Anda di halaman 1dari 17

MEKANISME KEUANGAN SYARIAH BERBASIS AKAD LAINNYA

( Penerapan Akad Ijarah, IMBT, Wadiah Dan Qard )

Disusun untuk memenuhi Mata Kuliah Manajemen Keuangan Syariah

Dosen Pengampu : GustikaNurmalia, M.E.K.

KELOMPOK 5 :

SALSA BELLA ARZA 2051020147


VIVIANNISA VICTORIA. P 2051020181

PRODI PERBANKAN SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISALM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
TAHUN AJARAN 2021/2022
MEKANISME KEUANGAN SYARIAH BERBASIS AKAD LAINNYA
( Penerapan Akad Ijarah, IMBT, Wadiah Dan Qard )
Salsa Bella Arza, Viviannisa Victoria. P

UIN Raden Intan Lampung

ABSTRAK

Performa perbankan syari’ah di Indonesia kini meningkat, hal ini dapat dilihat dari
meningkatnya jumlah institusi lembaga keuangan syari’ah di Indonesia. Meningkatnya
institusi lembaga keuangan syari’ah di Indonesia ini juga di imbangi dengan bertambahnya
produk-produk yang ditawarkan oleh perbankan syari’ah, yag inovatif dan kompetitif
sehingga mampu menjangkau pasar yag lebih luas serta sesuai dengan keperluan masyarakat
yag dinamis.

Transaksi sewa, penitipan, dan peminjaman dana memang sudah tidak asing lagi di
masyarakat. Bahkan islam sebagai agama yang kompleks pun telah mengturnya dalam Al-
Qur’an dan Hadist, yang kemudian diterapkan oleh lembaga keuangan perbankan syari’ah
melalui akad Ijarah, IMBT, Wadiah dan Qardh. Sehingga sangat penting bagi seorang muslim
dalam bermuamalah untuk mengetahui bagaimna konsep dari akad Ijarah (sewa), IMBT,
Waadiah (titipan), dan Qardh (pinjaman) dalam islam sebagaimana praktiknya pada dunia
perbankan.

Kata kunci: Bank Syariah, Ijarah , IMBT, Wadiah, Qardh


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebagai langkah kongkret pemerintah dalam mendukung pengambangan perbankan


syariah di Indonesia ditetapkan Undang-Undang No.20 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syari’ah, maka pengembangna industri perbankan syari’ah di Indonesia semakin memiliki
landasan hukum yang memadai dan diharapkan agar dapat mendorong pertumbuhanya secara
cepat.

Termasuk di dalamnya adalah kegiatan pembiayaan bank, berupa sistem ijarah dan ijarah
muntahiya bittamlik (IMBT). Di mana ini merupakan sistem sewa menyewa dengan prinsip
syariah. Keduanya memiliki perbedaan pada akhir sewa, di mana ijarah tidak diikuti
pemindahan kepemilikan, sedangkan IMBT diikuti dengan pemindahan kepemilikan oleh bank
kepada nasabah dengan akad hibah.

Dalam bisnis kontemporer, masalah penitipan modal pada lembaga perbankan dengan
berbagai macam sistem yang biasanya melalui sistem tabungan, giro dan deposito. Barang
titipan ini sering disebut dengan Al-Wadi’ah.

Perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usahanya tidak hanya mengejar keuntungan,
tetapi juga memiliki fungsi sosial dimasyarakat yang direalisasikan dalam bentuk akad
qardh/qardhul hasan atau pinjaman kebajikan di mana sumber dananya berasal dari zakat,
infaq, sedekah, hibah dan dana sosial lainnya. Hal ini yang membedakan bank syariah dengan
bank konvensional.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di uraikan di atas, maka rumusan masalah yang di bahas
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1) Bagaimana Penerapan Akad Ijarah ?
2) Bagaimana Penerapan Akad IMBT ?

3) Bagaimana Penerapan Akad Wadiah ?

4) Bagaimana Penerapan Akad Qardh ?

1.3 Tujuan Masalah

1) Mengetahui Penerapan Akad Ijarah.

2) Mengetahui Penerapan Akad IMBT .

3) Mengetahui Penerapan Akad Wadiah.

4) Mengetahui Penerapan Akad Qardh.

1.4 Manfaat Penelitian

1) BagiAkademisi

Digunakan untuk menambah wawasan dan sebagai tambahan bahan referensi untuk
digunakan sebagai bahan materi mengenai perbankan syariah. 2) BagiPenulis

Digunakan untuk menambah wawasan materi seputar perbankan syariah.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Akad Ijarah

a. Konsep Akad Ijarah


Dalam dunia perbankan, ijarah masuk di dalam akad tijari. Kata al-Ijarah
sendiri berasal dari kata al-Ajru yang diartikan sebagai al-'Iwadhu yang mempunyai arti
”ganti”, al-Kira`, yang mempunyai arti ”bersamaan” dan al-Ujrah yang memiliki arti
”upah”.1 Pengertian al-Ijarah menurut istilah syariat Islam terdapat beberapa pendapat
Imam Mazhab Fiqh Islam sebagai berikut:2
1. Para ulama dari golongan Hanafiyah berpendapat, bahwa al-Ijarah adalah suatu
transaksi yang memberi faedah pemilikan suatu manfaat yang dapat diketahui
kadarnya untuk suatu maksud tertentu dari barang yang disewakan dengan adanya
imbalan.
2. Ulama Mazhab Malikiyah mengatakan, selain al-ijarah dalam masalah ini ada yang
diistilahkan dengan kata al-kira`, yang mempunyai arti bersamaan, akan tetapi untuk
istilah al-Ijarah mereka berpendapat adalah suatu `aqad atau perjanjian terhadap
manfaat dari al-adamy (manusia) dan benda-benda bergerak lainnya, selain kapal laut
dan binatang, sedangkan untuk al-kira` menurut istilah mereka, digunakan untuk
`aqad sewamenyewa pada benda-benda tetap, namun demikian dalam hal tertentu,
penggunaan istilah tersebut kadang-kadang juga digunakan.
3. Ulama Syafi`iyah berpendapat, al-ijarah adalah suatu aqad atas suatu manfaat yang
dibolehkan oleh Syara` dan merupakan tujuan dari transaksi tersebut, dapat diberikan
dan dibolehkan menurut syara` disertai sejumlahimbalan yang diketahui.
4. Hanabilah berpendapat, al-ijarah adalah akad atas suatu manfaat yang dibolehkan
menurut syara` dan diketahui besarnya manfaat tersebut yang diambilkan sedikit

1
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat (Jakarta: Amzah, 2010), hal. 316.
2 Ibid., hal. 316-317.
demi sedikit dalam waktu tertentu dengan adanya`iwadah. Berdasarkan beberapa
pengertian di atas, maka dapatlah dikatakan bahwa dalam hal `aqad ijarah dimaksud
terdapat tiga unsur pokok, yaitu pertama, unsur pihak-pihak yang membuat transaksi,
yaitu majikan dan pekerja. Kedua, unsur perjanjian yaitu ijab dan qabul, dan yang
ketiga, unsur materi yang diperjanjikan, berupa kerja dan ujrah atau upah Menurut
Sayyid Sabiq, ijarah adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan
penggantian (penjualan manfaat). Di mana ijarah ini adalah transaksi sewa-menyewa
barang tanpa alih kepemilikan di akhir periode.

Sedangkan menurut Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia


(MUI) dalam memberikan definisi ijarah ialah : “akad pemindahan hak guna manfaat
atas suatu barang tertentu atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau
upah tanpa di ikuti dengan pemindahan barang itu sendiri. 3

b. Implementasi Akad Ijarah dalam Lembaga Keuangan


Produk yang ditawarkan pada Lembaga Keungan Syariah beragam dan sesuai
dengan ketentuannya masing-masing guna menjawab kebutuhan masyarakat saat ini.
Tidak terkecuali akad ijarah dan IMBT dapat diimplementasikan dalam produk yang
diberikan oleh perbankan syariah. Tujuan dari inplementasi akad ijarah adalah untuk
memberikan fasilitas kepada nasabah yang membutuhkan manfaat atas barang atau jasa
dengan pembayaran tangguh. Objek sewa yang dapat ditawarkan, antara lain:
1. Properti
2. Alat transportasi
3. Multi jasa (pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaaan, dan lain-lain)
Mengingat kebutuhan masyarakat saat ini yang belum dapat melakukan
pembelian secara tunai, maka akad ijarah dianggap sebagai salah satu alternatif yang
dapat digunakan oleh nasabah melalui produk yang ditawarkan pada perbankan syariah.
Misalkan pada produk pembiayaan kepemilikan rumah atau KPR di perbankan syariah.
Saat ini trend yang berkembang adalah maraknya masyarakat yang berinvestasi pada
kepemilikan rumah. Sehingga prospek yang besar apabila perbankan syariah mampu
menjawab kebutuhan masyarakat saat ini dengan memberikan produk kepemilikan
rumah dengan mudah dan sesuai dengan prinsip syariah.

3 Fatwa Dewan Syariah Nasional NO.09/DSN-MUI/IV/2000


.

2.2 Akad Ijarah Muntahia Bit-Tamlik (IMBT)


a. Konsep Ijarah Muntahia Bit-Tamlik (IMBT)

Berbicara mengenai Ijarah Muntahia Bit-Tamlik (IMBT) diartikan sebagai


transaksi sewa dengan perjanjian untuk menjual atau menghibahkan objek sewa di akhir
periode sehingga transaksi ini diakhiri dengan alih kepemilikan objek sewa. 4 IMBT
adalah transaksi sejenis perpaduan kontrak jual-beli dan atau lebih tepatnya akad sewa
yang diakhiri dengan kepemilikan barang di tangan si penyewa.

Dalam fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia IMBTadalah


perjanjian sewa menyewa yang disertai dengan opsi pemindahan hak milik atas benda
yang disewakan kepada penyewa, setelah selesai masa sewa. 5

Jika dilihat dari bebrapa pengertian diatas, IMBT ini merupakan rangkaian dua
buah akad yakni akad jual-beli (al-bai’) dan akad sewa. Dengan demikian dapat
dipahami IMBT adalah kombinasi antara akad sewa-menyewa dan jual-beli atau
hibah/pemberian atas barang yang menjadi objek sewa-menyewa tersebut di akhir masa
sewa. Sehingga dalam transaksi yang menggunakan akad IMBT adanya pemindahan
hak milik atas barang yang menjadi objek transaksi sewa-menyewa di akhir masa sewa.

Berkaitan dengan pemindahan hak milik barang yang dijadikan objek transaksi
dalam IMBT, terjadi dengan salah satu dari dua cara yaitu: (1) pihak yang menyewakan
berjanji akan menjual barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa; (2) pihak
yang menyewakan berjanji akan menghibahkan barang yang disewakan tersebut pada
akhir masa sewa. 6 Artinya pemindahan hak milik barang bisa dilakukan dengan cara
menjual, atau dengan cara pemberian atau hibah.

4 Isriani Hardini dan Giharto, Kamus Perbankan Syariah, (Bandung: PT Kiblat Buku Utama, 2012), h. 47
5 Fatwa Dewan Syariah Nasional, No.27/DSN-MUI/III/2002
6 Adi Warman. A Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), Cet. ke-8, h.149
7 Atang Abd. Hakim, Fiqih Perbankan..., h.263
Mengenai proses pemindahan hak milikbarang dalam transaksi IMBT yang
dilakukan dengan cara penjualan diakhir masa sewa, hal tersebut dapat dilakukan
dengan beberapa pilihan proses penjualan. Adapaun proses penjualan bisa dilakukan
dengan salah satu dari tiga pilihan, yakni:7 (1) sebelum akad berakhir sebesar harga sewa
sebanding dengan sisa cicilan; (2) penjualan pada akhir masa sewa dengan pembayaran
tertentu yang disepakati pada awal akad; dan (3) penjualan secara bertahap sebesar
harga tertentu yang disepakati dalam akad.

Banyak manfaat yang diperoleh dari menggunakan akad ini, bagi Bank sebagai
salah satu bentuk penyaluran dana dan memperoleh pendapatan dalam bentuk
imbalan/fee/ujroh.7 Selain itu, bagi nasabah manfaat yang diperoleh yaitu memperoleh
hak manfaat atas barang yang dibutuhkan memperoleh peluang untuk mendapatkan hak
penguasaan barang dalam hal menggunakan akad Ijarah Muntahiya Bittamlik dan
merupakan sumber pembiayaan dan layanan perbankan syariah untuk memperoleh hak
manfaat atas barang dan/atau memperoleh peluang untuk mendapatkan hak penguasaan
barang.

b. Implementasi Ijarah Muntahia Bit-Tamlik (IMBT)


Dalam menjalankan produk KPR, Lembaga Keuangan Syariah terutama di
sektor perbankan dapat menggali akad yang dibolehkan dalam Islam serta mengadopsi
operasional KPR perbankan konvensional. Salah satu akad transaksi yang digunakan
oleh perbankan syariah di Indonesia dalam menjalankan produk pembiayaan KPR
adalah akad ijarah muntahiya bi tamlik (IMBT).
Akad IMBT ini dipandang sesuai untuk digunakan pada produk KPR karena
akan memberikan kemudahan bagi nasabah dalam memiliki rumah pada akhir masa
sewa yang diberikan oleh bank syariah. Perpindahan hak kepemilikian objek sewa
dengan cara sebagai berikut:

1. . Hibah diakui sebagai aktiva sebesar nilai wajar dari objek sewa dan di sisi lain diakui
sebagai pendapatan operasi lainnya
2. Pembelian sebelum berakhirnya jangka waktu dengan harga sebesar sisa pembayaran
sewa diakui sebesar kas yang dibayarkan

7Muh. Ghafur Wibowo, Potret Perbankan Syariah Terkini: Kajian Kritis Perkembangan Perbankan Syariah Terkini,
(Yogyakarta: Biruni Press, 2007), h. 39
3. Pembelian sebelumnya berakhirnya jangka waktu dengan harga sekadarnya diakui
sebesar kas yang dibayarkan

4. Pembelian secara bertahap diakui sebesar harga perolehan.

Produk KPR merupakan bentuk dari implementasi akad ijarah yang dapat memberikan
kemudahan bagi nasabah untuk memiliki rumah. Berbeda dengan perjanjian KPR
rumah pada bank konvensional yang menjadikan suku bunga sebagai acuan, dalam
KPR syariah memiliki landasan jual beli dan kerjasama bagi hasil. Ada beberapa skema
atau akad yang digunakan dalam sistemnya. Di antaranya adalah KPR iB Jual Beli
(skema murabahah), KPR iB Kepemilikan Bertahap (musyarakah mutanaqisah), KPR
iB sewa (skema ijarah), dan KPR iB Sewa Beli (skema Ijarah Muntahia Bittamlik-
IMBT). Namun, dari beberapa akad yang ditawarkan tersebut, sebagian besar bank
yang memiliki produk KPR syariah, mengunakan dua skema, yaitu skema jual beli
(skema murabahah) dan skema kepemilikan bertahap (musyarakah mutanaqisah).

Dalam kenyataannya akad ijarah ini jarang digunakan oleh bank syari’ah, padahal
dalam rangka diversifikasi produk penyaluran dana dari bank syari’ah kepada nasabah,
akad ini perlu untuk diterapkan. Pada prinsipnya akad ini banyak memberikan
keuntungan baik pada bank syari’ah atau pun nasabah. Keuntungan yang diperoleh
nasabah ialah dalam meningkatkan investasi, nasabah membutuhkan barang modal
dengan nilai ekonomis yang besar, maka akan lebih mudah menggunakan sistem ijarah
atau ijarah muntahiya bit tamlik. Sedangkan bagi bank syari’ah, sistem ini mempercepat
perputaran uang dan memajukan sistem investasi yang dinamis.

Melalui akad ijarah dan IMBT yang ditawarkan oleh bank syariah untuk melakukan
kredit rumah akan merasa lebih tenang. Hal ini karena tidak perlu khawatir jika di
tengah masa kredit, suku bunga tiba-tiba naik dan menyebabkan ketidakmampuan
membayar sisa angsuran.

2.3 Akad Wadiah


a. Konsep Akad Wadiah
Barang titipan (Al-Wadi’ah), secara bahasa lughatan ialah secara sesuatu yang
ditempatkan bukan pada pemiliknya supaya dijaganya (mawudi’ah ‘inda ghairi
malikihi layahfadzahu), berarti bahwa alwadi’ah ialah memberikan. Makna yang kedua
al-wadi’ah dari segi bahasa ialah ‘menerima’, seperti seseorang
berkata,“awda’tuhu” artinya ‘aku menerima harta tersebut darinya’ (qabiltu minhu
dzalika al-mal liyakuna wadi’ah indi).Wadiah berasal dari kata Al-Wadi’ah yang berarti
titipan murni (amanah)dari satu pihak ke pihak yang lain, baik individu maupun badan
hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya. 8
Wadiah secara bahasa bermakna meninggalkan atau meletakkan, yaitu
meletakkan sesuatu pada orang lain untuk dipelihara atau dijaga. Sedangkan secara
istilah adalah Memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga hartanya atau
barangnya dengan secara terang-terangan atau dengan isyarat yang semakna dengan itu.
Wadi’ah adalah akad penitipan barang/uang antara pihak yang mempunyai
barang/uang dengan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga
keselamatan, keamanan serta keutuhan barang/uang.
Wadiah juga bisa diartikan titipan yaitu titipan dari satu pihak ke pihak lain,
baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si
penyimpan menghendakinya. Dari pengertian ini maka dapat dipahami bahwa apabila
ada kerusakan pada barang titipan, padahal benda tersebut sudah dijaga sebagaimana
layaknya, maka si penerima titipan tidak wajib menggantinya, tapi apabila kerusakan
itu disebabkan karena kelalaiannya, maka ia wajib menggantinya. Yang dimaksud
dengan “barang” disini adalah suatu yang berharga seperti uang, dokumen, surat
berharga dan barang lain yang berharga di sisi Islam.9Dengan demikian akad wadi’ah
ini mengandung unsur amanah, kepercayaan (trusty). Dengan demikian, prinsip dasar
wadi’ah adalah amanah, bukan dhamanah. Wadiah pada dasarnya akad tabarru’, (tolong
menolong), bukan akad tijari.
b. Implementasi Akad Wadiah dalam Lembaga Keuangan
Wadiah merupakan salah satu sumber modal dalam perbakan syariah.
Berdasarkan sumber modal yang terbesar selain modal dasar, maka wadi`ah dapat
dibagi kedalam, Wadi`ah Jariyah/ Tahta Thalab dan Wadi`ah Iddikhariyah/AlTaufir
keduanya termasuk kedalam titipan yang sifatnya biasa. Kedua simpanan ini
mempunyai karakteristik yaitu harta atau uang yang dititipkan boleh dimanfaatkan,
pihak bank boleh memberikan imbalan berdasarkan kewenangan menajemennya

8 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dalam Teori ke Praktik, GemaInsani, Jakarta, 2001, h. 85
9 http://id.wikipedia.org/wiki/Wadiah
tanpa ada perjanjian sebelumnya dan simpanan ini dalam perbankan dapat
disamakan dengan giro dan tabungan.
Prinsip Al-Wadiah dalam bank syariah merujuk pada perjanjian dimana
pelanggan menyimpan uang di bank dengan tujuan agar bank bertanggungjawab
menjaga uang tersebut dan menjamin pengembalian uang tersebut bila terjadi
tuntutan dari nasabah. Sebagai konsekuensi dari pelaksanaan prinsip wadiah adalah
semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut akan menjadi milik
bank (demikian pula sebaliknya). Sebagai imbalan bagi nasabah, si penyimpan
mendapat jaminan keamanan terhadap harta dan fasilitas-fasilitas giro lain.
Berdasarkan pada aturan perundangan yang ditetapkan oleh BI, prinsip ini
teraplikasi dalam kegiatan penggalangan dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan yang meliputi :10

• Giro
• Tabungan
• Deposito
• Dan bentuk lainnya

Adapun ketentuan umum dari prinsip ini adalah:


▪ Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi milik atau tanggungan
bank, sedang pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung kerugian.
Bank dimungkinkan memberi bonus kepada pemilik dana sebagai suatu insentif
untuk menarik dana masyarakat namun tidak boleh diperjanjikan di muka.
▪ Bank harus membuat akad pembukaan rekening yang isinya mencakup ijin
penyaluran dana yang disimpan dan persyaratan lain yang disepakati selama tidak
bertentangan dengan prinsip syariah. Khusus bagi pemilik rekening giro bank dapat
memberikan buku cek, bilyet giro dan debit card.
▪ Terhadap pembukaan rekening ini bank dapat mengenakan biaya administrasi
untuk sekedar menutupi biaya yang benar – benar terjadi.
▪ Ketentuan – ketentuan lain yang berkaitan dengan rekening giro dan tabungan
berlaku selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah.

10 Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, Kencana Predana Media Group, Jakarta, 2012, hal 284
Pada dunia perbankan, insentif atau bonus dapat diberikan dan hal ini menjadi
kebijakan dari bank bersangkutan. Hal ini dilakukan sebagai upaya merangsang
semangat masyarakat dalam menabung dan sekaligus sebagai indikator kesehatan
bank. Pemberian bonus tidak dilarang dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya
dan secara jumlah tidak ditetapkan dalam nominal atau

persentasi. Sehingga akad wadhi’ah yang dilakukan sah hukumnya. Hal ini sesuai
dengan pendapat ulama hanafi dan maliki.

Dalam aktivitas perbankan tentunya dana titipan dari nasabah tersebut digunakan
untuk aktivitas perbankan lainnya dengan ketentuan bank memberikan jaminan atas
simpanan tersebut dan mengembalikan pada nasabah bila dikehendaki. Tetapi
dewasa ini, banyak bank Islam yang telah berhasil mengombinasikan prinsip al-
wadi’ah dengan prinsip al-mudharabah. Akibatnya pihak bank dapat menetapkan
besarnya bonus yang diterima oleh penitip dengan menetapkan persentase. 11

2.4 Akad Qardh


a. Konsep Akad Qardh

Qardh secara bahasa berasal dari kata al-Qath’ harta yang dipinjamkan
merupakan bagian dari harta milik pihak yang memberi pinjaman. Maksudnya, jadi
harta yang di pinjamkan kepada seseorang itu bukan milik orang lain tetapi miliknya
sendiri. (Sjahdeini & Remy, 1999)

Menurut Fatwa DSN No. 19/DSNMUI/IV/2001, Al-Qardh adalah pinjaman


yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh) yang memerlukan. Nasabah Al-Qardh
wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada waktu yang telah disepakati
bersama. (Masruri, Zainur, & Khairul, 2018) 12

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa akad Qardh pada
hakikatnya adalah bentuk pertolongan dan kasih sayang bagi yang meminjam, bukan
suatu sarana untuk mencari keuntungan bagi yang memijamkan, di dalamnya tidak
ada imbalan dan kelebihan pengembalian. Namun dalam Qardh ini mengandung
nilai kemanusiaan dan sosial dimana dalam akad ini peminjam tidak boleh

11 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dalam Teori ke Praktik, Gema Insani, Jakarta, 2001, h. 88
12 Febri Annisa Sukma,dkk, Implementasi Akad Qardhul Hasan Pada Perbankan Syariah Dan Manfaatnya, h. 4-5
mensyaratkan keuntungan dalam pinjaman dan ia boleh menerima lebih jika
peminjam memberikannya dalam jumlah yang lebih selama tidak dipersyaratkan di
awal dan tidak diperjanjikan.

Rukun Qardh menurut ulama Hanafiyah adalah ijab dan kabul. Sementara
menurut Jumhur ulama rukun Qardh ada tiga, yaitu: 1) dua orang yang berakad yang
terdiri dari: muqridh (yang memberikan utang) dan muqtaridh (orang yang
berutang), 2) Qardh (barang atau objek yang dipinjamkan), 3) shigat ijab dan kabul.
(Usanti, 2017) Dengan demikian, syarat sahnya diperbolehkan untuk melakukan
Qardh memang harus ada keseluruhan rukun tersebut.Jika salah satunya tidak ada,
maka peminjaman tersebut dinyatakan tidak sah secara hukum islam.

Ketentuan dan syarat harta qardh dari segi kepemilikan berlaku ketentuan dan
syarat al-mabi’ (benda yang diperjualbelikan), yaitu harta yang diqardh-kan harus
milik muqridh karena sifat al-tamlik-nya sama, yaitu harta Qardh berpindah
kepemilikannya dari milik muqridh menjadi milik muqtaridh sehingga muqridh
harus memiliki hak untuk memindahkan kepemilikan barang yang di qardh-kan.
Harta yang boleh dijadikan objek akad Qardh harus harta yang miliknya yang
disepakati ukurannya, baik secara kuantitas maupun kualitasnya.

b. Implementasi Akad Qardh dalam Lembaga Keuangan


Satu-satunya akad berbentuk pinjaman yang diterapkan dalam perbankan
syariah adalah Qardh dan turunannya Qardhul Hasan. Karena bunga dilarang dalam
Islam, maka pinjaman Qardh maupun Qardhul Hasan merupakan pinjaman tanpa
bunga. Lebih khusus lagi, pinjaman Qardhul Hasan merupakan pinjaman kebajikan
yang tidak bersifat komersial, tetapi bersifat sosial. (Ascarya, 2007)
Pinjaman kebaikan, Al-Qardh digunakan untuk membantu keuangan nasabah
secara cepat dan berjangka pendek. Produk ini digunakan untuk membantu usaha
kecil dan keperluan sosial. Dana ini diperoleh dari dana zakat, infaq dan sodaqoh.
Ketentuan mengenai Qardhul Hasan telah diatur dalam Fatwa DSN No.
19/DSNMUI/IX/2000. (Imaniyati P. D., 2011) 13 Dalam melaksanakan fungsinya
bank syariah melaksanakan transaksi yang sifatnya tolong menolong yaitu pinjaman
Qardh atau Qardhul Hasan, yaitu pinjaman uang Cuma-Cuma. Pinjaman dengan

13 Ibid, h. 10
akad ini dilakukan oleh Bank Syariah dalam transaksi yang bersifat tolong
menolong, penyaluran Zakat Nasional (BAZNAZ), bisa juga untuk talangan Haji,
talangan cerukan atau overdraf dari rekening wadiah, transaksi rahn, hawalah dan
sejenisnya. (Nurnasrina & Adiyes, 2017) Akad Qardh biasanya diaplikasikan di
perbankan syariah seperti:
1) Penyaluran dan zakat yang bersifat produktif (dana bergulir) yang diperuntukan
sesuai syariat yaitu diberikan kepada delapan hasnaf. Biasanya penyaluran zakat ini
merupakan produk kerja sama antara BAZNAS dengan bank syariah, BAZNAS
sebagai lembaga penghimpun dana dan penyalurannya melewati model transaksi
bank.
2) Pembiayaan pengurusan haji, berdasarkan Fatwa DSN No:
29/DSNMUI/VI/2002 tentang Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga Keuangan
Syariah, menetapkan ketentuan sebagai berikut:
a. Dalam pengurusan haji bagi nasabah, LKS dapat memperoleh imbalan
jasa (ujrah) dengan menggunakan prinsip al-ijarah sesuai Fatwa DSN-MUI No.
9/DSNMUI/IV/2000
b. Apabila diperlukan, LKS dapat membantu menalangi pembayaran BPIH
nasabah dengan menggunakan prinsip al-Qardh sesuai Fatwa DSN-MUI No.
19/DSNMUI/IV/2001
c. Jasa pengurusan haji dilakukan LKS tidak boleh dipersyaratkan dengan
pemberian talangan haji.
d. Besar imbalan jasa al-Ijarah tidak boleh didasarkan pada jumlah
talangan al-Qardh yang diberikan LKS kepada nasabah.

3) Anjak piutang yang berlandaskan pada Fatwa DSN No. 67/DSN-MUI/III/2008


tentang Anjak piutang syariah.
4) Letter of Credit (L/C) Impor dan Letter of Credit Ekspor, yang berlandaskan
pada Fatwa DSN-MUI No. 34/DSNMUI/IX/2002 tentang L/C Impor Syariah dan
Fatwa DSN-MUI No. 35/DSNMUI/IX/2002 tentang L/C Ekspor Syariah.
5) Sebagai produk pelengkap kepada nasabah yang telah terbukti loyalitas dan
bonefiditasnya yang menumbuhkan dana talangan segera untuk masa yang relatif
pendek. Nasabah tersebut akan mengembalikan secepatnya sejumlah dana yang
dipinjamnya tersebut.
6) Sebagai fasilitas yang memerlukan dana cepat sedangkan ia tidak bisa menarik
dananya karena misalnya pengusaha tersimpan dalam bentuk deposito.
7) Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil, dimana menurut perhitungan bank
akan memberatkan si pengusaha bila diberikan pembiayaan dengan skema jual beli,
ijarah, atau bagi hasil.
8) Sebagai produk untuk menyumbang ke sektor kecil atau membantu sektor
sosial.14

14 Ibid, h. 9-11
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Akad merupakan perjanjian yang bersifat mengikat antara dua pihak atau lebih yang
berisi ijab dan qabul. Ijarah merupakan jenis akad sewa yang tidak disertai perpindahan
kepemilikan, Ijarah atau sewa-menyewa hanya boleh dilakukan oleh perbankan syariah,
sedangkan perbankan konvensional tidak diperkenankan untuk melakukannya kecuali apabila
bank konvensional tersebut memiliki anak perusahaan yang kegiatannya mengurus penyewaan
maka diperbolehhkan.
Seiring dengan berkembangnya kebutuhan masyarakat, muncul istilah atau Ijārah
Muntahiyah Bi Al-Tamlīk (IMBT) yang merupakan modifikasi dari akad ijarah. IMBT
merupakan akad sewa yang berakhir dengan kepemilikan yang merupakan gabungan antara
akad ijārah (sewa) dan bay’ (pembelian) dalam satu transaksi.
Sedangkan wadiah merupakan akad "penitipan" benda yang bernilai untuk "dijaga”
dengan ketentuan apabila terjadi kerusakan pada benda titipan tersebut tidak ada kewajiban
untuk menggantinya, kecuali jika kerusakan itu disebabkan oleh kelalaian penerima titipan
maka "diwajibkan" untuk menggantinya. Implementasi wadiah pada perbankan syariah sesuai
dengan fatwa DSN NO: 36 /DSN-MUI/X/2002 tentang Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia
(SWBI).
Akad Qardh pada hakikatnya adalah bentuk pertolongan dan kasih sayang bagi yang
meminjam, bukan suatu sarana untuk mencari keuntungan bagi yang memijamkan, di
dalamnya tidak ada imbalan dan kelebihan pengembalian. Implementasi produk sosial
didasarkan pada fatwa MUI No. 19/DSNMUI/IV/2001 tentang Qardh yang dananya bersumber
dari bagian modal dan keuntungan yang disisihkan dari Lembaga Keuangan Syariah (LKS),
serta lembaga lain atau individu yang mempercayakan penyaluran infaqnya lewat LKS.
DAFTAR PUSTAKA

Febri A S dkk.(2019),Konsep Dan Implementasi Akad Qardhul Hasan Pada Perbankan


Syariah Dan Manfaatnya,Bandung
Ira Febriliana Dewi R, Mila D (2021), “Konsep Dan Implementasi Akad Ijarah Dan
Akad Wadiah Pada Perbankan Syariah Indonesia”, VOL. 3 NO.2
Husna N U,(2018),”Penerapan Akad Ijarah Muntahia Bittamlik (IMBT) Pada
Transaksi Lembaga Keuangan Syariah”,VOL. 6 NO.1
Mohammad L,(2020),”Penerapan Akad Wadiah Di Perbankan Syariah”, Madani
Syariah, Vol. 3 No.2

Anda mungkin juga menyukai