Anda di halaman 1dari 13

HUBUNGAN DAN NEGARA DALAM HUBUNGAN

NU

DISUSUN UNTUK MEMENUHI MATKUL ASWAJA

DOSEN PENGAMPU:

Dr.KH.Abd.Hamid Amirullah M.Pd.I

AHMAD FAWAID (2103805091052)

RISKA DWI APRILIA (2103805091043)

DESI SAFIRATUS SAIDAH (2103805091044)

RAHMAT TRI PAKSI (2103805091018)

NABILA (2103805091029)

DINDA TRI RAHAYU (2103805091032)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH

UNIVERSITAS ISLAM JEMBER

TAHUN AKADEMIK 2021/2022

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kami karunia nikmat dan
kesehatan, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini, dan terus dapat menimba ilmu di
Universitas Islam Jember. Sekaligus pula kita menyampaikan rasa terimakasih yang sebanyak-
banyaknya untuk bpk Dr.KH.Abd.Hamid Amirullah M.Pd.I selaku dosen mata kuliah ASWAJA
yang telah menyerahkan kepercayaan kepada kami guna menyelesaikan dengan tepat waktu.

Adapun tujuan kami membuat makalah ini adalah untuk menambah wawasan dan
pengetahuan pada mata kuliah yang sedang dipelajari, agar kami menjadi mahasiswa yang
berguna bagi agama, bangsa dan negara. kami juga berharap dengan sungguh-sungguh supaya
makalah ini mampu berguna serta bermanfaat dalam meningkatkan pengetahuan sekaligus
wawasan terkait Nahdlatul ulama

Dengan tersusunnya makalah ini kami menyadari masih banyak terdapat kekurangan dan
kelemahan, demi kesempurnaan makalah ini kami sangat berharap perbaikan, kritik dan saran
yang sifatnya membangun apabila terdapat kesalahan. Demikian, semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi saya sendiri umumnya para pembaca makalah ini.

2
home

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.............................................................................................................. I

KATA PENGANTAR........................................................................................................... II

DAFTAR ISI.......................................................................................................................... III

BAB 1 PENDAHULUAN.....................................................................................................4

1. LATAR BELAKANG....................................................................................4

2. RUMUSAN MASALAH................................................................................5

3. TUJUAN PEMBAHASAN............................................................................5

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................6

4. Keterlibatan NU dalam kemerdekaan negara..........................................6

5. NU Memandang hubungan agama dan negara........................................8

6. Pandangan NU terhadap pancasila...........................................................10

BAB III.................................................................................................................................12

PENUTUP............................................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................12

3
BAB 1

PENDAHULUAN

1.Latar Belakang

Nahdlatul Ulama (NU) sejak kelahirannya merupakan wadah perjuangan untuk


menentang segala bentuk penjajahan dan merebut kemerdekaan negara Republik Indonesia dari
penjajah Belanda dan Jepang, sekaligus aktif melakukan dakwah-dakwahnya untuk senantiasa
menjaga kesatuan negara Republik Indonesia dalam wadah NKRI. Bagaimana NU dalam
peranannya yang begitu besar dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, mempertahankan
keutuhan NKRI dapat dilihat atas latar belakang lahirnya ormas terbesar di dunia Nahdlatul
Ulama (NU). Kerangka berpikir NU yang sangat nasionalis dalam membela negara Indonesia
bahkan ditemukan jauh sebelum kemerdekaan. Dalam Muktamar ke-11 di Banjarmasin, 9 Juni
1935, NU telah memberikan status hukum negara Indonesia yang saat itu masih dikuasai oleh
Pemerintah Penjajah Belanda dengan “Darul Islam” (negeri Islam). Argumentasinya adalah
meskipun saat itu Indonesia masih dikuasai oleh penjajahan Belanda, tetapi dalam sejarahnya
Nusantara pernah dikuasai sepenuhnya oleh orang Islam dan orang Islam dapat secara bebas
menjalankan syari‟at keagamaannya. Dengan ini mempertahankan keberadaan Indonesia dan
mengisinya dengan persatuan-kesatuan, kedamaian, kerukunan, dan lebih-lebih
keadilankemanusiaan menjadi sangat penting bagi Nahdlatul Ulama. Perjuangan yang dilakukan
oleh Nahdlatul Ulama (NU) dengan upaya yang kuat menggerakan para ulama, santri dan
umatnya untuk bangkit menghimpun kekuatan melawan pemerintahan asing yang dianggap
kafir, merupakan bukti sejarah yang tidak dapat dipungkiri. Bahkan menurut hitungan rasional
kemerdekaan negara Indonesia ini tidak akan pernah terwujud, mengingat rakyat Indoneisa pada
saat itu merupakan rakyat yang miskin, serba kekurangan, untuk makan saja masih sulit akibat
kejamnya penjajahan, demikian juga minimnya persenjataan yang dimiliki oleh pasukan dan
relawan pejuang rakyat kita, apabila dibandingkan dengan persenjataan yang dimiliki oleh
penjajah Belanda. Akan tetapi berkat motivasi para ulama kita termasuknya adalah ulama NU

4
yang berupaya mentranspormasi gerakan-gerakan yang bersifat spontanitas kepada mekanik atau
organik dari doa dan wirid-wirid yang diberikan oleh ulama-ulama NU (bisa berupa asmā’, ḥizb,
dhikir, ṣalawāt dan lain sebagainya) menjadi sebuah sugesti besar pensakralan dan kekuatan
besar untuk melawan peperangan melawan penjajah inilah yg disebut adu mekanik.

2. RUMUSAN MASALAH
a. Mengapa NU terlibat dalam kemerdekaan
b. Hubungan NU dan negara
c. Bagaimana pandangan NU terhadap pancasila

3. TUJUAN PEMBAHASAN
a. Untuk mengetahui pergerakan NU dalam kemerdekaan
b. Untuk mengetahui hubungan NU dan negara
c. Untuk mengetahui pandangan NU terhadap pancasila

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. KETERLIBATAN NU DALAM KEMERDEKAAN


Keterlibatan Ulama NU dalam Mengusir Penjajah Belanda sebagai bangsa yang
paling lama menguasai bangsa Indonesia yang sudah melakukan banyak kebijakan-kebijakan
yang sangat merugikan rakyat Indonesia. Sikap kolonial Belanda telah menumbuhkan benih-
benih ketidakpuasan bangsa Indonesia sehingga para pemuka agama menghimpun kekuatan
melalui dunia pesantren diantaranya adalah Nahdlatul Ulama (NU). Ditambah adanya beberapa
program kristenisasi yang digalakkan oleh penjajah Belanda di bumi nusantara ini menjadikan
Nahdlatul Ulama bangkit menghimpun laskar-laskar kekuatan (ḥizbullāh) untuk melawan
penjahan Belanda yang dianggap kafir dan dhalim. NU dengan segala kekuatan yang ada pada
tingkat komunitas masyarakatnya secara menyeluruh memberikan pengaruh yang mengakibatkan
munculnya kelompok baru yang disebut ulama dan santri, yang kemudian karena kekuatan NU
ini semakin lama semakin kuat, maka oleh penjajah Belanda ingin dijauhkan dari pengaruh
politiknya.Menurut beberapa pendapat para ahli, pandangan dan cara hidup Islam yang
memunculkan ulama dengan pesantrennya, dinyatakan tidak hanya dengan mengadakan
perubahan sosial saja, tetapi lebih cenderung menumbuhkan revolusi sosial sebagai perubahan
yang radikal dan meluas yang berdasar pada perubahan sikap mental. Arus perubahan seperti ini
pada gilirannya mendapatkan tantangan baru, yakni adanya agresi perdagangan dan agama yang
dilancarkan oleh imperialis Barat. Menjawab tantangan ini, para ulama bekerja keras untuk
membina santri-santrinya agar memiliki sikap combative spirit (semangat siap tempur).
Pesantren yang tadinya merupakan lembaga pendidikan, bertambah fungsinya sebagai tempat
kegiatan membina pasukan sukarela yang akan disumbangkan untuk mempertahankan agama,
bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Thomas Stamford Raffles, peran
kelompok ulama yang strategis ini bukanlah hasil dari voting (pemilihan suara) atau dari
pengaruh karisma raja, tetapi lahir dari perkembangan Islam itu sendiri yang memandang ulama
sebagai kelompok intelektual Islam, dan tampaknya telah menjadi watak dasar bangsa Indonesia
yang selalu mengangkat kalangan berilmu sebagai pemimpinnya. Kehadiran ulama dalam

6
masyarakat telah diterima sebagai pelopor pembaharuan, dan pengaruh ulama pun semakin
mendalam setelah berhasil membina pesantren. Eksistensi ulama jangan dilihat hanya sekedar
sebagai pembina pesantren saja, akan tetapi peranannya dalam sejarah perjuangan bangsa cukup
inovatif. Sekalipun banyak penulis sejarah yang menyingkirkan peran para ulama dalam
karyanya, namun Raffles menuliskan betapa besar peranan ulama dalam menunjang para Sultan
melawan Belanda. Menurutnya, “ulama merupakan kelompok intelektual yang sangat kuat dan
membahayakan di tangan penguasa-penguasa pribumi dalam rangka melawan penjajahan
Belanda dan kelompok ulama senantiasa aktif menggerakkan perjuangan dan memberikan spirit
untuk melakukan pemberontakan pada penjajah Belanda”. Kelanjutan dari pengaruh ulama yang
demikian luas tersebut tidak hanya terbatas di bidang politik dan militer saja, melainkan meluas
juga terhadap ekonomi yang telah meninggalkan bekas-bekasnya baik berupa aktivitas
perdagangan, tukar menukar barang ekonomi, kegiatan perniagaan lain yang produktivitasnya
untuk menopang perekonomian keluarga dan perjuangan agama. Pasar tidak hanya merupakan
kegiatan jual beli barang dagangan, tetapi juga dijadikan arena dakwah, sehingga kegiatan pasar
sangat dipengaruhi oleh hari-hari besar Islam. Jadi, Islam sebagai agama yang disebarkan di
Indonesia oleh para ulama, memiliki peran yang positif dalam menunjang kegiatan-kegiatan
sosial, politik dan kegiatan perekonomian dan perdagangan. Peran ulama dalam perjuangan
kemerdekaan negara Republik Indonesia tidak hanya sebagai pengobar semangat santri dan
masyarakatnya, akan tetapi juga bertujuan “mempengaruhi” pemerintah agar segera menentukan
sikap melawan kekuatan asing yang ingin menggagalkan kemerdekaan negara Republik
Indonesia. Jauh sebelumnya, yaitu masa pendudukan Jepang, kaum ulama dan santrinya sudah
bersiap-siap menyusun kekuatan. Laskar Ḥizbullāh (Tentara Allah) dan Sabīlillāh (Jalan Allah)
didirikan menjelang akhir pemerintahan Jepang, dan mendapat latihan kemiliteran di Cibarusah,
sebuah desa di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Laskar Ḥizbullāh berada di bawah komando
spiritual KH. Hasyim Asy’ari dan secara militer dipimpin oleh KH. Zaenul Arifin. Adapun laskar
Sabīlillāh dipimpin oleh KH. Masykur, dia adalah pemuda pesantren dan anggota Ansor NU
(ANU) sebagai pemasok paling besar dalam keanggotaan Ḥizbullāh. Peran kiai dan santri dalam
perang kemerdekaan ternyata tidak hanya dalam laskar Ḥizbullāh dan Sabīlillāh saja, tetapi
banyak diantara mereka yang menjadi anggota tentara PETA (Pembela Tanah Air). lahirnya
“Resolusi Jihad” tidak terlepas dari peran Ḥizbullāh, peran mereka nyata terlihat setelah
berkumpulnya para kiai se-Jawa dan Madura di kantor ANO (Ansor Nahdlatul Oelama) pada

7
tanggal 21 Oktober 1945. Setelah rapat darurat sehari semalam, maka pada 22 Oktober
dideklarasikan seruan jihad fī sabīlillāh yang belakangan dikenal dengan istilah “Resolusi Jihad”,
ketika NU melihat ancaman terhadap negara yang sudah menyatakan proklamasi
kemerdekaannya, dan sudah mempunyai konstitusinya sendiri (UUD 1945), maka pada tanggal
22 Oktober 1945, organisasi ini mengeluarkan sebuah “Resolusi Jihad”. Sedangkan tokoh ulama
NU yang memprakarsai “Resolusi Jihad” ini adalah KH. Hasyim Asy’ari (1875-1947 M), KH.
Wahab Hasbullah (1888-1971 M), Kiai Bisri Syansuri (1886-1980 M) dan Kiai Abbad Buntet
(1879-1946 M).Ketika NU melihat ancaman terhadap negara yang sudah menyatakan proklamasi
kemerdekaannya, dan sudah mempunyai konstitusinya sendiri (UUD 1945), maka pada tanggal
22 Oktober 1945, organisasi ini mengeluarkan sebuah “Resolusi Jihad”. Namun, sebelumnya NU
mengirim surat resmi kepada pemerintah yang berbunyi: ”Memohon dengan sangat kepada
pemerintah Indonesia supaya menentukan sikap dan tindakan yang nyata serta sepadan terhadap
tiap-tiap usaha yang akan membahayakan kemerdekaan agama dan negara Indonesia, terutama
terhadap Belanda dan kaki tangannya. Supaya pemerintah melanjutkan perjuangan yang bersifat
fī sabīlillāh untuk tegaknya Negara Republik Indonesia yang merdeka dan beragama Islam.”1

B. NU MEMANDANG HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA


Menurut Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad
Ishomuddin, Indonesia adalah rumah besar bersama untuk setiap warga negara yang memiliki
identitas yang berbeda-beda, baik identitas suku, ras, maupun agama. Menyikapi hal tersebut,
Nahdlatul Ulama sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia terus berupaya dan
senantiasa hadir berkontribusi di tengah-tengah masyarakat dengan berbagai fatwanya yang
moderat. Menurutnya, Nahdlatul Ulama memandang keberagaman agama sebagai sebuah entitas
kekayaan bangsa. Bangsa Indonesia harus meletakkan hak dan kewajiban non-muslim sejajar
dengan apa yang dimiliki oleh umat Isam, serta menghilangkan tanda mayoritas dan minoritas
sebagai bentuk solidaritas antar warga negara. Salah satu penjagaan Nahdlatul Ulama dalam
konteks kewarganegaraan di antaranya sepakat dengan tidak digunakannya kata kafir. Kata yang
berkonotasi negatif ini, diganti dengan non-muslim. “Empat model kafir yang terdapat dalam

1 Diantara motif pendirian NU adalah untuk mempertahankan paham Ahlu al-Sunnah wal alJamā’ah. NU lahir
untuk membentengi umat Islam khususnya di Indonesia agar tetap teguh pada ajaran Nahdlatul Ulama (NU) dan
Kontribusinya dalam Memperjuangkan Kemerdekaan.

8
kitab empat madzhab yakni al-Hanafiyah, as-Syafiiyyah, al-Malikiyyah, serta al-Hanabillah
sudah tidak relevan dengan konteks keindonesiaan. Oleh karena itu untuk konteks kehidupan
bernegara empat kategori kafir itu dianggap hanya teori belaka,” jelas Kiai muda asal Lampung
ini. Ia menegaskan bahwa merubah istilah kafir dengan non-muslim dalam konteks
kewarganegaraan merupakan sebuah terobosan teologi yang modern dan moderat. Hal ini akan
mampu mendorong masyarakat untuk saling menghargai perbedaan beragama dalam hal-hal
yang dapat disepakati, serta menjunjung tinggi nilai toleransi terhadap hal-hal yang menyangkut
akidah. “Terhadap sesama orang yang beragama Islam dapat dikatakan: ‘Bagi kami amalan kami
dan bagimu amalanmu’. Adapun dengan non-muslim: ‘Bagimu agamamu dan bagiku agamaku’.
Kita tetap dapat bekerjasama dalam hal yang bisa dikerjasamakan dan tetap toleransi terhadap
hal-hal yang memang tidak mungkin untuk menyepakati, terutama dalam hal keyakinan masing-
masing,” lanjutnya.
Bangsa Indonesia diharapkan dapat hidup rukun dan dapat melakukan interaksi antar
agama tanpa adanya rasa saling curiga. Mengedepankan sisi kemanusiaan demi menjaga
persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tetap memegang teguh
akidah masing-masing. Dalam diskusi seminar intern yang disampaikan oleh Prof. Dr. M.
Hisyam, MA, atau biasa disapa pak Hisyam mengemukakan bahwa, “hubungan antara agama
dan negara itu sudah terdapat dalam konsep din wa daulah. Namun, maksud daulah di sini bukan
terbatas diartikan sebagai negara semata, melainkan lebih pada pengaturan kehidupan sosial,
politik, dunia, dan akhirat.Karena itu, dalam bahasa Inggris daulah lebih cocok diartikan
sebagai sovereign (kedaulatan) ketimbang sebagai negara”. Selain itu, “konsep din wa
daulah sebenarnya adalah jalan tengah dalam praktek Islam dan negara di Indonesia yang sudah
menjalankan tiga dinamika aspirasi dalam perjalanan sejarahnya, yaitu;
1) negara Islam yang dipraktikkan oleh Natsir tetapi dengan jalan demokrasi;
2) bukan negara sekuler, melainkan Pancasila, indikasi dari hal tersebut dengan berdirinya
lembaga-lembaga keagamaan di Indonesia, salah satunya adalah Departemen Agama;
3) adanya upaya berdirinya negara sekuler, yang memisahkan antara agama dan negara. Namun,
di antara tiga aspirasi tersebut, pilihan kedua tampaknya lebih diminati oleh sebagian masyarakat
Indonesia”.
Dalam seminar intern yang dimoderatori oleh Dr. Najib Burhani, pak Hisyam
berpendapat bahwa NU selalu melandaskan sikap politiknya dengan berdasarkan pada fiqh,

9
khususnya kitab kuning. Penggunaan logika fiqh ini tercermin dalam konteks sejarah di
Indonesia, yaitu hubungan NU dengan kolonial Belanda, Pancasila, dan juga pemberian NU
untuk gelar Walyiyul Amri Dhlouri bis-Syaukah kepada Presiden Soekarno pada tahun 1954.
Dalam konteks kolonial Belanda, NU berpendapat kondisi yang mereka hadapi statusnya saat itu
adalah darul islam. Maksudnya, meskipun mereka dipimpin oleh orang non muslim tetapi
mereka wajib untuk membela negara apabila terjadi serangan dari luar. Ini tercermin dalam
keputusan kongres NU di Banjarmasin pada tahun 1936. Meskipun, dalam relasi dengan Belanda
selanjutnya, NU mengeluarkan fatwa Jihad sebagai bentuk perlawanan pada 22 Oktober 1945.
Sementara itu, penerimaan NU, yang diwakilkan oleh KH. Wahid Hasyim dan KH. Masykur
dalam BPUPKI untuk menerima Pancasila sebagai landasan negara adalah bentuk perjuangan
usaha menjaga keutuhan Indonesia agar tidak pecah belah.
Diakui oleh Pak Hisyam, logika fiqh dalam NU tidak hanya digunakan untuk membangun
kemaslahatan umat dan agama, tetapi juga digunakan untuk politik. Hal ini tercermin dengan
dukungan “mati-matian” kepada Abdurahman Wahid untuk tetap duduk di kursi presiden,
meskipun secara fiqh kedudukannya tidak syah, di mana seorang kepala negara haruslah seorang
yang sehat jasmani dan rohani. Hal ini kemudian dikuatkan dengan dikeluarkannya fatwa bughot
sebagai dukungan politik kepada Abdurahman Wahid bagi mereka yang menentang dan
menjatuhkannya.2

3. PANDANGAN NU TERHADAP PANCASILA


Mengenai Pandangan Terhadap Pancasila,NU Telah Menegaskan Pandangan Yang Jelas
Dan Jernih Yang Tercantum Dalam ” Deklarasi` Hubungan Pancasila Dan Islam` , Sebagai
mana hasil Keputusan Munas alim Ulama Nahdlatul Ulama Tahun 1983 Di Situbondo Sebagai
Berikut

1. Pancasila Sebagai Dasar Dan Fasafah Negara Republik Indonesia Adalah Prinsip
Fundamental Namun Bukan Agama, Tidak Dapat Menggantikan Agama Dan Tidak Di
Pergunakan Untuk Menggantikan Kedudukan Agama

2 https://pmb.brin.go.id/memperbincangkan-kembali-hubungan-nu-dengan-negara/

10
2. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa Sebagai Dasar Negara Menurut Pasal 29 Ayat ( 1 ) UUD
1945 Yang Menjiwai Sila-Sila Yang Lain Mencerminkan Tauhid Menurut Pengertian Keimanan
Dalam Islam

3. Bagi Nahdlatul Ulama, Islam Adalah Aqidah Dan Syari`ah Yang Meliputi Aspek Hubungan
Manusia dengan Allah Dan Hubungan Antar Manusia

4. Penerimaan Dan Pengalaman Pancasila Merupakan Perwujudan Dan Upaya Umat Islam
Indonesia Untuk Menjalakan Kewajiban Agamanya.

5. Sebagai Konsekuensi Dari Sikap Tersebut Di Atas NU Berkewajiban Mengamankan


Pengertian Yang Benar Tentang Pancasila Dan Pengamalan Yang Murni Dan Konsekuen Oleh
Semua Pihak.

11
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN:
Nahdlatul Ulama (NU) pimpinan Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari sangat menjunjung tinggi nilai-nilai
kebangsaan, nasionalisme yang berdasar atas syaria’at Islam alā Ahlu al-sunnah wal al-jamā’ah. Sebelum negara
Republik Indonesia merdeka, para pemuda di berbagai daerah mendirikan organisasi bersifat kedaerahan, seperti
Jong Cilebes, Pemuda Betawi, Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumatera, dan sebagainya, akan tetapi Kiai-Kiai NU
justru mendirikan organisasi pemuda bersifat nasionalis. Dari rahim NU juga lahir laskar-laskar perjuangan fisik, di
kalangan pemuda muncul laskar-laskar ḥizbullāh (Tentara Allah) dengan panglimanya KH. Zainul Arifin seorang
pemuda kelahiran Barus Sumatera Utara 1909, dan di kalangan orang tua sabīlillāh (Jalan menuju Allah) yang di
komandoi oleh KH. Masykur. Perjuangan jihad laskar-laskar Nahdlatul Ulama (NU) dalam mengusir penjajah
Belanda sebenarnya adalah tuntunan ajaran agama Islam yang harus dilaksanakan setiap umat-Nya sebagai bentuk
manivestasi rasa syukur terhadap Allah SWT yang maha kuasa. Jihad yang dilakukan oleh laskar-laskar Nahdlatul
Ulama (NU) ialah jihad membela tanah air, sebagai bentuk cinta tanah air (ḥubb alwaṭan) yang dimaknai sebagai
jihad fī sabīlillāh. Karena upaya mempertahankan dan menegakkan negara Republik Indonesia dalam pandangan
hukum Islam merupakan bagian dari kewajiban agama yang harus dijalankan umat Islam. Jihad sebagai satu amalan
besar dan penting dalam Islam dengan keutamaannya yang sangat banyak sekali tentunya menjadi kewajiban
seorang muslim untuk melaksanakanya bila suatu saat diserang oleh orang kafir.

DAFTAR PUSTAKA

Anam, Choirul, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, Surabaya: Bisma Satu Press, 1998.
Adnan, M. Mas’ud, Resolusi Jihad dalam Peristiwa 10 November, Surabaya: Jawa Pos, 1999.
https://www.nu.or.id/post/read/103224/tentang-non-muslim-bukan-kafir

12
13

Anda mungkin juga menyukai