Kelompok 1
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2020/2021
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur atas kehadirat Allah swt. atas berkat limpahan rahmat dan
hidayah-Nya telah memberikan kesempatan kepada kelompok kami untuk menyelesaikan
makalah ini dengan tepat waktu tanpa adanya kendala sehingga diskusi kelompok kami
berjalan dengan lancar. Tak lupa pula kita senantiasa mengirimkan shalawat dan salam
kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah menjadi khuswatun hasanah untuk bagi seluruh
umat Islam.
Makalah “Kehidupan Beragama / Kerukunan Antar Umat Beragama di Era Reformasi ”ini
disusun dengan maksud untuk memenuhi tugas dari dosen pada mata kuliah Pancasila pada
prodi ilmu keperawatan Universitas Hasanuddin. Selain itu, kami para penulis juga berharap
agar makalah ini dapat menambah wawasan terkait kebutuhan cairan dan elektrolit bagi
pembaca terutama kami selaku penyusun makalah ini.
Kami selaku penyusun makalah masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami
mengharapkan bimbingan dari Bapak selaku dosen kami agar dapat membina kami
kedepannya. Kami juga memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kekurangan dalam
makalah ini karena kami hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan.
Kelompok 1
ii
DAFTAR ISI
SAMPUL HALAMAN..................................................................................................... i
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................ 1
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Oleh karena itu, untuk mewujudkan kerukunan kehidupan antar umat beragama yang
sejati, harus tercipta satu konsep hidup bernegara yang mengikat semua anggota kelompok
sosial yang berbeda agama guna menghindari “ledakan konflik antarumat beragama yang
terjadi tiba-tiba” yang masih terjadi di Era Reformasi saat ini. Maka dari itu, tulisan ini akan
mengupas tentang pentingnya menciptakan kerukunan antar umat beragama di lingkungan
masyarakat Indonesia.
1
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep kehidupan beragama/kerukunan antar umat beragama di era
reformasi?
2. Bagaimana realita kehidupan beragama/kerukunan antar umat beragama di era
reformasi?
3. Bagaimana masalah kehidupan beragama/kerukunan antar umat beragama di era
reformasi?
4. Apa solusi yang dapat dilakukan pada masalah kehidupan beragama/kerukunan antar
umat beragama di era reformasi?
2
BAB II
PEMBAHASAN
Kerukunan dan toleransi antar umat beragama dalam membangun keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Seluruh umat beragama harus memberikan kontribusi
yang nyata bagi pembangunan nasional yang dilaksanakan bangsa Indonesia.Nilai-nilai
religius harus dapat memberikan motivasi positif dan menjadi arah tujuan dalam seluruh
kegiatan pembangunan di Indonesia. Persatuan dan kerjasama antar umat beragama mutlak
diperlukan. Namun adalah soal hubungan antarumat beragama adalah soal yang sangat peka.
Banyak kejadianyang kadang-kadang mengarah kepada permusuhan dan penghancuran asset
nasional disebabkan isu yang dikaikan dengan hubungan antaragama (di samping unsur
lainnya yang sering disebut SARA,suku,agama, rasa dan antar golongan),walaupun
sebenarnya setiap umat agama mengajarkan kerukunan antar manusia dan antarumat
beragama. Dalam rangka pembinaan dan pemeliharaan kerukunan hidup umat beragama,
3
sejak beberapa tahun yang lalu Departemen Agama mengembangkan pendekatan
tigakerukunan (Trilogi Kerukunan) yaitu : Kerukunan Intern Umat Beragama, Kerukunan
Antarumat Beragama dan Kerukunan Antarumat Beragama dengan Pemerintah. Kerukunan
antara umat beragama dengan pemerintah sangat diperlukan bagiterciptanya stabilitas
nasional dalam rangka pembangunan bangsa.Kerukunan ini harus didukung oleh kerukunan
antar umat beragama dan kerukunan intern umat beragama. Kerukunan yang dimaksud bukan
sekedar terciptanya keadaan dimana tidak adapertentangan intern umat beragama,
pertentangan antarumat beragama atau antar umat beragama dengan pemerintah. Kerukunan
yang dikehendaki adalah suatu kondisi terciptanya hubungan yang harmonis dan kerjasama
yang nyata, dengan tetap menghargai adanya perbedaan antarumat beragama dan kebebasan
untuk menjalankan agama yang diyakininya, tanpa menggangu kebebasan penganut agama
lain. Jadi “kerukunan yang kita cita-citakan bukanlah sekedar “rukun-rukunan” melainkan
suatu kerukunan yang benar-benar otentik dan dinamis (Suparman Usman, 2007 : 58-
59).Dalam pandangan Weinata Sairin, dengan kerukunan otentik dimaksudkan bukanlah
kerukunan yang diusahakan hanya oleh karena alasan-alasan praktis, pragmatis dan
situasional. Tapi semangat kerukunan yang benar-benar keluar dari hati yang tulus danmurni,
karena ia didorong oleh sesuatu keyakinan imaniah yang dalam sebagai perwujudan dari
ajaran agama yang diyakini (PPKHB, 1979 : 39).Sedangkan kerukunan dinamis dimaksudkan
bukan sekedar kerukunan yang berdasarkan kesediaan untuk menerima eksistensi yang lain
dalam suasana hidup bersama tapi tanpa saling menyapa. Melainkan kerukunan yang
didorong oleh kesadaran bahwa, walaupun berbeda, semua kelompok agama mempunyai
tugas dan tanggungjawab bersama yang satu, yaitu mengusakan kesejahteraan lahir dan
bathin yang sebesar-besarnya bagi semua orang (bukan hanya umatnya sendiri). Karena itu
mestinya bekerjasama, bukan hanya sama-sama bekerja.
4
persatuan dan kesatuan bangsa. Kondisi ini ada gilirannya akan sangat bermanfaat bagi
pelaksanaan pembangunan untuk meningkatkanseluruh umat beragama di Indonesia.Tugas
mewujudkan kerukunan hidup antarumat beragama di Indonesia adalah tugas bersama
seluruh umat beragama di Indonesia dan pemerintah. Setiap individu dan kelompok umat
beragama dalam kesehariannya selalu terlibat dan berhubungan satusama yang lain dalam
berbagai kepentingan, perlu memahami secara benar dan tepatakan arti kerukunan hidup
umat beragama, bagi kepentingan mereka. Nampaknya, amatlah jelas bagaimana kita mesti
bekerja sama dengan penganut agama non-Islam. Dengan semanagat kerja sama, tanpa
menghilangkan dan mengurangi bobot kualitas iman kita, jalinan antarumat beragama
menjadi sangat penting terutama dalam rangka memperkokoh integritas bangsa.
Salah satu semangat reformasi yang paling kuat adalah kebebasan berpendapat bagi
semua pihak. Perangkat-perangkat sosial-politik dibuat sedemikian rupa untuk mengubah
situasi totalitarian di masa orde baru ke kondisi yang lebih egaliter. Kesadaran akan
perbedaan dan masyarakat yang multikultural bergaung dengan kuat. Seiring dengan lahirnya
periode reformasi yang diwarnai konflik antar etnis dan agama di beberapa wilayah di
5
Indonesia, ditambah kompleksitas permasalahan kerukunan, maka fokus yang dikembangkan
oleh kemenag kemudian adalah teologi kerukunan multikultural. Hal itu dimulai oleh menteri
agama Tolchah Hasan dan Said Agil Husin Almunawar. Dalam konteks tersebut kerukunan
umat beragama lebih diarahkan pada perwujudan rasa kemanusiaan dengan kebijakan
“pengembangan wawasan multikultural” serta dengan pendekatan yang bersifat “bottom up”.
Jika konsep agree disagreement (Mukti Ali) lebih berorientasi kepada pengakuan akan
perbedaan (toleransi), maka pada era reformasi idealnya berorientasi pada komunikasi dan
kerjasama yang tulus antar pemeluk agama. Dalam kaitan ini dikembangkan wawasan
multikultural pada segenap unsur dan lapisan masyarakat yang hasilnya kelak diharapkan
terwujud masyarakat yang mempunyai kesadaran tidak saja mau mengakui perbedaan, tetapi
mampu hidup saling menghargai, menghormati secara tulus, komunikatif dan terbuka, tidak
saling curiga, memberi tempat terhadap keragaman, tradisi, adat maupun budaya, dan yang
paling utama adalah berkembang sikap tolong menolong sebagai perwujudan rasa
kemanusiaan yang dalam dari ajaran masing-masing agama (melampaui toleransi).
Hubungan yang mengglobal dan intensif menyadarkan akan pentingnya sebuah wawasan
tentang bagaiaman hidup berdampingan dalam masyarakat yang beragam, dengan tidak saja
bersikap toleran akan perbedaan, tetapi juga bisa berbagi kesadaran yang tulus dan
bekerjasama dalam suasana saling memperkuat iman masing-masing. Perhatian kemenag saat
periode reformasi pada praktik dialog antaragama yang lebih mambumi (dibanding pada
masa orde baru) ditunjukkan dalam upayanya menangani kerawanan konflik agama dengan
lebih melibatkan masyarakat. sesuai dengan semangat otonomisasi pada masa kepemimpinan
menteri agama Maftuh Basyuni pada tahun 2006, ditetapkan peraturan bersama antara
Kemenag dan Kemendagri No. 8 dan 9, yaitu tentang kewenangan daerah dalam
pemeliharaan kerukunan umat beragama, serta pemberdayaan Forum kerukunan antar umat
beragama, dan pendirian rumah ibadat. Dalam perspektif yang lebih multikultural, pemberian
porsi yang lebih besar kepada pemerintah dan masyarakat daerah dalam menangani program
kerukunan umat beragama sangatlah relevan untuk membeda kan orde reformasi dari orde
baru.
Berbagai problem kehidupan umat beragama di era reformasi tampak terjadi di mana-
mana yang muncul dari berbagai aspek kehidupan di antaranya: Aspek ideologi, pada aspek
ini umat beragama tampaknya tetap menjadikan Pancasila sebagai ideologi bangsa, namun
selalu memandang bahwa ideologi seperti itu tidak mampu lagi mempersatukan umat. Hal itu
disebabkan adanya semangat kebebasan mereka untuk menuntut haknya masing-masing,
6
karena selama Orde Baru sebagian umat beragama merasa tertekan sehingga mereka
mengklaim Pancasila tidak mampu lagi mempersatukan, padahal bukan Pancasilanya tetapi
oknum yang salah memahami Pancasila.
Bidang politik, Problema yang dihadapi umat beragama pada aspek ini di era
reformasi menuntut mereka untuk bebas berpolitik demi kepentingan umat beragama masing-
masing. Hal ini ditandai oleh adanya kebebasan tak terkendali dari setiap umat beragama
yang merasa tertekan selama Orde Baru, seperti pembentukan partai yang mengatasnamakan
agama, keadilan dan kebangsaan serta pembangunan tempat ibadah sekarang tidak bisa lagi
melarang dengan memberikan ketentuan dalam pembangunan tempat ibadah itu. Sejalan
dengan itu, Pendeta I Nyoman Mamura menyatakan problema umat beragama di era
reformasi sangat dipengaruhi oleh aspek ekonomi. Kendala praktis yang dihadapi umat
beragama pada era reformasi pada aspek ekonomi ini adalah adanya kesenjangan ekonomi di
antara mereka, masih adanya eksploitasi dari sebagian umat beragama terhadap agama lain,
sehingga umat beragama yang merasa dieksploitir itu mulai bebas untuk menuntut keadilan di
antara mereka, akibatnya terjadilah tuntutan kebebasan masing-masing di antara mereka yang
tidak mengenal kebebasan yang lain. Begitu pula menurut Pdt. Julius Mujaw yang
mengatakan bahwa problema umat beragama sekarang dapat dilihat dari berbagai aspek
diantaranya adalah aspek hukum. Pada aspek ini tidak adanya penegakan supremasi hukum
yang jelas di era reformasi ini, sehingga membuat sebagian umat beragama tidak mau lagi
takut dan memperhatikan batas-batas hukum negara dalam berbuat. Hal ini sangat dipengarhi
oleh para hakim dan jaksa yang tidak lagi menengakkan keadilan. Oleh karena itu, faktor
terpenting menentukan keberhasilan penegakan kerukunan hidup antar umat beragama adalah
menengakkan supremasi hukum. Melihat berbagai problema umat beragama di era reformasi
7
ini ada baiknya merujuk apa yang dikatakan oleh Alwi Shihab. Menurutnya salah satu cara
untuk mendapatkan hubungan toleransi antar umat beragama dalam rangka menuju cita-cita
masyarakat Indonesia madani adalah meningkatkan dialog keterbukaan antar agama. Dialog
tersebut tidak dibenarkan meyentuhkan pada masalah teologi doktrinal, karena akan
menghasilkan jalan buntu. Oleh karena itu, sangat cocok pada batas yang konstruktif dalam
menangani masalah sosial yang dinilai menyimpang dari nilai universal kedua agama itu
(Islam – Kristen). Di samping itu, diperlukan etika global dalam rangka dialog antar agama,
etika tersebut memiliki tujuan untuk menjunjung tinggi nilai moral suatu agama terhadap
agama lain agar dapat hidup bermasyarakat yang Pancasilais. Hans Kueng seorang Jerman
mengatakan bahwa berkaitan dengan kurangnya keterbukaan dalam dialog antar umat
beragama, dunia kini telah menghadapi situasi sekarat. Alasannya karena nilai perdamaian
diabaikan, ekosistem telah disalahgunakan, harmonisasi sosial telah terkikis bahkan agresi
dan kebencian yang mengatasnamakan agama telah ditumbuhsuburkan.
Oleh karena itu, untuk mencapai cita-cita yang dimaksud, diharapkan para elit politik
dan pemuka agama atau tokoh agama masing-masing agama serta masyarakat umumnya
mengamalkan agama yang dianutnya. Dalam hal ini pengamalan keagamaan dalam bentuk
hidup bermasyarakat berdasar pada asas toleransi. Dengan demikian, menghadapi masyarakat
yang plural di Indonesia dewasa ini sedapat mungkin para tokoh agama mengajarkan dan
menyadarkan kepada para penganutnya untuk memahami agama dan merealisasikan ajaran
agama sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Tuhan bukan berdasarkan pada kemauan
ciptaan-Nya.
8
kekeliruan dalam memahami teks-teks keagamaan, dan masuknya kepentingan di luar
kepentingan agama. Padahal, adanya konflik antar umatberagama merugikan semua pihak,
yakni sesama pemeluk agama, maupun pemerintah. Adanya konflik jugaberdampak pada
semua aspek kehidupan. Misalnya, stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, dan
perkembangan sosial budaya akan terganggu. Dan juga berpengaruh pada psikis
masyarakat yang terkena konflik.Mereka berada pada suasana ketidakpastian, ketakutan
dan muncul perasaan saling tidak mempercayai.
Di Indonesia, dampak dan bahaya dari terjadinya kasus bom bunuh diri sebetulnya bukan
pada efek ledakan dan berapa jumlah korban yang jatuh. Di Indonesia ancaman di balik
terjadinya kasus bom bunuh diri ibaratnya adalah pada efek sosial yang ditimbulkan. Ibarat
pupuk, kasus bom bunuh diri yang terjadi di satu daerah sering kemudian menjadi ilham bagi
pelaku lain untuk melakukan hal yang sama. Bahaya dari aksi bom bunuh diri adalah pada
perkembangan radikalisme yang terus tumbuh subur, baik di kalangan individu maupun
kelompok. Sejumlah studi menyimpulkan, pengaruh keberanian pelaku bom bunuh diri,
fanatisme, radikalisme sangat terasa mendorong meningkatnya konservatisme dan intoleransi
keagamaan. Menjadi “radikal” dengan cara mengembangkan atau mengadopsi keyakinan
ekstrim yang menjustifikasi kekerasan hanyalah satu dari sekian jalan menuju keterlibatan
dalam terorisme. Artinya, menjadi teroris sesungguhnya tidak selalu menempuh rute yang
linier, tetapi di sana faktor yang mempengaruhi sangat kompleks –lebih kompleks dari
sekadar hubungan kausal antara paham keagamaan radikal dan kekerasan ekstremisme.
Banyak bukti memang menunjukkan, bahwa orang dengan paham radikal dan ideologi yang
menjustifikasi kekerasan tidak dengan sendirinya melakukan atau terlibat dalam aksi
terorisme. Survei yang bersifat global dilakukan oleh lembaga riset Pew Research dan Gallup
menunjukkan bahwa 17% kaum Muslim bersimpati pada pandangan radikal, kendati
9
sebagian besar mereka sama sekali tidak punya komitmen utk melakukan tindakan kekerasan.
Aksi radikalisme dan terorisme berkembang di Indonesia dan mengakibatkan masyarakat
merasa terancam akan keberadaannya. Salah satu contoh kasus yang pernah terjadi yaitu,
terjadinya ledakan di Hotel JW Mariot, Mega Kuningan, Jakarta, pada 5 Agustus 2003.
Ledakan tersebut berasal dari bom bunuh diri menggunakan mobil Toyota Kijang bernomor
polisi B 7462 ZN yang dikendarai oleh Asmar Latin Sani.
Contoh kasus intoleransi terhadap keberagaman adalah kasus konflik yang terjadi di
Poso. Sejak tahun 1998 sampai dengan tahun 2007, kabupaten Poso di Sulawesi Tengah
menjadi tempat berlangsungnya konflik kekerasan antar agama paling berkepanjangan di
Indonesia pasca era otoriter. Meski sebelumnya tak mempunyai sejarah kekerasan, Poso
akhirnya juga menjadi salah satu wilayah operasi terpenting jaringan jihadis internasional
Jamaah Islamiyah. Konflik Poso adalah bagian dari konflik individu yang kemudian
merembes lebih luas sampai menyentuh ke level agama. Padahal jika merujuk pada akar
sejarahnya, bahwa awal mula terjadinya konflik bertumpu pada subsitem budaya dalam hal
ini menyangkut soal suku dan agama. Dua unsur inilah yang akhirnya mengemuka dan
menjadi bom waktu bagi perpecahan umat beragama di Poso.18 Bentuk kekerasan di Poso
mengalami tiga kali perubahan mendasar selama periode konflik: pertama dari kerusuhan
kota ke pembunuhan meluas, kemudian dari pembunuhan yang bersifat sepihak ini ke fase
balas-membalas berkepanjangan antara dua pihak, sebelum kekerasan pada akhirnya
mengalami de-eskalasi yang tidak merata selama periode panjang penembakan, pemboman
serta pembunuhan sporadik.
10
berwibawa dan mengawasinya. Keempat, mencegah kejahatan terkoodinir di lingkungannya
sendiri serta masyarakat harus peduli serta berpartisipasi aktif dalam mengontrol semua itu.
Beberapa hal yang harus segera dilaksanakan dalam rangka pembinaan serta memberikan
pemahaman terhadap umat beragama adalah apabila terdapat konflik antar umat beragama
segera harus dihentikan dengan cara melokalisir persoalan. Menurut M. Shaleh Putuhena,
sistem pembinaan atau langkah yang diambil pemerintah dalam menjaga kerukunan umat
beragama jangka pendek adalah dengan mengambil alih urusan dan jangan dilemparkan
kepada rakyat. Segala bentuk pertikaian harus dihentikan dengan cara damai. Sedangkan
jangka panjangnya adalah baik pemerintah maupun masyarakat luas harus merubah sistem
pembinaan kehidupan umat beragama. Pembinaan yang dimaksud dalam bentuk membangun
masyarakat di bidang spiritual seperti lembaga keagamaan secara komprehensif, karena
selama ini pembangunan nasional hanya memprioritaskan pada aspek formal dan
pengetahuan agama. Selain itu menurut M. Shaleh, sistem pembinaan agama sebagai upaya
pencegahan dan antisipasi kerawanan konflik umat beragama harus menghilangkan
kerukunan semu. Selama Orde Baru kerukunan antar umat beragama bersifat semu dan tidak
substantif, kerukunan hanya nampak dalam bentuk pembangunan tempat ibadah secara
bersama-sama. Kita juga cenderung bangga membangun identitas agama seperti Islam dalam
bentuk penjilbaban wanita, memakai kopiah bagi Muslim. Bagi Kristen bangga dengan salib
yang digantung di mana-mana sebagai simbol identitas keselamatan. Umat Budha bangga
dengan pakaian seragam kebiksuannya. Hampir setiap umat beragama hidup di atas
kebanggaan dengan memperbanyak umatnya melalui proses Islamisasi, Kristenisasi,
Hinduisasi, dan Budhaisasi, terutama apabila berada pada daerah yang mayoritas.
Menurut HM Iskandar, solusi bagi pembinaan dan antisipasi terhadap berbagai kerusuhan
yang pernah terjadi serta menghindari perembesan kerusuhan pada daerah-daerah lain dengan
langkah konkrit sebagai berikut: Pertama, meningkatkan dan merealisasikan sebuah
kebijaksanaan pemerintah secara nasional. Kedua, perlunya pemantapan pembinaan generasi
muda yang religius pada setiap agama. Menurut H. Syarifuddin Daud, hal-hal yang harus
dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya konflik antar umat beragama adalah dengan sistem
pembinaan agama, baik dari kalangan bawah maupun kalangan elit seperti: Pertama,
Hendaknya setiap tokoh agama dapat membina umatnya masing-masing dengan baik. Kedua,
Setiap penganut agama senantiasa harus menghargai antara satu dengan yang lain, serta
11
menjunjung tinggi nilai-nilai yang disepakati dan mampu beradaptasi dengan adat-istiadat
setempat.
Menurut Kondongan sebagai tokoh agama Katolik bahwa terjadinya konflik antar umat
beragama pada dasarnya karena hubungan masyarakat dengan lingkungannya masih rendah
dalam hal ini umat agama belum memahami agamanya masing-masing sesuai dengan apa
yang diajarkan yang sebenarnya. Mereka juga sering melanggar adat-istiadat seperti
melanggar “Sapa Tondo” (melanggar adat setempat). Dalam bentuk merusak lingkungan,
melanggar “Sapa Manggurui” (melanggar ketentuan orang-orang pintar/pemerintah,
melanggar “Sapa Puang” (melanggar ketentuan Tuhan). Oleh karena itu, senada dengan
pendapat Sukardi Deppung, untuk mencegah dan menyelesaikan konflik: Pertama, elit politik
perlu mengendalikan kerukunan umat beragama sesuai dengan prinsip-prinsip kehidupan
keberagamaan dalam ke-Indonesiaan (Pancasila). Kedua, sengketa umat beragama hendaklah
diselesaikan oleh tokoh agama setempat dan pemerintah setempat. Ketiga, Pembinaan
keagamaan bagi masing-masing penganut agama ditingkatkan termasuk fungsionalisasi
lembaga-lembaga keagamaan secara optimal.
Beberapa aspek yang urgen dalam mengendalikan berbagai macam hal yang memicu
konflik antar umat beragama adalah merekontruksi sistem politik. Aktualisasi pengendalian
roda pemerintah di bidang politik dan sosial budaya merupakan hal yang menjadi prioritas
dalam rangka menegakkan negara Indonesia yang pluaral, aman, dan damai. Kerusuhan di
berbagai daerah di Indonesia seperti di Ketapang, Banyuwangi, Ambon, Mataram, Poso,
Kalimantan, Masamba (Luwu) serta daerah-daerah lain pada dasarnya disebabkan oleh ulah
para politikus yang tidak menginginkan kekuasaan itu beralih secara estafet evolutif pada
kelompok lain. Mereka menjadikan dirinya diktator dan otoriter seperti yang dilakukan
Soeharto pada masa Orde Baru. Sudirman HN, pemerhati sosial menawarkan psikoterapi
untuk mencegah terjadinya berbagai konflik pada tingkat bawah dan tingkat elit dengan
meningkatkan pemahaman terhadap hakekat konflik, potensi konflik dan pengelolaan konflik
itu sendiri, termasuk merekontruksi bangunan sistem politik pada tingkat elit sebagai
penyebab terjadinya berbagai konflik di Indonesia. Demikian pula halnya menurut Seymor-
Smith konflik yang mengisukan SARA seharusnya dilihat sebagai pertentangan perilaku yang
timbul karena perbedaan historis pertentangan nilai-nilai di antara individu atau kelompok
yang bertikai. Periode Orde Baru pada dasarnya bukanlah merupakan alternatif menghapus
12
konflik, tetapi justru memanipulasi dan menyembunyikannya di bawah karpet kekuasaan.
Ketika karpet itu bolong nampaklah potensi konflik itu kemudian menjadi konflik terbuka.
Dalam konteks tanggung jawab negara, maka seharusnya ada politik kebudayaan dan aturan
main dari negara yang mampu terus memelihara dan mengaktualisasikan pranata-pranata
pengelolaan konflik dalam masyarakat. Tawaran ideal dari Ignas Kleden tentang pemantapan
politik yang stabil adalah sosialisasi politik pada kalangan birokratis yang mendukung
kelancaran bangsa yang aman dan demokratis, bukan sebaliknya mengacau-balaukan negara
atas kepentingan politik Hitlerstik dan monopoli kekuasaan dengan otoritarianistik. Di
samping itu, penerapan nilai-nilai P4 dengan tekad politis dan moral yang kuat disertai
dukungan perangkat kelembagaan yang memadai bukan sesuatu yang secara alamiah dapat
mengubah seluruh tingkah laku politik dengan cara gaib
a. Mengidentifikasi konflik
b. Mencegah pengaruh negatif yang dapat ditimbulkan
c. Mempelajari kemungkinan perlunya menetapkan solusi terhadap pihak yang
terlibat
d. Berusaha memadukan persepsi kedua pihak agar masing-masing memahami dasar
pikiran lawan.
e. Mencari jalan keluar dengan menuntut toleransi maksimum kedua pihak demi
kepentingan bersama.
f. Memberi umpan balik kepada pihak-pihak yang diperkirakan terlibat konflik agar
menyadari kekurangan dan mencegah timbulnya konflik negatif yang
berkepanjangan.
g. Kesadaran terhadap pelaksanaan hukum.
Dari beberapa langkah yang telah dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa untuk
mengantisipasi terjadinya konflik antar umat beragama perlu peningkatan kesadaran
beragama bagi setiap pemeluk agama. Oleh karena itu, penduduk bangsa Indonesia yang
menganut berbagai macam agama harus menyadari bahwa pluralisme agama di negeri ini
harus diakui sebagai kondisi obyektif seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW.
13
4. Urgensi Dialog Antara Pemuka Agama
Indonesia sebagai negara yang berkembang menuju masyarakat madani, peranan agama
diprioritaskan sebagai kontrol sistem kehidupan masyarakat yang secara tegas dapat
menunjukkan arah kehidupan manusia yang benar yaitu kesejahteraan yang seimbang dunia
dan akhirat. Berkaitan dengan hal di atas, masyarakat Indonesia yang plural menghendaki
terjalinnya kehidupan yang rukun dan damai. Oleh karena itu, untuk menuju perbaikan
kerukunan antar umat beragama yang sejak Orde Baru hingga sekarang ini tampak ada
pergeseran, maka dialog antara pemuka agama serta peningkatan pemahaman akan urgensi
agama menjadi sesuatu yang niscaya. Dalam rangka menjamin keselamatan masyarakat
dalam hidup plural yang rukun dan damai, H.M. Tahir Kasnawi menawarkan bahwa perlu
segera dilakukan perumusan etika keagamaan yang dapat mendorong umat beragama untuk
mempunyai orientasi hidup dinamis. Dalam hal ini perlu direkontruksi sebuah paradigma
perumusan etika keagamaan yang dapat meningkatkan etos kerja, etos keilmuan, dan etos
keunggulan di kalangan umat beragama. Perumusan itu merupakan tantangan umat beragama
dan cendekiawan, sosiolog, para elite politik serta budayawan.
Selain itu, Dalam perspektif yang lebih multikultural, pemberian porsi yang lebih besar
kepada pemerintah dan masyarakat daerah dalam menangani program kerukunan umat
beragama sangatlah relevan untuk membedakan orde reformasi dari orde baru. Terdapat
lembaga-lembaga yang membantu mewujudkan kerukunan beragama di Indonesia pada era
reformasi, yaitu:
Untuk melihat lebih jauh bagaimana kerukunan multikultural lebih digalakkan oleh
Kemenag, kita perlu meneropong Kemenag dengan lebih mendalam, dalam mengolah
program kerukunan antar umat beragama di kemenag sejak periode reformasi, program-
program kerukunan ditangani dan dikelola oleh dua institusi. Institusi pertama adalah Litbang
dan Diklat Kemenag yang mengurusi perencanaan kebijakan-kebijakan kerukunan umat
beragama, termasuk di dalamnya penelitian-penelitian dan sosialisasi regulasi tentang
kerukunan antar umat beragama. Institusi kedua adalah Pusat kerukunan Antar umat
beragama (PKUB) di bawah sekretariat jenderal. PKUB salah satu badan Kemenag yang
melaksanakan program-program operasional kerukunan umat beragama apa yang telah,
sedang, dan akan dilakukan kemenag tentang kerukunan umat beragama sangat terkait
dengan dua divisi kemenag tersebut.
14
Jika litbang dan Diklat adalah lembaga Kemenag dengan bentuk aktivitas riset dan
pelatihan yang salah satunya diperuntukkan bagi pengembangan Kerukunan Umat Beragama,
maka PKUB adalah lembaga fungsional yang mengoperasikan program-program Kerukunan
Umat Beragama Kemenag di lapangan. Secara kelembagaan PKUB yang berada dibawah
sekretaris jenderal Kemenag berbeda dengan Litbang, tetapi dalam perencanaan dan
pelaksanaan program-program PKUB, keduanya tidak dapat dipisahkan.
Benih kelahiran PKUB (2001) sendiri sebenarnya sudah mulai ditanam sejak masa
kepemimpinan menteri Tarmizi Taher yang membidani kelahiran Lembaga Pengkajian
Kerukunan Umat Beragama (LPKUB) di Yogyakarta pada masa akhir kejayaan masa orde
baru. Karena LPKUB didirikan bukan sebagai lembaga fungsional dalam aktivitasa hubungan
lintas agama, namun lebih sebagai lembaga riset untuk mencari faktor-faktor penyebab
konflik dan perekat pasca konflik yang tidak berhubungan langsung dengan lembaga
keagamaan dan kemasyarakatan, maka misi dasar Kemenag yang ingin mendorong praktik
kerukunan lintas agama di tingkat lokal dan grass root tidak begitu terasa implikasinya.
Dengan didirikannya PKUB, peran fungsional Kemenag dalam menangani konflik
antaragama dan program-program pencegahannya menjadi semakin eksplisit. PKUB menjadi
tulang punggung kemenag dalam melaksanakan Beragama. Secara garis besar program-
program PKUB dapat dibagi menjadi tiga yaitu:
Jika Litbang dan Diklat menjadi konseptor dalam program Kerukunan Umat beragama
sedangkan PKUB menjadi pelaksana, maka FKUB menjadi rekan utama keduanya di tiap
daerah di Indonesia. Dikata kan menjadi rekan karena, FKUB bukan lembaga birokrasi yang
tunduk terhadap lembaga yang berada diatasnya, tetapi lebih merupakan lembaga yang
dibentuk oleh wakil-wakil umat yang mempunyai kewenangan tersendiri untuk memutuskan
kebijaksanaan dan program kerukunan umat beragama di daerahnya masing-masing. Pasal-
pasal pendirian FKUB di tiap daerah menyebutkan bahwa pengurus FKUB memiliki kriteria
yang jelas di mana setiap kelompok agama mempunyai perwakilan, ditambah perwakilan dari
pemerintah (Gubernur/Bupati, Kemenag atau yang mewakilinya) sebagai dewan penasihat.
15
Semangat pemberdayaan FKUB tak lepas dari era otonomisasi, dimana daerah-daerah
didorong untuk lebih mempunyai peran dalam berbagai program pembangunan.
Dasar pembentukan FKUB adalah Peraturan bersama Kemenag dan Kemendagri No.
8 dan 9 tentang pemberdayaan FKUB. Menurut Perber tersebut, FKUB didirikan oleh
masyarakat di tiap Provinsi dan daerah masing-masing yang difasilitasi oleh Pemda.
Keanggotaan FKUB terdiri atas pemuka agama setempat (pasal 10/1) yang berjumlah 21
orang di tingkat Provinsi dan 17 orang di tingkat kabupaten (10/2). Komposisi jumlah
keanggotaan dihitung berdasarkan perbandingan jumlah pemeluk agama setempat dengan
keterwakilan minimal satu orang dari setiap agama yang adadi Provonsi atau kabupaten
tersebut.Menurut Perber tersebut, tujuan utamaFKUB adalah menjadi lembaga referensidan
pengembang wacana serta praktik-praktik kerukunan anatarumat beragama di daerah
setempat. Di wilayah propinsi, kabupaten atau kota FKUB bertugas:
Hingga saat ini FKUB sudah terbentuk hampir di seluruh Provinsi dan kebanyakan
kabupaten di Indonesia.Dari sudut jumlah, bila merujuk pada pasal peralihan Perber tersebut,
program FKUB bisa dikatakan telah mencapai target. Menag dan Mendagri menargetkan
pada 21 Maret 2007 FKUB sudah terbentuk di semua Provinsi dan kabupaten di seluruh
Indonesia. Dalam perspektif Kemenag, periode reformasi yang lebih sadar akanmasyarakat
multicultural dan terbentuknya FKUB di berbagai daerah telah membuka tradisi baru dalam
program pembangunan yang langsung melibatkan masyarakat, tidak seperti pada masa orde
baru yang membuat masyarakat menunggu program dari pemerintah, sebaliknya masyarakat
didorong dan difasilitasi untuk bertemu dan berdialog dalam membicarakan banyak hal.
Pertanyaannya adalah, sejauh mana eksistensi FKUB di berbagai daerah dalam mengemban
misi kerukunan ini? Untuk menjawabnya butuh kajian berbasis riset yang lebih mendalam.
16
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dalam konteks kepentingan negara dan bangsa, kerukunan umat beragama merupakan
bagian penting dari kerukunan nasional. Kerukunan umat beragama adalah keadaan
hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian,saling
menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengalaman ajaran agamanya dankerjasama
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, kerukunan hidup antarumat beragama merupakan
prakondisi yang harus diciptakan bagi pembangunan di Indonesia (MuktiAli : 1975: 42 ).
Masalah kerukunan hidup antar umat beragama dalam kaitannya dengan kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia., Pendeta Weinata Sairin (1996:183) memberikan
komentar sebagai berikut: “Kerukunan antar umat beragam di Indonesia, merupakan satu-
satunya pilihan. Tidak ada pilihan lain, kecuali harus terus mengusahakannya dan
mengembangkannya. Sebagai bangsa kita bertekan untuk mempertahankan Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kita juga telah bertekad
untuk terus membangun masyarakat, bangsa dan negara kita, agar menjadi bangsa yang maju
dan modern tanpa kehilangan kepribadian kita. Dalam konteks itu,agama-agama mempunyai
tempat dan peranan yang vital dan menentukan dalam kehidupan kita bermasyarakat
berbangsa dan bernegara”. Demikian pentingnya kerukunan hidup antar umat beragama
dalam proses pembangunan bangsa, hal ini disebabkan karena mereka lah yang
merencanakan, melaksanakan dan merasakan hasil pembangunan tersebut. Seluruh umat
beragama diIndonesia adalah subjek dari pembangunan bangsa Indonesia.
3.2. Saran
Berdasarkan pembahasan makalah ini. Kami dapat menemukan saran yang mungkin
dapat dijadikan masukan yang bersifat positif, antara lain :
17
DAFTAR PUSTAKA
Nazmudin, N. (2017). Kerukunan dan Toleransi Antar Umat Beragama dalam Membangun
Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Journal of Government
and Civil Society, 1(1), 23-39.
Widhayat, W., & Jatiningsih, O. (2018). Sikap Toleransi Antarumat Beragama Pada SMA
Muhammadiyah 4 Porong. Kajian Moral dan Kewarganegaraan, 6(2).
http://news.unair.ac.id/2020/07/26/radikalisasi-mahasiswa-di-indonesia/.Z
https://www.aifis-digilib.com/uploads/1/3/4/6/13465004/7-2_nihaya.pdf.Z
http://ejournal.uin-suka.ac.id/ushuluddin/Religi/article/viewFile/1015/933.Z
18