Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

“Ariyah dan qardh Dalam Fiqih Muamalah”


Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
FIQIH IBADAH DAN MUAMALAH
Dosen Pengampu: H.Suyud Arif,Drs.,M.Ag.

Disusun Oleh:
Kelas PAI Reguler B Semester 2
1. M Fathur Rozzaq Nurtri (221105011473)
2.Masagus Rizki Ramadhan(221105011449)

FAKULTAS AGAMA ISLAM


PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR
2023 M / 1444 H

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................................... 2


A. Latar Belakang ....................................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah ................................................................................................................. 4
C. Tujuan.................................................................................................................................... 4
A. Pengertian a. Al-‘Ariyah ......................................................................................................... 5
b. Pengertian al-Qardh ............................................................................................................... 6
B. Dasar Hukum......................................................................................................................... 7
a. Dasar Hukum al-‘Ariyah ......................................................................................................... 7
b. Dasar Hukum al-Qardh .......................................................................................................... 8
C. Pelaksanaan ‘Ariyah dan al-Qardh ........................................................................................ 8
a. Syarat dan rukun jual beli (‘Ariyah) ......................................................................................... 8
b. Pembayaran pinjaman dan tanggung jawab peminjam .........................................................12
c. Al-‘Ariyah dan al-Qardh dalam KHES ....................................................................................14
D. Permasalahan-permasalahan dalam ‘Ariyah ........................................................................16
1. Membayar pinjaman dengan yang lebih baik dari yang dipinjam ........................................16
2. Membayar pinjaman dengan hasil dari pinjaman................................................................16
3. Menerima hadiah dari orang uang dipinjami .......................................................................16
4. Mengambil manfaat barang yang dipinjam .........................................................................16
5. ‘Ariyah merupakan tanggungan atau amanat ........................................................................17
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................19

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. karena berkat rahmat-
Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Riba dalam Fiqh Muamalah”.
Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu agar pembaca dapat memperluas wawasan
mengenai turunan-turunan ilmu fiqh muamalah dalam hal riba, yang kami sajikan
berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber. Dan juga sebagai salah satuu syarat
dalam memenuhi nilai tugas Fiqh Ibadah dan Muamalah. Makalah ini dibuat atas
persetujuan Dosen Mata Kuliah Fiqh Ibadah dan Muamalah Program Studi Pendidikan
Agama Islam Universitas Ibnu Khaldun Bogor Tahun 2023.
Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada Dosen Mata Kuliah Fiqh Ibadah dan
Muamalah yang telah membimbing dan membantu kami baik selama kegiatan
penyusunan makalah hingga saat ini. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada
pihak-pihak yang turut membantu dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini terdapat banyak kekurangan dan jauh
dari kata sempurna, dan ini merupakan langkah yang baik dari pembelajaran yang
sesungguhnya. Oleh karena itu kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat
membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Demikian makalah Ariyah dan qardh dalam Fiqh Muamalah ini kami susun, atas
bimbingan dan dorongan, kami ucapkan terimakasih.

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hidup dimuka bumi ini, pasti selalu melakukan yang Namanya kegiatan
ekonomi dalam kehidupan sehari-hari atau bertransaksi dimana-mana untuk
menjalankan kehidupan. Saat ini banyak terjadi pertikaian ataupun kerusuhan di
masyarakat yang dikarenakan pinjam-meminjam dan hutang-piutang sehingga
tidak mengherankan apabila persoalan seperti ini menjadi persoalan setiap
masyarakat dan kerap sekali berujung ke meja hijau. Hal ini terjadi, karena ketidak
fahaman mereka akan hak dan kewajiban terhdap yang dipinjamkan.
Pinjam meminjam adalah membolehkan kepada orang lain mengambil
manfaat sesuatu yang halal untuk mengambil manfaatnya dengan tidak merusak
zatnya dan dikembalikan setelah diambil manfaatnya dalam keadaan tetap tidak
rusak zatnya. Siapa yang meminjam dialah yang bertanggung jawab atas barang
yang dipinjamnya itu baik yang berkenaan dengan penggantiannya bila rusak,
ataupun ongkos pengembaliannya. Menurut pendapat Imam Syafi’i bahwa
pinjaman yang hilang dalam pemakaiannya tidak wajib menggantinya, kecuali
kalau barang itu dipergunakan tidak menurut yang semestinya, untuk lebih
jelasnya akan kita bahas lebih jauh dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ‘Ariyah dan al-Qardh?
2. Apa dasar hukum ‘Ariyah dan al-Qardh?
3. Bagaimana pelaksanaan ‘Ariyah dan al-Qardh?
4. Apa saja permasalahan ‘Ariyah dan al-Qardh?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian ‘Ariyah dan al-Qardh?
2. Untuk mengetahui dasar hukum ‘Ariyah dan al-Qardh?
3. Untuk Mengetahui pelaksanaan ‘Ariyah dan al-Qardh?
4. Untuk mengetahui permasalahan ‘Ariyah dan al-Qardh?

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian a. Al-‘Ariyah

Al-‘ariyah secara etimologi (bahasa) ialah pinjaman sedangkan menurut


istilah dikalangan mazhab Hanafi adalah kepemilikan atas manfaat secara
cuma-cuma (tanpa diganti) sedangkan menurut kalangan mazhab Maliki ialah
memiliki manfaat dalam waktu tertentu tanpa imbalan, sementara menurut
kalangan mazhab Syafi’i adalah kebolehan mengambil manfaat dari seseorang
yang membebaskannya apa yang mungkin untuk dimanfaatkan serta tetap zat
barangnya supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya, dan terakhir
menurut mazhab kalangan Hanbali bahwa al-‘ariyah yaitu kebolehan
memanfaatkan suatu zat barang tanpa imbalan dari peminjam atau yang
lainnya.
Menurut sebagian pendapat, ariyah berasal dari kata At-Ta’aawun yang
sama artinya dengan At-Tanaawulu au At-Tanaasubu (saling menukar dan
mengganti), yakni dalam tradisi pinjam meminjam. Ariyah dimaksudkan untuk
mengambil manfaat dari suatu benda. Demikian pula menurut (Fay, 1967)
secara bahasa ‘ariyah artinya sesuatu yang dipinjam, pergi dan kembali atau
beredar. Sedangkan menurut termologi, menurut ulama fiqh al-Syarakhsy dan
ulama Malikiyah, ‘ariyah adalah “Pemilikan manfaat tanpa imbalan”.
Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, ‘ariyah didefinisikan“
Kebolehan memanfaatkan sesuatu tanpa imbalan. Jadi yang dimaksud dengan
al-‘ariyah adalah memberikan manfaat suatu barang dari seseorang kepada
orang lain secara cuma-cuma (gratis) bila digantikan dengan sesuatu atau ada
imbalannya, maka hal itu tidak dapat disebut al-‘ariyah. Dalam penelitian
(Jamaluddin, 2018) Al-ariyah berasal dari bahasa Arab yang berarti datang
atau pergi.
Menurut sebagian pendapat Al-ariyah artinya saling tukar menukar, yaitu
dalam tradisi pinjam-meminjam. Sedangkan menurut istilah dapat dikatakan Al-
ariyah adalah suatu kegiatan muamalah yang memberikan manfaat sesuatu
yang halal kepada orang lain untuk diambil manfaatnya, dengan tidak merusak
zatnya agar zatnya tetap dapat dikembalikan kepada pemiliknya. Menurut
(Johan, 2018) al‘ariyah adalah kebolehan mengambil manfaat barang barang
yang diberikan oleh pemiliknya kepada orang lain tanpa diganti maka apabila
harus diganti dengan sesuatu atau adanya suatu imbalan maka hal tersebut
tidak dapat dikatakan sebagai al-‘ariyah. Sedangkan al-qardh atau hutang-
piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman
5
kepada peminjam dengan pengembalian dikemudian hari sesuai perjanjian
dengan jumlah yang sama, apabila peminjam diberi pinjaman Rp. 1.000.000
(satu juta rupiah) maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan uang
sejumlah satu juta juga.

b. Pengertian al-Qardh
Al-qardh secara bahasa berasal dari kata al-qath’u yang berarti memotong1
maka harta yang diserahkan kepada orang yang berhutang disebut al- qardh
karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan hutang
kepada orang yang menerima utang.2 Sedangkan pengertian istilah al-qardh
menurut ulama mazhab Hanafi adalah harta yang diberikan seseorang dari
harta mitsli (yang memiliki perumpamaan) untuk kemudian dibayar atau
dikembalikan, sementara menurut kalangan mazhab Safi’i berpendapat bahwa
al-qardh adalah sesuatu yang diberikan kepada orang lain yang suatu saat
harus dikembalikan, lalu kalangan mazhab Hanbali berpendapat al-qardh
adalah memberikan harta kepada orang yang memanfaatkannya dan
kemudian mengembalikan penggantiannya. Dengan kata lain, bahwa al-qardh
atau hutang- piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik
pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian dikemudian hari
sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama, apabila peminjam diberi pinjaman
Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) maka di masa depan si peminjam akan
mengembalikan uang sejumlah satu juta juga.
Pengertian Qardh adalah bentuk masdar yang berarti memutus. Dikatakan
qaradhtu asy-syai’a bil-miqradh, aku memutus sesuatu dengan gunting. Jadi
Al-qardh dapat diartikan sebagai sesuatu yang diberikan oleh pemilik untuk
dibayar.
Menurut (Ghofur, 2015) Qardh adalah pemberian harta kepada orang lain
yang dapat ditagih atau diminta kembali tanpa mengharapkan imbalan. Dalam
fikih, akad ini dimasukkan dalam akad tolong menolong (ta’awwuni) dan
bukan komersial. Menurut (Fay, 1967) qardh, secara etimologi berarti al-
Qath’i (memotong). Harta yang dibayarkan kepada muqtarid (yang diajak
akad qardh) dinamakan qarad, sebab merupakan potongan dari harta muqrid
(pemilik barang). Secara terminologi, qardh adalah “Sesuatu yang diberikan
seseorang dari harta mitsil (yang memiliki perumpamaan) untuk memenuhi
kebutuhannya”. Sementara definisi Qardh menurut ulama Malikiyah adalah
“suatu penyerahan harta kepada orang lain yang tidak disertai iwadh
(imbalan) atau tambahan dalam pengembaliannya.”

1
Isnawati Rais dan Hasanudin, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya pada Lembaga Keuangan Syariah, Cet.1 (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011), hlm.149.
2
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 4 (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008), hlm. 181.

6
Akad Qardh, disebut juga akad pinjam-meminjam. Obyek yang pinjam
adalah uang (nuqud) atau harta mitsaliyat. Harta pinjaman dimanfaatkan oleh
peminjam, sedangkan harta peminjam dikembalikan/diganti dengan harta
yang sejenis (yang sama nilainya). (Jamaluddin, 2018) Menurut (Rahmi,
2014) Qaradh adalah memberikan harta kepada orang lain yang dapat ditagih
atau diminta kembali atau meminjamkan sesuatu tanpa mengharapkan
imbalan atau jika salah satu pihak meminjamkan suatu objek yang berbentuk
uang. Qaradh ditujukan kepada nasabah yang diperkirakan tidak mampu
mengembalikan dana beserta keuntungan. Oleh karena itu bank syariah
memberikan bantuan berupa qaradh, sehingga nasabah hanya berkewajiban
mengembalikan pokok hutangnya.
Al-qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih
atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa
mengharapkan imbalan. Oleh karena itu, dapat diartikan bahwa Al-qardh
merupakan memberikan (menghutangkan) harta kepada orang lain tanpa
mengharapkan imbalan, untuk dikembalikan dengan pengganti yang sama
dan dapat ditagih atau diminta kembali kapan saja penghutang menghendaki.

B. Dasar Hukum

a. Dasar Hukum al-‘Ariyah


Dasar hukum ariyah di dalam al qu’ran surah Al-Maidah ayat 2 yang artinya;

‫وتعا ونوا على البر والتقوى ول تعا ونوا على ال ثم والعدوان (الما ئدة‬٢ :

Dan tolong menolonglah kamu untuk berbuat kebaikan dan taqwa dan janganlah
kamu tolong menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan.” [Al-Maidah:2]
Perjanjian utang piutang, secara umum, merupakan bentuk perjanjian yang
berlangsung dengan nomenklatur perjanjian bernama. Disebut sebagai
perjanjian bernama karena perjanjian utang piutang merupakan perjanjian
yang secara khas diatur tersendiri dalam sebuah produk hukum tertentu. Di
Indonesia, misalnya, perjanjian utang piutang telah diatur secara tersendiri,
namun ia dikategorikan sebagai bagian dari perjanjian pinjam meminjam.
Pengaturan tentang perjanjian pinjam meminjam tersebut, terdapat pada Bab
Ketiga Belas Buku III Pasal 1754 BW, yang menyebutkan bahwa “pinjam
meminjam adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan
kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barangbarang yang menghabis
karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan
mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama
pula. (Sjaiful, 2018)

7
Kebolehan ‘ariyah dapat ditemukan dalam hadis yang diriwayatkan
Shafwan Ibnu Umayyah yaitu; “Bahwasanya Rasulullah SAW pada hari
Khaibar pernah meminjam perisai daripada Shafwan bin Umaiyah, lalu
berkata Shafwan kepada beliau: Apakah perisai ini diambil terus dari padaku,
wahai Muhammad!, Beliau menjawab: Tidak, tetapi hanya pinjaman yang
dijamin.” (Riwayat Abu Dawud dan Ahmad)” (Johan, 2018).

b. Dasar Hukum al-Qardh


Dalam penelitian (Johan, 2018) diperbolehkan hukum hutang- piutang pada
asalnya dalam syariat Islam bahkan orang yang memberikan hutang kepada
orang lain yang sangat membutuhkan adalah merupakan perbuatan yang
sangat disukai dan dianjurkan dalam Islam, oleh karena itu bagi orang yang
suka meminjamkan sesuatu kepada orang-orang yang mebutuhkan akan
diganjar (diberikan) pahala yang besar sebagaimana firman Allah SWT dalam
surah al-Baqarah ayat 245

ُ ‫ص‬
َ‫ط َواِلَي ِه تُر َجعُون‬ ُ ُۣ ‫ض َويَب‬ ُ ٰ ‫سنًا فَيُضٰ ِعفَه لَه اَضعَافًا َكثِي َرة ً ۗ َو‬
ُ ِ‫ّللا يَقب‬ َ ‫ّللا قَرضًا َح‬
َٰ ‫ض‬ ُ ‫َمن ذَا الَّذِي يُق ِر‬
Artinya
Barangsiapa meminjami Allah dengan pinjaman yang baik maka Allah
melipatgandakan ganti di sini dengan banyak. Allah menahan dan
melapangkan (rezeki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.

” (Johan, 2018) Akad Al-qardh diperbolehkan dalam Islam dengan tujuan


meringankan (menolong) orang lain. Hal ini didasarkan firman Allah SWT
dalam QS Al-Hadiid ayat 11,

‫سنًا فَيُضٰ ِعفَه لَه َولَه اَجر ك َِريم‬


َ ‫ّللا قَرضًا َح‬
َٰ ‫ض‬ ُ ‫َمن ذَا الَّذِي يُق ِر‬
artinya “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang
baik, maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya,
dan Dia akan memperoleh pahala yang banyak. (Aprianto, 2018).

C. Pelaksanaan ‘Ariyah dan al-Qardh

a. Syarat dan rukun jual beli (‘Ariyah)

Menurut Ulama‟ Hanafiyah, rukun ‟ariyah terdiri dari ijab dan qabul. Ijab
Qabul tidak wajib diucapkan, tetapi cukup dengan menyerahkan pemilik
kepada peminjam barang yang dipinjam, namun demikian juga boleh ijab
qobul tersebut disampaikan.

8
Adapun menurut jumhur ulama‟ dalam akad „ariyah harus terdapat
beberapa unsur (rukun), sebagai berikut:

1. Mu‟ir (orang yang memberikan pinjaman), dengan syarat:

a. Inisiatif sendiri bukan paksaan

b. Dianggap sah amal baiknya, bukan dari golongan anak kecil, orang gila,
budak mukatab tanpa ijin tuannya dan bukan dari orang yang
mengalokasikannya terbatasi dengan sebab bangkrut atau tidak ada
kecakapan dalam mengelola harta.

c. Memiliki manfaat barang yang dipinjamkan meskipun tidak mempunyai


hak pada barang semisal dengan menyewanya bukan dengan hasil
pinjaman dari orang lain karena manfaat barang yang dipinjam bukan
menjadi haknya melainkan diperkenankan untuk memanfaatkannya.
2. Musta‟ir (orang yang mendapatkan pinjaman), dengan syarat
a. Telah ditentukan, maka tidak sah akad „ariyah pada salah satu dari dua
musta‟ir yang tidak ditentukan.

b. Bebas dalam megalokasikan harta benda, maka tidak sah dari anak
kecil, orang gila atau orang yang mengalokasikannya terbatasi dengan
sebab tidak memiliki kecakapan dalam mengelola harta kecuali melalui
sebab tidak memiliki kecakapan dalam mengelola harta kecuali melalui
wali masingmasing.
3. Mu‟ar (barang yang dipinjamkan) dengan syarat:
a. Manfaatnya sesuai dengan yang dimaksud dari benda tersebut. Maka
tidak sah akad „ariyah pada koin emas atau perak dengan maksud
untuk dijadikan sebagai hiasan, karena pada dasarnya manfaat dari
koin tersebut bukan untuk hiasan.
b. Musta‟ir dapat mengambil kemanfaatan mu‟ar atau sesuatu yang
dihasilkan darinya seperti meminjam kambing untuk diambil susu dan
anaknya atau meminjam pohon untuk diambil buahnya. Maka tidak sah
akad „ariyah pada barang yang tidak dapat dimanfaatkan seperti
keledai yang lumpuh.

9
c. Manfaat mu‟ar adalah manfaat yang diperbolehkan, maka tidak sah
akad „ariyah pada barang yang manfaatnya tidak diperbolehkan seperti
manfaat alat musik.
d. Mu‟ar dimanfaatkan dengan membiarkannya tetap dalam kondisi utuh.
Maka tidak sah akad „ariyah pada makanan untuk dikonsumsi atau
pada sabun untuk mandi karena pemanfaat tersebut dapat
menghabiskan barang yang dipinjamkan.

Adapun syarat-syarat „ariyah berikut dengan rukun yang telah


dikemukakan di atas, yaitu orang yang meminjamkan, barang yang
dipinjamkan, dan sighat.3
1. Syarat-syarat orang yang meminjamkan

Orang yang meminjmamkan disyaratkan harus memiliki kecakapan


untuk melakukan tabarru‟ (pemberian tanpa imbalan), meliputi:
a. Baligh. „Ariyah tidak sah dari anak yang masih di bawah umur, tetpi
ulama‟ Hanafiyah tidak memasukkan baligh sebagi syarat „ariyah,
melainkan cukup mumayyiz.
b. Berakal. „Ariyah tidak sah apabila dilakukan oleh orang gila.
c. Tidak mahjur „alaih karena boros atau pailit. Maka tidak sah „ariyah
yang dilakukan oleh orang yang mahjur „alaih, yakni orang yang
dihalangi tasarruf-nya.

d. Orang yang meminjamkan harus pemilik atas manfaat yang akan


dipinjamkan. Dalam hal ini tidak perlu memiliki bendanya karen objek
„ariyah adalah manfaat, bukan benda.

2. Syarat-syarat orang yang meminjam

3
Ahmad Wardi Mukhlish, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Sinar Grafika offset, 2010), hal. 471

10
Orang yang meminjam harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:4

a. Orang yang meminjam harus jelas. Apabila peminjam tidak jelas


(majhul), maka „ariyah hukumnya tidak sah.

b. Orang yang meminjam harus memiiki hak tasarruf atau memiliki


ahliyatul ada‟. Dengan demikian, meminjamkan barang kepada anak
di bawah umur, dan gila hukumnya tidak sah. Akan tetapi, apabila
peminjam boros, maka menurut qaul yang rajih dalam madzab
syafi‟i, ia dibolehkan menerima sendiri „ariyah tanpa persetujuan
wali.

3. Syarat-syarat barang yang dipinjam

Barang yang dipinjam harus memenuhi syarat sebagai berikut :

a. Barang tersebut bisa diambil manfaatnya, baik pada waktu sekarag


maupun nanti. Dengan demikian, barang yang tidak bisa diambil
manfaatnya, seperti mobil yang mogok , tidak boleh dipinjamkan.
Manfaat yang diperoleh peminjam ada dua macam, yaitu:

1. Manfaat murni yang bukan benda, seperti menempati rumah,


mengendarai mobil, dan semacamnya.

2. Manfaat yang diambil dari benda yng dipinjam, seperti susu


kambing, buah dari pohon, dan semacamnya
Apabila seseorang meminjam seekor kambinguntuk diambil
susunya, atau menam pohon durian untuk diambil buhnya, maka
dalam hal ini „ariyah hukumnya sah menurut pendapat yang
mu‟tamad.
B. Barang yang dipinjamkan harus berupa barang mubah, yakni
barang yang dibolehkan untuk diambil manfaatnya menurut syara‟.
Apabila barang tersebut diharamkan maka „ariyah hukumnya tidak sah.
Barang yang dipinjamkan apabila diambil manfaatnya tetap utuh.

4
Ahmad Wardi Mukhlish, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Sinar Grafika offset, 2010), hal. 471-472

11
Dengan demikian, tidak sah meminjamkan makanan dan minuman,
sudah pasti akan habis.

4. Shighat, dengan syarat:


ungkap yang dapat menunjukkan adanya izin untuk memanfaatkan
barang yang dipinjamkan seperti ungkapan “aku pinjamkan
kepadamu”. Atau ungkapan yang dapat menunjukkan adanya
permohonan untuk meminjamkan barang seperti ungkapan
“pinjamkan kepadaku“ dengan disertai ungkapan atau tindakan dari
lawan bicaranya.

b. Pembayaran pinjaman dan tanggung jawab peminjam

Setiap orang yang meminjam sesuatu pada orang lain berarti peminjam
memiliki utang kepada yang berpiutang. Setiap utang wajib di bayar sehingga
berdosalah seseorang yang tidak mau membayar utang, bahkan melalaikan
pembayaran utang juga termasuk perbuatan aniaya.5
Adapun melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman diperbolehkan, asal saja
kelebihan itu merupakan kemauan dari yang berutang semata. Hal ini menjadi nilai
kebaikan bagi yang membayar utang, Rasulullah SAW pernah berutang hewan,
kemudian beliau membayar hewan itu dengan lebih besar dan tua umurnya dari hewan
yang beliau pinjam Dalam hadits,
“Orang yang paling baik di antara kamu ialah orang yang dapat membayar utangnya
dengan lebih baik.” Jika penambahan dalam peminjaman tersebut dikehendaki oleh
orang yang dihutangi atau telah menjadi perjanjian dalam akad perutangan, maka
penambahan tersebut adalah riba.
Selanjutnya sejauh mana tanggung jawab peminjam dalam masalah “ariyah in.
Para ulama figih bersepakat bahwa akad ariyah bersifat tolong menolong, akan tetapi
mengenai masalah apakah akad “ariyah ituu bersifat amanah di tangan peminjam,
sehingga ia tidak boleh dituntut ganti rugi apaagi barang itu rusak. Dalam hal mi ulama
berbeda pendapat.

5
Abdul Rahman, dkk, Fiqih Muamalat, h. 250

12
Menurut Hanafiyah, ariyah di tangan pemimjam bersifat amanah. Oleh karena
itu, peminjam tidak dikenakan ganti rugi terhadap kerusakan barang yang bukan
disebabkan oleh perbuatannya. Akan tetapi apabila kerusakan tersebut disengaja
maka ia dikenakan .ganti rugi akan ariyah yang semula bersifat amanah dapat berubah
menjadi akad yang dikenakan ganti rugi, dalam hal ini sebagai berikut:

a. Apabila barang itu secara sengaja dimusnahkan atau dirusak

b. Apabila barang itu tidak dipelihara sama sekali

c. Apabila pemanfaatan barang pinjaman tidak sesuai dengan adat yang


berlaku

d. Apabila pihak peminjam melakukan sesuatu yang berbeda dengan syarat


yang ditentukan sejak semula dalam akad

Sedangkan ulama Hanabilah berpendapat bahwa 'ariyah adalah akad yang


mempunyai resiko ganti rugi, baik dsebabkan okh pemmjam atau hal hal lain. Okh
sebab itu, apabila barang tersebut rusak atau hilang, baik disebabkan pemanfaatan
barang itu oleh peminjam maupun sebab sebab lainnya di luar jangkauan peminjam,
maka menurut Hanabilah pihak meminjam wajib membayar ganti rugi semenjak
barang tersebut rusak.
Menurut ulama Syafi'iyah, apabia kerusakan barang disebabkan oleh
pemanfaatan yang tidak disetujui pemilik barang, maka pemmjam dikenai ganti rugi
Akan tetapi apabila kerusakan itu terjadi dalam batas pemanfaatan yang diizinkan
pemiliknya, maka peminjam itu tidak dikenakan ganti rugi “Orang yang mengambil
barang orang lain bertanggung jawab atas risikonya sampai ia mengembalikannya."
(H.R. Ahmad dan Hakim)
Pendapat lain datang dari ulama Malikiyah yang menyatakan bahwa apabila
barang yang dipinjamkan itu dapat disembunyikan seperti pakaian, perhiasan, dan
alat alat lainya, lalu peminjam mengatakan bahwa barang tersebut hilang atau rusak,
sedangkan ia tidak dapat membuktikannya, maka ia dikenakan ganti rugi Akan tetapi
apabila dapat membuktikannya, ia tidak dikenakan ganti rugi Selanjutnya, apabila
barang yang dipinjam itu termasuk jenis yang tidak dapat disembunyikan, seperti
rumah, tanah, dan kendaraan, kemudian barang tersebut rusak ketika dimanfaatkan,
maka ia tidak wajib mengganti rugi Alasan mereka adalah sabda Rasulullah saw.
Sebagai berikut: “Pihak peminjam yang tidak bersifat khianat tidak dikenakan ganti
rugi." (Hadis Abu Dawud dan Hakim)

13
Untuk mempedomani nilai-nilai yang terkandung dalam ayat ayat a-Quran dan
hadits, ada beberapa hal yang menjadi penekanan dalam '“ariyah mengenai tata
karma yang terkait di dalamnya, di antaranya:6

A. Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar kebutuhan yang mendesak, disertai


dengan niat dalam hati akan membayar mengembalikannya di kalua mempunyai
uang .
B. Pihak peminjam berniat memberi pertolongan kepada pihak berhutang.

C. Pihak yang meminjam bila sudah mampu membayar bendaknya dipercepat


dalam pembayaran.

D. Ketika mengembalikan pinjaman hendaknya mengembalikan sesuai dengan


kualitas dan kuantitas barang yang dipinjam.7

c. Al-‘Ariyah dan al-Qardh dalam KHES

Dalam pasal 18 disebutkan bahwa akad al- ‘ariyah, al-qardh, dan al-hibah
termasuk salah satu cara memperoleh harta. Selain al-‘ariyah dan al-qardh
dalam pasal 21 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah lebih lanjut dijelaskan bahwa
agar cara memperoleh harta tersebut dapat dilegal (sah) dalam pandangan
ajaran Islam, maka akad-akad tersebut harus sesuai dengan asas-asas sebagai
berikut :
a. Ikhtiyari (sukarela); Setiap akad yang dilakukan adalah atas kehendak para
pihak, harus terhindar dari segala bentuk keterpaksaan misalnya karena
tekanan salah satu pihak atau pihak lain.

b. Amanah (menepati janji); Setiap akad wajib dilaksanakan oleh para pihak
sesuai dengan kesepakan yang telah ditetapkan oleh yang bersangkutan
dan pada saat yang sama terhindar dari cidera-janji.

c. Ikhtiyati (kehati-hatian); Setiap akad dilakukan dengan penuh pertimbangan


yang matang (mantap) dan harus dilaksanakan secara tepat dan cermat.

6
Sohari Sahrani & Ru’fah Abdullah, Fiqih muammalah, hal.145
7
Abdul Rahman dkk, Fiqih muamalah, h.253

14
d. Luzum (tidak berubah); Setiap akad yang dilakukan dengan tujuan yang
jelas dan perhitungan yang cermat, sehingga terhindar dari praktik
spekulasi atau maisir (undian atau perjudian).

e. Saling menguntungkan; Setiap akad dilakukan untuk memenuhi


kepentingan para pihak sehingga tercegah dari praktik manipulasi
(penipuan) sehingga tidak merugikan salah satu pihak.

f. Taswiyah (kesetaraan): Para pihak dalam setiap akad harus memiliki


kedudukan yang setara serta harus memiliki hak dan kewajiban yang
seimbang.

g. Transparansi; Setiap akad harus dilakukan dengan pertanggungjawaban


para pihak secara terbuka.

h. Kemampuan; Setiap akad dilakukan sesuai dengan kemampuan para pihak


sehingga tidak menjadi beban yang berlebihan bagi yang bersangkutan.

i. Taisir (kemudahan); Setiap akad dilakukan dengan cara saling memberi


kemudahan kepada masing-masing pihak untuk dapat melaksanakannya
sesuai dengan kesepakatan.

j. Itikad baik; Akad dilakukan dalam rangka menegakan kemaslahatan


sehingga tidak mengandung unsur-unsur jebakan dan perbuatan-
perbuatan buruk lainnya.

k. Sebab yang halal; Tidak bertentangan dengan hukum atau tidak dilarang
oleh hukum serta tidak haram.

15
D. Permasalahan-permasalahan dalam ‘Ariyah

1. Membayar pinjaman dengan yang lebih baik dari yang dipinjam


Bagi peminjam diperbolehkan membayar dengan barang yang lebih baik
dari apa yang dipinjamnya. Karena sebaik-baiknya orang yang meminjam
adalah orang yang membayar dengan lebih dari apa yang dipinjamnya.
Di dalam hadits nabi disebutkan bahwa:
“Dan dari Jabir, ia berkata: Aku pernah datang ke tempat Nabi s.a.w, sedang
Nabi s.a.w mempunyai pinjaman kepadaku, kemudian ia membayarku dan
menambah kepadaku”.
Dengan melihat hadits di atas, maka semakin jelaslah bahwa Nabi-pun
melakukan hal yang sama yaitu mengembalikan dengan melebihi apa yang
dipinjamnya.

2. Membayar pinjaman dengan hasil dari pinjaman


Apabila ada orang yang membayar pinjaman itu dengan hasil dari
meminjam juga, tidak dilarang, semua itu sah-sah saja. Yang penting tidak
merugikan kedua belah pihak. Dahulu Nabi juga pernah melakukan hal itu
ketika ada seseorang yang menagih hutang kepadanya, ia menyuruh seorang
utusan agar menemui Khaulah binti Qaid, kemudian utusan itupun berkata
kepada Khaulah: jika engkau mempunyai tamar, pinjamilah kami sehingga
tamar kami nanti berbuah maka kami akan bayar.

3. Menerima hadiah dari orang uang dipinjami


Bagi orang yang meminjamkan sesuatu kepada orang lain kemudian
pada saat mengembalikannya orang yang dipinjami tersebut memberikan
hadiah, maka sebaiknya kita tidak menerimanya karena hal itu bisa saja
sebagai suap supaya kita melakukan sesuatu. Kecuali kalau hal itu memang
telah menjadi kebiasaan antara orang yang meminjami dengan orang yang
dipinjami sebelum itu.

4. Mengambil manfaat barang yang dipinjam


Yang meminjam boleh mengambil manfaat dari barang yang
dipinjamnya hanya sekedar menurut izin dari yang punya, atau kurang dari
yang diizinkan. Umpama dia meminjam tanah untuk menanam padi, dia
diperbolehkan menanam padi dan yang sama umurnya dengan padi atau yang

16
kurang seperti kacang. Tidak boleh dipergunakan untuk tanaman yang lebih
lama dari padi, kecuali kalau tidak ditentukan massanya, maka dia boleh
bertanam menurut kehendaknya.

5. ‘Ariyah merupakan tanggungan atau amanat


Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa barang pinjaman itu merupakan
amanat bagi peminjam baik dipakai atau tidak. Dengan demikian dia tidak
menanggung barang tersebut jika terjadi kerusakan, seperti juga dalam sewa-
menyewa atau barang titipan kecuali bila kerusakan tersebut disengaja atau
disebabkan kelalaian. Ulama syafi’iyah berpendapat bahwa peminjam
menanggung harga barang bila terjadi kerusakan dan bila ia menggunakannya
tidak sesuai dengan izin yang diberikan pemilik walaupun tanpa disengaja.
Tetapi apabila barang tersebut digunakan sesuai dengan izin pemilik,
peminjam tidak menanggungnya ketika terjadi kerusakan.8
Ulama Hanabilah menyatakan jika barang yang dipinjam adalah benda
wakaf, seperti buku-buku ilmiah atau barang wakaf lainnya, kemudian rusak
tanpa disengaja, maka ia tidak harus menanggung kerusakannya sebab tujuan
peminjaman barang itu dituujukan untuk kemaslahatan.

8
Dr. Musthofa Dibulbigha, Fiqih Syafi’i, Terj. Al Tahdzib, CV. Bintang Pelajar, Surabaya: 1948

17
PENUTUP
Kesimpulan

Ariyah adalah memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada orang lain
untuk diambil manfaatnya dengan tidak merusakkan zatnya, sehingga barang
tersebut dapat dikembalikan. Dasar hukum ariyah menurut urf dapat diartikan
dengan dua cara yaitu secara hakekat dan secara majaz. Kita diperbolehkan
membayar pinjaman dengan yang lebih baik dari apa yang kita pinjam, tetapi
yang meminjamkan tidak boleh menerima lebih dari apa yang dipinjaminya itu
apabila dimaksudkan sebagai hadiah dari yang dipinjami.
Disamping itu kita juga boleh membayar pinjaman dengan barang hasil
pinjaman pula. Masing-masing golongan ulama mempunyai perbedaan
pendapat dalam mengartikan apakah ariyah itu tanggungan atau manfaat.
Ulama Hanafiyah syafi’iyah dan hanabilah berpendapat bahwa peminjam
harus menanggung kerusakan barang pinjamannya secara mutlak.
Manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan dan pertolongan saudaranya,
tidak ada seorang insan manusia yang memiliki segala sesuatu yang
dibutuhkan dalam kehidupan kehidupannya, al-‘Ariyah dan al-Qardh sudah
menjadi satu bagian dari kehidupan insan manusia di dunia.

18
DAFTAR PUSTAKA

Rais, Isnawati dan Hasanudin. 2011. Fiqh Muamalah dan Aplikasinya pada Lembaga
Keuangan Syariah, Cet.1, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah

Sabiq, Sayyid.2008. Fiqh Sunnah, Jilid 4, Jakarta: Pena Pundi Aksara

Fay, D. L. 1967. Bentuk-Bentuk Akad Tabarru’ Dan Aplikasinya Di Lembaga Keuangan Syari’ah. In
Angewandte Chemie International Edition, 6(11), 951–952.
Jamaluddin. 2018. Konsekuensi Akad Al-Ariyah dalam Fiqh Muamalah Maliyah Perspektif Ulama
Madzahib Al-Arba’ah. Jurnal Qawanin, 2(2), 1–14.

Johan, A. 2018. Urgensi konsep al- ‘ariyah, al -qardh, dan al-hibah di indonesia.

Yurisprudentia Hukum Ekonomi, 4(2), 166–181.

Rahmi. 2014. Aplikasi Akad-Akad Muamalah Pada Bank Syariah. ALHURRIYAH:

Jurnal Hukum Islam, 15(1), 89–102.


http://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/index.php/alhurriyah/article/view/612
Sjaiful, M. 2018. Karakteristik Perjanjian Hutang Piutang Perspektif Syariah.

Aprianto, N. E. K. 2018. Implementasi Bentuk-bentuk Akad Bernama dalam Lembaga


Keuangan Syariah. Islamiconomic: Jurrnal Ekonomi Islam, 9(No.1 Januari-

Juni), 113–130

Idris, Ahmad. 1969. Fiqh Syafi’i. Widjaya;Jakarta.

Dr. Syafe’I, Achmad. 2000. Fiqih Mu’amalah. Pustaka Setia:Bandung.

H. Sulaiman, Rasjid. 2000. Fiqih Islam. Sinar Baru Algesindo:Bandung.

Dr. Syafi’I, Rachmat MA. 2001. Fiqih Mu’amalah. Pustaka Setia:Bandung

19

Anda mungkin juga menyukai