Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH "SISTEM HUKUM

INDONESIA"
Written By Imam Losaries on Kamis, 11 April 2013 | 07.58

SISTEM HUKUM INDONESIA

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI ...........................................................................................................

BAB I. PENDAHULUAN .....................................................................................

A. Maksud dan Tujuan Penulisan Makalah ......................................................

B. Latar Belakang Masalah ...............................................................................

BAB II. PERMASALAHAN .....................................................................................

BAB III. PEMBAHASAN MASALAH ..................................................................

BAB IV. PENUTUP ..................................................................................................

A. Kesimpulan ....................................................................................................

B. Saran ..............................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................


BAB I
PENDAHULUAN

A. Maksud Dan Tujuan Penulisan


Adapun alasan yang membuat penulis mengangkat inkonsistensi penegakan hukum di
Indonesia sebagai judul makalah karena hukum dimata masyarakat saat ini mengalami krisis
kredibilitas. Dimana terungkapnya banyak kasus kecurangan dalam penegakan hukum di
Indonesia mengarahkan masyarakat berpikir kepada bahwa hukum hanya untuk mereka yang
memiliki uang, kekuasaan atau jabatan maupun kekuatan politik sehingga dengan itu mereka
bisa membeli hukum. Karena hal tersebut bisa mengurangi bahkan menghilangkan
terciptanya supremasi hukum di Indonesia. Untuk itu dalam pembuatan makalah ini akan
membahas masalah inkosistensi penegakan hukum di Indonesia, faktor – faktor yang
mempengaruhinya serta upaya untuk melakukan perubahan menuju terciptanya supremasi
hukum dalam rangka mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap hukum di Indonesia.

B. Latar Belakang Masalah


Didalam sistem pergaulan hidup, secara prinsip manusia itu diciptakan bebas dan
sederajat. Akan tetapi dengan kebebasan tersebut manusia tidak bisa berbuat sekehendak
hatinya terhadap manusia lainnya, karena ada batasan – batasan yang tidak boleh
dilanggarnya berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia. Pada dasarnya masing –
masing anggota masyarakat sudah tentu mempunyai kepentingan yang kadang – kadang sama
dan sering pula berbeda. Perbedaan kepentingan ini selanjutnya dapat menimbulkan
kekacauan dalam masyarakat apabila tidak ada aturan yang dapat menyeimbangkannya.
Demi tertib dan teraturnya kelompok masyarakat diperlukan adanya aturan, mulanya disebut
kaidah. Jadi dapatlah dikatakan bahwa apa yang disebut kaidah adalah patokan atau ukuran
ataupun pedoman untuk berkeprikelakuan atau bersikap tindak dalam hidup.
Masyarakat dalam pertumbuhannya selalu berkembang, dimulai dari keluarga
sebagai masyarakat yang paling kecil atau masyarakat sederhana kemudian berkembang
menjadi semakin kompleks atau masyarakat modern. Perkembangan masyarakat tadi pasti
dibarengi dengan timbulnya hukum untuk mengatur dan mempertahankan sistem pergaulan
hidup anggota – anggotanya. Keberadaan hukum didalamnya adalah sebagai peraturan yang
bersifat umum dimana seseorang atau kelompok secara keseluruhan ditentukan batas – batas
hak dan kewajibannya. Mengacu kepada hak dan kewajiban, maka aturan yang paling tepat
adalah apa yang dinamakan hukum. Demikian dapat diketahui bahwa hukum dapat mengatur
segala kepentingan manusia mulai dari jabang bayi yang masih dalam kandungan ibunya
sampai seorang ibu itu meninggal dunia. Salah satu fungsi hukum adalah sebagai alat
penyelesaian sengketa atau konflik, disamping fungsi yang lain sebagai alat pengendalian
sosial dan alat rekayasa sosial. Pembicaraan tentang hukum barulah dimulai jika terjadi suatu
konflik antara dua pihak yang kemudian diselesaikan dengan bantuan pihak ketiga. Dalam
hal ini munculnya hukum berkaitan dengan suatu bentuk penyelesaian konflik yang bersifat
netral dan tidak memihak. Pelaksanaan hukum di Indonesia sering dilihat dalam kacamata
yang berbeda oleh masyarakat. Hukum sebagai dewa penolong bagi mereka yang
diuntungkan, dan hukum sebagai hantu bagi mereka yang dirugikan. Hukum yang seharusnya
bersifat netral bagi setiap pencari keadilan atau bagi setiap pihak yang sedang mengalami
konflik seringkali bersifat diskriminatif, memihak kepada yang kuat dan berkuasa. Adanya
ketimpangan pelaksanaan hukum tersebut maka timbullah pemasalahan hukum di Indonesia.
Permasalahan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal, baik dari system peradilannya,
perangkat hukumnya, inkonsisten penegakan hukum, intervensi kekuasaan, maupun
perlindungan hukum. Diantara banyak permasalahan tersebut, satu hal yang sering dilihat dan
dirasakan oleh masyarakat awam adalah inkonsistensi penegakan hukum oleh aparat.
Inkonsistensi penegakan hukum ini kadang melibatkan masyarakat itu sendiri , keluarga
maupun lingkungan terdekatnya yang lain. Namun inkonsistensi penegakan hukum ini sering
pula kita temui dalam media elektronik maupun cetak yang menyangkut tokoh – tokoh
masyarakat seperti, pejabat, orang kaya dan lain sebagainya. Akibat yang ditimbulkan dari
tidak berjalannya penegakan hukum dengan baik dan efektif atau yang disebut inkonsistensi
penegakan hukum adalah kerusakan dan kehancuran diberbagai bidang (politik, ekonomi,
sosial dan budaya). Selain itu buruknya penegakan hukum juga akan menyebabkan rasa
hormat dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum semakin menipis dari hari ke hari.
Akibatnya, masyarakat akan mencari keadilan dengan cara mereka sendiri.

Suburnya berbagai tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) di masyarakat


adalah salah satu wujud ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum yang ada. Merangkum
fenomena diatas, dimana penegakan hukum di Indonesia belum berjalan dengan baik dan
efektif tentunya menjadi pemasalahan yang sangat serius, dimana pada pembahasan
berikutnya akan lebih dijelaskan faktor apa saja yang menyebabkan inkonsistensi penegakan
hukum, akibat yang ditimbulkan dari inkonsistensi penegakan hukum, serta upaya yang
dilakukan untuk mengatasi atau menekan seminimal mungkin terjadinya inkonsistensi
penegakan hukum di Indonesia.
BAB II
PERMASALAHAN

Cita – cita reformasi untuk mendudukan hukum ditempat tertinggi (supremacy of law)
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hingga detik ini tak pernah terealisasi. Bahkan
dapat dikatakan hanya tinggal mimpi dan angan – angan. Bila dicermati suramnya wajah
hokum merupakan akibat dari kondisi penegakan hukum (law enforcement) yang dalam
keadaan terhenti dan kalaupun hukum ditegaskan maka penegakannya diskriminatif. Praktik
– praktik penyelewengan dalam proses penegakan hukum seperti, mafia peradilan, proses
peradilan yang diskriminatif, jual beli putusan hakim, bahkan kolusi polisi, hakim, advokat
dan jaksa dalam perekayasaan proses peradilan merupakan realitas sehari – hari yang dapat
ditemukan dalam penegakan hukum di negeri ini. Pelaksanaan penegakan hukum yang
'kumuh' sepeti itu menjadikan hukum dinegeri ini seperti yang pernah dideskripsikan oleh
seorang filusuf besar Yunani Plato (427 – 347 SM) yang menyatakan bahwa ''hukum adalah
jaring laba – laba yang hanya mampu menjerat yang lemah tetapi akan robek jika menjerat
yang kaya dan kuat''. Sehingga memberikan pertanyaan di benak kita apa yang terjadi di
sektor penegakan hukum? Dan ada apa dengan aparat penegak hukum?. Diberbagai kasus
ditingkat pejabat sampai rakyat semuanya mengacu pada keberpihakan hukum pada kalangan
tertentu saja. Tak jarang hukum di Indonesia ini hanya untuk kalangan yang berduit, yang
tidak mempunyai uang tidak mempunyai hak atas hukum walaupun dia benar.
Kalau dilihat dari struktur negara kita, Indonesia adalah negara hukum tapi kenapa
banyak pelanggar hukum. Ini sebuah pertanyaan yang selalu muncul dalam benak kita. Krisis
penegakan hukum telah menjamur di negeri ini. Mungkin ironis sekali jika hal ini menjadikan
negara kita sebagai Negara hukum namun miskin hukum.Bagi mereka yang mengantongi
banyak rupiah, hukum seolah tidak berani menyentuh. Namun bagi mereka yang miskin,
hukum seperti tidak mau berkompromi. Terkuaknya kasus – kasus besar pelanggaran hukum
di tanah air akhir – akhir ini sungguh merisaukan dan dan mengusik rasa keadilan bagi siapa
saja yang waras. Kasus century, rusaknya perlakuan sistem rumah tahanan, makelar kasus
(markus), suap – menyuap, hingga pembunuhan yang berbau politisi menunjukkan ada yang
tidak beres pada penegakan hukum di Indonesia. Dari sekian banyak kasus itu, mencuat kasus
– kasus korupsi yang sering melatar belakanginya. Padahal kita semua tahu, hukum adalah
salah satu instrumen paling vital dalam membangun sebuah bangsa menuju peradaban
kemanusiaan yang adil. Kecenderungan manusia yang selalu ingin menang sendiri, egois, dan
individualis. Jika tidak ada hukum yang mengaturnya, maka akan melahirkan penindasan dan
perbudakan modern ditengah masyarakat. Untuk itulah negara kita menciptakan undang –
undang. Tapi sayangnya, undang – undang yang dipakai sebagai hukum belum mampu
membersihkan koruptor – koruptor dilembaga pemerintah. Sampai saat ini masih banyak
koruptor yang begitu asyiknya melenggang dan menertawai negeri yang banyak dihuni oleh
orang – orang miskin ini.
Tercatat, negara ini menempati peringkat kedua dalam hal korupsi di tingkat Asia dan
peringkat keenam ditingkat dunia. Sebetulnya ada satu persoalan yang sangat krusial
dilembaga hukum kita. Persoalan itu berupa lemahnya integritas para penegak hukum yang
mudah dibeli oleh para mafia hukum dan para koruptor. Semua itu bisa juga terlihat pada
munculnya kasus antara lembaga independen KPK dan Polri tempo hari. Bagi mereka yang
mengantongi banyak rupiah, hukum tentu tidak akan berani menyentuh, sebaliknya bagi
mereka yang miskin dan banyak dibelit persoalan ekonomi, hukum seperti tidak mau lagi
berkompromi sedikit pun. Drs. IGM. Nurdjana, SH, MH menjelaskan, pertama lemahnya
integritas penegakan hokum korupsi dipengaruhi oleh problematik dalam sistem hukum
pidana sebagai hukum formal dan hukum materiil yang secara substansi hukum pada
peraturan perundang – undangan pidana potensi korupsi. Kedua, secara struktur hukum atau
kelembagaan terdapat overlapping kewenangan dan mengabaikan asas diferensial fungsional
dalam bentuk konflik. Ketiga, adanya disharmoni atau rivalitas negatif antara Polri, Jaksa dan
KPK serta dilema terbentuknya hakim adhoc. Terakhir, terjadinya kesenjangan dan
keterbatasan anggaran sarana dan prasarana sehingga secara cultural hukum menjadi cara
dinamis untuk dimanfaatkan sebagai alat pemerkaya diri. Persoalan itu yang membuat para
koruptor berteriak kegirangan. Mereka berusaha memanfaatkan kesempatan bagus tersebut
sebagai alat dalam mempertahankan dirinya dari jeratan hukum. Hasilnya, vonis hakim
terhadap koruptor tersebut banyak yang hasil akhirnya bebas.
Selama ini, koruptor yang tertangkap oleh tangan hukum seperti begitu mudah
melepaskan diri. Belum pernah tersiar kabar seorang koruptor divonis hukuman seumur
hidup atau vonis mati. Karena itu wajar bila korupsi terus meningkat, sebab tidak ada vonis
hakim yang dapat membuat koruptor jera. Penjara bagi mereka bukan lagi suatu ancaman
karena dengan banyak uang, penjara dapat disulap menjadi seperti layaknya hotel berbintang.
Itulah gambaran penegakan hukum dinegeri ini. Padahal telah jelas, unsur – unsur korupsi
adalah tindakan melawan hukum, menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi
merugikan negara baik secara langsung maupun tidak langsung dan dilakukan oleh pejabat
public atau penyelenggara negara maupun masyarakat. Hal tersebut menjadi polemik dan
mendapatkan perhatian besar dari masyarakat. Salah satu kecenderungan yang menonjol
adalah menguatnya perhatian dan penilaian publik terhadap suatu proses hukum yang dinilai
kurang adil. Karena itu, dibutuhkan adanya suatu solusi yang bijaksana agar penegakan
hukum dinegeri ini memiliki integritas yang kuat dan profesionalitas yang tinggi. Dan solusi
seperti apakah yang dilakukan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap
hukum?.
BAB III
PEMBAHASAN

Menurut Drs. Satjipto Rahardjo, SH, sejak hukum modern semakin bertumpu pada
dimensi bentuk yang menjadikannya formal dan procedural, maka sejak itu pula muncul
perbedaan antara keadilan formal atau keadilan menurut hukum disatu pihak dan keadilan
sejati atau keadilan substansial di pihak lain. Dengan adanya dua macam dimensi keadilan
tersebut, maka kita dapat melihat bahwa dalam praktiknya hukum itu ternyata dapat
digunakan untuk menyimpangi substansial. Penggunaan hukum yang demikian itu tidak
berarti melakukan pelanggaran hukum, melainkan semata – mata menunjukkan bahwa
hukum itu dapat digunakan untuk tujuan lain selain mencapai keadilan. Dijelaskan oleh Prof.
Dr. Satjipto Rahardjo, SH , progresivisme bertolak dari pandangan kemanusiaan bahwa
manusia dasarnya adalah baik, memiliki kasih sayang serta kepedulian terhadap sesama
sebagai modal penting bagi membangun kehidupan berhukum dalam masyarakat. Namun
apabila dramaturgi hukum menjadi buruk seperti selama ini terjadi dinegara kita, yang
menjadi sasaran adalah para aparat penegak hukumnya, yakni polisi, jaksa, hakim dan
advokat. Meskipun, apabila kita berpikir jernih dan berkesinambungan tidak sepenuhnya
mereka dipersalahkan dan didudukan sebagai satu – satunya terdakwa atas rusaknya wibawa
hukum di Indonesia. Soekanto 1979, secara konsepsional maka inti dan arti penegakan
hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai – nilai yang terjabarkan didalam
kaidah – kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian
penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan
kedamaian pergaulan hidup.
Pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor – faktor yang mungkin
mempengaruhinya. Faktor – faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak
positif atau negatifnya terletak pada isi faktor – faktor tersebut.
Faktor – faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang – undang saja.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak – pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa
manusia didalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi
dari penegakan hukum juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum.
Dengan demikian, maka kelima faktor tersebut akan dibahas lebih lanjut dengan
mengetengahkan contoh – contoh yang diambil dari kehidupan masyarakat Indonesia.
1. Undang – undang
Undang – undang dalam arti material adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat
oleh penguasa pusat maupun daerah yang sah (Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1979).
Mengenai berlakunya undang – undang tersebut, terdapat beberapa asas yang tujuannya
adalah agar undang – undang tersebut mempunyai dampak yang positif.
Asas – asas tersebut antara lain:
a) Undang – undang tidak berlaku surut.
b) Undang – undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi.
c) Mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.
d) Undang – undang yang bersifat khusus menyampingkan undang – undang yang bersifat
umum, apabila pembuatnya sama.
e) Undang – undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang – undang yang berlaku
terdahulu.
f) Undang – undang tidak dapat diganggu gugat.
g) Undang – undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan
materiel bagi masyarakat maupun pribadi, melalui pelestarian ataupun pembaharuan
(inovasi).
2. Penegak Hukum
Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya
mempunyai kemampuan – kemampuan tertentu sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka
harus dapat berkomunikasi dan mendapat pengertian dari golongan sasaran, disamping
mampu menjalankan atau membawakan peranan yang dapat diterima oleh mereka. Ada
beberapa halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan yang seharusnya dari
golongan sasaran atau penegak hukum. Halangan – halangan tersebut, adalah:
a) Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa
dia berinteraksi.
b) Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi.
c) Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali
untuk membuat proyeksi.
d) Belum ada kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama
kebutuhan material.
e) Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme. Halangan
– halangan tersebut dapat diatasi dengan membiasakan diri dengan sikap – sikap sebagai
berikut:
a) Sikap yang terbuka terhadap pengalaman maupun penemuan baru.
b) Senantiasa siap untuk menerima perubahan setelah menilai kekurangan yang ada pada
saat itu.
c) Peka terhadap masalah – masalah yang terjadi disekitarnya.
d) Senantiasa mempunyai informasi yang selengkap mungkin mengenai pendiriannya.
e) Orientasi kemasa kini dan masa depan yang sebenarnya merupakan suatu urutan.
f) Menyadari akan potensi yang ada dalam dirinya.
g) Berpegang pada suatu perencanaan dan tidak pasrah pada nasib.
h) Percaya pada kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi didalam meningkatkan
kesejahteraan umat manusia.
i) Menyadari dan menghormati hak, kewajiban, maupun kehormatan diri sendiri dan
pihak lain.
j) Berpegang teguh pada keputusan – keputusan yang diambil atas dasar penalaran dan
perhitungan yang mantap.
3. Faktor Sarana atau Fasilitas
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan
berjalan dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup tenaga manusia
yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan
yang cukup dan seterusnya. Sarana atau fasilitas mempunyai peran yang sangat penting
dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin
penegak hokum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual.
Khususnya untuk sarana atau fasilitas tersebut, sebaiknya dianut jalan pikiran sebagai berikut:
a) Yang tidak ada, diadakan yang baru.
b) Yang rusak atau salah, diperbaiki atau dibetulkan.
c) Yang kurang, ditambah.
d) Yang macet, dilancarkan.
e) Yang mundur atau merosot, dimajukan atau ditingkatkan.
4. Faktor Masyarakat
Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam
masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu maka masyarakat dapat
mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Masyarakat Indonesia mempunyai kecenderungan
yang besar untuk mengartikan hukum dan bahkan engidentifikasikannya dengan petugas
(dalam hal ini penegak hukum sebagai pribadi). Salah satu akibatnya adalah, bahwa baik
buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola perilaku penegak hukum tersebut.
5. Faktor Kebudayaan
Kebudayaan (system) hukum pada dasarnya mencakup nilai – nilai yang mendasari hokum
yang berlaku, nilai – nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap
baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Pasangan nilai
yang berperan dalam hukum, adalah sebagai berikut:
a) Nilai ketertiban dan nilai ketentraman.
b) Nilai jasmani atau kebendaan dan nilai rohani atau keakhlakan.
c) Nilai kelanggengan atau konservatisme dan nilai kebaharuan atau inovatisme.

Di Indonesia masih berlaku hukum adat, hukum adat adalah merupakan kebiasaan yang
berlaku dalam masyarakat. Dalam sektor pembentukan hukum, seringkali juga kita menemui
suatu substansi aturan hukum baik berupa undang – undang, peraturan pemerintah, perpres,
hingga perda yang tidak mencerminkan aspirasi masyarakat luas, bahkan justru secara
substanstif dirasa merugikan kepentingan masyarakat luas pada umumnya. Dalam sektor
penegakan hukum, sudah tak terhitung putusan pengadilan yang justru dinilai banyak
kalangan justru mencederai rasa keadilan masyarakat. Bahwasanya dunia hukum Indonesia
terus mendapat sorotan yang hampir semuanya bernada minor, hal ini tidak terlepas dari
ketidakpercayaan publik terhadap sistem hukum kita baik ditinjau dari struktur (institusi),
substansi serta budaya (culture) hukumnya. Banyak pihak berpendapat bahwa hukum kita
hanya untuk mereka yang memiliki uang, kekuasaan atau jabatan maupun kekuatan politik
sehingga dengan itu mereka bisa membeli hukum kita, dimana hal tersebut bisa mengurangi
bahkan menghilangkan terciptanya supremasi hukum di Indonesia.
Salah satu hal yang perlu mendapat sorotan tajam dari usaha untuk menciptakan
supremasi hukum adalah sistem peradilan yang merupakan inti dari penegakan hukum di
Indonesia. Hal lain yang tak kalah penting adalah segala permasalahan yang ada dan terjadi
didalamnya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sistem peradilan di Indonesia saat ini
penuh dengan kebobrokan dan kebusukan berpengaruh sangat kuat pada merosotnya atau
bahkan hilangnya supremasi hukum di negara ini. Hal ini tentunya tidak bisa dibiarkan terus
terjadi begitu saja tanpa adanya usaha untuk melakukan perubahan menuju terciptanya
supremasi hukum.
Oleh karena itu untuk menuju terciptanya supremasi hukum tentunya memerlukan suatu
kerja keras dari seluruh elemen yang ada di negara kita. Upaya untuk menciptakan supremasi
hukum bukan hanya hak lembaga – lembaga negara kita dengan pembagian kekuasaannya
yang bercirikan prinsip checks and balances dalam pelaksanaan pemerintahannya, tetapi juga
merupakan hak dari setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam usaha terciptanya
supremasi hukum dinegara kita. Bahwasanya pentingnya budaya hukum untuk mendukung
adanya sistem hukum, sebagaimana Friedman mengatakan, bahwa substansi dan aparatur saja
tidak cukup untuk berjalannya sistem hukum. Dimana Lawrence M. Friedman menekankan
kepada pentingnya budaya hukum (legal culture). Karena sistem hukum tanpa budaya hukum
yang mendukungnya serupa dengan iklan di dalam baskom yang tidak bisa berenang. Dimana
kalau sistem hukumnya di umpamakan sebagai suatu pabrik, menurut Friedman lagi, jika
substansi itu adalah produk yang dihasilkan dan aparatur adalah mesin yang menghasilkan
produk, sedangkan budaya hukum adalah manusia yang tahu kapan mematikan dan
menghidupkan mesin dan yang tahu memproduksi barang apa yang dikehendakinya. Ambil
contoh mengapa aparatur hukum ada yang tidak taat hukum?. Jika kita mencari sebabnya,
maka kita memasuki masalah budaya hukum (legal culture), begitu juga ruang lingkup
budaya hukum, bila kita ingin mengetahui tidak sedikit orang yang tak bersalah menjadi
bulan – bulanan aparat hukum.
Demikian juga hal nya, sebagaimana kita ketahui bahwasanya dalam dunia kejaksaan
diIndonesia terdapat lima norma kode etik profesi jaksa, yaitu:
1. Bersedia untuk menerima kebenaran dari siapapun, menjaga diri, berani, bertanggung jawab
dan dapat menjadi teladan dilingkungannya.
2. Mengamalkan dan melaksanakan pancasila serta secara aktif dan kreatif dalam pembangunan
hukum untuk mewujudkan masyarakat adil ketiga.
3. Bersikap adil dalam memberikan pelayanan kepada para pencari keadilan.
4. Berbudi luhur serta berwatak mulia, setia, jujur, arif an bijaksana dalam diri, berkata dan
bertingkah laku.
5 Mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi atau golongan.

Kode etik jaksa serupa dengan kode etik profesi yang lain. Mengandung nilai – nilai luhur
dan ideal sebagai pedoman berperilaku dalam satu profesi. Yang apabila nantinya dapat
dijalankan sesuai dengan tujuan akan melahirkan jaksa – jaksa yang memang mempunyai
kualitas moral yang baik dalam melaksanakan tugasnya. Sehingga kehidupan peradilan di
negara kita akan mengarah pada keberhasilan. Sebagai komponen kekuasaan eksekutif
dibidang penegak hukum adalah tepat jika setelah kurun waktu tersebut, kejaksaan kembali
merenungkan keberadaan institusinya sehingga dari perenungan ini diharapkan dapat muncul
kejaksaan yang berparadigma baru yang tercermin dalam sikap, pikiran dan perasaan
sehingga kejaksaan tetap mengenal jati dirinya dalam memenuhi panggilan tugasnya sebagai
wakil negara sekaligus wali masyarakat dalam bidang penegakan hukum.
Dan bukan sebagai wakil orang pribadi per pribadi dalam memenuhi penggilan tugasnya.
Kejaksaan adalah merupakan salah satu pilar birokrasi hukum tidak terlepas dari tuntutan
masyarakat yang berperkara agar lebih menjalankan tugasnya lebih profesional dan memihak
kepada kebenaran. Sepanjang yang diingat, belum pernah rasanya kejaksaan di dalam
sejarahnya sedemikian merosot citranya seperti saat ini. Mengevaluasi atas kinerja yang telah
dilaksanakan selama ini. Serta menunjukkan jati diri agar peristiwa yang sama tidak terulang
lagi. Dalam situasi dan kondisi sekarang ini dimana kejaksaan mengalami krisis kredibilitas
maka sudah sepantasnya pihak kejaksaan mewujudkan aparat hukum yang profesional dan
berintegritas guna meningkatkan citra kejaksaan. Berbagai institusi bahkan negara manapun
pernah mengalami krisis kredibilitas, namun yang terpenting adalah menyikapi dan
menghadapinya. Apakah akan bersembunyi dan mengaharap orang akan melupakannya?
Ataukah akan berjalan terus dengan melakukan koreksi mendasar terhadap faktor – faktor
yang menyebabkan krisis kredibilitas itu terjadi?. Sebagai pilihan, berjalan terus dengan
melakukan koreksi mendasar yang mesti dilakukan. Semangat pembauran dan koreksi
mendasar diarahkan pada perbaikan serta pembenahan institusi kejaksaan disegala bidang.

Termasuk peningkatan profesionalisme aparatur kejaksaan yang sinergis dengan


peningkatan integritas, guna mengoptimalkan pelaksanaan visi dan misi kejaksaan, serta
selaras pula dengan agenda reformasi birokrasi dalam memberikan pelayanan hukum yang
lebih baik kepada masyarakat. Peningkatan profesionalisme dan integritas harus dapat
diwujudkan dalam setiap pelaksanaan tugas dan wewenang dalam upaya penegakan hukum
dengan memberikan hasil yang nyata. Tidak bersifat retrorika, tetapi secara sungguh –
sungguh dapat dirasakan oleh masyarakat, secara adil, taat asas, menjunjung tinggi hak asasi
manusia dan tidak diskriminatif. Dengan pelaksanaan tugas secara profesional dan
berintegritas, diharapkan dapat memulihkan citra dan kredibilitas kejaksaan dimata
masyarakat tahap demi tahap. Berbagai program kegiatan telah ditetapkan dalam pembauran
kejaksaan yang memiliku spesifikasi dan kekhususan dengan tujuan untuk melakukan
pembenahan. Baik institusional maupun sumber daya manusia. Salah satu yang diprioritaskan
adalah pengembangan dan pembinaan sumber daya manusia agar dapat mewujudkan aparatur
kejaksaan yang profesional dan berintegritas.
Pengembangan dan pembinaan sumber daya manusia kedepan diarahkan pada hal – hal
yang terkait dengan pola jenjang karir, monitoring dan sistem evaluasi. Begitu pula
peningkatan kemampuan dan keahlian dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan. Baik
yang bersifat manajemen admistratif, maupun teknis pengadaan perkara. Monitoring dan
evaluasi terhadap kinerja para pejabat struktural maupun fungsional akan dilakukan secara
berkelanjutan dan dengan komitmen yang tinggi sehingga reward dan punishment dapat
diterapkan secara tegas dan tuntas. Kepada jajaran bidang intelejen sebagai bagian dari
organisasi diharapkan mampu menghasilkan produk – produk inteljen yang bermanfaat bagi
semua bidang. Kepada jajaran bidang pidana umum agar penanganan perkara dan
administrasi perkara tindak pidana umum, mulai dari tahap penuntutan, upaya hukum, sampai
dengan eksekusi harus benar – benar diperhatikan. Pimpinan unit bersangkutan juga harus
selalu melakukan pengawasan melekat secara ketat pada tiap – tiap tahapan dalam penaganan
perkara. Begitu juga dengan peningkatan kegiatan eksaminasi perkara secara rutin dan
berkesinambungan. Penyelesaian secara segera pekara – perkara yang penting dan menarik
perhatian masyarakat . Terutama penanganan perkara tindak tindak pidana narkotika dan
psikotropika, ilegal logging, terorisme, perbankan, ilegal mining,money loundrying, human
trafficking dan kejahatan trans – nasional lainnya. Kepada jajaran bidang tindak pidana
khusus, keberhasilan dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi harus diikuti pula
dengan penyelamatan dan pengembalian keuangan negara secara maksimal. Bila hal tersebut
belum dapat dilakukan, maka keberhasilan pemberantasan tindak pidana korupsi hanyalah
sebatas keberhasilan yang terfokus terhadap aspek pemidanaan saja.
Penulis sebagai bagian anggota dari masyarakat sadar hukum berharap secara positif, di
dalam mengemban profesi, usaha – usaha yang dilakukan oleh jaksa bukan hanya untuk
memenuhi unsur – unsur yang terkandung dalam ketentuan hukum semata, melainkan apa
yang sesungguhnya benar – benar terjadi dan dirasakan langsung oleh masyarakat juga
didengar dan diperjuangkan. Inilah yang dinamakan pendekatan sosiologis. Memang tidak
mudah bagi jaksa untuk menangkap suara yang sejati yang muncul dari sanubari anggota
masyarakat secara mayoritas. Disamping masyarakat Indonesia yang heterogen, kondisi yang
melingkupinya pun sedang dalam keadaan yang tidak sepenuhnya normal. Hal yang kerap
memprihatinkan ialah rasa keadilan masyarakat atau keadilan itu sendiri, tidak dapat
sepenuhnya dijangkau perangkat hukum yang ada. Pada ujungnya, keadilan itu bergantung
pada aparat penegak hukum itu sendiri, bagaimana mewujudkannya secara ideal. Disinilah
maka penegakan hukum itu menjadi demikian erat hubungannya dengan perilaku, khususnya
aparat penegak hukum, antara lain termasuk jaksa. Hukum bukan sesuatu yang bersifat
mekanistis yang dapat berjalan sendiri. Hukum bergantung pada sikap tindak penegak
hukum. Melalui aktivasi penegak hukum tersebut, hukum tertulis menjadi hidup dan
memenuhi tujuan – tujuan yang dikandungnya. Sebagai warga negara yang mengemban
kewajiban dan hak dinegara ini, saya berharap mengenai profesionalisme seorang jaksa
seungguh sangat penting dan mendasar, sebab sebagaimana disebutkan diatas, bahwa antara
lain ditangannyalah hukum menjadi hidup, dan karena kekuatan atau otoritas yang
dimilikinya .
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Inkonsistensi penegakan hukum diatas berlangsung terus menerus selama puluhan
tahun. Masyarakat sudah terbiasa melihat bagaimana law in action berbeda dengan law in the
book. Inkonsistensi penegakan hukum merupakan masalah penting yang harus segera
ditangani. Masalah hukum ini paling dirasakan oleh masyarakat dan membawa dampak yang
sangat buruk bagi kehidupan bermasyarakat. Persepsi masyarakat yang buruk mengenai
penegakan hukum, menggiring masyarakat pada pola kehidupan sosial yang tidak
mempercayai hukum sebagai sarana penyelesaian konflik, dan cenderung menyelesaikan
konflik dan permasalahan mereka diluar jalur. Cara ini membawa akibat buruk bagi
masyarakat itu sendiri. Pemanfaatan inkosistensi penegakan hukum oleh sekelompok orang
demi kepentingannya sendiri, selalu berakibat merugikan pihak yang tidak mempunyai
kemampuan yang setara. Akibatnya rasa ketidakadilan dan ketidakpuasan tumbuh subur di
masyarakat Indonesia. Penegakan hukum yang konsisten harus terus di upayakan untuk
mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap hukum di Indonesia.

B. SARAN
Berikut saran yang saya berikan dalam upaya mengembalikan citra penegakan hukum
dimata masyarakat yaitu dengan melakukan pembenahan dan penataan terhadap sistem
hukum yang ada dengan cara:
1. Struktur, terkait dengan struktur hukum maka perlu dilakukan penataan terhadap institusi
hukum yang ada seperti lembaga peradilan, kejaksaan, kepolisian, dan organisasi advokat.
Selain itu perlu juga dilakukan penataan terhadap institusi yang berfungsi melakukan
pengawasan terhadap lembaga hukum. Dan hal lain yang sangat penting untuk segera
dibenahi terkait dengan struktur sistem hukum di Indonesia adalah birokrasi dan administrasi
lembaga penegak hukum.
2 Substansi, dalam hal substansi sistem hukum perlu segera direvisi berbagai perangkat
peraturan perundang – undangan yang menunjang proses penegakan hukum di Indonesia.
Misalnya, peraturan perundang – undangan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia
seperti KUHP (Kitab Undang – Undang Hukum Pidana) dan KUHAP (Kitab Undang –
Undang Hukum Acara Pidana) proses revisi yang sedang berjalan saat ini harus segera
diselesaikan. Hal ini dikarenakan kedua instrumen hukum tersebut sudah tidak relevan
dengan kondisi masyarakat saat ini.
3. Legal culture, untuk budaya hukum perlu dikembangkan perilaku taat dan patuh terhadap
hukum yang dimulai dari atas. Artinya apabila para pemimpin dan aparat penegak hukum
berperilaku taat dan patuh terhadap hukum, dengan hal tersebut maka akan menjadi teladan
bagi rakyat.
DAFTAR PUSTAKA

- Ali, Achmad (1999). Pengadilan Dan Masyarakat. Ujung Pandang: Hasanudin University
Press.
- Doyle, Paul Johnson (1986). Teori Sosiologi Klasik Dan Modern. Alih bahasa oleh Robert
M.Z. Jakarta: Gramedia.
- Soemardi, Dedi (1997). Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: IndHillCo.
- Syamsudin, Amir (2008). Integritas Penegak Hukum: Hakim, Jaksa, Polisi, Dan Pengacara.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
- Rahardjo, Satjipto (2003). Sisi – Sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia. Medan: Penerbit Buku
Kompas.
- Lemek, Jeremias (2007). Mencari Keadilan: Pandangan Kritis Terhadap Penegakan Hukum
DiIndonesia. Jakarta: Galang Press.

Anda mungkin juga menyukai