Anda di halaman 1dari 12

NORMA DAN APLIKASI PENGGABUNGAN AKAD DAN WA’AD PADA

AKAD MUSYARAKAH MUTANAQISHAH


Oleh:
Azmi Nur Naila Najah 1
ABSTRAK
Dalam hukum Islam kesepakatan atau perikatan dapat dikategorikan akad
didasarkan pada keridhaan dan kesesuaian dengan syariat Islam. akad adalah
setiap perilaku yang melahirkan hak, atau mengalihkan atau mengubah atau
mengakhiri hak, baik itu bersumber dari satu pihak ataupun dua pihak. Sedangkan
al-wa’d (janji) adalah pernyataan kehendak dari pihak tertentu untuk melakukan
sesuatu yang baik pada masa yang akan datang. Perbedaan pendapat para ulama
tentang hukum janji mengikat atau tidak, berbeda dengan memenuhi janji menurut
etika. Jika mengikat, maka pihak yang tidak memenuhi janji harus menanggung
kerugian yang dialami pihak penerima janji. Dengan demikian, layak untuk
dinyatakan bahwa akad tidak sama dengan janji/saling berjanji (wa'd/muwa'adah).
Dalam akad Musyarakah Mutanaqisah yang dilakukan di lembaga-lembaga
keuangan syariah juga terdapat janji dari nasabah untuk membeli barang dari
entitas pemilik syirkah (LKS).

Kata Kunci: Akad, Wa’d, dan Akad Musyarakah Mutanaqishah.

PENDAHULUAN
Berkembangnya industri keuangan syariah di tanah air mengeluarkan
berbagai produk keuangan yang didukung untuk memperkuat posisi dan perannya,
baik dari sisi yang mendukung kepastian hukum maupun dari sisi operasional
yang efisien, bervariasi, berdaya kompetitif dan menguntungkan.2
Janji dan perjanjian merupakan dua istilah teknis yang menarik untuk
didiskusikan karena berakar pada kata yang sama yaitu janji, tetapi dipahami
secara hukum dengan pemahaman yang berbeda, terutama berkaitan dengan sifat
pengikatannya.3
Penafsiran perjanjian diatur dalam Pasal 1342-1351 KUHPerdata, pada
dasarnya perjanjian yang dibuat oleh para pihak haruslah dapat dimengerti dan

1
Mahasiswa Pacasarjana (S2) Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung,
Program Studi Hukum Ekonomi Syariah, email: anurnaila@gmail.com.
2
Jaih Mubarok dan Hasanuddin, Fikih Muamalah Maliyah, (Bandung: Simbiosa
Rekatama Media, 2017), hlm. 14.
3
Jaih Mubarok dan Hasanuddin, Fikih Muamalah Maliyah,.... hlm. 11.

1
2

dipahami isinya. Akan tetapi pada kenyataanya banyak kontrak yang isinya tidak
dimengerti oleh para pihak.4
Dewan Syariah Nasional Mejelis Ulama Indonesia, memandang perlu
menetapkan fatwa tentang janji (wa'd) dalam transaksi keuangan dan bisnis
syariah untuk dijadikan pedoman, dengan pertimbangan bahwa janji (wa'd) sering
digunakan dalam transaksi keuangan dan bisnis yang bersifat tunggal, pararel
dan/atau dalam transaksi yang multi akad (al-'uqud al-murakkabah).
Kemudian para fuqaha berbeda pendapat (ikhtilaf) tentang hukum
menunaikan janji (al-wafa’ bi-al-wa'd) sehingga kurang menjamin kepastian
hukum, selain itu industri keuangan syariah dan masyarakat memerlukan
kejelasan hukum syariah untuk menjamin kepastian hukum sebagai landasan
operasional mengenai hukum menunaikan janji (al-wafa’ bi-al-wa'd)  dalam
transaksi keuangan dan bisnis syariah.
Dalam transaksi keuangan dan bisnis Syariah kini berkembang akad
musyarakah mutanaqishah yang memiliki keunggulan dalam kebersamaan dan
keadilan, baik dalam berbagi keuntungan maupun resiko kerugian, sehingga dapat
menjadi alternatif dalam proses kepemilikan aset (barang) atau modal, selain itu
kepemilikan aset (barang) atau modal dapat dilakukan dengan cara menggunakan
akad musyarakah Mutanaqishah.
Dalam akad musyarakah mutanaqishah terdapat unsur saling berjanji,
yaitu pihak LKS berjanji akan menjual hishshah (saham/porsi modal miliknya)
kepada nasabah secara bertahap, dan pihak nasabah juga berjanji akan membeli
hishshah milik bank secara bertahap.
PEMBAHASAN
A. Tinjauan Umum tentang Norma dalam Akad, Wa’ad dan Muwa’adah
1. Tinjauan Umum tentang Norma dalam Akad
Kata akad berasal dari bahasa Arab Ar-Rabbth yang berarti ikatan. Makna
khusus dari akad yaitu ijab dan qabul yang melahirkan hak dan tanggung jawab
terhadap objek akad, makna khusus ini yang dipilih oleh Hanafiyah. Pada

4
Wawan Muhwan Hariri, Hukum Perikatan, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), hlm.
128.

2
3

umumnya, setiap istilah akad itu berarti ijab qabul (serah terima) kecuali ada dalil
yang menunjukkan makna lain.5
Sedangkan makna umum akad adalah setiap perilaku yang melahirkan hak,
atau mengalihkan atau mengubah atau mengakhiri hak, baik itu bersumber dari
satu pihak ataupun dua pihak. Definisi ini adalah definisi menurut Malikiyah,
Syafi’iyah dan Hanabilah.6 Adapun akad secara istilah adalah pertalian atau
keterikatan antara ijab dan qabul sesuai dengan kehendak syariah (Allah dan
Rasul-Nya) yang menimbulkan akibat hukum pada objek perikatan.7
Dalam hukum Islam kesepakatan atau perikatan dapat dikategorikan akad
didasarkan pada keridhaan dan kesesuaian dengan syariat Islam. Dalam konteks
Islam ijab qabul merupakan unsur yang penting pada tiap transaksi.8
Ada tiga pendapat tentang hukum bertransaksi, yaitu sebagai berikut.9
a. Menurut Dzahiriyah, hukum bertransaksi (akad) itu pada asalnya terlarang,
maka akad itu menjadi boleh apabila ada dalil yang melandasinya. Bahkan
setiap akad tidak berdasar pada dalil yang shahih itu tidak dibolehkan.
Singkatnya, akad yang dibolehkan adalah setiap akad yang berdasarkan pada
nash syara’ atau ijma.
Dzahiriyah menegaskan, akad yang boleh dilakukan hanya akad-akad
yang dikenal (ma'ruf) dalam kitab-kitab fikih dan tidak boleh membuat akad
baru. Ijtihad ini berdasarkan cara-cara yang bisa digunakan mereka untuk
memahami nash berdasarkan dzahirnya saja.
b. Menurut Jumhur Fuqaha, hukum bertransaksi itu pada dasarnya boleh dengan
syarat tidak melanggar kaidah kaidah umum mu'amalat dalam Islam, karena
memenuhi janji hukumnya wajib. Sebagaimana dalam ayat:

5
Oni Sahroni dan Hasanuddin, Fikih Muamalah: Dinamika Teori Akad dan
Implementasinya dalam Ekonomi Syariah, (Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2018), hlm. 4-5.
6
Oni Sahroni dan Hasanuddin, Fikih Muamalah: Dinamika Teori Akad dan
Implementasinya dalam Ekonomi Syariah,... hlm. 5.
7
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr al-
Mu’ashir, 1997), Jilid 4, hlm. 2918.
8
Andri Soemitra, Hukum Ekonomi Syariah dan Fiqh Muamalah di Lembaga Keuangan
Syariah dan Bisnis Kontemporer, (Jakarta: PrenadaMedia Group, 2019), hlm.39.
9
Oni Sahroni dan Hasanuddin, Fikih Muamalah: Dinamika Teori Akad dan
Implementasinya dalam Ekonomi Syariah,... hlm. 13-15.

3
4

Mْ Mُ‫و ْا أَ ۡوف‬Mٓ Mُ‫ا ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬MMَ‫ٰيَٓأَيُّه‬


ۡ Mِ‫وا ب‬M
‫ َر ُم ِحلِّي‬M‫ا ي ُۡتلَ ٰى َعلَ ۡي ُكمۡ غ َۡي‬MM‫ ةُ ٱأۡل َ ۡن ٰ َع ِم إِاَّل َم‬M‫ٱل ُعقُو ۚ ِد أُ ِحلَّ ۡت لَ ُكم بَ ِهي َم‬M
‫ٱلص َّۡي ِد َوأَنتُمۡ ُح ُر ۗ ٌم إِ َّن ٱهَّلل َ يَ ۡح ُك ُم َما ي ُِري ُد‬
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan
bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang
demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang
mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut
yang dikehendaki-Nya” (QS. Al-Maidah [5]: 1).10
Ayat ini bersifat umum tanpa merinci jenis-jenis akadnya, maka ayat
ini berlaku umum. Di samping itu, akad itu istilahasuk rumpun muamalah
bukan rumpun ibadah, dan kaidah yang dapat digunakan dalam muamalah
adalah: al ashlu fil mu'amalat al-ibahah (Hukum asal yang berlaku dalam
muamalah adalah boleh).
Selanjutnya jumhur ulama berbeda pendapat, ada yang longgar dan
hati-hati. Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah dan Ashhab Ahmad berpendapat
bahwa akad itu harus sesuai dengan Al-Qur’an, Al-Hadis, ljma’, Qiyas dan
sumber-sumber hukum yang mukhtalaf fih. Oleh karena itu, menurut mereka,
akad-akad yang tidak berlandaskan nash, dan hanya berlandaskan urf, qiyas,
dan lain-lain itu dibolehkan. sebaliknya akad-akad yang tidak ada dalil atsar
atau qiyasnya, maka akad itu tidak dibenarkan.
c. Hanabilah, khususnya Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim itu lebih longgar
dalam masalah ini, mereka sepakat jika tidak ada dalil syara’ yang melarang
akad tersebut, maka akad dibolehkan. Oleh karena itu, hukumnya boleh
mendesain akad-akad baru yang belum ada sebelumnya, selama memenuhi
mashlahat dan tidak bertentangan dengan kaidah.
2. Tinjauan Umum tentang Norma dalam Wa’ad (Janji)
Dalam ilmu hukum Islam dikenal istilah al-wa’ad (janji), yang secara
harfiah berarti kesanggupan seseorang atau pihak tertentu untuk melakukan
dan/atau tidak melakukan perbuatan tertentu. Dari segi bentuk, terlihat bahwa
janji hanya berupa ijab (penawaran) tanpa disertai qabul (pernyataan persetujuan/

Muhammad Shohib Thohir, Mushaf Aisyah Al-Qur’an dan Terjemah, (Jakarta: Jabal
10

Rudhotul Jannah, 2010 H/1431 M), hlm. 106.

4
5

penerimaan) dari pihak lain. Sedamgkan perjanjian sama dengan akad, yaitu
kesepakatan para pihak yang cakap hukum mengenai hal tertentu dan sebab yang
halal.11
Adapun arti al-wa’d secara bahasa diantaranya adalah hadda yang berarti
ancaman (al-wa’id) dan takhawwafa (menakut-nakuti). Dari segi cakupannya, al-
wa’d mencakup perbuatan baik dan buruk meskipun pada umumnya janji
digunakan untuk melakukan perbuatan baik. Dalam literatur fiqh, digunakan dua
kata yang sebenarnya satu akar, yaitu al-wa’d dan al-uddah.12
Arti al-wa’d secara terminologi dijelaskan oleh para ulama dengan
penjelasan yang beragam, tetapi unsurnya relatif sama, yaitu:
a. Pernyataan dari pihak atau seseorang (subjek hukum) untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu.
b. Perbuatan tersebut dilakukan pada masa yang akan datang (istiqbal).
c. Dari segi norma, perbuatan yang dijanjikan termasuk perbuatan baik.13
Maka dapat disimpulkan bahwa, al-wa’d (janji) adalah pernyataan
kehendak dari pihak tertentu untuk melakukan sesuatu yang baik pada masa yang
akan datang.
Perlu dijelaskan, bahwa perbedaan pendapat para ulama tentang hukum
janji mengikat atau tidak, itu berbeda dengan memenuhi janji menurut etika.
Karena menurut etika, seriap janji itu wajib dipenuhi dan tidak boleh dilanggar.
Sedangkan perbedaan ulama di bawah ini tentang janji itu mengikat atau tidak.
Jika mengikat, maka pihak yang tidak memenuhi janji harus menanggung
kerugian yang dialami pihak penerima janji. Berikut ini pendapat para ulama
mengenai janji tersebut.14
a. Mayoritas fuqaha (ahli hukum Islam) dari kalangan madzhab Hanafi, Syafii,
Hanbali dan salah satu pendapat dari madzhab Maliki berpendapat bahwa janji
hanya mengikat secara agama dan tidak mengikat secara hukum (legal formal)
sehingga dapat dituntut di pengadilan. Ini mengingat bahwa janji merupakan
Jaih Mubarok dan Hasanuddin, Fikih Muamalah Maliyah, .... hlm. 11-12.
11

Jaih Mubarok dan Hasanuddin, Fikih Muamalah Maliyah, .... hlm. 12.
12

13
Jaih Mubarok dan Hasanuddin, Fikih Muamalah Maliyah, .... hlm. 12.
14
Oni Sahroni dan Hasanuddin, Fikih Muamalah: Dinamika Teori Akad dan
Implementasinya dalam Ekonomi Syariah,... hlm. 7-8.

5
6

kontrak kebajikan (tabarru), sedangkan kontrak kebajikan tidak mengikat


sebagaimana dalam hibah.
b. Sebagian ulama, di antaranya Ibn Syubrumah (w. 144 H), Ishaq Ibn Rahawaih
(w. 238 H), Al-Hasan al-Bashri (w. 110 H) dan salah satu pendapat (qaul)
madzhab Maliki, menyatakan bahwa janji adalah mengikat secara hukum.
Pendapat ini didasarkan pada QS. Al-Shaff (61): 2-3:
َ‫وا َما اَل ت َۡف َعلُون‬ ْ ُ‫ٰيَٓأَيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬
ْ ُ‫ َكبُ َر َم ۡقتًا ِعن َد ٱهَّلل ِ أَن تَقُول‬٢ َ‫وا لِ َم تَقُولُونَ َما اَل ت َۡف َعلُون‬
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang
tidak kamu kerjakan. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu
mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan” 15
Dan hadist Nabi Saw:

‫ا – وفي‬MMً‫انَ ُمنَافِق‬MM‫ ِه َك‬M ‫ ٌع َم ْن ُك َّن فِي‬M َ‫ أَرْ ب‬: ‫ال‬MM‫بيﷺ ق‬MM‫ا عَن الن‬MM‫ي هللا َع ْنهُ َم‬MM‫رو رض‬MM‫عَن ابن عم‬

: ‫ َد َعهَا‬Mَ‫اق َحتَّى ي‬Mَ‫لَةٌ ِمنَ النِّف‬M‫َص‬


ْ ‫ ِه خ‬M‫َت فِي‬ ْ ‫َت فِي ِه خَصْ لَةٌ ِم ْن أَرْ بَ َع ٍة َكان‬
ْ ‫ أَوْ َكان‬، – ‫ خَالِصًا‬: ‫رواية‬
‫ إِ َذا‬: ‫ة‬MM‫ ( وفي رواي‬. ‫ر‬MM‫م فَ َج‬Mَ M‫خَاص‬ َ ‫ َوإِ َذا‬، ‫ َد َر‬M‫ َد َغ‬Mَ‫ َوإِ َذا عَاه‬، َ‫ف‬MMَ‫ َوإِ َذا َو َع َد أَ ْخل‬، ‫ب‬
َ ‫ث َك َذ‬
َ ‫إ َذا َح َّد‬
َ ‫ َّد‬MM‫ إِ َذا َح‬: ‫الث‬
‫ث‬ Mِ ِ‫ آيةُ ال ُمنَاف‬: ً‫ وفي حديث أبي هُ َري َْرة‬. ) َ‫ َوإِ َذا َو َع َد أَ ْخلَف‬: ‫ بدل‬. َ‫اؤتُ ِمنَ َخان‬
ٌ َ‫ق ث‬
ْ ‫ َوإِ َذا‬، َ‫ َوإِ َذا َو َع َد أَ ْخلَف‬، ‫ب‬
َ‫اؤتُ ِمنَ خَ ان‬ َ ‫َك َذ‬

“Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi SAW bersabda:
‘Ada empat perkara, siapa yang empat perkara ini ada pada seseorang maka ia
munafik yang murni. Dan apabila salah satunya ada, maka ia berada pada salah
satu cabang kemunafikan atau perangai kemunafikan sampai ia meninggalkannya.
Yang pertama, apabila berbicara berdusta, yang kedua apabila berjanji tidak
menepati, yang ketiga apabila melakukan perjanjian ia berkhianat tidak
melaksanakan isi perjanjian itu, dan apabila ia bertengkar ia berbuat jahat’ Dalam
riwayat yang lain ‘Apabila diberi amanah ia berkhianat”.16

c. Sebagian ulama madzhab Maliki berpendapat bahwa janji adalah mengikat


secara hukum apabila dikaitkan dengan suatu sebab walaupun orang yang
berjanji tidak menyebutkan sebab tersebut dalam pernyataan janjinya.

Muhammad Shohib Thohir, Mushaf Aisyah Al-Qur’an dan Terjemah, .... hlm. 551.
15

Abi Muhammad Abdul Haq bin Abdurrahman al-Azdi al-Isybili bin al-Kharat, Al-Jam’u
16

Baina as-Shahihain, hadist ke-21, hlm. 12.

6
7

d. Sebagian ulama madzhab Maliki pendapat yang terkenal menyatakan bahwa


janji adalah mengikat secara hukum apabila janji itu dikaitkan dengan suatu
sebab dan sebab tersebut ditegaskan dalam pernyataan janji.
Dari penjelasan tersebut nampak jelas bahwa menurut mayoritas ulama,
janji hanya mengikat menurut agama, tidak mengikat secara hukum. Sedangkan
menurut madzhab Maliki yang memiliki empat pendapat, yaitu mengikat secara
hukum, sama dengan kontrak, yakni jika janji itu dikaitkan dengan suatu sebab
dan sebab tersebut dikemukakan dalam pernyataan janji.
Pendapat ini dipandang kuat pula oleh sebagian ulama kontemporer dan
oleh Majma’ al-Fiqh al-Islami sebagaimana ditetapkan dalam Muktamar V yang
diselenggarakan di Kuwait, tanggal 10-15 Desember 1988. Dalam perbankan
syariah pendapat ini nampaknya lebih baik untuk dipilih.
Misalnya dalam kontrak mudharabah di perbankan nasabah berjanji
kepada bank untuk membeli mobil BMW, apabila bank telah memberikannya.
Janji nasabah dalam hal ini bersifat mengikat secara hukum. Oleh karena itu,
ketika bank telah membelikannya nasabah wajib membelinya. Jika menolak atau
membatalkan bank berhak menuntutnya.
Sebagaimana dijelaskan dalam fatwa DSN sebagai berikut ini.17
a. Janji (wa'd) adalah pernyataan kehendak dari seseorang atau satu pihak
untuk melakukan sesuatu yang baik (atau tidak melakukan sesuatu yang
buruk) kepada pihak lain (mau’ud) di masa yang akan datang;
b. Wa’id adalah orang atau pihak yang menyatakan janji (berjanji),
wa'id harus cakap hukum (ahliyyat al-wujub wa al-ada'). Dalam hal janji
dilakukan oleh pihak yang belum cakap hukum, maka
efektivitas/keberlakukan janji tersebut bergantung pada izin
wali/pengampunya. Serta wa'id harus memiliki kemampuan dan kewenangan
untuk mewujudkan mau'ud bih.
c. Mau’ud adalah pihak yang diberi janji oleh wa’id;

17
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Nomor 85/DSN-MUI/XII/2012 tentang Janji (Wa’d)
Dalam Transaksi Keuangan Dan Bisnis Syariah.

7
8

d. Mau’ud bih  adalah sesuatu yang dijanjikan oleh wa’id (isi wa’d), dan


mau’ud bih tidak bertentangan dengan syariah;
e. Mulzim adalah mengikat; dalam arti bahwa wa’id wajib menunaikan
janjinya (melaksanakan mau’ud bih), serta boleh dipaksa
oleh mau’ud dan/atau pihak otoritas untuk menunaikan janjinya.
f. Janji (wa'd) dalam transaksi keuangan dan bisnis syariah
adalah mulzim dan wajib dipenuhi (ditunaikan) oleh wa'id dengan mengikuti
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Fatwa ini;
g. Wa'd harus dinyatakan secara tertulis dalam akta/kontrak perjanjian.
Wa’d harus dikaitkan dengan sesuatu (syarat) yang harus dipenuhi atau
dilaksanakan mau’ud (wa’d bersyarat);
h. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui
lembaga penyelesaian sengketa berdasarkan syariah setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah.
3. Tinjauan Umum tentang Norma dalam Muwa’adah (Saling berjanji)
Janji atau saling berjanji (wa’d/muwa'adah) bukanlah akad, tetapi
menyerupai akad karena beberapa alasan:
a. Dalam akad telah menimbulkan hak dan kewajiban yang efektit, sedangkan
dalam janji atau saling berjanji (wa’d/muwa'adah) belum/tidak tercapai
tujuan utama akad (munajjaz).
b. Efektifitas akad bersifat serta-merta dari segi alamiahnya, yaitu akad berlaku
secara efektif apabila rukun dan syaratannya terpenuhi. Sedangkan janji pada
umumnya bersifat ke depan karena janji dari segi alamiahnya merupakan per-
nyataan kehendak dari pihak tertentu untuk melakukan sesuatu pada masa
yang akan datang. Dengan demikian, perbuatan hukum dalam akad bersifat
efektif pada saat akad, sedangkan perbuatan hukum vang berupa janji tidak
efektif karena ia merupakan janji untuk melakukan akad pada masa yang akan
datang.

8
9

c. Dalam akad yang berlaku, kaidah al-kharaj bi al-dhaman (kewajiban


berbanding dengan hak) dan al-ghurm bi al-ghurm (keuntungan berbanding
dengan risiko).
Atas dasar tiga alasan tersebut, kiranya dapat ditegaskan bahwa terdapat
kesamaan antara muwa'adah (terutama wa’d bi syarth) dan akad dari segi
sifatnya, yaitu:
a. Janji dan akad bersifat mengikat (mulzim) dan karenanya pihak yang
wanprestasi boleh dipaksa menaatinya bila syarat-syaratnya telah terpeuhi
dalam rangka menjamin kepastian hukum.
b. Janji / saling berjanji (wa'd / muwa'adah) dan akad benar-benar berbeda dari
segi efektifitasnya. Pengalihan kepemilikan objek akad (intiqal al-
milkiyyah), hak dan kepentingan pihak-pihak, serta kesebandingan antara hak
untuk memperoleh keuntungan dan kewajiban menanggung kerugian.
Dengan demikian, layak untuk dinyatakan bahwa akad tidak sama dengan
janji / saling berjanji (wa'd / muwa'adah) karena lebih banyak aspek perbedaannya
daripada persamaannya.18
Mayoritas ulama berpendapat bahwa muwa’adah itu dibolehkan jika status
janjinya tidak mengikat. Misalnya muwa’adah untuk sharf, maka sifatnya tidak
mengikat, jadi kedua belah pihak tidak wajib menjual atau membeli valas.
Ketentuan tidak mengikat karena jika muwa’adah mengikat, maka substansi
muwa’adah sama dengan akad, maka muwa’adah untuk jual beli valuta asing
menjadi tidak boleh karena saat muwa’adah telah terjadi transaksi jual beli dengan
penyerahan tidak tunai dan itu tidak dibolehkan karena istilahasuk riba al-yad.19
B. Aplikasi Penggabungan Akad Dan Wa’ad Pada Akad Musyarakah
Mutanaqishah
Syirkah atau syarikah secara etimologi adalah percampuran atau kemitraan
antara beberapa mitra atau perseroan. Sedangkan secara terminologis perserikatan
dalam kepemilikan hak untuk melakukan tasharruf (pendayagunaan harta).
Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa transaksi syirkah adalah transaksi yang
18
Jaih Mubarok dan Hasanuddin, Fikih Muamalah Maliyah, .... hlm. 14-15.
19
Oni Sahroni dan Hasanuddin, Fikih Muamalah: Dinamika Teori Akad dan
Implementasinya dalam Ekonomi Syariah,... hlm. 10.

9
10

boleh, tidak wajib (mengikat). Ibnu Yunus dari kalangan Malikiyah berpendapat
bahwa syirkah wajib setelah terjadi transaksi dan masing-masing dari kedua belah
pihak tidak boleh menarik diri, seperti pada transaksi jual beli.20
Musyarakah Mutanaqisah adalah musyarakah atau syirkah yang
kepemilikan aset (barang) atau modal salah satu pihak (syarik) berkurang
disebabkan pembelian secara bertahap oleh pihak lainnya. Dalam akad
Musyarakah Mutanaqisah yang dilakukan di lembaga-lembaga keuangan syariah
juga terdapat janji dari nasabah untuk membeli barang dari entitas pemilik syirkah
(LKS).21
Produk ini merupakan alternatif dari produk murabahah yang telah
digunakan secara dominan di perbankan syariah.
Menurut fatwa DSN janji yang dimaksud itu mengikat kedua belah pihak
sebagaiman dalam fatwa DSN: “Dalam akad Musyarakah Mutanaqisah, pihak
pertama (salah satu syarik, LKS) yang diperlukan untuk membeli bantuan
hishshah-nya yang diperbarui dan pihak kedua (syarik yang lain, nasabah) wajib
memebelinya”.22
Hubungan anatara wa’d dan Musyarakah Mutanaqishah terlihat dalam
ketentuan akad MMQ, yaitu:
1. Akad Musyarakah Mutanaqishah terdiri atas akad Musyarakah/syirkah dan
jual beli.
2. Dalam akad Musyarakah Mutanaqishah berlaku hukum, sebagaimana diatur
dalam Fatwa DSN No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan
musyarakah, dimana para mitranya memiliki hak dan kewajiban, diantaranya:
1) memberikan modal dan kerja berdasarkan kesepakatan saat akad; 2)
memperoleh keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati pada saat akad;
dan 3) menanggung kerugian sesuai proporsi modal.

20
Miftahul Khairi, Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab,
(Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2017), hlm. 225-228.
21
Oni Sahroni dan Hasanuddin, Fikih Muamalah: Dinamika Teori Akad dan
Implementasinya dalam Ekonomi Syariah,... hlm. 19.
22
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Nomor 73/DSN-MUI/XI/2008 tentang Musyarakah
Mutanaqishah.

10
11

3. Dalam akad Musyarakah Mutanaqishah, pihak pertama (syarik) wajib


berjanji untuk menjual seluruh hishshahnya secara bertahap dan pihak kedua
(syarik) wajib membelinya.
4. Jual beli sebagaimana dimaksud dilaksanakan sesuai kesepakatan.
5. Setelah selesai pelunasan, seluruh hishshah LKS beralih kepada syarik
lainnya (nasabah).
Contoh penerapannya seperti nasabah membeli sebuah rumah secara bersama-sama
dengan Bank Syariah dengan porsi masing-masing 50%, dalam hal ini akad yang
digunakan adalah musyarakah. Kemudian kepemilikan Bank Syariah dijual
kepada nasabah (syarik) secara berangsur, hingga Bank Syariah tidak lagi
mempunyai hak kepemilikan terhadap rumah itu. Sehingga pada waktunya
kepemilikan menjadi 100% pada nasabah (syarik). Akad yang digunakan adalah
IMBT.
KESIMPULAN
Adapun akad secara istilah adalah pertalian atau keterikatan antara ijab dan
qabul sesuai dengan kehendak syariah (Allah dan Rasul-Nya) yang menimbulkan
akibat hukum pada objek perikatan. Dalam hukum Islam kesepakatan atau
perikatan dapat dikategorikan akad didasarkan pada keridhaan dan kesesuaian
dengan syariat Islam. Dalam konteks Islam ijab qabul merupakan unsur yang
penting pada tiap transaksi
Al-wa’d (janji) adalah pernyataan kehendak dari pihak tertentu untuk
melakukan sesuatu yang baik pada masa yang akan datang. Perbedaan pendapat
para ulama tentang hukum janji mengikat atau tidak, itu berbeda dengan
memenuhi janji menurut etika. Mayoritas fuqaha (ahli hukum Islam) berpendapat
bahwa janji hanya mengikat secara agama dan tidak mengikat secara hukum.
Musyarakah Mutanaqisah adalah musyarakah atau syirkah yang
kepemilikan aset (barang) atau modal salah satu pihak (syarik) berkurang
disebabkan pembelian secara bertahap oleh pihak lainnya. Dalam akad
Musyarakah Mutanaqisah yang dilakukan di lembaga-lembaga keuangan syariah
juga terdapat janji dari nasabah untuk membeli barang dari entitas pemilik syirkah
(LKS).

11
12

DAFTAR PUSTAKA

Abi Muhammad Abdul Haq bin Abdurrahman al-Azdi al-Isybili bin al-Kharat. Al-
Jam’u Baina as-Shahihain.
Andri Soemitra. Hukum Ekonomi Syariah dan Fiqh Muamalah di Lembaga
Keuangan Syariah dan Bisnis Kontemporer. Jakarta: PrenadaMedia
Group. 2019.
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Nomor 73/DSN-MUI/XI/2008 tentang
Musyarakah Mutanaqishah.
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Nomor 85/DSN-MUI/XII/2012 tentang Janji
(Wa’d) Dalam Transaksi Keuangan Dan Bisnis Syariah.

Jaih Mubarok dan Hasanuddin. Fikih Muamalah Maliyah. Bandung: Simbiosa


Rekatama Media. 2017.
Miftahul Khairi. Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab.
Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif. 2017.

Muhammad Shohib Thohir. Mushaf Aisyah Al-Qur’an dan Terjemah. Jakarta:


Jabal Rudhotul Jannah. 2010 H/1431 M.
Oni Sahroni dan Hasanuddin. Fikih Muamalah: Dinamika Teori Akad dan
Implementasinya dalam Ekonomi Syariah. Depok: PT RajaGrafindo
Persada. 2018.
Wahbah Al-Zuhaili. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Damaskus: Dar al-Fikr al-
Mu’ashir. 1997.
Wawan Muhwan Hariri. Hukum Perikatan. Bandung: CV Pustaka Setia. 2011.

12

Anda mungkin juga menyukai