Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

IJARAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Muamalah

Dosen Pengampu: Muslihun Muslim, DR., M.AG.

Disusun Oleh Kelompok 1:

1. Ahmad Ziyadi 190501192


2. Yulaeni 190501193
3. Detrie Septikatari 190501194
4. Baiq, Asnanik Kusprihatin 190501195

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

JURUSAN EKONOMI SYARIAH

2020/2021

I
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah
memberikan kesehatan dan kesempatan kepada kami untuk dapat menyelesaikan makalah ini.
Sholawat beriring salam tak lupa kami haturkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW, yang
telah menuntun kita dari zaman jahiliyah menuju zaman islamiyah.

Kami mengucapkan terimakasih kepada dosen pengampu mata kuliah Fiqih Muamalah
bapak Muslihun, DR., M.AG. karena telah memberikan kami tugas makalah ini sehingga kami
menjadi lebih paham terkait materi yang bersangkutan. Kami juga berterimakasih kepada teman-
teman yang telah mendukung dalam proses penyelesaian makalah ini. Kami mengakui masih
banyak kesalahan dalam penulisan nama, gelar, dan tempat dalam makalah ini. Untuk itu, kritik
dan saran yang membangun sangat kami butuhkan. Terakhir, besar harapan kami semoga
makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca.

Mataram,10 Oktober 2021

Kelompok 1

II
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................. II

DAFTAR ISI .............................................................................................................. III

BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................................. 1

1.1.Latar Belakang ........................................................................................................ 1

1.2.Rumusan Masalah ................................................................................................... 1

1.3.Tujuan ..................................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN............................................................................................... 2

2.1. Pengertian Ijarah .................................................................................................... 2

2.2. Syarat dan Rukun Ijarah ......................................................................................... 4

2.3 Landasan Hukum Ijarah........................................................................................... 5

2.4. Macam-macam Ijarah ............................................................................................. 6

2.5. Permasalahan yang sering terjadi dalam Ijarah........................................................ 7

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan ............................................................................................................ 8

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 9

III
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Komplektifitas permasalahan umat seiring dengan perkembangan zaman, membuat hukum


Islam harus menampakan sifat elastisitas dan fleksibilitasnya guna memberikan hasil dan
manfaat yang baik, serta dapat memberikan kemaslahatan bagi umat Islam khususnya dan bagi
manusia pada umumnya tanpa harus meninggalkan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh
syariat Islam.1Untuk memberikan kemaslahatan bagi umat manusia, maka dalam Islam diajarkan
tentang sikap saling membantu. Sikap saling membantu ini bisa berupa pemberian tanpa
pengembalian, seperti: zakat, infaq, shadaqah, ataupun berupa pinjaman yang harus di
kembalikan seperti: sewa-menyewa (ijārah) dan gadai (rahn). Pembiayaan berdasarkan prinsip
Syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang
dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan
dengan imbalan atau bagi hasil.

1.2.Rumusan Masalah
a. Apa pengertian ijarah
b. Apa Rukun dan syarat ijarah
c. Apa landasan hokum dari Ijaah
d. Sebutkan macam-macam ijarah
e. Apa saja permasalahan dalam ijarah

1.3.Tujuan
a. Mengetahui pengertian ijarah
b. Mengetahui Rukun dan syarat ijarah
c. Mengetahui Landasan Hukum dari Ijarah
d. Mengetahui macam-macam ijarah
e. Mengetahui Apa saja permasalahan dalam ijarah

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Ijarah


Al- Ijarah berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya adalah al-„iwadh yang arti
dalam bahasa indonesianya ialah ganti dan upah. 1

Secara etimologi, ijarah bermakna menjual manfaat. Ulama Hanafiyah berpendapat ijarah
adalah akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti. Sedangkan ulama Syafi‟iyah berpendapat
bahwa ijarah adalah akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah,
serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu. Adapun ulama Malikiyah
dan Hanabilah menyatakan bahwa ijarah adalah menjadikan milik suatu kemanfaatan yang
mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.2

Secara terminologis, ijarah adalah transaksi atas suatu manfaat yang mubah berupa barang
tertentu atas dijelaskan sifatnya dalam tanggungan dalam waktu tertentu, atau transaksi atas
suatu pekerjaan yang diketahui dengan upah yang diketahui pula. Jumhur ulama fiqh
berpendapat bahwa ijarah adalah menjual manfaat dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya
bukan bendanya. Oleh karena itu,mereka melarang menyewakan pohon untuk diambil buahnya,
domba untuk diambil susunya, sumur untuk diambil airnya, dan lain- lain sebab semua itu bukan
manfaatnya tetapi bendanya.

Makna operasional upah (ija>rah) menurut Idris Ahmad dalam bukunya yang
berjudul Fiqh Shafi‟i, berpendapat bahwa ija>rah berarti upah-mengupah. Hal ini terlihat
ketika beliau menerangkan rukun dan syarat upah mengupah, yaitu mu‟jir dan musta‟jir (yang
memberikan upah dan yang menerima upah), Sedangkan menurut Kamaludin A. Marzuki
sebagai penerjemah fiqh sunnah karya Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa makna ijar>ah sama
dengan sewa-menyewa.

1
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 114

2
Rahmad Syaefi, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001, hlm.

121-122

2
Dari kedua buku tersebut ada perbedaan terjemahan kata ijar> ah dari bahasa Arab ke
dalam bahasa Indonesia. yaitu antara sewa dan upah, di mana keduanya memilki makna
operasional yang berbeda. Sewa biasanya digunakan untuk benda, seperti “tukang becak
menyewa becak untuk digunakan bekerja”, sedangkan upah digunakan untuk tenaga kerja,
seperti, “para karyawan bekerja di pabrik yang dibayar dengan gajinya (upahnya) satu kali
dalam seminggu.” Dengan demikian, dalam bahasa arab upah dan sewa disebut dengan ijar> ah.
Adapun makna ijarah rnenurut syar'i dijelaskan secara terperinci oleh setiap madzhab
sebagai berikut.
1. Madzhab Hanafi
Mengatakan bahwa ijarah ialah suatu akad yang mempunyai faedah pemilikan manfaat yang
diketahui secara jelas dengan maksud tertentu dari barang yang disewakan disertai kompensasi.
Menurut pengikut madzhab ini pada makna ijarah terdapat ijab-qabul yang tidak mesti selalu
diucapkan, sebagaimana jika seseorang menyewa rumah dari orang lain selama setahun. Ketika
selesai waktu sewa, pemilik rumah meminta agar rumah dikosongkan. ]ika tidak dilakukan
maka perhari dikenakan biaya sekian. Lalu penyewa mulai mengosongkan rumah, dan tidak
mungkin pengososngan ini dilakukan kecuali dengan jangka waktu, maka dia mesti membayar
selama jangka waktu tersebut. Ijarah inipun bisa menjadi akad tanpa pengucapan ijab-qabul
dengan penjelasan yang akan datang.
2. Madzhab Maliki
Mengatakan ijarah dengan kira' memlliki satu makna, namun mereka menamai akad
pemanfaatan jasa orang dan sebagian manqulat (harta benda bergerak/ bisa berpindah-pindah)
seperti perabot rumatr, pakaian, bejana dan lain sebagainyadengan sebutanijarah. Sedang untuk
penamaan akad pada benda-benda yang lain seperti perahu dan binatang tertentu disebut kira',
padahal kedua benda ini termasuk manqulat. Seperti halnya perahu dan binatang; semua harta
benda yang tidak bergerak seperti rumah, tanah dan lain sebagainya, untuk akadnya dinamai
kira' narnun terkadang orang menggunakan kira' dengan makna ijarah ataupun sebaliknya.
Bagaimanapun juga madzhab Maliki telah memberikan definisi ijarah sebagai suatu akad yang
memberi faedah pemilikan manfaat sesuatu yang mubah dengan jangka waktu yang diketahui
disertai kompensasi yang tidak bertambah dari manfaat tersebut. Demikian juga dengankira',
madzhab ini memberikan definisi yang sama dengan Ijarah, sebagaimana anda ketahui bahwa
makna ijarah dankira' satu dan bedanya hanya pada penyebutan saja.

3
3. Madzhab Asy-Syafi'i
Mengatakan bahwa ijarah ialahsuatu akad atas manfaat yang diketahui, dengan maksud
tertentu, bisa dipindah tangankan, hukumnya mubah, disertai kompensasi yang diketahui.
Menurut pendapat pengikut madzhab ini bahwa ijarah ialah "suatu akad", dalam arti ijabqabul,
yaitu shigah yang mesti ada dalam akad. Pendapat mereka "atas manfaat" yaitu ma' qud' alaih,
seperti pemanfaatan rumah yang disewakan sebagai tempat tinggal atau tanah yang disewakan
untuk digunakan sebagai lahan pertanian
4. Madzhab Hambali
Mengatakan bahwa ijarahialah suatu akad untuk pemanfaatan sesuatu yang mubah,
diketahui dengan jelas, diambil sedikit demi sedikit, dengan jangka waktu yang diketahui
disertai kompensasi yang diketahui pula. Ma'qud 'alaih ialah manfaat dari barang sewaan bukan
barangnya, karena manfaat itulah yang diambil, dan biaya sewa sebanding dengan manfaat
yang diambil bukan sebanding dengan nilai barang. Namun dalam akad disebutkan barang,
dalam arti sebagai tempat dan sumber dari manfaatnya. Sebagaimana yang telah lalu, dijelaskan
oleh madzhab-ma dzhab yNrglairu bahwa pengertian akad ijarah im memberikan batasan yang
berbeda dengan akad jual-beli, hibatu shadaqah dan lain sebagainya. (Abdurrahman Al-juzairy)
2.2. Rukun dan Syarat Ijarah
Ulama Mahzab Hanafi mengatakan, bahwa rukun ijārah hanya satu, yaitu ijab dan Kabul
saja (ungkapan menyerahkan dan persetujuan sewa menyewa).
Jumhur Ulama berpendapat, bahwa rukun ijārah ada empat:
1. Orang yang berakal
2. Sewa/imbalan
3. Manfaat
4. Sighat (ijab dan Kabul)
Menurut ulama Mahzab Hanafi, rukun yang dikemukakan oleh Jumhur Ulama diatas,
bukan rukun tetapi syarat. Sebagai sebuah transaksi (akad) umum, ijārah baru dianggap sah
apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya.
Adapun syarat akad ijārah ialah
1. Syarat bagi kedua orang yang berakad, adalah telah baligh dan berakal (Mahzab Syafi‟I dan
Hanbali). Dengan demikian, apabila orang itu belum atau tidak berakal, sperti anak kecil atau
orang gila, menyewakan hartanya, atau diri mereka sebagai buruh (tenaga dan ilmu boleh

4
disewa), maka ijārahnya tidak sah. Berbeda dengan Mahzab Hanafi dan Maliki mengatakan,
bahwa orang yang melakukan akad, tidak harus mencapai usia baligh, tetapi anak yang telah
mumayyiz pun boleh melakukan akad ijārah dengan ketentuan, disetujui oleh
walinya.
2. Kedua belah pihak yang melakukan akad menyatakan, kerelaannya untuk melakukan akad
ijārah itu. Apabila seseorang diantara keduanya terpaksa melakukan akad, maka akadnya tidak
sah.
3. Manfaat menjadi objek ijārah harus diketahui secara jelas, sehingga tidak terjadi perselisihan
dibelakang hari. Jika manfatnya tidak jelas maka akad itu tidak sah.
4. Obyek ijārah itu dapat diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak ada cacatnya.
2.3. Landasan Hukum Ijarah
Dasar hukum ijarah terdapat dalam al-Quran, hadits Rasulullah SAW, dan juga berdasarkan
kepada ijma‟ ulama. Salah satu ayat al-Quran yang membicarakan mengenai kontrak ijarah
adalah QS. Al-Qashash; 26, yang artinya sebagai berikut: “salah seorang dari kedua wanita itu
berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena
Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah
orang yang kuat lagi dapat dipercaya".
Ayat al-Quran lainnya yang menjadi dasar hukum kontrak Ijarah adalah QS. At-
Thalaq; 6, dan QS. Al-Kahfi; 77. Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan dari Ibnu
Abbas ra, ia berkata: “Sesugguhnya Rasulullah SAW. pernah berbekam dan memberikan upah
kepada pembekamnya”. (HR.Bukhari, Muslim, dan Ahmad).
(al-Albani, 2007: 55)
Hadits Nabi yang lain yang driwayatkan oleh Ibnu Majah ra, disebutkan: Berilah
upah para pekerja sebelum kering keringat mereka”. (HR. Abu Ya‟la, Ibn Majah, Tabrani dan
Tirmidzi).(Rivai ,dkk, 2014:18)
Ulama Islam sepakat untuk membolehkan akad ijarah karena merupakan sarana yang
dapat memberikan kemashlahatan bagi umat. Akad ijarah memberikan kemudahan bagi
orang yang tidak mampu memiliki barang untuk dapat memanfaatkan aset tersebut dari
orang yang mampu memilikinya.Secara yuridis dasar hukum transaksi pembiayaan
berdasarkan akad Ijarah antara lain adalah Pasal 19 ayat 1 huruf f dan ayat (2) huruf f
serta Pasal 21 huruf b angka 4 UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Fatwa DSN

5
No. 9/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah,dan PBI No. 7/6/PBI/2005 tentang
Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah beserta
ketentuan perubahannya dan PBI No.9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah
dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank
Syariah berikut perubahannya dengan PBI No. 10/16/PBI/2008.
2.4. Macam-macam Ijarah
Macam-Macam Ijarah Pembagian ijārah biasanya dilakukan dengan memperhatikan objek
ijārah tersebut. Ditinjau dari segi objeknya, akad ijārah dibagi ulama fiqih menjadi dua macam,
yaitu:
a. Ijārah „ala al-manafi‟ (Sewa-menyewa) Sewa menyewa adalah praktIk ijārah yang berkutat
pada pemindahan manfaat terhadap barang. Barang yang boleh disewakan adalah barang-
barang mubah seperti sawah untuk ditanami, mobil untuk dikendarai, rumah untuk
ditempati. Barang yang berada ditangan penyewa dibolehkan untuk dimanfaatkan sesuai
kemauannya sendiri, bahkan boleh disewakan lagi kepada orang lain.Apabila terjadi
kerusakan pada benda yang disewa, maka yang bertanggung jawab adalah adalah pemilikm
barang (mu‟jir) dengan sayarat kecelakaan tersebut bukan akibat dari kelalaian penyewa
(musta‟jir). Apabila kerusakaan benda yang disewakan itu, akibat dari kelalaian penyewa
(musta‟jir) maka yang bertanggung jawab atas kerusakan barang tersebut adalah penyewa
itu sendiri.
b. Upah mengupah Upah mengupah disebut juga dengan jual beli jasa. Misalnya ongkos
kendaraan umum, upah proyek pembangunan, dan lain-lain. Pada dasanya pembayaran upah
harus diberikan seketika juga, sebagaimana jual beli yang pembayarannya waktu itu juga.
Tetapi sewaktu perjanjian boleh diadakan dengan mendahulukan upah atau mengakhirkan.
Jadi pembayarannya sesuai dengan perjanjiannya. Tetapi kalau ada perjanjian, harus segera
diberikan manakala pekerjaan sudah selesai.
2.5. Permasalahan yang sering terjadi dalam ijarah
Berikut adalah Permasalahan dalam sewa menyewa atau ijarah:
a. Menyewa orang untuk taat
Ijarah dalam perbuatan taat seperti menyewa orang lain untuk shalat, atau puasa, atau
mengerjakan haji, atau membaca Al-Qur'an, atau adzan yang pahalanya di hadiahkan kepada

6
orang yang menyewa menurut madzhab hanafi dan hambali tidak di bolehkan. Hal ini di
dasarkan pada sabda Rasulullah Saw:
"Dan janganlah kamu mengangkat seseorang menjadi muzzin yang memmungut dari azan suatu
upah".(HR.Ibnu Majah).
Dengan alasan bahwa perbuatan yang tergolong takarub apabila berlangsung, pahalanya
jatuh kepada si pelaku karena itu tidak boleh mengambil upah dari orang lain untuk pekerjaan
itu.
b. Mempercepat dan menangguhkan upah
Upah tidak menjadi milik dengan hanya sekedar akad, adapun mempercepat ataupun
menangguhkan upah sangat tergantung, adapun mempercepat atau menangguhkan upah sangat
tergantung kepada persyaratan yang telah mereka perbuat , pembayaran dapat di bayar di muka,
di tengah dan di akhir sesuai dengan persyaratan yang telah di buat. Hal ini sebagaimana sabda
Rasulullah Saw:
"Orang orang muslim itu sesuai dengan syarat mereka".(HR. Bukhari).
Upah secara sempurna harus telah di berikan setelah pekerjaan telah sempurna di
selesaikan, dan tidak boleh di tunda tunda. Kecuali, ada pekerjaan yang belum sempurna maka
boleh di tangguhkan.
c. Menyewakan tanah dan binatang
Barang atau jenis yang di sewakan harus jelas termasuk untuk apa di manfaatkan barang
itu. Misalnya, menyewahkan tanah untuk pertanian, maka di perbolehkan, tetapi jika
menyewakan tanah dan tidak jelas di manfaatkan untuk apa, maka tidak ddi perbolehkan.Begitu
pula menyewakan bainatang, harus umtuk apa kegunaannya, seperti untuk mengangkut barang,
untuk di tunggangi dengan perlu juga menjelaskan tempo waktunya, tempat dan upah yang akan
di terimanya.
d. Menyewakan barang sewaan
Pada hakikatnya, barang yang di sewakan tidak boleh di sewakan kepada orang lain, karena
tidak jelas. Sebab, jika terjadi kerusakan pada barang yang di sewakan, siapa yang bertanggung
jawab terhadap kerusakan baarang tersebut. Karena penyewa pertama, kedua dan ketiga sangat
sulit menentukan dari mana sumber kerusakan tersebut. Akan tetapi, jika di pastikan barang itu
tidak akan rusak, dan ia juga menjamin untuk mengganti rugi terhadap barang sewaan, boleh
menyewakan barang sewaan kepada orang lain.

7
e. Kerusakan pada barang sewaan
Sewaan adalah amanat yang ada di tangan penyewa, karena ia menguasai utuk dapat
mengambil manfaat yang ia berhak. Apabila terjadi kecelakaan atau kerusakan, ia tidak akan
berkewajiban menjaminnya kecuali dengan sengaja atau karena pemeliharaan yang kurang
biasanya.

8
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
ijarah adalah transaksi atas suatu manfaat yang mubah berupa barang tertentu atas
dijelaskan sifatnya dalam tanggungan dalam waktu tertentu, atau transaksi atas suatu pekerjaan
yang diketahui dengan upah yang diketahui pula. Jumhur ulama fiqh berpendapat bahwa ijarah
adalah menjual manfaat dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya.

9
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Al-juzairi,Syaikh. Fiqih Empat Madzhab,pustaka Al-kautsar

Ngasifudin, Muhammad.2019 “Analisis Biaya Ijarah dalam Sistem Gadai Syariah” dalam jurnal
Manajemen dan Ekonomi Vol 2, Nomor 2 (Halaman 241). Manjenang: STKIP Majenang

Amalia Jihad, Azka dan Chourunnisak.2020”Ijarah dalam Keuangan Islam” dalam jurnal
komunikasi penyiaran islam Vol.2, Nomor 01(Halaman 61-62). Palembang: STEBI IGM
Palembang

Zainal Roziqin, Muhammad.2021” Larangan-larangan dan Permasalahan dalam Sewa


Menyewa”, https://www.kompasiana.com/jhipo3583/5c90355a7a6d882144336ce4/larangan-
larangan-dan-permasalahan-dalam-sewa-menyewa Diakses pada 10 Oktober 2021

10

Anda mungkin juga menyukai