KELOMPOK 5 :
ABSTRAK
Performa perbankan syari’ah di Indonesia kini meningkat, hal ini dapat dilihat dari
meningkatnya jumlah institusi lembaga keuangan syari’ah di Indonesia. Meningkatnya
institusi lembaga keuangan syari’ah di Indonesia ini juga di imbangi dengan bertambahnya
produk-produk yang ditawarkan oleh perbankan syari’ah, yag inovatif dan kompetitif
sehingga mampu menjangkau pasar yag lebih luas serta sesuai dengan keperluan masyarakat
yag dinamis.
Transaksi sewa, penitipan, dan peminjaman dana memang sudah tidak asing lagi di
masyarakat. Bahkan islam sebagai agama yang kompleks pun telah mengturnya dalam Al-
Qur’an dan Hadist, yang kemudian diterapkan oleh lembaga keuangan perbankan syari’ah
melalui akad Ijarah, IMBT, Wadiah dan Qardh. Sehingga sangat penting bagi seorang muslim
dalam bermuamalah untuk mengetahui bagaimna konsep dari akad Ijarah (sewa), IMBT,
Waadiah (titipan), dan Qardh (pinjaman) dalam islam sebagaimana praktiknya pada dunia
perbankan.
PENDAHULUAN
Termasuk di dalamnya adalah kegiatan pembiayaan bank, berupa sistem ijarah dan ijarah
muntahiya bittamlik (IMBT). Di mana ini merupakan sistem sewa menyewa dengan prinsip
syariah. Keduanya memiliki perbedaan pada akhir sewa, di mana ijarah tidak diikuti
pemindahan kepemilikan, sedangkan IMBT diikuti dengan pemindahan kepemilikan oleh bank
kepada nasabah dengan akad hibah.
Dalam bisnis kontemporer, masalah penitipan modal pada lembaga perbankan dengan
berbagai macam sistem yang biasanya melalui sistem tabungan, giro dan deposito. Barang
titipan ini sering disebut dengan Al-Wadi’ah.
Perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usahanya tidak hanya mengejar keuntungan,
tetapi juga memiliki fungsi sosial dimasyarakat yang direalisasikan dalam bentuk akad
qardh/qardhul hasan atau pinjaman kebajikan di mana sumber dananya berasal dari zakat,
infaq, sedekah, hibah dan dana sosial lainnya. Hal ini yang membedakan bank syariah dengan
bank konvensional.
Berdasarkan latar belakang di uraikan di atas, maka rumusan masalah yang di bahas
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1) Bagaimana Penerapan Akad Ijarah ?
2) Bagaimana Penerapan Akad IMBT ?
1) BagiAkademisi
Digunakan untuk menambah wawasan dan sebagai tambahan bahan referensi untuk
digunakan sebagai bahan materi mengenai perbankan syariah. 2) BagiPenulis
PEMBAHASAN
1
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat (Jakarta: Amzah, 2010), hal. 316.
2 Ibid., hal. 316-317.
demi sedikit dalam waktu tertentu dengan adanya`iwadah. Berdasarkan beberapa
pengertian di atas, maka dapatlah dikatakan bahwa dalam hal `aqad ijarah dimaksud
terdapat tiga unsur pokok, yaitu pertama, unsur pihak-pihak yang membuat transaksi,
yaitu majikan dan pekerja. Kedua, unsur perjanjian yaitu ijab dan qabul, dan yang
ketiga, unsur materi yang diperjanjikan, berupa kerja dan ujrah atau upah Menurut
Sayyid Sabiq, ijarah adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan
penggantian (penjualan manfaat). Di mana ijarah ini adalah transaksi sewa-menyewa
barang tanpa alih kepemilikan di akhir periode.
Jika dilihat dari bebrapa pengertian diatas, IMBT ini merupakan rangkaian dua
buah akad yakni akad jual-beli (al-bai’) dan akad sewa. Dengan demikian dapat
dipahami IMBT adalah kombinasi antara akad sewa-menyewa dan jual-beli atau
hibah/pemberian atas barang yang menjadi objek sewa-menyewa tersebut di akhir masa
sewa. Sehingga dalam transaksi yang menggunakan akad IMBT adanya pemindahan
hak milik atas barang yang menjadi objek transaksi sewa-menyewa di akhir masa sewa.
Berkaitan dengan pemindahan hak milik barang yang dijadikan objek transaksi
dalam IMBT, terjadi dengan salah satu dari dua cara yaitu: (1) pihak yang menyewakan
berjanji akan menjual barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa; (2) pihak
yang menyewakan berjanji akan menghibahkan barang yang disewakan tersebut pada
akhir masa sewa. 6 Artinya pemindahan hak milik barang bisa dilakukan dengan cara
menjual, atau dengan cara pemberian atau hibah.
4 Isriani Hardini dan Giharto, Kamus Perbankan Syariah, (Bandung: PT Kiblat Buku Utama, 2012), h. 47
5 Fatwa Dewan Syariah Nasional, No.27/DSN-MUI/III/2002
6 Adi Warman. A Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), Cet. ke-8, h.149
7 Atang Abd. Hakim, Fiqih Perbankan..., h.263
Mengenai proses pemindahan hak milikbarang dalam transaksi IMBT yang
dilakukan dengan cara penjualan diakhir masa sewa, hal tersebut dapat dilakukan
dengan beberapa pilihan proses penjualan. Adapaun proses penjualan bisa dilakukan
dengan salah satu dari tiga pilihan, yakni:7 (1) sebelum akad berakhir sebesar harga sewa
sebanding dengan sisa cicilan; (2) penjualan pada akhir masa sewa dengan pembayaran
tertentu yang disepakati pada awal akad; dan (3) penjualan secara bertahap sebesar
harga tertentu yang disepakati dalam akad.
Banyak manfaat yang diperoleh dari menggunakan akad ini, bagi Bank sebagai
salah satu bentuk penyaluran dana dan memperoleh pendapatan dalam bentuk
imbalan/fee/ujroh.7 Selain itu, bagi nasabah manfaat yang diperoleh yaitu memperoleh
hak manfaat atas barang yang dibutuhkan memperoleh peluang untuk mendapatkan hak
penguasaan barang dalam hal menggunakan akad Ijarah Muntahiya Bittamlik dan
merupakan sumber pembiayaan dan layanan perbankan syariah untuk memperoleh hak
manfaat atas barang dan/atau memperoleh peluang untuk mendapatkan hak penguasaan
barang.
1. . Hibah diakui sebagai aktiva sebesar nilai wajar dari objek sewa dan di sisi lain diakui
sebagai pendapatan operasi lainnya
2. Pembelian sebelum berakhirnya jangka waktu dengan harga sebesar sisa pembayaran
sewa diakui sebesar kas yang dibayarkan
7Muh. Ghafur Wibowo, Potret Perbankan Syariah Terkini: Kajian Kritis Perkembangan Perbankan Syariah Terkini,
(Yogyakarta: Biruni Press, 2007), h. 39
3. Pembelian sebelumnya berakhirnya jangka waktu dengan harga sekadarnya diakui
sebesar kas yang dibayarkan
Produk KPR merupakan bentuk dari implementasi akad ijarah yang dapat memberikan
kemudahan bagi nasabah untuk memiliki rumah. Berbeda dengan perjanjian KPR
rumah pada bank konvensional yang menjadikan suku bunga sebagai acuan, dalam
KPR syariah memiliki landasan jual beli dan kerjasama bagi hasil. Ada beberapa skema
atau akad yang digunakan dalam sistemnya. Di antaranya adalah KPR iB Jual Beli
(skema murabahah), KPR iB Kepemilikan Bertahap (musyarakah mutanaqisah), KPR
iB sewa (skema ijarah), dan KPR iB Sewa Beli (skema Ijarah Muntahia Bittamlik-
IMBT). Namun, dari beberapa akad yang ditawarkan tersebut, sebagian besar bank
yang memiliki produk KPR syariah, mengunakan dua skema, yaitu skema jual beli
(skema murabahah) dan skema kepemilikan bertahap (musyarakah mutanaqisah).
Dalam kenyataannya akad ijarah ini jarang digunakan oleh bank syari’ah, padahal
dalam rangka diversifikasi produk penyaluran dana dari bank syari’ah kepada nasabah,
akad ini perlu untuk diterapkan. Pada prinsipnya akad ini banyak memberikan
keuntungan baik pada bank syari’ah atau pun nasabah. Keuntungan yang diperoleh
nasabah ialah dalam meningkatkan investasi, nasabah membutuhkan barang modal
dengan nilai ekonomis yang besar, maka akan lebih mudah menggunakan sistem ijarah
atau ijarah muntahiya bit tamlik. Sedangkan bagi bank syari’ah, sistem ini mempercepat
perputaran uang dan memajukan sistem investasi yang dinamis.
Melalui akad ijarah dan IMBT yang ditawarkan oleh bank syariah untuk melakukan
kredit rumah akan merasa lebih tenang. Hal ini karena tidak perlu khawatir jika di
tengah masa kredit, suku bunga tiba-tiba naik dan menyebabkan ketidakmampuan
membayar sisa angsuran.
8 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dalam Teori ke Praktik, GemaInsani, Jakarta, 2001, h. 85
9 http://id.wikipedia.org/wiki/Wadiah
tanpa ada perjanjian sebelumnya dan simpanan ini dalam perbankan dapat
disamakan dengan giro dan tabungan.
Prinsip Al-Wadiah dalam bank syariah merujuk pada perjanjian dimana
pelanggan menyimpan uang di bank dengan tujuan agar bank bertanggungjawab
menjaga uang tersebut dan menjamin pengembalian uang tersebut bila terjadi
tuntutan dari nasabah. Sebagai konsekuensi dari pelaksanaan prinsip wadiah adalah
semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut akan menjadi milik
bank (demikian pula sebaliknya). Sebagai imbalan bagi nasabah, si penyimpan
mendapat jaminan keamanan terhadap harta dan fasilitas-fasilitas giro lain.
Berdasarkan pada aturan perundangan yang ditetapkan oleh BI, prinsip ini
teraplikasi dalam kegiatan penggalangan dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan yang meliputi :10
• Giro
• Tabungan
• Deposito
• Dan bentuk lainnya
10 Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, Kencana Predana Media Group, Jakarta, 2012, hal 284
Pada dunia perbankan, insentif atau bonus dapat diberikan dan hal ini menjadi
kebijakan dari bank bersangkutan. Hal ini dilakukan sebagai upaya merangsang
semangat masyarakat dalam menabung dan sekaligus sebagai indikator kesehatan
bank. Pemberian bonus tidak dilarang dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya
dan secara jumlah tidak ditetapkan dalam nominal atau
persentasi. Sehingga akad wadhi’ah yang dilakukan sah hukumnya. Hal ini sesuai
dengan pendapat ulama hanafi dan maliki.
Dalam aktivitas perbankan tentunya dana titipan dari nasabah tersebut digunakan
untuk aktivitas perbankan lainnya dengan ketentuan bank memberikan jaminan atas
simpanan tersebut dan mengembalikan pada nasabah bila dikehendaki. Tetapi
dewasa ini, banyak bank Islam yang telah berhasil mengombinasikan prinsip al-
wadi’ah dengan prinsip al-mudharabah. Akibatnya pihak bank dapat menetapkan
besarnya bonus yang diterima oleh penitip dengan menetapkan persentase. 11
Qardh secara bahasa berasal dari kata al-Qath’ harta yang dipinjamkan
merupakan bagian dari harta milik pihak yang memberi pinjaman. Maksudnya, jadi
harta yang di pinjamkan kepada seseorang itu bukan milik orang lain tetapi miliknya
sendiri. (Sjahdeini & Remy, 1999)
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa akad Qardh pada
hakikatnya adalah bentuk pertolongan dan kasih sayang bagi yang meminjam, bukan
suatu sarana untuk mencari keuntungan bagi yang memijamkan, di dalamnya tidak
ada imbalan dan kelebihan pengembalian. Namun dalam Qardh ini mengandung
nilai kemanusiaan dan sosial dimana dalam akad ini peminjam tidak boleh
11 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dalam Teori ke Praktik, Gema Insani, Jakarta, 2001, h. 88
12 Febri Annisa Sukma,dkk, Implementasi Akad Qardhul Hasan Pada Perbankan Syariah Dan Manfaatnya, h. 4-5
mensyaratkan keuntungan dalam pinjaman dan ia boleh menerima lebih jika
peminjam memberikannya dalam jumlah yang lebih selama tidak dipersyaratkan di
awal dan tidak diperjanjikan.
Rukun Qardh menurut ulama Hanafiyah adalah ijab dan kabul. Sementara
menurut Jumhur ulama rukun Qardh ada tiga, yaitu: 1) dua orang yang berakad yang
terdiri dari: muqridh (yang memberikan utang) dan muqtaridh (orang yang
berutang), 2) Qardh (barang atau objek yang dipinjamkan), 3) shigat ijab dan kabul.
(Usanti, 2017) Dengan demikian, syarat sahnya diperbolehkan untuk melakukan
Qardh memang harus ada keseluruhan rukun tersebut.Jika salah satunya tidak ada,
maka peminjaman tersebut dinyatakan tidak sah secara hukum islam.
Ketentuan dan syarat harta qardh dari segi kepemilikan berlaku ketentuan dan
syarat al-mabi’ (benda yang diperjualbelikan), yaitu harta yang diqardh-kan harus
milik muqridh karena sifat al-tamlik-nya sama, yaitu harta Qardh berpindah
kepemilikannya dari milik muqridh menjadi milik muqtaridh sehingga muqridh
harus memiliki hak untuk memindahkan kepemilikan barang yang di qardh-kan.
Harta yang boleh dijadikan objek akad Qardh harus harta yang miliknya yang
disepakati ukurannya, baik secara kuantitas maupun kualitasnya.
13 Ibid, h. 10
akad ini dilakukan oleh Bank Syariah dalam transaksi yang bersifat tolong
menolong, penyaluran Zakat Nasional (BAZNAZ), bisa juga untuk talangan Haji,
talangan cerukan atau overdraf dari rekening wadiah, transaksi rahn, hawalah dan
sejenisnya. (Nurnasrina & Adiyes, 2017) Akad Qardh biasanya diaplikasikan di
perbankan syariah seperti:
1) Penyaluran dan zakat yang bersifat produktif (dana bergulir) yang diperuntukan
sesuai syariat yaitu diberikan kepada delapan hasnaf. Biasanya penyaluran zakat ini
merupakan produk kerja sama antara BAZNAS dengan bank syariah, BAZNAS
sebagai lembaga penghimpun dana dan penyalurannya melewati model transaksi
bank.
2) Pembiayaan pengurusan haji, berdasarkan Fatwa DSN No:
29/DSNMUI/VI/2002 tentang Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga Keuangan
Syariah, menetapkan ketentuan sebagai berikut:
a. Dalam pengurusan haji bagi nasabah, LKS dapat memperoleh imbalan
jasa (ujrah) dengan menggunakan prinsip al-ijarah sesuai Fatwa DSN-MUI No.
9/DSNMUI/IV/2000
b. Apabila diperlukan, LKS dapat membantu menalangi pembayaran BPIH
nasabah dengan menggunakan prinsip al-Qardh sesuai Fatwa DSN-MUI No.
19/DSNMUI/IV/2001
c. Jasa pengurusan haji dilakukan LKS tidak boleh dipersyaratkan dengan
pemberian talangan haji.
d. Besar imbalan jasa al-Ijarah tidak boleh didasarkan pada jumlah
talangan al-Qardh yang diberikan LKS kepada nasabah.
14 Ibid, h. 9-11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Akad merupakan perjanjian yang bersifat mengikat antara dua pihak atau lebih yang
berisi ijab dan qabul. Ijarah merupakan jenis akad sewa yang tidak disertai perpindahan
kepemilikan, Ijarah atau sewa-menyewa hanya boleh dilakukan oleh perbankan syariah,
sedangkan perbankan konvensional tidak diperkenankan untuk melakukannya kecuali apabila
bank konvensional tersebut memiliki anak perusahaan yang kegiatannya mengurus penyewaan
maka diperbolehhkan.
Seiring dengan berkembangnya kebutuhan masyarakat, muncul istilah atau Ijārah
Muntahiyah Bi Al-Tamlīk (IMBT) yang merupakan modifikasi dari akad ijarah. IMBT
merupakan akad sewa yang berakhir dengan kepemilikan yang merupakan gabungan antara
akad ijārah (sewa) dan bay’ (pembelian) dalam satu transaksi.
Sedangkan wadiah merupakan akad "penitipan" benda yang bernilai untuk "dijaga”
dengan ketentuan apabila terjadi kerusakan pada benda titipan tersebut tidak ada kewajiban
untuk menggantinya, kecuali jika kerusakan itu disebabkan oleh kelalaian penerima titipan
maka "diwajibkan" untuk menggantinya. Implementasi wadiah pada perbankan syariah sesuai
dengan fatwa DSN NO: 36 /DSN-MUI/X/2002 tentang Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia
(SWBI).
Akad Qardh pada hakikatnya adalah bentuk pertolongan dan kasih sayang bagi yang
meminjam, bukan suatu sarana untuk mencari keuntungan bagi yang memijamkan, di
dalamnya tidak ada imbalan dan kelebihan pengembalian. Implementasi produk sosial
didasarkan pada fatwa MUI No. 19/DSNMUI/IV/2001 tentang Qardh yang dananya bersumber
dari bagian modal dan keuntungan yang disisihkan dari Lembaga Keuangan Syariah (LKS),
serta lembaga lain atau individu yang mempercayakan penyaluran infaqnya lewat LKS.
DAFTAR PUSTAKA