Anda di halaman 1dari 18

 

MAKALAH SOSIOLOGI HUKUM

HUKUM DALAM MASYARAKAT SUATU TINJAUAN

SOSIOLOGI HUKUM

KASUS KENAKALAN REMAJA 

Dosen Pengampu : Dra., Siti zuliyah, M.Si

Disusun Oleh :

Nama : GUNAWAN
NIM : 1800024351
Kelas :G

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN YOGYAKARTA
TAHUN AJARAN 2019/2020
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan
bimbinganNya Sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan segala kemampuan yang ada.
Makalah ini merupakan tugas, untuk memenuhi tugas individu pada mata kuliah sosiologi hukum
dalam masyarakat.Makalah ini ditulis dengan kalimat yang efektif dan sederhana sehingga
diharapkan dapat memudahkan para pembaca. Dalam makalah ini saya menyadari masih banyak
terdapat kekurangan dan kesalahan,untuk itu dengan senang hati kami mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun dari pembaca atau saran dosen demi kesempurnaan makalah ini.
Dengan harapan agar makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua terutama bagi mahasiswa dan
pribadi saya yang menyusun makalah ini.

YOGYAKARTA, 15 JULI 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................i


DAFTAR ISI ...........................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................1
1.1 LATAR BELAKANG ......................................................................1
1.2 Perumusan Masalah .......................................................................2
1.2 TUJUAN ...........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................3
2.1.1 permasalahan hukum...................................................................3
2.1.1 Beberapa Kasus Inkonsistensi Penegakan
Hukum di Indonesia.....................................................................4
2.1.2 Beberapa Akibat Inkonsistensi Penegakan Hukum................6
2.1.3 Pengaruh Eksistensi Masyarakat dalam
Efektivitas Hukum........................................................................8
BAB III Penutup ...................................................................................13
3.1 Kesimpulan ....................................................................................13
3.2 Saran ................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum merupakan disiplin ilmu yang sudah dewasa sangat berkembang dewasa
ini. Bahkan kebanyakan penelitian sekarang di Indonesia dilakukan dengan
mengunakan metode yang berkaitan dengan sosiologi hukum dalam sejarah
tercatat bahwa istilah “Sosiologi hukum pertama sekali digunatkan oleh seorang
berkebangsaan Itali yang bernama Anzilloti pada tahun 1822 akan tetapi istilah
sosiologi hukum tersebut bersama setelah munculnya tulisan-tulisan Roscoe Pound
(1870 – 1964 ), Eugen Ehrlich ( 1862 – 1922 ), Max Weber ( 1864 – 1920 ), Karl
Liewellyn (1893 – 1962), dan Emile Durkhim (1858 – 1917). ) Pada prinsipnya
sosiologi hukum (Sociologi of Law) merupakan cabang dari Ilmu sosiologi, bukan
cabang dari dari Ilmu Hukum. Memang ada studi tentang hukum yang berkenaan
dengan masyarakat yang merupakan cabang dari Ilmu hukum tetapi tidak di sebut
sebagai sosiologi hukum melainkan disebut sebagai Sociologi Jurispurdence.
Pemelahan hukum secara sosiologi menunjukan bahwa hukum merupakan refleksi
dari kehidupan masyarakat. Yakni merupakan refleksi dari unsur unsur sebagai
berikut:
1. Hukum merupakan refleksi dari kebiasaan, tabiat, dan perilaku masyarakat.
2. Hukum merupakan refleksi hak dari moralitas masyarakat maupun
moralitas universal.
3. Hukum merupakan refleksi dari kebutuhan masyarakat terhadap suatu
keadilan dan ketertiban sosial dalam menata interaksi antar anggota
masyarakat.
Disamping itu, pesatnya perkembangan masyarakat , teknologi dan informasi
pada abad kedua puluh, dan umumnya sulit di ikuti sektor hukum telah
menyebabkan orang berpikir ulang tentang hukum. Dengan mulai memutuskan
perhatianya terhadap interaksi antara sektor hukum dan masyarakat dimana
hukum tersebut diterapkan. Namun masalah kesadaran hukum masyarakat masih
menjadi salah satu faktor terpenting dari efektivitas suatu hukum yang
diperlakukan dalam suatu negara.
Sering disebutkan bahwa hukum haruslah sesuai dengan kesadaran hukum
masyarakat. Artinya hukum tersebut haruslah mengikuti kehendak dari
masyarakat. Disamping itu hukum yang baik adalah hukum yang baik sesuai
dengan perasaan hukum manusia (pelarangan). Maksudnya sebenarnya sama,
hanya jika kesadaran hukum di katakan dengan masyarakat, sementara perasaan
hukum dikaitkan dengan manusia.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah ruang lingkup permasalahan hukum?
2. Apa saja contoh kasus inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia?
3. Bagaimana akibat inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia?
4. Bagaimana pengaruh eksistensi masyarakat dalam efektivitas hukum?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah :
1. Untuk memenuhi tugas makalah mata kuliah Sosiologi Hukum.
2. Untuk mengetahui efektivitas berlakunya hukum di dalam masyarakat.
3. Agar mampu menganalisis penerapan hukum di dalam masyaraka.
4. Agar mampu memetakan masalah-masalah sosial dalam kaitannya dengan
penerapan hukum di masyarakat.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Permasalahan Hukum
Salah satu fungsi hukum adalah sebagai alat penyelesaian sengketa atau
konflik, disamping fungsi yang lain sebagai alat pengendalian sosial dan alat
rekayasa sosial. Pembicaraan tentang hukum barulah dimulai jika terjadi suatu
konflik antara dua pihak yang kemudian diselesaikan dengan bantuan pihak
ketiga. Dalam hal ini munculnya hukum berkaitan dengan suatu bentuk
penyelesaian konflik yang bersifat netral dan tidak memihak. Pelaksanaan
hukum di Indonesia sering dilihat dalam kacamata yang berbeda oleh
masyarakat. Hukum sebagai dewa penolong bagi mereka yang diuntungkan,
dan hukum sebagai hantu bagi mereka yang dirugikan. Hukum yang seharusnya
bersifat netral bagi setiap pencari keadilan atau bagi setiap pihak yang sedang
mengalami konflik, seringkali bersifat diskriminatif, memihak kepada yang kuat
dan berkuasa. Seiring dengan runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998,
masyarakat yang tertindas oleh hukum bergerak mencari keadilan yang
seharusnya mereka peroleh sejak dahulu. Namun kadang usaha mereka
dilakukan tidak melalui jalur hukum. Misalnya penyerobotan tanah di Tapos
dan di daerah-daerah persengketaan tanah yang lain, konflik perburuhan yang
mengakibatkan perusakan di sejumlah pabrik, dan sebagainya. Pengembalian
kepercayaan masyarakat terhadap hukum sebagai alat penyelesaian konflik
dirasakan perlunya untuk mewujudkan ketertiban masyarakat Indonesia, yang
oleh karena euphoria “reformasi” menjadi tidak terkendali dan cenderung
menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri. Permasalahan hukum di
Indonesia terjadi karena beberapa hal, baik dari sistem peradilannya, perangkat
hukumnya, inkonsistensi penegakan hukum, intervensi kekuasaan, maupun
perlindungan hukum.
Diantara banyaknya permasalahan tersebut, satu hal yang sering dilihat
dan dirasakan oleh masyarakat awam adalah adanya inkonsistensi penegakan
hukum oleh aparat. Inkonsistensi penegakan hukum ini kadang melibatkan
masyarakat itu sendiri, keluarga, maupun lingkungan terdekatnya yang lain
(tetangga, teman, dan sebagainya). Namun inkonsistensi penegakan hukum ini
sering pula mereka temui dalam media elektronik maupun cetak, yang
menyangkut tokoh-tokoh masyarakat (pejabat, orang kaya, dan sebagainya).
Inkonsistensi penegakan hukum ini berlangsung dari hari ke hari, baik dalam
peristiwa yang berskala kecil maupun besar. Peristiwa kecil bisa terjadi pada saat
berkendaraan di jalan raya. Masyarakat dapat melihat bagaimana suatu
peraturan lalu lintas (misalnya aturan three-in-one di beberapa ruas jalan di
Jakarta) tidak berlaku bagi anggota TNI dan POLRI. Polisi yang bertugas
membiarkan begitu saja mobil dinas TNI yang melintas meski mobil tersebut

3
berpenumpang kurang dari tiga orang dan kadang malah disertai pemberian
hormat apabila kebetulan penumpangnya berpangkat lebih tinggi.
Contoh peristiwa klasik yang menjadi bacaan umum sehari-hari adalah :
koruptor kelas kakap dibebaskan dari dakwaan karena kurangnya bukti,
sementara pencuri ayam bisa terkena hukuman tiga bulan penjara karena adanya
bukti nyata. Tumbangnya rezim Soeharto tahun 1998 ternyata tidak disertai
dengan reformasi di bidang hukum. Ketimpangan dan putusan hukum yang
tidak menyentuh rasa keadilan masyarakat tetap terasakan dari hari ke hari. 

B. Beberapa Kasus Inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesia


Kasus-kasus inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia terjadi karena
beberapa hal. Penulis mengelompokkannya berdasarkan beberapa alasan yang
banyak ditemui oleh masyarakat awam, baik melalui pengalaman pencari
keadilan itu sendiri, maupun peristiwa lain yang bisa diikuti melalui media cetak
dan elektronik.
1. Tingkat Kekayaan Seseorang
Salah satu keputusan kontroversial yang terjadi adalah jatuhnya putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) terhadap terpidana kasus korupsi
proyek pemetaan dan pemotretan areal hutan antara Departemen Hutan dan PT
Mapindo Parama, Mohammad “Bob” Hasan. PN Jakpus menjatuhkan hukuman
dua tahun penjara potong masa tahanan dan menetapkan terpidana tetap dalam
status tahanan rumah. Putusan ini menimbulkan rasa ketidakadilan masyarakat,
karena untuk kasus korupsi yang merugikan negara puluhan milyar rupiah, Bob
Hasan yang sudah berstatus terpidana hanya dijatuhi hukuman tahanan rumah.
Proses pengadilan pun relatif berjalan dengan cepat. Demikian pula yang terjadi
dengan kasus Bank Bali, BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), kasus
Texmaco, dan kasus-kasus korupsi milyaran rupiah lainnya. Dibandingkan
dengan kasus pencurian kecil, perampokan bersenjata, korupsi yang merugikan
negara “hanya” sekian puluh juta rupiah, putusan kasus Bob Hasan sama sekali
tidak sebanding. Masyarakat dengan mudah melihat bahwa kekayaanlah yang
menyebabkan Bob Hasan lolos dari hukuman penjara. Kemampuannya
menyewa pengacara tangguh dengan tarif mahal yang dapat mementahkan
dakwaan kejaksaan, hanya dimiliki oleh orang-orang dengan tingkat kekayaan
tinggi. Kita bisa membandingkan dengan kasus Tasiran yang memperjuangkan
tanah garapannya sejak tahun 1985 . Tasiran, seorang petani sederhana, yang
terlibat konflik tanah seluas 1000 meter persegi warisan ayahnya, dijatuhi
hukuman kurungan tiga bulan dengan masa percobaan enam bulan pada tanggal
2 April 1986, karena terbukti mencangkuli tanah sengketa. Karena mengulang
perbuatannya pada masa percobaan, Tasiran kembali masuk penjara pada bulan
Agustus 1986. Sekeluarnya dari penjara, Tasiran berkelana mencari keadilan
dengan mondar-mandir Bojonegoro- Jakarta lebih dari 100 kali dengan

4
mendatangi Mahkamah Agung, Mabes Polri, Kejaksaan Agung, Mabes Polri,
DPR/MPR, Bina Graha, Istana Merdeka, dan sebagainya. Pada tahun 1996 ia
kembali memperoleh keputusan yang mengalahkan dirinya.
2. Tingkat Jabatan Seseorang
Kasus Ancolgate berkaitan dengan studi banding ke luar negeri (Australia,
Jepang, dan Afrika Selatan) yang diikuti oleh sekitar 40 orang anggota DPRD
DKI Komisi D. Dalam studi banding tersebut anggota DPRD yang berangkat
memanfaatkan dua sumber keuangan yaitu SPJ anggaran yang diperoleh dari
anggaran DPRD DKI sebesar 5.2 milyar rupiah dan uang saku dari PT
Pembangunan Jaya Ancol sebesar 2,1 milyar rupiah. Dalam kasus ini, sembilan
orang staf Bapedal dan Sekwilda dikenai tindakan administratif, sementara
Kepala Bapedal DKI Bambang Sungkono dan Kepala Dinas Tata Kota DKI
Ahmadin Ahmad tidak dikenai tindakan apapun. Dalam kasus ini, terlihat
penyelesaian masalah dilakukan segera setelah media cetak dan elektronik
menemukan ketidakberesan dalam masalah pendanaan studi banding tersebut.
Penyelesaian secara administratif ini seakan dilakukan agar dapat mencegah
tindakan hukum yang mungkin bisa dilakukan. Rasa ketidakadilan masyarakat
terusik tatkala sanksi ini hanya dikenakan pada pegawai rendahan. Pihak
kejaksaan pun terkesan mengulur-ulur janji untuk mengusut kasus ini sampai ke
pejabat tertinggi di DKI, yaitu Gubernur Sutiyoso, yang sebagai komisaris PT
Pembangunan Jaya Ancol ikut bertanggungjawab. Sampai makalah ini dibuat,
janji untuk menyidik pejabat-pejabat DKI ini belum terlaksana. Selain itu, bila
dikaitkan dengan kasus Bibit dan Candra para penegak hukum hanya
menggunakan teori kekuasaan, namun tidak sesuai dengan harapan-harapan
masyarakat. Oleh karena itu banyak mendapat tangtangan dari para tokoh dan
para ahli hukum di Indonesia.
Suatu perbuatan hukum yang dilakukan tanpa memperhatikan pendapat
umum mengandung risiko untuk tidak bisa dijalankan dengan baik. Keadaan
yang ini lebih-lebih akan terjadi, manakala perbuatan hukum itu melibatkan
pendapat-pendapat yang bertentangan dalam masyarakat. Apa bila Negara
dalam hal ini Jaksa Agung tetap memaksakan kehendaknya untuk meloloskan
hukum atau undang- undang yang isinya mendapat tentangan dari masyarakat,
maka ongkos sosial yang harus dikeluarkannya bisa tinggi. ) Oleh karena itu
Kejaksaan Agung tidak melanjutkan kasus Bibit dan Candra sudang seharusnya
demikian, jadi disamping melihat hukum secara formal juga melihatnya hukum
sosialnya. Namun demikian masih ada lagi yang masih menjadi pertanyaan di
masyarakat, awalnya Kejaksaan Agung kasus Bibit dan Candra berulang kali
mengatakan sudah cukup bukti untuk dilanjutkan kepenuntutan dan dikelurkan
lah P21 namun terahir kasus tersebut tidak dilanjutkan dengan alasan demi
hukum, nah alasan inilah yang masih menyisakan pertanyaan dimasyarakat.
Semestinya Kejaksaan Agung menggunakan wewenang yang diberikan oleh
undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kajaksaan yaitu pasal 35 Huruf c,

5
Jaksa Agung berwenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum
(hak oportinitas. Dengan demikian, oportunitas Jaksa Agung memiliki
wewenang mengesampingkan perkara Bibit dan Candra demi kepentingan
umum. ) Penegakan hukum harus mengutamakan rasa keadilan dan
berlasdaskan hati nurani. Karena itu, ketika penerapan tidak menunjukkan rasa
keadilan dan hati nurani, peraturan itu dapat dilanggar. Saat proses hukum
secara formalitas sudah dilaksanakan dengan benar, tetapi dalam penerapannya
ternyata juga melanggar hak-hak asasi manusia, maka hak asasi manusia harus
menjadi preoritas keputusan.

3. Nepotisme
Nepotisme berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan
hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Seperti halnya terdakwa
Letda (Inf) Agus Isrok, anak mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD),
Jendral (TNI) Subagyo HS, diperingan hukumannya oleh mahkamah militer dari
empat tahun penjara menjadi dua tahun penjara. Disamping itu, terdakwa juga
dikembalikan ke kesatuannya selama dua minggu sambil menunggu dan
berpikir terhadap vonis mahkamah militer tinggi. Putusan ini terasa tidak adil
dibandingkan dengan vonis-vonis kasus narkoba lainnya yang terjadi di
Indonesia yang didasarkan atas pelaksanaan UU Psikotropika. Disamping itu,
proses pengadilan ini juga memperlihatkan eksklusivitas hukum militer yang
diterapkan pada kasus narkoba. Tommy Soeharto, anak mantan presiden
Soeharto, yang dihukum 18 bulan penjara karena kasus manipulasi tukar gling
tanah Bulog di Kelapa Gading dan merugikan negara sebesar 96 milyar rupiah,
sampai saat ini tidak berhasil ditangkap dan dimasukkan ke LP Cipinang sesuai
perintah pengadilan setelah permohonan grasinya ditolak oleh presiden.
Masyarakat melihat bagaimana pihak pengacara, kejaksaan, dan kepolisian
saling berkomentar melalui media cetak dan elektronik. Dua kasus ini
mengesankan adanya diskriminasi hukum bagi keluarga bekas pejabat.

C. Beberapa Akibat Inkonsistensi Penegakan Hukum


di Indonesia Inkonsistensi penegakan hukum di atas berlangsung terus
menerus selama puluhan tahun. Masyarakat sudah terbiasa melihat bagaimana
law in action berbeda dengan law in the book. Masyarakat bersikap apatis bila
mereka tidak tersangkut paut dengan satu masalah yang terjadi. Apabila melihat
penodongan di jalan umum, jarang terjadi masyarakat membantu korban atau
melaporkan pelaku kepada aparat. Namun bila mereka sendiri tersangkut dalam
suatu masalah, tidak jarang mereka memanfaatkan inkonsistensi penegakan
hukum ini. Beberapa contoh kasus berikut ini menunjukkan bagaimana perilaku
masyarakat menyesuaikan diri dengan pola inkonsistensi penegakan hukum di
Indonesia.

6
1. Ketidak percayaan Masyarakat pada Hukum
Masyarakat meyakini bahwa hukum lebih banyak merugikan mereka, dan
sedapat mungkin dihindari. Bila seseorang melanggar peraturan lalu lintas
misalnya, maka sudah jamak dilakukan upaya “damai” dengan petugas polisi
yang bersangkutan agar tidak membawa kasusnya ke pengadilan. Memang
dalam hukum perdata, dikenal pilihan penyelesaian masalah dengan arbitrase
atau mediasi di luar jalur pengadilan untuk menghemat waktu dan biaya.
Namun tidak demikian hal nya dengan hukum pidana yang hanya
menyelesaikan masalah melalui pengadilan. Di Indonesia, bahkan persoalan
pidana pun masyarakat mempunyai pilihan diluar pengadilan. Pendapat umum
menempatkan hakim pada posisi “tertuduh” dalam lemahnya penegakan
hukum di Indonesia, namun demikian peranan pengacara, jaksa penuntut dan
polisi sebagai penyidik dalam hal ini juga penting. Suatu dakwaan yang sangat
lemah dan tidak cermat, didukung dengan argumentasi asal-asalan, yang berasal
dari hasil penyelidikan yang tidak akurat dari pihak kepolisian, tentu saja akan
mempersulit hakim dalam memutuskan suatu perkara. Kelemahan penyidikan
dan penyusunan dakwaan ini kadang bukan disebabkan rendahnya kemampuan
aparat maupun ketiadaan sarana pendukung, tapi lebih banyak disebabkan oleh
lemahnya mental aparat itu sendiri. Beberapa kasus menunjukkan aparat
memang tidak berniat untuk melanjutkan perkara yang bersangkutan ke
pengadilan atas persetujuan dengan pihak pengacara dan terdakwa, oleh karena
itu dakwaan disusun secara sembarangan dan sengaja untuk mudah dipatahkan.
Beberapa kasus pengadilan yang memutus bebas terdakwa kasus korupsi yang
menyangkut pengusaha besar dan kroni mantan presiden Soeharto
menunjukkan hal ini. Terdakwa terbukti bebas karena dakwaan yang lemah.
2. Penyelesaian Konflik dengan Kekerasan
Penyelesaian konflik dengan kekerasan terjadi secara sporadis di beberapa
tempat di Indonesia. Suatu persoalan pelanggaran hukum kecil kadang
membawa akibat hukuman yang sangat berat bagi pelakunya yang diterima
tanpa melalui proses pengadilan. Pembakaran dan penganiayaan pencuri sepeda
motor, perampok, penodong yang dilakukan massa beberapa waktu yang lalu
merupakan contoh. Menurut Durkheim masyarakat ini menerapkan hukum
yang bersifat menekan (repressive). Masyarakat menerapkan sanksi tersebut
tidak atas pertimbangan rasional mengenai jumlahkerugian obyektif yang
menimpa masyarakat itu, melainkan atas dasar kemarahan kolektif yang muncul
karena tindakan yang menyimpang dari pelaku. Masyarakat ingin memberi
pelajaran kepada pelaku dan juga pada memberi peringatan anggota masyarakat
yang lain agar tidak melakukan tindakan pelanggaran yang sama. Pada beberapa
kasus yang lain, masyarakat menggunakan kelompoknya untuk menyelesaikan
konflik yang terjadi. Mulai dari skala “kecil” seperti kasus Matraman yang
melibatkan warga Palmeriam dan Berland, kasus tawuran pelajar, sampai

7
dengan kasus-kasus besar seperti Ambon, Sambas, Sampit, dan sebagainya. Pada
kasus Sampit, misalnya, konflik antara etnis Dayak dan Madura yang terjadi
karena ketidakadilan ekonomi tidak dibawa dalam jalur hukum, melainkan
diselesaikan melalui tindakan kelompok. Dalam hal ini, kebenaran menurut
hukum tidak dianut sama sekali, masing-masing kelompok menggunakan norma
dan hukumnya dalam menentukan kebenaran serta sanksi bagi pelaku yang
melanggar hukum menurut versinya tersebut. Tidak diperlukan adanya
argumentasi dan pembelaan bagi si terdakwa. Suatu kesalahan yang berdasarkan
keputusan kelompok tertentu, segera divonis menurut aturan kelompok
tersebut.

D. Pengaruh Eksistensi Masyarakat dalam Efektivitas Hukum


Apabila ditilik dari proses perkembangan hukum dalam sejarah terhadap
hubungan dengan eksistensi dan peranan dari kesadaran hukum masyarakat ini
dalam tubuh hukum positif, terdapat suatu proses pasang surut dalam
bentangan waktu yang teramat panjang. Hukum masyarakat primitif, jelas
merupakan hukum yang sangat berpengaruh, bahkan secara total merupakan
penjelmaan dari hukum masyarakatnya. Masalah kesadaran hukum masyarakat
mulai lagi berperan dalam pembentukan, penerapan, dan penganalisan hukum.
Dengan demikian, terhadap hukum dalam masyarakat maju berlaku ajaran yang
disebut dengan co-variant theory. Teory ini mengajarkan bahwa ada kecocokan
antara hukum dan bentuk-bentuk prilaku hukum. Disamping itu berlaku juga
doktrin volksgeist (jiwa bangsa) dan rechtsbemu stzijn (kesadaran hukum)
sebagaimana yang diajarkan oleh Eugen Ehrlich misalanya doktrin-doktrin
tersebut mengajarkan bahwa hukum haruslah sesuai dengan jiwa
bangsa/kesadaran hukum masyarakat. Kesadaran hukum dipandang sebagai
mediator antara hukum dan bentuk- bentuk prilaku manusia dalam masyarakat.
1. Faktor – faktor yang mempengaruhi efektifitas hukum dalam masyarakat
Bila membicarakan efektifitas hukum dalam masyarakat berarti membicarakan
daya kerja hukum itu dalam mengatur dan atau memaksa masyarakat untuk taat
terhadap hukum. Efektifitas hukum yang di maksud berarti mengkaji kembali
hukum yang harus memenuhi syarat ; yaitu berlaku secara yuridis, berlaku
secara sosiologis dan berlaku secara filosofis.

Oleh karena itu faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hukum itu berfungsi
dalam masyarakat yaitu :
a. Kaidah Hukum

8
Dalam teori Ilmu hukum dapat dibedakan tiga macam hal mengenai
berlakunya hukum sebagai kaidah. Hal itu diungkapkan sebagai berikut: -
Kaidah hukum berlaku secara yuridis apabila penetuannya didasarkan pada
kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah
ditetapkan. - Kaidah hukum berlaku secara Sosiologis apabilah kaidah tersebut
efektif artinya kaidah dimaksud dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa
walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori Kekuasaa). Atau kaidah
itu berlaku karena adanya pengakuan dari masyarakat. - Kaidah hukum berlaku
secara filosofis yaitu seseai dengan cita hukum sebagai nilai positif yang
tertinggi.
b. Penegak Hukum
Dalam hal ini akan dilihat apakah para penegak hukum sudah betul–betul
melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik, sehingga dengan demikian
hukum akan berlaku secara efektif dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya
para penegak hukum tentu saja harus berpedoman pada peraturan tertulis, yang
dapat berupa peraturan perundang–undangan peraturan pemerintah dalam
aturan–aturan lainnya yang sifatnya mengatur, sehingga masyarakat mau atau
tidak mau, suka atau tidak suka harus patuh pada aturan–aturan yang
dijalankan oleh para penegak hukum karena berdasarkan pada aturan hukum
yang jelas. Namun dalam kasus–kasus tertentu, penegak hukum dapat
melaksanakan kebijakan–kebijakan yang mungkin tidak sesuai dengan
peraturan– peraturan yang ada dengan pertimbangan–pertimbangan tertentu
sehingga aturan yang berlaku dinilai bersifat fleksibel dan tidak terlalu bersifat
mengikat dengan tidak menyimpang dari aturan– aturan yang telah ditetapkan.
c. Masyarakat
Kesadaran hukum dalam masyarakat belumlah merupakan proses sekali jadi,
melainkan merupakan suatu rangkaian proses yang terjadi tahap demi tahap
kesadaran hukum masyarakat sangat berpengaruh terhadap kepatuhan hukum,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam masyarakat maju orang
yang patuh pada hukum karena memang jiwanya sadar bahwa mereka
membutuhkan hukum dan hukum itu bertujuan baik untuk mengatur
masyarakat secara baik benar dan adil. Sebaliknya dalam masyarakat tradisional
kesadaran hukum masyarakat berpengaruh secara tidak langsung pada
kepatuhan hukum. Dalam hal ini mereka patuh pada hukum bukan karena
keyakinannya secara langsung bahwa hukum itu baik atau karena mereka
memang membutuhkan hukum melainkan mereka patuh pada hukum lebih
karena dimintakan, bahkan dipaksakan oleh para pemimpinnya (formal atau
informal) atau karena perintah agama atau kepercayaannya. Jadi dalam hal
pengaruh tidak langsung ini kesaaran hukum dari masyarakat lebih untuk patuh
kepada pemimpin, agama, kepercayaannya dan sebagainnya. Namun dalam
dalam perkembangan saat ini bagi masyarakat modern terjadi pergeseran–
pergeseran dimana akibat faktor–faktor tertentu menyebabkan kurang

9
percayanya masyarakat terhadap hukum yang ada salah satunya adalah karena
faktor penegak hukum yang menjadikan hukum atau aturan sebagai alasan
untuk melakukan tindakan–tindakan yang dianggap oleh masyarakat
mengganggu bahkan tidak kurang masyarakat yang merasa telah dirugikan oleh
oknum– oknum penegak hukum seperti itu apalagi masih banyak masyarakat
yang awam tentang masalah hukum sehingga dengan mudah dapat
dimanfaatkan sebagai objek penderita.
2. Pengaruh Kesadaran Hukum Dalam Perkembangan hukum
Dalam tubuh hukum terjadi semacam perkembangan sehingga sampai pada
hukum yang maju, atau diasumsi maju seperti yang dipraktekan saat ini oleh
berbagai negara. Perkembangan hukum itu sendiri umumnya terjadi sangat
lamban meskipun sekali terjadi agak cepat. Namun perkembangan dari hukum
kuno pada hukum modern merupakan perjuagan manusia tiada akhir satu dan
lain hal disebabkan masyarakat, dimana hukum berlaku berubah terus menerus
dalam perkembangan hukum itu sendiri terkadang dilakukan dengan revisi atau
amendemen terhadap undang–undang yang sudah ada tetapi sering pula
dilakukan dengan menganti undang–undang lama dengan undang–undang
baru. Bahkan hukum modern telah menentukan prinsip dan asas hukum yang
baru dan meninggalkan prinsip dan asas hukum yang lama dan sudah
cenderung ketinggalan zaman. Dalam hubungannya dengan perkembangan
masyarakat, hukum mengatur tentang masalah struktur sosial, nilai–nilai dan
larangan–larangan atau hal–hal yang menjadi tabu dalam masyarakat.
Dalam abad Ke-20 terjadi perkembangan diberbagai bidang hukum dimana
sebagiaan hukum disebagian negara sudah menyelesaikan pengaturannya secara
tuntas, tetapi sebagian hukum di negara lain masih dalam proses pengaturannya
yang berarti hukum dalam bidang-bidang tersebut masih dalam proses
perubahannya. Hukum merupakan kaidah untuk mengatur masyarakat, karena
itu hukum harus dapat mengikuti irama perkembangan masyarakat, bahkan
hukum harus dapat mengarahkan dan mendorong berkembangnya masyarakat
secara lebih tepat dan terkendali. Kerena terdapatnya ketertiban sebagai salah
satu tujuan hukum, dengan begitu terdapat interaksi antara hukum dan
perkembangan masyarakat. Namun tidak dapat diabaikan salah satu faktor yang
mengikuti perkembangan hukum dalam masyarakat adalah kesadaran hukum
masyarakat itu sendiri. Faktor kesadaran hukum ini sangat memainkan peran
penting dalam perkembangan hukum artinya semakin lemah tingkat kesadaran
masyarakat, semakin lemah pula kepatuhan hukumnya sebaliknya semakin kuat
kesadaran hukumnya semakin kuat pula faktor kepatuhan hukum. Sehingga
proses perkembangan dan efektifitas hukum dapat dirasakan langsung oleh
masyarakat.
a. Kepatuhan Hukum (Legal Obedience)
Kepatuhan berasal dari kata patuh, yang berarti tunduk, taat dan turut.
Mematuhi berarti menunduk, menuruti dan mentaati. Kepatuhan berarti

10
ketundukan,ketaatan keadaan seseorang tunduk menuruti sesuatu atau
sesorang. Jadi, dapatlah dikatakan kepatuhan hukum adalah keadaan seseorang
warga masyarakat yang tunduk patuh dalam satu aturan main (hukum) yang
berlaku.
Menurut penulis, Kepatuhan hukum adalah ketaatan pada hukum, dalam hal ini
hukum yang tertulis. Kepatuhan atau ketaatan ini didasarkan pada kesadaran.
Hukum dalam hal ini hukum tertulis atau peraturan perundang-undangan
mempunyai pelbagai macam kekuatan, kekuatan berlaku atau “rechtsgeltung”.
Kalau suatu undang-undang itu memenuhi syarat-syarat formal atau telah
mempunyai kekuatan secara yuridis, namun belum tentu secara sosiologis dapat
diterima oleh masyarakat, ini yang disebut kekuatan berlaku secara sosiologis.
Masih ada kekuatan berlaku yang disebut filosofische rechtsgetung, yaitu apabila
isi undang-undang tersebut mempunyai ketiga kekuatan berlaku sekaligus.
Dalam konteks kepatuhan hukum didalamnya ada sanksi positif dan negatif,
ketaatan merupakan variable tergantung, ketaatan hukum tersebut didasarkan
kepada kepuasan diperoleh dengan dukungan sosial. Menurut Satjipto Rahardjo
ada 3 faktor yang menyebabkan masyarakat mematuhi hukum:
1. Compliance, kepatuhan yang didasarkan pada harapan akan suatu imbalan
dan usaha untuk menghidarkan diri dari hukuman yang mungkin dikenakan
apabila seseorang melanggar ketentuan hukum. Adanya pengawasan yang
ketat terhadap kaidah hukum tersebut.
2. Identification, terjadi bila kepatuhan terhadap kaidah hukum ada bukan
karena nilai intrinsiknya, akan tetapi agar keanggotaan kelompok tetap
terjaga serta ada hubungan baik dengan mereka yang diberi wewenang
untuk menerapkan kaidah kaidah hukum tersebut.
3. Internalization, seseroang mematuhi kaidah kaidah hukum dikarenakan secara
intrinsik kepatuhan tadi mempunyai imbalan. Isinya sesuai dengan nilai
nilainya dari pribadi yang bersangkutan.
Kepatuhan merupakan sikap yang aktif yang didasarkan atas motivasi setelah ia
memperoleh pengetahuan. Dari mengetahui sesuatu, manusia sadar, setelah
menyadari ia akan tergerak untuk menentukan sikap atau bertindak. Oleh
karena itu dasar kepatuhan itu adalah pendidikan, kebiasaan, kemanfaatan dan
identifikasi kelompok. Jadi karena pendidikan, terbiasa, menyadari akan
manfaatnya dan untuk identifikasi dirinya dalam kelompok manusia akan patuh.
Jadi harus terlebih dahulu tahu bahwa hukum itu ada untuk melindungi dari
kepentingan manusia, setelah tahu kita akan menyadari kegunaan isinya dan
kemudian menentukan sikap untuk mematuhinya.

11
BAB III
PENUTUP

12
A. KESIMPULAN

Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan/keefektivan hukum:

1. Hukum/UU/peraturan
2. Penegak Hukum (pembentuk hukum maupun penerap hukum)
3. Sarana atau fasilitas pendukung
4. Masyarakat
5. Budaya hukum (legal cultur)

Perlu ada syarat yang tersirat yaitu pandangan Ruth Benedict tentang adanya
budaya malu, dan budaya rasa bersalah bilamana seseorang melakukan
pelanggaran terhadap hukum hukum yang berlaku

Faktor yang mempengaruhi keefektivan hukum:

1. Mudah tidaknya ketidaktaatan atau pelanggaran hukum itu dilihat/


disidik. Makin mudah makin efektif. Contoh Pelanggaran narkoba (hukum
pidana) lebih mudah dari pada pelanggaran hak asasi manusia(HAM).

2. Siapakah yang bertanggung jawab menegakkan hukum yang bersangkutan.


Contoh narkoba: tanggung jawab negara : leih efektif, HAM : taggung
jawab individu/ warga : kurang efektif.

B. SARAN

Agar hukum dapat berjalan dengan efektif, sebaiknya:

1. UU dirancang dengan baik, kaidahnya jelas, mudah dipahani & penuh


kepastian.
2. UU sebaiknya bersifat melarang (prohibitur) dan bukan mengharuskan/
membolehkan (mandatur).
3. Sanksi haruslah tepat dan sesuai tujuan.
4. Beratnya sanksi tidak boleh berlebihan (sebanding dengan pelanggarannya).
5. Mengatur terhadap perbuatan yang mudah dilihat.
5. Mengandung larangan yang berkesesuaian dengan moral.
6. Pelaksana hukum menjalankan tugasnya dengan baik, menyebarluaskan UU,
penafsira seragam dan konsisten.

13
DAFTAR PUSTAKA

 Ali, Achmad., Pengadilan dan Masyarakat, Hasanudin University Press.


Ujung Pandang: 1999.
 Doyle, Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, terj. Robert M.Z.
Lawang, Gramedia. Jakarta: 1986.
 Indrianto Senoadji.Humanisme dan pembaruan Penegakan Hukum.
Kompas, Jakarta: 2009. - Mahfud MD, Kompas tgl 7 Januari 2010.

14
 Sahri, Efektivitas Hukum dalam Masyarakat. MHS S2 Hukum Untag.
 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya bakti. Bandung: 2000.
 Soemardi, Dedi, Pengantar Hukum Indonesia, Ind-Hill-Co. Jakarta: 1997.
 Sofia, Kesadaran Hukum Masyarakat dan Pengaruhnya bagi Efektivitas
Perkembangan Hukum.

15

Anda mungkin juga menyukai