Anda di halaman 1dari 15

MENURUNNYA KEPERCAYAAN MASYARAKAT TERHADAP PENEGAKAN

HUKUM SERTA APARAT PENEGAK HUKUM DI INDONESIA BERDASARKAN


PERSPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM
Dea Vony Nifili Zega, S.H.
217005025
deazega2016@gmail.com
Kelas A Reguler 2021

Abstrak
Indonesia adalah negara hukum, setiap aparat negara dalam bertindak harus berdasar hukum
serta setiap warga harus taat terhadap hukum yang berlaku. Negara Indonesia saat ini sedang
dilanda krisis hukum, artinya hukum yang berlaku belum menunjukkan keefektifan.
Problematika penegakan hukum tentunya menimbulkan dampak bagi masyarakat. Hukum
yang berjalan sudah tidak sesuai dengan tujuan hukum yang ingin dicapai yaitu menciptakan
ketertiban dan kedamaian dalam masyarakat. Keterlibatan aparat penegak hukum dalam
kejahatan-kejahatan yang terjadi menjadi realitas di tengah masyarakat yang menimbulkan
krisis kepercayaan dari masyarakat terhadap aparat penegak hukum dan penegakan hukum.

Kata Kunci : Penegakan hukum; Problematika; Sosiologi hukum.

I. Latar Belakang
Indonesia adalah Negara hukum seperti yang telah diatur dalam Pasal 1 Ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa
“Negara Indonesia adalah negara hukum"1 artinya, segala sesuatu yang berkaitan dengan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara diatur menurut hukum yang berlaku
termasuk apabila terjadi pelanggaran yang dilakukan masyarakat maupun pemerintah akan
diselesaikan dengan hukum yang berlaku. Pada kenyataannya sering terjadi keadaan yang
mana masyarakat terlibat dalam tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) atau self help
untuk menyelesaikan masalah karena ketidakpercayaan lembaga peradilan.
Saat ini Indonesia sedang dalam kondisi krisis di berbagai bidang termasuk bidang
hukum. Hukum yang diharapkan bisa memberikan keadilan bagi masyarakat ternyata
sebaliknya. Efektifitas penegakan hukum hanya berlaku bagi masyarakat kecil yang

1
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
melakukan kejahatan kecil. Sedangkan pelaku-pelaku kejahatan besar seperti korupsi, kolusi,
dan nepotisme (KKN) yang lazim disebut penjahat berkerah putih (white collar crime) sangat
sulit untuk disentuh. Dalam hal ini memang diperlukan keberanian bagi masyarakat
khususnya aparat penegak hukum untuk melakukan terobosan-terobosan dalam
menyelesaikan perkara tersebut.2
Hukum yang berlaku dalam masyarakat seperti ada pembedaan dalam kelas-kelas
sosial. Bagi masyarakat dalam stratifikasi sosial keatas jelas mendapat perlakuan yang
berbeda daripada masyarakat yang mempunyai stratifikasi sosial kebawah. Masyarakat yang
dalam keluarganya mempunyai kedudukan atau jabatan lebih tinggi memiliki perlakuan yang
istimewa atau kehormatan tersendiri daripada masyarakat yang berasal dari latar belakang
keluarga kalangan biasa atau tidak mempunyai kedudukan atau jabatan posisi dalam
masyarakat. Kedudukan hukum yang berlaku terdapat sebuah indikasi bahwa perlakuan bagi
pelanggar hukum dari aparat penegak hukum terjadi ketidakadilan. Hukum tajam kebawah
dan hukum tumpul keatas, fenomena tersebut hampir terjadi di semua ranah penjuru tanah air
di Indonesia. Berangkat dari pemikiran bahwa tidak sedikit masyarakat, baik masyarakat
terdidik maupun masyarakat tidak terdidik, bahkan masyarakat yang sehari-harinya
menggeluti dunia hukum sekalipun khususnya di Indonesia, mereka yang masih terheran-
heran ketika mereka memahami hukum adalah sebagai panglima untuk menjawab,
memutuskan, ataupun menyelesaikan suatu perkara atau kasus, ternyata tidak sedikit
peraturan-perundangan sebagai hukum tersebut menjadi mandul tidak melahirkan apa yang
diharapkan masyarakat itu sendiri. 3 Ekspetasi masyarakat terhadap hukum jauh dari keadaan
atau keinginan dalam penegakan hukum, hanya akan menambah sebuah kebimbangan di
dalam masyarakat dan mengakibatkan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap
penegakan hukum.
Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa penegakan hukum di suatu negara idealnya
dilihat sebagai suatu proses yang interaktif, hasil penegakan hukum yang dipertontonkan
kepada masyarakat tidak dapat diterima sebagai hasil karya penegak hukum sendiri,
melainkan suatu hasil bekerjanya proses saling mempengaruhi di antara berbagai komponen
yang terlibat di dalam proses tersebut.4 Proses interaktif tiap-tiap komponen yang terlihat di
dalam proses penegakan hukum, dapat berlangsung dengan baik apabila kesiapan tiap-tiap

2
Hendry Arianto, Hukum Responsif dan Penegakan Hukum di Indonesia, Lex Jurnalica, Vol. 7 No.2,
2010, Hal. 115.
3
Sabian Utsman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), Hal. 214.
4
Satjipto Rahardjo dan Anton Tabah, Polisi, Pelaku dan Pemikir. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1993), Hal. 146.
komponen tersebut cukup memadai, jika tidak demikian maka peranan hukum baik di dalam
mempertahankan kestabilan maupun di dalam menunjang atau mengarahkan pembangunan
tidak akan efektif. Oleh karena itu, jika menuntut peranan penegak hukum di dalam
pembangunan, maka juga harus menuntut perhatian terhadap pembinaan atau pembangunan
di dalam bidang hukum secara terpadu dan konsisten termasuk putusan hakim yang progresif
dan berdasarkan hati nurani.5
Di Negara Republik Indonesia dikenal unsur penegak hukum yang memegang
peranan dan fungsi yang vital dalam penyelenggaraan negara hukum khususnya di bidang
peradilan. Institusi penegak hukum adalah kepolisian, kejaksaan, kehakiman, advokat dan
lembaga pemasyarakatan sebagai lembaga hukum. Masyarakat Indonesia mendambakan
terciptanya suatu negara hukum yang baik, di mana salah satu indikatornya adalah
penyelenggaraan peradilan yang benar dan berkeadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha
Esa. Fungsi penegak hukum bersinergi dan setaraf di dalam melaksanakan tugas pokok dan
fungsinya berdasarkan undang-undang sehingga dalam melaksanakan visi dan misinya tidak
saling bersinggungan tetapi sebaliknya dapat bersinergi optimal dan kerjasama yang apik di
antara penegak hukum tersebut.
Untuk mewujudkan kinerja penegak hukum yang dapat menjawab tuntutan perubahan
dan perkembangan masyarakat dalam era reformasi di segala bidang maka tuntutan terbesar
yang utama dan terutama yang dihadapi adalah sumber daya manusia yang profesional,
mampu menampung dan merealisasikan tuntutan aspirasi masyarakat sehingga penegak
hukum dapat berwibawa dan dicintai masyarakat, semakin melekat dan kental dengan nilai-
nilai pemenuhan harapan masyarakat. Keterkaitan antara penegak hukum dengan masyarakat
itu sangat erat, dimana ada masyarakat di situ ada hukum (ubi ius ubi societas).
Penurunan kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum dan penegakan
hukum merupakan salah satu fenomena yang sangat banyak terjadi dan penurunan
kepercayaan tersebut justru banyak terjadi ketika saat ini telah banyak peraturan perundang-
undangan yang dibentuk untuk ditegakkan. Keterlibatan aparat penegak hukum dalam tindak
kejahatan menunjukkan bahwa terdapat suatu ketidaksesuaian antara peraturan perundang-
undangan dengan kondisi nyata dalam masyarakat sehingga menimbulkan krisis kepercayaan
dari masyarakat.

5
Ibid.
II. Permasalahan
Adapun yang menjadi rumusan masalah yang akan dibahas lebih lanjut didalam
artikel yaitu :
1. Bagaimana perspektif sosiologi hukum terhadap problematika penegakan hukum di
Indonesia dan kaitannya dengan tingkat kepercayaan masyarakat ?
2. Bagaimana upaya yang dapat ditempuh agar masyarakat dapat memiliki kepercayaan
terhadap penegakan hukum dan faktor-faktor yang mempengaruhinya ?

III. Teori
A. Teori Hukum Progresif
Menurut Satjipto Rahardjo, pemikiran hukum perlu kembali pada filosofi dasarnya,
yaitu hukum untuk manusia. Dengan filosofi tersebut, maka manusia menjadi penentu dan
titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu,
hukum itu bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia. Mutu hukum,
ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia. Ini
menyebabkan hukum progresif menganut ideologi : “hukum yang prokeadilan dan hukum
yang pro-rakyat”.6
Penegakan hukum selalu melibatkan manusia di dalamnya dan melibatkan juga
tingkah laku manusia. Maka diharapkan pola etika dan tingkah laku masyarakat dapat sesuai
dengan norma-norma yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat itu sendiri. Apabila
hal ini dapat terjadi dan norma-norma tersebut di patuhi, maka tentunya akan menciptakan
suatu tatanan keharmonisan dalam upaya penegakan hukum di Indonesia.
Sementara itu, permasalahan penegakan hukum untuk pembangunan memberikan
kesempatan kepada kita untuk :7
a. Menguji kemampuan prosedur yang selama ini dilaksanakan dalam penegakan
hukum untuk menghadapi perubahan-perubahan masyarakat;
b. Mendorong kita untuk meninjau kembali susunan nilai-nilai dan kepentingan-
kepentingan yang selama ini dijaga oleh hukum, termasuk di dalamnya
penegakkannya;

6
Satjipto Rahardjo, Teori Hukum, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), Hal. 212.
7
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum suatu Tinjauan Sosiologis, (Yogyakarta: Genta Publishing,
2009), Hal.144.
c. Mengenali karakteristik penegakan hukum dalam masa pembangunan serta
memikirkan disain penegakan hukum yang memadai untuk dijalankan dalam masa
pembangunan.
Mengenai apa yang telah diuraikan oleh Satjipto Rahardjo, maka penulis
menyimpulkan bahwa konsep penegakkan hukum, sebenarnya merupakan tugas kita bersama
karena hubungan-hubungan antara aparat penegak hukumdengan masyarakat saling berkaitan
satu sama lainnya. Aparat penegak hukum tidak dapat menjalankan tugas dan fungsinya
kalau tidak ada bantuan dari masyarakat. Dengan adanya kerjasama antara masyarakat dan
aparat penegak hukum maka dapat menghilangkan krisis kepercayaan publik terhadap hukum
yang ada di Indonesia.
B. Teori Tujuan Hukum
Pembahasan mengenai tujuan hukum tidak bisa dilepaskan dari definisi hukum
meskipun banyak ahli yang berpandangan bahwa hukum sulit untuk didefinisikan. Van
Apeldorn adalah salah seorang ahli yang memberikan kesimpulan mengenai kesulitan
mendefinisikan hukum atau kesulitan menemukan sebuah definisi yang tepat dan universal
mengenai hukum dan hampir semua sarjana memberikan pembatasan mengenai hukum
secara berbeda-beda. Alasan kesulitan mendefinisikan hukum menurut Lemaire adalah
banyaknya segi hukum dan luanya isi hukum sehingga tidak memungkinkan perumusan
hukum dalam suatu definisi tentang hukum yang sebenarnya. 8
Hukum dalam eksistensinya memiliki berbagai tujuan. Tujuan hukum inipun ternyata
dikemukakan secara berbeda-beda menurut para ahli. Perbedaan ini tentu saja tidak bisa
dilepaskan dari pemahaman para ahli tersebut mengenai pembatasan hukum. Van Kan
berpendapat mengenai tujuan hukum adalah untuk ketertiban dan perdamaian. Dengan
adanya peraturan hukum orang akan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan melindungi
kepentingannya dengan tertib. Dengan demikian, akan tercapai kedamaian dalam kehidupan
bermasyarakat.
Utrecht berpandangan bahwa tujuan hukum menimbulkan tindakan dari pihak
pemerintah. Wiryono Kusumo berpendapat bahwa tujuan hukum adalah untuk mengadakan
keselamatan, kebahagiaan, dan ketertiban dalam masyarakat Achmad Ali mengemukakan
bahwa ada 3 aliran konvensional tentang tujuan hukum, yaitu : 9
a. Aliran etis, yaitu menganggap bahwa pada dasarnya tujuan hukum adalah semata-
mata untuk mencapai keadilan;

8
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1976), Hal. 14.
9
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, (Jakarta: Chandra Pratama, 1996), Hal. 84.
b. Aliran utilitis, yaitu menganggap bahwa pada dasarnya tujuan hukum adalah
semata-mata untuk menciptakan kemanfaatan atau kebahagiaan warga;
c. Aliran yuridis-dogmatif yaitu menganggap bahwa pada asasnya tujuan hukum
adalah semata-mata untuk menciptakan kepastian hukum.
Mencermati ketiga tujuan hukum di atas maka tujuan hukum dapat dikaji melalui tiga
sudut pandang, yaitu :10
a. Dari sudut pandang yuridis dogmatik, tujuan hukum dititikberatkan pada kepastian
hukumnya;
b. Dari sudut pandang filsafat hukum tujuan hukum dititikberatkan pada keadilan
c. Dari sudut pandang sosiologi hukum, tujuan hukum dititikberatkan pada
kemanfaatannya.
Achmad Ali mengemukkan bahwa tujuan hukum kadang tidak dapat diwujudkan
sekaligus, bahkan sering terjadi benturan antara ketiganya. Dari kenyataan seperti ini
kemudian lahirlah asas prioritas dari Radbruch yang mengemukakan bahwa dalam setiap
masalah urutan prioritas dalam mewujudkan tujuan hukum adalah keadilan, kemudian
kemanfaatan dan terakhir kepastian hukum. Achmad Ali mengemukakan pula pendapatnya
bahwa dalam menetapkan urutan prioritas, akan lebih realistis jika asas yang dianut adalah
asas prioritas kasuistis yaitu prioritas dalam mewujudkan tujuan hukum sangat tergantung
pada kasus yang dihadapi. 11
C. Teori Sistem Hukum
Sistem hukum berasal dari dua kata yaitu “sistem” dan “hukum” yang berdiri sendiri
dan memiliki arti tersendiri. Sistem berasal dari bahasa Latin systema dan bahasa Yunani
systema pula, sistem dapat berarti sebagai keseluruhan atau kombinasi keseluruhan. Hukum
tidak dapat diartikan secara pasti seperti halnya ilmu eksakta, karena dalam ilmu hukum,
hukum itu sangat kompleks dan terdapat berbagai sudut pandang serta berbeda-beda pula
masalah yang akan dikaji. Sehingga, setiap ahli memberikan pengertianpengertian yang
berbeda mengenai pengertian hukum sendiri sebagaimana telah dibahas sebelumnya.12
Paradigma sistem hukum diperkenalkan pula oleh Lawrence M. Friedman terdiri atas tiga
komponen, yaitu komponen susbtansi hukum, komponen struktur hukum dan komponen
budaya hukum. 13

10
Ibid.
11
Ibid, Hal. 85.
12
Nurbasuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, (Jakarta:
Laksbang Mediatama, 2010), Hal. 65.
13
Achmad Ali, Op. Cit, Hal. 43.
IV. Pembahasan
A. Perspektif Sosiologi Hukum Terhadap Problematika Penegakan Hukum di Indonesia dan
Kaitannya dengan Tingkat Kepercayaan Masyarakat
Hukum merupakan salah satu bidang yang keberadaannya sangat essensial sifatnya
untuk menjamin kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan perkembangan dunia yang
semakin kompleks dewasa ini, tidak jarang pula menimbulkan berbagai permasalahan.
Permasalahan yang timbul itu, baik berupa pelanggaran terhadap norma-norma yang ada
dalam kehidupan bermasyarakat ataupun aturan-aturan yang bertendensi untuk menciptakan
suatu fenomena yang bertentangan dengan kaidah moral dan kaidah susila serta aturan-aturan
hukum. Pelanggaran yang terjadi merupakan realitas dari keberadaan manusia yang tidak bisa
menerima aturan-aturan itu secara keseluruhan. Kalau hal semacam itu terus dibiarkan
berlarut-larut dan kurang mendapat perhatian, maka akan menimbulkan keresahan dalam
masyarakat sehingga dapat mengganggu ketertiban umum. Dewasa ini memang para pelaku
kejahatan atau pelanggaran terhadap norma yang ada semakin marak terjadi. Entah disengaja
atau bukan yang namanya tindakan yang bertentangan dengan hukum maka akan
mendapatkan sanksi yang tegas. Setiap perilaku dalam mengabaikan atau melawan terhadap
norma dalam masyarakat akan dihadapkan pada hukum yang berlaku sesuai dengan undang-
undang yang telah dibuat dan disepakati bersama.
Di Indonesia dalam hal aparat penegak hukumnya, hubungan antara negara dan
badan-badan penegak hukum terjadi monopoli atas kekerasan yang memang dibenarkan oleh
negara. Dalam berbagai penanganan kasus hukum yang terjadi di tanah air, seringkali
mencuat menjadi bahan perbincangan publik karena putusan peradilan dianggap
mengabaikan nilai-nilai keadilan yang semestinya dirasakan oleh masyarakat dan pencari
keadilan. Proses hukum di lingkungan peradilan Indonesia hingga saat ini dianggap belum
sepenuhnya mencerminkan nilai-nilai keadilan yang sesungguhnya. Keadilan seolah menjadi
“barang mahal” yang jauh dari jangkauan masyarakat.
Beberapa kasus yang sempat melukai rasa keadilan masyarakat diantaranya kasus
penempatan Artalyta Suryani di ruang khusus yang cukup mewah di Rumah Tahanan Pondok
Bambu beberapa waktu lalu dan kelambanan penanganan kasus Anggodo merupakan sedikit
dari wajah buram penegakan hukum yang berkeadilan di Indonesia. Belum lagi kasus Prita
Mulyasari yang dianggap menghina pihak Rumah Sakit Omni International, pencurian buah
semangka, randu, tanaman jagung, ataupun pencurian biji kakao oleh Nenek Minah, semakin
menambah daftar panjang potret buram dalam praktik penegakan hukum di negeri ini. 14 Dari
serangkaian kasus diatas jelas terlihat perbedaan perlakuan dalam hal hukum. Hukum yang
semestinya ditegakkan dan dijalankan sebagaimana mestinya, membuat masyarakat semakin
bertanya-tanya dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Fungsi hukum seolah-olah
menjadi bergeser, hukum dihadapkan pada berbagai arena kepentingan.
Hukum yang diterapkan dalam masyarakat akan membawa pengaruh bagi
masyarakat. Dalam proses penegakan hukum, pengadilan yang memutuskan terhadap sebuah
perkara. Sosiologi hukum lebih melihat kepada hubungan sosial yang terjadi dalam proses
penegakan hukum dan putusan hukum sehingga akan menimbulkan dampak secara sosial.
Dampak diberlakukannya hukum negara tersebut akan berpengaruh terhadap individu atau
kelompok yang sedang bermasalah dengan hukum, keluarga masing-masing, kelompok-
kelompok atau organisasi kemasyarakatan, masyarakat dalam arti luas, dan media massa pun
turut berperan andil dalam sebuah kabar berita pada hukum yang berlaku di masyarakat.
Efektifitas suatu hukum dinilai dari memperbandingan tentang hukum dalam tataran
normative (law in books) dan hukum dalam tataran realita (law in action), sebab tanpa
membandingkan kedua variable ini adalah tidak mungkin untuk mengukur tingkat efektifitas
hukum. Efektifitas hukum adalah masalah pokok dalam sosiologi hukum yang diperoleh
dengan cara memperbandingkan antara realitas hukum dalam teori, dengan realitas hukum
dalam praktek sehingga nampak adanya kesenjangan antara keduanya. Hukum dianggap
tidak efektif jika terdapat perbedaan antara keduanya. Untuk mencari solusinya, langkah
solusinya, langkah apa yang harus dilakukan untuk mendekatkan kenyataan hukum (das sein)
dengan ideal hukum (das sollen) agar 2 (dua) variabel (law in books dan law in action)
menjadi sama.15
Hukum yang efektif adalah hukum yang sesuai dengan peraturan yang telah dibuat
dalam undang-undang dan hukum yang sesuai dengan harapan atau cita-cita dari masyarakat.
Berbicara tentang hukum memang sangat pelik terdapat takaran sebuah kenyataan hukum dan
sebuah ideal hukum. Kadangkala apa yang sudah menjadi ketetapan dalam undang-undang
sebuah hukum tidak sesuai dengan keinginan masyarakat, ataupun sebaliknya masyarakat
menginginkan sebuah hukum yang baru. Perubahan hukum dalam masyarakat dapat saja
terjadi karena dirasa memang sangat perlu yaitu dengan hadirnya peraturan atau norma-
norma yang sesuai dengan keadaan zaman masa kini.

14
Bambang Sutiyoso, Mencari Format Ideal Keadilan Putusan dalam Peradilan, Jurnal Hukum, Vol.1
No.2, 2010, Hal. 218.
15
Noor Muhammad Aziz, Urgensi Penelitian Dan Pengkajian Hukum Dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, Rechts Vinding, Vol. 1 No. 1, 2012, Hal. 23.
Dari beberapa konsep dasar karakteristik dan hal-hal yang dikaji sosiologi hukum,
maka bisa disimpulkan bahwa kegunaan sosiologi hukum sebagai ilmu pengetahuan untuk
memahami perkembangan masyarakat dalam kacamata kerangka terorganisir dan berproses
yang sepantasnya terjadi di masyarakat (bukan kerangka logis atau ideal) dalam studi
hubungan atau interaksi sosial masyarakat berhukum maka dapatlah kita runtut bahwa
sosiologi hukum sebagai alat memahami perkembangan masyarakat mempunyai kegunaan
antara lain sebagai berikut :
a. Sosiologi hukum berguna dalam memberikan dasar-dasar kemampuan bagi proses
pemahaman secara sosiologis fakta sosial hukum yang beranak-pinak di
masyarakat;
b. Sosiologi hukum dapat memberikan kemampuan untuk menganalisis aktivitas
kegiatan dalam masyarakat berhukum melalui penguasaan konsep-konsep dasar
sosiologi (baik secara mikro, meso, ataupun makrososiologi hukumnya);
c. Sosiologi hukum memberikan kemampuan dalam memprediksi dan evaluasi
“social fact” yang berkaitan dengan hukum yang bersifat empiris, non-doktrinal
dan non-normatif;
d. Sosiologi hukum dapat mengungkapkan tentang ideologi dan falsafah yang
berkristal mendasari cara berhukumnya dalam masyarakat;
e. Mengetahui kenyataan stratifikasi yang timbul dan berkembang serta berpengaruh
dalam hukum di masyarakat;
f. Sosiologi hukum juga mampu memberikan tentang pengetahuan perubahan sosial
hukum. 16
Sosiologi hukum merupakan kajian yang mempelajari tentang dampak
diberlakukannya sebuah hukum di dalam masyarakat, sehingga gejala-gejala sosial dapat
muncul dan berkembang dalam masyarakat. Gejala sosial yang nampak adalah peristiwa bagi
suatu individu atau kelompok sosial ketika mereka berhadapan dengan hukum.
Kasus-kasus yang pernah mengemuka di berbagai media, seperti kasus beberapa
tahun lalu yaitu Artalyta Suryani dan Anggodo, yang merupakan orang penting dan
mempunyai status sosial yang tinggi maka dalam perlakuan hukum lebih diistimewakan oleh
aparat penegak hukum. Berbeda dengan kasus Prita Mulyasari dan Nenek Minah yang
berasal dari kalangan masyarakat biasa, sehingga dengan mudah berhadapan dengan proses
hukum. Sosiologi hukum melihat tatanan realita empiris di masyarakat yang berhubungan

16
Alfan Biroli, Problematika Penegakan Hukum di Indonesia, Prodi Sosiologi FISIP, Universitas
Trunojoyo Madura, Hal. 6-7.
dengan penerapan hukum. Apakah terjadi keadilan atau tidak dalam mengungkap sebuah
fakta hukum yang ada. Masyarakat pun dapat menilai betapa berfungsinya dengan baik atau
tidak para aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya, sehingga kadangkala
stratifikasi sosial dalam masyarakat cukup berpengaruh besar dalam sistem penegakan
hukum. Artinya orang yang mempunyai jabatan atau kedudukan dalam kepemerintahan maka
akan dengan mudah untuk mempengaruhi dalam berjalannya mekanisme hukum, sedangkan
orang yang tidak mempunyai apa-apa hanya bisa pasrah dan tunduk pada aturan hukum yang
ada.
Respon dari masyarakat pun cukup tinggi terhadap penegakan hukum yang dianggap
masih kurang adil dan belum berjalannya hukum yang sesuai dengan harapan masyarakat.
Dampak yang ditimbulkan dengan adanya hukum yang tidak adil adalah masyarakat kurang
dapat percaya terhadap penegakan hukum, sehingga citra hukum di mata masyarakat menjadi
pudar. Alih-alih tujuan diterapkannya hukum adalah agar tercipta ketertiban dan kedamaian
didalam masyarakat. Sosiologi hukum tidak berbicara mengenai substansi atau materi hukum,
tetapi lebih merujuk pada dampak diterapkannya sumber hukum.
Terciptanya kehidupan yang kondusif, nyaman, dan tentram dalam berbangsa dan
bernegara merupan suatu momentum yang dinanti-nantikan negara ini. Adapun untuk
mewujudkan cita-cita tersebut adalah dengan cara mensterilisasi serta memperbaiki beberapa
hal yang memiliki pengaruh signifikan terhadap kehidupan masyarakat di Negara ini, salah
satunya adalah masalah penegakan hukum. Penegakan hukum hakikatnya adalah keserasian
antara penerapan hukum dengan ketertiban dengan ketentraman masyarakat. Ketertiban
dapat dicapai dengan kepastian hukum sedangkan ketentraman dapat dicapai dengan keadilan
dan kemanfaatan. 17
Paham penegakan hukum masyarakat bukanlah merupakan objek tetapi meupakan
subyek hukum sehingga apabila terjadi kondisi ketidaktertiban maka secara sosiologis kedaan
tidak tertib terjadi apabila dijumpai keadaan yang tidak kondusif bagi penegakan hukum.
Korelasi antara penegakan hukum dengan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan
hukum pun mulai tampak di sini di mana penegakan hukum memiliki tujuan untuk
mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum dan ketika hukum tidak mampu
menegakkannya maka akan melahirkan ketidaktertiban dan ketidaktenteraman yang berakibat
pada semakin hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum.
Ketidaktertiban dan ketidaktenteraman menimbulkan timbulnya persepsi masyarakat yang

17
Tonny Rompis, Kajian Sosiologi Hukum Tentang Menurunnya Kepercayaan Masyarakat Terhadap
Hukum Dan Aparat Penegak Hukum Di Sulawesi Utara, Lex Crimen Vol. IV No. 8, 2015, Hal. 7.
buruk terhadap penegakan hukum. Hal ini membuat masyarakat tidak mempercayai hukum
sebagai sarana penyelesaian konflik dan cenderung menyelesaikan permasalahannya di luar
jalur hukum.

B. Upaya yang Dapat Ditempuh Agar Masyarakat Dapat Memiliki Kepercayaan Terhadap
Penegakan Hukum dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya
Menurut Soejono Soekanto, masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak
pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti
yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada inti faktor-faktor tersebut.
Faktor-faktor tersebut adalah : 18
1. Faktor Hukum/Undang-Undang
Undang-undang adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh
Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah. Mengenai berlakunya undang-undang tersebut,
terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah agar undangundangtersebut mempunyai
dampak yang positif sesuai dengan tujuan di bentuknya undang-undang itu sendiri. Jadi,
suatu Undang-undang yang di bentuk tersebut haruslah sesuai dengan asas-asas berlakunya
undang-undang, dan tentunya harus memiliki peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan.
Juga untuk bahan pertimbangan dalam pembentukan suatu undang-undang adalah lebih
memperhatikan kejelasan arti kata-kata di dalam undang-undang, karena sering terjadi
kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta penerapannya.
2. Faktor Penegak Hukum
Secara sosiologis, setiap penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan (status) dan
peranan (role). Kedudukan sosial merupakan posisi tertentu di dalam struktur
kemasyarakatan yang mungkin tinggi, sedang, dan rendah yang di dalamnya terdapat suatu
wadah yang berisi hak-hak serta kewajibankewajiban tertentu. Oleh karena itu, seseorang
yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya dinamakan pemegang peranan. Dari penegak
hukum sendiri, terdapat beberapa halangan, yaitu:
a. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain
dengan siapa dia berinteraksi;
b. Tingkat aspirasi yang relative belum tinggi;
c. Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit
sekali untuk membuat suatu proyeksi;

18
Soejono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2010), Hal.1.
d. Belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan
tertentu,terutamakebutuhanmateril;
e. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme.
Menurut Soejono Soekanto, halangan-halangan tersebut dapat diatasi dengan cara
mendidik, melatih, dan membiasakan diri untuk mempunyai sikap-sikap,sebagai berikut :
a. Sikap yang terbuka terhadap pengalaman-pengalaman maupun penemuan-
penemuan baru. Artinya, sebanyak mungkin menghilangkan prasangka terhadap
hal-hal yang baru atau yang berasal dari luar, sebelum dicobamanfaatnya;
b. Senantiasa siap untuk menerima perubahan-perubahan setelah menilai
kekurangan-kekurangan yang ada pada saat itu;
c. Peka terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya dengan dilandasi
suatu kesadaran, bahwa persoalan-persoalan tersebut berkaitan dengan dirinya;
d. Senantiasa mempunyai informasi yang selengkap mungkin mengenai
pendiriannya;
e. Orientasi ke masa kini dan masa depan yang sebenarnya merupakan suatu
urutan;
f. Menyadari akan potensi-potensi yang ada di dalam dirinya, dan percaya bahwa
potensi-potensi tersebut akan dapat dikembangkan;
g. Berpegang pada suatu perencanaan dan tidak pasrah pada nasib (yang buruk);
h. Percaya pada kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam
meningkatkan kesejahteraan umat manusia;
i. Menyadari dan menghormati hak, kewajiban maupun kehormatan diri sendiri
maupun pihak-pihak lain;
j. Berpegang teguh pada keputusan-keputusan yang diambil atas dasar penalaran
dan perhitungan yang mantap.
3. Faktor Sarana dan Fasilitas
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum
akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut, antara lain mencakup tenaga
manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai,
keuangan yang cukup, dan lain-lain. Kalau hal-hal itu tidak terpenuhi, maka mustahil
penegakan hukum akan mencapai tujuannya. Penanggulangan yang tepat dan baik yang
diusulkan oleh Soejono Soekanto terhadap fasilitas sarana dan prasarana adalah :
a. Yang tidak ada-diadakan yang baru betul;
b. Yang rusak atau salah-diperbaiki dan dibetulkan;
c. Yang kurang-ditambah;
d. Yang macet-dilancarkan;
e. Yang mundur atau merosot-dimajukan atau ditingkatkan.
4. Faktor Masyarakat
Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian
di dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat
mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Di dalam bagian ini, diketengahkan secara garis
besar perihal pendapat-pendapat masyarakat mengenai hukum, yang sangat mempengaruhi
kepatuhan hukumnya.
Kiranya jelas, bahwa hal ini pasti ada kaitannya dengan faktor-faktor terdahulu, yaitu
undang-undang, penegak hukum, dan sarana atau fasilitas. Warga masyarakat dituntut untuk
dapat mengetahui mana hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka, sehingga mereka dapat
mengetahui aktifitasaktifitas penggunaan upaya-upaya hukum untuk melindungi, memenuhi,
dan mengembangkan kebutuhan-kebutuhan mereka dengan aturan yang ada.
5. Faktor Kebudayaan
Faktor kebudayaan yang sebenarnya bersatu padu dengan faktor masyarakat sengaja
dibedakan, karena di dalam pembahasannya diketengahkan masalah sistem nilai-nilai yang
menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau non material. Sebagai suatu sistem, maka hukum
mencakup, struktur, substansi, dan kebudayaan.
Kebudayaan yang baik diharapkan dapat dipenuhi oleh setiap pihak yang terkait
dalam hukum tersebut. Yang mana hal ini dapat ditinjau dari norma-norma yang berlaku
dalam masyarakat, yakni norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan norma
hukum. Tidak terlepas hal ini juga kembali kepada hukum adat yang tumbuh dan berkembang
di tengah masyarakat tersebut yang juga dapat berfungsi sebagai sarana untuk mengadakan
perubahan dan menciptakan hal-hal yang baru. 19
Dari ulasan-ulasan yang telah dipaparkan di atas, maka kelima faktor yang telah
disebutkan, mempunyai pengaruh terhadap penegakan hukum. Mungkin pengaruhnya adalah
positif dan mungkin juga negatif. Akan tetapi, di antara semua faktor tersebut, maka faktor
penegak hukum menempati titik sentral. Hal itu disebabkan, karena undang-undang disusun
oleh penegak hukum, penerapannya dilaksanakan oleh penegak hukum dan penegak hukum
dianggap sebagai golongan panutan hukum oleh masyarakat.

19
Afrinald Rizhan, Tinjauan Yuridis Upaya Penanggulangan Krisis Kepercayaan Masyarakat Kepada
Hukum di Indonesia, ProgramStudi Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu Sosial,Universitas Islam Kuantan Singingi, Hal.
4-6.
V. Simpulan
Penegakan hukum memiliki korelasi yang sangat erat dengan kepercayaan
masyarakat terhadap hukum di Indonesia. Korelasi tersebut terlihat dari tujuan penegakan
hukum yaitu untuk mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum dan ketika
hukum tidak mampu menegakkannya maka akan melahirkan ketidaktertiban dan
ketidaktenteraman yang berakibat pada semakin hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap
penegakan hukum. Ketidaktertiban dan ketidaktenteraman menimbulkan timbulnya persepsi
masyarakat yang buruk terhadap penegakan hukum. Hal ini membuat masyarakat tidak
mempercayai hukum sebagai sarana penyelesaian konflik dan cenderung menyelesaikan
permasalahannya di luar jalur hukum.

Upaya penanggulangan krisis kepercayaan masyarakat terhadap hukum dengan


merangkum berbagai pendapat serta menganalisis secara sosiologis hal-hal yang terjadi
dilapangan. Kesimpulannya, hukum akan dapat berjalan dengan baik apabila adanya kerja
sama antara aparat penegak hukum dengan masyarakat. Selain juga melakukan beberapa
upaya perubahanperubahan terhadap peraturan-peraturan yang sudah ada (undang-undang)
yang masih ada tumpang tindih dengan kepentingan-kepentingan sekelompok orang atau
dengan asas-asas berlakunya undang-undang tersebut, juga sikap dan moral etika dari aparat
penegak hukum merupakan suatu upaya yang paling utama, serta tingkah laku masyarakat
yang tidak boleh bertentangan dengan norma-norma yang berlaku. Masyarakat, pemerintah
atau aparat penegak hukum yang taat dan patuh dengan norma-norma yang berlaku tersebut,
dapat menciptakan suatu keharmonisan, ketentraman, ketertiban, dan kedamaian sehingga
kembali dapat mengembalikan kepercayaan hukum kepada masyarakat.

VI. Referensi
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Ali, Achmad, 1996, Menguak Tabir Hukum, Chandra Pratama, Jakarta.
Arianto, Hendry, 2010, Hukum Responsif dan Penegakan Hukum di Indonesia, Lex Jurnalica,
Vol. 7 No. 2.
Aziz, Noor Muhammad, 2012, Urgensi Penelitian Dan Pengkajian Hukum Dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Rechts Vinding, Vol. 1 No. 1.
Biroli, Alfan, Problematika Penegakan Hukum di Indonesia, Prodi Sosiologi FISIP,
Universitas Trunojoyo Madura.
Mertokusumo, Sudikno, 1976, Mengenal Hukum, Liberty,Yogyakarta.
Minarno, Nurbasuki, 2010, Penyalahgunaan Wewenang dalam Pengelolaan Keuangan
Daerah, Laksbang Mediatama, Jakarta.
Rahardjo, Satjipto dan Anton Tabah, 1993, Polisi, Pelaku dan Pemikir, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Rahardjo, Satjipto, 2009, Penegakan Hukum suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing,
Yogyakarta.
Rahardjo, Satjipto, 2010, Teori Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta.
Rizhan, Afrinald, Tinjauan Yuridis Upaya Penanggulangan Krisis Kepercayaan Masyarakat
Kepada Hukum di Indonesia, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu
Sosial,Universitas Islam Kuantan Singingi.
Rompis, Tonny, 2015, Kajian Sosiologi Hukum Tentang Menurunnya Kepercayaan
Masyarakat Terhadap Hukum Dan Aparat Penegak Hukum Di Sulawesi Utara, Lex
Crimen Vol. IV No. 8.
Soekanto, Soejono, 2010, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Sutiyoso, Bambang, 2010, Mencari Format Ideal Keadilan Putusan dalam Peradilan, Jurnal
Hukum, Vol.1 No. 2.
Utsman, Sabian, 2013, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Pustaka Pelajar Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai