Anda di halaman 1dari 25

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR......................................................................................................................... 2

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................................... 3

A. Latar Belakang Masalah .............................................................................................. 3

B. Rumusam masalah ........................................................................................................ 5

C. Tujuan penulisan .......................................................................................................... 5

D. Manfaat penulisan ........................................................................................................ 5

BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................................... 6

A. Pengertian, Bentuk Dan Dampak Kesenjangan Sosial ................................................. 6

B. Perbuatan Hukum Dan Perbuatan Melawan Hukum .............................................. 9

C. Probematika Dan Penerapan Hukum Dalam Masyarakat ..................................... 16

BAB III PENUTUP ........................................................................................................................... 22

A. Kesimpulan .................................................................................................................. 22

B. Saran ............................................................................................................................ 22

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................ 23


KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Penulis mengucapkan
syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik
maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah
sebagai tugas dari mata kuliah Sosiologi Hukum dengan judul “Perilaku Hukum”.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Demikian semoga makalah ini dapat bermanfaat.
Terima kasih.

Palu, 9 september 2019

Penulis

Kelompok 2
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum Indonesia Tumpul Ke Atas dan Tajam Ke Bawah Saat ini Indonesia
sedang dalam kondisi carut-marut, kondisi krisis di berbagai bidang termasuk bidang
hukum. Hukum yang diharapkan bisa memberikan keadilan bagi masyarakat ternyata
sebaliknya. Efektifitas penegakan hukum hanya berlaku bagi masyarakat kecil yang
melakukan kejahatan kecil. Sedangkan pelaku-pelaku kejahatan besar seperti korupsi,
kolusi, dan nepotisme (KKN) yang lazim disebut penjahat berkerah putih (white
collar crime) sangat sulit untuk disentuh. Dalam hal ini memang diperlukan
keberanian bagi masyarakat khususnya aparat penegak hukum untuk melakukan
terobosan-terobosan dalam menyelesaikan perkara tersebut. Hukum yang berlaku
dalam masyarakat seperti ada pembedaan dalam kelas-kelas sosial. Bagi masyarakat
dalam stratifikasi sosial keatas jelas mendapat perlakuan yang berbeda daripada
masyarakat yang mempunyai stratifikasi sosial kebawah.
Masyarakat yang dalam keluarganya mempunyai kedudukan atau jabatan lebih
tinggi memiliki perlakuan yang istimewa atau kehormatan tersendiri daripada
masyarakat yang berasal dari latar belakang keluarga kalangan biasa atau tidak
mempunyai kedudukan atau jabatan posisi dalam masyarakat. Artinya disini
kedudukan hukum yang berlaku terdapat sebuah indikasi bahwa perlakuan bagi
pelanggar hukum dari aparat penegak hukum terjadi ketidakadilan. Hukum tajam
kebawah dan hukum tumpul keatas, fenomena tersebut hampir terjadi di semua ranah
penjuru tanah air di Indonesia. Berangkat dari pemikiran bahwa tidak sedikit
masyarakat, baik masyarakat terdidik maupun masyarakat tidak terdidik, bahkan
masyarakat yang sehari-harinya menggeluti dunia hukum sekalipun khususnya di
Indonesia, mereka yang masih terheran-heran ketika mereka memahami hukum
adalah sebagai panglima untuk menjawab, memutuskan, ataupun menyelesaikan suatu
perkara atau kasus, ternyata tidak sedikit peraturan-perundangan sebagai hukum
tersebut menjadi mandul tidak melahirkan apa yang diharapkan masyarakat itu.
Harapan masyarakat terhadap hukum jauh dari keadaan atau keinginan dalam
penegakan hukum, hanya akan menambah sebuah kebimbangan di dalam masyarakat.
Hukum yang pada dasarnya dibuat untuk menciptakan ketertiban dan kedamaian di
dalam masyarakat. Maka dari itu sistem dari sebuah hukum harus berjalan layaknya
sebuah rangkaian organ masyarakat harus saling melengkapi dan mempunyai
kesadaran yang tinggi dalam hukum yang berlaku. Paradigma yang memandang
hukum sebagai suatu sistem telah mendominasi pemikiran sebagian terbesar kalangan
hukum, baik para teoritisi maupun kalangan praktisinya sejak lahirnya negara modern
pada abad ke-17 hingga saat ini, yaitu paradigma yang menganggap hukum sebagai
suatu keteraturan (order).
Negara Indonesia yang notabenenya adalah negara hukum, maka segala
sesuatu yang berkenaan dengan pelanggaran hukum atau tidak taat pada aturan hukum
yang ada akan mendapatkan sanksi yang tegas bagi pelakunya. Dianjurkan bagi siapa
saja yang hidup sebagai warga masyarakat yang hidup di bumi pertiwi ini agar dapat
menciptakan keteraturan sosial dengan baik yaitu menjunjung tinggi hukum yang
berlaku. Hukum harus ditegakkan tanpa adanya tebang pilih dalam kasus hukum.
Dalam pandangan Weber, hukum adalah suatu tatanan yang bersifat memaksa
karena tegaknya tatanan hukum itu (berbeda dari tatanan-tatanan dan norma-norma
sosial lain yang bukan hukum) ditopang sepenuhnya oleh kekuatan pemaksa yang
dimiliki oleh negara. Weber membedakan berbagai sistem hukum atas dasar
rasionalitas yang substantif dan formal. Weber mengatakan bahwa memiliki
rasionalitas yang substantif tatkala substansi hukum itu memang terdiri atas aturan-
aturan umum in abstracto yang siap dideduksikan guna menghukumi berbagai kasus-
kasus konkret. Sebaliknya, hukum dikatakan tidak memiliki rasionalitas yang
substantif jika setiap perkara diselesaikan atas dasar kebijaksanaan-kebijaksanaan
politik atau etika yang unik dalam tatanannya. Bahkan mungkin juga diselesaikan
secara emosional yang sama sekali tidak bisa merujuk ke aturan-aturan umum yang
secara objektif ada. Sebaliknya, hukum bisa dikatakan memiliki rasionalitas yang
formal (irasional) jika hukum itu hanya diperoleh melalui ilham-ilham atau lewat
bisikan-bisikan wangsit yang konon diterima oleh para pemuka karismatis sehingga
kebenaran dan kelaikannya tidak bisa diuji secara.
Hal yang menjadi acuan dalam realitas objektif masyarakat yang bersumber
terciptanya aturan atau sanksi yang berlaku dari Negara atau pemerintah adalah pada
tataran hukum. Hukum bersifat tegas dan memaksa manakala bertujuan agar dalam
tatanan masyarakat tercipta ketertiban dan kedamaian. Hukum yang ada dalam
masyarakat yaitu hukum yang digunakan untuk mengatur terhadap kasus-kasus yang
rasionalitas, yaitu bersifat empiris bukan spekulatif. Jika hukum ditegakkan dengan
keadilan maka hukum akan dijunjung tinggi di masyarakat. Hukum tidak memandang
kelas-kelas sosial, kesadaran masyarakat dalam berhukum yang akan menentukan
terhadap jalannya penegakan hukum di Indonesia.
B. Rumusam masalah
1. Bagaimana bentuk serta dampak dari kesenjangan sosial yang terjadi
dimasyarakat?
2. Bagaimana perbuatan hukum serta perbuatan melawan hukum dalam perdata dan
pidana
3. Bagaimana problematika hukum dan penerapan hukum dalam masyarakat?
C. Tujuan penulisan
1. untuk mengetahui bagaimana bentuk serta dampak dari kesenjangan sosial yang
terjadi dimasyarakat
2. untuk mengetahui perbuatan hukum serta perbuatan melawan hukum dalam
perdata dan pidana
3. untuk mengetahui bagaimana problematika hukum dan penerapan hukum dalam
masyarakat
D. Manfaat penulisan
1. Agar pembaca dapat mengetahui/memahami bagaimana perilaku hukum serta
dampak dan kesenjangan yang terjadi dimasyarakat, serta bagaimana
perbuatan hukum dan melawan hukum dan bagaimana hukum itu di tegakkan.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian, Bentuk Dan Dampak Kesenjangan Sosial


1. Pengertian Kesenjangan Sosial Menurut Para Ahli, diantaranya adalah:
- Robert Chambers
Menurut Rober Chambers, Pengertian kesenjangan sosial ekonomi merupakan
gejala yang timbul di dalam masyarakat karena adanya perbedaan batas
kemampuan finansial dan yang lainnya di antara masyarakat yang hidup di
sebuah wilayah tertentu.
- William Ogburn
Menurut William Ogburn kesenjangan sosial adalah perubahan sosial yang
melibatkan segala unsur masyarakat saling berhubungan satu sama lainnya.
Hubungan ini ada yang memliki sifat cepat dan adapula yang lambat, jika
masyarakat melakukan keterlambatan dalam sisi positif perubahan sosial maka
masyarakat akan tertinggal dan berdampak pada kesenjangan sosial yang
semakin nampak pada struktur sosial masyarakat.
- Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
Menurut KBBI pengertian kesenjangan sosial adalah ketidakseimbangan,
perbedaan, jurang pemisah, yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.
- Wikipedia
Menurut Wikipedia kesenjangan sosial ekonomi berhubungan dengan
kesenjangan pendapatan, kekayaan, dan jurang pemisah antara kaya dan
miskin, mengacu pada persebaran ukuran ekonomi di antara individu dalam
kelompok, kelompok dalam populasi, atau antarnegara.
2. Bentuk-bentuk Kesenjangan Sosial
Setelah memahami apa pengertian kesenjangan sosial, maka kita perlu mengetahui
bagaimana bentuk-bentuknya. Secara umum, ada lima bentuk kesenjangan sosial
yang terjadi sebagai berikut:
a. Ekonomi
Dominasi kesenjangan sosial dalam masyarakat seringkali di dasari pada
faktor ekonomi. Faktor ini seolah menjadi penentu status sosial masyarakat,
masyarakat yang memiliki pendapatan ekonomi baik akan diberikan status
sosial yang baik dan sebaliknya masyarakat dengan pendapatan ekonomi
rendah akan mendapatkan status sosial yang biasa saja.
Kondisi kesenjangan sosial yang di dasari pada jenis ekonomi ini menjadi
penyebab masyarakat terdorong mengejar ketertinggalan, baik dengan cara
positif seperti melakukan wirausaha, ataupun dengan cara negatif seperti
melakukan pencurian, penipuan, ataupun dengan cara korupsi (menggambil
uang rakyat).
b. Budaya
Jenis kesenjangan sosial lainnya adalah sektor budaya, sektor ini terjadi karena
eksistensi antara budaya-budaya di seluruh dunia. Budaya yang memiliki
eksistensi baik tentunya akan mendapatkan tiruan dari masyarakat dengan
mudah sedangkan budaya yang kurang memiliki eksistensi akan
mendapatakan penolakan dalam masyarakat.
Contoh kasus dalam kesenjangan sosial jenis ini misalnya saja proses
internasiliasi yang dilakukan oleh orang Korea Selatan dalam mendorong
masyarakat untuk mengikuti kebudayaannya, K-Pop. Kebudayaan ini begitu
familiar hingga menyebabkan masyarakat di seluruh dunia melakukan proses
yang sama, termasuk juga Indonesia.
c. Lingkungan Alam
Lingkungan alam berkaitan dengan kesenjangan sosial dalam sisi SDA
(Sumber Daya Alam) yang berbeda dari wilayah satu dengan wilayah lainnya,
kesenjangan sosial seperti ini mudah saja terjadi dalam masyarakat. Latar
belakang terjadinya kesenjangan sosial dalam lingkungan alam akan membuat
manusia menghabiskan SDA secara membabi buta yang akhirnya warisan
kepada generasi muda akan hilang karena sifat keserakahan.
d. Psikologis
Kesenjangan sosial lainnya, yang menjadi salah satu elemen penting dalam hal
ini adalah psikologi. Psikologis dalam kesenjangan sosial berhubungan erat
dengan perasaan, perasaan untuk cepat kaya karena ketertinggalan atau
kemiskinan, dan perasaan lainnya.
Dampak yang dihasilkan dari kesenjangan sosial psikologis bisa saja
munculnya rasa stres, gila, dan perasaan putus asa. Oleh karenanya banyak
para ahli yang berpendapat bahwa kesenjangan sosial yang merugikan diri
sendiri salah satunya adalah kesenjangan sosial psikologis.
3. Dampak Kesenjangan Sosial
Dilihat dari pengertian kesenjangan sosial, maka berikut ini beberapa dampak dari
kesenjangan sosial sebagai berikut:
a. Kemiskinan
Kemiskinan dalam masyarakat bisa terjadi karena adanya kesenjangan sosial,
hal ini berkiatan dengan status sosial yang berbeda. Semakin orang miskin
maka semakin itu pula ia akan disisihkan dalam pergaulan, karena hidup
dalam proses kapitalis ini dilihat dari segi pendapatan bukan berdasakan pada
kemampuan.
b. Kriminalitas
Tingginya kriminalitas dalam masyarakat bisa menjadi salah satu dampak
nyata dalam kesenjangan sosial, dampak ini terjadi karena masyarakat terlalu
bernafsu untuk membahagiakan dirinya dan mengejar targer-target yang di
dapatkannya. Kondisi ini tentu saja akan mendorong masyarakat melakukan
tindakan terlarang, seperti mencuri, menipu, dan lain sebagainya.
c. Konflik Sosial
Perbedaan status yang di dapatkan pada seseorang akan berakibat pada
terbentuknya konflik sosial, konflik ini dilatarbelakangi dengan kecemburuan
pada masyakat yang bisa berkibat pada rusaknya keteraturan sosialnya. Oleh
karena itulah salah satu efek nyata dalam hal ini adanya konflik sosial.
d. Penyimpangan Sosial
Dampak negatif dari kesenjangan sosial lainnya adanya penyimpangan sosial
masyarakat, penyimpangan ini terjadi karena status yang di perolehnya lebih
tinggi atau lebih rendah. Orang yang merasa pada perekonomian yang baik
seringkali beranggapan bahwa orang miskin adalah orang hina, yang akhirnya
ia tidak percaya dengan apa yang dilakukannya. Atas landasan itulah bisa
dikatakan bahwa penyimpangan sosial dalam masyarakat adalah salah satu
kasus nyata terjadinya kesenjangan sosial.
e. Pengangguran
Kesenjangan sosial yang lainnya bisa timbul karena pengangguran yang
semakin tinggi. Hal ini banyak didasari pada kesempatan dia bekerja, orang
yang memiliki pendidikan baik akan dianggap mampu mendapatkan pekerjaan
yang baik, dan begitu pula sebaliknya dengan pendidikan rendah ia akan
memperoleh pendapatan yang rendah bahkan sulit dalam mendapatkan
pekerjaan.
f. Kompetisi
Kompetisi yang semakin tinggi dalam masyarakat adalah salah satu dari jenis
dampak kesenjangan sosial yang positif dengan kompetisi ini masyarakat akan
berlomba-lomba mendapatkan apa yang di inginkannya. Keadaan ini akan
menyebabkan masyarakat untuk berupaya kreatif serta berinovasi dalam
berbagai sisi kehidupan.
 Contoh Kesenjangan Sosial
Contoh konkrit kondisi kesenjangan sosial dalam kehidupan nyata di Indonesia dapat
dilihat di Jakarta sebagai ibukota negara. Sebagai kota metropolitan dengan banyak
gedung-gedung tinggi, rumah-rumah mewah, teknologi yang sangat maju, namun
kenyataannya masih banyak masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan
dengan lingkungan tempat tinggal yang kumuh.
Kondisi seperti ini juga banyak terjadi di wilayah lain dan hingga saat ini belum
mendapatkan solusi yang nyata. Hal ini karena kesenjangan sosial bukanlah masalah
yang bisa diatasi dengan mudah dan cepat karena menyangkut hayat hidup banyak
orang dan komunitas yang terlibat.
 Contoh kesenjangan sosial lainnya yang terdapat di masyarakat:
o Ketidakadilan hukum; koruptor yang mengambil uang negara miliaran
rupiah dihukum penjara selama 2 tahun, sedangkan pencuri kambing dihukum
3 tahun penjara.
o Fasilitas umum; kurangnya fasilitas umum bagi para penyandang cacat.
o Perlakuan sosial; masyarakat yang berpenampilan mewah diperlakukan lebih
baik oleh pelayan ketimbang masyarakat dengan berpenampilan biasa saja.
B. Perbuatan Hukum Dan Perbuatan Melawan Hukum
1. Perbuatan hukum
Perbuatan hukum menurut R. Soeroso dalam bukunya pengantar ilmu hukum
(hal.291) adalah setiap perbuatan manusia yang dilakukan dengan sengaja untuk
menimbulkan hak dan kewajiban. Perbuatan hukum adalah setiap perbuatan
subjek hukum (manusia atau badan hukum) yang akibatnya diatur oleh hukum
karena akibat itu bisa dianggap sebagai kehendak dari yang melakukan hukum.
Lebih lanjut dijelaskan oleh Soeroso dalam buku yang sama (hal.291-292) bahwa
perbuatan hukum atau tindakan hukum baru terjadi apabila ada “pernyataan
kehendak” untuk adanya pernyataan kehendak diperlukan:
a. Adanya kehendak orang itu untuk bertindak menerbitkan/menimbulkan akibat
yang diatur oleh hukum
b. Pernyataan kehendak pada asasnya tidak terikat pada bentuk-bentuk tertentu dan
tidak ada pengecualiannya, sebab dapat terjadi secara:
1. Pernyataan kehendak secara tegas, dapat dilakukan dengan:
a. Tertulis, yang dapat terjadi antara lain:
- Ditulis sendiri
- Ditulis oleh pejabat tertentu dan ditanda tangani oleh pejabat itu,
disebut juga akta otentik atau akta resmi seperti: mendirikan PT.
Dengan akta notaris, suatu pernikahan dengan surat nikah dan seorang
lulus ujian diberikan ijazah/sertifikat.
b. Mengucapkan kata, pernyataan kehendak ini cukup dengan kata setuju,
misalnya dengan mengatakan oke, ya, acc dan semacamnya.
c. Isyarat (gerben) pernyataan kehendak secara tegas dengan isyaratnya,
misalnya: dengan menganggukkan kepala tanda setuju, menenggelamkan
menyatakan menolak atau dengan sikap tangan atau bahu, mencibirkan
mulut, mengerlingkan mata dan sebagainya.
2. Pernyataan kehendak secara diam-diam dapat diketahui dari sikap atau
perbuatan misalnya:
a. Sikap diam yang ditunjukkan dalam rapat berarti setuju
b. Seorang gadis yang ditanyakan oleh orang tuanya untuk dinikahkan
dengan seorang pemuda. Gadis itu diam diri berarti setuju.
3. Perbuatan hukum terdiri dari:
a. Perbuatan hukum sepihak adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh
satu pihak saja dalam menimbulkan hak dan kewajiban oleh satu pihak
pula misalnya:
- Pembuatan surat wasiat (pasal 875 KUH Perdata)
- Pemberian hibah suatu benda (pasal 1666 KUH Perdata)
b. Perbuatan hukum dua pihak adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh
dua pihak dan menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi kedua
pihak (timbal-balik). Misalnya: persetujuan jual beli (pasal 1457 KUH
Perdata) perjanjian sewa menyewa dan lain-lain.
2. Pengertian perbuatan melawan hukum secara perdata dan pidana
a. Perbuatan melawan hukum secara perdata adalah:
- Suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang mengakibatkan
timbulnya kerugian bagi orang lain tanpa sebelumnya ada sesuatu
hubungan hukum, dimana perbuatan atau tidak berbuat tersebut, baik
merupakan perbuatan biasa maupun biasa juga merupakan suatu
kecelakaan.
- Tidak memenuhi suatu kewajiban yang dibebankan oleh hukum,
kewajiban mana di tunjukan terhadap setiap orang pada umumnya, dan
dengan tidak memenuhi kewajibannya tersebut dapat dimintakan suatu
ganti rugi.
- Suatu kesalahan perdata (civil wrong) terhadap mana suatu ganti
kerugian dapat dituntut bukan merupakan suatu wanprestasi terhadap
suatu kontrak, atau wanprestasi terhadap kewajiban trust, ataupun
prestasi terhadap kewajiban equity lainnya.
- Suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang secara bertentangan
dengan hukum melanggar hak orang lain yang diciptakan oleh hukum,
dan karenanya suatu ganti rugi dapat dituntut oleh pihak yang
dirugikan.
- Suatu kerugian yang tidak disebabkan oleh wanprestasi terhadap
kontrak, atau lebih tepatnya, merupakan suatu perbuatan yang
merugikan hak-hak orang lain yang diciptakan oleh hukum yang tidak
terbit dan hubungan kontraktual.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


Indonesia, suatu perbuatan melawan hukum harus mengandung unsur-unsur
sebagai berikut: Ada suatu perbuatan, perbuatan itu melawan hukum, ada
kesalahan pelaku, ada kerugian bagi korban, ada hubungan kausal antara
perbuatan dengan kerugian. Hukum di Indonesia mengatur tiap-tiap perbuatan
melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan
karena salahnya menerbitkan kerugian itu untuk mengganti kerugian. Intinya,
apabila ada seorang yang melakukan perbuatan melawan hukum (PMH) maka
diwajibkan untuk memberikan ganti kerugian. Sisi yang lain, orang yang
mengalami kerugian tersebut dijamin haknya oleh Undang-Undang untuk
menuntut ganti rugi.

Marium Darus Badrulzaman, mengatakan: “Pasal 1365 KUH Perdata


menentukan bahwa setiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian
kepada seorang lain mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian ini
mengganti kerugian tersebut”. Selanjutnya dikatakan bahwa: “Pasal 1365 KUH
Perdata ini sangat penting artinya karena melalui pasal ini hukum yang tidak
tertulis diperhatikan oleh Undang-Undang”. Sebagai pedoman dapat digunakan
ketentuan pasal 1247 dan 1248 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa
pembayaran ganti rugi hanya diberikan atas kerugian yang sudah diduga dan
merupakan akibat langsung dari tidak terpenuhinya perikatan. Dengan demikian
persoalannya adalah apakah kerugian atas kehilangan keuntungan yang
diharapkan sudah dapat diduga oleh tergugat dan hal tersebut merupakan akibat
langsung karena tidak dipenuhinya perikatan.

b. Unsur Perbuatan Melawan Hukum


Ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata Indonesia, menerangkan bahwa suatu
perbuatan melawan hukum harus mengandung unsur-unsur adanya suatu
perbuatan, perbuatan itu melawan hukum adanya kesalahan bagi pelaku
adanya kerugian bagi korban, adanya hubungan kausal antara perbuatan dan
pelaku:
1. Ada Suatu Perbuatan
Perbuatan disini adalah perbuatan melawan hukum secara keperdataan
yang dilakukan oleh pelaku, secara umum perbuatan ini mencakup berbuat
suatu (dalam arti aktif) dan tidak berbuat sesuatu (dalam arti pasif),
misalnya tidak berbuat sesuatu, padahal pelaku mempunyai kewajiban
hukum untuk berbuat, kewajiban itu timbul dari hukum. (ada pula
kewajiban yang timbul dari suatu kontrak). Dalam perbuatan melawan
hukum harusnya tidak ada unsur persetujuan atau kata sepakat serta tidak
ada pula unsur kausa yang diperbolehkan seperti yang terdapat dalam
suatu perjanjian atau kontrak.
2. Perbuatan Bersifat Melawan Hukum
Perbuatan yang dilakukan itu, harus melawan hukum, unsur melawan
hukum diartikan dalam arti seluas-luasnya, sehingga meliputi hal-hal
sebagai berikut:
- Perbuatan melanggar Undang-Undang;
- Perbuatan melanggar hak orang lain yang dilindungi hukum
- Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
- Perbuatan yang bertentangan kesusilaan (geoze zeden)
- Perbuatan yang bertentangan sikap baik dalam masyarakat untuk
memperhatikan kepentingan orang lain.
3. Ada kesalahan Pelaku
Undang-undang dan Yurisprudensi mensyaratkan untuk dapat
dikategorikan pembuatan melawan hukum sesuai Pasal 1365 KUH Perdata
Indonesia, maka pelaku harus mengandung unsur kesalahan
(schuldelement) dalam melakukannya perbuatan tersebut. Oleh karena itu,
tanggung jawab tanpa kesalahan (strict liability) tidak termasuk tanggung
jawab dalam Pasal 1365 KUH Perdata Indonesia, bilamana dalam hal-hal
tertentu berlaku tanggungjawab tanpa kesahalan (strict Liability), hal
demikian bukan berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata Indonesia.
c. Perbuatan Melawan Hukum Secara Pidana
Perbuatan melawan hukum dalam konteks hukum pidana, menurut pendapat
dari Satochid Kartanegara, “melawan hukum” (Wederrechtelijk) dalam hukum
pidana dibedakan menjadi:
1. Wederrechtelijk formil, yaitu apabila sesuatu perbuatan dilarang dan
diancam dengan hukuman oleh undang-undang.
2. Wederrechtelijk Materiil, yaitu sesuatu perbuatan “mungkin”
wederrechtelijk, walaupun tidak dengan tegas dilarang dan diancam
dengan hukuman oleh undang-undang. Melainkan juga asas-asas umum
yang terdapat di dalam lapangan hukum (algemen beginsel).

Lebih lanjut Schaffmeister, sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah dalam


bukunya berpendapat bahwa “melawan hukum” yang tercantum di dalam rumusan
delik yang menjadi bagian inti delik sebagai “melawan hukum secara khusus” (contoh
Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHP), sedangkan “melawan
hukum” sebagai unsur yang tidak disebut dalam rumusan delik tetapi menjadi dasar
untuk menjatuhkan pidana sebagai “melawan hukum secara umum” (contoh Pasal 351
KUHP).

Pendapat dari Schaffmeister ini benar-benar diterapkan dalam hukum positif di


Indonesia, contohnya dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU Tipikor). Dalam Pasal 2 UU Tipikor terdapat unsur melawan hukum,
sedangkan dalam Pasal 3 UU Tipikor tidak dicantumkan unsur “melawan hukum”.
Lebih jelas lagi dalam penjelasan Pasal 2 UU Tipikor disebutkan: Yang dimaksud
dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan
hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan
tersebut tidak diatur dalam peraturan perudang-undangan, namun apabila perbuatan
tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma
kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.

Pendapat para ahli hukum Pidana Indonesia berdasarkan kepada literatur Belanda
seperti menurut Poernomo melawan hukum dapat dapat diartikan melawan Undang-
undang maupun hukum diluar undang-undang. Andi hamzah mengemukakan bahwa
bukan hanya bertentangan dengan undang-undang saja yang dikatakan sifat melawan
hukum dalam hukum Pidana namun juga kepatutan, kelaziman didalam pergaulan
masyarakat yang dipandang perbuatan meawan hukum yang pengertiannya sama
dengan melanggar hukum (onrechtmatige) dalam hukum Perdata.

Sementara Munir Fuady menyatakan: “Hanya saja yang membedakan antara


perbuatan (melawan hukum) pidana dengan perbuatan melawan hukum (perdata)
adalah bahwa sesuai dengan sifatnya sebagai hukum publik, maka dengan perbuatan
pidana, ada kepentingan umum yang dilanggar (disamping mungkin juga kepentingan
individu), sedangkan dengan perbuatan melawan hukum (perdata) maka yang
dilanggar hanya kepentingan pribadi saja.”

Istilah Melawan hukum dan melawan Undang-undang, Sudiman Kartohadiprojo


mengatakan hukum adalah sesuatu yang bersangkutan dengan manusia, dalam
keadaan hubungannya dengan manusia lainnya. Secara umum hukum adalah: segala
aturan baik tidak tertulis maupun yang tertulis, yang mengatur mengenai kehidupan
dan penghidupan dalam hubungan manusia dengan sesamanya beserta kepentingan-
kepentingannya, sedangkan Undang-undang adalah merupakan bagian tertulis dari
hukum pada umumnya. Bersifat melawan Undang-undang berarti bertentangan
dengan Undang-undang atau tidak sesuai dengan larangan/keharusan yang ditentukan
dalam Undang-undang, atau menyerang suatu kepentingan yang dilindungi oleh
Undang-undang tersebut. Bersifat Melawan Hukum berarti: Bertentangan dengan
hukum atau tidak sesuai dengan larangan atau keharusan hukum atau menyerang
suatu kepentingan yang dilindungi oleh hukum. Dalam hal ini yang dimaksud dengan
hukum adalah hukum positif (hukum yang berlaku).

Dalam sistem perundang-undangan hukum pidana yang berlaku sekarang ternyata


bersifat melawan hukum tidak selalu dicantumkan sebagai salah satu unsur delik.
Akibatnya timbul persoalan apakah sifat melawan hukum harus selalu dianggap
sebagai salah satu unsur delik, walaupun tidak dirumuskan secara tegas, ataukah baru
dipandang sebagai unsur dari suatu delik jika dengan tegas dirumuskan dalam delik.
Pasal-pasal di dalam KUHP yang dengan tegas mencantumkan sifat melawan hukum
antara lain adalah Pasal-pasal: Pasal 167, Pasal 168, Pasal 333, Pasal 334, Pasal 335,
Pasal 362, Pasal 368, Pasal 378, Pasal 406 dan termasuk juga Pasal-pasal 302, 392,
282 dan sebagainya.

Dari pengertian sifat melawan hukum dan pembagiannya di atas, maka dapat
dinyatakan bahwa sifat melawan hukum memiliki 4 (empat) makna:
Pertama, sifat melawan hukum diartikan syarat umum dapat dipidananya suatu
perbuatan sebagaimana definisi perbuatan pidana yakni kelakukan manusia yang
termasuk dalam rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela;
Kedua, kata melawan hukum dicantumkan dalam rumusan delik, dengan demikian
sifat melawan hukum merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu
perbuatan;
Ketiga, sifat melawan hukum formil mengandung arti semua unsur dari rumusan delik
telah terpenuhi; dan
Keempat, sifat melawan hukum materiil mengandung 2 (dua) pandangan, pertama
dari sudut perbuatannya yang mengandung arti melanggar atau membahayakan
kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat undang-undang dalam
rumusan delik, dan kedua dari sudut sumber hukumnya, dimana sifat melawan hukum
mengandung pertentangan dengan asas kepatutan, keadilan, dan hukum yang hidup di
masyarakat.
C. Probematika Dan Penerapan Hukum Dalam Masyarakat
1. Problematika Penegakan Hukum
Hukum merupakan salah satu bidang yang keberadaannya sangat essensial
sifatnya untuk menjamin kehidupan bermasyarakat dan bernegara, apalagi negara
Indonesia adalah negara hukum, yang berarti bahwa setiap perbuatan aparat
negara harus berdasar hukum, serta setiap warga harus mentaati hukum.
Menurut Soerjono Soekanto, hukum dapat berfungsi dengan baik diperlukan
keserasian dan hubungan antara empat faktor, yakni:
a. Hukum dan peraturan itu sendiri.
Kemungkinannya adalah bahwa terjadi ketidak cocokan dalam peraturan
perundang-undangan mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu.
Kemungkinan lainnya adalah ketidakcocokan antara peraturan perundang-
undangan dengan hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan. Kadangkala
ketidakserasian antara hukum tertulis dengan hukum kebiasaan, dan
seterusnya.
b. Mentalitas Petugas yang menegakkan hukum.
Penegak hukum antara lain mencakup hakim, polisi, jaksa, pembela, petugas
pemasyarakatan, dan seterusnya. Apabila peraturan perundang-undangan
sudah baik, akan tetapi jika mental penegak hukum kurang baik, maka akan
terjadi pada sistem penegakkan hukum.
c. Fasilitas yang diharapkan untuk mendukung pelaksanaan hukum.
Kalau peraturan perundang-undangan sudah baik dan juga mentalitas
penegaknya baik, akan tetapi fasilitas kurang memadai, maka penegakkan
hukum tidak akan berjalan dengan semestinya.
d. Kesadaran dan kepatuhan hukum dari para warga masyarakat.
Namun dipihak lain perlu juga disadari bahwa penegakan hukum bukan tujuan
akhir dari proses hukum karena keadilan belum tentu tercapai dengan
penegakan hukum, padahal tujuan akhirnya adalah keadilan.
Masalah utama penegakan hukum di negara-negara berkembang khususnya
Indonesia bukanlah pada sistem hukum itu sendiri, melainkan pada kualitas manusia
yang menjalankan hukum (penegak hukum). Dengan demikian peranan manusia yang
menjalankan hukum itu (penegak hukum) menempati posisi strategis. Masalah
transparansi penegak hukum berkaitan erat dengan akuntabilitas kinerja lembaga
penegak hukum. Undang-undang No. 28 tahun 1999 tentang penyelenggara negara
yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, telah menetapkan beberapa
asas. Asas-asas tersebut mempunyai tujuan, yaitu sebagai pedoman bagi para
penyelenggara negara untuk dapat mewujudkan penyelenggara yang mampu
menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggungjawab.
Penegak hukum yang bertugas menerapkan hukum mencakup ruang lingkup yang
sangat luas, meliputi: petugas strata atas, menengah dan bawah. Maksudnya adalah
sampai sejauhmana petugas harus memiliki suatu pedoman salah satunya peraturan
tertulis yang mencakup ruang lingkup tugasnya. Dalam penegakkan hukum, menurut
Zainuddin Ali, kemungkinan penegak hukum mengahadapi hal-hal sebagai berikut:
1. Sampai sejauh mana petugas terikat dengan peraturan yang ada,
2. Sampai batas-batas mana petugas berkenan memberikan kebijakan,
3. Teladan macam apakah yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada
masyarakat,
4. Sampai sejauh manakah derajat sinkronisasi penugasan yang diberikan kepada
para petugas sehingga memberikan batas-batas yang tegas pada wewenangnya.
Dalam hal aparat penegak hukumnya, dapatlah kita katakan bahwa di Indonesia
hubungan antara negara dan badan-badan penegak hukum terjadi monopoli atas
kekerasan yang memang dibenarkan oleh negara. Memang pada umumnya aparat
penegak hukum dengan segala institusinya adalah menjaga ketertiban dan kedaulatan
negara Indonesia. Persenyawaan ini semakin menggelinding ketika negara sangat
tergantung kepada keahlian dan ketaatan mereka para penegak hukum terhadap tugas
yang diembannya. Dan kenyataan yang demikianlah maka kontrol masyarakat tidak
berdaya (berada pada posisi fatalisme “subhuman”). Masyarakat hanya akan taat dan
tunduk terhadap perlakuan hukum yang ada, biar bagaimanapun unsur kekuasaan
akan berpengaruh terhadap dominasi dalam struktur hukum.
Dalam berbagai penanganan kasus hukum yang terjadi di tanah air, seringkali
mencuat menjadi bahan perbincangan publik karena putusan peradilan dianggap
mengabaikan nilai-nilai keadilan yang semestinya dirasakan oleh masyarakat dan
pencari keadilan. Proses hukum di lingkungan peradilan Indonesia hingga saat ini
dianggap belum sepenuhnya mencerminkan nilai-nilai keadilan yang sesungguhnya.
Keadilan seolah menjadi “barang mahal” yang jauh dari jangkauan masyarakat.
Beberapa kasus yang sempat melukai rasa keadilan masyarakat diantaranya kasus
penempatan Artalyta Suryani di ruang khusus yang cukup mewah di Rumah Tahanan
Pondok Bambu dan kelambanan penanganan kasus Anggodo merupakan sedikit dari
wajah buram penegakan hukum yang berkeadilan di Indonesia. Belum lagi kasus Prita
Mulyasari yang dianggap menghina pihak Rumah Sakit Omni International, pencurian
buah semangka, randu, tanaman jagung, ataupun pencurian biji kakao oleh Nenek
Minah, semakin menambah daftar panjang potret buram dalam praktik penegakan
hukum di negeri ini.
Dari serangkaian kasus diatas jelas terlihat perbedaan perlakuan dalam hal hukum.
Hukum yang semestinya ditegakkan dan dijalankan sebagaimana mestinya, membuat
masyarakat semakin bertanya-tanya dalam proses penegakan hukum di Indonesia.
Fungsi hukum seolah-olah menjadi bergeser, hukum dihadapkan pada berbagai arena
kepentingan. Penegakan hukum seyogyanya dapat berjalan sesuai dengan tujuan
hukum, sehingga hukum akan berjalan apa adanya tanpa adanya tekanan dari pihak
mana saja. Lemahnya mentalitas aparat penegak hukum mengakibatkan penegakkan
hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Banyak faktor yang mempengaruhi
lemahnya mentalitas aparat penegak hukum diantaranya lemahnya pemahaman
agama, ekonomi, proses rekruitmen yang tidak transparan dan lain sebagainya.
Sehingga dapat dipertegas bahwa faktor penegak hukum memainkan peran penting
dalam memfungsikan hukum. Kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas penegak
hukum rendah maka akan ada masalah. Demikian juga, apabila peraturannya buruk
sedangkan kualitas penegak hukum baik, kemungkinan munculnya masalah masih
terbuka.
2. Penerapan Hukum dalam Masyarakat
Pada dasarnya manusia itu adalah sebagai makhluk bertindak yang bukan saja
merespon tetapi juga beraksi dan dengan aksinya itu maka terciptalah satuan-
satuan kegiatan untuk hal mana menghilangkan kebimbangan, kecemasan, dan
membangun percaya diri, serta gairah dalam kehidupan. Namun, semuanya
berjalan dengan kekerasan, kekotoran, kesendirian, prinsip hidup yang pendek,
diliputi rasa takut, manakala tidak adanya sistem sosial (aturan sosial) untuk
menertibkan dan mengorganisir maka keberadaan peraturan perundangan atau
hukumlah sebagai alat kontrolnya (hukum sebagai kontrol sosial dan sistem
sosial).
Hukum yang berjalan dalam masyarakat sebagai wujud dari pengendalian
sosial, siapa yang bermain-main dengan pelanggaran hukum, maka akan
terkungkung pula dalam lingkaran peraturan hukum. Hukum berlaku bagi semua
kalangan, tidak mengenal stratifikasi sosial dalam penegakan hukum, tetapi realita
yang terjadi berbanding terbalik dari prinsip hukum, hukum dijadikan alat bagi
mereka yang mempunyai kepentingan. Sesuai struktur hukum dalam suatu negara
bahwa hukum yang paling tinggi dalam suatu negara adalah hukum negara dalam
hal mana peraturan perundangan atau hukum yang berada dibawahnya harus
tunduk dan tidak boleh bertentangan dengan hukum negara. Plato, T. Hobbes dan
Hegel, bahwa hukum Negara lebih tinggi dari hukum yang lainnya sehingga tidak
ada hukum lain yang bertentangan dengan hukum negara. Hukum yang
berkembang dalam masyarakat, yaitu hukum yang berkenaan dengan maraknya
kasus-kasus saat ini sangat mempengaruhi pola pikir dari warga masyarakat.
Sebagai contoh hukum yang diterapkan dengan tidak menjunjung asas
keadilan dalam masyarakat, yaitu hukum tumpul keatas dan hukum tumpul
kebawah. Perlakuan yang berbeda dari penegakan hukum, sehingga terdapat kesan
hukum hanya berlaku bagi masyarakat kelas bawah sedangkan hukum bagi
penguasa dapat diperjual belikan. Fakta yang sangat ironis sekali, hukum tidak
berjalan sebagaimana mestinya. Hukum yang diterapkan dalam masyarakat akan
membawa pengaruh bagi masyarakat.
Dalam proses penegakan hukum, pengadilan yang memutuskan terhadap
sebuah perkara. Sosiologi hukum lebih melihat kepada hubungan sosial yang
terjadi dalam proses penegakan hukum dan putusan hukum sehingga akan
menimbulkan dampak secara sosial. Dampak diberlakukannya hukum negara
tersebut akan berpengaruh terhadap individu atau kelompok yang sedang
bermasalah dengan hukum, keluarga masing-masing, kelompok-kelompok atau
organisasi kemasyarakatan, masyarakat dalam arti luas, dan media massa pun
turut berperan andil dalam sebuah kabar berita pada hukum yang berlaku di
masyarakat.
3. Kajian Perspektif Sosiologi Hukum
Donald Black berpendapat bahwa efektifitas hukum adalah masalah pokok
dalam sosiologi hukum yang diperoleh dengan cara memperbandingkan antara
realitas hukum dalam teori, dengan realitas hukum dalam praktek sehingga
nampak adanya kesenjangan antara keduanya. Hukum dianggap tidak efektif jika
terdapat perbedaan antara keduanya. Untuk mencari solusinya, langkah solusinya,
langkah apa yang harus dilakukan untuk mendekatkan kenyataan hukum (das
sein) dengan ideal hukum (das sollen) agar 2 (dua) variabel (law in books dan law
in action menjadi sama). Hukum yang efektif adalah hukum yang sesuai dengan
peraturan yang telah dibuat dalam undang-undang dan hukum yang sesuai dengan
harapan atau cita-cita dari masyarakat. Manakala dengan adanya hukum tersebut
akan menjadikan keteraturan sosial dalam masyarakat. Berbicara tentang hukum
memang sangat pelik terdapat takaran sebuah kenyataan hukum dan sebuah ideal
hukum. Kadangkala apa yang sudah menjadi ketetapan dalam undang-undang
sebuah hukum tidak sesuai dengan keinginan masyarakat, ataupun sebaliknya
masyarakat menginginkan sebuah hukum yang baru.
Perubahan hukum dalam masyarakat dapat saja terjadi karena dirasa memang
sangat perlu yaitu dengan hadirnya peraturan atau norma-norma yang sesuai
dengan keadaan zaman masa kini. Berangkat dari beberapa konsep dasar
karakteristik dan hal-hal yang dikaji sosiologi hukum, maka bisa disimpulkan
bahwa kegunaan sosiologi hukum sebagai ilmu pengetahuan untuk memahami
perkembangan masyarakat dalam kacamata kerangka terorganisir dan berproses
yang sepantasnya terjadi di masyarakat (bukan kerangka logis atau ideal) dalam
studi hubungan atau interaksi sosial masyarakat berhukum, maka dapatlah kita
runtut bahwa sosiologi hukum sebagai alat memahami perkembangan masyarakat
mempunyai kegunaan antara lain sebagai berikut:
a. Sosiologi hukum berguna dalam memberikan dasar-dasar kemampuan bagi
proses pemahaman secara sosiologis fakta sosial hukum yang beranak-pinak
di masyarakat.
b. Sosiologi hukum dapat memberikan kemampuan untuk menganalisis aktivitas
kegiatan dalam masyarakat berhukum melalui penguasaan konsep-konsep
dasar sosiologi (baik secara mikro, meso, ataupun makrososiologi hukumnya).
c. Sosiologi hukum memberikan kemampuan dalam memprediksi dan evaluasi
“social fact” yang berkaitan dengan hukum yang bersifat empiris, non-
doktrinal dan non-normatif.
d. Sosiologi hukum dapat mengungkapkan tentang ideologi dan falsafah yang
berkristal mendasari cara berhukumnya dalam masyarakat.
e. Mengetahui kenyataan stratifikasi yang timbul dan berkembang serta
berpengaruh dalam hukum di masyarakat.
f. Sosiologi hukum juga mampu memberikan tentang pengetahuan perubahan
sosial hukum.
Sosiologi hukum merupakan kajian yang mempelajari tentang dampak
diberlakukannya sebuah hukum di dalam masyarakat, sehingga gejala-gejala sosial
dapat muncul dan berkembang dalam masyarakat. Gejala sosial yang nampak adalah
peristiwa bagi suatu individu atau kelompok sosial ketika mereka berhadapan dengan
hukum. Sebagaimana seperti kasus-kasus yang pernah mengemuka di berbagai media
baik televisi, radio, surat kabar atau koran, media online atau internet, dan lain-lain.
Seperti kasus beberapa tahun lalu yaitu Artalyta Suryani dan Anggodo, yang
merupakan orang penting dan mempunyai status sosial yang tinggi maka dalam
perlakuan hukum lebih diistimewakan oleh aparat penegak hukum. Berbeda dengan
kasus Prita Mulyasari dan Nenek Minah yang berasal dari kalangan masyarakat biasa,
sehingga dengan mudah berhadapan dengan proses hukum.

Sosiologi hukum melihat tatanan realita empiris di masyarakat yang berhubungan


dengan penerapan hukum. Apakah terjadi keadilan atau tidak dalam mengungkap
sebuah fakta hukum yang ada. Masyarakat pun dapat menilai betapa berfungsinya
dengan baik atau tidak para aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya,
sehingga kadangkala stratifikasi sosial dalam masyarakat cukup berpengaruh besar
dalam sistem penegakan hukum. Artinya orang yang mempunyai jabatan atau
kedudukan dalam kepemerintahan maka akan dengan mudah untuk mempengaruhi
dalam berjalannya mekanisme hukum, sedangkan orang yang tidak mempunyai apa-
apa hanya bisa pasrah dan tunduk pada aturan hukum yang ada. Respon dari
masyarakat pun cukup tinggi terhadap penegakan hukum yang dianggap masih kurang
adil dan belum berjalannya hukum yang sesuai dengan harapan masyarakat.

Dampak yang ditimbulkan dengan adanya hukum yang tidak adil adalah
masyarakat kurang dapat percaya terhadap penegakan hukum, sehingga citra hukum
di mata masyarakat menjadi pudar. Alih-alih tujuan diterapkannya hukum adalah agar
tercipta ketertiban dan kedamaian didalam masyarakat. Sosiologi hukum tidak
berbicara mengenai substansi atau materi hukum, tetapi lebih merujuk pada dampak
diterapkannya sumber hukum.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Ada lima bentuk kesenjangan sosial yang terjadi yaitu Ekonomi, Budaya,
Lingkungan Alam, Psikologis. Selain itu terdapat beberapa dampak kesenjangan
sosial yaitu Kemiskinan, Kriminalitas, Konflik Sosial, Penyimpangan Sosial, dan
Pengangguran.
2. Perbuatan hukum atau tindakan hukum baru terjadi apabila ada “pernyataan
kehendak”Adanya kehendak orang itu untuk bertindak menerbitkan/menimbulkan
akibat yang diatur oleh hukum, Pernyataan kehendak pada asasnya tidak terikat
pada bentuk-bentuk tertentu dan tidak ada pengecualiannya. Serta Sifat Melawan
Hukum berarti Bertentangan dengan hukum atau tidak sesuai dengan larangan
atau keharusan hukum atau menyerang suatu kepentingan yang dilindungi oleh
hukum.Dalam hal ini yang dimaksud dengan hukum adalah hukum positif (hukum
yang berlaku).
3. Hukum dan manusia tidak dapat dipisahkan, manusia yang membuat aturan dan
manusia juga yang dapat merubah tatanan undang-undang dalam hukum. Proses
penegakan hukum masih jauh dari harapan kita semua, hukum tumpul keatas dan
hukum tajam kebawah. Hukum semestinya dapat berjalan secara efektif apabila
semua sadar diri akan pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai hukum yang
berada dalam masyarakat.
Gejala sosial yang muncul dari penerapan hukum adalah suatu bentuk dari ilmu
sosiologi hukum. Aspek yang dikaji meliputi dampak penegakan hukum bagi
masyarakat, stratifikasi sosial dalam hukum, realitas hukum masyarakat dan ideal
hukum masyarakat, perkembangan masyarakat dalam perubahan sosial hukum,
dan lain-lain..
B. Saran
Adapun saran dari makalah ini, yaitu agar kiranya mhasiswa lebih mudah memahami
tentang perilaku hukum dan kesenjangan sosial terhadap perilaku hukum pada
masyarakat, sebagai pengembangan keilmuan khususnya dalam peningkatan
pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, zainuddin. 2006. Sosiologi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika


Soekanto, Soerjono. 2011. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
http://lbhamin.org/perbuatan-melawan-hukum/ di akses pada minggu 8 september
2019, pada jam 20.00 WITA
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5ceb4f8ac3137/arti-perbuatan-
hukum--bukan-perbuatan-hukum-dan-akibat-hukum/ pada minggu 8 september
2019, pada jam 20.15 WITA
http://dosensosiologi.com/pengertian-kesenjangan-sosial-dampak-dan-contohnya-di-
masyarakat/ pada minggu 8 september 2019, pada jam 20.25 WITA
https://kbbi.web.id/ pada minggu 8 september 2019, pada jam 20.45 WITA

https://en.wikipedia.org/w/index.php?sort=relevance&search=kesenjangan+sosial&title
=Special%3ASearch&profile=advanced&fulltext=1&advancedSearch-
current=%7B%7D&ns0=1 pada minggu 8 september 2019, pada jam 21.00 WITA
MAKALAH SOSIOLOGI HUKUM
“Perilaku Hukum”

Oleh:
Kelompok II

Narimansaddiq Intjemakkah D 102 19 035


Moh. Razik A Suralele D 102 19 036
Sukrani D 102 19 037
Sumarlin D 102 19 038
Rifki Rivaldi D 102 19 039

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TADULAKO
2019

Anda mungkin juga menyukai