Anda di halaman 1dari 28

PENERAPAN HUKUM DIHUBUNGKAN DENGAN PERKEMBANGAN

SOSIAL

Makalah
Dosen pengampu : Dr. Ria Delta, S.H.,M.H.

Disusun Oleh :

Wiwik Winarti 22741010027

Triyono 22741010005
Dwi Endiarto 22741010017
I Nengah Aryata 22741010030
Nikeen Apriyono 22741010033

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SANG BUMI RUWA
JURAI
2022/2023
Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmatnya
makalah “Penerapan Hukum Dihubungkan Dengan Perkembangan Sosial”
dapatdiselesaikan tepat waktu. Kami mengharapkan agar makalah ini, dapat
memberikaninformasi kepada kita semua. Kami menyadari bahwa, makalah ini masih
jauh darikata sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun sangat diperlukan untuk memperbaiki atau demi menyempurnakan makalah
ini. Dalam kesempatan kami selaku penulis, mengucapkan banyak terimakasih kepada
semua pihak yang telah berperan serta telah memberi dukungan berupa moril ataupun
materi sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan tepatwaktu.

Bandar Lampung, 17 Oktober 2022

ii
DAFTAR ISI

Cover ...................................................................................................................... i
Kata Pengantar ..................................................................................................... ii
Daftar Isi .................................................................................................................... iii
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................. 2
C. Tujuan ..................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN.
A. Pengertian Hukum, Perkembangan Hukum, dan Penegakan
Hukum .................................................................................................... 3
B. Penerapan Hukum di Indonesia .......................................................... 7
C. Penerapan Hukum Dihubungkan Dengan Perkembangan Sosial..... 10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................................................16
Daftar Pustaka......................................................................................................17

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masyarakat dalam kehidupan sosialnya akan selalu terjadi dinamika, hal ini juga
sangat berpengaruh dalam berjalannya suatu peraturan-peraturan dalam masyarakat
tersebut. Perubahan sosial tersebut mampu mengantarkan masyarakat untuk terus
berkembang mengikuti perkembangan zaman. Bukan hanya hukum yang menerima
dampak dari perubahan sosial, tapi dari segala segi kehidupan seperti lingkungan hidup,
ekonomi, budaya, dan teknologi. Perubahan itu dapat mengenai lingkungan hidup dalam
arti lebih luas lagi, mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola
keperilakuan, strukturstruktur, organisasi, lembaga-lembaga, lapisan-lapisan masyarakat,
relasi-relasi sosial, sistem-sistem komunikasi itu sendiri. Juga perihal kekuasaan dan
wewenang, interaksi sosial, kemajuan teknologi dan seterusnya.
Hukum merupakan salah satu bentuk norma. Norma hukum sendiri memiliki
kekuatan yang kuat dikarenakan adanya lembaga pelaksana hukum yang sah dan dibentuk
oleh pemerintah yaitu aparat penegak hukum (missal kepolisian). Hukum seperti halnya
di Indonesia berasal atau bersumber dari sesuatu yang kuat seperti halnya hukum di
Indonesia yang mengacu pada Undang-undang Dasar. Selain itu, sanksi yang diberikan
dalam pelanggaran norma hukum juga tegas serta bersifat mengikat pelakunya. Oleh
sebab itu, hukum merupakan norma tertinggi dalam masyarakat.Berbicara mengenai
hukum, tentunya tidak akan lepas dari aparat penegak hukum yang menjalankan hukum
itu sendiri. Karena sejatinya proses pelaksanaan hukum akan dijalankan oleh aparat
penegak hukum.
Pelaksanaan hukum sendiri lebih menekankan pada bagaimana sebuah hukum yang
dibuat dapat dijalankan atau diaplikasikan dalam masyarakat. Mengapa membicarakan
bagaimana hukum dijalankan dalam masyarakat, karena memang sejatinya hukum dibuat
untuk mengatur kehidupan manusia dalam bermasyarakat. Selain untuk mengatur
kehidupan masyarakat, hukum juga dibuat sebagai pedoman bertingkah laku manusia
agar menciptakan kehidupan yang aman dan tenteram. Hukum sendiri berlaku apabila
terjadi pelanggaran terhadap hukum yang sudah ada. Hukum bersifat mengikat setiap
anggota masyarakat. Ketika berumur 17/18 tahun, maka seseorang dianggap sudah sadar
hukum sehingga hukum sudah mengikat individu tersebut. Dengan demikian, maka
1
pelaksanaan hukum dapat dijalankan dengan baik pada anggota masyarakat.

2
Tidak bisa dipungkiri bahwa kondisi hukum di Indonesia saat ini semakin
memprihatinkan, begitu banyak tangis dan ratapan rakyat-rakyat kecil yang tertindas dan
terluka oleh hukum, bahkan tidak jarang emosi rakyat semakin berkobar tatkala ada
pihak- pihak tertentu yang memanfaatkan hukum didalam mencapai suatu hasrat tertentu
yang tanpa menggunakan sedikitpun hati nurani. Dalam makalah ini, kita akan
membahas mengenai bagaimana Penerapan hukum dihubungan dengan Perkembangan
Sosial.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Hukum, Perkembangan Hukum dan Penegakan Hukum?


2. Bagaimana Penerapan Hukum di Indonesia?
3. Bagaimana Penerapan Hukum dihubungkan dengan Perkembangan Sosial?

C. Tujuan

1. Untuk Mengetahui Pengertian Perubahan Sosial, Perkembangan Hukum dan


Penegakan Hukum
2. Untuk Mengetahui Penerapan Hukum di Indonesia
3. Untuk Mengetahui Penerapan Hukum dihubungkan dengan Perkembangan Sosial

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum, Perkembangan Hukum dan Penegakan Hukum

1. Pengertian Hukum

Utrecht mengemukakan, bahwa hukum adalah himpunan petunjuk hidup


(perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu
masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan.
Menurut J.C.T Simorangkir, hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat
memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat
yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran terhadap peraturan
tadi berakibatkan diambilnya tindakan, dengan hukuman tertentu.
Hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara memiliki
kedudukan yang penting, Roeslan Saleh menyatakan, bahwa: “Cita hukum bangsa
dan negara Indonesia adalah pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, untuk
membangun negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Cita hukum
itulah Pancasila”.
Negara Indonesia dalam mencapai cita hukumnya, sesuai pada Pasal 27 ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi,
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan
dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Dengan begitu, bahwa setiap sikap, kebijakan, dan perilaku alat negara dan penduduk
(warga negara dan orang asing) harus berdasarkan dan sesuai dengan hukum.
Dalam upaya mewujudkan kehidupan yang damai, aman dan tentram, diperlukan
adanya aturan untuk mengatur kehidupan sosial masyarakat agar sesama manusia
dapat berperilaku dengan baik dan rukun. Namun, gesekan dan perselisihan antar
sesama manusia tidaklah dapat dihilangkan. Maka, hukum diberlakukan terhadap
siapapun yang melakukan perbuatan melanggar hukum.
Menurut Lawrence M. Friedman menyatakan bahwa berhasil atau tidaknya
penegakan hukum bergantung pada: Substansi Hukum, Struktur Hukum/Pranata
Hukum dan Budaya Hukum. Substansi Hukum adalah bagian substansial yang
menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan. Substansi juga berarti
produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum yang mencakup

3
keputusan yang mereka keluarkan, atau aturan baru yang mereka susun. Substansi
juga mencakup hukum yang hidup (living law), bukan hanya aturan yang ada dalam
kitab undang-undang (law books). Sebagai negara yang masih menganut sistem Civil
Law Sistem atau sistem Eropa Kontinental (meski sebagian peraturan perundang-
undangan juga telah menganut Common Law Sistem atau Anglo Saxon) dikatakan
hukum adalah peraturan-peraturan yang tertulis sedangkan peraturan-peraturan yang
tidak tertulis bukan dinyatakan hukum.
Sistem ini mempengaruhi sistem hukum di Indonesia. Salah satu pengaruhnya
adalah adanya asas Legalitas dalam KUHP. Dalam Pasal 1 KUHP ditentukan “tiada
suatu perbuatan dapat pidana kecuali atas kekuatan hukum yang telah ada sebelum
perbuatan itu dilakukan”. Sehingga bisa atau tidaknya suatu perbuatan dikenakan
sanksi hukum apabila perbuatan tersebut telah mendapatkan pengaturannya dalam
peraturan perundang-undangan.
Banyak faktor yang mempengaruhi lemahnya mentalitas aparat penegak hukum
diantaranya lemahnya pemahaman agama, ekonomi, proses rekruitmen yang tidak
transparan dan lain sebagainya. Sehingga dapat dipertegas bahwa faktor penegak
hukum memainkan peran penting dalam memfungsikan hukum. Kalau peraturan
sudah baik, tetapi kualitas penegak hukum rendah maka akan ada masalah. Demikian
juga, apabila peraturannya buruk sedangkan kualitas penegak hukum baik,
kemungkinan munculnya masalah masih terbuka.

2. Perkembangan Hukum

Perkembangan hukum di Indonesia bergerak tidak kalah cepat dengan


perkembangan ilmu pengetahuan (sains). Hal ini dapat dikaji bahwa hukum tidak
hanya sebagai suatu dogmatis yang hanya memandang hukum sebagai aturan atau
dogma atau cara pandang sepihak dari sudut positivisme hukum, yang harus diterima
apa adanya, namun hukum berkembang sebagi suatu alternatif yang bisa mengikuti
perkembangan masyarakat, sesuai kebutuhan di eranya. Hukum berkembang melalui
serangkaian proses penganalisaan dari berbagai aliran yang mendasarinya. Dimulai
dari embrio pemahaman ilmu sosial dari para filsuf terkemuka di dunia sampai pada
ahli-ahli hukum yang mencetuskan perkembangannya di abad ke-21 ini. Satu hal
yang perlu kita pahami pula bahwa ilmu hukum bukanlah ilmu statis yang tidak
berkembang, karena perkembangannya senantiasa ada sejalan dengan perkembangan
masyarakat yang melingkupinya. Perkembangan hukum di Indonesia tidak terlepas

4
dari Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Perlu cita-cita
etis yang menyemangati seluruh bangsa dan yang cukup kuat untuk mempertahankan
kita masing-masing, menurut kedudukan masing-masing, dalam fokus pada
pemajuan bangsa. Pancasila adalah konsensus agung bangsa Indonesia bahwa kita
semua bersatu, bahwa tidak boleh ada diskriminasi di antara kita, dan konsensus itu
mendapat kekuatannya dari lima sila, yaitu nilai-nilai yang amat berakar dalam hati
bangsa Indonesia, yang sekaligus merupakan cita-cita untuk diwujudkan, seperti
yang terungkap dalam lima sila Pancasila, yang menjadi roh dalam penegakan
hukum dan perkembangan ilmu hukum di Indonesia.1
Perkembangan Sistem Hukum Nasional semestinya tidak meninggalkan sumber
hukum materiil sebagai dasar pembentukan sistem hukum yang mencerminkan
semangat ke-Indonesia-an. Sumber hukum materiil yang dicerminkan dengan
Pancasila, cita masyarakat Indonesia, nilai-nilai, norma-norma, kekeluargaan,
musyawarah, gotong royong, toleransi dan sebagainya yang menjadi ciri dari
masyarakat Indonesia harus menjadi skala prioritas dalam melakukan penataan
terhadap sistem hukum Indonesia ke depannya. Semangat ke-Indonesia-an tentunya
harus terpancar dari perkembangan sistem hukum nasional. Dalam artian, tidak
dibenarkan meninggalkan semangat di atas dengan cara menggunakan konsep-
konsep yang lainnya yang secara nyata bertentangan sehingga menyebabkan sistem
hukum nasional menjadi terganggu. Hal tersebut khususnya tercermin dalam Pasal 24
F yang menentukan bahwa negara menata dan mengembangkan sistem hukum
nasional dengan memelihara dan menghormati keberagaman nilai-nilai hukum dan
sumber- sumber hukum yang hidup dalam masyarakat.2
Oleh karenanya, perkembangan sistem hukum nasional harus berorientasi
kepada kebijakan berupa pilihan hukum yang berlaku, sistem hukum yang akan
dianut, dasar filosofis yang digunakan dalam pembentukan hukum, termasuk
kebijakan agar mendasarkan hukum nasional dari asas-asas umum yang berlaku.
Selanjutnya, pembangunan sistem hukum Indonesia seharusnya mengarah kepada
cita negara (staatsidee) Indonesia yang sejauh mungkin harus dibangun secara khas
dalam arti tidak meniru paham individualisme liberalisme yang justru telah
melahirkan kolonialisme dan imperialisme yang harus ditentang, ataupun paham
kolektivisme ekstrim seperti yang diperlihatkan dalam praktek di lingkungan negara-
negara sosialis-

1
Laurensius Arliman, “Peranan Metodologi Penelitian Hukum Di Dalam Perkembangan Ilmu Hukum Di
Indonesia,” Soumatera Law Review 1, no. 1 (2018): hlm 124-125.
2
Soetanto Soepiadhy, Undang-Undang Dasar 1945: Kekosongan Politik Hukum Makro (Kepel Press, 2004),
hlm 20.

5
komunis. Dengan kata lain, semangat yang melandasi pemikiran para pendiri
Republik Indonesia adalah semangat sintesis, semangat untuk melakukan kombinasi
atau semangat untuk menciptakan suatu paham baru.3
Patut juga untuk dipahami, bahwa sistem hukum itu merupakan sistem abstrak
(konseptual) karena terdiri dari unsur-unsur yang tidak konkret, yang tidak
menunjukkan kesatuan yang dapat dilihat. Unsur-unsur dalam sistem hukum
mempunyai hubungan yang khusus dengan unsur-unsur lingkungannya. Selain itu
juga dikatakan, bahwa sistem hukum merupakan sistem yang terbuka, karena
peraturan- peraturan hukum dengan istilah-istilahnya yang bersifat umum, terbuka
untuk penafsiran yang berbeda dan untuk penafsiran yang luas.

3. Pengertian Penegakan Hukum

Penegakan hukum adalah suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tentang


keadilan-keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan.
Penegakan hukum pidana adalah suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tentang
kedilan dalam hukum pidana dalam kepastian hukum dan kemanfaatan sosial
menjadi kenyataan hukum dalam kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi
kenyataan hukum dalam setiap hubungan hukum.4

Menurut Andi Hamzah, istilah penegakan hukum sering disalah artikan


seakanakan hanya bergerak di bidang hukum pidana atau di bidang represif. Istilah
penegakan hukum disini meliputi baik yang represif maupun yang preventif. Jadi
kurang lebih maknanya sama dengan istilah Belanda rechtshanhaving. Berbeda
dengan istilah law enforcement, yang sekarang diberi makna represif, sedangkan
yang preventif berupa pemberian informasi, persuasive, dan petunjuk disebut law
compliance, yang berarti pemenuhan dan penataan hukum. Oleh karena itu lebih
tepat jika dipakai istilah penanganan hukum atau pengendalian hukum.5

Penegakan hukum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan nilai, ide,


cita yang cukup abstrak yang menjadi tujuan hukum. Nilai-nilai tersebut harus
mampu diwujudkan dalam realitas nyata (dapat diimpelementasikan atau tidak).
Menurut Soerjono Soekanto, secara konsepsional inti dan arti penegakan hukum

3
Titik Triwulan, “Pengantar Ilmu Hukum,” 2006, hlm 90.
4
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Kencana Prenada, 2012), hlm 15
5
Andi Hamzah, “Asas-Asas Penting Dalam Hukum Acara Pidana,” FH Universitas Surabaya, Surabaya,
2005, hlm 2.
6
terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam
kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah sikap dan tindak sebagai rangkaian
penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan
kedamaian pergaulan hidup. Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum pada
hakikatnya merupakan penegakan ide-ide atau konsep-konsep yang abstrak tersebut.
Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide tersebut menjadi
kenyataan. Penegakan hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan hukum, maka
sudah semestinya seluruh energi dikerahkan agar hukum mampu bekerja untuk
mewujudkan nilai-nilai moral dalam hukum. Kegagalan hukum untuk mewujudkan
nilai hukum tersebut merupakan ancaman bahaya akan bangkrutnya hukum yang
ada. Hukum yang miskin implementasi terhadap nilai-nilai moral akan berjarak
serta terisolasi dari masyarakatnya. Keberhasilan penegakan hukum akan
menentukan serta menjadi barometer legitimasi hukum di tengah-tengah realitas
sosialnya. Penegakan hukum merupakan suatu bentuk konkrit penerapan hukum
dalam masyarakat yang mempengaruhi perasaan hukum, kepuasan hukum dan
kebutuhan atau keadilan hukum masyarakat.6

B. Penerapan Hukum di Indonesia

Meskipun secara normatif dan ideal-konstitusional Indonesia adalah negara hukum


yang berasaskan kedaulatan rakyat, implementasinya dalam praktik, baik pada masa kini
maupun masa depan, tergantung pada budaya hukum dan politik yang berkembang di
masyarakat. Memang, ada semacam mitos konstitusionalisme yang berkembang di
banyak negara, termasuk di Indonesia, bahwa dengan memiliki sebuah dokumen
konstitusi yang menjamin tegaknya negara hukum, maka segala persoalan akan selesai
dengan sendirinya. Sebuah negara hukum menghendaki orientasi kepada ketentuan-
ketentuan hukum dan prinsip-prinsip umum yang mendasarinya.
Namun di Indonesia sendiri, orientasi kepada hukum sering diabaikan. Karena
lemahnya orientasi kepada hukum, maka konstitusi dan aturan-aturan hukum yang
dilahirkan cenderung berubah menjadi alat pengabsah suatu tindakan, entah itu tindakan
penyelenggara negara maupun rakyat itu sendiri. Tentu, yang lebih banyak terjadi adalah
hukum dijadikan pengabsah bagi penguasa untuk membenarkan tindakannya, bukan
sarana efektif mengubah menjadi wewenang yang sah. Tidak ada warisan budaya
hukum yang
6
Ahmad Jazuli, “Penegakan Hukum Penataan Ruang Dalam Rangka Mewujudkan Pembangunan
Berkelanjutan,” Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional 6, no. 2 (2017): hlm 273-274

7
kuat dari masa lalu, baik dari kerajaan-kerajaan nusantara, apalagi dari pemerintah
kolonial yang memang tidak diharapkan akan sungguh-sungguh menerapkan hukum
secara adil dan fair, kecuali sebagai sarana untuk melestarikan kolonialismenya.
Sementara itu pada zaman revolusi, hukum cenderung diabaikan. Hal-hal tersebut
merupakan faktor yang secara kualitatif ikut mempengaruhi lemahnya orientassi
masyarakat Indonesia kepada negara hukum.7
Pemerintah orde baru, yang pada awal kelahirannya menegaskan akan melakukan
koreksi total terhadap penyelewengan-penyelewengan di masa orde lama, kemudian
bertekad melaksanakan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, semakin
lama semakin bergerak ke arah yang konservativ. Konstitualisme, yang semula dijunjung
tinggi, berubah menjadi mitos. Konstitusi kurang dilihat dengan cara pandang rasional
sebagi aturan-aturan dasar yang bercorak negatif tentang cara penyelenggaraan negara,
tapi lebih dilihat sebagai dokumen sakral yang seolah-olah “disucikan”. Demikian
“sakralnya” dan “suci” sehingga jarang “disentuh”, kecuali hanya disebut di dalam
pidato-pidato para pejabat, baik resmi maupun tidak resmi. Dan semakin ia disebut-
disebut, terdapat kecenderungan bahwa orang semakin melupakan kandungannya.
Pancasila dan UUD 1945 kemudian cenderung berubah fungsi sebagai mitos sakral
pengabsahan kekuasaan, bukan merupakan suatu tuntutan moral politik yang
membimbing perjalanan politik menuju arah tertentu, dan bukan pula sebagai roh dasar
membatasi kekuasaan. Oleh karena itu produk- produk legislatif cenderung justru menjadi
sarana rekayasa politik untuk menjamin stabilitas kekuasaan seperti terlihat di dalam UU
tentang Susunan dan Kedudukan MPR/DPR dan DPRD, UU Pemilu dan undang-undang
tentang Partai Politik dan Golongan Karya.
Kecenderungan orientasi kepada negara kekuasaan, ketika kewajiban-kewajiban
rakyat lebih dituntut dan hak-haknya dikurangi, sebaliknya kewajiban-kewajiban
penyelenggara nega diperkecil dan hak-haknya diperbesar, merupakan salah satu kendala
mencapai tegaknya cita-cita negara hukum di masa sekarang dan masa depan.8
Hukum (konstitusi), dibuat adalah untuk membatasi kekuasaan dalam negara.
Perkataan kekuasaan di sini sama dengan power, masalah kekuasaan dalam negara (the
power of the state) banyak dibicarakan oleh sarjana-sarjana ilmu politik, dan kekuasaan
itu sendiri cenderung dengan politik.9

7
Yusril Ihza Mahendra “Dinamika Tata Negara Indonesia” (1996) hlm. 44
8
Ibid
9
Dahlan Thaib dan Mila Karmila Adi “Teori Hukum dan Konstitusi” (1998) hlm. 77

8
Politik pada umumnya diberi berbagai arti seperti: (1) kebijakan, (2) seni memanage
kekuasaan dan (3) cara, akal dan taktik. Intinya adalah mempengaruhi orang lain agar
dapat bertingkah laku sesuai dengan kehendak mempengaruhi yakni orang mempunyai
kekuasaan. Sumber kekuasaan meliputi ilmu, ekonomi, dan wibawa. Atau dalam arti lain,
bahwa kekuasaan adalah perjuangan memperoleh kekuasaan biasanya terkait erat atau
terkait atau disertai ideologi agar menjadi dasar di bidang politik. Maksudnya agar
ideologinya menjadi dasar kekuasaan. Atau minimal tafsir menurut versinya untuk
dipergunakan dan manajemen kekuasaan (Moh. Mahfud, 1998: 1).10
Oleh karena kekuasaan identik dengan politik, atau setidaknya karena politik atau
setiap aktivitas politik selalu bertujuan untuk mencapai kekuasaan, maka dapat dibuat
satu analogi: Politik Tends to Corupt. Politik itu punya kecenderungan untuk
korup/disalah gunakan. Oleh karena itu, agar kekuasaan itu tidak liar dan tidak disalah
gunakan, maka hukum harus mengendalikan kekuasaan itu. Suatu hal yang tidak dapat
disangkal betapapun ketatnya hukum, dengan segala macam aturan permainan, etika dan
semacamnya, namun akhirnya, hukum tidak berdaya apabila menghadapi power play
yang tidak mengindahkan hukum. Salah satu contoh kasus yang dapat dipetik dari
fenomena ini adalah dengan melihat kasus dalam menjatuhkan presiden Abdurrahman
Wahid (Gus Dur), melalui sidang istimewa.
Kasus tersebut terlihat jelas bahwa bagaimana permainan politik (power play) sangat
mendominasi dalam prosesi hukum. Atau dalam pandangan Prof. Dr. Mahfud MD kasus
tersebut memberi kesan mempermainkan prosedural-konstitusional. Sebab, menurut Tap
MPR No. III/MPR/1978, untuk mengeluarkan memorandum I saja syaratnya adalah
bahwa presiden telah sungguh-sungguh melanggar haluan negara. Sedangkan dalam
memorandum I dari DPR hanya menyebut Presiden “patut diduga ikut berperan” dalam
kasus Yanatera Bulog maupun dana bantuan Sulatan Brunai. Kalau kesimpulannya hanya
“patut diduga ikut berperan”, berarti belum ada bukti dan kesimpulan bahwa presiden
“sungguh-sungguh melanggar haluan negara”. Istilah “patut diduga ikut berperan”,
menurut Dr. Mahfud MD, bisa saja diartikan melakukan kelalaian teknis-administratif,
bukan melakukan kesalahan yuridis.
Kasus ini menjadi salah satu contoh dari banyaknya kasus-kasus yang terjadi dalam
praktik ketatanegaraan kita di Indonesia, dalam bingkai bagaimana sesungguhnya kita
melihat hukum disalah gunakan dalam praktik-praktik pengambilan keputusan politik.
Oleh
10
Moh. Mahfud Md “Politik Hukum di Indonesia” (1998) hlm.1

9
karenanya, maka demi tegaknya hukum dan demi terlaksananya cita-cita negara hukum
dan demokrasi yang selaras dengan tujuan negara kita, maka tegasnya, dalam praktik
penyelenggaraan negara, ketentuan-ketentuan hukum harus dihormati, harus ditegakan
oleh pemerintah atau penyelenggara negara.11
Menurut Prof. Dr. Dahlan Thaib, dalam negara hukum Indonesia, tidak boleh terjadi
hukum berdiri pada sisi lain, sementara kekuasaan dengan angkuhnya seolah-olah
menantang hukum di sisi lain. Menurutnya hal demikian itu tentu tidak sesuai dengan
prinsip-prinsip negara hukum, yang diamanatkan dalam konstitusi kita UUD 1945.
Karena itu, komitmen yang telah disepakati pada awal Orde Baru hendaknya selalu
diusahakan untuk dipatuhi dalam praktik ketatanegaraan, sehingga dengan demikian
prinsip rule of law dapat benar-benar ditegakkan. Jadi, bukan rule of law yang
dipertahankan.

C. Penerapan Hukum dihubungkan dengan Perkembangan Sosial

Hukum harus terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, seperti dalam
teori relativitas Albert Einstein, bahwa “tidak ada sesuatu yang bergerak melebihi
kecepatan cahaya, kecepatan cahaya adalah batas kecepatan dalam alam semesta, diluar
kecepatan cahaya semuanya bergerak relatif, kerelatifitasan gerak itu berpengaruh
terhadap kerelatifitasan ruang, waktu, dan massa”. Dari argumentasi inilah kemudian
dalam memandang hukum juga harus berubah, hukum tidak lagi dipandang sebagai
tatanan yang mutlak dan konstan.12
Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak seimbang dengan kemampuan
penyediaan fasilitas-fasilitas guna melayaninya mendorong perlunya dilakukan
reorganisasi kehidupan sosial atau kelembagaannya. Semakin banyaknya penggunaan
teknologi modern, maka manusia dihadapkan pada keharusan-keharusan untuk
melakukan penyesuaian- penyesuaian termasuk dalam penerapan hukumnya.
Dalam sejarah perkembangan Hukum, hukum alam yang berkembang pertama kali
dengan doktrin hukum alam yang selalu memuliakan “hukum dalam pengertian yang
sesungguhnya” atau biasa di sebut dengan “The Real Law” yang tak sekalipun dapat
berevolusi atau terganggu oleh gerak perubahan sebagai konsekuensi dari berjalannya
waktu kekal dan selalu akan tetap begitu dari sejak pertama kali dimunculkan dalam
mitologi-mitologi Yunani, hingga berakhirnya peradaban spesies manusia nanti. System
ini diasumsikan memiliki keberlakuan yang kekal, universal, dan tak tergantikan oleh apa
11
Dahlan Thaib dan Mila Karmila Adi “Teori Hukum dan Konstitusi” (1998) hlm. 78
12
Ibid hlm. 371

10
pun dan siapapun, tak ada dicabut oleh siapapun atau otoritas apa pun, dari sejak pertama
Sang Pencipta menetapkannya. Hukum yang sebenar-benarnya hukum adalah hukum
yang selaras dengan alam, yang memantulkan kebenaran dan keadilan yang bersemayam
di lubuk hati nurani tiap-tiap insan.
Dengan dilibatkannya unsur ketuhanan semacam itu, serta tingkat abstraksi yang
diperlihatkan olehnya, orang akan berkesimpulan bahwa : doktrin hukum alam bermain
dalam “dunia yang tidak tampak” atau dunia “intellegibel”. Sehingga munculah
positivisme hukum, positivisme hukum menyatakan bahwa “ hukum alam itu bukanlah
hukum dalam pengertian sesungguhnya. Hal yang akan disebut sebagai hukum itu
semata- mata adalah “hukum positif” yang senantiasa berevolusi dan menyesuaikan diri
ke dalam gerak perubahan sebagai konsekuensi dari berjalannya waktu, sebagaimana
masyarakat manusia berevolusi dan menyesuaikan diri pada perubahan. Hukum dengan
demikianbukan lagi “unit-unit atau konsep-konsep dalam dalam derajat abstrak”, atau
sebagai “hasil dari kegiatan orang mengabstraksi” ataupun ataupun sesuatu yang berada
di “dunia intelligible, melainkan sesuatu yang dihasilkan lewat pengalaman yang indra
manusia, yang dalam keluasan dan kedalamannya semata-mata memperlihatkan karakter
yang “positif”, “formal”, “jelas”, “pasti”, serta yang dapat mendatangkan
“kehasilgunaan”secara praktikal. Pada keadaan itu, orang bisa meluncurkan analisis dan
kritik terhadap hukum, artinya hukum bukan lagis sesuatu yang absolut, melainkan relatif.
Dalam karateristik ini, umumnya suatu definisi tentang hukum menunjuk pada dua
kriteria
: “legalitas dan Otoritas”.
Dari pandangan positivisme diatas jelaslah bahwa hukum itu harus berubah, seperti
yang dikatakan oleh penganut positivisme walaupun ada pertentangan antara perubahan
hukum yang dipengaruhi oleh perubahan sosial dengan hukum yang merupakan alat
untuk merubah masyarakat. Kedua faham tersebut bolehlah dikatakan masing-masing
diwakili oleh Von Savigny dan Bentham. Bagi Von Savigny yang dengan gigihnya
membendung datangnya hukum Romawi, maka hukum tidaklah dibentuk akan tetapi
harus diketemukan. Apabila adat istiadat telah berlaku secara mantap, maka barulah
pejabat-pejabat hukum mensyahkannya sebagai hukum. Suatu teori yang sejalan dengan
pendapat Von Savigny, penah dikembangkan oleh seorang yuris Austria yang bernama
Eugen Ehrlich. Ehrlich membedakan antara hukum yang hidup yang didasarkan pada
perilaku sosial, dengan hukum memaksa yang berasal dari negara. Dia menekankan
bahwa hukum yang hidup lebih penting daripada hukum negara yang ruang lingkupnya

11
terbatas pada tugas-tugas negara. Padahal hukum yang hidup mempunyai ruang
lingkup yang hampir mengatur
semua aspek kehidupan bersama dari masyarakat. Dari penjelasannnya di atas jelas
terlihat bahwa Ehrlich pun menganut faham bahwa perubahan-perubahan hukum selalu
mengikuti perubahan-perubahan sosial lainnya. Sebaliknya, Bentham adalah seorang
penganut dari faham yang menyatakan bahwa mempergunakan hukum yang telah
dikonstruksikan secara rasionil, akan dapat diadakan perubahan-perubahan dalam
masyarakat.
Dari positivisme yang mengantarkan kita pada pada tataran hukum positif yang
dimana hukum itu harus merupakan norma yang dipositifkan menjadi peraturan tertulis.
Akhirnya hukum pun berkembang menjadi hukum Post modernisme yang lebih
mengutamakan paandangan bahwa berbagai lapangan dan spesialisasi ilmu merupakan
strategi utama atau kesepatakan dimana realitas dapat dibagi, terutama sebagai upaya
serius untuk mencapai kebenaran yang dilakukan oleh kelompok-kelompok sosial dalam
mencari kekuasaan. Pandangan ini sekaligus menjelaskan sentralitas tesis Nietzsche
“kehendak untuk kuasa” dalam epistimologis kontemporer dimana pencarian kebenaran
selalu berarti membangun kekuasaan. Penekanannya terhadap sifat arbiter dari struktur
argument dan retorika bahasa tetap merupakan bagian yang penting sebagai senjata kritik
dekosntruksi postmodernisme. Menurut Lyotard, postmodernis lebih kepada gagasan
untuk meruntuhkan atau menolak metanarasi.13
Dalam perkembangannya, hukum terus berkembang hingga pada akhirnya lahir lagi
teori hukum responsive dengan tokohnya Nonet dan Selznick yang mencoba
memasukkan teori ilmu-ilmu sosial dalam menjawab permasalahan-permasalahan hukum.
Hukum responsive menghendaki agar hukum senantuasa peka terhadap perkembangan
masyarakat, dengan karakternya yang menonjol yaitu menawarkan lebih dari sekedar
procedural justice berorientasi pada keadilan, memperhatikan kepentingan publik, dan
lebih daripada itu mengedepankan pada subtancial juctice. Hukum responsif berorientasi
pada tujuan-tujuan yang akan dicapai diluar hukum dan menolak otonomi hukum yang
bersifat final dan tak dapat di gugat. Hukum tidak hanya rules yang dibangun dengan
logika, tetapi dengan logika-logika lain. Produk hukum yang berkarakter responsif
prosesnya bersifat partisipatif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua
elemen masyarakat baik segi individu ataupun kelompok masyarakat dan juga harus
bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau kehendak dari masyarakat. Artinya
produk hukum terssebut bukan kehendak dari penguasa untuk meligitimasi kekuasaannya.
13
Otje Salman and Anthon Susanto, Teori Hukum “mengingat, Mengumpulkan, Dan Membuka Kembali"
(Bandung: Refika Aditama, 2004), hlm 119

12
Perkembangan hukum pada akhirnya bersinggungan pada perubahan sosial,
perubahan sosial dapat mengubah dasar-dasar nilai hukum. Perubahan sosial dapat
bersumber dari dalam maupun luar. Sumber perubahan sosial dari dalam misalnya
pertambahan penduduk, berkuranya penduduk, penemuan teknologi baru, adanya konflik,
atau mungkin dengan terjadinya revolusi. Perubahan dari luar misalnya terjadi bencana
alam, adanya pengaruh kebudayaan, perang, dan lain sebagainya.
Max Weber dengan analisisnya tentang evolusi hukum dari bentuknya yang
kharismatik ke bentuk yang rasional adalah hasil dari perkembangan masyarakat akibat
adanya modernisasi. Hukum menurut Webber pada akhirnya juga sesuai dengan
perekembangan social. Karl Renner juga melihat hal yang sama, yaitu hukum berubah
akibat masyarakat baru, masyarakat kapitalis, telah tercipta. Hak milik yang sifatnya
privat dengan akumulasi modal pada akhirnya mempunyai kekuatan signifikan untuk
memerintah. Jadi dengan adanya perubahan social kita harus mengadakan perubahan
hukum, dalam artian kita harus menyelaraskan hukum dengan perubahan social.
Perubahan hukum bukan hanya terjadi pada perubahan Undang-undang saja, namun
sifatnya menyeluruh samapai pada wilayah pendukung bekerja hukum, termasuk
didalamnya pendidikan hukum.
Dalam konteks Indoenesia, kita sudah berada terlalu lama terjebak dalam lingkungan
postivistik-legalistik, peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh para legislator atau
penguasa Negara ini masih banyak yang belum sesuai dengan keinginan masyarakat
bahkan ada peraturan yang masih berlaku puluhan tahun yang lalu padahal masyarakat
Indonesia terus berkembang seiring berjalannya waktu. Dengan terlalu positivis nya
hukum kita, maka perlu ada suatu paradigma baru yang harus bisa menyempurnakan
hukum untuk mencapai suatu tujuannya yaitu keadilan. Keadilan menurut masyarakat
dan bukan keadilan menurut para penguasa. Menurut Prof. Satjipto Rahardjo, Indonesia
tidak bisa lebih lama berlarut-larut dalam cara penegakan hukum sebagaimana selama ini
dijalankan, Indonesia kini membutuhkan suatu tipe penegakan hukum yang ingin disebut
Progresif.14
Dengan pernyataan tersebut, hukum progresif kini ingin dikembangkan dalam system
hukum di Indonesia, dengan diperkenalkannya hukum progresif, system hukum di
Indonesia dapat berubah menjadi hukum yang menarik hukum dari ranah estetorik dan
menjadikannya sebuah institusi yang bermakna sosial untuk mencapai suatu keadilan,
kesejahteraan, dan kebahagiaan. Dalam hukum progresif, hukum dikenal sebagai bukan
14
Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif Terapi Paradigmatik Bagi Lemahnya
Penegakan Hukum Indonesia (Yogyakarta: AntonyLib-Indonesia, 2009), hlm 12.

13
untuk hukum, maka hukum progresif meninggalkan paradigma hukum rechtsdogmatiek.
Ketika paradigma hukum positif bertumpu pada peraturan perundang-undangan, maka
hukum progresif lebih menekankan pada faktor prilaku diatas undang-undang. Faktor
manusia inilah yang mempunyai unsur greget seperti compession (perasaan haru),
empathy, sincerety (ketulusan), education, commitment, dare, determination.
Mengutamakan manusia daripada peraturan perundang-undangan sebagai titik tolak
paradigma membawa kita untuk memahami hukum sebagai proses dan proyek
kemanusiaan.
Hukum progresif sebenarnya tidak bertentangan dengan konsep hukum yang
diterapkan oleh Indonesia sejak zaman kemerdekaan hingga sekarang, karena dalam
hukum progresif kita hanya diajak untuk lebih meningkatkan kreatifitasan dalam berpikir
hukum. Positivism juga berperan dalam perkembangan hukm progresif, karena dengan
adanya hukum postif kita bisa membandingkan teks dan konteks sehingga kita bisa lebih
kreatif dalam mengambil suatu keputusan dalam menyelasaikan problema hukum. Para
penganut positivis di indonesia berpikir bahwa hukum dari Negara lain tidak bisa di
masukkan dalam hukum yang ada di Indonesia dan hukum itu merupakan suatu norma
yang sifatnya tetap atau statis di positifkan ke dalam hukum tertulis dan menjadi
dinamika dalam pelaksanaannya. Menurut penulis, hukum itu seharusnya hidup dalam
kehidupan social masyarakat yang dinamis dan peran norma yang statis mampu
mengikuti perkembangan sosial tersebut, karena perubahan sosial akan menentukan akan
dibawa kemana hukum kita ini. Dan tidak ada salahnya juga jika kita ngin menerapkan
konsep hukum Negara lain dengan Negara kita, karena itu hanya sebagai pembanding
saja untuk menuju suatu hukum yang bisa membahagiakan masyarakatnya.

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Semakin banyaknya penggunaan teknologi modern, maka manusia dihadapkan pada


keharusan-keharusan untuk melakukan penyesuaianpenyesuaia, sekedar teknologi itu
dapat menjalankan fungsinya denagn semestinya di dalam masyarakat, sebagaimana kita
melihat modus berlakunya hukum dalam masyarakat.
1. Bahwa berubahnya masyarakat akan mempengaruhi perkembangan dasar- dasar nilai
hukum.
2. Bahwa postivisme yang berlaku di Indonesia saat ini belum mampu mengatasi
problem-problem hukum yang terjadi di masyarakat.
3. Bahwa perlu ada pembenahan konesep hukum di Indonesia, dengan menerapkan
konsep hukum progresif, karena dengan hukum progresif maka hukum Indonesia
akan mencapai suatu tujuan hukum yang mampu menyelesaikan permasalahan
hukum yang kompleks yang tidak diatur dalam hukum tertulis.
4. Hukum positif Indonesia seharusnya tidak diberlakukan secara sempit, akan tetapi
hukum positif ditempatkan pada suatu permasalahan yang bisa diselesaikan dengan
peraturan seperti dalam bidang hukum pidana, hukum bisnis, dan hukum dagang.
Dalam pengambilan keputusannya perlu ada watak progresif agar para penegak
hukum tidak dengan sewenang-wenang menggunakan peraturan perundang-
undangan untuk kepentingan pribadi. Karena hukum itu diciptakan untu mencapai
keadilan bagi semua bukan keadilan bagi dirinya sendiri.
5. Perbaikan dalam hal stuktur/aparatur penegak hukum, diperlukan adanya pendekatan
dalam pembentukan character building (pembinaan ESQ) dan keagamaan serta
peningkatan SDM, sehingga aparatur penegak hukum di Indonesia memiliki mental
yang kuat dan mampu mengemban amanat sesuai rasa keadilan dalam masyarakat.
Dalam perbaikan legal culture dalam masyarakat, apabila secara substance dan
struktur sudah berjalan dengan baik, maka legal culture pun akan mengikuti dengan
sendirinya.

15
DAFTAR PUSTAKA

Arliman, Laurensius, Peranan Metodologi Penelitian Hukum Di Dalam Perkembangan


Ilmu Hukum Di Indonesia, Soumatera Law Review 1, no. 1 2018.

Soepiadhy Soetanto, Undang-Undang Dasar 1945: Kekosongan Politik Hukum Makro,


Kepel Press, 2004.

Triwulan, Titik, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Prestasi Pustakarya, 2006.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum: Edisi Revisi, Prenada Media, 2017.

Hamzah, Andi, Asas-Asas Penting Dalam Hukum Acara Pidana, FH Universitas


Surabaya, Surabaya, 2005

Jazuli Ahmad, Penegakan Hukum Penataan Ruang Dalam Rangka Mewujudkan


Pembangunan Berkelanjutan, Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum
Nasional 6, no. 2 (2017): 263–82.

Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia, 1996.

Dahlan Thaib dan Mila Karmila Adi, Teori Hukum dan Konstitus, 1998.

Moh. Mahfud Md, Politik Hukum di Indonesia, 1998.

Salman, Otje, and Anthon Susanto. Teori Hukum ,mengingat, Mengumpulkan, Dan
Membuka Kembali,. Bandung: Refika Aditama, 2004.

Kusuma, Mahmud. Menyelami Semangat Hukum Progresif Terapi Paradigmatik Bagi


Lemahnya Penegakan Hukum Indonesia. Yogyakarta: AntonyLib-Indonesia, 2009.

16

Anda mungkin juga menyukai