, dan mediasi hak
asasi manusia.
Dalam pasal 75 Undang-Undang R.I. Nomor 39 tahun 1999 disebutkan bahwa Komnas HAM
bertujuan :
1. Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai
dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-
Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia; dan
2. Meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya
pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya dalam berbagai bidang
kehidupan.

2.4 Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum


Menurut Soerjono Soekanto, dalam bukunya faktor-faktor yang mempengaruhi
penegakan hukum (2002:5) menyebutkan bahwa masalah pokok dari penegakan hukum
sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya, yaitu :
1. Faktor hukumnya sendiri yaitu berupa undang-undang.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang
menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan
pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kemudian Al. Wisnubroto dalam bukunya yang berjudul Hakim dan peradilan di
Indonesia (1997:88-90) memuat beberapa faktor internal yang mempengaruhi hakim
dalam mengambil keputusan. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi hakim dalam
mempertimbangkan suatu keputusan adalah :
A. Faktor Subjektif
1. Sikap prilaku apriori
Sering kali hakim dalam mengadili suatu perkara sejak awal dihinggapi suatu
prasangka atau dugaan bahwa terdakwa atau tergugat bersalah, sehingga harus
dihukum atau dinyatakan sebagai pihak yang kalah. Sikap ini jelas bertentangan
dengan asas yang dijunjung tinggi dalam peradilan modern, yakni asas praduga tak
bersalah (presumtion of innocence), terutama dalam perkara pidana. Sikap yang
bersifat memihak salah satu pihak (biasanya adalah penuntut umum atau penggugat)
dan tidak adil ini bisa saja terjadi karena hakim terjebak oleh rutinitas penanganan
perkara yang menumpuk dan target penyelesaian yang tidak seimbang.

2. Sikap perilaku emosional


Perilaku hakim yang mudah tersinggung, pendendam dan pemarah akan
berbeda dengan prilaku hakim yang penuh pengertian, sabar dan teliti dalam
menangani suatu perkara. Hal ini jelas sangat berpengaruh pada hasil putusannya.

3. Sikap Arrogence power


Hakim yang memiliki sikap arogan, merasa dirinya berkuasa dan pintar
melebihi orang lain seperti jaksa, penasihat hukum apalagi terdakwa atau pihak-pihak
yang bersengketa lainnya, sering kali mempengaruhi keputusannya.

4. Moral
Faktor ini merupakan landasan yang sangat vital bagi insan penegak keadilan,
terutama hakim. Faktor ini berfungsi membentengi tindakan hakim terhadap cobaan-
cobaan yang mengarah pada penyimpangan, penyelewengan dan sikap tidak adil
lainnya.
B. Faktor Objektif
1. Latar belakang sosial budaya
Latar belakang sosial hakim mempengaruhi sikap perilaku hakim. Dalam beberapa
kajian sosiologis menunjukkan bahwa, hakim yang berasal dari status sosial tinggi
berbeda cara memandang suatu permasalahan yang ada dalam masyarakat dengan hakim
yang berasal dari lingkungan status sosial menengah atau rendah.
2. Profesionalisme
Profesionalisme yang meliputi knowledge (pengetahuan, wawasan) danskills
(keahlian, keterampilan) yang ditunjang dengan ketekunan dan ketelitian merupakan
faktor yang mempengaruhi cara hakim mengambil keputusan masalah profesionalisme ini
juga sering dikaitkan dengan kode etik di lingkungan peradilan. Oleh sebab itu hakim
yang menangani suatu perkara dengan berpegang teguh pada etika profesi tentu akan
menghasilkan putusan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan.

Indonesia tengah mengalami krisis kepatuhan hukum karena hukum telah kehilangan
substansinya. Permasalahan hukum di Indonesia yang saat ini sedang terjadi disebabkan
oleh beberapa hal yaitu sistem peradilannya, perangkat hukumny, inkonsistensi
penegakan hukum, intervensi kekuasaan maupun perlindungan hukum. Diantara
banyaknya permasalahan tersebut adalah adanya inkonsistensi penegakan hukum yang
dilaksanakan oleh aparat baik polisi, jaksa, hakim maupun pemerintah (eksekutif) yang
ada dalam wilayah peradilan yang bersangkutan. Inkonsistensi penegakan hukum kadang
melibatkan masyarakat itu sendiri dan dalam media elektronik maupun media cetak.
Inkonsistensi penegakan hukum ini secara tidak disadari telah berlangsung dari hari ke
hari. Contoh kecil dari Inkonsistensi penegakan hukum yang terjadi pada saat
berkendaraan dijalan raya dikota besar seperti di Jakarta yang memberlakukan aturan
"three-in-one". Aturan ini tidak akan berlaku bagi TNI dan Polri. Bahkan polisi yang
bertugas membiarkan begitu saja mobil dinas TNI atau Polri yang melintas meski mobil
tersebut berpenumpang kurang dari tiga orang atau bahkan terkadang polisi yang bertugas
memberikan penghormatan apabila penumpangnya berpangkat lebih tinggi. Secara tidak
disadari hal tersebut merupakan diskriminasi terhadap masyarakat awam tapi sayangnya
banyak masyarakat yang tidak menyadari hal tersebut.
Ketimpangan dan putusan hukum yang tidak menyentuh rasa keadilan masyarakat
tetap dirasakan dari hari ke hari. Berikut ini beberapa kasus inkonsistensi penegakan
hukum di Indonesia yang dikelompokan berdasarlan beberapa alasan yang banyak
ditemui oleh masyarakat awam baik melalui pengalaman pencari keadilan itu sendiri
maupun peristiwa lain yang bisa diikuti melalui media cetak dan media elektronik.

2.5 Permasalahan Penegakan Hukum di Indonesia


A. Tingkat kekayaan seseorang.
Tingkat kekayaan seseorang dapat memperingan masa tahan seseorang yang
melakukan pelanggaran. Pelaku pelanggaran bisa menyewa pengacara mahal yang bisa
mementahkan dakwaan kejaksaan untuk memperingan masa tahanannya atau jika perlu
pelaku dapat membayar hakim atau jaksa agar memperingan masa tahanannya.
Sebaliknya dengan pelaku pelanggaran yang tidak memiliki uang yang banyak maka
pelaku hanya bisa membayar pengacara semampunya atau tidak sedikit pula yang
mereka hanya pasrah menerima putusan hakim. Padahal jika dibandingkan kasus
pelanggarannya tidak merugikan pemerintah milyaran rupiah. Inilah yang terjadi di
Indonesia saat ini. Hukum bisa dibeli dengan uang.
B. Tingkat Jabatan Seseorang
Mari kita simak kasus berikut ini. Kasus Ancolgate berkaitan dengan studi banding
keluar negri yang diikuti oleh sekitar 40 orang anggota DPRD DKI Komisi D. Dalam
studi banding tersebut anggota DPRD yang berangkat memanfaatkan dua sumber
keuangan yaitu SPJ anggaran yang diperoleh dari anggaran DPRD DKI sekitar 5,2 M
dan uang saku dari PT. Pembangunan Jaya Ancol sekitar 2,1 M. Dalam kasus ini 9 orang
staf Bapedal DKI Bambang Sungkono dan Kepala Dinas Tata Kota DKI Ahmadin
Ahmad tidak dikenai tindakan apapun. Penyelesaian masalah ini dilakukan setelah media
cetak dan media elektronik menemukan ketidaksesuaian dalam masalah pendanaan studi
banding tersebut. Penyelesaian secara administratif ini seakan dilakukan agar dapat
mencegah tindakan hukum yang mungkin bisa dilakukan. Rasa ketidakadilan masyarakat
terurik ketika sanksi ini hanya dikenalan pada pegawai rendahan. Pihak kejaksaan pun
terkesan mengulur-ulur janji untuk mengusut kasus ini sampai ke pejabat tinggi DKI
yaitu Gubernur Sutiyoso (saat itu) yang sebagai komisaris PT. Pembangunan Jaya Ancol
ikut bertanggungjawab.
Dari kasus diatas terlihat sekali bahwa seseorang yang memiliki jabatan tinggi
mendapat keringanan hukuman dibanding pegawai rendahannya. Entah apa penyebabnya
sampai hal ini terjadi. Secara tidak langsung hal ini bisa disebut sebagai ketidakadilan
hukum dimana karna jabatan seseorang yang tinggi hukuman yang didapat ketika
melakukan pelanggaran hukumannya pun lebih ringan dibandingkan seseorang yang
jabatannya rendah walaupun pada kasus yang sama.
C. Nepotisme
Terdakwa Letda (Inf) Agus Isrok anak mantan Kepala Staf Angkatan Darat
(KASAD), Jendral (TNI) Subagyo H.S. diperingan hukumannya oldh mahkamah
militer dari empat tahum penjara menjadi dua tahun penjara. Disamping itu, terdakwa
juga dikembalikan ke kesatuannya selama dua minggu sambil menunggu dan berpikir
terhadap vonis mahkamah militer tinggi. Putusan ini terasa tidk adil dibandingkan
dengan vonis-vonis kasus narkoba lainnya yang terjadi di Indonesia yang didasarkan
atas pelaksanaan UU Psikotropika. Disamping itu, proses pengadilan ini juga
memperlihatkan eksklusivitas hukum militer yang diterapkan pada kasus narkoba. Jelas
sekaki kasus ini mengesankan adanya diskriminasi hukum bagi keluarga bekas pejabat.

D. Tekanan Internasional
Kasus Atambua, Nusa Tenggara Timur xang terjadi 6 September 2000 yang
menewaskan tiga orang staf NHCR mendapat perhatian Internasional dengan cepat.
Tekanan Internasional ini mengakibatjan pemerintah Indonesia bertindak dengan
melucuti pesenjataan milisi Timor Timor dan mengadiji beberapa bekas anggota milisi
Timor Leste yang dianggap bertanggungjawab. Apabila dibandingkan dengan kasus-
kasus kekerasan yamg terjadi di bagian lain di Indonesia seperti Ambon, Aceh, Samlar,
Sampit, kasus Atambua termasuk kasus yang memgalami penyelesaian secara cepat dan
tanggap dari aparat. Dalam enam bulan sejak kasus ini terjadi, kekerasan berhasil
diatasi, milisi berhasil dilucuti dan situasi kembali aman dan normal. Meskipun kasus
lainnya juga mendapat perhatian dari Internasional, namun tekanan yang diberikn pada
kasus ini lebih menekan pemerintah Indonesia untuk dapat diselesaikan secepatnya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa derajat tekanan Internasional menentukan kecepatan
aparat melakukan penegakan hukum dalam mengatasi kasus kekerasan.
Dari beberapa kasus tadi, dapat menimbulkan masalah yang paling dirasakan oleh
masyarakat dan membawa dampak yang sangat buruk bagi kehidupan bermasyarakat.
Persepsi masyarakat menjadi buruk terhadap penegakan hukum. Hal ini membuat
masyarakat tidak mempercayai huktm sebagai sarana penyelesaian konflik dan
cenderung menyelesaikan permasalahannya diluar jalur hukum. Pemanfaatan
inkonsistensi penegakan hukum oleh sekelompok orang demi kepentingannya sendiri,
selaku berakibat merugikan pihak yang tidak mempunyai kemampuan yang setara.
Akibatnya rasa ketidakadilan dan ketidakpuasan tumbuh subur di masyarakat
Indonesia. Penegakan hukum di Indonesia harus terus diupayakan dengan mulai
memperbaiki kinerja dan moral aparat baik polisi, jaksa, hakim maupun pemerintah
(eksekutif) yang ada dalam wilayah peradilan bersangkutan. Tanpa adanya perbaikan
tersebut segala bentuk KKN akan terus berpengaruh dalam proses penegakan hukum di
Indonesia. Selain itu materi hukum sendiri juga harus terus menerus diperbaiki, peran
DPR sebagai lembaga legislatif untuk lebih aktif dalam memperbaiki dan menciptakan
perundang-undangan yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman dan lebih tegas
lagi. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat juga menjadi faktor kunci dalam
penegakan hukum secara konsisten.
Jadi, keterpurukan penegakan hukum di Indonesia terletak pada faktor integritas
aparat penegak hukum, aturan hukum yang tidak responsif, serta tidak
diaplikasikannya nilai-nilai Pancasila khususnya nilai kemanusiaan, nilai
musyawarah untuk mufakat dan nilai keadilan dalam penegakan hukum oleh
aparat penegak hukum, sehingga menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat
terhadap penegakan hukum yang ada di Indonesia. Hasil penelitian, menunjukkan
tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum sangat dipengaruhi
oleh keadaan atau situasional suatu daerah, apabila disuatu daerah penegakan
hukumnya baik, maka tingkat kepercayaan masyarakat juga baik di daerah
tersebut, namun apabila penegakan hukumnya kurang baik, maka tingkat
kepercayaan mmasyarakat terhadap penegakan hukum di daerah tersebut menjadi
kurang baik. Dalam rangka pembentukan hukum nasional, perlu dibentuk konsepsi
system hukum Indonesia, yang penulis sebut dengan Indonesia Juripridence maka
nilai-nilai
Pancasila harus diserap dalam pembentukan hukum, sehingga dibutuhkan standar
hukum yang bersifat united legal frame work dan united legal opinion (Kesatuan
pandangan) di antara aparat penegak hukum sehingga perlu dibentuk Undang-Undang
sinergitas terpadu dalam pelaksanaan tugas penegakan hukum. Untuk
mengembalikan kepercayaan masyarakat, maka dibutuhkan aparat penegak hukum
yang memiliki integritas baik, aturan hukum yang responsif yang sejalan dengan
nilai-nilai Pancasila dan selanjutnya diimplementasikan ke dalam pelaksanaan tugas
sehari-hari oleh aparat penegak hukum.

2.6 Pemberdayaan Masyarakat dan Penegakan Hukum


Suatu hukum hanya dapat dilaksanakan dan diterapkan dengan baik apabila dalam
masyarakat terdapat suatu struktur yang memungkinkan bagi setiap anggota masyarakat
untuk mewujudkan cita-cita hukum tersebut. Oleh karena itu jika kita mengharapkan
perilaku hukum masyarakat yang baik, maka kita harus menciptakan struktur sosial
masyarakat yang baik pula. Selama struktur sosial masyarakat tidak terkandung kearah
susunan masyarakat yang baik maka selama itu pula perilaku hukum masyarakat sulit
untuk mengarah kepada perilaku hukum yang baik.
Selanjutnya, harus pula dipahami bahwa kesadaran hukum yang menyangkut perilaku
manusia, tidak dapat dilepaskan dari sikap batin. Oleh karena itu kesadaran hukum yang
dimaksudkan haruslah memiliki keterkaitan pula dengan sikap batin pelakunya. Dengan
kata lain, harus terdapat kaitan yang erat antara sikap batin dan tindakan yang dilakukan
oleh seseorang.
Berdasarkan uraian-uraian yang telah kami kemukakan pada bahagian terdahulu,
maka pada bahagian ini dapat kami simpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Bahwa pemberdayaan masyarakat dalam proses penegakan hukum meliputi
peningkatan, pengetahuan masyarakat terhadap kaedah hukum itu sendiri
termasuk pengetahuan dan pemahamannya terhadap isi kaedah hukum itu,
ketaatan dan kepatuhan masyarakat terhadap kaedah hukum itu dan pola perilaku
hukum masyarakat itu sendiri;
2. Bahwa pemahaman hukum masyarakat dipengaruhi oleh struktur sosial tempat di
mana hukum itu berlaku, karenanya untuk mencapai terpeliharanya tertib hukum
melalui kesadaran hukum masyarakat, maka perlu pula dibenahi struktur
masyarakat yang bersangkutan, seperti struktur ekonomi, politik, pendidikan,
pertahanan keamanan dan lain sebagainya yang terdapat dalam sistem sosial;
3. Bahwa pemberdayaan masyarakat untuk memelihara tertib hukum, tidak hanya
dipengaruhi oleh faktor juridis semata, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor non
juridis seperti sikap penegak hukum, sarana dan prasarana, budaya hukum dan
masyarakat sebagai pemegang peran;
4. Bahwa perlu kiranya untuk menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat agar
tertib hukum terpelihara dengan baik disusun suatu kaedah hukum yang sesuai
dengan aspirasi masyarakat Indonesia, sesuai dengan asas-asas hukum Indonesia
dengan kata lain perlu diperhatikan segi substansialnya, bukan segi formalnya
seperti yang berkembang selama ini.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya
norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-
hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan
aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat
dalam proses tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim,
dan petugas sipir pemasyarakatan.
Daftar Pustaka
http://kumpulanmakalah94.blogspot.com/2015/07/makalah-proses-perlindungan-dan.html

https://www.academia.edu/8960853/Makalah_PPKN

Anda mungkin juga menyukai