Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

FILSAFAT HUKUM TENTANG PERAN HUKUM SEBAGAI


PEMBAHARUAN MASYARAKAT

Dosen : Dr. Januri, S.Pd,S.H.,M.H.

Disusun Oleh

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SANG BUMI RUWA


JURAI
2022
DAFTAR ISI

Daftar Isi ...................................................................................................     i

Kata Pengantar ........................................................................................     ii

BAB I PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang ..................................................................................     1


B.    Rumusan Masalah ............................................................................     2
C.    Tujuan ...............................................................................................     2

BAB II PEMBAHASAN

A.    Peran Hukum Sebagai Pembaharuan Masyarakat ............................   3

BAB III PENUTUP

A.     Kesimpulan  .......................................................................................  18


B.    Saran .................................................................................................  19

DAFTAR PUSTAKA

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat, dan hidayahNya, penulis  dapat menyelesaikan Makalah Filsafat Hukum
tentang “Peran Hukum Sebagai Pembaharuan Masyarakat”. Penyusunan makalah ini
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Hukum. Selain itu tujuan dari
penyusunan makalah ini juga untuk menambah wawasan tentang Filsafat Hukum secara
luas. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr.H. M. Jainuri, SH., M.H.
selaku dosen mata kuliah Filsafat Hukum yang telah memberikan arahan kepada penulis
agar dapat menyelesaikan makalah ini. Semoga dengan membaca makalah  ini,  para
pembaca akan lebih memahami peran hukum sebagai pembaharuan masyarakat.
Kritik dan saran demi kemajuan makalah ini sangat diharapkan.  Semoga makalah
ini dapat bermanfaat.

Bandar Lampung, 16 April 2022

Penulis

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Hukum selalu menjadi tumpuan harapan rakyat Indonesia untuk mewujudkan


keadilan. Keadilan yang menjadi salah satu dari tujuan hukum seharusnya dapat di
praktekan dalam upaya membangun masyarakat, bukan mengadili masyarat dalam
pembangunan dengan dalih bahwa kita adalah negara hukum. Peranan hukum dalam
membangun masyarakat, berarti juga bahwa kedaulatan hukum berada di tangan
rakyat sebagaimana pengertian kedaulatan rayat dalam berdemokrasi. Meskipun
dalam penerapan serta penegakannya antar demokrasi dan hukum berbeda.

Sebagai negara hukum, tentunya hukum menjadi salah satu instrumen penting dalam
pembangunan Indonesia. Pembangunan yang dimaksudkan tentunya tidak pada fisik
semata yang terbatas oleh ruang dan waktu tertentu. Melainkan pembangunan
kualitas segenap rakyat Indonesia dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa yang
bersifat proyeksi jauh kedepan. Pada zaman reformasi sekarang ini, hukum di tuntut
menjadi panglima bagi kemajuan bangsa, seiring dengan kemajuan demokrasi kita.
Namun, dewasa ini hukum cenderung terpasung oleh demokrasi itu sendiri. Demokrasi
seharusnya dapat berbanding lurus dengan kedaulatan hukum (Nomokrasi) dalam
perjalananya membangun bangsa ini.

Berdemokrasi dalam membangun bangsa haruslah di landasi dengan kedaulatan


hukum yang merupakan cita-cita dari demokrasi itu sendiri. Sehingga barulah kita
dapat membangun bangsa ini dari segala sektor, dan  kemudian apa yang di sebut
dengan mencerdaskan kehidupan bangsa dapat terwujud dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara kita. Jadi peranan hukum dalam pembaharuan dan pembangunan
masyarakat adalah hal yang sangat penting sebagai negara hukum.

B.    Rumusan Masalah


1.    Bagaimana Peran Hukum Sebagai Pembaharuan Masyarakat ?

C.    Tujuan
1.    Untuk mengetahui sejauh mana  peranan hukun sebagai pembaharuan
masyarakat.

ii
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Peran Hukum Sebagai Pembaharuan Masyarakat

Sebagai instrumen penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hukum


tentunya tidak dapat dipisahkan dalam pembangunan masyarakat kearah yang lebih
baik. Maka dari itulah, hukum di harapkan mampu mengarahkan atau merekayasa
kemana arah peradaban yang hendak di tuju oleh negara. Tidak semata-mata tumbuh
dan berkembang sesuai dengan kondisi atau keinginan masyarakat tanpa ada kontrol
dari negara. Seiring dengan perkembangan zaman, kajian-kajian kritis tentang hukum
nasional kitapun terus berkembang. Dan filsafat hukum menjadi salah satu objek
kajian filosofis tentang hukum.

Kata “filsafat” berasal dari bahasa Yunani: philein (mencintai) dan sophia
(kebijaksanaan). Jadi, secara etimologis filsafat berarti cinta akan kebijaksanaan.
Pythagoras, salah satu murid Plato, memahami sophia sebagai “pengetahuan hasil
kontemplasi” untuk membedakannya dari keterampilan praktis hasil pelatihan teknis
yang dimiliki dalam dunia bisnis dan para atlet. Dengan demikian, dalam belajar filsafat
kita berusaha mencari pengetahuan atau kebenaran dan bukan pengetahuan dalam
arti keterampilan praktis.

Filsafat hukum bukan sesuatu yang sulit untuk di pahami, sebagaimana kita
memahami atau merenungkan tentang pengertian filsafat. Menurut Prof. Dr. D.H.M
Meuwissen guru besar Universitas Gronigen Belanda. Filsafat hukum adalah filsafat.
Oleh karena itu, ia merenungkan semua masalah fundamental dan masalah yang
termarginalkan yang berkaitan dengan gejala hukum. Sedangkan menurut Dr.
Soedjono Dirdjosisworo, S.H. (2000: 48) memberikan definisi filsafat hukum sebagai
ilmu pengetahuan yang mempelajari pertanyaan-pertanyaan mendasar dari hukum.
Atau ilmu pengetahuan tentang hakikat hukum. Dikemukakan dalam ilmu ini tentang
dasar-dasar kekuatan mengikat dari hukum.

Dari pengertian filsafat hukum di atas, jelaslah bahwa filsafat hukum  bukanlah sesuatu

ii
hal yang sulit untuk di lakukan. Kita di tuntut hanya untuk merenungkan persoalan-
persoalan fundamental atau merginal dalam kehidupan sosial yang menimbulkan
gejala hukum. Maka ketika kita telah melakukan perenungan tersebut seketika itu juga
kita telah dapat di katakan sedang berfilsafat hukum. 

Setelah memahami tentang esensi dari filsafat hukum, maka berfilsafat hukum
tentulah dapat di katakan sangat berkaitan dengan hukum sebagai sarana
pembangunan dan pembaharuan masyarakat (Law As A Tool Of Social Engineering).
Tentang bagaimana mewujudkan Social Engineering (Rekayasa Sosial), telah di
kemukakan oleh Recoe Pond (1870-1964).

Rescoe Poun menyatakan bahwa hukum adalah sebagai alat untuk membangun
masyarakat. Namun, dengan membuat penggolongan atas kepentingan yang harus di
lindungi, yakni kepentingan umum (Public Interest), kepentingan sosial (Social Interest),
dan kepentingan masyarakat (Privat Interst).

Apa yang telah di kemukakan oleh Rescoe Poun sudah seharusnya menjadi solusi bagi
pembangunan dan pembaharuan masyarakat Indonesia saat ini. Hukum yang Identik
dengan kepentingan penguasa sering kali mengabaikan kepentingan masyarakat, baik
secara umum maupun pribadi. Kondisi hukum di Indonesia saat ini amatlah
memprihatinkan, permasalahan hukum timbul dari sudut pandang manapun. Di lihat
dari sudut pandang Teori dan Politik Hukum, produk hukum kita cenderung pada
kepentingan kekuasaan. Produk hukum kita yang sering kali di terpa isu hukum yakni
konflik norma, kekaburan norma dan kekosongan norma, membuat hukum kita tidak
lagi mampu menjadi alat untuk membangun masyarakat. Belum lagi di lihat dari segi
penerapan serta penegakannya yang amburadul, dalam hal penegakan dan penerapan
hukum seharusnya dapat menjadi tumpuan terwujudnya tujuan hukum yakni
kepastian hukum yang bermuara pada keadilan dan ketertiban, bukan malah menjadi
alat untuk mencidrai tujuan hukum itu sendiri. Sehingga kedaulatan hukum di
pertaruhkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di alam demokrasi ini. 

Oleh karena itu, menurut Satjipto Rahardjo (1986: 170-171), langkah yang diambil
dalam social engineering bersifat sistematis, dimulai dari identifikasi problem sampai
kepada jalan pemecahannya, yaitu :

1.      Mengenai problem yang dihadapi sebaik-baiknya. Termasuk di dalamnya


mengenali dengan saksama masyarakat yang hendak menjadi sasaran dari
penggarapan tersebut;

2.      Memahami nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Hal ini penting dalam hal;
social engineering itu hendak terapkan pada masyarakat dengan sektor-sektor

ii
kehidupan majemuk, seperti : tradisional, modern, dan pencernaan. Pada tahap ini
ditentukan nilai-nilai dari sector mana yang dipilih;

3.      Membuat hipotesis-hipotesis dan memilih mana yang paling layak untuk bisa
dilaksanakan.

Di Indonesia, konsep Pound ini dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja. Menurut


Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, hukum di Indonesia tidak cukup
berperan sebagai alat, tetapi juga sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Pemikiran
ini oleh sejumlah ahli hukum Indonesia disebut-sebut sebagai mahzab tersendiri dalam
filsafat hukum, yaitu Mahzab Filsafat Hukum Unpad.

 Pendekatan sosiologis yang disarankan oleh Mochtar dimaksudkan untuk tujuan


praktis, yakni dalam rangka menghadapi permasalahan pembangunan sosial-ekonomi.
Ia juga melihat, urgensi penggunaan pendekatan sosialogis dengan mengambil model
berpikir Pound ini, lebih-lebih dirasakan oleh Negara-negara berkembang daripada
Negara-negara maju. Hal itu tidak lain karena mekanisme hukum di negara-negara
berkembang belum semapan di Negara-negara maju.

Mengingat pembangunan social-ekonomi ini selalu membawa perubahan-perubahan,


maka seharusnya hukum itu mengambil peran, sehingga perubahan-perubahan
tersebut dapat dikontrol agar berlangsung tertib dan teratur. Dalam hal ini hukum
tidak lagi berdiri di belakang fakta (het recht hinkt achter de feiten aan), tetapi justru
sebaliknya.

Hukum dalam konsep Mochtar tidak diartikan sebagai alat tetapi sebagai sarana
pembaharuan masyarakat. Pokok-pokok pikiran yang melandasi konsep tersebut
adalah bahwa ketertiban dan keteraturan dalam usaha pembangunan dan pembaruan
memang diinginkan, bahkan dianggap dan  bahwa hukum dalam arti kaidah
diharapkan dapat mengarahkan kegiatan manusia kearah yang dikehendaki oleh
pembangunan dan pembaharuan itu. Untuk itu diperlukan saran berupa peraturan
hukum yang berbentuk tertulis (baik perundang-undangan maupun yurisprudensi),
dan hukum yang berbentuk tertulis itu harus sesuai dengan hukum yang lain dalam
masyarakat sebenarnya, Konsep Mochtar ini tidak hanya dipengaruhi oleh Sociological
Jurisprudence, tetapi juga oleh Pragmatic Legal Realism.

Lebih jauh lagi, Mochtar (1976:9-10) berpendapat bahwa pengertian sarana lebih luas
dari pada alat (tool). Alasannya di Indonesia peranan perundang-undangan dalam
proses pembaruan hukum lebih menonjol, misalnya jika dibanding dengan Amerika
Serikat, yang menempatkan yurisrudensi (khususnya putusan Supreme Court) pada
tempat lebih penting,  konsep hukum sebagai alat akan mengakibatkan hasil yang tidak

ii
jauh berbeda dari penerapan legisme sebagaimana pernah dirasakan pada zaman
Hindia Belanda, dan di Indonesia ada sikap yang menunjukkan kepekaan masyarakat
untuk menolak penerapan konsep seperti itu, dan apabila hukum di sini termasuk juga
hukum internasional, maka konsep hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat
sudah diterapkan jauh sebelum konsep ini diterima resmi sebagai landasan kebijakan
hukum nasional. 

Mochtar (1976:10), kemudian menegaskan, dari uraian diatas kiranya jelas bahwa
walaupun secara teoritis konsepsi hukum yang melandasi kebijaksanaan hukum dan
perundang-undangan (reschts politik) sekarang ini diterangkan menurut istilah atau
konsepsi-konsepsi atau teori masa kini yang berkembang di Eropa dan di Amerika
Serikat, namun pada hakekatnya konsepsi tersebut lahir dari masyarakat Indonesia
sendiri berdasarkan kebutuhan yang mendesak dan dipengaruhi faktor-faktor yang
berakar dalam sejarah masyarakat dan bangsa kita.

Meskipun Mochtar menegaskan, bahwa gagasannya juga dipengaruhi oleh faktor-


faktor yang berakar pada sejarah bangsa, menurut Soetandyo Wignjosoebroto
(1994:232-233), Mochtar tidak terlampau percaya bahwa budaya, tradisi, dan hukum
asli rakyat pribumi harus dilestarikan seperti yang pernah dilakukan pada masa-masa
pemerintah kolonial. Kebijakan anti-acculturation yang tidak mendatangkan kemajuan
apa-apa, sedangkan introduksi hukum Barat dengan tujuan-tujuan yang terbatas pun
kenyataannya hanya berdampak kecil untuk proses modernisasi (Indonesia) secara
keseluruhannya. Untuk itu, Mochtar mengusulkan agar pembangunan hukum nasional
di Indonesia hendaklah tidak secara tergesa-gesa dan terlalu pagi membuat
keputusan : hendak hukum colonial berdasarkan pola-pola pemikiran Barat, ataukah
untuk secara a priori mengembangkan hukum adat sebagai hukum nasional.

Sebelum memutuskan apa yang hendak dikembangkan sebagai hukum nasional,


Mochtar menganjurkan agar dilakukan penelitian-penelitian terlebih dahulu untuk
menentukan bidang hukum apa yang perlu diperbarui, dan bidang (ranah) apa yang
dibiarkan berkembang sendiri. Mochtar melihat, bahwa untuk hukum-hukum yang
tidak netral, pembangunannya diupayakan sedekat mungkin berhubungan dengan
budaya dan kehidupan spiritual bangsa. Di sisi lain, untuk bidang hukum lain, seperti
kontrak, badan usaha, dan tata niaga, dapat diatur melalui hukum perundang-
undangan nasional. Untuk ihwal lain yang lebih netral seperti komunikasi, pelayaran,
pos dan telekomunikasi model yang telah dikembangkan dalam system hukum asing
pun dapat saja ditiru.

Soetandyo Wignjosoebroto mengatakan bahwa ide Mochtar tentang kodifikasi dan


unifikasi hukum nasional yang terbatas, ialah kodifikasi yang terbatas secara selektif
pada hukum yang tidak hendak menjamah ranah kehidupan budaya dan spiritual 

ii
rakyat (setidak-tidaknya untuk sementara ini), telah menjadi bagian dari program kerja
Badan Pembinaan Hukum Nasional bertahun-tahun lamanya.

Ide law as a iool of social engineering ini rupanya baru ditujukan secara selektif untuk
mengfungsikan hukum guna merekayasa kehidupan ekonomi nasional saja, dan tak
berpretensi akan sanggup merekayasa masyarakat dalam seluruh aspek
kehidupannya. Ide seperti ini tentu saja bersesuaian dengan kepentingan pemerintah
Orde Baru, karena ide untuk mendahulukan pembangunan hukum yang gayut dengan
netral yang juga hukum ekonomi, tanpa melupakan tentu saja hukum tatanegara
manakala sempat diselesaikan dengan hasil baik akan sangat diharapkan dapat
dengan cepat membantu penyiapan salah satu infrastruktur politik dan ekonomi.

Soetandyo lebih jauh mencatat, bahwa dalam perkembangannya tidak semua ahli
hukum sependapat dengan perkembangan hukum nasional dengan cara
mengembangkan hukum baru atas dasar prinsip-prinsip yang telah diterima dalam
kehidupan internasional, dengan maksud untuk memperoleh sarana yang
berdayaguna membangun infrastruktur politik dan ekonomi nasional dengan
membiarkan untuk sementara infrastruktur social budaya yang tidak netral atau belum
dapat dinetralkan. Pihak-pihak yang tidak setuju berpendapat, upaya demikian terlalu
menyimpang dari tradisi.

Ada dua golongan yang tidak setuju. Pertama, mereka yang percaya harus ada
kontinuitas perkembangan hukum dari yang lalu (colonial) ke yang kini (nasional).
Golongan kedua adalah mereka yang percaya bahwa hukum nasional harus berakar
dan berangkat dari hukum rakyat yang ada, yaitu hukum adat. Dengan mengutip John
Ball dalam bukunya berjudul Indonesian Law Commentary and Teaaching Materials
(1985) dan The Struggle or National Law in Indonesia (1986), golongan pertama ini
antara lain tokoh-tokoh Pengacara di Jakarta,seperti Adnan Buyung Nasution Sulistio,
dan Thiam Hien. Golongan kedua, merupakan kelanjutan dari gerakan yang telah
berumur tua, sudah kehilangan pencetus-pencetus ide barunya yang mampu bersaing.
Beberapa nama yang dapat disebut adalah (almarhum) Djojodigoeno dan M. Koesnoe.

Suatu tanggapan yang lain mengenai gagasan Mochtar, datang dari S. Tasrif. Ia
mengingatkan agar pembinaan hukum tidak diarahkan untuk menghasilkan
perundang-undangan baru belaka, tetapi seharusnya juga menghasilkan perundang-
undangan yang tidak menyampaikan hak asasi manusia dan martabat manusia,
sehingga slogan Rule of law pada hakikatnya akan menjadi rule of just law
(Kusumaatmadja,1975:22).   

Pendapat S. Tasrif ini perlu untuk digarisbawahi. Hal ini juga sebenarnya disadari
sepenuhnya oleh Mochtar Kusumaatmadja, dengan mengatakan bahwa pembinaan

ii
hukum nasional secara menyeluruh menghadapi tiga kelompok masalah (problem
areas), yaitu: 1) Inventarisasi dan kepustakaan hukum, 2) Media dan personil (unsure
manusia), dan 3) perkembangan hukum nasional. Kelompok masalah ketiga,
perkembangan hukum nasional, dapat dibedakan dalam dua masalah, yaitu 1) Masalah
pemilihan bidang hukum mana yang hendak dikembangkan, dan 2) Masalah
penggunaan model-model asing.

Masalah pertama dapat diatasi dengan menggunakan berbagai ukuran (kriterium),


yaitu : 1) Ukuran keperluan yang mendesak (urgent need), 2) feasibility, dalam hal ini
bidang hukum yang terlalu mengandung komplikasi-komplikasi cultural, keagamaan,
dan sosiologis, akan ditangguhkan pengembangannya, 3) Perubahan yang pokok
(fundamental change), yang maksudnya, perubahan (melalui perundangan-undangan)
di sini diperlukan karena pertimbangan-pertimbangan politis,ekonomis dan/atau
sosial. Menurut Mochtar (1975:13), perubahan hukum demikian sering diadakan oleh
Negara-negara bekas jajahan dengan pemerintah yang memiliki kesadaran politik yang
tinggi. Bidang hukum yang biasanya dipilih adalah hukum agraria, perburuhan, hukum-
hukum mengenai pertambangan dan industri. Di mana ada keinginan untuk menarik
penanaman modal asing maka akan ada tarikan antara keinginan demikian dengan
keinginan untuk mengadakan perubahan dasar (fundamental change) dalam
perundang-undangan yang ditinggalkan pemerintah kolonial yang menempatkan
pemerintah yang bersangkutan dalam kedudukan yang tidak murah.
Masalah kedua adalah penggunaan model-model (hukum) asing. Walaupun ada
kalanya menguntungkan untuk menggunakan model-model hukum asing, namun
seperti disinggung di muka, Mochtar menyadari bahwa penggunaan model-model
tersebut dapat mengalami hambatan. Untuk itu harus dipertimbangkan apakah
pemakaian menggunakan wujud semua (adoption) atau dalam bentuk yang sudah
diubah (adoption).
Berdasarkan uraian dan pertimbangan yang sangat logis seperti yang telah
dipaparkan, konsep hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat merupakan
konsep pembangunan (atau pembinaan) hukum yang paling tepat dan relevan sampai
saat ini. Masalahnya terletak pada seberapa jauh pembentukan peraturan perundang-
undangan baru (dalam bidang-bidang hukum yang dianggap netral) telah diantisipasi
dampaknya bagi masyarakat secara keseluruhannya. Ada tiga catatan yang dapat
diberikan sebagai pelengkap.

Pertama, harus disadari bahwa bagaimanapun hukum merupakan suatu system, yang
keseluruhannya tidak lepas dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Untuk itu,
pengembangan satu bidang hukum juga akan berpengaruh pula ke bidang-bidang
hukum lainnya. Sebagai contoh, peraturan perundang-undangan di bidang penanaman
modal, memiliki keterkaitan dengan masalah hukum pertanahan, yang di Indonesia
belum dapat disebutkan sebagai bidang yang netral.

ii
Kedua, penetapan tujuan hukum yang terlalu jauh dari kenyataan sosial seringkali
menyebabkan dampak negatif yang perlu diperhitungkan. Sebagai contoh,
pembentukan Undang-Undang No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan, sesungguhnya dapat dilihat dalam konteks ini. Produk hukum tersebut dapat
dikatakan sebagai wujud social engineering untuk mengarahkan masyarakat Indonesia
dari kebiasaan tidak disiplin berlalu lintas menjadi berdisiplin. Kendati demikian,
kondisi yang ideal seperti yang diharapkan oleh undang-undang tersebut rupanya
terlalu jauh dari kenyataan sosial yang ada. Masyarakat merasa belum siap untuk
mengikuti instrument hukum itu. Akibatnya, stabilitas social (bahkan politik) terganggu.
Sebagai pemecahannya, diberikan beberapa konsensi kepada masyarakat dengan
menerapkan isi undang-undang itu secara bertahap, yang sebelumnya tidak pernah
dibayangkan akan terjadi.

 Itulah sebabnya, saran Mochtar Kusumaatmadja untuk melakukan penelitian secara


mendalam terlebih dahulu sebelum membentuk peraturan perundang-undangan yang
baru, merupakan langkah yang sangat baik. Hal ini juga merupakan salah satu langkah
penting mengikuti jalan pikiran social engineering, seperti diungkapkan Satjipto
Rahardjo. Tanpa ada penelitian yang jelas, tidak akan pernah diketahui pasti seperti
apa living law yang ada, dan bagaimana perencanaan itu harus dibuat secara akurat.

Ketiga, konsep social engineering tidak boleh berhenti pada penciptaan peraturan
hukum tertulis karena hukum tertulis seperti itu selalu mengalami keterbatasan.
Konsep ini memerlukan peranan aparat penegak hukum yang professional, untuk
memberi jiwa pada kalimat-kalimat tertulis dalam peraturan perundang-undangan.
Aparat hukum, khususnya hakim, harus mampu menggali nilai-nilai hukum yang hidup
dalam masyarakat, seperti diamanatkan dalam Pasal 27 Undang-Undang No. 14 tahun
1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan kemudian
menggunakan nilai-nilai yang baik dalam rangka menerjemahkan ketentuan hukum
yang berlaku.

Sebagai negara hukum, hukum hendaknya di lihat sebagai satu kesatuan sistem yang
terintergritas dan saling berhubungan. Meskipun pengertian negara hukum dalam
UUD 1945 sangat subyektif. Bila dalam berbangsa pembuatan hukum cenderung lebih
dominan dari pada penegakan hukum, maka hukum akan mengalami ketimpangan
dalam membangun masyarakat dan negara. 

Hukum sebagai satu kesatuan sistem, maka di dalamnya terdapat elemen


kelembagaan, elemen kaidah, elemen perilaku para subyek hukum yang menyandang
hak dan kewajiban yang di tentukan oleh norma/aturan. Ketiga elemen sistem hukum
tersebut mencakup:

ii
 1)  Kegiatan pembuatan hukum;

 2)  Pelaksanaan atau penerapan hukum;

 3)  Kegiatan peradilan atas pelanggaran hukum. Biasanya kegiatan ini di sebut sebagai
kegiatan penegakan hukum. Selain itu ada pula kegiatan yang sering di lupakan orang;

 4) Pemasyarakatan dan pendidikan hukum; dan

 5) Kegiatan pengelolaan informasi hukum sebagai kegiatan penunjang.

Prof. Jimly menjelaskan bahwa keseluruhan dari kegiatan diatas di jalankan melalui tiga
fungsi kekuasaan, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dalam keseluruhan
komponen, elemen, hirarki dan aspek-aspek yang bersifat sistemik dan saling
berkaitan satu sama lain itulah tercakup pengertian sistem hukum yang harus di
kembangkan dalam kerangka Negara Hukum Indonesia berdasarkan UUD 1945. 

Jelaslah bahwa, ketiga fungsi lembaga kekuasaan tersebut diatas harus berperan aktif
dan bertanggung jawab dalam menjadikaan hukum sebagai alat pembangunan serta
pembaharuan masyarakat. Begitu juga dengan masyarakat, budaya hukum yang baik
harus tumbuh dan berkembang di tengah kehidupan bermasyarakat. Sehingga negara
hukum yang tertuang dalam UUD 1945 dapat benar-benar terwujud dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara kita.

Hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat (Law As A Tool Of Social Engineering)


merupakan teori yang di kemukakan oleh Rescoe Pound. Oleh Rescoe Pound hukum di
harapkan dapat merekayasa dan mempengaruhi masyarakat. Tidak hanya sekedar
tumbuh dan berkembang secara alami  dalam kehidupan bermasyarakat. 

Namun, lain lagi dengan apa yang di kemukakan oleh Von Savigny yang mengatakan
bahwa “ hukum berubah jika masyarakatnya berubah”. Teori ini sepintas terkesan
membiarkan hukum tumbuh dan berkembang secara alami di tengah kehidupan
masyarakat. Namun, sebenarnya implisit di dalamnya bahwa hukum itu di pengaruhi
oleh kekuatan-kekuatan di luarnya termasuk oleh sub sistem politiknya.

Teori hukum merupakan landasan teoristis dalam proses pembuatan hukum. Kajian
teori hukum lebih pada hukum sebagai proses, bukan hukum sebagai produk. Proses
yang di maksudkan, bisa saja proses pembuatan hukum yang ideal, dan proses
penegakan hukum yang ideal. Pada proses pembuatan hukum nasional kita,  teori

ii
hukum di interpretasikan  kedalam politik hukum kita yang mengandung rechts idea
tentang keadilan serta perlindungan terhadap segenap rakyat Indonesia.

Sebagai bangsa yang multi etnik, pembentukan serta penegakan hukum nasional kita
tentulah tidak mudah untuk di lakukan. Banyak faktor yang harus di pertimbangkan
agar hukum dapat di terima oleh seluruh lapisan masyarakat, misalnya faktor budaya,
suku, ras, Agama dan lain-lain. Maka, dalam pembentukan hukum hendaknaya hukum
yang di bentuk adalah pruduk hukum yang responsif, yakni hukum yang dapat
merespon setiap kepentingan masyarakat. 

Dalam pembentukan hukum yang responsif ada empat syarat mutlak yang harus
terpenuhi, yakni:

1.    Dalam pembentukan hukum harus mengikut sertakan masyarakat;

2.    Pembentukannya haruslah aspiratif. Artinya, norma-norma yang di rumuskan


haruslah norma yang merupakan aspirasi dari masyarakat;

3.    Pembentukannya haruslah bersifat komunikatif. Artinya, hukum haruslah dapat di


pahami dalam bahasa yang dapat dipahami dalam interaksi antar warga negara
dengan negara (penguasa);

4.   Pembentukannya haruslah bersifat antisipatik. Norma yang di rumuskan dalam


aturan harus dapat mengantisipasi munculnya konflik di tengah masyarakat.

Produk hukum yang responsiflah yang dapat di jadikan sarana untuk membangun
masyarakat. Namun, dalam prakteknya produk hukum kita jauh dari produk hukum
yang responsif. Kebanyakan produk hukum Indonesia bersifat represif. Banyak
Undang-Undang yang di bentuk berpihak pada kepentingan penguasa dalam
melanggengkan kekuasaannya. Contohnya UU tentang Partai Politik, UU Ormas, dan
lain-lain.

Pembentukan hukum yang responsif tidaklah mudah untuk di lakukan di tengah


keberagaman karakter masyarakat Indonesia. Namun, Indonesia harus tetap optimis
dalam hal menjadikan hukum sebagai sarana pembangunan dan pembaharuan
masyarakat. Dengan ideologi Pancasila, dan amanat konstitusi  UUD 1945 seharusnya
Indonesia telah dapat menjadikan hukum sebagai sarana pembaharuan dan
pembangunan masyarakat. Namun, dalam prakteknya hukum kembali tunduk dengan
penguasaan atas kepentingan politik penguasa. 

Persoalan dalam pembentukan hukum jelas akan berimbas pada proses penegakan

ii
hukum. Kalau, melihat penegakan hukum di Indonesia saat ini, Indonesia belum pantas
di katakan sebagai negara yang berdaulat dalam hukum. Dalam hal penegakan hukum,
bangsa ini selalu mengalami persoalan diskriminatif terhadap keadilan yang
merupakan tujuan hukum. Seharusnya proses penegakan hukum merupakan
instrumen penting dalam hal mencapai tujuan hukum, yakni kepastian hukum yang
bermuara pada keadilan dan ketertiban. 

Dalam penegakan hukum  Friedman dalam teorinya “ Three Elements Of Legal System”
mengemukakan bahwa ada tiga unsur yang sangat menentukan dalam penegakan
hukum, yakni :
1.      Legal Structure (Pranata Hukum)
2.      Legal Subtance (Subtansi Hukum)
3.      Legal Culture (Budaya Hukum)

Ketiga elemen yang di maksudkan oleh Friedman adalah saling ketergantungan dalam
hal agar hukum dapat di tegakkan. Budaya hukum yang baik, subtansi hukum atau
produk hukum yang baik, serta pranata hukum yang baik menjadi syarat agar hukum
dapat di tegakkan dengan baik.

Namun, teori yang di kemukakan oleh Friedman ini sulit untuk di terapkan di Indonesia
yang heterogen ini. Harapan agar hukum tetap dapat di tegakkan dengan ideal di
Indonesia masih tetap ada. Menurut Prof. Johni Najwan dari ketiga elemen yang di
kemukakan oleh Friedman tersebut, Indonesia bisa fokus pada pranata hukumnya,
“jika pranata hukum Indonesia baik, maka Indonsia sudah bisa baik dalam hal
penegakan hukum, meskipun subtansi dan budaya hukum Indonesia kurang
mendukung”. Budaya hukum yang tumbuh di tengah masyarakat Indonesia sangat
sulit untuk di deteksi, yang kemudian untuk  dijadikan sebagai sebuah kesatuan
budaya hukum yang harus dipatuhi. Begitu juga dengan subtansi hukumnya. Dengan
keberagaman etnik, tentulah tidak mudah membuat produk hukum yang ideal atau
responsif sebagai satu kesatuan kepentingan dalam hukum.

Banyaknya sistem hukum yang menjadi sumber pembentukan hukum di Indonesia


membuktikan bahwa Indonesia kaya dengan khasanah ilmu hukum. Namun, kesemua
sistem yang ada haruslah dapat di terapkan sesuai dengan amanat konstitusi UUD
1945 bahwa Indonesia adalah negara hukum. Meskipun pengertian negara hukum
dalam UUD 1945 kita terkesan sangat subyektif. 

Dalam hal pembentukan hukum, produk hukum hendaknya dapat melindungi segala
macam bentuk kepentingan, termasuk kepentingan pribadi warga negaranya. Bila
dibenturkan dengan kajian teologis tentang manusia, bahwa manusia di ciptakan
sederajat dengan manusia yang lainnya. Yang membedakan manusia yang satu di

ii
hadapan Tuhannya adalah amalan selama perjalanan hidupnya di muka bumi, bukan
pada saat kelahirannya di muka bumi. Ketika kelahiran manusia di muka bumi, mereka
memiliki kesamaan status, yakni fitrah.  Sebagai makhluk yang sederajat, manusia juga
memiliki hak dan kewajiban yang sama antara manusia satu dengan yang lainnya.
Seiring dengan perjalan waktu, manusia tumbuh dan berkembang sebagai makhluk
sosial. Di katakan sebagai makhluk sosial tentulah bukan sebagai makhluk
individualistik. Namun , persolan persamaan derajat tetap berlaku dalam interaksi
sosialnya sebagai makhluk sosial. 

Dalam hal manusia hidup di tengah komunitas sosial, ini menunjukkan bahwa manusia
tidak bisa hidup sendiri. Ketika telah berbaur dalam sebuah komunitas sosial,
persoalan persamaan derajat yang awalnya sangat individualistik ketika manusia itu
lahir (fitrah). Namun, ketika telah menjadi makhluk sosial yang selalu dalam interaksi
sosial dalam komunitasnya, persoalan persamaan derajat dalam kapasitas sebagai
makhluk sosial tentulah harus di maknai sebagai hak untuk saling menghargai tanpa
diskiminatif, atau di sebut dengan Hak Azasi Manusia.

Dalam komunitas sosial, manusia secara individual tetap ingin menjaga hak
kesederajatannya dalam menggapai tujuan hidup dengan manusia lainnya. Namun,
dalam prakteknya manusia tetap saja tidak bisa mewujudkan apa yang di inginkan
dalam hidupnya secara individualistik. Akhirnya, munculah struktur sosial yang
membutuhkan kekuasaan untuk mengatur interaksi sosial manusia.

Kekuasaan tersebut jelas dalam bentuk bagan yang terorganisir. Kekuasaan dalam
bentuk organisasi dapat di peroleh berdasarkan legitimasi religius, legitimasi ideologis
eliter, ataupun legitimasi pragmatis yang didasarkan pada sumber kekuasaan tertinggi
atau kedaulatannya. Namun, menurut Prof. Dr. Jimly Ashiddiqie, S.H “kekuasaan
berdasarkan legitimasi-legitimasi tersebut dengan sendirinya mengingkari kesamaan
dan kesederajatan menusia, karena mengklaim kedudukan lebih tinggi sekelompok
manusia dari manusia lainnya. Selain itu, kekuasaan yang berdasarkan pada ketida
legitimasi tersebut akan menjadi kekuatan yang obsolut, karena asumsi dasarnya
menempatkan kelompok yang memerintah sebagai pihak yang berwenang secara
istimewa dan lebih tahu dalam hal menjalankan kekuasaan negara. Kekuasaan yang
didirikan berdasarkan ketiga legtimasi tersebut bisa dipastikan akan menjadi
kekuasaan yang otoriter”. 

Menurut Prof. Jimly, konsepsi demokrasilah yang memberikan landasan dan


mekanisme kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan manusia.
Namun, dengan ketentuan bahwa demokrasi harus benar-benar dapat menjadi wadah
kedaulatan rakyat secara utuh.Tidak hanya sekedar berdemokrasi dalam politik, tapi
lebih dari itu, berdaulat dalam hukum sebagai suatu kesatuan sistem negara hukum .

ii
Sehingga, barulah  bisa menjadikan hukum sebagai sarana untuk pembangunan dan
pembaharuan masyarakat. 

Dalam berdemokrasi, kedaulatan tentunya berada tangan rakyat. Demokrasi


hendaknya dapat di praktekkan dalam kedaulatan hukum, hukum sebagai panglima
bagi rakyat. Karena berdemokrasi adalah wadah untuk menampung aktivitas dari
interaksi sosial, dan demokrasi dapat di jadikan sarana untuk menentukan siapa yang
akan menjadi pengurus dari struktur sosial yang ada (negara). Namun sangat di
sayangkan, dewasa ini hukum tidak di beri ruang untuk dapat mengatur interaksi sosial
di atas norma-norma yang ada. Sehingga, demokrasi terkesan berjalan sendiri tanpa
arah. Yang jelas, dalam rangka pembanguan dan pembaharuan masyarakat. Dalam
negara hukum, yang seharusnya memerintah adalah hukum, bukan manusia. Maka
dari itulah, negara hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi. Supremasi
konstitusi merupakan konsekuansi  dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan
pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud dari perjanjian sosial tertinggi.
Jadi, jelaslah bahwa antara demokrasi dan kedaulatan hukum (Nomokrasi) tidak dapat
di pisahkan. Apa lagi sebagai negara hukum, hukum tentunya di harapkan dapat
menjadi sarana untuk kemajuan demokrasi. Karena demokrasi merupakan salah satu
wadah bagi hukum untuk dapat berperan sebagai sarana pembaharuan dan
pembangunan masyarakat.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Dari uraian diatas, dapatlah kita ambil kesimpulan bahwa kedudukan hukum kita saat
ini tidak sedang berada pada posisi idealnya, sesuai dengan idealnya landasan filosofis
dan teoritis. Namun, sebagai negara hukum yang berdaulat, dengan kemajemukan
etnis, suku, dan ras yang kita miliki,  kedudukan hukum kita lebih di tunjukkan oleh
suatu sistem hukum yang terintegrasi dan saling berhubungan dalam sebuah hirraki
sebagai negara hukum.

Dalam prakteknya sebagai negara hukum, Indonesia terkesan lebih serius dalam
pembentukan hukum dari pada penegakan hukum. Hal ini tentulah di pengaruhi oleh
banyaknya sistem hukum yang mempengaruhi pembangunan hukum di Indonesia.
Bangsa kita mengalami kesulitan dalam membentuk sebuah kesatuan budaya hukum
yang benar-benar dapat melindungi segenap rakyatnya. Ini tentunya di pengaruhi oleh
kemajemukan budaya yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Sehingga dalam

ii
pembentukan hukum yang responsif serta aspiratif selalu menemukan kendala, baik
dalam pembentukannya ataupu dalam penegakannya.

Bangsa Indonesia memerlukan perhatian khusus dalam hal penegakan hukum dari
produk hukum yang telah di buat. Seperti apa yang di kemukakan oleh Friedman
dalam  teorinya Three Elements Of Legal System bahwa dalam penegakan hukum
hendaknya kita memiliki budaya, suntansi, serta pranata hukum yang baik. Namun,
dalam prakteknya di Indonesia ini tentulah tidak mudah untuk di laksanan secara utuh.
Menurut Prof. Johni Najwan bila pranata hukum kita sudah baik, maka penegakan
hukum kita sudah bisa berjalan dengan baik, meskitupn kita memiliki budaya dan
subtansi hukum yang kurang mendukung. Bangsa Indonesia saat ini membutuhkan
moral para penegak hukum dalam menegakan hukum, terutama dalam hal
menjadikan hukum sebagai sarana pembaharuan dan pembangunan masyarakat.

Dalam hal menjadikan hukum sebagai sarana untuk pembaharuan dan pembangunan
masyarakat. Hukum di harapkan dapat melindungi segenap kepentingan rakyatnya.
Baik kepentingan umum, sosial, dan pribadi warga negaranya. Begitu juga dalam
pembentukan hukumnya, hendaknya produk hukum yang responsif benar-benar
dapat di wujudkan dalam satu sistem negara hukum kita.

B.      Saran

Dalam upaya mewujudkan tatanan hukum yang baik sebagai negara hukum, dan
menjadikan hukum sebagai sarana pembaharuan dan pembangunan masyarakat.
Sudah saatnya Indonesia harus memikirkan tentang budaya hukumnya untuk masa
yang akan datang. Suatu budaya hukum yang tumbuh dalam kesatuan sistem negara
hukum.
Untuk itulah pendidikan tentang ilmu hukum harus di berikan sedini mungkin bagi
warga negara. Pendidikan hukum secara khusus sudah harus di masukan dalam
kurikulum pendidikan. Agar kedepannya dapat tumbuh budaya sadar hukum yang baik
dari masyarakat kita.

DAFTAR PUSTAKA

Jimly Asshiddiqie. Menuju Negara Hukum Yang Demokkaratis. PT. Bhuana Ilmu
Populer. Jakarta.2009.

Herman Bakhir.Filsafat Hukum.PT. Refika Aditama. Bandung.2009.

ii
http://reshaagriansyah.blogspot.co.id/2011/01/hukum-sebagai-sarana
pembaharuan.html (diakses pada Selasa, 12 April 2016, 16.00 pm).

http://bungfesdiamon.blogspot.co.id/2013/03/hukum-sebagai-alat-pembaharuan.html
(diakses pada Selasa, 12 April 2016, 19:01 pm).

ii

Anda mungkin juga menyukai