Anda di halaman 1dari 7

ANALISIS SEWA MENYEWA (IJARAH) DALAM SISTEM

PERBANKAN SYARIAH

Siti Sarah, Muamar Khadafi


Program Studi Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Malikussaleh
Lhokseumawe
ABSTRAK
Artikel ini bertujuan untuk menganalisis akad Ijarah Perbankan Syariah. Teori yang berkaitan
dengan artikel ini meliputi tentang Ijarah, Landasan Hukum Al-Ijarah, Rukun al-Ijarah,
Prinsip- Prinsip Pokok Transaksi Al-Ijarah, Jenis-Jenis Al-Ijarah, dan Berakhirnya Akad Al-
Ijarah. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah studi literatur,
Kata kunci: Ijarah, Landasan Hukum Ijarah, Rukun Al-Ijarah, Prinsip- Prinsip Pokok
Transaksi Al-Ijarah, Jenis-Jenis Al-Ijarah, Berakhirnya Akad Al-Ijarah dan Perbankan
Syariah.
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat memiliki kebutuhan- kebutuhan yang harus
dipenuhi baik kebutuhan primer, sekunder maupun tersier. Ada kalanya masyarakat tidak
memiliki cukup dana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karenanya, dalam
perkembangan perekonomian masyarakat yang semakin meningkat muncullah jasa
pembiayaan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan non-bank.
Lembaga perbankan merupakan salah satu aspek yang diatur dalam syariah Islam,
yakni bagian muamalah sebagai bagian yang mengatur hubungan sesama manusia. Pengaturan
lembaga perbankan dalam syariah Islam dilandaskan pada kaidah dalam ushul fiqih yang
menyatakan bahwa mā lā yatimm al-wajib illa bihi fa huwa wajib yakni sesuatu yang harus
ada untuk menyempurnakan yang wajib, maka ia wajib diadakan. Mencari nafkah (yakni
melakukan kegiatan ekonomi) adalah wajib diadakan. Oleh karena pada zaman modern ini
kegiatan perekonomian tidak akan sempurna tanpa adanya lembaga perbankan, maka lembaga
perbankan ini pun menjadi wajib untuk diadakan.
Dalam transaksi sewa-menyewa dalam perbankan konvensional tidak ada peralihan hak
milik, artinya jika masa sewa berakhir maka barang obyek sewa dikembalikan pada pemilik
sewa sehingga pada umumnya tidak membutuhkan jasa suatu lembaga pembiayaan. Akan
tetapi lain halnya dalam praktek perbankan Syariah karena dikenal pembiayaan berdasarkan
akad sewa-menyewa yang disebut ijarah. Oleh karenanya timbul pertanyaan kenapa pada
transaksi sewa-menyewa yang pada umumnya tidak disertai pemindahan hak milik sehingga
tidak diperlukan pembiayaan, sedangkan dalam praktek perbankan syariah disertai dengan
pemindahan kepemilikan? Hal inilah yang menarik untuk dikaji dan selanjutnya akan diuraikan
dalam pembahasan berikut.
PEMBAHASAN
Al-Ijarah
Al-Ijarah berasal dari kata al-ajru yang berarti al’iwadhu atau berarti ganti. Dalam
Bahasa Arab, al-ijarah diartikan sebagai suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan
jalan penggantian sejumlah uang. Secara terminologi, ada beberapa defenisi al-ijarah yang
dikemukakan oleh para ulama fiqh.
Pertama, ulama Hanafiyah mendefinisikannya dengan: “transaksi terhadap suatu
manfaat dengan imbalan.
Kedua, ulama syafi’iyah mendefinisikannya dengan “transaksi terhadap suatu manfaat
yang dituju, tertentu, bersifat mubah, dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.

Ketiga, ulama Malikiyah dan Hanabilah mendefinisikannya dengan: “pemilikan


manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan.
Pada dasarnya keempat pendapat ulama di atas memiiliki pandangan yang sama
terhadap pengertian al-ijarah.
Sedangkan menurut Sutan Remy al Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas
barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan (ownership/milkiyyah) atas barang itu sendiri.
Definisi mengenai prinsip ijarah juga telah diatur dalam hukum positif Indonesia yakni
dalam Pasal 1 ayat 10 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 yang mengartikan
prinsip al-ijarah sebagai “transaksi sewa-menyewa atas suatu barang dan atau upah mengupah
atas suatu usaha jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau imbalan jasa.
Menurut Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No.09/DSN/MUI/IV/2000, ijarah adalah
akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui
pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri,
dengan demikian dalam akad ijarah tidak ada perubahan kepemilikan, tetapi hanya
pemindahan hak guna saja dari yang menyewakan kepada penyewa.

Dari beberapa pengertian di atas dapat dikatakan bahwa al-ijarah adalah pemindahan
hak guna atau manfaat terhadap suatu barang atau jasa dari sesorang kepada orang lain dalam
kurun waktu tertentu sesuai kesepakatan.
Landasan Syariah
1. Al—Qur’an
Dalil tentang kebolehan transaksi al-ijarah dapat dipahami dari nash al-Qur’an di antaranya
QS. Ath-Thalaq: 6. “Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka
berikanlah kepada mereka upahnya” .
Yang menjadi dalil dari ayat tersebut adalah ungkapan “berikanlah kepada mereka
upahnya, ungkapan tersebut menunjukan adanya jasa yang diberikan sehingga berkewajiban
membayar upah (fee) secara patut. Dalam hal ini termasuk di dalamnya jasa penyewaan atau
leasing. Upah dalam ayat ini disebutkan dalam bentuk umum, mencakup semua jenis sewa-
menyewa (ijarah).
2. Al-Hadis
Kebolehan melakukan transaksi ijarah didasarkan juga kepada hadis, di antaranya hadis
yang diriwayatkan dari ibnu Aisyah ra. bahwa: ‫واستأجر النبي صلى ﷲ عل ھ و سلم وأبو بكر رجال‬
‫من بني الدیل ثم من بني عبد بن عبدي ھادیا خرتا الخرتالماھر بالھدیة‬
Artinya: ”Nabi saw bersama Abu Bakar menyewa seorang penunjuk jalan yang mahir
dari Bani al-Dail kemudian dari Bani ‘Abdu bin ‘Adi”. (HR Bukhari)
Hadis ini menunjukkan bahwa sewa-menyewa atau ijarah hukumnya boleh. Hal itu
dipahami dari hadis fi’liyah Nabi saw yang menyewa dan memberikan upahnya kepada
penunjuk jalan yang memandu perjalanan beliau bersama Abu Bakar ra. Sebab Nabi
Muhammad saw merupakan suri teladan yang baik untuk diikuti.
Rukun Al-Ijarah
Menurut ulama Hanafiyah, rukun al-ijarah itu hanya satu, yaitu ijab (ungkapan
menyewakan) dan qabul (persetujuan terhadap sewa menyewa). Akan tetapi, jumhur ulama
mengatakan bahwa rukun al-ijarah itu ada empat, yaitu: (a) orang yang berakad, (b)
sewa/imbalan, (c) manfaat, dan (d) shighat (ijab dan qabul). Ulama Hanafiyah menyatakan
bahwa orang yang berakad, sewa/imbalan, dan manfaat, termasuk syaratsyarat al-ijarah, bukan
rukunnya.
Hal itu menunjukkan bahwa jika salah satu dari beberapa rukun sewa-menyewa (al-
ijarah) tersebut tidak terpenuhi, maka akad sewa-menyewanya dikategorikan tidak sah. Sebab
ketentuan dalam rukun sewa-menyewa di atas bersifat kumulatif (gabungan) dan bukan
alternative.
Prinsip-Prinsip Pokok Transaksi Al-Ijarah
Menurut Islam prinsip-prinsip pokok al-ijarah haruslah dipenuhi oleh seseorang dalam
suatu transaksi al-ijarah yang akan dilakukakannya. Prinsip-prinsip pokok tersebut adalah:
1. Jasa yang ditransaksikan adalah jasa yang halal sehingga dibolehkan melakukantransaksi
al-ijarah untuk keahlian memproduksi barang-barang keperluan seharihari yang halal
seperti untuk memproduksi makanan, pakaian, peralatan rumah tangga dan lain-lain.
Namun tidak dibolehkan transaksi al-ijarah untuk keahlian membuat minuman keras,
membuat narkoba dan obat-obat terlarang atau segala aktifitas yang terkait dengan riba.
2. Memenuhi syarat sahnya transaksi al-ijarah yakni (a) Orang-orang yang mengadakan
transaksi ajiir dan musta’jir) haruslah sudah mumayyiz yakni sudah mampu membedakan
baik dan buruk sehingga tidak sah melakukan transaksi alijarah jika salah satu atau kedua
pihak belum mumayyiz seperti anak kecil. (b). Transaksi atau akad harus didasarkan pada
keridaan kedua pihak, tidak boleh karena ada unsur paksaan.
3. Transaksi ijarah haruslah memenuhi ketentuan dan aturan yang jelas yang dapat
mencegah terjadinya perselisihan antara kedua pihak yang bertransaksi. Ijarah adalah
memanfaatkan sesuatu yang dikontrak. Apabila transaksi tersebut berhubungan dengan
seorang ajîr, maka yang dimanfaatkan adalah tenaganya, sehingga untuk mengontrak
seorang ajîr tadi harus ditentukan bentuk kerjanya, waktu, upah serta tenaganya. Oleh
karena itu, jenis pekerjaaannya harus dijelaskan sehingga tidak kabur. Karena transaksi
ijarah yang masih kabur hukumnya fasid (rusak). Dan waktunya juga harus ditentukan,
misalkan harian, bulanan, atau tahunan. Disamping itu upah kerjanya harus ditetapkan.
Karena itu dalam transaksi ijarah ada hal-hal yang harus jelas ketentuannya yang
menyangkut: (a). bentuk dan jenis pekerjaan (nau al-amal). (b). Masa kerja (muddah al-
amal). (c). Upah kerja (ujrah al-amal). (d). Tenaga yang dicurahkan saat bekerja (al-juhd
alladziy yubdzalu fii al-amal).

Jenis-Jenis Al-Ijarah dalam Perbankan Syariah


a. Ijarah Mutlaqah
Ijarah mutlaqah atau leasing, adalah proses sewa menyewa yang biasa kita temui dalam
kegiatan perekonomian sehari-hari. Ijarah berarti lease contract dan juga hire contract. Dalam
konteks perbankan Islam, ijarah adalah suatu lease contract dimana suatu bank atau lembaga
keuangan menyewakan peralatan (equipment), sebuah bangunan atau barang-barang, seperti
mesin-mesin, pesawat terbang, dan lain-lain, kepada salah satu nasabahnya berdasarkan
pembebanan biaya yang sudah ditentukan secara pasti sebelumnya (fixed charge).
Dengan demikian, perjanjian ijarah atau leasing tidak lain adalah kegiatan leasing yang
dikenal dalam sitem keuangan yang tradisonal. Dalam transaksi ijarah, bank menyewakan
suatu aset yang sebelumnya telah dibeli oleh bank kepada nasabahnya untuk jangka waktu
tertentu dengan jumlah sewa yang telah disetujui dimuka.
Para ahli hukum muslim membagi lagi ijarah mutlaqah menjadi dua bentuk:
1. Menyewa untuk suatu jangka waktu tertentu.
2. Menyewa untuk suatu proyek/usaha tertentu.
Bentuk yang pertama banyak diterapkan dalam sewa-menyewa barang/aset sedang yang
terakhir dipakai untuk menyewa pekerja/tenaga ahli untuk usaha-usaha tertentu. Dalam
pelaksanaannya, bank dapat membeli barang dari pemasok barang dengan pemberian fasilitas
bai’salam kepada pemasok barang.
Pada perjanjian ijarah, seperti halnya pada leasing yang diberikan oleh lembaga
pembiayaan tradisonal, pada akhir perjanjian ijarah barang yang disewa itu kembali kepada
pihak yang menyewakan barang, yaitu bank. Pada perjanjian ijarah sepanjang masa perjanjian
ijarah tersebut kepemilikan atas barang tetap berada pada bank. Setelah barang kembali pada
akhir masa ijarah, bank dapat menyewakan kembali kepada pihak lain yang berminat atau
menjual barang itu dengan memperoleh harga atas penjualan barang bekas (second hand)
tersebut.

b. Al-Ijarah al-Muntahia bit-Tamlik


Transaksi yang disebut dengan al-ijarah al-muntahia bit-tamlik (IMBT) adalah sejenis
perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan
kepemilikan barang di tangan si penyewa. Sifat pemindahan kepemilikan ini pula yang
membedakan dengan ijarah biasa. Ijarah yang juga disebut ijarah wa iqtina ini merupakan
konsep hire purchase, yang oleh lembaga-lembaga keuangan Islam disebut lease-purchase
financing. Ijarah wa iqtina adalah suatu gabungan dari kegiatan leasing atas barang-barang
bergerak (movable) dan barangbarng tidak bergerak (immovable) dengan memberikan kepada
penyewa (lessee) suatu pilihan atau opsi (option) untuk akhirnya membeli barang yang disewa.
Berbeda dengan ijarah, pada akhir masa perjanjian kepemilikan atas barang tersebut dapat
beralih kepada penyewa (nasabah bank) apabila nasabah bank yang bersangkutan
menggunakan hak opsinya untuk membeli barang itu. Namun, apabila nasabah bank tidak
menggunakan hak opsinya, kepemilikan barang itu tetap berada ditangan bank.

Ijarah muntahia bit-tamlik ini dulunya tidak dikenal oleh ilmuwan-ilmuwan muslim
tradisonal, sekalipun sebenarnya tidak terdapat hal yang melanggar hokum (unlawful) pada
penggabungan dua konsep yang melembaga itu, yaitu lease dan option, asalkan riba dihindari
dan asalkan riba bukan merupakan tujuan dari para pihak yang membuat perjanjian itu.

Praktek sewa-menyewa dalam transaksi umum masyarakat tidak disertai dengan


pemindahan hak milik. Apabila disertai dengan pemindahan hak milik maka transaksinya
disebut perjanjian sewa – beli. Terhadap perjanjian sewa – beli (leasing) umumnya pemberian
jasa pembiayaan diberikan oleh lembaga keuangan non – bank /finance . Pada praktek
perbankan syariah, akad sewa-menyewa disebut Ijarah. Akad sewa-menyewa (ijarah ) pada
perbankan syariah pada perkembangannya dapat disertai dengan pemindahan hak milik yang
disebut sebagai Ijarah Muntahiyyah bit-Tamlik (IMBT). Walaupun seperti terlihat mirip
dengan Leasing pada praktek pembiayaan konvensional, tetapi pada perbankan syariah terdapat
pembedaan, yaitu jika obyek leasing hanya berlaku pada manfaat barang saja, sedangkan pada
Ijarah Muntahiyyah Bit-Tamlik obyeknya bisa berupa barang maupun jasa/ tenaga kerja.

Berakhirnya Akad Al-Ijarah


Para ulama fiqh menyatakan bahwa akad al-ijarah akan berakhir jika:
a. Obyek hilang atau musnah
b. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad al-ijarah telah berakhir. Apabila yang
disewakan itu rumah, maka rumah itu dikembalikan kepada pemiliknya, dan apabila yang
disewa itu adalah jasa maka ia berhak menerima upahnya. Kedua hal ini disepakati oleh
semua ulama fiqh.
c. Menurut ulama Hanafiyah, wafatnya salah seorang yang berakad, karena akad al-ijarah
menurut mereka tidak boleh diwariskan. Sedangkan menurut jumhur ulama, akad al-ijarah
tidak batal dengan wafatnya seseorang yang berakad, karena manfaat menurut meraka,
boleh diwariskan.
d. Apabila ada uzur pada salah satu pihak.

Al-Ijarah dalam Perbankan Syariah

1. Perbedaan Al-Ijarah dengan Bunga

Dipandang dari hukum Islam, tampaknya pembayaran sewa tidaklah bertentangan


dengan etika ekonomi Islam, karena adanya perbedaan besar antara sewa dan bunga. Tetapi
sepintas lalu baik sewa maupun bunga kelihatannya adalah satu dan sama, karena konon sewa
atas tanah, atau harta benda, sedangkan bunga atas modal, yang mempunyai potensi untuk
dialihkan menjadi harta benda atau kekayaan apa saja. Demikianlah dikemukakan bahwa hak
“pemilikan tanah tidaklah mengandaikan adanya hak tidak terbatas untuk menyewakan tanah
itu sebagaimana juga hak memiliki uang tidak mengandung arti hak untuk memungut riba.”
Walupun sepintas lalu ada kesamaan, tetapi dalam beberapa segi, pada kedua hal itu, transaksi
dan keuntungan sangat berbeda.

Pertama, sewa adalah hasil inisiatif usaha dan efisiensi. Ia dihasilkan sesudah suatu
proses menciptakan nilai yang pasti. Karena pemilik harta benda atau kekayaan tetap terlibat
dan berkepentingan dengan seluruh pemakaian si pemakai. Tidak demikian halnya dengan
bunga, karena yang meminjamkan tidak berkepentingan lagi dengan penggunaan pinjaman,
setelah pinjaman diperoleh dan bunganya terjamin.

Kedua, mengenai sewa usaha produktif sangat diperlukan dalam proses menciptakan
nilai, karena upaya ekonomik dilakukan pemilik modal dengan merubahnya menjadi milik
atau kekayaan. Demikian maka unsur kewira-usahaan tetap jelas dan aktif dalam
memproduksi barang dan jasa. Sedangkan bunga mungkin memperlambat proses
menciptakan nilai. Karena yang meminjamkan tetap tidak berkepentingan dengan
penggunaan pinjaman itu, maka unsur wirausaha hilang sama sekali.

Ketiga, dalam hal sewa, pemilik modal sendiri menentukan pola, ukuran dan manfaat
produk. Karena itu terbatas pada penggunaannya yang pasti dan bertujuan. Sedangkan dalam
hal bunga pemilik yang sebenarnya tampaknya tidak berkepentingan dengan penggunaan
ekonomik dari modal, karena itu besar kemungkinan modal dapat disalah gunakan.

Keempat, karena dalam masalah sewa banyak unsur kerugiannya, maka penggunaan
modal oleh sipemilik untuk mendapatkan sewa tidak menciptakan timbulnya kelas bermalas-
malasan dalam masyarakat sedangkan unsur kerugian tidak terdapat sama sekali dalam soal
bunga yang dapat membuat si kaya menjadi lebih kaya dan si miskin menjadi lebih miskin.

Dengan demikian dalam sewa-menyewa tidak terdapat unsur eksploitasi sebagaimana


terjadi dalam bunga. Karena itu dalam sewa menyewa dimensi insaninya lebih dominan
dibandingkan dengan dimensi ilahinya. Sebab sewa menyewa sebagai bagian dari fiqh
muamalah berkaitan erat dengan kepentingan manusia.

Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu:
Al-ijarah adalah akad pemindahan kepemilikan atas suatu barang atau jasa dalam
waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan
barang itu sendiri.
Konsep al-ijarah dalam perbankan syariah sama seperti sewa-menyewa pada
umumnya, namun yang membedakannya adalah bahwa pada perbankan syariah ada suatu sewa
yang pada akhir masa kontrak, diberikan pilihan kepada nasabah untuk memiliki barang
tersebut atau tidak, yang biasa disebut dengan sewa beli, dan hal ini belum pernah terjadi di
masa awal Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bukhari. Sahih al-Bukhari, Juz IV, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992.
Chairi, Zulfi. Pelaksanaan Kredit Perbankan Syariah Manurut UU No. 10 Tahun 1998 e-usu
Repository 2005

Departemen Agama. Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Mahkota Surabaya, 1989


Haroen, Nasrun. Fiqh Muamalah, Cet. II; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007
Ibnu Qudama. al-Mugni, Jilid V, Riyadh: al-Haditsah, t.th.
Jamaa, La. “Dimensi Ilahi dan Dimensi Insani dalam Maqasid al-Syari’ah,” Jurnal Asy-
Syir’ah, Vol. 45, No. II, Juli-Desember 2011.
Khathib, asy-Syarbaini. Mugni al- Muhtaj, Jilid II Beirut: Dar al-Fikr, 1978
Karim, Adiwarman A. Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan, Cet.I; Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2006
Al-Kasani. al- Bada’i’u al-Sana’i, Jilid IV Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Lamandasa, Raimond Flora. Artikel Hukum Dalam Makalah Hukum Perbankan Syariah
Universitas Gajah Mada: 2008 (www.google.com)
Manan, Abdul. Ekonomi Islam, Teori dan Praktek, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa,
2007
Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah, Jilid 13, Diterjemahkan oleh Kamaludin A. dan Marzuki,
Bandung: PT al Ma’arif, 2007
Shalahuddin, M. Asas-Asas Ekonomi Islam, Ed. I; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007
Sudarsono, Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Cet.IV; Yogyakarta: Ekonisia, 2007.
Syahdeini, Sutan Remy. Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum
Indonesia, Jakarta: Grafiti; 1999 al-Zuhaili, Wahhab. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Jilid IV,
Beirut: Dar al Fikr, 1984.

Anda mungkin juga menyukai