Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH SOSIOLOGI HUKUM

POTRET PENEGAKAN HUKUM DI PENGADILAN BERDASARKAN


PERSPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM

Dosen Pengampu :

DI SUSUN OLEH :

KELOMPOK (…)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MATARAM

MATARAM

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan limpahan rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan Makalah ini. Sholawat serta
salam kita panjatkan kepada Nabi Muhammad SAW berserta sahabatnya yang
telah membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang.

Dalam kesempatan ini, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada


semua pihak yang telah berkenan membantu pada tahap penyusunan hingga
selesainya makalah ini. Harapan kami, semoga makalah yang telah tersusun ini
dapat bermanfaat sebagai salah satu rujukan maupun pedoman bagi para pembaca,
menambah wawasan serta pengalaman, sehingga nantinya saya dapat
memperbaiki bentuk ataupun isi makalah ini menjadi lebih baik lagi.

Kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna oleh karena
itu saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun.

Mataram, 1 September 2023


DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum merupakan salah satu bidang yang keberadaannya sangat
essensial sifatnya untuk menjamin kehidupan bermasyarakat dan bernegara,
apalagi negara Indonesia adalah negara hukum, yang berarti bahwa setiap
perbuatan aparat negara harus berdasar hukum, serta setiap warga harus
mentaati hukum. Dengan perkembangan dunia yang semakin kompleks
dewasa ini, maka tidak jarang pula menimbulkan berbagai permasalahan
serius yang perlu mendapatkan perhatian sedini mungkin. Permasalahan yang
timbul itu, baik berupa pelanggaran terhadap norma-norma yang ada dalam
kehidupan bermasyarakat ataupun aturan-aturan yang bertendensi untuk
menciptakan suatu fenomena yang bertentangan dengan kaidah moral dan
kaidah susila serta aturan-aturan hukum. Pelanggaran yang terjadi merupakan
realitas dari keberadaan manusia yang tidak bisa menerima aturan-aturan itu
secara keseluruhan. Kalau hal semacam itu terus dibiarkan berlarut-larut dan
kurang mendapat perhatian, maka akan menimbulkan keresahan dalam
masyarakat sehingga dapat mengganggu ketertiban umum (Iswanty, 2012 :
390).
Ketika kita bicara mengenai Penegakan hukum, yang tergambar dalam
pikiran kita bisa bermacam macam. Ada yang mengidentikasikan bahwa
penegakan hukum itu cukup dengan menerapkan aturan hukum/ UU secara
konsisten. Selesai sudah. Beres. Ada sebagian masyarakat lain yang punya
pemikiran berbeda. Ketika sebuah norma hukum diterapkan dalam suatu
peristiwa hukum tertentu, ternyata respons masyarakat sangat negatif dan
menilainya tidak adil. Ada lagi yang berpikir bahwa tugas hakim adalah
menegakkan keadilan, karena inti hukum adalah keadilan. Jadi, norma hukum
itu bisa ditabrak/diterobos (rule breaking), manakala ia tidak menjadi jalan
(bahkan menjadi hambatan) bagi terwujudnya keadilan masyarakat.1
1
Abdul jalil, Penegakan Hukum Di Pengadilan Dan Dimensi Spiritualitasnya (Aspek Yang
Sering Terlupakan), Administrative Law & Governance Journal, volume 4 Issue 2, June 2021,
hlm. 314.
Dalam berbagai penanganan kasus hukum yang terjadi di tanah air,
seringkali mencuat menjadi bahan perbincangan publik karena putusan
peradilan dianggap mengabaikan nilainilai keadilan yang semestinya
dirasakan oleh masyarakat dan pencari keadilan. Proses hukum di lingkungan
peradilan Indonesia hingga saat ini dianggap belum sepenuhnya
mencerminkan nilai-nilai keadilan yang sesungguhnya. Keadilan seolah
menjadi “barang mahal” yang jauh dari jangkauan masyarakat. Beberapa
kasus yang sempat melukai rasa keadilan masyarakat diantaranya kasus
penempatan Artalyta Suryani di ruang khusus yang cukup mewah di Rumah
Tahanan Pondok Bambu beberapa waktu lalu dan kelambanan penanganan
kasus Anggodo merupakan sedikit dari wajah buram penegakan hukum yang
berkeadilan di Indonesia. Belum lagi kasus Prita Mulyasari yang dianggap
menghina pihak Rumah Sakit Omni International, pencurian buah semangka,
randu, tanaman jagung, ataupun pencurian biji kakao oleh Nenek Minah,
semakin menambah daftar panjang potret buram dalam praktik penegakan
hukum di negeri ini (Sutiyoso, 2010 : 218). Dari serangkaian kasus diatas jelas
terlihat perbedaan perlakuan dalam hal hukum. Hukum yang semestinya
ditegakkan dan dijalankan sebagaimana mestinya, membuat masyarakat
semakin bertanyatanya dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Fungsi
hukum seolah-olah menjadi bergeser, hukum dihadapkan pada berbagai arena
kepentingan. Penegakan hukum seyogyanya dapat berjalan sesuai dengan
tujuan hukum, sehingga hukum akan berjalan apa adanya tanpa adanya
tekanan dari pihak mana saja.
Dari keaneka-ragaman pemikiran orang, tentang apa atau bagaimana
penegakan hukum, kita dapat membayangkan betapa yang namanya
“penegakan hukum” itu menggambarkan suatu rangkaian kegiatan, proses,
keadaan dan harapan yang kompleks/ rumit. Ia mencakup suatu wilayah
pembicaraan yang sangat luas dan bahkan hampir sulit ditentukan batas-
batasnya.2.

2
ibid
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana Potret Penegakan hukum di Pengadilan?
2. Bagaimana perspektif sosiologi hukum Penegakan hukum di
Pengadilan?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana potret penegakan hukum di Pengadilan
2. Untuk mengetahui bagaimana kajian perspektif sosiologi hukum
BAB II
PEMBAHASAN
A. Problematika penegakan Hukum
Dalam perundang-undangan, tidak ditemukan definisinya secara
spesifik. Sebagai pegangan, kita merujuk pada tulisan Prof.Tjip, dalam buku
Beliau yg berjudul Masalah Penegakan Hukum (Rahardjo; 1983), Penegakan
hukum adalah merupakan suatu proses, yaitu proses perwujudan ide-ide
hukum yang abstrak (ide tentang: keadilan, kepastian hukum, kemanfaatan
sosial;) menjadi kenyataan dalam masyarakat (Rahardjo: 2000). Dengan
demikian berarti bahwa Penegakan hukum menyangkut sebuah proses
perjalanan panjang yang ditempuh oleh hukum didalam menjalankan
fungsinya untuk mengatur masyarakat.3
Hukum merupakan salah satu bidang yang keberadaannya sangat
essensial sifatnya untuk menjamin kehidupan bermasyarakat dan bernegara,
apalagi negara Indonesia adalah negara hukum, yang berarti bahwa setiap
perbuatan aparat negara harus berdasar hukum, serta setiap warga harus
mentaati hukum. Dengan perkembangan dunia yang semakin kompleks
dewasa ini, maka tidak jarang pula menimbulkan berbagai permasalahan
serius yang perlu mendapatkan perhatian sedini mungkin. Permasalahan yang
timbul itu, baik berupa pelanggaran terhadap norma-norma yang ada dalam
kehidupan bermasyarakat ataupun aturan-aturan yang bertendensi untuk
menciptakan suatu fenomena yang bertentangan dengan kaidah moral dan
kaidah susila serta aturan-aturan hukum. Pelanggaran yang terjadi merupakan
realitas dari keberadaan manusia yang tidak bisa menerima aturan-aturan itu
secara keseluruhan. Kalau hal semacam itu terus dibiarkan berlarut-larut dan
kurang mendapat perhatian, maka akan menimbulkan keresahan dalam

3
Abdul jalil, Penegakan Hukum Di Pengadilan Dan Dimensi Spiritualitasnya (Aspek Yang
Sering Terlupakan), Administrative Law & Governance Journal, volume 4 Issue 2, June 2021,
hlm. 317.
masyarakat sehingga dapat mengganggu ketertiban umum (Iswanty, 2012 :
390).4
Dalam hal aparat penegak hukumnya, dapatlah kita katakan bahwa di
Indonesia hubungan antara negara dan badan-badan penegak hukum terjadi
monopoli atas kekerasan yang memang dibenarkan oleh negara. Memang pada
umumnya aparat penegak hukum dengan segala institusinya adalah menjaga
ketertiban dan kedaulatan negara Indonesia. Persenyawaan ini semakin
menggelinding ketika negara sangat tergantung kepada keahlian dan ketaatan
mereka para penegak hukum terhadap tugas yang diembannya. Dan kenyataan
yang demikianlah maka kontrol masyarakat tidak berdaya (berada pada posisi
fatalisme “subhuman”) (Utsman, 2013 : 252). Masyarakat hanya akan taat dan
tunduk terhadap perlakuan hukum yang ada, biar bagaimanapun unsur
kekuasaan akan berpengaruh terhadap dominasi dalam struktur hukum.5
B. Penerapan Hukum dalam Masyarakat
Pada dasarnya manusia itu adalah sebagai makhluk bertindak yang
bukan saja merespons tetapi juga beraksi dan dengan aksinya itu maka
terciptalah satuan-satuan kegiatan untuk hal mana menghilangkan
kebimbangan, kecemasan, dan membangun percaya diri, serta gairah dalam
kehidupan. Namun, semuanya berjalan dengan kekerasan, kekotoran,
kesendirian, prinsip hidup yang pendek, diliputi rasa takut, manakala tidak
adanya sistem sosial (aturan sosial) untuk menertibkan dan mengorganisir
maka keberadaan peraturan perundangan atau hukumlah sebagai alat
kontrolnya (hukum sebagai kontrol sosial dan sistem sosial) (Utsman, 2013 :
185). Hukum yang berjalan dalam masyarakat sebagai wujud dari
pengendalian sosial, siapa yang bermain-main dengan pelanggararan hukum,
maka akan terkungkung pula dalam lingkaran peraturan hukum. Hukum
berlaku bagi semua kalangan, tidak mengenal stratifikasi sosial dalam

4
Alfan Biroli, PROBLEMATIKA PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA (KAJIAN DENGAN
PERSPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM), Prodi Sosiologi FISIB Universitas Trunojoyo Madura, hlm
3.
5
ibid
penegakan hukum, tetapi realita yang terjadi berbanding terbalik dari prinsip
hukum, hukum dijadikan alat bagi mereka yang mempunyai kepentingan.6
Sesuai struktur hukum dalam suatu negara bahwa hukum yang paling
tinggi dalam suatu negara adalah hukum negara dalam hal mana peraturan
perundangan atau hukum yang berada dibawahnya harus tunduk dan tidak
boleh bertentangan dengan hukum negara. Plato, T. Hobbes dan Hegel, bahwa
hukum Negara lebih tinggi dari hukum yang lainnya sehingga tidak ada
hukum lain yang bertentangan dengan hukum negara (Utsman, 2013 : 186).
Hukum yang berkembang dalam masyarakat, yaitu hukum yang berkenaan
dengan maraknya kasuskasus saat ini sangat mempengaruhi pola pikir dari
warga masyarakat. Sebagai contoh hukum yang diterapkan dengan tidak
menjunjung asas keadilan dalam masyarakat, yaitu hukum tumpul keatas dan
hukum tumpul kebawah. Perlakuan yang berbeda dari penegakan hukum,
sehingga terdapat kesan hukum hanya berlaku bagi masyarakat kelas bawah
sedangkan hukum bagi penguasa dapat diperjualbelikan. Fakta yang sangat
ironis sekali, hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya.7
Hukum yang diterapkan dalam masyarakat akan membawa pengaruh
bagi masyarakat. Dalam proses penegakan hukum, pengadilan yang
memutuskan terhadap sebuah perkara. Sosiologi hukum lebih melihat kepada
hubungan sosial yang terjadi dalam proses penegakan hukum dan putusan
hukum sehingga akan menimbulkan dampak secara sosial. Dampak
diberlakukannya hukum negara tersebut akan berpengaruh terhadap individu
atau kelompok yang sedang bermasalah dengan hukum, keluarga masing-
masing, kelompok-kelompok atau organisasi kemasyarakatan, masyarakat
dalam arti luas, dan media massa pun turut berperan andil dalam sebuah kabar
berita pada hukum yang berlaku di masyarakat.

C. Penegakan Hukum di Pengadilan


6
Alfan Biroli, PROBLEMATIKA PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA (KAJIAN DENGAN
PERSPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM), Prodi Sosiologi FISIB Universitas Trunojoyo Madura, hlm
5.

7
ibid
Dalam sistem hukum kita, pengaturan mengenai badan pengadilan
dimasukkan ke dalam kategori kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman
diatur di dalam UU, yang pada era Orba dibuatlah UU nomor 14/1970 tentang
Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman,-- sebagai pengganti dan sekaligus
mencabut UU nomor 19/1964 tentang Kekuasaan Kehakiman yang dinilai
berjiwa sosialis, yang tidak sejalan dengan nilai-nilai dasar dalam Pancasila.
UU nomor 14/1970 ini pada era reformasi kemudian diubah dengan UU
nomor 35/1999, yang kemudian diperbarui dengan UU Nomor 4/2004; dan
diperbarui lagi dengan UU Nomor 48/2009, tentang kekuasaan Kehakiman.
Dalam berbagai ketentuan Undang Undang tersebut diatur mengenai
kedudukan, tugas dan fungsi hakim sebagai pejabat pelaksana kekuasaan
kehakiman. Siapa yang disebut sebagai Hakim? Simak berbagai ketentuan
dalam UU sebagimana disebutkan di atas. Termasuk dalam UU nomor
22/2004 dan UU Nomor 18 tahun 2011 tentang Komisi Yudisial (KY). Juga
simak UU no.8/1981 tentang KUHAP. Hakim adalah Pejabat Peradilan
Negara yang diberi wewenang oleh UU untuk mengadili (pasal 1 butir 8
KUHAP). Dalam UU nomor 22/2004 tentang Komisi Yudisial, khususnya
pasal 1 ayat (5) dinyatakan bahwa yang dimaksud hakim adalah : Hakim
Agung; Hakim pada Badan Peradilan di semua Lingkungan Peradilan yang
berada di bawah MA (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer,
Peradilan TUN) dan Hakim di MK.
Adapun persyaratan untuk menjadi hakim adalah diantarannnya:
pertama Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, tidak
pernah dipidana, dll. Ini menunjukkan bahwa syarat menjadi seorang hakim
adalah orang yg benar-benar taat kepada Tuhan, yang terwujud dalam perilaku
kesehariannya; selain syarat syarat yang bersifat keilmuan lainnya. Sedangkan
tugas Hakim adalah 1). Menerima, memeriksa dan mengadili setiap perkara
yang diajukan kepadanya; 2). Hakim tidak boleh menolak mengadili suatu
perkara yang diajukan kepadanya, dengan dalih hukumnya tidak ada atau
kurang jelas; 3). Hakim sebagai penegak Hukum dan Keadilan, wajib
menggali, mengikuti, memahami nilai-nilai hukum yg hidup (the living law)
dan rasa keadilan dalam masyarakat; dan 4). Periksa pasal 197 KUHAP,
syarat formil materiil putusan pengadilan.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi putusan hakim itu antara lain :
1. Bahan. Bahan yang masuk ke pengadilan adalah berupa perkara, termasuk
substansi perkara maupun para pihak yang terlibat. Para pihak, maupun
tersangka/ terdakwa ini secara yuridis adalah sama (equality under the
law) tetapi secara sosiologis tidak equal. Perbedaan dalam penguasaan/
pemilikan sumberdaya (ekonomi, politik, status sosial dll) mempunyai
pengaruhnya tersendiri dalam penegakan hukum.
2. Kebijakan yang dipilih. Kebijakan yang dipilih ini berkaitan erat dengan
orientasi kekuasaan kehakiman yang dipilih oleh negara/pemerintah.
Kebijakan ini biasanya secara formal dituangkan dalam UU yang
mengatur tentang kekuasaan kehakiman. Dalam suatu kurun waktu,
kebijakan dalam kekuasaan kehakiman bisa berubah susuai dengan kondisi
politik dan kebutuhan masyarakat, dan ini bisa berbeda dengan kebijakan
yang dipilih pada kurun waktu yang lain. (silahkan dibandingkan legal
polecy mengenai fungsi dan tujuan kekuasaan kehakiman sebagaimana
tercantum dalam berbagai UU yang penulis sebutkan diatas, dan lihat juga
di dalam UU Nomor 19/1964, tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman
pada zaman Orde lama. Kebijakan yang dipilih ini memberikan implikasi
terhadap “kualitas” dan “orientasi” putusan Hakim.
3. Sosialisasi pribadi hakim, yaitu berkaitan dengan latar belakang
pendidikan dan pengalaman masa kecil hingga dewasa (pendidikan oleh
lingkungan) yang dilalui oleh seorang hakim (latar belakang
perorangannya) yang mempengaruhi/ membentuk kepribadian seorang
hakim, serta keadaan keadaan kongkrit yg dihadapinya pada waktu akan
membuat putusan. Misal: hakim yang terlahir dari keluarga yang sangat
taat beribadah akan beda kualitas putusannya dengan hakim yang
kehidupannya sama sekali sekuler.
4. sosialisasi profesional hakim, yaitu berkaitan dengan latar belakang
pendidikan yang dilalui untuk mencapai keahlian sebagai seorang sarjana
hukum (dan pendidikan profesi hukum) seorang hakim. Contoh : Hakim
Indonesia (SH produk dari FH), dan hakim di AS. Draft RUU jabatan
Hakim mencoba mencontoh sistem rekrutmen hakim di AS.
5. Kendala keadaan. Ini berkaitan dengan keadaan-keadaan tertentu di
masyarakat, yang dihadapi oleh seorang hakim dalam menjalankan
pekerjaannya. Contoh : tekanan dari pihak tertentu dalam proses peradilan
(kasus Bom Bali Amrozi CS yang mendapatkan tekanan dengan melalui
opini internasional oleh Australia, AS; juga dalam kasus penyelundupan
Narkoba di Bali oleh Schapelle Corby warga Australia, negara tersebut
juga berusaha melakukan tekanan2 melalui berbagai saluran). Juga faktor
eksternal lainnya. Misal: opini publik, tekanan publik/media, tekanan-
tekanan politik, demo-demo, suap, kkn dll).
6. Efektivitas pengawasan. Pengawasan ini meliputi pengawasan internal
(yaitu oleh Institusi Bawas MA RI), maupun pengawasan eksternal,
khususnya oleh Komisi Yudisial, maupun oleh Media/pers dan masyarakat
pada umumnya.
D. Kajian Perspektif Sosiologi Hukum
Kita tidak dapat menjelaskan tentang efektifitas hukum tanpa
membicarakan lebih dahulu tentang hukum dalam tataran normative (law in
books) dan hukum dalam tataran realita (law in action), sebab tanpa
membandingkan kedua variable ini adalah tidak mungkin untuk mengukur
tingkat efektifitas hukum. Donald Black berpendapat bahwa efektifitas hukum
adalah masalah pokok dalam sosiologi hukum yang diperoleh dengan cara
memperbandingkan antara realitas hukum dalam teori, dengan realitas hukum
dalam praktek sehingga nampak adanya kesenjangan antara keduanya. Hukum
dianggap tidak efektif jika terdapat perbedaan antara keduanya. Untuk
mencari solusinya, langkah solusinya, langkah apa yang harus dilakukan
untuk mendekatkan kenyataan hukum (das sein) dengan ideal hukum (das
sollen) agar 2 (dua) variabel (law in books dan law in action menjadi sama?
(Aziz, 2012 : 23). Hukum yang efektif adalah hukum yang sesuai dengan
peraturan yang telah dibuat dalam undang-undang dan hukum yang sesuai
dengan harapan atau cita-cita dari masyarakat. Manakala dengan adanya
hukum tersebut akan menjadikan keteraturan sosial dalam masyarakat.
Berbicara tentang hukum memang sangat pelik terdapat takaran sebuah
kenyataan hukum dan sebuah ideal hukum. Kadangkala apa yang sudah
menjadi ketetapan dalam undang-undang sebuah hukum tidak sesuai dengan
keinginan masyarakat, ataupun sebaliknya masyarakat menginginkan sebuah
hukum yang baru. Perubahan hukum dalam masyarakat dapat saja terjadi
karena dirasa memang sangat perlu yaitu dengan hadirnya peraturan atau
norma-norma yang sesuai dengan keadaan zaman masa kini.
Berangkat dari beberapa konsep dasar karakteristik dan hal-hal yang
dikaji sosiologi hukum, maka bisa disimpulkan bahwa kegunaan sosiologi
hukum sebagai ilmu pengetahuan untuk memahami perkembangan sudut
pandang sosial dan budaya. Berikut adalah penjelasan lebih lanjut:
1. Konteks Sosial: Perspektif hukum sosiologi mengakui bahwa sistem
peradilan tidak beroperasi secara terlindungi, tetapi di pengaruhi oleh
faktor sosial yang ada dalam masyarakat. Misalnya, status sosial, latar
belakang etnis, gender, atau kelas ekonomi dapat mempengaruhi
bagaimana aturan hukum diterapkan dan diinterpretasikan.
2. Interaksi Antaraktor: Penegakan hukum di Pengadilan yang melibatkan
interaksi antara aktor-aktor seperti hakim, jaksa penuntut, pengacara
pembela, serta ihak-pihak yang terlibat dalam kasus tersebut. Perspektif
sosiologi mencoba memahami dinamika interaksi ini dan bagaimana hal
itu dapat mempengaruhi hasil dari proses peradilan.
3. Norma Budaya dan Nilai: Sosiologi hukum juga menyoroti pentingnya
norma-norma budaya dalam konteks penegakan hukum di pengadilan.
Nilai-nilai masyarakat tertentu atau tradisi lokal dapat membentuk
pemahaman tentang keadilan serta mempengaruhi tindakan para actor
dalam sistem peradilan.
4. Struktur Kekuasaan: Analisis sosiologis juga meneliti distribusi kekuasaan
dalam sistem peradilan serta dampaknya pada pelaksanaan putusan
pengadilan. Pertanyaan seperti apakah ada ketidaksetaraan dalam akses
terhadap keadilan atau adakah yang mungkin timbul dalam proses
penegakan hukum sering kali menjadi fokus dari perspektif ini.
Dengan memperhatikan faktor-faktor sosial dan budaya ini, perspektif
sosiologis hukum memberikan pemahaman yang lebih holistik tentang
bagaimana penegakan hukum berlangsung di pengadilan. Namun, penting
untuk dicatat bahwa sosiologi hukum juga merupakan bidang yang kompleks
dan masih diperdebatkan oleh para ahli di dalamnya.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Penegakan hukum adalah merupakan suatu proses, yaitu proses
perwujudan ide-ide hukum yang abstrak (ide tentang: keadilan, kepastian
hukum, kemanfaatan sosial;) menjadi kenyataan dalam masyarakat.
Penegakan hukum tersebut termasuk penegakan hukum oleh hakim di
pengadilan. Hakim berwenang untuk memeriksa dan mengadili setiap kasus
yang dihadapkan kepadanya. Oleh sebab itu, hakim haruslah mendasari
putusannya pada nilai spiritual sebagaimana yang dinyatakan dalam irairah
putusan pengadilan. Nilai-nilai ini harus diinternalisasikan oleh setiap hakim
agar keadilan substantif dapat diwujudkan.
Gejala sosial yang muncul dari penerapan hukum adalah suatu bentuk
dari ilmu sosiologi hukum. Aspek yang dikaji meliputi Konteks Sosial,
Interaksi Antaraktor, Struktur Kekuasaan. Dengan memperhatikan faktor-
faktor sosial dan budaya ini, perspektif sosiologis hukum memberikan
pemahaman yang lebih holistik tentang bagaimana penegakan hukum
berlangsung di pengadilan.
DAFTAR PUSTAKA
Komisi Yudisial, (2009) Potret Penegakan Hukum di Indonesia, Jakarta : KY-RI,
Mertokusumo, Sudikno (1986) Mengenal Hukum (suatu Pengantar), Yogyakarta :
Penerbit Liberty
Rahardjo, Satjipto (1983) Masalah Penegakan Hukum (suatu Tinjauan
Sosiologis), Bandung : PT. Sinar Baru
Soerodibroto, Soenarto (1994) KUHP dan KUHAP, Jakarta : PT.Radja Grafindo
Abdul Jalil, 2021, Penegakan Hukum Di Pengadilan Dan Dimensi
Spiritualitasnya (Aspek Yang Sering Terlupakan), Administrative Law &
Governance Journal, Faculty of Law, Universitas Diponegoro, Semarang,
june 2021.
Alfan Biroli, PROBLEMATIKA PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA
(KAJIAN DENGAN PERSPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM), Prodi
Sosiologi FISIB Universitas Trunojoyo, Madura.
Arianto, Henry. 2010. Hukum Responsif dan Penegakan Hukum di Indonesia. Lex
Jurnalica, Vol. 7, No.2.
Imam Sukadi, 2011, Matinya Hukum Dalam Proses Penegakan Hukum Di
Indonesia, Risalah Hukum, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya,
Malang, 26 Juni.

Anda mungkin juga menyukai