ABSTRAK
ABSTRACK
Qawaid Fiqhiyyah can be used as a tool in resolving legal issues that have no legal
provisions or certainty. The muamalah field is one of the fields in Qawaid Fiqhiyyah al-
Khashah. It is necessary to decipher the Qaidah Fiqhiyyah in order to find out its application
in economic transactions (muamalah) in accordance with Islamic law by referring to the
Compilation of Syari'ah Economic Law (KHES). These rules ُ اqaidah include, the purpose of
this qaidah is that between wages and compensation are not gathered or cannot be united
when the provision of wages and compensation is the same because the wages are issued and
the objects to be replaced are the same. But if both are different, then why not wages and
compensation unite. This fiqhiyyah law relates to muamalah transactions for rent (ijarah)
with wages to pay (ujrah) and compensation (adh-dhaman). Whereas in the Fiqhiyyah
Qaidah ُ ْ ا ُمرqaidah this of purpose the , ُ م ُغ ابم ُ ْغنis that the risk accompanying benefits
means that someone who uses something must bear the risk, must be responsible for the
dharar or ghurmu and dhaman that will occur. This qaidah fiqhiyyah relates to profits and
losses as well as risks in the loan and loan transactions. The provisions concerning the
obligation to replace damage due to negligence and responsibility for object maintenance in
ijarah transactions, as well as responsibility for the costs of storing and maintaining assets in
ariyah and rahn transactions are stated in the articles contained in the Compilation of Sharia
Economic Law (KHES) which can be a reference in the transaction activities.
A. Pendahuluan
Qawaid fiqhiyyah adalah dasar-dasar atau fondasi bagi fiqh. Qawaid fiqhiyah (kaidah-
kaidah fikih) terdiri dari kaidah umum dan kaidah khusus, kaidah khusus terbagi lagi kepada
beberapa bidang, salah satunya adalah di bidang Ekonomi (Muamalah). Kaidah yang khusus
di bidang Ekonomi (Muamalah) menjadi sangat penting karena perhatian sumber hukum
Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadits terkait ibadah mahdhah dan hukum keluarga Islam lebih
dominan dibanding dengan fiqh-fiqh yang lain. Akibatnya, di bidang fiqh-fiqh selain ibadah
mahdhah dan hukum keluarga Islam, ruang lingkup ijtihad menjadi sangat luas dan materi-
materi fiqh sebagai hasil ijtihad menjadi sangat banyak.
Kepentingan qawaid fiqhiyyah dari segi penggalian dan penetapan hukum Islam
mencakup beberapa persoalan yang sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu, qawaid
fiqhiyyah dapat dijadikan sebagai salah satu alat dalam menyelesaikan persoalan hukum yang
belum ada ketentuan atau kepastian hukumnya. (Faturrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah
Muamalah, (Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan Kualitas Ummat )
Terkait dengan persoalan-persoalan dalam bidang muamalah baik Al-Muamalah Al-
Madiyah yaitu muamalah yang bersifat kebendaan yakni benda yang halal, haram dan
syubhat untuk dimiliki, diperjualbelikan atau diusahakan, benda yang menimbulkan
kemudharatan dan mendatangkan kemaslahatan bagi manusia dan lain sebagainya atau terkait
Al-Muamalah Al-Adabiyah seperti adanya keridhaan kedua pihak yang melangsungkan akad,
ijab kabul, (Mashunah Hanafi, Fiqh Praktis, (Banjarmasin: PT. LKiS Printing Cemerlang,
2015) tidak ada keterpaksaan, kejujuran, penipuan dan lain sebagainya, maka hadirlah apa
yang dinamakan qawaid fiqhiyyah muamalah yang merupakan qaidah fiqhiyyah yang dhabit
fiqhiyyahnya berkaitan dengan bab fiqh muamalah.
Tentunya dalam muamalah, terdapat banyak sekali usaha-usaha manusia yang
berhubungan dengan barang dan jasa. Dengan perkembangan ilmu dan tekhnologi serta
tuntutan masyarakat yang makin meningkat, maka melahirkan model-model transaksi baru
yang membutuhkan penyelesaiannya dari sisi hukum Islam. Penyelesaian yang di satu sisi
tetap Islami dan di sisi lain mampu menyelesaikan masalah kehidupan yang nyata, sudah
tentu caranya adalah dengan menggunakan kaidah-kaidah. (Mustafa Ahmad al-Zarqa, al-Fiqh
al Islami fi Tsaubihi al-Jadid)
Adapun kaidah-kaidah fiqih di bidang muamalah mulai dari kaidah asasi dan
cabangnya, kaidah umum dan kaidah khusus yang kemudian dihimpun oleh ulama-ulama
Turki zaman kekhalifahan Turki Utsmani tidak kurang dari 99 kaidah yang termuat dalam
Majallah al-Ahkam alAdliyyah. Kesembilan puluh sembilan kaidah tadi menjadi acuan dan
menjadi jiwa dari 1.851 pasal tentang transaksi yang tercantum dalam Majallah al-Ahkam al-
Adliyyah. (A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam
Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis)
Pada dasarnya Majallah al-Ahkam al-Adliyyah (Kompilasi Hukum Islam) tersebut
merupakan salah satu ensiklopedi fiqh Islam yang hanya memuat peraturan keperdataan
dalam bidang muamalah saja dan sebagian kecil tentang hukum peradilan. Berdasar hal ini
penulis tertarik ingin menguraikan penjelasan beberapa qaidah fiqhiyyah dalam bidang
muamalah khususnya pada qaidah fiqh muamalah mengenai upah dan membayar ganti
tidaklah berkumpul dan resiko itu sejalan dengan keuntungan. Dengan adanya penguraian
mengenai kaidah-kaidah tersebut maka akan diketahui penerapan dalam transaksi ekonomi
(muamalah) yang sesuai dengan hukum Islam dengan mengacu pada Kompilasi Hukum
Ekonomi Syari’ah.
B. Metode Penelitian
Penelitian yang diusulkan berfokus pada penerapan Qaidah Fiqhiyyah dalam transaksi
ekonomi (muamalah) sesuai dengan hukum Islam, dengan merujuk pada Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah (KHES). Metode penelitian yang dapat digunakan adalah metode deskriptif
dengan pendekatan kualitatif.
Berikut adalah langkah-langkah yang dapat diambil dalam penelitian ini:
Pengumpulan Data
a. Sumber Data
Menggunakan KHES sebagai sumber utama dalam memperoleh informasi mengenai
Qaidah Fiqhiyyah yang berkaitan dengan transaksi ekonomi dalam muamalah.
b. Cara Perolehan Data
Melakukan studi kepustakaan dengan mengakses KHES yang relevan dengan topik
penelitian. Data juga dapat diperoleh melalui wawancara dengan pakar hukum Islam
atau ahli fiqih yang memiliki pengetahuan mendalam tentang Qaidah Fiqhiyyah dan
aplikasinya dalam muamalah.
Analisis Data:
a. Identifikasi
Menganalisis KHES dan mengidentifikasi Qaidah Fiqhiyyah yang berkaitan dengan
transaksi ekonomi dalam muamalah.
b. Klarifikasi dan Klasifikasi
Memahami secara mendalam setiap Qaidah Fiqhiyyah yang diidentifikasi,
menjelaskan makna dan tujuannya, serta mengklasifikasikan Qaidah Fiqhiyyah
berdasarkan tema atau aspek tertentu.
c. Penjelasan Penerapan
Menggambarkan penerapan masing-masing Qaidah Fiqhiyyah dalam transaksi
ekonomi (muamalah) dengan menggunakan contoh kasus atau skenario yang relevan.
Interpretasi Hasil: a. Analisis Kontekstual: Menginterpretasikan hasil analisis dengan
memperhatikan konteks hukum Islam dan prinsip-prinsip keadilan serta mempertimbangkan
pandangan ulama atau otoritas Islam terkait. b. Relevansi dengan Transaksi Ekonomi:
Menghubungkan temuan penelitian dengan konteks transaksi ekonomi nyata dan
mempertimbangkan implikasi praktisnya.
Kesimpulan dan Rekomendasi:
a. Kesimpulan
Merumuskan kesimpulan mengenai penerapan Qaidah Fiqhiyyah dalam transaksi
ekonomi (muamalah) berdasarkan hasil analisis.
b. Rekomendasi
Memberikan rekomendasi untuk meningkatkan pemahaman dan implementasi Qaidah
Fiqhiyyah dalam praktik transaksi ekonomi yang sesuai dengan hukum Islam.
Penting untuk mencatat bahwa penelitian ini mengacu pada sumber primer yang
merupakan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) dan sumber sekunder seperti
literatur fiqih dan pendapat ulama. Oleh karena itu, kredibilitas dan keakuratan sumber data
harus diperhatikan dalam memastikan validitas penelitian.
C. Pembahasan
Muamalah secara etimologi berasal dari akar kata Arab " ًةMَ ُل – ُم َعا َملMيُ َعا ِم- َلM " َع َمyang
berarti saling bertindak, saling berbuat, dan saling mengamalkan. Secara terminologi,
muamalah dapat memiliki pengertian luas dan sempit.
Nash shahih dalam arti tsabit dan tegas dalalahnya yang melarang serta mengharamkannya.
Jika ada maka nash itulah yang dipegang. Ini adalah kaidah yang agung dan sangat bermanfaat.
Dari kaidah ini fukaha menggalinya secara mendalam dan menghasilkan kaidah- kaidah lain,
yaitu: "Al-ashl fi al-uquud wa syuruut al-ibahah". Hukum dasar segala transaksi dan syarat adalah
mubah.
Dengan demikian segala hal ihwal jual-beli, hibah, sewa-menyewa dan kebiasaan- kebiasaan
lainnya yang dibutuhkan manusia dalam hidup mereka diizinkan oleh syariat. Syari'at hanya
mengharamkan kebiasaan-kebiasaan yang mengandung kerusakan dan memakruhkan kebiasaan-
kebiasaan yang tidak patut, sebagaimana juga syariat mewajibkan kebiasaan-kebiasaan yang bersifat
harus dan menganjurkan kebiasaan yang mengandung maslahat nyata baik kualitasnya, kuantitasnya
maupun karakteristiknya.
Kaidah ini telah menjadi kesepakatan ulama, sebagai dasar dari kaidah ini antara lain adalah
firman Allah dalam Surat Yunus ayat 59 dan Surat An-Nahl 116:
َق فَ َج َع ْلتُم ِم ْنهُ َح َرا ًما َو َحلَاًل قُلْ هَّللا ُ َأ ِذنَ لَ ُك ْم َأ ْم َعلَى هَّللا ِ تَ ْفتَرُون َ قُلْ َأ َر َد ْيتُم َّما َأ
ٍ نزَل هللاُ لَ ُكم ِّمن ِر ْز
Artinya: Katakanlah (Muhammad) "Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah
kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya Haram dan (sebagiannya) halal". Katakanlah: "Apakah
Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah
?"
Artinya: Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara
Dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya
orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah Tiadalah beruntung.
Dua ayat tersebut diatas mengindikasikan bahwa Allah memberikan kebebasan kegiatan
muamalah. Hal ini berarti syari'ah sangat lentur mengatur masalah-masalah yang berkaitan dengan
ekonomi sehingga mampu mengakomodir berbagai inovasi transaksi muamalah modern yang terus
berkembang karena dibutuhkan umat manusia.
Kaidah kedua: "Al-Ibratu bi al-maqashid wa al-musammiyaat la bi al-alfazh wa at-tasmiyat".
Yang menjadi patokan adalah maksud dan substansi, bukan redaksi ataupun penamaanya.
Kaidah ini adalah kaidah utama dalam transaksi dan merupakan salah satu dari lima kaidah
fikih yang terkenal dan disepakati ulama. Yaitu kaidah: Al-yakin la yuzalu bi asy-syak", adh-
dharar yuzal, al-'adah muhakkamah, al-masyaqqoh tajlib at-taysir".
Dari kaidah ini dipahami bahwa saat transaksi dilangsungkan, yang menjadi patokan
bukanlah redaksi yang digunakan kedua pihak yang melakukan transaksi. melainkan maksud hakiki
mereka dari kata-kata yang diucapkan dalam transaksi tersebut. Sebab maksud utama dari pihak-pihak
bukanlah bukan redaksi. Sebab redaksi adalah hanya huruf dan kata yang disusun sekedar
mengkongkritkan maksud. Sebagai contoh adalah jual beli al-wafa' diatas. Transaksi ini tidak ada
bedanya dengan gadai ditinjau dari segala sisi hukum. Sebab kendati masing-masing pihak yang
bertransaksi menyebutnya jual-beli (al-bai'), mereka tetap mengakuinya sebagai gadai secara al-urf
(kebiasaan yang berlaku di masyarakat). Pasalnya orang yang memulai transaksi (penjual) sejak
semula bermasuk hanya akan menggadaikan tanhanya dan ia akan mengatakan kepada siapapun saja
"Tanah milikku kugadaikan kepada si B" sementara si pembeli berkata "Aku menerima gadai tanah
milik si A". Seandainya transaksi bai" al- wafa' ini merupakan jual-beli yang hakiki, tentulah barang
yang diperjualbelikan tidak boleh dikembalikan dan pembayaran harga barang tersebutpun tidak boleh
diminta kembali.
Sebagai dasar dari kaidah ini adalah hadits yang cukup terkenal yang artinya: Sesungguhnya
segala amal perbuatan tergantung niat, dan setiap orang memperoleh apa yang ia niatkan.
Hadis ini sangat utama dihadapan para ulama dan amat luas kesannya dalam syariat Islam.
Ajaran yang terkandung dalam hadis ini sesuai dengan orientasi umum hakikat Islam; ia merupakan
substansi bukan sekedar penampilan, bukan hanya sekedar kulit tetapi inti. Yang jadi patokan adalah
substansi dan isi, bukan nama ataupun judul.
Kaidah ketiga: "Tahriim Akl Anwaal An-Naas Bi Al-Baathil": Diharamkan memakan harta orang
lain secara batil (tidak benar).
Landasaan penmgharaman hal ini adalah dua ayat dari kitab suci Al-Qur-an disamping
beberapa hadis. Allah berfirman;
يأيها الذين امنوا ال تَْأ ُكلُوا َأ ْم َوالَ ُكم بَ ْينَ ُكم بالبطل إال أن تكون تجت َرةٌ عَن تراض ِمن ُك ْم
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan
yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal
kamu mengetahui.
Yang dimaksud memakan (al-akl) dalam ayat tersebut diatas adalah termasuk mencuri,
mengambil, mencopet, menguasai, makan upah secara batil, dan lain-lain. Al- Qur-an
mengungkapkannya dengan kalimat al-akl, karena makan adalah kebutuhan pokok (primer),
selanjutnya manusia merasa bahwa kebutuhan pokoknya tidak hanya makan, tetapi rumah, mobil dan
sarana hiburan kesemuanya memerlukan harta.
Barangsiapa mengambil harta benda orang lain tanpa seizin zyari'at, berarti ia memakannya
dengan cara batil. Salah satu tindakan batil adalah meminta putusan hakim, padahal ia tahu bahwa
kedudukannya adalah salah. Yang haram tidak akan menjadi halal dengan keputusan hakim. Sebab,
hakim hanya memutuskan perkara berdasarkan fakta yang lahir saja.
Kaidah keempat: ”Laa Dharara Wa Laa Dhiraara”: Tidak boleh merugikan diri sendiri ataupun
orang lain.
Landasan kaidah ini adalah hadis shahih yang masyhur dengan redaksi yang sama. Makna
hadis ini bersifat qoth’iy (pasti) karena disarikan dari banya ayat Al-Qur-an yang melarang merugikan
diri sendiri maupun orang lain.
Dalil sebagai sandaran kaidah ini baik dari Al-Qur-an maupun sunnah sangat banyak.
Adakalanya dengan term ferba (fi’il) yudharru atau tudharru atau tudharruhunna atau dengan term
isim fa’il mudharr atau dhiraran. Contohnya:
ضا ُر َولِ َدهُ بِ َولَ ِدهَا َواَل َموْ لُو ٌد لَّهُ بِ َولَ ِد ِه
َ ُال ت
Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya.
sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi
mudharat (kepada ahli waris) Allah menetapkan yang demikian itu sebagai syari'at yang benar-benar
dari Allah.
Larangan merugikan orang lain dalam Al-Quran disampaikan dengan banyak redaksi yang
tidak mudah dihimpun. Dari sekian banyak redaksi yang umum antara lain adalah menggunakan kata
fasad,yufsidu, atau tufsidu dan juga isim fa’ilnya yaitu kata mufsidun, mufsidin, misalnya, misalnya
ayat 56 dan 85 Surat Al-A’raf:
Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya.
Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya.
Ini adalah salah satu kaidah garis besar yang utama bagi fikih muamalat, yaitu
memperhatikan betul agar segala sesuatu diperingan dan dipermudah bukan diperberat atau dipersulit.
Kaidah ini digali dari benyak nash Al-Qur-an maupun As-Sunnah baik berupa ucapan,
perbuatan maupun persetujuan beliau. Padanya bermuatan bahwa syari’at memastikan agar mukallaf
diperingan dan dipermudah. Al-Qur-an menyebutkan:
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.
Dengan kaidah ini dimaksudkan agar syari’at Islam dapat dilaksanakan oleh mukallaf kapan dan
dimana saja, dengan memberikan kelonggaranatau keringanan disaat seseorang menjumpai kesulitan
dan kesempitan. Prinsip ini telah banyak dipraktekkan oleh Rasululah sebagaimana disebutkan dalam
hadits, misalnya; Rasulullah apabila bepergian jarak tiga mil, atau farsah, beliau shalat dua rakaat,
maksudnya qoshr.
dan kebutuhan.
Salah satu kaidah garis besar yang utama dalam fikih muamalah adalah memperhatikan
hukum-hukum kondisi darurat yang dengannya syari’at membolehkan hal yang terlarang ketika dalam
kondisi normal.
Demikian ini adalah sifat dari syari’at yang realistis. Ia tidak memperlakukan manusia
sebagaimana malaikat yang tidak membutuhkan apa-apa. Manusia memiliki kebutuhan, keinginan dan
naluri tersendiri yang memang dibekali oleh Allah dalam diri mereka. Allah juga memaklumi
kemampuan manusia secara khusus dikondisi terpaksa (darurat) yang tanpanya ia tidak bisa hidup,
maka syari’at memberinya dispensasi (arrukhshah).
Dispensasi dan toleransi merupakan karakteristik dari ajaran Islam yang ingin direalisasi
dalam setiap dimensi kehidupan, baik politik, ekonomi dan hubungan masyarakat lainnya. Khusus
dalam transaksi finansial, nilai ini harus bisa diwujudkan dengan mempermudah transaksi bisnis tanpa
harus memberatkan pihak yang terkait. Misalnya, sikap toleransi harus diberikan kepada debitur yang
faktanya sedang mengalami kesulitan finansial karena bisnis yang dijalankan sedang mengalami
resesi. Melakukan re-sceduling piutang yang jatuh tempo, disesuaikan dengan kemapanan finasial
yang diproyeksikan. Misalkan dalam transaksi jual-beli harus senantiasa membuka peluang bagi para
pembeli yang ingin membatalkan transaksi jual-beli, kerena terdapat indikasi ketidakbutuhannya
terhadap obyek transaksi (inferior product). Karena Allah akan memberikan rahmat bagi orang yang
mempermudah dalam bertransaksi.
Salah satu kaidah utama dalam fikih muamalah yang disepakati para ahli fikih dari berbagai
madzhab adalah menjadikan kebiasaan atau tradisi masyarakat setempat sebagai landasan hukum,
selama itu tidak menyalahi syari’at. Kaidah itu berbunyi ”Al-’Adah al- Muhakkamah”.
Para ulama melandasi kaidah ini dengan dalil ucapan Ibnu Mas’ud: ”Sesuatu yang dipandang
kaum muslimin sebagai hal yang baik, adalah baik pula disisi Allah. Dan sesuatu yang dipandang oleh
kaum muslimin sebagai hal yang buruk, adalah buruk pula di sisi Allah”.
Kendati itu termasuk riwayat yang mauquf, tetapi secara maknawi shahih, karena bersesuaian
dengan ayat Al-Qur-an. Bahwa pandangan kaum mukminin sebagai patokan di sisi Allah dalam
menilai baik dan buruk. Allah berfirman:
ََوقُل ا ْع َملُوا فَ َسيَ َرى هَّللا ُ َع َملَ ُك ْم َو َرسُولُهُ َو ْال ُمْؤ ِمنُون
Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan
melihat pekerjaanmu itu.”
Secara harfiyah makna ayat tersebut bahwa Allah menggandngkan pandangan orang-orang
mukmin dengan pandangan Allah dan Rasul-Nya tentang amal perbuatan.
Adapun sampai dimana suatu peristiwa yang terjadi dalam masyarakat dapat disebut adat, para
fuqaha memberikan definisi demikian:
”Al-’Urfu hua ma ta’arofahu an-naasu wa saaru ’alaihi min qoulin au fi’lin au tarkin wa
yusamma al-’adah”: Uruf ialah apa yang dikenal oleh manusia dan berlaku padanya, baik berupa
perkataan, perbuatan ataupun meninggalkan sesuatu dan ini juga dinamakan adat”
Suatu kejadian kejadian dalam masyarakat, mana kala dapat dikategirikan difinisi diatas, dapat
diterapkan sebagai hukum atau dapat dijadikan sebagai pertimbangan hukum, asal saja tidak
bertentangan dengan nash dan jiwa syari’at
Kaidah-kaidah ini memiliki landasan dalam nash-nash syariah, prinsip-prinsip fiqih, serta
penafsiran ulama terhadap al-Qur'an dan hadis. Mereka membantu para hakim dalam
memahami dan menerapkan hukum-hukum muamalah dengan memperhatikan prinsip-prinsip
fiqhiyah yang berlaku.
Kaidah-kaidah fiqh dalam bidang muamalah di atas termasuk dalam ruang lingkup al-
Qawa’id al-Kulliyyah yaitu qawa’id yang menyeluruh yang diterima oleh madzhab-madzhab
tetapi dalam cabangcabang dan cakupannya lebih sedikit dari pada al-Qawa’id al-Fiqhiyyah
al-Asasiyyah al-Kubra yaitu kaidah-kaidah fiqh yang bersifat dasar. Qaidah fiqhiyyah
muamalah di atas memberikan arti bahwa dalam kegiatan muamalah yang notabene urusan
keduniaan, manusia diberikan kebebasan untuk melakukan apa saja yang bisa memberikan
manfaat kepada dirinya sendiri, sesamanya dan lingkungannya, selama hal tersebut tidak ada
ketentuan yang melarangnya.
Efek yang timbul dari kaidah fiqh muamalah adalah adanya ruang lingkup yang
sangat luas dalam penetapan hukum-hukum muamalah, termasuk juga hukum ekonomi. Ini
berarti suatu transaksi baru yang muncul dalam fenomena kontemporer yang dalam sejarah
Islam belum ada atau belum dikenal, maka transaksi tersebut ‚dianggap‛ diperbolehkan,
selama transaksi tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip yang dilarang dalam Islam.
D. Kesimpulan
Dalam transaksi tentu ada manfaat yang diperoleh dan ada kerugian yang menjadi
resiko. Salah satu bagian dari muamalah yang berkaitan dengan kaidah di atas yaitu pinjam
meminjam (ariyah). Seseorang yang meminjam suatu benda atau barang maka ia wajib
mengembalikan serta membayar biaya angkutannya bila diperlukan, sebaliknya orang yang
menitipkan barang untuk dipelihara maka ongkos angkut benda atau barang dan
pemeliharaannya dibebankan kepada pemilik barang. Adapun mengenai tanggung jawab atas
penyimpanan dan biaya pemeliharaan harta tersebut dalam transaksi ariyah dan rahn
dinyatakan pada pasal-pasal yang termuat dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
(KHES) yang bisa menjadi acuan dalam kegiatan transaksinya. Kemudian kaidah ini juga
diterapkan di Bank Syariah melalui konsep pembagian yakni profit and loss sharing
(pembagian keuntungan dan kerugian) melalui produk dengan akad mudharabah dan
musyarakah pada Bank Syariah. Adapun aturan mengenai pembagian keuntungan dan
kerugian dalam akad mudharabah dan musyarakah ini juga dinyatakan dalam Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah (KHES).
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Djazuli, A, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan
Masalah-Masalah Yang Praktis, Jakarta: Kencana, 2006.
Hanafi, Mashunah, Fiqh Praktis, Banjarmasin: PT. LKiS Printing Cemerlang, 2015.
Jurnal
Ahmad al-Zarqa, Mustafa, al-Fiqh al Islami fi Tsaubihi al-Jadid, Beirut: Dar al Fikr, 1965.
Azhari, Faturrahman, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan
Kualitas Ummat (LPKU), April 2014.
Fawzi, R. (2018). Aplikasi Kaidah Fikih محكمة العادةdalam Bidang Muamalah. Amwaluna:
Jurnal Ekonomi dan Keuangan Syariah, 2(1), 147-154.
https://doi.org/10.29313/amwaluna.v2i1.3279