PENDAHULUAN
Berkembangnya industri keuangan syariah di tanah air mengeluarkan
berbagai produk keuangan yang didukung untuk memperkuat posisi dan perannya,
baik dari sisi yang mendukung kepastian hukum maupun dari sisi operasional
yang efisien, bervariasi, berdaya kompetitif dan menguntungkan.2
Janji dan perjanjian merupakan dua istilah teknis yang menarik untuk
didiskusikan karena berakar pada kata yang sama yaitu janji, tetapi dipahami
secara hukum dengan pemahaman yang berbeda, terutama berkaitan dengan sifat
pengikatannya.3
Penafsiran perjanjian diatur dalam Pasal 1342-1351 KUHPerdata, pada
dasarnya perjanjian yang dibuat oleh para pihak haruslah dapat dimengerti dan
1
Mahasiswa Pacasarjana (S2) Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung,
Program Studi Hukum Ekonomi Syariah, email: anurnaila@gmail.com.
2
Jaih Mubarok dan Hasanuddin, Fikih Muamalah Maliyah, (Bandung: Simbiosa
Rekatama Media, 2017), hlm. 14.
3
Jaih Mubarok dan Hasanuddin, Fikih Muamalah Maliyah,.... hlm. 11.
1
2
dipahami isinya. Akan tetapi pada kenyataanya banyak kontrak yang isinya tidak
dimengerti oleh para pihak.4
Dewan Syariah Nasional Mejelis Ulama Indonesia, memandang perlu
menetapkan fatwa tentang janji (wa'd) dalam transaksi keuangan dan bisnis
syariah untuk dijadikan pedoman, dengan pertimbangan bahwa janji (wa'd) sering
digunakan dalam transaksi keuangan dan bisnis yang bersifat tunggal, pararel
dan/atau dalam transaksi yang multi akad (al-'uqud al-murakkabah).
Kemudian para fuqaha berbeda pendapat (ikhtilaf) tentang hukum
menunaikan janji (al-wafa’ bi-al-wa'd) sehingga kurang menjamin kepastian
hukum, selain itu industri keuangan syariah dan masyarakat memerlukan
kejelasan hukum syariah untuk menjamin kepastian hukum sebagai landasan
operasional mengenai hukum menunaikan janji (al-wafa’ bi-al-wa'd) dalam
transaksi keuangan dan bisnis syariah.
Dalam transaksi keuangan dan bisnis Syariah kini berkembang akad
musyarakah mutanaqishah yang memiliki keunggulan dalam kebersamaan dan
keadilan, baik dalam berbagi keuntungan maupun resiko kerugian, sehingga dapat
menjadi alternatif dalam proses kepemilikan aset (barang) atau modal, selain itu
kepemilikan aset (barang) atau modal dapat dilakukan dengan cara menggunakan
akad musyarakah Mutanaqishah.
Dalam akad musyarakah mutanaqishah terdapat unsur saling berjanji,
yaitu pihak LKS berjanji akan menjual hishshah (saham/porsi modal miliknya)
kepada nasabah secara bertahap, dan pihak nasabah juga berjanji akan membeli
hishshah milik bank secara bertahap.
PEMBAHASAN
A. Tinjauan Umum tentang Norma dalam Akad, Wa’ad dan Muwa’adah
1. Tinjauan Umum tentang Norma dalam Akad
Kata akad berasal dari bahasa Arab Ar-Rabbth yang berarti ikatan. Makna
khusus dari akad yaitu ijab dan qabul yang melahirkan hak dan tanggung jawab
terhadap objek akad, makna khusus ini yang dipilih oleh Hanafiyah. Pada
4
Wawan Muhwan Hariri, Hukum Perikatan, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), hlm.
128.
2
3
umumnya, setiap istilah akad itu berarti ijab qabul (serah terima) kecuali ada dalil
yang menunjukkan makna lain.5
Sedangkan makna umum akad adalah setiap perilaku yang melahirkan hak,
atau mengalihkan atau mengubah atau mengakhiri hak, baik itu bersumber dari
satu pihak ataupun dua pihak. Definisi ini adalah definisi menurut Malikiyah,
Syafi’iyah dan Hanabilah.6 Adapun akad secara istilah adalah pertalian atau
keterikatan antara ijab dan qabul sesuai dengan kehendak syariah (Allah dan
Rasul-Nya) yang menimbulkan akibat hukum pada objek perikatan.7
Dalam hukum Islam kesepakatan atau perikatan dapat dikategorikan akad
didasarkan pada keridhaan dan kesesuaian dengan syariat Islam. Dalam konteks
Islam ijab qabul merupakan unsur yang penting pada tiap transaksi.8
Ada tiga pendapat tentang hukum bertransaksi, yaitu sebagai berikut.9
a. Menurut Dzahiriyah, hukum bertransaksi (akad) itu pada asalnya terlarang,
maka akad itu menjadi boleh apabila ada dalil yang melandasinya. Bahkan
setiap akad tidak berdasar pada dalil yang shahih itu tidak dibolehkan.
Singkatnya, akad yang dibolehkan adalah setiap akad yang berdasarkan pada
nash syara’ atau ijma.
Dzahiriyah menegaskan, akad yang boleh dilakukan hanya akad-akad
yang dikenal (ma'ruf) dalam kitab-kitab fikih dan tidak boleh membuat akad
baru. Ijtihad ini berdasarkan cara-cara yang bisa digunakan mereka untuk
memahami nash berdasarkan dzahirnya saja.
b. Menurut Jumhur Fuqaha, hukum bertransaksi itu pada dasarnya boleh dengan
syarat tidak melanggar kaidah kaidah umum mu'amalat dalam Islam, karena
memenuhi janji hukumnya wajib. Sebagaimana dalam ayat:
5
Oni Sahroni dan Hasanuddin, Fikih Muamalah: Dinamika Teori Akad dan
Implementasinya dalam Ekonomi Syariah, (Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2018), hlm. 4-5.
6
Oni Sahroni dan Hasanuddin, Fikih Muamalah: Dinamika Teori Akad dan
Implementasinya dalam Ekonomi Syariah,... hlm. 5.
7
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr al-
Mu’ashir, 1997), Jilid 4, hlm. 2918.
8
Andri Soemitra, Hukum Ekonomi Syariah dan Fiqh Muamalah di Lembaga Keuangan
Syariah dan Bisnis Kontemporer, (Jakarta: PrenadaMedia Group, 2019), hlm.39.
9
Oni Sahroni dan Hasanuddin, Fikih Muamalah: Dinamika Teori Akad dan
Implementasinya dalam Ekonomi Syariah,... hlm. 13-15.
3
4
Muhammad Shohib Thohir, Mushaf Aisyah Al-Qur’an dan Terjemah, (Jakarta: Jabal
10
4
5
penerimaan) dari pihak lain. Sedamgkan perjanjian sama dengan akad, yaitu
kesepakatan para pihak yang cakap hukum mengenai hal tertentu dan sebab yang
halal.11
Adapun arti al-wa’d secara bahasa diantaranya adalah hadda yang berarti
ancaman (al-wa’id) dan takhawwafa (menakut-nakuti). Dari segi cakupannya, al-
wa’d mencakup perbuatan baik dan buruk meskipun pada umumnya janji
digunakan untuk melakukan perbuatan baik. Dalam literatur fiqh, digunakan dua
kata yang sebenarnya satu akar, yaitu al-wa’d dan al-uddah.12
Arti al-wa’d secara terminologi dijelaskan oleh para ulama dengan
penjelasan yang beragam, tetapi unsurnya relatif sama, yaitu:
a. Pernyataan dari pihak atau seseorang (subjek hukum) untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu.
b. Perbuatan tersebut dilakukan pada masa yang akan datang (istiqbal).
c. Dari segi norma, perbuatan yang dijanjikan termasuk perbuatan baik.13
Maka dapat disimpulkan bahwa, al-wa’d (janji) adalah pernyataan
kehendak dari pihak tertentu untuk melakukan sesuatu yang baik pada masa yang
akan datang.
Perlu dijelaskan, bahwa perbedaan pendapat para ulama tentang hukum
janji mengikat atau tidak, itu berbeda dengan memenuhi janji menurut etika.
Karena menurut etika, seriap janji itu wajib dipenuhi dan tidak boleh dilanggar.
Sedangkan perbedaan ulama di bawah ini tentang janji itu mengikat atau tidak.
Jika mengikat, maka pihak yang tidak memenuhi janji harus menanggung
kerugian yang dialami pihak penerima janji. Berikut ini pendapat para ulama
mengenai janji tersebut.14
a. Mayoritas fuqaha (ahli hukum Islam) dari kalangan madzhab Hanafi, Syafii,
Hanbali dan salah satu pendapat dari madzhab Maliki berpendapat bahwa janji
hanya mengikat secara agama dan tidak mengikat secara hukum (legal formal)
sehingga dapat dituntut di pengadilan. Ini mengingat bahwa janji merupakan
Jaih Mubarok dan Hasanuddin, Fikih Muamalah Maliyah, .... hlm. 11-12.
11
Jaih Mubarok dan Hasanuddin, Fikih Muamalah Maliyah, .... hlm. 12.
12
13
Jaih Mubarok dan Hasanuddin, Fikih Muamalah Maliyah, .... hlm. 12.
14
Oni Sahroni dan Hasanuddin, Fikih Muamalah: Dinamika Teori Akad dan
Implementasinya dalam Ekonomi Syariah,... hlm. 7-8.
5
6
ا – وفيMMًانَ ُمنَافِقMM ِه َكM ٌع َم ْن ُك َّن فِيM َ أَرْ ب: الMMبيﷺ قMMا عَن النMMي هللا َع ْنهُ َمMMرو رضMMعَن ابن عم
“Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi SAW bersabda:
‘Ada empat perkara, siapa yang empat perkara ini ada pada seseorang maka ia
munafik yang murni. Dan apabila salah satunya ada, maka ia berada pada salah
satu cabang kemunafikan atau perangai kemunafikan sampai ia meninggalkannya.
Yang pertama, apabila berbicara berdusta, yang kedua apabila berjanji tidak
menepati, yang ketiga apabila melakukan perjanjian ia berkhianat tidak
melaksanakan isi perjanjian itu, dan apabila ia bertengkar ia berbuat jahat’ Dalam
riwayat yang lain ‘Apabila diberi amanah ia berkhianat”.16
Muhammad Shohib Thohir, Mushaf Aisyah Al-Qur’an dan Terjemah, .... hlm. 551.
15
Abi Muhammad Abdul Haq bin Abdurrahman al-Azdi al-Isybili bin al-Kharat, Al-Jam’u
16
6
7
17
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Nomor 85/DSN-MUI/XII/2012 tentang Janji (Wa’d)
Dalam Transaksi Keuangan Dan Bisnis Syariah.
7
8
8
9
9
10
boleh, tidak wajib (mengikat). Ibnu Yunus dari kalangan Malikiyah berpendapat
bahwa syirkah wajib setelah terjadi transaksi dan masing-masing dari kedua belah
pihak tidak boleh menarik diri, seperti pada transaksi jual beli.20
Musyarakah Mutanaqisah adalah musyarakah atau syirkah yang
kepemilikan aset (barang) atau modal salah satu pihak (syarik) berkurang
disebabkan pembelian secara bertahap oleh pihak lainnya. Dalam akad
Musyarakah Mutanaqisah yang dilakukan di lembaga-lembaga keuangan syariah
juga terdapat janji dari nasabah untuk membeli barang dari entitas pemilik syirkah
(LKS).21
Produk ini merupakan alternatif dari produk murabahah yang telah
digunakan secara dominan di perbankan syariah.
Menurut fatwa DSN janji yang dimaksud itu mengikat kedua belah pihak
sebagaiman dalam fatwa DSN: “Dalam akad Musyarakah Mutanaqisah, pihak
pertama (salah satu syarik, LKS) yang diperlukan untuk membeli bantuan
hishshah-nya yang diperbarui dan pihak kedua (syarik yang lain, nasabah) wajib
memebelinya”.22
Hubungan anatara wa’d dan Musyarakah Mutanaqishah terlihat dalam
ketentuan akad MMQ, yaitu:
1. Akad Musyarakah Mutanaqishah terdiri atas akad Musyarakah/syirkah dan
jual beli.
2. Dalam akad Musyarakah Mutanaqishah berlaku hukum, sebagaimana diatur
dalam Fatwa DSN No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan
musyarakah, dimana para mitranya memiliki hak dan kewajiban, diantaranya:
1) memberikan modal dan kerja berdasarkan kesepakatan saat akad; 2)
memperoleh keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati pada saat akad;
dan 3) menanggung kerugian sesuai proporsi modal.
20
Miftahul Khairi, Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab,
(Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2017), hlm. 225-228.
21
Oni Sahroni dan Hasanuddin, Fikih Muamalah: Dinamika Teori Akad dan
Implementasinya dalam Ekonomi Syariah,... hlm. 19.
22
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Nomor 73/DSN-MUI/XI/2008 tentang Musyarakah
Mutanaqishah.
10
11
11
12
DAFTAR PUSTAKA
Abi Muhammad Abdul Haq bin Abdurrahman al-Azdi al-Isybili bin al-Kharat. Al-
Jam’u Baina as-Shahihain.
Andri Soemitra. Hukum Ekonomi Syariah dan Fiqh Muamalah di Lembaga
Keuangan Syariah dan Bisnis Kontemporer. Jakarta: PrenadaMedia
Group. 2019.
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Nomor 73/DSN-MUI/XI/2008 tentang
Musyarakah Mutanaqishah.
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Nomor 85/DSN-MUI/XII/2012 tentang Janji
(Wa’d) Dalam Transaksi Keuangan Dan Bisnis Syariah.
12