Anda di halaman 1dari 20

PENDAHULUAN

Latar belakang
Hukum merupakan suatu sistem aturan yang mengatur perilaku dan interaksi antara
individu dalam suatu masyarakat. Namun, hukum tidak muncul begitu saja secara sendirinya.
Hukum dipengaruhi oleh kenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat itu sendiri.
Pengaruh masyarakat terhadap hukum ini dikenal sebagai segi realis dari pada hukum.
Segi realis dari hukum mengacu pada pandangan bahwa peristiwa-peristiwa nyata
yang terjadi dalam masyarakat memberikan pengaruh pada hukum. Dalam buku Soejadi,
Niuwenhuis menyatakan bahwa norma-norma hukum tidak dapat dipenuhi secara efektif
tanpa mempertimbangkan secara mendalam kejadian-kejadian nyata yang terjadi dalam
masyarakat yang ingin diatur oleh norma-norma hukum tersebut. Dengan demikian, hukum
senantiasa memiliki hubungan yang erat dengan kejadian-kejadian yang nyata dalam
masyarakat.1
Pengaruh masyarakat terhadap hukum dapat terlihat dalam beberapa aspek. Hukum
mencerminkan nilai-nilai, keyakinan, dan moralitas yang ada dalam masyarakat. Masyarakat
memiliki norma-norma dan standar perilaku yang membentuk dasar hukum. Hukum secara
aktif menyesuaikan diri dengan perubahan nilai-nilai dan kebutuhan masyarakat seiring
dengan perkembangan zaman. Hukum juga dipengaruhi oleh kebutuhan praktis dalam
menjaga ketertiban dan keadilan dalam masyarakat. Hukum harus mampu menyelesaikan
konflik dan masalah sosial yang muncul. Oleh karena itu, hukum harus merespons dan
mengakomodasi peristiwa-peristiwa nyata dalam masyarakat, baik yang bersifat individu
maupun kolektif.
Selain itu, hukum juga dipengaruhi oleh perkembangan sosial, ekonomi, dan
teknologi dalam masyarakat. Perubahan dalam struktur sosial, sistem ekonomi, dan kemajuan
teknologi dapat mengharuskan perubahan dalam hukum untuk mengakomodasi kebutuhan
dan tuntutan baru dalam masyarakat.
Selanjutnya, hukum juga tercermin dalam keinginan dan aspirasi masyarakat untuk
mencapai tujuan bersama. Masyarakat memiliki harapan dan keinginan tertentu dalam
membangun suatu tatanan sosial yang adil dan harmonis. Hukum menjadi sarana untuk
merealisasikan aspirasi tersebut dan memberikan kepastian hukum bagi seluruh anggota
masyarakat. Pengaruh masyarakat terhadap hukum juga dapat terlihat melalui proses
pembentukan hukum. Proses ini melibatkan partisipasi masyarakat dalam menyampaikan

1
Soejadi, Pancasila sebagai Sumber Tertib Hukum Indonesia (Yogyakarta: Lukman Offset, 1999), hlm.36
pendapat, memberikan masukan, dan terlibat dalam pembuatan undang-undang melalui
mekanisme demokratis. Dalam demokrasi, hukum merupakan produk kesepakatan bersama
dan mencerminkan kepentingan serta kehendak mayoritas masyarakat.
Ungkapan-ungkapan seperti "sifat masalahnya; kepentingan lalu lintas" merupakan
contoh konkret yang menunjukkan adanya pengaruh kejadian-kejadian yang nyata dalam
masyarakat terhadap hukum. Ini mengacu pada segi-segi realis dalam hukum. Segi realis
dalam hukum menggambarkan hubungan yang tidak terpisahkan antara hukum dan tingkah
laku manusia dalam masyarakat. Keduanya saling terkait dan saling mempengaruhi. Tidak
ada tindakan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dapat terlepas dari aturan
hukum. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa "dimana ada masyarakat, disitu ada hukum"
(ubi societas, ibi ius).
Selain itu, hukum juga dapat berfungsi sebagai objek pembangunan dalam rangka
mewujudkan suatu hukum yang ideal, yang sesuai dengan nilai-nilai yang hidup di
masyarakat. Pandangan ini sesuai dengan aliran sociological jurisprudence, yang berpendapat
bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan nilai-nilai yang tumbuh dan hidup
dalam masyarakat. Oleh karena itu, agar hukum sejalan dengan nilai-nilai yang hidup dalam
kehidupan masyarakat tersebut, maka hukum harus digali dari masyarakat itu sendiri.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa hukum akan selalu berkembang seiring
dengan perkembangan masyarakat yang terus bergerak menuju kemajuan dengan melakukan
perubahan-perubahan. Meskipun perubahan dalam masyarakat terjadi dengan cepat, lebih
cepat daripada perubahan yang dilakukan oleh hukum itu sendiri. 2 Oleh karena itu, agar
hukum dapat mengikuti perkembangan dalam masyarakat, hukum harus diperbarui secara
berkelanjutan. Dalam konteks ini, hukum menjadi objek dari pembangunan.
Dalam rangka memperbaharui hukum dan menjaga kesesuaiannya dengan
perkembangan masyarakat, langkah-langkah pembangunan hukum perlu dilakukan. Ini
termasuk melakukan peninjauan dan reformasi hukum secara berkala, melibatkan partisipasi
masyarakat dalam proses perumusan hukum, dan memperhatikan aspirasi serta nilai-nilai
yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian, hukum dapat menjadi alat yang efektif
dalam menciptakan tatanan hukum yang sesuai dengan kebutuhan dan harapan masyarakat.
Dalam aspek pembangunan, hukum memiliki peran penting sebagai penggerak dan
pengaman pembangunan serta hasil-hasilnya dalam masyarakat. Hal ini sejalan dengan
konsep "hukum sebagai sarana perubahan sosial" (law as a tool of social engineering) yang
diungkapkan oleh Roscoe Pound.
2
Soejadi, Pancasila sebagai Sumber Tertib Hukum Indonesia (Yogyakarta: Lukman Offset, 1999), hlm.37
Menurut Pound, hukum tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk mengatur kehidupan
bermasyarakat, tetapi juga sebagai sarana untuk melakukan rekayasa sosial. Dalam konteks
ini, hukum juga dipandang sebagai sarana untuk mengendalikan individu-individu agar
tujuan mereka sesuai dengan tujuan yang diinginkan oleh masyarakat, di mana individu-
individu tersebut menjadi bagian dari masyarakat.
Dalam rangka mewujudkan hukum yang benar-benar dapat mengakar dalam perilaku
masyarakat, perencanaan dan penelitian hukum memegang peranan penting. Penelitian
hukum bertujuan untuk memahami realitas masyarakat, kebutuhan masyarakat, serta nilai-
nilai dan budaya yang hidup dalam masyarakat tersebut. Dengan pemahaman tersebut,
hukum dapat dirancang dan disusun sedemikian rupa sehingga relevan, dapat diterima, dan
sesuai dengan keadaan sosial yang ada.
Sebelum melakukan desain pembangunan hukum, perencanaan dan penelitian hukum
harus dilaksanakan terlebih dahulu. Langkah ini memungkinkan pengumpulan data, analisis
terhadap permasalahan hukum yang ada, dan pemahaman yang lebih mendalam mengenai
dinamika masyarakat. Dengan demikian, pembangunan hukum dapat didasarkan pada
informasi yang akurat dan mempertimbangkan kepentingan serta aspirasi masyarakat.
Pembangunan hukum nasional memiliki peran yang sangat penting bagi masa depan
hukum di Indonesia. Meskipun tidak mudah, dengan tekad dan keinginan yang kuat dari
seluruh elemen bangsa dan negara, baik pemerintah (eksekutif, legislatif, dan yudikatif)
maupun masyarakat, harapan untuk mewujudkan hukum nasional yang diidamkan dapat
tercapai di masa depan.
Pentingnya membangun hukum nasional ini disebabkan oleh kenyataan bahwa
beberapa hukum yang diterapkan di Indonesia saat ini tidak lagi sesuai dengan kepribadian,
nilai-nilai, dan budaya bangsa Indonesia. Oleh karena itu, bangsa Indonesia perlu
membangun suatu sistem hukum nasional yang berstruktur dan memperhatikan nilai-nilai
sosial masyarakat dan bangsa Indonesia. Hal ini mencakup hukum nasional yang sesuai
dengan pikiran masyarakat Indonesia yang didasarkan pada semangat kolektivitas. Dengan
kata lain, dalam pembangunan hukum nasional, perlu dibangun melalui proses penemuan,
pengembangan, dan adaptasi yang mencerminkan jiwa bangsa Indonesia (volkgeist) bahkan
melalui kompromi dari berbagai sistem hukum yang ada.
Dalam rangka membangun hukum nasional yang kuat dan sesuai dengan karakteristik
masyarakat Indonesia, partisipasi aktif dari berbagai pihak sangat diperlukan. Seluruh elemen
bangsa, termasuk pemerintah (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), akademisi, praktisi hukum,
organisasi masyarakat sipil, dan masyarakat umum perlu terlibat dalam proses perencanaan
dan penelitian hukum.
Proses perencanaan hukum nasional harus melibatkan analisis mendalam terhadap
kebutuhan dan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat. Identifikasi permasalahan hukum
yang relevan, seperti ketimpangan sosial, ketidakadilan, pelanggaran hak asasi manusia, dan
kebutuhan akan regulasi yang memadai, harus menjadi fokus utama dalam perencanaan
tersebut. Selanjutnya, penelitian hukum yang cermat harus dilakukan untuk memahami
konteks sosial, budaya, dan nilai-nilai masyarakat yang akan menjadi dasar bagi
pengembangan hukum.
Dalam konteks pembangunan hukum nasional, juga penting untuk melibatkan
komunitas hukum, termasuk akademisi dan praktisi hukum, dalam proses perumusan dan
pembaharuan hukum. Mereka memiliki pengetahuan dan keahlian khusus yang dapat
memberikan kontribusi berharga dalam merancang hukum yang sesuai dengan perkembangan
masyarakat.3
Selain itu, partisipasi aktif dari masyarakat juga sangat penting. Melibatkan
masyarakat dalam proses perumusan kebijakan hukum melalui konsultasi publik, dialog, dan
partisipasi dalam pembuatan undang-undang dapat memastikan bahwa aspirasi dan
kepentingan masyarakat tercermin dalam hukum yang dihasilkan.
Pembangunan hukum nasional juga harus memperhatikan prinsip keadilan,
keberlanjutan, dan kesetaraan. Hukum yang dihasilkan harus mampu memberikan
perlindungan yang adil bagi seluruh lapisan masyarakat, tanpa diskriminasi berdasarkan suku,
agama, ras, gender, atau status sosial. Selain itu, hukum juga harus mampu menyesuaikan diri
dengan perubahan zaman dan mempertimbangkan dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan
dalam jangka panjang.
Pembangunan hukum nasional juga harus didukung oleh infrastruktur hukum yang
memadai, seperti lembaga penegak hukum yang independen dan profesional, sistem peradilan
yang efektif, dan mekanisme penegakan hukum yang transparan dan akuntabel. Peningkatan
kapasitas dan pengembangan sumber daya manusia di bidang hukum juga perlu diperhatikan
agar hukum dapat diterapkan dengan baik dan adil.
Dalam pembangunan hukum, penting untuk dilandasi oleh beberapa nilai yang
mendasar. Nilai-nilai ini memberikan landasan yang kokoh dan mengarahkan hukum agar
sesuai dengan konteks sosial, budaya, dan ideologi nasional Indonesia.

3
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: CV. Rajawali, 2006), hlm. 44.
Hukum harus didasarkan pada nilai-nilai ideologis nasional, yaitu Pancasila. Pancasila
adalah dasar filsafat negara Indonesia yang mencakup prinsip-prinsip seperti keadilan sosial,
demokrasi, persatuan, dan kesejahteraan bersama. Nilai-nilai Pancasila harus tercermin dalam
hukum, sehingga hukum dapat mempromosikan kehidupan berbangsa yang adil dan merata.
Dengan dilandasi oleh Pancasila sebagai nilai ideologis tersebut, hukum yang
dibangun diharapkan tidak bersifat statis dan beku, tetapi harus bersifat dinamis. Hukum yang
hidup (living law) adalah hukum yang dapat diperbarui dan disesuaikan dengan keinginan
dan kebutuhan masyarakat. Hukum harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan
zaman dan tuntutan sosial yang terus berubah. Prinsip ini memastikan bahwa hukum tetap
relevan dan berfungsi secara efektif dalam menjawab tantangan dan perubahan dalam
masyarakat.
Penting untuk diingat bahwa hukum ada untuk masyarakat, bukan sebaliknya. Oleh
karena itu, dalam pembangunan hukum, partisipasi aktif dan kesadaran masyarakat dalam
berhukum juga sangat penting. Masyarakat perlu terlibat dalam proses perumusan kebijakan
hukum dan menjunjung tinggi hukum sebagai sarana yang mendorong keadilan, kepastian,
dan manfaat bagi seluruh anggota masyarakat.

Rumusan Masalah

1. Apakah makna Pancasila sebagai Sumber dari Segala Sumber Hukum Negara?
2. Bagaimana Pancasila sebagai Ideologi dan Sumber dari Segala Sumber Hukum
Negara?
3. Bagaimanakah Nilai-nilai Pancasila sebagai Ideologi dalam pembangunan hukum
nasional?

Tujuan dan Manfaat


Tujuan
1. Untuk mengkaji dan memahami arti penting Pancasila sebagai sumber hukum negara.
Dengan memahami makna Pancasila sebagai sumber hukum negara, maka dapat
diidentifikasi dasar hukum apa yang digunakan dalam proses pembuatan undang-
undang dan kebijakan negara.
2. Untuk mengkaji dan memahami peran Pancasila sebagai ideologi dan sumber hukum
negara. Dengan memahami peran Pancasila sebagai ideologi dan sumber hukum
negara, maka dapat diidentifikasi bagaimana Pancasila membentuk nilai-nilai dasar
dalam pembuatan kebijakan dan undang-undang negara.
3. Untuk mengkaji dan memahami nilai-nilai Pancasila sebagai dasar dalam
pembangunan hukum nasional. Dengan memahami nilai-nilai Pancasila, maka dapat
diidentifikasi nilai-nilai mana yang harus dijunjung tinggi dalam proses pembuatan
kebijakan dan undang-undang negara.
Manfaat
1. Dapat membantu memperkuat landasan hukum negara dengan memastikan bahwa
kebijakan dan undang-undang yang dibuat sesuai dengan nilai-nilai Pancasila sebagai
dasar negara.
2. Dapat membantu memperkuat ideologi negara yang berdasarkan Pancasila, sehingga
dapat menjamin terwujudnya negara yang adil, makmur, dan demokratis.
3. Dapat membantu menjamin bahwa kebijakan dan undang-undang yang dibuat sesuai
dengan nilai-nilai Pancasila, sehingga dapat menciptakan masyarakat yang adil,
makmur, dan berkeadilan sosial.
PEMBAHASAN

Makna Pancasila Sebagai Sumber Dari Segala Sumber Hukum Negara

Sumber hukum adalah istilah yang merujuk pada asal usul atau tempat munculnya
hukum. Namun, istilah ini memiliki pengertian yang tidak presisi karena dapat memiliki
banyak arti dan seringkali menyebabkan kesalahpahaman. Oleh karena itu, diperlukan
penelitian yang cermat terhadap makna spesifik yang diberikan oleh teks tertentu untuk
memahami sumber hukum dengan tepat.4 Sumber hukum terdiri dari dua bagian, yaitu
sumber dan hukum. Sumber merujuk pada asal usul, tempat, atau orang dari mana sesuatu
berasal. Dalam konteks hukum, sumber hukum dapat dimaknai sebagai tempat atau asal
muasal dari hukum itu ada atau dimulai.5 Oleh karena itu, sumber hukum dapat mencakup
berbagai hal seperti konstitusi, undang-undang, peraturan pemerintah, yurisprudensi, doktrin,
dan sebagainya.
Menurut Hugh Thirlway, sumber hukum berkaitan dengan ide bahwa hukum harus
berasal dari suatu tempat dan ada proses yang membutuhkan waktu untuk menciptakan
hukum. Hukum mungkin ada secara konseptual dalam bentuk draf undang-undang atau
doktrin, namun hanya menjadi hukum yang memiliki kekuatan mengikat setelah diterima dan
diresmikan.6 Dalam konteks pembentukan hukum, sumber hukum memainkan peran penting
dalam menentukan jenis hukum apa yang akan dibuat dan bagaimana cara
mengaplikasikannya. Oleh karena itu, memahami sumber hukum dengan baik sangat penting
bagi para ahli hukum, praktisi, dan semua orang yang terlibat dalam proses pembentukan dan
penegakan hukum.
Menurut berbagai ahli hukum, sumber hukum memiliki pengertian yang berbeda-
beda. Hans Kelsen mengemukakan bahwa sumber hukum dapat merujuk pada semua metode
penciptaan hukum atau setiap norma yang lebih tinggi dalam hubungannya dengan norma
yang lebih rendah yang mengatur pembentukannya. Selain itu, sumber hukum juga dapat
diartikan sebagai dasar berlakunya hukum, terutama norma dasar dari suatu tatanan hukum.
Menurut teori hukum positivis, hanya hukum yang dapat menjadi sumber hukum.
Sementara itu, John Austin membagi sumber hukum menjadi dua pengertian.
Pertama, sumber hukum dapat merujuk pada pembuat hukum secara langsung, yaitu orang
atau badan legislatif yang berdaulat atau mereka yang memperoleh kekuasan dari badan

4
George Whitecross Paton, loc.cit.
5
Amy Hackney Blackwell, The Essential Law Dictionary (Naperville, Illinois: Sphinx Publishing, 2008), h. 465.
6
Hugh Thirlway, The Sources of International Law, dalam Malcolm D. Evans (Ed), International Law, First Edition
(Oxford: Oxford University Press, 2003), h. 118
legislatif untuk membuat hukum yang kedudukannya subordinasi dari hukum buatan badan
legislatif. Kedua, sumber hukum dapat diartikan sebagai monumen atau dokumen orisinal
atau paling awal yang dapat digunakan untuk mengetahui atau memperkirakan keberadaan
dan maksud dari seperangkat hukum tertentu.7
Thomas Erskine Holland menyatakan bahwa sumber hukum adalah term yang
ambigu, dan memiliki empat pengertian yang berbeda. Pertama, sumber hukum dapat
merujuk pada tempat ditemukannya pengetahuan hukum, misalnya buku-buku teks hukum,
laporan, atau risalah-risalah hukum. Kedua, sumber hukum dapat merujuk pada otoritas
paling tinggi yang memiliki kekuasaan memberikan kekuatan mengikat pada hukum, yaitu
negara. Ketiga, sumber hukum terkadang menunjukkan sebab-sebab yang dengan sendirinya
memunculkan aturan-aturan yang kemudian memiliki kekuatan mengikat, misalnya
kebiasaan dalam masyarakat, agama, dan diskusi ilmiah. Keempat, hukum dapat dimaknai
sebagai organ negara yang memiliki otoritas memberikan pengakuan hukum yang pada
mulanya tidak memiliki kekuatan mengikat, atau menciptakan hukum baru, misal ajudikasi
atau peraturan perundang-undangan.8
John W. Salmond menyatakan bahwa sumber hukum memiliki beberapa pengertian
yang harus dibedakan dengan jelas. Pertama, sumber hukum formal merujuk pada dari mana
hukum memperoleh kekuatan dan validitasnya. Dari sumber hukum formal ini, otoritas atau
kekuatan mengikat dari hukum diperoleh. Kedua, sumber hukum material berhubungan
dengan dari mana bahan atau materi hukum berasal, bukan terkait dengan keabsahan atau
validitas hukum. Sumber material menghasilkan substansi aturan hukum yang oleh sumber
formal diberikan kekuatan mengikat dan sifat hukum.9

Pancasila sebagai Ideologi dan Sumber dari Segala Sumber Hukum Negara

Pancasila adalah dasar falsafah negara Republik Indonesia yang terdiri dari lima sila.
Dalam konteks hukum negara, A. Hamid S. Attamimi menyatakan bahwa Pancasila
menempati dua tempat, yaitu sebagai cita hukum (Rechtsidee) dan norma fundamental
negara.
Penempatan Pancasila sebagai cita hukum merujuk pada penjelasan umum dalam
Undang-Undang Dasar 1945 (yang dihapuskan setelah perubahan UUD 1945) yang
7
John Austin, Lectures on Jurisprudence the Philosophy of Positive Law, Edited by Robert Campbell (New York:
Henry Holt and Company, 1875), h. 254.
8
Thomas Erskine Holland, The Elements of Jurisprudence, Twelth Edition (Oxford: The Clarendon Press, 1916),
h. 55.
9
John W. Salmond, Jurisprudence, Fourth Edition (London: Steven and Haynes, 1913), h. 17
menetapkan bahwa Pancasila adalah cita hukum yang menguasai hukum dasar negara, baik
itu hukum dasar yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Attamimi mengacu pada pemikiran
Rudolf Stammler yang menyatakan bahwa cita hukum adalah konstruksi pikir atau gagasan
yang menjadikan suatu keharusan untuk mengarahkan hukum menuju cita-cita yang
diinginkan oleh masyarakat.
Fungsi cita hukum adalah sebagai lentera pemandu untuk mewujudkan cita-cita
masyarakat. Keberadaan cita hukum memberikan manfaat karena memiliki dua sisi. Pertama,
cita hukum memungkinkan dilakukannya pengujian terhadap hukum positif. Dengan
memiliki cita hukum yang jelas, hukum positif dapat dinilai dan diuji apakah sesuai dengan
cita-cita yang dikehendaki oleh masyarakat. Kedua, cita hukum memberikan landasan bagi
hukum positif dalam upaya mencapai keadilan dengan menggunakan sanksi pemaksa yang
dapat diarahkan. Dalam hal ini, cita hukum menjadi titik pangkal untuk mengevaluasi apakah
hukum positif itu adil atau tidak.
Attamimi juga merujuk pada pemikiran filsuf lain, yaitu Gustav Radbruch, untuk
menguraikan fungsi cita hukum yang lebih luas. Selain berfungsi sebagai titik pangkal untuk
menguji keadilan hukum positif, cita hukum juga memiliki fungsi konstitutif sebagai dasar
hukum itu sendiri. Artinya, tanpa adanya cita hukum, hukum akan kehilangan makna dan
sifatnya sebagai hukum. Cita hukum menjadi landasan filosofis yang memberikan arah dan
tujuan bagi hukum positif dalam mencapai keadilan.
Pancasila tidak hanya menjadi norma fundamental negara yang diakui secara resmi,
tetapi juga menjadi cita hukum yang mengarahkan hukum positif menuju tujuan dan nilai-
nilai yang dikehendaki oleh masyarakat. Keberadaan cita hukum ini penting untuk
memastikan bahwa hukum yang ada sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan nilai-nilai
yang diwujudkan dalam Pancasila.
Pancasila, sebagai cita hukum, mengimplikasikan bahwa lima sila Pancasila berfungsi
sebagai cahaya pemandu yang harus digunakan sebagai referensi untuk memberikan
substansi pada setiap peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh organ yang berwenang.
Pancasila juga berfungsi sebagai batasan terhadap ruang lingkup peraturan perundang-
undangan. Isi hukum dan regulasi harus didasarkan pada prinsip-prinsip umum hukum, yaitu
sila-sila Pancasila baik secara individual maupun kolektif.
Selain sebagai cita hukum, Pancasila juga berfungsi sebagai norma fundamental
negara. Oleh karena itu, semua prinsip Pancasila, baik secara individu maupun kolektif,
menjadi norma dasar atau norma tertinggi bagi penerapan semua norma hukum yang
mengatur kehidupan masyarakat Indonesia. Dengan statusnya sebagai cita hukum, Pancasila
memiliki implikasi bagi pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum Indonesia yang
tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai cita hukum
yang bersifat konstitutif dan regulatif.
Sebagai cita hukum, Pancasila berfungsi sebagai prinsip panduan bagi pembentukan
peraturan perundang-undangan. Hal ini memberikan dasar filosofis dan arahan bagi pembuat
undang-undang untuk memastikan bahwa undang-undang yang mereka buat sejalan dengan
nilai-nilai dan aspirasi masyarakat Indonesia. Prinsip-prinsip Pancasila berfungsi sebagai
cahaya pemandu, menerangi jalan menuju masyarakat yang adil dan harmonis.
Selanjutnya, peran Pancasila sebagai norma fundamental negara berarti bahwa
Pancasila menentukan dasar validitas atau keabsahan norma hukum dalam sistem hukum
Indonesia. Prinsip-prinsip Pancasila berfungsi sebagai titik acuan utama untuk mengevaluasi
legitimasi dan kesesuaian hukum dengan nilai-nilai inti bangsa.
Dengan menggabungkan prinsip-prinsip Pancasila ke dalam peraturan perundang-
undangan, diharapkan hukum dan regulasi di Indonesia mencerminkan semangat keadilan,
kesetaraan, demokrasi, kesejahteraan sosial, dan harmoni agama. Hal ini memastikan bahwa
kerangka hukum negara sejalan dengan aspirasi masyarakat Indonesia dan berkontribusi pada
terwujudnya masyarakat yang adil dan sejahtera.
Peran ganda Pancasila sebagai cita hukum dan norma fundamental negara
memengaruhi formulasi, penerapan, dan validasi hukum di Indonesia. Pancasila berfungsi
sebagai prinsip panduan bagi pembuat undang-undang dan memberikan dasar legitimasi
norma hukum. Prinsip-prinsip Pancasila membentuk kerangka hukum negara dan memainkan
peran penting dalam menegakkan keadilan dan nilai-nilai yang dijunjung oleh masyarakat
Indonesia.10
Dalam teori jenjang norma hukum, Maria Farida Indrati Soeprapto menyatakan
bahwa Pancasila sebagai norma fundamental negara merupakan norma tertinggi dan tidak
lagi dibentuk oleh norma di atasnya. Pancasila diposisikan atau ditetapkan terlebih dahulu,
dan fungsinya adalah sebagai tempat bergantungnya norma-norma hukum yang berada di
bawahnya. Suatu norma akan kehilangan maknanya sebagai norma tertinggi jika norma
tersebut masih dibentuk berdasarkan norma yang berada di atasnya. Norma tertinggi memiliki

10
A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan
dalamKurun Waktu Pelita IPelita IV, Disertasi, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, h.
308-359
sifat pre-supposed, artinya dasar keberlakuannya tidak dapat dilacak lagi tetapi harus diterima
tanpa diperdebatkan lagi, sebagai hipotesis, fiktif, dan suatu aksioma.11
Berdasarkan pemahaman tentang sumber hukum formal dan sumber hukum material,
serta Pancasila sebagai cita hukum dan norma fundamental negara seperti yang dikemukakan
oleh A. Hamid S. Attamimi dan Maria Farida Indrati Soeprapto, dapat ditentukan makna
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara. Pertama, Pancasila merupakan
sumber hukum formal tertinggi untuk hukum negara. Semua hukum Indonesia hanya akan
memperoleh keabsahan atau validitas jika pembentukannya sesuai atau tidak bertentangan
dengan Pancasila. Kedua, Pancasila merupakan sumber hukum material tertinggi untuk
hukum negara. Artinya, substansi atau isi dari semua hukum Indonesia harus berbasis atau
tidak boleh menyimpang dari sila-sila dalam Pancasila, baik secara individu maupun kolektif.
Ketiga, semua hukum positif Indonesia harus dapat diuji dengan menggunakan Pancasila.
Pancasila menjadi titik puncak untuk menguji baik keabsahan maupun isi dari hukum positif
Indonesia.
Dengan demikian, Pancasila memiliki peran penting dalam menentukan validitas dan
substansi dari hukum negara di Indonesia. Sebagai norma tertinggi, Pancasila memberikan
pijakan filosofis dan prinsip-prinsip dasar yang harus diikuti oleh seluruh peraturan
perundang-undangan yang dibuat. Norma-norma hukum yang tidak sesuai dengan Pancasila
dapat dinyatakan tidak sah atau tidak memiliki keabsahan. Selain itu, Pancasila juga menjadi
landasan untuk menguji kelayakan dan kesesuaian hukum positif dengan nilai-nilai dan
aspirasi masyarakat Indonesia.
Dalam praktiknya, Pancasila menjadi acuan utama bagi lembaga-lembaga hukum dan
pembuat undang-undang dalam menyusun peraturan yang berkaitan dengan kehidupan
masyarakat. Hal ini bertujuan untuk menciptakan kerangka hukum yang sesuai dengan nilai-
nilai Pancasila, seperti keadilan, kesetaraan, demokrasi, kesejahteraan sosial, dan harmoni
agama. Dengan mengikuti Pancasila sebagai sumber hukum, diharapkan hukum di Indonesia
dapat mewujudkan tujuan-tujuan nasional dan memberikan perlindungan yang adil kepada
seluruh rakyat Indonesia.
Dalam kesimpulannya, Pancasila sebagai norma fundamental negara berperan sebagai
norma tertinggi dalam hierarki norma hukum. Pancasila menjadi acuan formal dan material
bagi hukum negara di Indonesia. Norma-norma hukum harus sesuai dengan Pancasila dalam
pembentukan dan substansinya. Pancasila menjadi landasan filosofis dan moral yang

11
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan Dasar-dasar dan Pembentukannya (Yogyakarta:
Kanisius, 1998), h. 28=29.
mempengaruhi pembentukan dan pengujian keabsahan hukum di Indonesia. Dengan
demikian, Pancasila memiliki peran sentral dalam membentuk sistem hukum yang adil dan
mencerminkan nilai-nilai yang dihormati oleh masyarakat Indonesia.

Nilai-Nilai Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Pembangunan Hukum Nasional

Pancasila adalah pandangan hidup bangsa dan dasar negara Indonesia yang digali dan
ditemukan dari nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia.
Pancasila dianggap sebagai ideologi karena merupakan cara pandang terhadap negara.
Koento Wibisono, seorang pemikir dan tokoh politik Indonesia, mengungkapkan tiga aspek
yang menjadikan Pancasila sebagai suatu ideologi.
Pertama, aspek realitas menunjukkan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila mencerminkan kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Sebagai ideologi, Pancasila harus memberikan citra bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam
dirinya merupakan gambaran nyata dari keadaan masyarakat itu sendiri. Artinya, Pancasila
harus relevan dengan kondisi riil masyarakat Indonesia dan mampu menjawab tantangan
serta perubahan yang terjadi.
Kedua, aspek identitas menekankan bahwa kadar idealisme yang terdapat dalam
Pancasila mampu membangkitkan motivasi dan semangat bagi para pendukungnya. Pancasila
bukan hanya sekadar angan-angan tanpa makna, melainkan memiliki daya dorong yang kuat
untuk diwujudkan dalam kehidupan nyata. Identitas Pancasila ini menjadi pendorong bagi
individu dan masyarakat untuk menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Ketiga, aspek fleksibilitas menunjukkan bahwa Pancasila tetap relevan dan fungsional
sebagai dasar dan panduan dalam kehidupan nyata. Pancasila harus mampu beradaptasi
dengan perubahan zaman dan tetap menjadi pedoman yang kokoh dalam menghadapi
berbagai tantangan yang muncul. Fleksibilitas ini memungkinkan Pancasila untuk tetap
menjadi landasan bagi pembangunan dan perkembangan negara Indonesia, serta mampu
menyesuaikan diri dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang terus berkembang.12
Koento Wibisono menjelaskan bahwa Pancasila memenuhi tiga aspek penting sebagai
suatu ideologi. Pertama, Pancasila mencerminkan kenyataan dalam masyarakat. Kedua,
Pancasila memiliki identitas yang mampu membangkitkan motivasi dan semangat. Ketiga,
Pancasila tetap fleksibel dan relevan dalam kehidupan nyata. Hal-hal ini menjadikan

12
Koento Wibisono, Pancasila Suatu Telaah Ideologik dalam Perspektif 25 Tahun Mendatang, Pusat Studi
Pancasila (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1996), hlm. 9
Pancasila menjadi ideologi yang diakui dan diterima oleh masyarakat Indonesia sebagai
landasan dan pedoman dalam membangun negara yang adil dan berdaulat.
Ideologi Pancasila memiliki perbedaan yang signifikan dengan ideologi-ideologi
Barat, seperti ideologi liberalisme-kapitalisme, dan juga dengan ideologi
Marxisme/komunisme serta ideologi keagamaan. Bagi bangsa Indonesia, ideologi Pancasila
lahir sebagai hasil dari perjuangan bangsa yang telah terjajah oleh kekuatan asing dan
berhasil meraih kemerdekaan.
Mochtar Pabottinggi menjelaskan bahwa suatu negara dikatakan memiliki ideologi
ketika negara tersebut mengambil keputusan untuk mengubah kenyataan masa lalu dan masa
kini sesuai dengan rangkaian gagasan yang ada dalam ideologi tersebut. Dalam hal ini,
Pancasila sebagai ideologi Negara Indonesia mengandung konsep-konsep yang berbeda
dengan ideologi-ideologi lainnya.13
Pancasila lahir dalam konteks sejarah peradaban dan budaya Timur yang menghargai
dan mengutamakan nilai-nilai religiusitas. Hal ini membedakan Pancasila dari ideologi-
ideologi lain yang mungkin lebih berakar pada pemikiran Barat. Pancasila mengakui
pentingnya peran nilai-nilai religius dalam kehidupan bermasyarakat.
Pancasila juga menempatkan dirinya sebagai ideologi yang berbeda dari sosialisme-
komunisme dan kapitalisme-liberalisme. Ideologi sosialisme-komunisme cenderung
mengedepankan penghilangan kepemilikan pribadi dan mengedepankan kepemilikan
bersama atas sumber daya. Sementara itu, ideologi kapitalisme-liberalisme cenderung
mengedepankan kebebasan individu dan pasar bebas. Pancasila mengambil pendekatan
tengah yang mengakui dan melindungi hak individu serta hak masyarakat, baik dalam bidang
ekonomi maupun politik.14
Dalam bidang ekonomi, Pancasila menganut prinsip ekonomi kerakyatan yang
menjunjung tinggi keadilan sosial. Prinsip ini memastikan bahwa pembangunan ekonomi
tidak hanya menguntungkan segelintir individu atau kelompok, tetapi juga memperhatikan
kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh masyarakat. Pancasila juga menekankan pentingnya
partisipasi aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan politik, sehingga hak masyarakat
dalam ranah politik diakui dan dilindungi.
Ideologi Pancasila memiliki karakteristik yang berbeda dengan ideologi-ideologi
Barat, Marxisme/komunisme, maupun ideologi keagamaan. Pancasila menghargai nilai-nilai
religiusitas, mengakui hak individu dan masyarakat, serta mengedepankan prinsip keadilan

13
Mochtar Pabottinggi, Pancasila dan Demitologi, Majalah Prisma, Nomor 8, Agustus, 1977
14
Soesanto Darmosoegondo, Falsafah Pancasila, (Bandung: Alumni, 1975), hlm. 290.
sosial dalam bidang ekonomi dan politik. Dalam konteks sejarah Indonesia, Pancasila
menjadi cerminan dari perjuangan bangsa dan simbol dari kemerdekaan yang telah diraih.
Pancasila sebagai ideologi terbuka memiliki hakikat sebagai kumpulan nilai-nilai yang
terstruktur dalam sebuah sistem yang lengkap, bulat, dan utuh. Sistem falsafah Pancasila ini
mengandung nilai-nilai fundamental yang mencakup ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan, dan keadilan sosial. Oleh karena itu, Pancasila dapat dianggap sebagai sistem
falsafah yang mencakup nilai-nilai tersebut.15
Sebagai ideologi nasional Indonesia, Pancasila memiliki fungsi yang penting dalam
menggerakkan masyarakat dalam membangun bangsa. Fungsi ini melibatkan usaha-usaha
yang mencakup semua aspek kehidupan. Pancasila tidak hanya menjadi asas kerohanian,
pandangan hidup, dan pedoman hidup bagi bangsa dan negara, tetapi juga menjadi sesuatu
yang harus dijaga, dikembangkan, dan diamalkan oleh seluruh elemen masyarakat.
Sebagai ideologi negara, Pancasila menjadi prinsip dan orientasi dalam kehidupan
bernegara yang diyakini mampu menggerakkan bangsa untuk mewujudkan cita-cita
kemerdekaan. Dalam hal ini, Pancasila berperan sebagai acuan utama dalam proses
pembangunan negara dan mendorong terciptanya kemajuan sosial, politik, dan ekonomi.
Pancasila sebagai ideologi terbuka memberikan ruang bagi interpretasi dan
pengembangan nilai-nilainya sesuai dengan perkembangan zaman. Meskipun sistem
falsafahnya terstruktur secara utuh, Pancasila tetap mampu menyesuaikan diri dengan
kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Dalam konteks ini, Pancasila sebagai ideologi nasional
mengajarkan pentingnya adaptasi dan fleksibilitas tanpa mengabaikan nilai-nilai inti yang
mengikatnya.
Dengan demikian, Pancasila bukan hanya menjadi ideologi formal yang diadopsi oleh
negara, tetapi juga menjadi landasan moral, etika, dan prinsip hidup bagi masyarakat
Indonesia. Pancasila mendorong persatuan, keadilan, demokrasi, dan kesejahteraan bagi
seluruh warga negara. Nilai-nilai Pancasila menjadi pijakan yang kuat untuk membangun
negara yang adil, demokratis, dan berdaulat, serta mencapai tujuan kemerdekaan yang telah
menjadi cita-cita bangsa Indonesia.
Pancasila telah diakui sebagai cita hukum dan sumber hukum tertinggi dalam teori
hierarki norma hukum di Indonesia. Sebagai cita hukum, Pancasila membawa tiga nilai utama
yang membentuk dasar pembangunan sistem hukum nasional.
1. Nilai dasar adalah asas-asas yang diterima sebagai prinsip-prinsip mutlak yang
menjadi landasan hukum. Nilai dasar Pancasila mencakup nilai ketuhanan,
15
Teguh Prasetyo, Hukum dan Sistem Hukum ... hlm. 61.
nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan. Nilai-
nilai ini dianggap sebagai prinsip yang harus dijunjung tinggi dalam
pembentukan dan pelaksanaan hukum di Indonesia.
2. Nilai instrumental merupakan implementasi umum dari nilai-nilai dasar
tersebut dalam bentuk norma hukum yang diwujudkan dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Nilai-nilai instrumental Pancasila adalah
nilai-nilai yang muncul dari interpretasi dan aplikasi nilai-nilai dasar dalam
pembentukan peraturan hukum konkret. Peraturan perundang-undangan yang
dibuat dan berlaku di Indonesia seharusnya mencerminkan nilai-nilai dasar
Pancasila.
3. Nilai praktis adalah nilai-nilai yang sebenarnya diterapkan dan dijalankan
dalam kehidupan nyata masyarakat Indonesia. Nilai-nilai praktis ini berasal
dari nilai-nilai dasar dan nilai instrumental Pancasila. Nilai-nilai praktis
merupakan ukuran yang menentukan sejauh mana nilai instrumental dan nilai-
nilai dasar Pancasila dapat diterapkan dan hidup dalam kehidupan masyarakat
Indonesia. Contohnya adalah sejauh mana warga masyarakat patuh terhadap
hukum atau bagaimana penegakan hukum dilakukan.
Dalam konteks pembangunan sistem hukum nasional, Pancasila menjadi acuan utama
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Peraturan hukum yang dibuat harus
selaras dengan nilai-nilai dasar Pancasila dan diimplementasikan secara konsisten dalam
kehidupan masyarakat. Pemenuhan nilai dasar dan implementasi nilai instrumental Pancasila
diukur melalui nilai-nilai praktis yang tercermin dalam kepatuhan masyarakat terhadap
hukum dan efektivitas penegakan hukum.16
Dengan demikian, cita hukum Pancasila memberikan dasar yang kuat bagi
pembangunan sistem hukum nasional yang berlandaskan nilai-nilai dasar Pancasila. Melalui
nilai-nilai instrumental dan praktis, nilai-nilai Pancasila diwujudkan dalam peraturan hukum
dan dijalankan dalam kehidupan masyarakat sebagai tolak ukur kepatuhan dan efektivitas
penegakan hukum.
Pengkonkretisan nilai-nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praktis Pancasila ke
dalam norma hukum sangatlah penting. Hal ini karena hukum yang dibangun harus mampu
mengakomodasi kepentingan nasional Indonesia dalam skala nasional, regional, maupun

16
Teguh Prasetyo dan Arie Purnomosidi, Membangun Hukum berdasarkan Pancasila, Bandung: Nusa Media,
2014), hlm. 156
global. Oleh karena itu, nilai-nilai Pancasila menjadi pedoman dan pemandu dalam menguji
dan menentukan arah serta karakteristik hukum positif Indonesia.
Berikut adalah penjabaran mengenai nilai-nilai Pancasila dalam pembangunan hukum:
a. Nilai Ketuhanan
Dalam perancangan dan pembentukan hukum di Indonesia, nilai-nilai ketuhanan
harus menjadi dasar. Ini mencakup jaminan kebebasan beragama dan larangan bagi
hukum untuk memberikan perlakuan istimewa terhadap satu agama tertentu sambil
mengabaikan agama lainnya.
b. Nilai Kemanusiaan
Dalam setiap pembentukan hukum, penting untuk menciptakan masyarakat yang
beradab dan hukum yang menghormati hak asasi manusia. Hukum harus melindungi
martabat, kebebasan, dan hak-hak fundamental setiap individu.
c. Nilai Persatuan
Nilai persatuan membutuhkan perhatian khusus dalam pembentukan hukum. Hukum
harus mempromosikan dan memperkuat persatuan bangsa dan negara. Pembentukan
hukum tidak boleh menyebabkan disintegrasi dan perpecahan dalam masyarakat.
d. Nilai Kerakyatan
Dalam pembentukan hukum, nilai-nilai demokratis harus menjadi dasar. Hal ini
melibatkan semua pihak yang ada dalam negara, termasuk eksekutif, legislatif,
yudikatif, dan masyarakat secara keseluruhan. Dengan demikian, hukum yang
berlaku di Indonesia dapat mendukung terwujudnya demokrasi yang berkelanjutan.
e. Nilai Keadilan Sosial
Tujuan pembentukan hukum nasional adalah memberikan nilai-nilai keadilan dan
kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Hukum harus menciptakan sistem yang
adil, mengurangi kesenjangan sosial, dan memastikan keadilan distributif serta
kesempatan yang setara bagi semua warga negara.17
Melalui pengintegrasian nilai-nilai Pancasila dalam pembangunan hukum, diharapkan
bahwa hukum yang dibentuk dapat mencerminkan nilai-nilai dasar Pancasila dan
mempromosikan kesejahteraan sosial, persatuan, dan keadilan bagi seluruh masyarakat
Indonesia.
Menurut Magnis Suseno, nilai-nilai atau sila-sila Pancasila dalam pembangunan
hukum mencakup lima hal sebagai berikut:

17
4 Teguh Prasetyo dan Arie Purnomosidi, Membangun Hukum berdasarkan Pancasila, Bandung: Nusa Media,
2014), hlm. 157
a. Pembangunan hukum harus didasarkan pada sikap hormat terhadap manusia,
mengakui kesetaraan manusia, tidak memperlakukan manusia sebagai objek
perencanaan, tidak mengorbankan satu pihak demi keuntungan pihak lain, dan tidak
menyengsarakan orang lain untuk mencapai kemajuan. Hal ini sejalan dengan sila
ke-2 Pancasila, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab.
b. Pembangunan hukum tidak boleh menjadikan manusia sebagai objek, sarana, atau
korban untuk mencapai kemajuan. Oleh karena itu, pembangunan hukum sebaiknya
dilakukan secara dialogis dan partisipatif, bukan secara paternalistik dan teknokratis.
Sikap ini sesuai dengan sila ke-4 Pancasila.
c. Pembangunan hukum harus menghormati martabat manusia dengan menjamin nilai-
nilai dasar manusia dan menghormati hak asasi manusia. Sikap ini sejalan dengan
sila kedua dan keempat Pancasila.
d. Pembangunan hukum harus menerapkan prinsip penghormatan terhadap martabat
manusia dalam struktur dan lembaga kehidupan masyarakat. Hal ini berarti
pembangunan hukum harus mencerminkan penghormatan terhadap martabat
manusia dan memastikan keberadaan lembaga yang mendukung penghormatan
tersebut. Sikap ini sesuai dengan sila ke-5 Pancasila.
e. Pembangunan hukum harus memiliki sikap hormat terhadap martabat manusia
dalam penentuan prioritas pembangunan. Dalam hal ini, pembangunan perlu
mempertimbangkan norma-norma yang menetapkan prioritas pembangunan dengan
tetap menghormati martabat manusia. Sikap ini sejalan dengan sila kedua dan ketiga
Pancasila.18
Dengan menerapkan nilai-nilai ini dalam pembangunan hukum, diharapkan hukum
yang dibangun dapat mencerminkan penghargaan terhadap martabat manusia, mengutamakan
keadilan, menghormati hak asasi manusia, serta melibatkan partisipasi masyarakat dalam
proses pembangunan.

Dengan menjelaskan nilai-nilai Pancasila dan mengkonkretisasikannya ke dalam


hukum nasional, diharapkan hukum nasional dapat mencapai tujuan-tujuan berikut:

18
M. Ali Mansyur, Pancasila Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, Dalam Ahmad Gunawan dan
Mu’amar Ramadhan (Penyunting), Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Cet. Kedua, , (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar 2012), hlm. 283-284.
1) Hukum nasional diharapkan dapat mengikuti perkembangan dinamika yang terjadi
dalam masyarakat. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa Pancasila, yang merupakan
dasar nilai-nilai hukum nasional, berasal dari budaya dan kehidupan masyarakat
Indonesia sendiri. Oleh karena itu, dengan membangun hukum nasional berdasarkan
nilai-nilai Pancasila, diharapkan hukum dapat mengikuti perkembangan yang terjadi
dalam masyarakat.
2) Hukum nasional diharapkan dapat berlaku secara efektif di masyarakat. Setelah
hukum mengikuti perkembangan dinamika dalam masyarakat, tujuan selanjutnya
adalah agar hukum tersebut dapat diterapkan secara efektif dalam kehidupan
masyarakat. Dalam konteks ini, efektivitas hukum berarti hukum tidak terasing dari
masyarakat. Ada tiga makna penting dari hukum teralienasi dari masyarakat, yaitu
hukum hanya menjadi teks tanpa makna sosial yang signifikan, hukum menjadi
sumber konflik dalam masyarakat, dan masyarakat tidak patuh terhadap hukum yang
berujung pada hilangnya makna dan kewibawaan hukum di mata masyarakat.
3) Terdapat harmonisasi antara hukum-hukum yang ada. Dalam negara hukum
Pancasila, pembangunan hukum nasional bertujuan untuk menciptakan harmonisasi
hukum dan menghilangkan pluralisme hukum yang selama ini terjadi. Harmonisasi
hukum dapat diartikan sebagai proses untuk mencapai keselarasan, kesesuaian,
keserasian, kecocokan, dan keseimbangan antara norma-norma hukum dalam
peraturan perundang-undangan sebagai satu kesatuan sistem hukum nasional.
Harmonisasi ini mengacu pada nilai-nilai filosofis, sosiologis, ekonomis, dan yuridis.
4) Hukum nasional diharapkan tidak bertentangan dengan tujuan bangsa dan negara
Indonesia. Dalam pembangunan atau pembentukan hukum nasional yang didasarkan
pada nilai-nilai Pancasila, tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam pembukaan
UUD 1945 dapat terwujud. Tujuan tersebut mencakup melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dunia, dan mewujudkan
keadilan sosial.
Dengan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam pembangunan hukum nasional,
diharapkan hukum dapat berfungsi sebagai instrumen yang responsif terhadap perkembangan
masyarakat, efektif dalam penerapannya, harmonis dalam struktur hukum, dan sesuai dengan
tujuan nasional yang dikehendaki.
PENUTUP
Kesimpulan

Ideologi Pancasila, sebagai dasar negara Indonesia, memiliki nilai-nilai yang


mendalam dan mencakup aspek-aspek penting dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam
pembangunan hukum nasional, nilai-nilai Pancasila dijabarkan dan dikonkretisasikan ke
dalam norma-norma hukum sebagai pedoman dan pemandu.
Pancasila sebagai cita hukum dan sumber hukum tertinggi memiliki tiga nilai utama:
nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praktis. Nilai dasar mencakup aspek-aspek seperti
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Nilai instrumental merupakan
implementasi dari nilai-nilai dasar yang diwujudkan dalam norma-norma hukum. Nilai
praktis, di sisi lain, merupakan nilai-nilai yang diaplikasikan dalam realitas kehidupan
masyarakat sebagai pengujian terhadap keberadaan nilai instrumental dan nilai dasar itu
sendiri.
Pengkonkretisasian nilai-nilai Pancasila ke dalam hukum nasional memiliki tujuan
yang jelas. Pertama, hukum nasional diharapkan dapat mengikuti perkembangan dinamika
masyarakat sehingga tetap relevan dan berdaya guna. Kedua, hukum tersebut diharapkan
berlaku secara efektif dalam masyarakat, tidak teralienasi, dan memiliki makna sosial yang
signifikan. Ketiga, harmonisasi antara hukum-hukum yang ada menjadi penting untuk
menghilangkan pluralisme hukum dan menciptakan sistem hukum yang terpadu. Terakhir,
hukum nasional yang dibangun berdasarkan Pancasila diharapkan tidak bertentangan dengan
tujuan bangsa dan negara, melainkan dapat mendukung perlindungan terhadap bangsa
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, meningkatkan kecerdasan bangsa, menjaga
ketertiban dunia, dan mewujudkan keadilan sosial.
Pancasila sebagai ideologi merupakan landasan yang kuat bagi pembangunan hukum
nasional Indonesia. Dengan menjadikan Pancasila sebagai pedoman, hukum nasional dapat
menyesuaikan diri dengan perubahan dan perkembangan masyarakat, mengikuti prinsip-
prinsip demokrasi, menghormati hak asasi manusia, memperkuat persatuan dan kesatuan
bangsa, dan mewujudkan keadilan sosial. Dalam upaya mencapai tujuan-tujuan tersebut,
implementasi nilai-nilai Pancasila dalam hukum nasional sangatlah penting dan harus
menjadi pijakan utama dalam pembentukan dan penerapan hukum di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Hariyanto. (2018). Pembangunan Hukum Nasional Berdasarkan Nilai-Nilai Pancasila.


Volkgeist, 1(1).
Diakses dari http://volkgeist.iainpurwokerto.ac.id/index.php/volkgeist/article/view/1
Isgiyati, Jaga et. al., “Studi Tentang Teori Gone dan Pengaruhnya Terhadap Fraud Dengan
Idealisme Pimpinan Sebagai Variabel Moderasi: Studi Pada Pengadaan Barang/Jasa di
Pemerintahan” (2018) 5:1 Jurnal Dinamika dan Akuntansi Bisnis 32.
Komang Adi Sastra Wijaya dan Piers Andreas Noak, “Internalisasi Etika Birokrasi Dan
Penguatan Sistem Pengendalian Sumber Daya Manusia Dalam Rangka Mencegah
Korupsi” (2019) 1:1 Jurnal Ilmiah Widya Sosiopolitika 52-53.
Saputra, Inggar, “Implementasi Nilai Pancasila Dalam Mengatasi Korupsi di Indonesia”
(2017) 2:1, Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan 13.

Anda mungkin juga menyukai