Anda di halaman 1dari 22

IDEOLOGI RADIKALISME AGAMA

“Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan”

DOSEN PEMBIMBING
Dr. Asep Encu
Wildatus Sholihah, S. Pd., M.Si.P

DISUSUN OLEH
Kelompok 6
1. Muhammad Siddiq Abdillah (1212020167)
2. Nina Solihah (1212020184)
3. Nur Rohmah Fadilah (1212020190)
4. Nurfani Raihan (1212020194)
5. Pebriani Khairun Nisa (1212020198)
6. Puspita Dwi Nofiana ( 1212020200 )

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena
berkat qudrat dan iradat-Nya-lah kami telah selesai menyelesaikan makalah ini. Shalawat
serta salam semoga tercurah kepada junjunan alam yakni Nabi Muhammad SAW,
keluarga, sahabat serta kita sekalian selaku umatnya.
Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah PKn.
Dalam makalah ini kami membahas tentang “IDEOLOGI RADIKALISME
AGAMA”.

Kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini, sehingga dapat terselesaikan dengan baik dan
lancar.
Namun demikian kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan
karena keterbatasan pengetahuan, kemampuan dan waktu. Untuk itu kami mengharapkan
saran dan kritik yang bersifat membangun, agar mendorong kami untuk bisa lebih baik
lagi kedepannya.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat, khususnya bagi
kami selaku penyusun dan umumnya bagi yang membacanya. Aamiin.

Bandung, 16 Oktober 2021

Penyusun,

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i
BAB I ................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................... 1
A. Latar Belakang......................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ..................................................................................................... 2
BAB II ................................................................................................................................. 3
PEMBAHASAN .................................................................................................................. 3
A. Islamisme ................................................................................................................. 3
B. Intoleransi ................................................................................................................ 5
C. Ancaman Radikalisme ............................................................................................. 7
D. Makna Hidup, Kebahagiaan dan Relijiusitas........................................................... 9
E. Pemicu Intoleransi dan Radikalisme ..................................................................... 13
BAB III .............................................................................................................................. 18
PENUTUP ......................................................................................................................... 18
A. Simpulan ................................................................................................................ 18
B. Saran ...................................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara dengan potensi keberagaman yang besar.
Dengan berbagai keberagaman dari sisi bahasa, budaya, suku, kondisi alam, dan
agama. Agama di Indonesia yang diakui dan dilindungi oleh pemerintah
diantaranya: Islam, Kristen Protestan, Kristen Katholik, Hindu, Budha, dan kong
hu chu (Laode, 2014). Agama Islam merupakan agama yang paling banyak dianut
di Indonesia (Kansil, 2011). Di Indonesia keberagaman budaya bisa memberikan
makna bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Warisan nenek moyang merupak
keragaman yang harus dilestarikan dan diwariskan ke generasi selanjutnya, karna
keberagaman merupakan kunci bagi kehidupan bangsa Indonesia.

Radikalisme bisa diartikan suatu sikap atau paham yang secara ekstrim,
revolusioner dan militant untuk memperjuangkan perubahan dari arus utama yang
dianut masyarakat. Radikalisme tidak harus muncul dalam wujud yang berbau
kekerasan fisik. Ideologi pemikiran, kampanye yang masif dan demontrasi sikap
yang berlawanan dan ingin mengubah mainstream dapat digolongkan sebagai
sikap radikal.

Di Indonesia radikalisme terus meningkat salah satunya dalam beragama,


banyak sekali peristiwa-peristiwa kemanusia yang dilalui oleh masyarakat
indonesia. Fonomena radikalisme dalam beragama merupakan salah satu bukti
nyata yang tidak bisa dihiraukan atau dihilangkan begitu saja. Berbagai aksi
kekerasan dan teror dalam radikalisme agama terus meningkat, Aksi tersebut telah
menyedot banyak potensi atau energi kemanusiaan serta telah merenggut hak
hidup orang banyak termasuk orang yang sama sekali tidak mengerti mengenai
permasalahan ini. Banyak solusi maupun cara untuk untuk mengupas persoalan
ini yaitu dengan pencarian sebab namun tidak juga kunjungan memperlihatkan
adanya suatu titik terang.

Dengan demikian, kita sebagai salah satu rakyat Indonesia seharusnya


terus mempelajari, mengkaji dan saling memberi pengetahuan mengenai betapa

1
2

pentingnya ideologi untuk menangkal kejamnya radikalisme dalam beragama


maupun lain sebagainya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Islamisme?
2. Apa yang dimaksud dengan Intoleransi?
3. Apa yang dimaksud dengan Ancaman Radikalisme?
4. Apa itu Makna Hidup, Kebahagiaan dan Relijiusitas?
5. Apa saja yang menjadi pemicu Radikalisme dan Intoleransi?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan Islamisme
2. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan Intoleransi
3. Untuk mengetahui Ancaman Radikalisme
4. Untuk mengetahui Makna Hidup, kebahagiaan dan relijiusitas
5. Untuk mengetahui pemicu Radikalisme dan Intoleransi
BAB II
PEMBAHASAN

A. Islamisme
Islamisme adalah pemahaman agama (Islam) dalam bentuk tatanan
sebuah negara, yaitu negara Islam. Kelompok Islamisme telah
mengidolakan Islam pada zaman Nabi saw. di Madinah, dan mereka
berupaya untuk mengembalikan praktik berislam pada zaman sekarang
untuk kembali seperti praktik berislam pada zaman Nabi saw., yaitu zaman
empat belas abad yang silam.
Agenda utama Islamisme adalah mendirikan tatanan negara Islam dan
memobilisasi umat Islam dalam rangka membangun tatanan yang totaliter
yang disebut sebagai nizam Islami. ide utama dibentuknya gerakan
Islamisme adalah Islam mendukung Islam sebagai suatu gerakan yang ingin
mengembalikan Islam seperti yang telah dipraktikkan oleh Nabi saw. di
Madinah. dengan alasan bahwapraktik Islam yang dianggapnya benar, tidak
salah, tidak bisa ditawar, tidak bisa diubah, bisa menyelamatkan, tidak ada
unsur Barat, betul-betul dari Tuhan dan tidak dipengaruhi oleh pemikiran
manusia. yang diwacanakan oleh kelompok Islamisme yang ingin
mendirikan negara Islam ala zaman Nabi saw. di Madinah, sangatlah jauh
dari jangkauan dan sungguh tidak rasional.
Alasan lain bahwa kelompok Islamisme adalah para penganut Islam
yang lahir sekitar abad ke18, jauh sesudah masa Nabi saw. (w. 632 M/ awal
abad ke-7) berakhir, dan sangat mustahil bisa mempraktikkan Islam persis
seperti di zaman Nabi saw. munculnya gerakan Islamisme pada tahun 1928
M, karena adanya tarik menarik dengan relasi kuasa yang ada pada masa itu.
Ada sekelompok Muslim di Mesir menolak sistem yang dipraktikkan oleh
rezim. Alasannya bahwa rezim tidak menerapkan Syariat Islam sebagai
dasar negara dan rezim lebih cenderung pro terhadap hukum Barat. Gerakan
Islamisme untuk pertama kalinya ada di Mesir bersamaan dengan
munculnya sebuah organisasi Islam, yaitu al-Ikhwan al-Muslimun yang
didirikan oleh Hasan alBanna tahun 1928.

3
4

Kelompok Islamisme merupakan kelompok Muslim yang pertama


ada di Indonesia, jauh sebelum Pos-Islamisme yang baru muncul sekitar
tahun 1970-an. Kelompok Islamisme yang berpandangan bahwa Islam
adalah agama yang paling sempurna dibanding agama lain yang ada
(Kristen atau pun Yahudi),3 syariatnya pun murni dari Allah, dan bisa
menjadi alternatif untuk menolak praktik kuasa yang menurut mereka, tidak
Islami di Indonesia.

Wujudnya ada di dalam Partai Masyumi pada masa itu yang


menginginkan Indonesia Merdeka berdasarkan syariat Islam yang
dituangkan dalam sila pertama Pancasila: “Ketuhanan, dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya” dan berubah menjadi
“Ketuhanan Yang Maha Esa”, ditetapkan sebagai sila yang pertama
Pancasila, sejak tahun 1945 sampai sekarang. Kelompok Islamisme di
Indonesia, sejak zaman pemerintahan Soekarno sampai sekarang telah
menolak sistem pemerintahan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 45 dan
tetap berupaya untuk kembali pada Piagam Jakarta. Alasannya bahwa
Piagam Jakarta lebih cocok untuk Indonesia yang nota bene dihuni oleh
mayoritas Muslim, yaitu 95 %.

Selanjutnya kelompok Islamisme telah mempertahankan sebuah


paham bahwa Islam adalah agama dan negara.

Kelompok Islamisme mempunyai tujuan sosial, yaitu: membangun


komunitas ideologis; mendirikan negara Islam dan menerapkan syariat
Islam.30 Tujuan ini berlaku sama bagi kelompok Islamisme, baik di Negara
Arab maupun di Indonesia. Alasannya, bahwa seluruh dunia Islam
mendapat pengaruh dari Sayyid Qutb. Kelompok-kelompok
Islamisme yang bermunculan di Indonesia:
Pasca-Soeharto, pada 21 Mei 1998, antara
lain, sebagai berikut:
a. Laskar Pembela Islam
b. Laskar Jihad
c. Laskar Mujahidin Indonesia
5

d. KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia), bagian dari


perluasan penyebaran pengaruh alIkhwan al-Muslimun di Indonesia,
yang awalnya berkembang di kampus-kampus universitas dalam
payung gerakan tarbiyah.
e. HTI (Hizb al-Tahrir Indonesia), tumbuh sebagai bagian dari gerakan
transnasional Hizb alTahrir yang berpusat di Timur Tengah.
f. Barisan Pemuda Ka’bah
g. Gerakan Pemuda Islam (GPI)
h. Front Hizbullah Bulan Bintang
i. Front Pembela Islam (FPI), didirikan pada tanggal 17 Agustus 1998
oleh Muhammad Rizieq Syihab (1965).

Hakikat Islamisme adalah kelompok yang menolak demokrasi, seperti


dalam hal adanya praktik Pemilu. Alasannya bahwa Pemilu dipandang
sebagai kegiatan yang mendewakan kehendak mayoritas (rakyat) daripada
kehendak Tuhan.

B. Intoleransi
1. Pengertian
Menurut Hunsberger (1995) intoleransi adalah tindakan negatif
yang dilatari oleh simplifikasi-palsu, atau “prasangka yang berlebihan”
(over generalized beliefs). Prasangka semacam ini memiliki tiga
komponen yaitu : (1) komponen kognitif mencakup stereotip terhadap
kelompok luar yang direndahkan. (2) komponen afektif yang berwujud
sikapmu a atau tidak suka yang mendalam terhadap kelompok luar
dan, (3) komponen tindakan negatif terhadap anggota kelompok luar
baik secara interpersonal maupun dalam hal kebijakan politik-sosial (
Hunsberger's 1995 : 113-29).
Menurut Haidt (2001). Ketiga komponen prasangka cenderung
saling mempengaruhi mengingat sifat pikiran dapat berpengaruh
negatif dan memberi reaksi terhadap sikap muak dan tidak suka. Dan
6

secara logika memang tidak sulit untuk membayangkan bagaimana


sikap negatif dapat mediasi tindakan negatif.

2. Gejala Intoleransi

Banyaknya agama yang dianut oleh bangsa Indonesia membawa


persoalan hubungan antara penganut. Pada mulanya persoalan timbul
karena penyebaran agama. Setiap agama, terutama Islam dan Kristen
sangat mementingkan masalah penyebaran agama. Karena masing-
masing pemeluk merasa memiliki kewajiban untuk menyebarkannya.
Masing-masing yakin bahwa agamanya lah satu-satunya kebenaran
yang menyangkut keselamatan di dunia dan di akhirat. Oleh karena itu
sangat wajar apabila mereka sangat terpanggil untuk menyelamatkan
orang lain lewat ajakan memeluk agama yang diyakininya,
ketegangan dalam penyebaran agama timbul ketika dilakukan pada
masyarakat yang telah apa menganut agama tertentu. Selain itu, faktor
SARA,suku agama, ras, dan antar golongan selama masa reformasi
muncul kembali dengan memanfaatkan suasana kebebasan yang
disalahgunakan oleh orang atau golongan untuk kepentingannya
sendiri sendiri dan menurut tafsiran nya masing-masing. Kebebasan
telah dibajak dan dengan memanfaatkan sentimen-sentimen
primordial yang berbau SARA, ditambah lagi oleh kenyataan bahwa
struktur penguasaan sumber daya ekonomi dan politik ternyata
berkembang sangat timpang sehingga menyebabkan terjadinya
fenomena konflik dan kasus-kasus kekerasan dan ketidakadilan.

3. Faktor-faktor penyebab intoleransi dalam masyarakat beragama

Masalah kurangnya toleransi dan kehidupan beragama yang saat


ini banyak sekali terjadi akhirnya menjadi sebuah konflik, terjadi
konflik ini dikarenakan oleh beberapa faktor. faktor-faktor tersebut
antara lain :

1. Kurang menghormati
7

2. Menganggap rendah pemeluk agama lain yang tidak sama dengan


agama yang dipeluknya.
3. Kurangnya pengetahuan para pemeluk agama akan agamanya
sendiri dan agama pihak lain.
4. Kaburnya batas antara sikap memegang teguh keyakinan agama
dan toleransi dalam kehidupan masyarakat
5. Kurangnya saling pengertian dalam menghadapi masalah
perbedaan pendapat.

C. Ancaman Radikalisme
Radikalisme adalah paham atau aliran yang menginginkan
perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau
sikap ekstrem dalam suatu aliran politik. Indonesia di bawah ancaman
ideologi gerakan-gerakan radikalisme sangatlah mengkhawatirkan. Gerakan
radikal transnasional, termasuk perkembangan ISIS sejak 2013 adalah salah
satu ancaman bagi keamanan nasional yang perlu diantisipasi, dihadapi, dan
ditanggulangi secara komprehensif, sistematis, dan berkesinambungan di
Indonesia. Bahaya ancaman yang disebabkan oleh berkembanganya ideologi
dan gerakan-gerakan radikal transnasional tersebut tidak hanya dirasakan di
wilayah-wilayah Timur Tengah, Afrika, dan Eropa, tetapi juga di kawasan
Asia Tenggara dan Australia karena kemampuan gerakan tersebut melibatkan
warga negara dari lintas-negara dan lintas benua.

Sampai saat ini, dinamika kehidupan bermasyarakat Indonesia masih


belum menunjukkan suatu kondisi yang stabil pasca era reformasi. Salah satu
penyebabnya bersumber dari faktor internal dan eksternal bangsa Indonesia
itu sendiri yang menyebabkan mengapa tahapan transisi itu begitu lama.
Faktor internal seperti kondisi heterogenitas etnis, agama, kultur, dan
kesenjangan ekonomi serta sosial semakin memperbesar potensi masuknya
ideologi-ideologi radikal. Ancaman yang tidak terlihat ini merupakan bahaya
besar bagi keberlangsungan hidup rakyat Indonesia, belum lagi tumbuhnya
ideologi-ideologi baru yang lebih mudah dibandingkan era Orba. Saat ini,
kebebasan masyarakat dalam mengemukakan suaranya sudah harus
8

dinomorsatukan tanpa melihat potensi ancaman yang mengintai. Kebebasan


berpolitik dan berdemokrasi tampaknya harus dibayar mahal Indonesia
setelah melihat rentetan kasus terorisme yang terjadi. Meningkatnya jumlah
kasus terorisme sejak awal era reformasi memperlihatkan kurang tanggapnya
aparat keamanan terhadap ancaman-ancaman yang tidak terlihat. Kondisi
internal seperti ini memperlihatkan bahwa ancaman tidak datang dari luar saja
dalam bentuk agresi militer dari negara lain, namun ancaman datang dari
dalam negeri berupa pergerakan radikal yang dilakukan oleh warga Indonesia
sendiri.

Transisi dari era Orba ke reformasi memiliki dampak yang cukup


besar terhadap perubahan kondisi internal bangsa Indonesia. Warga yang
dahulunya sangat mengedepankan makna kesaktian Pancasila sebagai
ideologi bangsa, saat ini justru menjujunjung tinggi arti demokrasi dalam
menyuarakan aspirasi rakyat. Pancasila dianggap memiliki pengaruh Orba
sehingga ditinggalkan warga Indonesia yang sekarang lebih berpegang pada
maksud dan tujuan hidup berdemokrasi. Kehidupan berdemokrasi Indonesia
saat ini memberikan ruang gerak yang lebih besar bagi ideologi lama maupun
baru yang muncul dari luar dan dalam negeri. Oleh karena itu tidak heran
apabila pemikiran radikal bermunculan dan berkembang di berbagai wilayah
NKRI.

Dari sisi eksternal, faktor penyebab utamanya adalah keamanan


nasional yang masih menghadapi ancaman karena muncul kembali dan
maraknya aksi kelompok-kelompok anti NKRI. Keterbukaan kehidupan
berpolitik dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok masyarakat dalam
membawa ideologi barunya yang justru membahayakan integrasi bangsa.
Terorisme yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini memiliki keterkaitan
ideologis, sejarah, dan politis serta merupakan bagian dari dinamika
lingkungan strategis pada tataran global dan regional. Kendatipun aksi
terorisme yang terjadi di berbagai daerah dalam beberapa tahun terakhir ini
kebanyakan dilakukan oleh orang Indonesia dan hanya sedikit aktor-aktor
dari luar, namun tak dapat dibantah bahwa aksi terorisme saat ini merupakan
9

suatu gabungan antara para pelaku domestik (indigenous) dengan mereka


yang memiliki jejaring transnasional (trans-national networks).

Paham Radikalisme, terorisme dan kekerasan ekstrim merupakan


salah satu ancaman nyata terhadap kehidupan dunia global. Tindakan ekstrim
biasanya dilandasi oleh sikap radikal yang disebabkan oleh kefanatikan
menganut suatu paham. Orang atau golongan ini biasanya mengakui bahwa
paham atau aliran yang dianutnya ini, adalah terbenar, sehingga tidak mau
menerima pendapat atau pemikiran orang atau pihak lain. Oleh sebab itu,
mereka beranggapan bahwa paham atau aliran lain yang tidak sesuai dengan
pahamnya adalah salah, dan karena itu harus dihilangkan.

D. Makna Hidup, Kebahagiaan dan Relijiusitas


1. Makna Hidup
Makna hidup merupakan suatu motivasi, tujuan dan
harapan yang harus dimiliki oleh setiap individu yang hidup di
dunia ini. Untuk mencapai semua itu seseorang harus melakukan
sesuatu dalam hidupnya, tidak hanya diam dan bertanya hidup ini
untuk apa. Semua yang diinginkan dalam hidupnya dapat di capai
dengan usaha yang maksimal.
Menurut Kruger makna hidup adalah “manner”, suatu cara
atau gaya yang digunakan untuk menghadapi kehidupan, untuk
menunjukkan eksistensi, dan cara pendekatan individu terhadap
kehidupannya sendiri berbeda-beda dan unik. Dan apabila individu
telah mencapai tingkat kesadaran yang lebih diman kesadarannya
lebih tertuju untuk percarian makna-makna, maka dapat dipastikan
bahwa pemaknaan seorang individu lain akan berbeda satu sama
lain.

2. Makna Kebahagiaan
Pada dasarnya, bahagia adalah fitrah atau bawaan alami
manusia. Artinya, ia merupakan sesuatu yang melekat dalam diri
manusia. Bahagia sudah seharusnya dimiliki oleh setiap manusia,
karena menurut fitrahnya, manusia diciptakan dengan berbagai
10

kelebihan dan kesempurnaan. Manusia adalah makhluk yang


paling baik dan sempurna dibanding dengan makhluk lainnya. Hal
ini telah dinyatakan oleh Allah dalam Al Qur’an Surat Al- Isra: 70
sebagai berikut: “Dan sungguh Kami telah memuliakan anak cucu
Adam dan Kami angkat mereka di daratan dan lautan, dan Kami
telah memberikan rezeki yang baik kepada mereka, dan Kami telah
lebihkan mereka dari makhluk-makhluk lain yang telah Kami
ciptakan dengan kelebihan yang sempurna”.
Kabir Helminski, seorang sufi penerus tradisi Jalaluddin
Rumi, menulis tentang manusia sempurna dalam bukunya, The
Knowing Heart: A Sufi Path of Transformation. Menurut tokoh ini,
sifat manusia sempurna adalah refleksi dari sifat-sifat Tuhan yang
sebagian tercermin dalam 99 nama Allah (al-Asma>’ul H}usna>).
Kesempurnaan manusia adalah takdir bawaan manusia, yang
memerlukan hubungan yang harmonis antara kesadaran diri dan
rahmat Ilahi. Itulah capaian kebahagiaan yang sesungguhnya.
Demikianlah sebagian makna hakikat kebahagiaan yang
telah dirumuskan oleh para filosof (sufi) yang boleh jadi masih
berupa konsep yang abstrak. Selanjutnya, tugas para psikolog
adalah bagaimana mengkongkritkan hal yang abstrak ini. Jika ada
seorang klien datang ke psikolog dan berkata: “Hari ini saya
merasa bahagia”, maka sang psikolog tentu akan bertanya lebih
lanjut: “Mengapa Anda merasa bahagia?”. Salah satu jawaban
yang mungkin akan diberikan seseorang adalah: “Karena saya
merasa puas dengan apa yang terjadi dengan hidup saya”.
Demikian halnya dengan kehidupan seseorang, apakah
bermakna atau tidak dapat dinilai dari model pertanyaan dan
jawaban di atas. Dialog di atas mengindikasikan bahwa
kebahagiaan hidup seseorang dapat dinilai secara objektif
(objective happiness) dan subjektif (subjective happiness).
Secara objektif, kebahagiaan seseorang dapat diukur
dengan menggunakan standar yang merujuk pada aturan agama
11

atau pembuktian tertentu. Rakhmat mencontohkan, misalnya ada


seseorang bernama Fulan. Ia menghabiskan waktu mudanya untuk
berfoya-foya, termasuk dengan melakukan segala tindakan dosa. Ia
tidak pernah mengalami sakit. Ia mengaku sangat bahagia.
Benarkah ia bahagia? Menurut ukuran agama, ia dianggap tidak
bahagia, karena pada hari akhirat kelak, jika ia tidak segera
bertaubat, akan masuk neraka. Dalam bahasa Tasawuf, si fulan ini
dikatakan sedang mengalami apa yang disebut dengan istidraj.
Artinya ia sedang diberi ujian oleh Allah dengan nikmat
(kesenangan) untuk melihat apakah ia sadar atau tidak dengan
nikmat yang didapatkannya. Menurut ukuran (pembuktian)
rasional, ia juga tidak bahagia, karena lama-kelamaan ia pasti akan
kehilangan harta, kesehatan, dan kesenangannya. Secara subjektif,
kita dapat mengukur kebahagiaan seseorang dengan bertanya
kepadanya dengan singkat apakah ia bahagia atau tidak. Demikian
pula dengan konsep makna hidup.

3. Makna Relijiusitas
Secara mendalam Chaplin (1997) mengatakan bahwa religi
merupakan sistem yang konfleks yang terdiri dari kepercayaan,
keyakinan yang tercermin dalam sikap dan melaksanakan
upacaraupacara keagaman yang dengan maksud untuk dapat
berhubungan dengan Tuhan. Ananto (2003, dalam Thontowi 2003)
menerangkan religius seseorang terwujud dalam berbagai bentuk
dan dimensi, yaitu:
1. Seseorang boleh jadi menempuh religiusitas dalam
bentuk penerimaan ajaran-ajaran agama yang bersangkutan tanpa
merasa perlu bergabung dengan kelompok atau organisasi
penganut agama tersebut. Boleh jadi individu bergabung dan
menjadi anggota suatu kelompok keagamaan, tetapi sesungguhnya
dirinya tidak menghayati ajaran agama tersebut.
12

2. Pada aspek tujuan, religiusitas yang dimiliki seseorang


baik berupa pengamatan ajaran-ajaran maupun penggabungan diri
ke dalam kelompok keagamaan adalah semata-mata karena
kegunaan atau manfaat intrinsik religiusitas tersebut. Boleh jadi
bukan karena kegunaan atau manfaat intrinsik itu, melainkan
kegunaan manfaat yang justruk tujuannya lebih bersifat ekstrinsik
yang akhirnya dapat ditarik kesimpulan ada empat dimensi
religius, yaitu aspek intrinsik dan aspek ekstrinsik, serta sosial
intrinsik dan sosial ekstinsik. Dari beberapa definisi yang
diungkapakan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa religiusitas
merupakan suatu bentuk hubungan manusia dengan penciptanya
melalui ajaran agama yang sudah terinternalisasi dalam diri
seseorang dan tercermin dalam sikap dan perilakunya sehari-hari.
Dalam Islam, menurut Daradjat (1995) bahwa wujud
religiusitas yang paling penting adalah seseorang dapat merasakan
dan mengalami secara batin tentang Tuhan, hari akhir dan
komponen agama yang lain. Dengan demikian religiusitas
merupakan sebuah konsep untuk menjelaskan kondisi religiusitas
dan spiritualitas yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini dapat dilihat
dari dimensi-dimensi religiusitas yang dijelaskan oleh Ancok dan
Suroso (dalam Mailani, 2013) yang memasukkan pengalaman
individual seseorang dalam hubungannya dengan Tuhan (misalnya
merasa dekat Tuhan) sebagai dimensi pengalaman keberagaman
yang dapat dilihat sebagai dimensi spiritualitas. Hasil penelitian
Wahyuningsih (2009) menunjukkan bahwa spiritualitas dalam
konteks Indonesia tidak dapat lepas dari agama (Islam). Hal ini
berbeda dari konsep religiusitas dan spriritualitas yang dalam
perkembangan psikologi muktahir yang cenderung untuk
dipisahkan.
Menurut Glock (Rahmat, 2003) bahwa ada lima aspek atau
dimensi religiusitas yaitu:
13

1. Dimensi ideologi atau keyakinan, yaitu dimensi dari


keberagamaan yang berkaitan dengan apa yang harus
dipercayai, misalnya kepercayaan adanya Tuhan, malaikat,
surga dan sebagainya. Kepercayaan atau doktrin agama
adalah dimensi yang paling mendasar.
2. Dimensi peribadatan, yaitu dimensi keberagaman yang
berkaitan dengan sejumlah perilaku, dimana perilaku
tersebut sudah ditetapakan oleh agama, seperti tata cara
ibadah, pembaptisan, pengakuan dosa, berpuasa, shalat atau
menjalankan ritual-ritual khusus pada hari-hari suci.
3. Dimensi penghayatan, yaitu dimensi yang berkaitan dengan
perasaan keagamaan yang dialami oleh penganut agama
atau seberapa jauh seseorang dapat menghayati pengalaman
dalam ritual agama yang dilakukannya, misalnya
kekhusyukan ketika melakukan shalat.
4. Dimensi pengetahuan, yaitu berkaitan dengan pemahaman
dan pengetahuan seseorang terhadap ajaran-ajaran agama
yang dianutnya.
5. Dimensi pengamalan, yaitu berkaitan dengan akibat dari
ajaranajaran agama yang dianutnya yang diaplikasikan
melalui sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari.

E. Pemicu Intoleransi dan Radikalisme


Secara organisatoris jaringan radikalisme sudah jauh melemah,
namun bukan berarti akhir dari ancaman radikalisme di Indonesia. Agensi
ideologi radikal terbukti mempunyai kemampuan beradaptasi atau
mengubah diri untuk bertahan. Agensi tersebut bahkan berperan dalam
memperluas sirkulasi ideologi radikal dari kalangan minoritas (terbatas)
yang sangat kecewa dengan keadaan kepada mereka yang memiliki tingkat
kekecewaan lebih rendah.
Hasil survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN
Jakarta di tahun 2017 menemukan ada 34,3% responden yang terdiri dari
anak muda setuju bahwa jihad adalah gerakan melawan non-Muslim.
14

Sedangkan tindakan kekerasaan agama dipicu salah satunya oleh


intoleransi dan dapat berubah menjadi terorisme sebagai bentuk paling
akhir (Perkasa 2016). Survei dari Wahid Institute (2020) menggambarkan
bahwa sikap intoleransi di Indonesia cenderung meningkat dari 46%
hingga sekarang menjadi 54%. Kecenderungan meningkat ini di pengaruhi
oleh beberapa faktor di antaranya; kontestasi politik, ceramah yang
bermuatan ujaran kebencian, dan unggahan bermuatan ujaran kebencian di
media sosial. Meningkatnya sikap intoleransi berakibat kepada tindakan
merusak atau berdampak kepada kelompok lainnya di tengah kehidupan
bermasyarakat di Indonesia.
Data di atas menunjukkan bahwa tren intoleransi dan radikalisme
di Indonesia meningkat dari waktu ke waktu. Salah satu faktor yang
berdampak besar dari meningkatnya intoleransi dan radikalisme adalah
ujaran kebencian melalui media sosial. Meningkatnya intoleransi dan
radikalisme di Indonesia tidak dibarengi dengan tren meningkatnya aksi
terorisme. Sejarah mencatat bahwa aksi terror seringkali dilakukan ketika
bulan Ramadhan. Setidaknya tercatat secara berurutan misalnya, pada 5
Juli 2016 kasus bom bunuh diri di Mapolres Solo, yang terjadi menjelang
Ramadhan; pada 23 Mei 2017 terjadi peledakan bom di Kampung Melayu;
pada 13 Mei 2018 terjadi peledakan bom gereja Surabaya, hari berikutnya
ada bom di Mapolrestabes Surabaya, dua hari setelahnya terjadi serangan
teror di Mapolda Riau; dan pada 3 Juni 2019 terjadi serangan bom di Pos
Polisi Kartasura, Jawa Tengah (Azanella 2018; Tim Liputan CNN 2019b).
Temuan dari Center for Religious and Crosscultural Studies
(CRCS) (2017) menunjukkan keberhasilan kelompok radikal dalam
menyebarkan ideologinya. Adapun cara-cara yang digunakan adalah
dengan pola baru misalnya, pola reproduksi jaringan paham radikal sering
kali memanfaatkan tindakan permisif masyarakat terhadap ideologi radikal
yang terjadi ketika persoalan-persoalan struktur, kemiskinan,
pengangguran dan keterbelakangan semakin menghimpit kehidupan
mereka (Bagir 2018).
15

Kasus bom bunuh diri yang dilakukan oleh M. Syarif pada tahun
2011 di masjid Mapolresta Cirebon, menunjukkan bahwa pelaku
sebelumnya aktif dalam Gerakan Anti Pemurtadan dan Aliran Sesat
(GAPAS) yang eksis di tengah masyarakat Cirebon. M. Syarif kemudian
direkrut oleh jaringan lama dari sebuah kelompok radikal untuk tujuan
menerapkan pola dan strategi baru yang dikenal dengan istilah
“istighlayat”, yakni serangan dalam skala kecil dan bersifat independen
dari kelompok radikal yang lebih besar (Asrori 2017).
Perubahan sosial yang dialami kaum muda bersama dengan
tingginya persaingan merebutkan lapangan kerja menjadikan kaum muda
rentan terhadap pengaruh paham radikal. Hasil temuan dari Lembaga
Kajian Islam Perdamaian (LaKIP) pada tahun 2011 dari 100 sekolah
tingkat SMP dan SMA Umum di daerah Ibu Kota terdapat 48,9%
menyatakan setuju atas aksi-aksi kekerasan yang berjubah keagamaan
(Tim Liputan BBC 2011; Tim Liputan CNN 2019a). Temuan dari PPIM
UIN Jakarta (2017) menunjukkan bahwa 53,74% responden yang terdiri
dari siswa/ mahasiswa setuju bahwa orang Yahudi itu musuh Islam.
Temuan lainnya adalah sikap dan simpati mereka terhadap pelaku
tindakan radikal. Hal tersebut tidak lepas dari derasnya gelombang aktivis
Islamis yang terus-menerus mensosialisasikan keberadaannya,
mensosialisasikan eksklusivitas hingga pada sikap intoleransi baik di
sekolah maupuan tingkat universitas (Iswanto 2018).
Pelanggaran atas kebebasan beragama semakin meningkat bersama
dengan berjalannya waktu. Data SETARA Institute menunjukkan bahwa
di tahun 2014 ada 134 peristiwa, tahun 2015 ada 197 peristiwa, dan pada
tahun 2016 meningkat menjadi 203 peristiwa (Halili 2016, 2017). Data
tersebut menunjukkan bahwa kebijakan, tindakan aktif negara, aktor-aktor
intoleran dan konsolidasi masyarakat sipil toleran memperlihatkan bahwa
faktor-faktor pemicu pelanggaran yang terjadi tidak banyak berubah.
Peristiwa ini dijadikan sebagai dasar bagi pengamat untuk melihat lanskap
keagamaan di bumi pertiwi yang sedang menuju kepada yang lebih
konservatif (Fealy 2008).
16

Sejarah islamisme menunjukkan keterkaitan erat antara mobilisasi


gerakan radikal dengan perubahan lanskap sosial politik yang bersifat
temporal. Indonesia pernah diwarnai gerakan Darul Islam yang telah
menginspirasi persemaian ideologi Islamis yang berhaluan “menentang
negara” (van Bruinessen 2002). Pengaruh globalisasi turut mempercepat
berkembangnya paham radikalisme. Globalisasi berimplikasi terhadap
penyebaran paham radikalisme karena bukan saja mengancam nilai-nilai
tradisional masyarakat, tetapi mempersempit jarak spasial maupun
temporal antara satu negara dengan negara lainnya (Rabasa dan Benard
2014).
Melihat beberapa kasus di atas, penulis berasumsi bahwa negara
dalam hal ini BNPT selama ini belum terlihat maksimal peranannya dalam
menuntaskan kasus-kasus kekerasan yang mengatasnamakan agama yang
ditunjukkan dengan aksi teror. Meskipun BNPT sudah merilis program
unggulannya yakni program sinergi antarkementerian dan lembaga, namun
kasus kekerasan yang berujung teror atas nama agama masih terjadi.
Penulis beranggapan bahwa Negara belum mampu menuntaskan
permasalahan kekerasan sehingga jaminan keamanan bagi kelompok
minoritas dalam persoalan kemerdekaan dalam menjalankan aktivitasnya
sering dikalahkan dengan keinginan dari kelompok mayoritas. Negara
perlu membangun komunikasi yang baik terhadap semua kelompok dan
golongan yang berbeda. Sebagai warga negara dan umat beragama yang
hidup di lingkungan multiagama seperti Indonesia seharusnya dapat
membangun atmosfir komunikasi yang konstruktif.
Lalu cara mengatasi nya BNPT() pelaksanaan dua program yaitu:
Yang pertama adalah program deradikalisasi didalam lapas. Program ini
dilakukan melalui tahapan identifikasi, rehabilitasi, reedukasi,
pengamatan, dan evaluasi. Program pertama ini diperuntukkan bagi
narapidana kasus terorisme yang sedang menjalani masa tahanan. Kedua,
program deradikalisasi di luar lapas. Program ini diperuntukkan bagi
mantan narapidana teroris, dan keluarganya yang rentan terhadap paham-
paham radikal. Program ini dilakukan untuk membentuk kemandirian
17

ekonomi dari keluarga narapidana terorisme, proses resosiliasi atau


reintegrasi mantan narapidana terorisme yang telah berhasil
terderadikalisasi kedalam lingkungan masyarakat sosial dan pencegahan
agar nantinya mantan narapidana terorisme tidak kembali melakukan aksi
teror.
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
Indonesia merupakan negara dengan potensi keberagaman yang besar. Di
Indonesia radikalisme terus meningkat salah satunya dalam beragama, banyak
sekali peristiwa-peristiwa kemanusia yang dilalui oleh masyarakat indonesia.
Fonomena radikalisme dalam beragama merupakan salah satu bukti nyata yang
tidak bisa dihiraukan atau dihilangkan begitu saja. Radikalisme yang ekstrem dan
anarkis selalu memicu banyak persoalan negatif lain, seperti terorisme,
pembunuhan dan pembantaian manusia, dan lain-lain. Khususnya di Indonesia,
gerakan-gerakan radikal yang ekstrem pada umumnya berhubungan dengan
gerakan-gerakan tertentu dalam bidang agama, misalnya dengan ketekadan
mempertahankan ajaran-ajaran fundamental agama tersebut.
Paham Radikalisme, terorisme dan kekerasan ekstrim merupakan salah
satu ancaman nyata terhadap kehidupan dunia global. Tindakan ekstrim biasanya
dilandasi oleh sikap radikal yang disebabkan oleh kefanatikan menganut suatu
paham.

B. Saran
Saran yang bisa penulis berikan Perlu adanya metode penilitian lebih
lanjut akan upaya peningkatan untuk membentengi masyarakat terutama terhadap
pemuda sebagai salah satu cara memaksimalakan potensi genarasi dalam
membentengi bangsa ini, yang notabenenya beragam agama dari radikalisme
agama yang berkembang. Banyaknya agama yang dianut oleh bangsa Indonesia
membawa persoalan hubungan antara penganut.
Dengan demikian, kita sebagai salah satu rakyat Indonesia seharusnya
terus mempelajari, mengkaji dan saling memberi pengetahuan mengenai betapa
pentingnya ideologi untuk menangkal kejamnya radikalisme dalam beragama
maupun lain sebagainya.

18
DAFTAR PUSTAKA

Gaffar, Abdul. Dkk. 2018. Orang Muda Bicara Keagamaan, Intoleransi, &
Nir-Kekerasan. Ambon Reconciliation and Mediation Center (ARMC) IAIN
Ambon, dengan PPIM Universitas Islam Negeri (UIN) Syaraif Hidayatullah
Jakarta, UNDP dan CONVEY. Batumerah Atas.

Gejala intoleransi dalam beragama dan faktor penyebab intoleransi dalam


beragama. dari https://id.scribd.com/document/397641931/Makalah-Intoleransi-
Dalam-Beragama

Hunsberger's (1995) pengertian intoleransi dan tiga komponen, hlm. 113-


29

Junaiedi. Makna Hidup Pada Mantan Pengguna Napza. Artikel,


Universitas Gunadarma.

Mahmudah, Siti. (2018). Islamisme: Kemunculan dan Perkembangannya


di Indonesia. Jurnal Aqla, 3(1). 2-4

Rochim, Ifaa. (2009). Skripsi. Hubungan Antara Religiusitas Dengan


Kebermaknaan Hidup Pada Santriwati Muallimin Pondok Pesantren Al-Mukmin
Sukoharjo. Fakultas Agama Islam Surakarta, hal: 7

https://www.researchgate.net/profile/Endang
Supriadi/publication/344161295_Intoleransi_dan_Radikalisme_Agama_Konstruk
_LSM_tentang_Program_Deradikalisasi/links/5f57308492851c250b9cff71/Intole
ransi-dan-Radikalisme-Agama-Konstruk-LSM-tentang-Program-Deradikalisasi.pdf

19

Anda mungkin juga menyukai