Oleh:
Kelompok 7
Puji dan syukur kami ucapkan kepada kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan dan karunia-Nya pula, kami dapat menyelesaikan makalah ”Teori konsep
hukum ijarah” yang insya allah tepat pada waktunya.
Terimakasih kami ucapkan kepada Bapak Ubaidilah. MHI . selaku Dosen Mata Kuliah Fiqih
jinayah yang telah memberikan arahan terkait tugas makalah ini. Tanpa Bimbingan dari beliau
mungkin kami tidak akan dapat menyelesaikan tugas ini dengan format yang telah ditentukan.
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, kami
mengharapkan kritik dan saran pembaca demi kesempurnaan makalahuntuk kedepannya.
Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi peneliti dan pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I ................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
C. Tujuan....................................................................................................... 2
BAB II............................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ................................................................................................ 3
PENUTUP ....................................................................................................... 10
A. Simpulan ................................................................................................. 10
B. Saran ....................................................................................................... 10
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Ijarah?
2. Apa saja asas asas ijarah?
3. Apa saja objek Ijarah?
4. Bagaimana Ijarah dalam perkembankan islam?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui seperti apa ijarah
2. Untuk mengetahui seperti apa asas asas ijarah
3. Untuk mengetahui seperti apa objek ijarah
4. Untuk mengetahui seperti apa Ijarah dalam perkembankan islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Al-Ijarah
Pengertian al-Ijarah. Al-Ijarah berasal dari kata al-ajru yang berarti al’iwadhu
atau berarti ganti. Dalam Bahasa Arab, al-ijarah diartikan sebagai suatu jenis akad
untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian sejumlah uang. 1
Secara terminologi, ada beberapa defenisi al-ijarah yang dikemukakan oleh
para ulama fiqh. Pertama, ulama Hanafiyah mendefinisikannya dengan: “transaksi
terhadap suatu manfaat dengan imbalan.”2
Kedua, ulama syafi’iyah mendefinisikannya dengan “transaksi terhadap suatu
manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah, dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan
tertentu”.3
Ketiga, ulama Malikiyah dan Hanabilah mendefinisikannya dengan: “pemilikan
manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan”.4
Pada dasarnya keempat pendapat ulama di atas memiiliki pandangan yang sama
terhadap pengertian al-ijarah. Adapun menurut Zainuddin Ali, ijarah adalah akad
pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran upah sewa
tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership milkiyyah) atas barang
itu sendiri5
Ijarah juga dapat diartikan lease contract dan juga hire contract. Lease
contract adalah suatu lembaga keuangan menyewakan peralatan, baik dalam bentuk
sebuah bangunan maupun barang-barang seperti mesin-mesin, pesawat terbang,
dan lain-lain kepada salah satu nasabahnya berdasarkan pembebanan biaya yang
sudah ditentukan secara pasti sebelumnya. 6
Definisi mengenai prinsip ijarah juga telah diatur dalam hukum positif
Indonesia yakni dalam Pasal 1 ayat 10 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005
1 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 13, terj. Kamaludin A. dan Marzuki (Bandung: PT al Ma’arif, 2007), h. 15
2 Al-Kasani, al-Bada’i’u al-Sana’i, Jilid IV (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 174
3 Al-Syarbaini al-Khathib, Mugni al- Muhtaj, Jilid II ( Beirut: Dar al-Fikr, 1978), h.233
4 Ibnu Qudama, al-Mugni, Jilid V ( Riyadh al-Haditsah, t.th.), h. 398
5 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 316.
6 Sutan Remy Syahdeini, Perbankan Islam dan kedudukannya dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Grafiti,
1999), h.28
yang mengartikan prinsip al-ijarah sebagai “transaksi sewa-menyewa atas suatu barang
dan atau upah mengupah atas suatu usaha jasa dalam waktu tertentu melalui
pembayaran sewa atau imbalan jasa.” Menurut Fatwa Dewan Syari’ah Nasional
No.09/DSN/MUI/IV/2000, ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas
suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa
diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri, dengan demikian dalam
akad ijarah tidak ada perubahan kepemilikan, tetapi hanya pemindahan hak guna saja
dari yang menyewakan kepada penyewa7
Kesimpulan pengertian ijarah secara terminologi adalah sebagai berikut:
1. Transaksi atas pemanfaatan sesuatu disertai dengan ongkos
2. Perjanjian atas manfaat dengan tujuan tertentu yang diperkenankan dan upah tertentu
3. Transaksi atas manfaat pada batas masa tertentu dengan tujuan tertentu
yang diperkenankan dan biaya tertentu.
7
Zulfi Chairi, Pelaksanaan Kredit Perbankan Syariah Manurut UU No. 10 Tahun 1998, e-usu Repository, 2005,
h. 12
4. Kewajiban Perawatan
Asas keempat dari ijarah adalah kewajiban perawatan. Pihak yang menyewa harus
merawat barang yang disewa dengan baik selama masa sewa. Pihak yang menyewakan
juga harus memberikan barang yang dalam kondisi baik dan layak untuk digunakan.
5. Pembayaran Sewa
Asas kelima dari ijarah adalah pembayaran sewa yang harus dilakukan tepat waktu
sesuai dengan kesepakatan. Pihak yang menyewa harus membayar sewa sesuai dengan
jangka waktu yang telah disepakati.
6. Pemutusan Kontrak
Asas keenam dari ijarah adalah pemutusan kontrak sewa menyewa harus dilakukan
dengan cara yang sah dan adil. Pihak yang ingin memutuskan kontrak harus
memberikan pemberitahuan kepada pihak lainnya dan harus mematuhi ketentuan yang
telah disepakati dalam perjanjian sewa menyewa. 8
Dengan memperhatikan asas-asas ijarah tersebut, diharapkan perjanjian sewa
menyewa dapat berjalan dengan baik dan menghindari konflik antara
kedua belah pihak.
َ فَإ ِ ْن أ َ ْر
ضعْنَ لَكُ ْم فَـَٔاتُوهُن
Artinya:
‘Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah
kepada mereka upahnya.’9
Yang menjadi dalil dari ayat tersebut adalah ungkapan “berikanlah kepada
mereka upahnya, ungkapan tersebut menunjukan adanya jasa yang diberikan
sehingga berkewajiban membayar upah (fee) secara patut. Dalam hal ini termasuk
8
M. Shalahuddin, Asas-Asas Ekonomi Islam (Ed. I; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007),
9
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Mahkota Surabaya, 1989), h. 1060
di dalamnya jasa penyewaan atau leasing. Upah dalam ayat ini disebutkan dalam
bentuk umum,mencakup semua jenis sewa-menyewa (ijarah).
2. Al-Hadis
Kebolehan melakukan transaksi ijarah didasarkan juga kepada hadis, di
antaranya hadis yang diriwayatkan dari ibnu Aisyah ra. bahwa:
واستأجر النبي صلى هللا علیھ و سلم وأبو بكر رجال من بني الدیل ثم من ني عبد بن عبدي هادیا خرتا الخرت
الماهر بالھدیة
Artinya:
‘Nabi saw bersama Abu Bakar menyewa seorang penunjuk jalan yang mahir dari
Bani al-Dail kemudian dari Bani ‘Abdu bin ‘Adi.’ (HR Bukhari) 10
Hadis ini menunjukkan bahwa sewa-menyewa atau ijarah hukumnya boleh. Hal
itu dipahami dari hadis fi’liyah Nabi saw yang menyewa dan memberikan upahnya
kepada penunjuk jalan yang memandu perjalanan beliau bersama Abu Bakar ra.
Sebab Nabi Muhammad saw merupakan suri teladan yang baik untuk diikuti.
D. Objek Ijrah
Objek ijarah adalah barang atau jasa yang disewakan oleh pihak yang memiliki
hak miliknya (mu'jir) kepada pihak yang menyewa (mustajir) dalam suatu
perjanjian sewa menyewa (ijarah). Berikut adalah beberapa contoh objek ijarah
yang sering digunakan:
1. Properti
Properti seperti rumah, apartemen, atau kantor adalah salah satu objek ijarah
yang paling umum. Dalam perjanjian sewa menyewa properti, mu'jir
menyewakan properti kepada mustajir untuk digunakan dalam jangka waktu
tertentu dengan membayar sewa.
2. Kendaraan
Kendaraan seperti mobil, motor, atau pesawat terbang juga dapat menjadi
objek ijarah. Dalam perjanjian sewa menyewa kendaraan, mu'jir
menyewakan kendaraan kepada mustajir untuk digunakan dalam jangka
waktu tertentu dengan membayar sewa.
10
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz IV (Beirut: Dal-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), h. 442
3. Peralatan
Peralatan seperti mesin, alat berat, atau peralatan kantor dapat disewakan
sebagai objek ijarah. Dalam perjanjian sewa menyewa peralatan, mu'jir
menyewakan peralatan kepada mustajir untuk digunakan dalam jangka
waktu tertentu dengan membayar sewa.
4. Jasa
Selain barang, jasa juga dapat menjadi objek ijarah. Contohnya, jasa
kebersihan, jasa pengiriman barang, atau jasa pengangkutan. Dalam
perjanjian sewa menyewa jasa, mu'jir menyewakan jasa kepada mustajir
untuk digunakan dalam jangka waktu tertentu dengan membayar sewa.
Dalam perjanjian ijarah, objek yang disewakan harus jelas dan dapat
diidentifikasi dengan jelas, serta harus layak dan sesuai dengan tujuan pemakaian.
Selain itu, objek ijarah juga harus sah dimiliki oleh mu'jir dan tidak bertentangan
dengan hukum dan syariat Islam.
رحِ ی ًما
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu.
E. Macam-Macam al-Ijarah
Dilihat dari obyeknya, akad al-ijarah oleh para ulama dibagi menjadi dua yaitu:
a. Al-Ijarah yang bersifat manfaat, seperti sewa menyewa rumah, toko, kendaraan,
pakaian dan perhiasan. Apabila manfaat itu merupakan manfaat yang dibolehkan
syara’ untuk dipergunakan, maka para ulama fiqh sepakat menyatakan boleh
dijadikan obyek sewa menyewa. 11
b. Al-Ijarah yang bersifat pekerjaan ialah dengan cara mempekerjakan seseorang
untuk melakukan suatu pekerjaan. Al-Ijarah seperti ini menurut para ulama fiqh
hukumnya boleh, apabila jenis pekerjaan itu jelas.
11
Wahhab al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Jilid IV (Beirut: Dar al Fikr, 1984), h
disewa itu adalah jasa maka ia berhak menerima upahnya. Kedua hal ini disepakati oleh
semua ulama fiqh.
c. Menurut ulama Hanafiyah, wafatnya salah seorang yang berakad, karena akad alijarah
menurut mereka tidak boleh diwariskan. Sedangkan menurut jumhur ulama, akad al-ijarah
tidak batal dengan wafatnya seseorang yang berakad, karena manfaat menurut meraka,
boleh diwariskan.
d. Apabila ada uzur pada salah satu pihak.
H.Hikmah Ijarah
Hikmah disyari’atkannya ijarah dalam bentuk pekerjaan atau upah
mengupah adalah karena dibutuhkan dalam kehiduan manusia.
Tujuan dibolehkan ijarah pada dasarnya adalah untuk mendapatkan
keuntungan materil.Namun itu bukanlah tujuan akhir karena usaha yang
dilakukan atau upah yang diterima merupakan sarana untuk mendekatkan
diri kepada Allah SWT.
Adapun hikmah diadakannya ijarah antara lain:
1. Membina ketentraman dan kebahagiaan
Dengan adanya ijarah akan mampu membina kerja sama
antara mu’jir dan mus’tajir. Sehingga akan menciptakan
kedamaian dihati mereka. Dengan diterimanya upah dari orang
yang memakai jasa, maka yang memberi jasa dapat memenuhi
kebutuhan sehari-harinya.Apabila kebutuhan hidup terpenuhi
maka musta’jir tidak lagi resah ketika hendak beribadah kepada
Allah.
Dengan transaksi upah-mengupah dapat berdampak positif
terhadap masyarakat terutama dibidang ekonomi, karena
masyarakat dapat mencapai kesejahteraan yang lebih tinggi. Bila
masing-masing individu dalam suatu masyarakat itu lebih dapat
memenuhi kebutuhannya, maka masyarakat itu akan tentram dan
aman. Memenuhi nafkah keluarga
Salah satu kewajiban seorang muslim adalah memberikan nafkah
kepada keluarganya, yang meliputi istri, anak-anak dan tanggung jawab lainnya.
Dengan adanya upah yang di terima musta’jir
Maka kewajiban tersebut dapat dipenuhi.
1. Memenuhi hajat hidup masyarakat
Dengan adanya transaksi ijarah khususnya tentang pemakaian jasa,
maka akan mampu memenuhi hajat hidup masyarkat baik yang ikut
bekerja maupun yang menikmati hasil proyek tersebut. Maka ijarah
merupakan akad yang mempunyai unsur tolong menolong antar
sesama
2. Menolak kemungkaran
Diantara tujuan ideal berusaha adalah dapat menolak kemungkaran
yang kemungkinan besar akan dilakukan oleh yang menganggur.
Pada intinya hikmah ijarah yaitu untuk memudahkan manusia dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
12
Abdul Manan, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2007), h.114
Ijarah mutlaqah atau leasing, adalah proses sewa menyewa yang biasa kita temui
dalam kegiatan perekonomian sehari-hari. Ijarah berarti lease contract dan juga hire
contract. Dalam konteks perbankan Islam. (jarah adalah suatu lease contract dimana
suatu bank atau lembaga keuangan menyewakan peralatan (equipment), sebuah
bangunan atau barang-barang, seperti mesin-mesin, pesawat terbang, dan lain-lain,
kepada salah satu nasabahnya berdasarkan pembebanan biaya yang sudah
ditentukan secara pasti sebelumnya.
Dengan demikian, perjanjian ijarah atau leasing tidak lain adalah kegiatan
leasing yang dikenal dalam sitem keuangan yang tradisonal. Dalam transaksi ijarah,
bank menyewakan suatu aset yang sebelumnya telah dibeli oleh bank kepada
nasabahnya untuk jangka waktu tertentu dengan jumlah sewa yang telah disetujui
dimuka.
Para ahli hukum muslim membagi lagi ijarah mutlaqah menjadi dua bentuk:
1. Menyewa untuk suatu jangka waktu tertentu.
2. Menyewa untuk suatu proyek/usaha tertentu.
Bentuk yang pertama banyak diterapkan dalam sewa-menyewa barang/aset
sedang yang terakhir dipakai untuk menyewa pekerja/tenaga ahli untuk usaha-usaha
tertentu. Dalam pelaksanaannya, bank dapat membeli barang dari pemasok barang
dengan pemberian fasilitas bai'salam kepada pemasok barang.
Pada perjanjian ijarah, seperti halnya pada leasing yang diberikan oleh lembaga
pembiayaan tradisonal, pada akhir perjanjian ijarah barang yang disewa itu kembali
kepada pihak yang menyewakan barang, yaitu bank. Pada perjanjian ijarah
sepanjang masa perjanjian ijarah tersebut kepemilikan atas barang tetap berada pada
bank. Setelah barang kembali pada akhir masa ijarah, bank dapat menyewakan
kembali kepada pihak lain yang berminat atau menjual barang itu dengan
memperoleh harga atas penjualan barang bekas.
b. Al-Ijarah al-Muntahia bis-Tamlik
Transaksi yang disebut dengan al-jarah al-muntahia bit-tamlik (IMBT) adalah
sejenis perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa
yang diakhiri dengan kepemilikan barang di tangan si penyewa Sifat pemindahan
kepemilikan ini pula yang membedakan dengan ijarah biasa. Ijarah yang juga
disebut ijarah wa iqtina ini merupakan konsep hire purchase, yang oleh lembaga-
lembaga. keuangan Islam disebut lease-purchase financing, Ijarah wa iqtina adalah
suatu gabungan dari kegiatan leasing atas barang-barang bergerak (movable) dan
barang- barng tidak bergerak (immovable) dengan memberikan kepada penyewa
(lessee) suatu pilihan atau opsi (option) untuk akhirnya membeli barang yang
disewa. Berbeda dengan ijarah, pada akhir masa perjanjian kepemilikan atas barang
tersebut dapat beralih kepada penyewa (nasabah bank) apabila nasabah bank yang
bersangkutan menggunakan hak opsinya untuk membeli barang itu. Namun, apabila
nasabah bank tidak menggunakan hak opsinya, kepemilikan barang itu tetap berada
ditangan bank.
Ijarah muntahia bit-tamlik ini dulunya tidak dikenal oleh ilmuwan-ilmuwan
muslim tradisonal, sekalipun sebenarnya tidak terdapat hal yang melanggar hokum
(unlawful) pada penggabungan dua konsep yang melembaga itu, yaitu lease dan
option. asalkan riba dihindari dan asalkan riba bukan merupakan tujuan dari para
pihak yang membuat perjanjian itu.
Praktek sewa-menyewa dalam transaksi umum masyarakat tidak disertai dengan
pemindahan hak milik. Apabila disertai dengan pemindahan hak milik maka
transaksinya disebut perjanjian sewa - beli. Terhadap perjanjian sewa - beli
(leasing) umumnya pemberian jasa pembiayaan diberikan oleh lembaga keuangan
non. bank finance. Pada praktek perbankan syariah, akad sewa-menyewa disebut
Ijarah. Akad sewa-menyewa (ijarah) pada perbankan syariah pada
perkembangannya dapat disertai dengan pemindahan hak milik yang disebut
sebagai Ijarah Muntahiyyah bit-Tamlik (IMBT), Walaupun seperti terlihat mirip
dengan Leasing pada praktek pembiayaan konvensional, tetapi pada perbankan
syariah terdapat pembedaan, yaitu jika obyek leasing hanya berlaku pada manfaat
barang saja, sedangkan pada Ijarah Muntahiyyah Bit-Tamlik obyeknya bisa berupa
barang maupun jasa/ tenaga kerja.
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil yaitu bahwasanya akad ijarah adalah akad
sewa-menyewa yang pemindahan kegunaan terhadap barang maupun jasa dari seseorang. Serta
landasan hukumnya terdapat dalam Al-Qur’an, Hadits, dan ijma’. Adapun juga rukun serta
syarat dalam menjalankan akad ijarah, diantaranya harus ada mu’ajir dan musta’jir, ada objek
barang serta ada shighat ijab qabul. Serta syarat yang paling utama dalam menjalankan akad
ijarah yaitu pemilik dan penyewa harus sama sama sudah baligh, berakal sehat, tidak
gila, Barang yang di ambil kegunaannya wujudnya harus tetap dan waktunya telah di
tentukan sesuai akad. Nominal harga upah sewa dan pembayarannya harus jelas. Waktu
penyewaan harus diketahui secara jelas oleh pihak-pihak yang berakad.
B. Saran
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini masih jauh dari sempurna.
Oleh sebab itu penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun guna
kesempurnaan pembuatan makalah ini dan bermanfaat khususnya untuk penulis dan umumnya
untuk pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah, Jilid 13, Diterjemahkan oleh Kamaludin A. dan Marzuki, Bandung: PT
al Ma’arif, 2007
Al-Kasani. al- Bada’i’u al-Sana’i, Jilid IV Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Rachmat Syafei ,fiqih Muamalah,(Bandung:Pustaka Setia ,2001)
Hasrun Haroen ,fiqih muamalah ,(Jakarta:Gaya Media Pratama,2007)
Syafii Jafri ,fiqih muamalah ,(pekanbaru ,suska press ,2008)
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 13, terj. Kamaludin A. dan Marzuki (Bandung: PT al
Ma’arif, 2007), h. 15
Al-Kasani, al-Bada’i’u al-Sana’i, Jilid IV (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 174
Al-Syarbaini al-Khathib, Mugni al- Muhtaj, Jilid II ( Beirut: Dar al-Fikr, 1978), h.233
Ibnu Qudama, al-Mugni, Jilid V ( Riyadh al-Haditsah, t.th.), h. 398
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 316.
Sutan Remy Syahdeini, Perbankan Islam dan kedudukannya dalam Tata Hukum Indonesia,
(Jakarta: Grafiti, 1999), h.28