Disusun Oleh:
Kelas PAI Reguler B Semester 2
1. M Fathur Rozzaq Nurtri (221105011473)
2.Masagus Rizki Ramadhan(221105011449)
1
DAFTAR ISI
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. karena berkat rahmat-
Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Riba dalam Fiqh Muamalah”.
Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu agar pembaca dapat memperluas wawasan
mengenai turunan-turunan ilmu fiqh muamalah dalam hal riba, yang kami sajikan
berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber. Dan juga sebagai salah satuu syarat
dalam memenuhi nilai tugas Fiqh Ibadah dan Muamalah. Makalah ini dibuat atas
persetujuan Dosen Mata Kuliah Fiqh Ibadah dan Muamalah Program Studi Pendidikan
Agama Islam Universitas Ibnu Khaldun Bogor Tahun 2023.
Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada Dosen Mata Kuliah Fiqh Ibadah dan
Muamalah yang telah membimbing dan membantu kami baik selama kegiatan
penyusunan makalah hingga saat ini. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada
pihak-pihak yang turut membantu dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini terdapat banyak kekurangan dan jauh
dari kata sempurna, dan ini merupakan langkah yang baik dari pembelajaran yang
sesungguhnya. Oleh karena itu kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat
membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Demikian makalah Ariyah dan qardh dalam Fiqh Muamalah ini kami susun, atas
bimbingan dan dorongan, kami ucapkan terimakasih.
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hidup dimuka bumi ini, pasti selalu melakukan yang Namanya kegiatan
ekonomi dalam kehidupan sehari-hari atau bertransaksi dimana-mana untuk
menjalankan kehidupan. Saat ini banyak terjadi pertikaian ataupun kerusuhan di
masyarakat yang dikarenakan pinjam-meminjam dan hutang-piutang sehingga
tidak mengherankan apabila persoalan seperti ini menjadi persoalan setiap
masyarakat dan kerap sekali berujung ke meja hijau. Hal ini terjadi, karena ketidak
fahaman mereka akan hak dan kewajiban terhdap yang dipinjamkan.
Pinjam meminjam adalah membolehkan kepada orang lain mengambil
manfaat sesuatu yang halal untuk mengambil manfaatnya dengan tidak merusak
zatnya dan dikembalikan setelah diambil manfaatnya dalam keadaan tetap tidak
rusak zatnya. Siapa yang meminjam dialah yang bertanggung jawab atas barang
yang dipinjamnya itu baik yang berkenaan dengan penggantiannya bila rusak,
ataupun ongkos pengembaliannya. Menurut pendapat Imam Syafi’i bahwa
pinjaman yang hilang dalam pemakaiannya tidak wajib menggantinya, kecuali
kalau barang itu dipergunakan tidak menurut yang semestinya, untuk lebih
jelasnya akan kita bahas lebih jauh dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ‘Ariyah dan al-Qardh?
2. Apa dasar hukum ‘Ariyah dan al-Qardh?
3. Bagaimana pelaksanaan ‘Ariyah dan al-Qardh?
4. Apa saja permasalahan ‘Ariyah dan al-Qardh?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian ‘Ariyah dan al-Qardh?
2. Untuk mengetahui dasar hukum ‘Ariyah dan al-Qardh?
3. Untuk Mengetahui pelaksanaan ‘Ariyah dan al-Qardh?
4. Untuk mengetahui permasalahan ‘Ariyah dan al-Qardh?
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian a. Al-‘Ariyah
b. Pengertian al-Qardh
Al-qardh secara bahasa berasal dari kata al-qath’u yang berarti memotong1
maka harta yang diserahkan kepada orang yang berhutang disebut al- qardh
karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan hutang
kepada orang yang menerima utang.2 Sedangkan pengertian istilah al-qardh
menurut ulama mazhab Hanafi adalah harta yang diberikan seseorang dari
harta mitsli (yang memiliki perumpamaan) untuk kemudian dibayar atau
dikembalikan, sementara menurut kalangan mazhab Safi’i berpendapat bahwa
al-qardh adalah sesuatu yang diberikan kepada orang lain yang suatu saat
harus dikembalikan, lalu kalangan mazhab Hanbali berpendapat al-qardh
adalah memberikan harta kepada orang yang memanfaatkannya dan
kemudian mengembalikan penggantiannya. Dengan kata lain, bahwa al-qardh
atau hutang- piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik
pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian dikemudian hari
sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama, apabila peminjam diberi pinjaman
Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) maka di masa depan si peminjam akan
mengembalikan uang sejumlah satu juta juga.
Pengertian Qardh adalah bentuk masdar yang berarti memutus. Dikatakan
qaradhtu asy-syai’a bil-miqradh, aku memutus sesuatu dengan gunting. Jadi
Al-qardh dapat diartikan sebagai sesuatu yang diberikan oleh pemilik untuk
dibayar.
Menurut (Ghofur, 2015) Qardh adalah pemberian harta kepada orang lain
yang dapat ditagih atau diminta kembali tanpa mengharapkan imbalan. Dalam
fikih, akad ini dimasukkan dalam akad tolong menolong (ta’awwuni) dan
bukan komersial. Menurut (Fay, 1967) qardh, secara etimologi berarti al-
Qath’i (memotong). Harta yang dibayarkan kepada muqtarid (yang diajak
akad qardh) dinamakan qarad, sebab merupakan potongan dari harta muqrid
(pemilik barang). Secara terminologi, qardh adalah “Sesuatu yang diberikan
seseorang dari harta mitsil (yang memiliki perumpamaan) untuk memenuhi
kebutuhannya”. Sementara definisi Qardh menurut ulama Malikiyah adalah
“suatu penyerahan harta kepada orang lain yang tidak disertai iwadh
(imbalan) atau tambahan dalam pengembaliannya.”
1
Isnawati Rais dan Hasanudin, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya pada Lembaga Keuangan Syariah, Cet.1 (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011), hlm.149.
2
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 4 (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008), hlm. 181.
6
Akad Qardh, disebut juga akad pinjam-meminjam. Obyek yang pinjam
adalah uang (nuqud) atau harta mitsaliyat. Harta pinjaman dimanfaatkan oleh
peminjam, sedangkan harta peminjam dikembalikan/diganti dengan harta
yang sejenis (yang sama nilainya). (Jamaluddin, 2018) Menurut (Rahmi,
2014) Qaradh adalah memberikan harta kepada orang lain yang dapat ditagih
atau diminta kembali atau meminjamkan sesuatu tanpa mengharapkan
imbalan atau jika salah satu pihak meminjamkan suatu objek yang berbentuk
uang. Qaradh ditujukan kepada nasabah yang diperkirakan tidak mampu
mengembalikan dana beserta keuntungan. Oleh karena itu bank syariah
memberikan bantuan berupa qaradh, sehingga nasabah hanya berkewajiban
mengembalikan pokok hutangnya.
Al-qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih
atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa
mengharapkan imbalan. Oleh karena itu, dapat diartikan bahwa Al-qardh
merupakan memberikan (menghutangkan) harta kepada orang lain tanpa
mengharapkan imbalan, untuk dikembalikan dengan pengganti yang sama
dan dapat ditagih atau diminta kembali kapan saja penghutang menghendaki.
B. Dasar Hukum
وتعا ونوا على البر والتقوى ول تعا ونوا على ال ثم والعدوان (الما ئدة٢ :
Dan tolong menolonglah kamu untuk berbuat kebaikan dan taqwa dan janganlah
kamu tolong menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan.” [Al-Maidah:2]
Perjanjian utang piutang, secara umum, merupakan bentuk perjanjian yang
berlangsung dengan nomenklatur perjanjian bernama. Disebut sebagai
perjanjian bernama karena perjanjian utang piutang merupakan perjanjian
yang secara khas diatur tersendiri dalam sebuah produk hukum tertentu. Di
Indonesia, misalnya, perjanjian utang piutang telah diatur secara tersendiri,
namun ia dikategorikan sebagai bagian dari perjanjian pinjam meminjam.
Pengaturan tentang perjanjian pinjam meminjam tersebut, terdapat pada Bab
Ketiga Belas Buku III Pasal 1754 BW, yang menyebutkan bahwa “pinjam
meminjam adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan
kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barangbarang yang menghabis
karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan
mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama
pula. (Sjaiful, 2018)
7
Kebolehan ‘ariyah dapat ditemukan dalam hadis yang diriwayatkan
Shafwan Ibnu Umayyah yaitu; “Bahwasanya Rasulullah SAW pada hari
Khaibar pernah meminjam perisai daripada Shafwan bin Umaiyah, lalu
berkata Shafwan kepada beliau: Apakah perisai ini diambil terus dari padaku,
wahai Muhammad!, Beliau menjawab: Tidak, tetapi hanya pinjaman yang
dijamin.” (Riwayat Abu Dawud dan Ahmad)” (Johan, 2018).
ُ ص
َط َواِلَي ِه تُر َجعُون ُ ُۣ ض َويَب ُ ٰ سنًا فَيُضٰ ِعفَه لَه اَضعَافًا َكثِي َرة ً ۗ َو
ُ ِّللا يَقب َ ّللا قَرضًا َح
َٰ ض ُ َمن ذَا الَّذِي يُق ِر
Artinya
Barangsiapa meminjami Allah dengan pinjaman yang baik maka Allah
melipatgandakan ganti di sini dengan banyak. Allah menahan dan
melapangkan (rezeki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.
Menurut Ulama‟ Hanafiyah, rukun ‟ariyah terdiri dari ijab dan qabul. Ijab
Qabul tidak wajib diucapkan, tetapi cukup dengan menyerahkan pemilik
kepada peminjam barang yang dipinjam, namun demikian juga boleh ijab
qobul tersebut disampaikan.
8
Adapun menurut jumhur ulama‟ dalam akad „ariyah harus terdapat
beberapa unsur (rukun), sebagai berikut:
b. Dianggap sah amal baiknya, bukan dari golongan anak kecil, orang gila,
budak mukatab tanpa ijin tuannya dan bukan dari orang yang
mengalokasikannya terbatasi dengan sebab bangkrut atau tidak ada
kecakapan dalam mengelola harta.
b. Bebas dalam megalokasikan harta benda, maka tidak sah dari anak
kecil, orang gila atau orang yang mengalokasikannya terbatasi dengan
sebab tidak memiliki kecakapan dalam mengelola harta kecuali melalui
sebab tidak memiliki kecakapan dalam mengelola harta kecuali melalui
wali masingmasing.
3. Mu‟ar (barang yang dipinjamkan) dengan syarat:
a. Manfaatnya sesuai dengan yang dimaksud dari benda tersebut. Maka
tidak sah akad „ariyah pada koin emas atau perak dengan maksud
untuk dijadikan sebagai hiasan, karena pada dasarnya manfaat dari
koin tersebut bukan untuk hiasan.
b. Musta‟ir dapat mengambil kemanfaatan mu‟ar atau sesuatu yang
dihasilkan darinya seperti meminjam kambing untuk diambil susu dan
anaknya atau meminjam pohon untuk diambil buahnya. Maka tidak sah
akad „ariyah pada barang yang tidak dapat dimanfaatkan seperti
keledai yang lumpuh.
9
c. Manfaat mu‟ar adalah manfaat yang diperbolehkan, maka tidak sah
akad „ariyah pada barang yang manfaatnya tidak diperbolehkan seperti
manfaat alat musik.
d. Mu‟ar dimanfaatkan dengan membiarkannya tetap dalam kondisi utuh.
Maka tidak sah akad „ariyah pada makanan untuk dikonsumsi atau
pada sabun untuk mandi karena pemanfaat tersebut dapat
menghabiskan barang yang dipinjamkan.
3
Ahmad Wardi Mukhlish, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Sinar Grafika offset, 2010), hal. 471
10
Orang yang meminjam harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:4
4
Ahmad Wardi Mukhlish, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Sinar Grafika offset, 2010), hal. 471-472
11
Dengan demikian, tidak sah meminjamkan makanan dan minuman,
sudah pasti akan habis.
Setiap orang yang meminjam sesuatu pada orang lain berarti peminjam
memiliki utang kepada yang berpiutang. Setiap utang wajib di bayar sehingga
berdosalah seseorang yang tidak mau membayar utang, bahkan melalaikan
pembayaran utang juga termasuk perbuatan aniaya.5
Adapun melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman diperbolehkan, asal saja
kelebihan itu merupakan kemauan dari yang berutang semata. Hal ini menjadi nilai
kebaikan bagi yang membayar utang, Rasulullah SAW pernah berutang hewan,
kemudian beliau membayar hewan itu dengan lebih besar dan tua umurnya dari hewan
yang beliau pinjam Dalam hadits,
“Orang yang paling baik di antara kamu ialah orang yang dapat membayar utangnya
dengan lebih baik.” Jika penambahan dalam peminjaman tersebut dikehendaki oleh
orang yang dihutangi atau telah menjadi perjanjian dalam akad perutangan, maka
penambahan tersebut adalah riba.
Selanjutnya sejauh mana tanggung jawab peminjam dalam masalah “ariyah in.
Para ulama figih bersepakat bahwa akad ariyah bersifat tolong menolong, akan tetapi
mengenai masalah apakah akad “ariyah ituu bersifat amanah di tangan peminjam,
sehingga ia tidak boleh dituntut ganti rugi apaagi barang itu rusak. Dalam hal mi ulama
berbeda pendapat.
5
Abdul Rahman, dkk, Fiqih Muamalat, h. 250
12
Menurut Hanafiyah, ariyah di tangan pemimjam bersifat amanah. Oleh karena
itu, peminjam tidak dikenakan ganti rugi terhadap kerusakan barang yang bukan
disebabkan oleh perbuatannya. Akan tetapi apabila kerusakan tersebut disengaja
maka ia dikenakan .ganti rugi akan ariyah yang semula bersifat amanah dapat berubah
menjadi akad yang dikenakan ganti rugi, dalam hal ini sebagai berikut:
13
Untuk mempedomani nilai-nilai yang terkandung dalam ayat ayat a-Quran dan
hadits, ada beberapa hal yang menjadi penekanan dalam '“ariyah mengenai tata
karma yang terkait di dalamnya, di antaranya:6
Dalam pasal 18 disebutkan bahwa akad al- ‘ariyah, al-qardh, dan al-hibah
termasuk salah satu cara memperoleh harta. Selain al-‘ariyah dan al-qardh
dalam pasal 21 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah lebih lanjut dijelaskan bahwa
agar cara memperoleh harta tersebut dapat dilegal (sah) dalam pandangan
ajaran Islam, maka akad-akad tersebut harus sesuai dengan asas-asas sebagai
berikut :
a. Ikhtiyari (sukarela); Setiap akad yang dilakukan adalah atas kehendak para
pihak, harus terhindar dari segala bentuk keterpaksaan misalnya karena
tekanan salah satu pihak atau pihak lain.
b. Amanah (menepati janji); Setiap akad wajib dilaksanakan oleh para pihak
sesuai dengan kesepakan yang telah ditetapkan oleh yang bersangkutan
dan pada saat yang sama terhindar dari cidera-janji.
6
Sohari Sahrani & Ru’fah Abdullah, Fiqih muammalah, hal.145
7
Abdul Rahman dkk, Fiqih muamalah, h.253
14
d. Luzum (tidak berubah); Setiap akad yang dilakukan dengan tujuan yang
jelas dan perhitungan yang cermat, sehingga terhindar dari praktik
spekulasi atau maisir (undian atau perjudian).
k. Sebab yang halal; Tidak bertentangan dengan hukum atau tidak dilarang
oleh hukum serta tidak haram.
15
D. Permasalahan-permasalahan dalam ‘Ariyah
16
kurang seperti kacang. Tidak boleh dipergunakan untuk tanaman yang lebih
lama dari padi, kecuali kalau tidak ditentukan massanya, maka dia boleh
bertanam menurut kehendaknya.
8
Dr. Musthofa Dibulbigha, Fiqih Syafi’i, Terj. Al Tahdzib, CV. Bintang Pelajar, Surabaya: 1948
17
PENUTUP
Kesimpulan
Ariyah adalah memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada orang lain
untuk diambil manfaatnya dengan tidak merusakkan zatnya, sehingga barang
tersebut dapat dikembalikan. Dasar hukum ariyah menurut urf dapat diartikan
dengan dua cara yaitu secara hakekat dan secara majaz. Kita diperbolehkan
membayar pinjaman dengan yang lebih baik dari apa yang kita pinjam, tetapi
yang meminjamkan tidak boleh menerima lebih dari apa yang dipinjaminya itu
apabila dimaksudkan sebagai hadiah dari yang dipinjami.
Disamping itu kita juga boleh membayar pinjaman dengan barang hasil
pinjaman pula. Masing-masing golongan ulama mempunyai perbedaan
pendapat dalam mengartikan apakah ariyah itu tanggungan atau manfaat.
Ulama Hanafiyah syafi’iyah dan hanabilah berpendapat bahwa peminjam
harus menanggung kerusakan barang pinjamannya secara mutlak.
Manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan dan pertolongan saudaranya,
tidak ada seorang insan manusia yang memiliki segala sesuatu yang
dibutuhkan dalam kehidupan kehidupannya, al-‘Ariyah dan al-Qardh sudah
menjadi satu bagian dari kehidupan insan manusia di dunia.
18
DAFTAR PUSTAKA
Rais, Isnawati dan Hasanudin. 2011. Fiqh Muamalah dan Aplikasinya pada Lembaga
Keuangan Syariah, Cet.1, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah
Fay, D. L. 1967. Bentuk-Bentuk Akad Tabarru’ Dan Aplikasinya Di Lembaga Keuangan Syari’ah. In
Angewandte Chemie International Edition, 6(11), 951–952.
Jamaluddin. 2018. Konsekuensi Akad Al-Ariyah dalam Fiqh Muamalah Maliyah Perspektif Ulama
Madzahib Al-Arba’ah. Jurnal Qawanin, 2(2), 1–14.
Johan, A. 2018. Urgensi konsep al- ‘ariyah, al -qardh, dan al-hibah di indonesia.
Juni), 113–130
19