FAKULTAS TARBIYAH
Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin, Segala puji bagi Allah SWT yang telah menunjukkan
kepada kami jalan Islam ini. Tidaklah kami mendapat petunjuk seandainya Allah tidak memberi
petunjuk kepada kami.
Sholawat beserta salam semoga tetap tercurah kepada Rosulullah Muhammad bin
Abdullah yang diutus oleh Allah untuk membawa Syari’at yang tegak, lurus dan luas, yang
dasar-dasarnya mudah bagi manusia dan menghilangkan kesulitan mereka, yang tujuannya untuk
kemaslahatan dan keadilan manusia. Dan kepada keluarga dan sahabatnya yang meneruskan
menjaga syariatnya, memberi petunjuk kepada umatnya, dan mereka menyempurnakan
cahayanya serta mengajak pada petunjuknya.
Terima kasih pula kami sampaikan kepada dosen yang telah memberikan kesempatan pada
kami untuk menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul ARIYAH ini tepat waktu. Kami
menyadari dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu
kami memohon kritik dan saran yang membangun bagi para pembaca agar tercipta makalah yang
lebih baik lagi kedepannya. Dan kami memohon kepada Allah SWT agar makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................I
DAFTAR ISI..........................................................................................II
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...........................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................1
C. Tujuan Pembahasan ...................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
Pengertian ariyah........................................................................2
Hukum ariyah ............................................................................3
Syarat dan rukun ariyah .............................................................4
KESIMPULAN......................................................................................5
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sebagaimana yang kita ketahui, Islam adalah agama yang paling sempurna, agama
keselamatan, yang dari padanya telah sempurna segala ketentuan yang menjadi rambu-rambu
dalam menjalani kehidupan. Bagi yang ingin selamat dunia akhirat maka ia harus taat pada
semua rambu dan tunduk pada segala ketentuan. Oleh karena itu dalam kehidupan sehari-hari,
praktek berislam harus kita-kita laksanakan dalam berbagai aspek, termasuk dalam urusan
minjam-meminjam. (Ariyah)
Sebagaimana yang kita lihat kondisi zaman semakin lama semakin tidak teratur, antara
yang boleh dan yang dilarang sudah semakin samar, yang halal dan yang haram semakin tipis.
Ditambah lagi dengan manusianya yang menyepelekan hal-hal yang sudah ada aturannya dan
menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang ia inginkan, seperti meminjam tanpa
izin pemiliknya, dst. Maka dari itu kita sebagai muslim yang taat terhadap ketentuan agama
islam harus memperhatikan hal-hal yang sudah ditetapkan oleh agama kita dan tidak
menyepelekan peraturan-peraturan agama.
Seperti kita ketahui, dalam ketentuan Ariyah ada beberapa hal yang harus diperhatikan
diantaranya Al-Muir dan Al-Mustair adalah orang yang berakal dan dapat bertindak atas nama
hokum, tidak diperkenankan orang yang hilang akal melakukan akad ‘Ariyah, barang yang
dipinjam bukan bukan jenis barang yang apabila dimanfaatkan akan habis atau musnah, seperti
makanan, minumana. Jadi hanya diperbolehkan meminjam barang yang utuh dan tidak musnah,
contohnya buku atau barang lain yang dapat dimanfaatkan oleh peminjam.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian ariyah
2. Hukum ariyah
3. Syarat dan rukun ariyah
C. TUJUAN MASALAH
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian ariyah
Menurut bahasa ‘ariyah berarti pinjaman. Menurut istilah artinya adalah mengambil
manfaat barang kepunyaan orang lain secara halal dengan jangka waktu tertentu untuk
dikembalikan lagi tanpa mengurangi atau merusak zatnya. Ariyah juga berasal dari kata i’arah
yang berarti meminjamkan. Dalam istilah ilmu fiqih, para ulama mendefinisikan ‘ariyah dengan
dua definisi yang berbeda.
“Menyerahkan kepemilikan manfaat (suatu benda) dalam waktu tertentu tanpa imbalan.”
1
As-sarakhsi,al-mabsuth,hal,133//11,ibnu al-humam.takmilah syarh fath al-qadir,hal 467/7.
2
Ibnu juzai,alqawwani al-fiqqihyyah,hal,320,ad-dardir asy-syarh ash-shaghir,hal570/3.
3
Asy-sarbini,mughni al-muhtaj,hal,263/2.
4
Ibnu qudamah, al-mughni, hal,220/5.
5
Ibnu hazm,al-muhalla,h/al,164/9.
“Izin menggunakan barang yang halal dimanfaatkan, di mana barang tersebut tetap dengan
wujudnya tanpa disertai imbalan.” Masing-masing dari kedua definisi di atas menghasilkan
konsekuensi hukum yang berbeda. Hanfiyyah dan Malikiyyah menganggap bahwa ariyah adalah
penyerahan kepemilikan hak guna suatu benda dalam jangka waktu tertentu. Itu artinya,
peminjam barang selama jangka waktu pinjaman berhak untuk meminjamkan atau menyewakan
barang pinjamannya kepada pihak lain tanpa seizin pemilik barang. sebab dia dianggap memiliki
hak guna barang tersebut.
Sedangkan Syafi’iyyah, Hanabilah dan Zahiriyyah memandang bahwa ‘ariyah hanya sebatas
memberi izin untuk menggunakan barang, bukan memiliki hak guna barang tersebut. Sehingga
peminjam tidak boleh meminjamkan atau menyewakan kepada pihak lain tanpa seizin dari
pemilik barang.
Definisi ‘ariyah yang dikemukaan oleh para ulama adalah sebagai berikut:
1. Ulama Hanafiah: Menurut syara’ ‘ariyah adalah kepemilikan atas manfaat tanpa disertai
dengan imbalan.
2. Ulama Malikiyah : Sesungguhnya ‘ariyah itu adalah kepemilikan atas manfaat yang bersifat
sementara tanpa disertai dengan imbalan.
3. Ulama Syafi’iyah : Hakikat ‘ariyah menurut syara’ adalah dibolehkannya mengambil manfaat
dari orang yang berhak memberikan secara sukarela dengan cara-cara pemanfaatan yang
dibolehkan sedangkan bendanya masih tetap utuh, untuk kemudian dikembalikan kepada orang
yang memberikannya.
4. Ulama Hanbaliyah : I’arah adalah kebolehan memanfaatkan suatu barang tanpa imbalan dari
orang yang memberi pinjaman atau lainnya.
B. Hukum ariyah
Ariyah atau pinjam-meminjam hukumnya bisa berubah tergantung pada kondisi yang
menyertainya. Meminjamkan barang hukumnya sunnah jika peminjam (musta’ir) merasakan
manfaat dari pinjaman tersebut dan tidak menimbulkan mudarat bagi pemilik barang (mu’ir).
Ditambah, peminjam tidak menggunakan pinjamannya untuk tujuan maksiat atau hal-hal yang
makruh.
Meminjamkan barang juga bisa menjadi wajib, jika peminjam dalam keadaan darurat
sedangkan pemilik barang tidak mendapatkan kemudaratan jika meminjamkannya. Contohnya,
pada saat cuaca dingin ada orang yang telanjang, atau hanya memakai pakaian seadanya
sehingga merasakan kedinginan. Maka, jika ada orang yang bisa meminjamkan baju untuknya
hukumnya menjadi wajib karena orang tersebut bisa saja meninggal atau terkena penyakit
seandainya tidak dipinjami baju.
Menurut ulama’ hanafiyah, rukun ariyah adalah ijab dan qobul.sedangkan menurut
jumhur ulama’ termasuk syafi’iyah, rukun ariyah adalah :
a. Baligh
b. Beraka
c. Bukan orang yang boros atau pelit
6
Lihat: al-lubab,hal.201/1,hasyiyah al-syarqawi,hal.91/2.
d. Orang yang meminjamkan harus pemilik atas barang yang manfaat
B. Syarat-syarat orang yang meminjam
a. Orang yang meminjam harus jelas
b. Orang yang meminjam harus memiliki hak nafkah
Suatu barang menjadi sah untuk dipinjamkan sebagai ‘ariyah, jika memenuhi dua syarat
berikut:Pertama, barang tersebut bisa diambil manfaatnya tanpa harus memusnahkan atau
menghabiskannya. Tidak sah disebut sebagai ‘ariyah jika yang dipinjamkan adalah barang yang
habis pakai seperti makanan, sabun, lilin dan sebagainya. Meminjamkan barang yang habis pakai
disebut dengan qardh.Kedua, barang yang dipinjamkan merupakan barang yang halal untuk
dimanfaatkan dan tidak digunakan untuk tujuan yang diharamkan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Menurut bahasa ‘ariyah berarti pinjaman. Menurut istilah artinya adalah mengambil
manfaat barang kepunyaan orang lain secara halal dengan jangka waktu tertentu untuk
dikembalikan lagi tanpa mengurangi atau merusak zatnya. Kemudian untuk terciptanya proses
‘ariyah, terdapat beberapa rukun yang harus ada didalamnya, yaitu orang yang meminjamkan,
orang yang meminjam, shighat, serta barang yang dipinjamkan. Tidak sampai kepada rukun saja,
ada beberapa syarat yang harus disanggupi demi terwujudnya proses ariyah yang benar, yaitu
orang-orang yang meminjamkan sesuatu harus memiliki kemampuan tabarru’ (pemberian tanpa
imbalan), yang meliputi: Baligh, berakal, bukan orang yang boros atau pailit, dan orang yang
meminjamkan harus pemilik atas barang yang manfaat akan dipinjamkan. Selanjutnya yaitu
orang yang meminjam harus jelas dan orang yang meminjam harus memiliki hak nafkah atau
memiliki wali yang memiliki sumber nafkah. Tak kalah penting, barang yang dipinjamkan
memiliki kriteria syarat yaitu barang tersebut bisa diambil manfaatnya, baik pada waktu sekarang
maupun nanti, barang yang dipinjamkan apabila diambil menfaatnya tetap utuh, barang yang
dipinjamkan harus berupa barang yang mubah, yakni barang yang diperbolehkan untuk diambil
manfaatnya menurut syara’ bukan barang yang diharamkan. Maka sudah jelaslah perbedaan
antara qardh dan ariyah yang dimana qardh adalah pemberian barang yang dipinjamkan ke orang
lain dan dikembalikan dengan jenis yang serupa, terjadi pemindahan kepemilikan. Sedangakan
ariyah tidak terjadi pemindahan kepemilikan, yang dikembalikan barang yang dipakai.
DAFTAR PUSTAKA
al-lubab,hal.201/1,hasyiyah al-syarqawi,hal.91/2.
Hendi Suhendi. FIQH MUAMALAH, PT Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2011, hlm. 93.
Ibnu hazm,al-muhalla,h/al,164/9.