Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH SOSIAL POLITIK ISLAM

“RADIKALISME AGAMA”
Dosen Pembimbing : Sukendar, S.Ip, M.Si

DISUSUN OLEH :
Arravia Syamdi (41120006)
Fanisa Amalia (41120020)
Nayla Syarifah (41120032)
Rivaldi Maulana Abdullah (41120040)
Siti Ananda Shaleha (41120045)
Siti Rosi Khotudiniah (41120048)

JURUSAN ADMINISTRASI PUBLIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL, POLITIK DAN HUKUM
UNIVERSITAS SERANG RAYA
2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan yang Maha Esa yang
telah memberikan izin dan kekuatan kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Radikalisme Agama” ini tepat pada waktunya.

Tugas ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Ilmu Politik. Dan juga
kami mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Sukendar, S.IP, M.Si selaku dosen pembimbing mata kuliah Sosial Politik
Islam.
2. Semua pihak yang tidak sempat kami sebutkan satu persatu yang turut membantu
kelancaran dalam penyusunan makalah ini.
3. Orang tua yang sudah mendukung dan memberi semangat setiap saat.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan kelemahannya, baik
dalam isi maupun sistematikanya. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan
wawasan kami. Oleh sebab itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran untuk
meyempurnakan makalah ini.

Demikian yang dapat kami sampaikan. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat.

Wassalamualaikum wr.wb

Serang, 14 Juni 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................................................ii
BAB 1...................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN................................................................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................................................2
C. Tujuan......................................................................................................................................2
BAB II..................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN...................................................................................................................................3
a. Definisi Radikalisme Agama Islam.........................................................................................3
b. Akar Sejarah Radikalisme Agama Islam...............................................................................4
c. Radikalisme dalam “Gerakan Keagamaan”.........................................................................8
d. Faktor Penyebab Radikalisme Agama Islam.......................................................................10
1. Faktor Pemahaman Agama..............................................................................................10
2. Faktor Sosial - Polikultural...............................................................................................12
3. Faktor Psikologis:..............................................................................................................13
e. Pencegahan Radikalisme Agama..........................................................................................13
BAB III...............................................................................................................................................16
PENUTUP..........................................................................................................................................16
Kesimpulan....................................................................................................................................16
Saran...............................................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................18

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara dengan potensi keberagaman yang besar. Dengan berbagai
keberagaman dari sisi bahasa, budaya, suku, kondisi alam, dan agama. Agama di Indonesia
yang diakui dan dilindungi oleh pemerintah di antaranya Islam, Kristen Protestan, Kristen
Katholik, Hindu, Budha, dan kong hu chu. Agama Islam merupakan agama yang paling
banyak dianut di Indonesia. Keberagaman yang ada di Negara Indonesia ini memiliki potensi
besar atau potensi positif yang dapat dikembangkan dan keberagaman ini juga dapat menjadi
sesuatu yang merugikan apabila kesadaran tentang konteks keberagaman tidak dikembangkan
dengan baik. Gesekan tersebut timbul dari berbagai kelompok berdasarkan etnis, budaya, dan
agama, sehingga masing-masing kelompok menganggap bahwa dirinyalah yang paling benar
dan berkuasa terhadap kelompok-kelompok yang lainnya.

Radikalisme pada dasarnya merupakan paham atau aliran yang bertujuan mengadakan
perubahan atau pembaharuan secara drastis dan revolusioner dalam bidang sosial dan politik.
Berawal dari sebuah aliran, kemudian radikalisme muncul sebagai sebuah gerakan yang
seringkali menggunakan slogan khusus yang mengatasnamakan agama, khususnya Agama
Islam. Aksi pengeboman seperti Bom Bali I tahun 2002, JW. Marriot tahun 2003, Kedutaan
Australia tahun 2004 dan lain-lain. Peristiwa ini diindikasikan oleh banyak pihak akibat
adanya radikalisme agama khususnya agama islam. Aksi-aksi radikalisme muncul disebabkan
oleh adanya sikap tidak menerima perbedaan.

Kemunculan radikalisme Agama (Islam Radikal) di Indonesia ditengarai oleh dua faktor.
Pertama, faktor internal dari dalam diri sendiri. Faktor ini terjadi karena adanya
penyimpangan norma-norma agama. Kajian terhadap agama hanya dipandang dari satu arah
yaitu tekstual, tidak melihat dari faktor lain, sehingga tindakan-tindakan yang mereka
lakukan harus merujuk pada perilaku Nabi secara literal. Kedua, faktor eksternal di luar diri
yang mendukung terhadap penerapan syari`at Islam dalam sendi-sendi kehidupan.

1
Radikalisme saat ini telah terjadi dikalangan remaja. Remaja tidak memiliki kemampuan
untuk menangkal doktrin-doktrin radikal yang diberikan oleh figure otoritas. Doktrin tersebut
dapat mempengaruhi remaja untuk melakukan sebuah tindakan kekerasan atas nama agama.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud radikalisme agama ?


2. Apa yang melatarbelakangi fenomena radikalisme agama?
3. Bagaimana gerakan dan dampak radikalisme agama?
4. Apa saja faktor-faktor munculnya radikalisme agama?
5. Bagaimana cara mencegah radikalisme agama?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui dan menjelaskan apa itu radikalisme agama.


2. Untuk mengetahui dan menjelaskan latar belakang fenomena radikalisme agama.
3. Untuk mengetahui dan menjelaskan gerakan dan dampak radikalisme agama.
4. Untuk mengetahui dan menjelaskan faktor-faktor munculnya radikalisme agama.
5. Untuk mengetahui dan menjelaskan Bagaimana cara mencegah radikalisme agama.

2
BAB II

PEMBAHASAN

a. Definisi Radikalisme Agama Islam

Secara etimologi, radikalisme dengan kata dasar radikal berasal dari bahasa Latin,
radix, yang berarti “akar”. Radikalisme merupakan respons terhadap kondisi yang sedang
berlangsung yang muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan, atau bahkan perlawanan
terhadap ide, asumsi, kelembagaan, atau nilai. Terminologi radikalisme agama jika
dikaitkan dengan istilah bahasa Arab, sampai saat ini belum ditemukan secara pasti dalam
kamus-kamus bahasa Arab. Sehingga istilah ini sering dikaitkan dengan fundamentalisme
Islam yang berasal dari teori Barat.

Dalam perkembangan bahasa arab kontemporer, radikalisme pada akhirnya


disamakan arti dengan beberapa istilah, antara lain : al-tatarruf, al-‘unf, al-guluww, al-
irha>b, dan tasyaddud. Kata at-tatarruf secara bahasa berasal dari kata al-tarf yang
berarti “ujung atau pinggir”. Maksudnya berada di ujung atau pinggir, baik di ujung kiri
maupun kanan. Karenanya, menurut penelusuran penulis, dalam aplikasi kamus bahasa
arab modern, kata al-tat}arruf bermakna konotasi ekstrimisme, radikalisme, melampaui
batas, keterlaluan, berlebih-lebihan.

Al-‘unf adalah antonim dari ar-rifq yang berarti lemah lembut dan kasih sayang.
Abdullah an-Najjar mendefiniskan al-‘unf dengan penggunaan kekuatan secara ilegal
(main hakim sendiri) untuk memaksanakan kehendak dan pendapat. Term ghuluww,
berasal dari kata ghala yaghlu yang berarti melampaui batas (tajawuz al-hadd). Di dalam
al-Qur’an hanya ditemukan dalam bentuk kata kerja di dua ayat, yaitu Q.S an-Nisa’ [3] :
171 dan Q.S al-Ma’idah [5] :73. Pada zaman Rasulullah saw., kata ghuluww ini
digunakan untuk menyebut praktik pengamalan agama yang ekstrim sehingga melebihi
kewajaran semestinya.

Menurut hadis riwayat Ahmad , Rasulullah SAW.. pernah berkata kepada kepada
Ibnu ‘Abbas di Muzdalifah saat Haji Wada’. Saat itu Rasulullah saw.. minta kepada Ibnu
‘Abbas agar memungutkan kerikil kecil untuk melempar jumrah. Begitu Ibnu ‘Abbas
meletakkan kerikil itu di tangan Rasul, beliau bersabda, “Ya, yang seperti itu, jangan

3
berlebihan (guluw) dalam beragama...”. Maksudnya, jangan berlebihan mengambil batu
yang besar untuk lempar jumrah, sebab batu yang kecil sudah cukup. Substansi hadis ini
sangat penting dalam mempraktikkan ajaran Islam yang rahmatan li al-‘alami.

Kata irb dalam al-Mu‘jam al-Wasit memiliki definisi “sifat yang dimiliki oleh mereka
yang menempuh kekerasan dan menebar kecemasan untuk mewujudkan tujuan-tujuan
politik. Sedangkan al-irhab dalam pengertian negatif di atas tidak ditemukan dalam al-
Qur’an dan kamus-kamus Arab klasik, karena istilah itu belum dikenal di masa klasik.
Bahkan, 8 kali penyebutan kata al-irhab di dalam al-Qur’an selalu bermakna positif. Jadi
apabila dalam bahasa arab kontemporer menggunakan kata al-irhab untuk menyebut kata
teror, menurut penulis itu merupakan perluasan makna kata dan bukanlah berdasar dari
al-Qur’an.

Sedangkan term tasyaddud, dalam bentuknya yang mengindikasikan sikap


radikalisme tidak ditemukan dalam al-Qur’an. Bentuk lain yang merupakan derivasi dari
kata tasyaddud banyak ditemukan dalam al-Qur’an, misalnya syadid, syidad, asyidda’,
dan asyad. Namun dari semua kata-kata tersebut hanya menunjuk kepada kata dasarnya
saja, yakni keras dan tegas, dan tidak ada satupun yang bisa disamakan dengan makna
radikal atau ekstrim. Dikarenakan belum adanya kesepakatan di antara para ahli untuk
menggambarkan gerakan radikal sehingga memunculkan banyak terminologi lain, antara
lain Neo-Khawarij, Khawarij abad ke-2047. Menurut Azyumardi Azra, radikalisme
merupakan bentuk ekstrim dari revivalisme. Revivalisme merupakan intensifikasi
keislaman yang lebih berorientasi ke dalam (inward oriented), dengan artian
pengaplikasian dari sebuah kepercayaan hanya diterapkan untuk diri pribadi. Adapun
bentuk radikalisme yang cenderung berorientasi keluar (outward oriented), atau kadang
dalam penerapannya cenderung menggunakan aksi kekerasan lazim disebut
fundamentalisme.

b. Akar Sejarah Radikalisme Agama Islam

Allah menciptakan segala sesuatu di bumi ini dengan keadaan yang setimbang.
Beragam ayat-ayat yang disebutkan dalam al-Qur’an menjadi bukti keseimbangan
penciptaan Allah SWT. Hal tersebut semestinya bukan dianggap sebagai fenomena alam
biasa, namun juga harus diresapi sebagai rahmat Allah SWT sebagai Dzat Yang Maha

4
Bijaksana. Nilai moral yang dapat dipetik dari prinsip keseimbangan di alam raya ini,
yakni Allah mengingatkan agar manusia senantiasa menjaganya dengan tidak melakukan
perilaku-perilaku menyimpang, seperti tidak berlaku adil, tidak jujur, dan kecurangan-
kecurangan lainnya.

Dalam konteks keseimbangan juga, Rasulullah melarang umatnya untuk tidak terlalu
berlebihan meski dalam menjalankan agama sekalipun. Beliau lebih senang jika hal itu
dilakukan secara wajar tanpa adanya pemaksaan diri yang berlebihan. Beberapa
gambaran prinsip keseimbangan inilah yang biasa dikenal dengan moderasi yang biasa
diistilahkan wasiat atau wasatiyah.

Berangkat dari uraian diatas, sejak awal Islam sejatinya memang lahir dengan asas
keadilan, kemanusiaan dan sarat dengan ajaran yang moderat seperti dalam firmanNya
Q.S Al-Baqarah [2] : 143. Islam moderat artinya Islam yang tidak terlalu kanan, maupun
kiri. Tidak keras namun juga tidak lemah. Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin
haruslah senantiasa menyebarkan kedamaian tanpa adanya paksaan seperti yang telah
diajarkan Rasulullah saw. Namun citra Islam yang penuh kemudahan dan kedamaian
tersebut, juga tidak bisa diartikan bahwa Islam merupakan agama yang sepele.

Islam sebagai agama yang memiliki dasar hukum yang tertulis bisa dilihat dari
berbagai sudut pandang. Sehingga lahirnya beragam penafsiran merupakan suatu
keniscayaan. Dalam perkembangan sejarahnya, setelah jauh dari zaman Rasulullah saw.
dan para sahabat, penafsiran cenderung semakin beragam dan harus disesuaikan dengan
konteks yang ada. Dalam situasi demikian, timbul upaya “penomorsatuan” jenis
penafsiran yang menimbulkan fanatisme.

Fanatisme menimbulkan persoalan yang cukup serius mengingat tak jarang ada
berbagai kepentingan di balik penafasiran tersebut. Realita teks keagamaan yang
multitafsir memberikan peluang kepada siapa saja yang mempunya kepentingan khusus
untuk menafsirkan teks keagamaan sesuai dengan ideologi maupun kepentingannya
masing-masing. Sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian kelompok yang menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an sebagai alat untuk melegalkan aksi-aksi kekerasan atas nama agama.
Mereka bahkan bersedia mengorbankan apa saja yang tidak masuk akal; dari berkorban
harta sampai jiwa. Dalam konteks sejarah Islam, tidak dipungkiri adanya peperangan
yang pernah terjadi yang dilakukan oleh Rasulullah saw., tercatat tidak kurang dari 19

5
sampai 21 kali terjadi ghazwa (perang besar) atau perang yang langsung dipimpin oleh
Rasulullah saw., bahkan ada yang berpendapat 27 kali terjadi perang, yang melibatkan
pasukan besar dan Rasulullah saw., sendiri yang terlibat di dalamnya, atau mengutus
pasukan tersebut.

Selain dalam bentuk ghazwa, ada pula istilah lain dalam sejarah Islam yaitu disebut
dengan sariyyah (perang yang tidak dipimpin oleh Rasulullah saw.) atau perang kecil
yang terjadi hampir 35 sampai 42 kali terjadi.52 Menurut Gamal al-Banna, usaha untuk
memahami ayat qitâl, dan sebagaimana bentuk penerapannya, tidak akan tercapai dengan
baik tanpa memahami kondisi dan sebab-sebab yang melatarbelakangi ayat tersebut
diturunkan, kepindahan dari Mekah ke Madinah bukanlah semata perpindahan dari suatu
tempat ketempat lain, akan tetapi merupakan kepindahan dari sebuah model masyarakat
ke model masyarakat yang lain yang memiliki sifat, karakter serta memiliki spesifikasi
tersendiri yang sangat berbeda dibandingkan dengan spesifikasi yang dimiliki oleh
masyarakat Quraisy.

Dalam sejarah peperangan masa Rasulullah, perlawanan yang dilakukan kaum


muslim bukanlah termasuk tindakan radikalisme. Sebab mereka lebih memberikan
perlawanan setelah mendapatkan serangan musuh, dan tidak menyerang dengan membabi
buta tanpa alasan.

Beberapa literatur menerangkan gerakan radikalisme Islam dimulai pada masa


Kalifah Ali bin Abi Thalib, yakni munculnya kaum khawarij. Berakar pada sejarah Islam
masa lampau, gerakan kaum Khawarij yang muncul pada masa akhir pemerintahan Ali
bin Abi Thalib dengan prinsip-prinsip radikal dan ekstrim dapat dilihat sebagai gerakan
fundamentalisme klasik dalam sejarah Islam. Langkah radikal mereka diabsahkan dengan
semboyan lahukma illali Allah (tidak ada hukum kecuali milik Allah) dan lahakama illa
Allah (tidak ada hakim selain Allah) yang dielaborasi berdasar Q.S. al-Ma’idah: 44 yang
berbunyi: َ‫افِرُون‬UU‫كَ هُ ُم ْال َك‬UUِ‫ َز َل هّللا ُ فَأُوْ لَئ‬U ‫ا أَن‬UU‫ َو َمن لَّ ْم يَحْ ُكم بِ َم‬٤٤ ... - (siapa yang tidak menentukan
hukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah kafir)

Peristiwa mengerikan tersebut terjadi pada 14 Ramadan 40 H, ketika tiga orang


militan yang merencanakan pembunuhan terhadap tiga tokoh penting kaum muslim di
Mekah ketika itu. Mereka adalah ‘Amr bin Bakr, al-Barak bin Abdullah, dan
Abdurrahman bin Muljam yang semuanya merupakan anggota dari kaum Khawarij

6
(kelompok yang keluar dan memisahkan diri dari mainstream muslim), yang tidak puas
dengan kepemimpinan umat ketika itu. Mereka pada awalnya adalah pengikut dari salah
seorang dari tiga pemimpin yang sedang mereka rencanakan pembunuhannya itu, yakni
Ali bin Abi Thalib, khalifah yang sah pada saat itu, tetapi mereka tidak setuju pada
kesediaan sang khalifah untuk menerima tahkim (arbritasi) antara sang khalifah dengan
musuhnya, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, melalui orang yang ditunjuknya, yakni ‘Amr bin
‘As}. Mereka juga menilai Mu’awiyah sebagai pemberontak terhadap kepemimpinan
yang sah (buga>t), sehingga ia pun harus diperangi. Karena alasan demikian, kelompok
Khawarij tidak mau tunduk kepada Ali dan Mu’awiyah.

Selain sejarah khawarij, di sepanjang sejarah perjalanan Islam, banyak ditemukan


fenomena pemasungan teks-teks keagamaan (al-Qur’an) untuk kepentingan politik yang
ujung-ujungnya memicu tindakan radikalisme agama. Sebagai contoh lain adalah
peristiwa mih}nah yang terjadi pada masa pemerintah khalifah al-Ma’mun (813-833 H).
Dalam peristiwa tersebut, terjadi pemaksaan pendapat oleh golongan Mu’tazilah, sebuah
golongan dalam Islam yang justru mengaku dirinya sebagai kelompok yang
rasionalis.Tokoh-tokoh Islam dan pemuka masyarakat yang tidak sependapat dengan
sekte tersebut dipenjarakan, disiksa dan bahkan ada yang dihukum mati.

Gerakan kaum khawarij yang muncul di akhir masa pemerintah Ali bin Abi Thalib
dan gerakan kaum mu’tazilah ini yang kemudian sering dijadikan contoh gerakan
fundamentalisme klasik yang melegalkan praktik radikal. Dalam sejarah Islam gerakan-
gerakan tersebut menandai terbentuknya gejala takfirisme dalam Islam.

Pada masa pra-modern, gerakan fundamentalisme radikal muncul pada abad 12 H di


Semenanjung Arabia di bawah pimpinan Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab (1703-1792)
yang kemudian dikenal sebagai gerakan Wahabi. Inilah yang kemudian membentuk
salafisme awal yang bersifat takfiri60, dengan Ibnu Taimiyah sebagai tokoh utamanya.
Dengan mengusung gerakan yang bertujuan untuk memurnikan ajaran Islam serta
mengajak kembali kepada ajaran al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw., gerakan ini melakukan
tindak kekerasan dengan membunuh orang-orang yang dianggap bid’ah, tahayul dan
khurafat. Sejarah juga mencatat gerakan ini juga melakukan tindak kekerasan dengan
menghancurkan monumen-monumen historis di Mekah dan Madinah.

Dari paparan historis di atas, dapat dikatakan bahwa radikalisme dan


fundamentalisme Islam, sebagaimana juga fundamentalisme dalam agama lain, memiliki

7
beberapa karakteristik yang membedakannya dengan kelompok lain. Pertama,
skripturalisme, yaitu pemahaman harfiah dan tektualis atas ayat-ayat al-Qur’an.
Karenanya mereka menolak hermeneutika sebagai cara dalam memahami al-Qur’an.
Kedua, penolakan terhadap pluralisme dan relativisme yang dianggap akan merusak
kesucian teks. Ketiga, penolakan terhadap pendekatan historis dan sosiologis yang
dipandang akan membawa manusia melenceng jauh dari doktrin literal kitab suci.
Keempat, memonopoli kebenaran atas tafsir agama, di mana mereka menganggap dirinya
yang paling berwenang dalam menafsirkan kitab suci dan memandang yang lainnya
sebagai kelompok yang sesat.

Jadi kesimpulannya berdasarkan definisi secara etimologi maupun terminologi,


radikalisme agama adalah suatu paham yang menghendaki adanya perubahan yang
mendasar (fundamental) sesuai dengan interpretasi ideologi yang dianutnya dimana
dalam penerapannya cenderung menggunakan tindak kekerasan sampai tindakan yang
tidak sesuai dengan norma sosial yang berlaku.

c. Radikalisme dalam “Gerakan Keagamaan”


Radikalisme mula-mula adalah aliran yang digunakan oleh kaum revolusioner
nasional di dunia Barat untuk merebut kekuasaan politik, demikian juga aliran yang
digunakan oleh kaum nasionalis anti kolonial kemudian digunakan oleh para aktifis sosial
untuk mencapai tujuan-tujuan sosial. Namun dalam perkembangannya radikalisme
digunakan oleh kelompok-kelompok militan yang mendasarkan dirinya pada interpretasi
agama.63 Secara global, radikalisme dikaitkan dengan beberapa diskursus, antara lain::
radikalisme dalam revolusi sosial dan politik, radikalisme dalam gerkan pembebasan
nasional, radikalisme dalam gerakan sosial, radikalisme dalam gerakan keagamaan.64
Dalam pemabahasan kali ini teori radikalisme hanya akan difokuskan pada gerakan
keagamaan.

Radikalisme melanda gerakan keagamaan atau gerakan politik yang menggunakan


cita-cita keagamaan. Negara Eropa pada zaman dahulu memperluas negara jajahan
menggunakan radikalisme agama untuk gerakan kolonialismenya, yakni yang banyak
dikenal dengan slogan Glory, Gold dan Gospel. Dewasa ini gerakan politik keagamaan
yang radikal berbasis Islam muncul dan berkembang terutana di negara-negara yang

8
menjadi lahan subur radikalisasi seperti Timur Tengah, Asia Tenggara seperti Indonesia,
Malaysia, Filipina dan Thailand, termasuk Checnya.

Gejala ini dimulai tahun 2001, ketika al-Qaeda pimpinan Osama Bin Laden
menyerang New York dan Pentagon di Washington DC, para ilmuwan sosial terkejut dan
mulai memfokuskan studi tentang gerakan radikal berbasis Islam. Gejala tersebut vakum
diperbincangkan hingga muncul berita yang mengejutkan. Lebih dari 5.000 orang tewas
di New York dalam serangan itu dan dibalas oleh Amerika Serikat dengan menyerang
Afganistan di mana al-Qaeda bermarkas. Akhirnya para peneliti mulai memfokuskan
perhatian ke Afganistan, wilayah yang telah menghasilkan banyak sekali jihadis yang
radikal.

Kelompok radikal Afganistan yang terdesak serbuan balasan dari Amerika kemudian
merapat ke perbatasan Pakistan dan bergabung dengan gerakan mujahidin garis keras
Pakistan. Gerakan radikal-kekerasan yang berideologi lebih keras muncul di Mosul, Iraq,
ketika Abu Bakar Al-Baghdadi pada 5 Juli 2014 berpidato di Masjid Agung Mosul
mengumumkan berdirinya Negara Islam Irak-Suriah (ISIS) yang berideologi Khilafah.67
Dalam memahami ideoligi ISIS, harus difahami melalui dua bagian, yakni Salafisme
Jihadi dan Orientasi garis keras ISIS.68 Pemahaman mengenai Salafisme Jihadi mengacu
pada praktik kaum salah yakni zaman Rasulullah saw. dan para sahabat. Sedangkan jihad
diorientasikan pada suatu usaha yang disyari’atkan untuk membela agama Islam. Namun
pada kenyataannya, pemahaman mereka cenderung beranggapan bahwa jihad adalah
sebuah perang dan penyerangan yang dilakukan oleh umat muslim kepada kelompok lain
(non Islam/kafir).

Negara yang digagas Al-Baghdadi itu dicoba diwujudkan dengan jalan radikal dan
menggunakan kekerasan yang ekstrem. Haidar Assad menuliskan bahwa Abu Umar al-
Baghdadi mengutarakan faham dan ideologi ISIS yakni : Pertama, Takfiri ; Kedua,
mengutarakan cara kekerasan dan kejam ; Ketiga, menjustifikasi “sesat” atau bid’ah
segala bentuk akulturasi nilai-nilai budaya dan kearifan lokal dengan ajaran Islam.
Keempat, memaksakan ideologi “Negara Islam” di bawah kekhalifahan Abu Bakar al-
Baghdadi ; Kelima, mengutamakan nilai-nilai Jihad (dalam persepsi ISIS difahami
sebagai doktrin untuk berperang secara fisik.

Dengan direbutnya Mosul oleh tentara Irak dan direbutnya Raqa oleh tentara Suriah
dari ISIS, maka banyak milisi ISIS melarikan diri keluar Irak dan Suriah. Termasuk para

9
milisi ISIS asal Indonesia yang jumlahnya mungkin ribuan, dan kembali lagi ke Tanah
Air. Kepolisian Republik Indonesia mencatat ada 500 lebih milisi ISIS asal Indonesia
yang melakukan repatriasi dan mereka dianggap sebagai ancaman keamanan. ISIS
memiliki pengaruh kuat di kalangan kaum radikal di Indonesia, Filipina dan kawasan
Asia Tenggara lainnya. Di Indonesia ISIS memiliki cabang dan banyak pendukung dalam
berbagai organisiasi radikal bawah tanah seperti Jamaah Ansharut Daulah (JAD) atau
(Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) yang terlibat dalam serangkaian aksi terorisme di
Indonesia. Di Filipina kelompok-kelompok pendudung ISIS yang dipimpin oleh Isnilon
Happilon, pemimpin ISIS Asia Tenggara.

d. Faktor Penyebab Radikalisme Agama Islam


Radikalisme Islam pada zaman dulu banyak dilatarbelakangi oleh adanya kelemahan
umat Islam baik pada bidang aqidah, syari’ah maupun perilaku, sehingga radikalisme
Islam merupakan ekspresi dari tajdid (pembaruan), islah (perbaikan), dan jihad (perang)
yang dimaksudkan untuk mengembalikan muslim pada ruh Islam yang sebenarnya.69
Tetapi akar radikalisme Islam di zaman modern ini sangat kompleks.

Walaupun faktor-faktor munculnya radikalisme beragama sangat kompleks dan


beragam, namun sebagaimana diungkapkan oleh John L. Esposito bahwa peperangan dan
kekerasan dalam agama selalu bermula dari faktor keimananan manusia. Menurut Yusuf
al-Qaradhawi, faktor utama munculnya radikalisme dalam beragama adalah kurangnya
pemahaman yang benar dan mendalam atas esensi ajaran agama Islam itu sendiri dan
pemahaman literalistik atas teks-teks agama. Menurut Arkoun, al-Qur’an telah digunakan
muslim untuk mengabsahkan perilaku, menjustifikasi tindakan peperangan, melandasi
berbagai apresiasi, memelihara berbagai harapan, dan memperkukuh identitas kolektif.

Apabila dikelompokkan berdasarkan realita sejarah radikalisme dan dari berbagai


teori para ahli, secara global penulis mengelompokkan faktor-faktor munculnya gerakan
radikalisme yakni: faktor pemahaman agama,dan faktor sosial-polikultural, faktor
psikologi.

Berikut adalah pemaparan dari masing-masing faktor :

10
1. Faktor Pemahaman Agama
Seperti yang dijelaskan dalam deskripsi sebelumnya, faktor utama munculnya
radikalisme Islam adalah ideologi yang minim pemahaman mendalam atas esensi ajaran
agama Islam itu sendiri, di mana Islam hanya dipahami secara dangkal dan parsial.
Kelompok muslim yang berafiliasi pada Islam radikal, melakukan tindak kekerasan
dengan dalih melakukan dakwah, ‘amr ma’ruf nahi munkar, dan jihad untuk
memberantas ketidakadilan, menegakkan kebenaran, pemerataan kemakmuran, dan
semacamnya.

Berdasarkan metodologi memahami kitab suci, dari beberapa hasil penelitian


menunjukkan bahwa orang-orang yang cenderung mengikuti cara pandang fundamentalis,
lebih berpeluang memiliki persepsi agresif terhadapp ajaran agama. Beberapa kelompok
fundamentalis masa kini cenderung memaknai kitab suci secara literal. Kelompok
literalis disebut juga tekstualis atau skriptualis adalah kelompok yang memaknai kitab
suci dengan mementingkan huruf-huruf yang tertera dalam kitab suci, berdasarkan arti
kata-perkata dan kalimat per-kalimat, kurang memperhatikan bentuk-bentuk sastra,
struktur teks, konteks sosiologis, situasi historis, kekinian, kondisi subjektif penulis
misalnya kejiwaan ketika menulis teks.

Karena pemahaman literal tersebut, konsep jihad yang dipahami oleh kelompok
radikal Islam tidak hanya sebagai bentuk perjuangan dakwah Islam, tetapi lebih jauh
dipahami sebagai bentuk perlawanan (perang) terhadap musuh-musuh idelogis Islam
(kaum kafir). Selain pemahaman dan penekanan dimensi teologisnya, jihad juga
dibenturkan dalam dimensi dua kutub teritorial yang berseberangan yakni dar al-Islam
dan dar al- arb yang mana dār yang kedua dijadikan sebagai sasaran ekspansi dengan
legitimasi jihad untuk menegakkan kalimat Allah di muka bumi baik dengan cara damai
ataupun perang.

Jadi, radikalisme yang berhubungan dengan ajaran agama (dakwah, ‘amr ma’ruf nahi
munkar, jihad, dan kafir) disebabkan oleh persepsi dan pengetahuan mereka sendiri
terhadap ajaran yang berlandaskan kitab suci. Ajaran agama dalam kitab suci
sesungguhnya adalah bersifat netral. Ketika ditafsir secara ekslusif dengan pendekatan
tekstual literalis dapat melahirkan radikalisme, sementara ketika ditafsir dengan
pendekatan substantif-kontekstual akan melahirkan sikap moderat atau tidak radikal. Jadi
ajaran agama khususnya dakwah, amar makruf nahi mungkar dan jihad, tidak otomatis

11
melahirkan radikalisme, melainkan melibatkan proses konstruksi yang dilakukan para
pemikir dan pemeluk agama.

2. Faktor Sosial - Polikultural


Dj. Ancok menyatakan bahwa radikalisme Islam terjadi disebabkan faktor
ketidakadilan baik “ketidakadilan prosedural”, “ketidakadilan distributif”, maupun
“ketidakadilan interaksional”. Sebagai contoh berbagai gerakan radikalisme Islam dipicu
oleh persepsi ketidakadilan prosedural dan ketidakadilan distributif yang dilakukan Blok
Negara Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat dengan instrumen ekonomi dan politik
berupa lembaga IMF, World Bank, dan WTO. Sedangkan ketidakadilan interaksional
berupa pihak Blok Barat menerapkan standar ganda dalam hubungan mereka dengan
Israel yang sangat berbeda dengan perlakuan mereka pada negara-negara yang
berpenduduk mayoritas muslim.

Thontowi menambahkan bahwa radikalisme Islam paling ekstrim berupa terorisme


global terkait dengan ketidakadilan struktural. Putusan-putusan hukum internasional
melalui Mejelis Umum PBB berdasarkan prinsip mayoritas boleh jadi tidak
mengakomodasikan kepentingan minoritas (muslim). Dewan Keamanan PBB yang
memainkan peranan dalam penerapan sangsi hukum internasional acapkali membuat
putusan yang bias.

Ketidakadilan prosedural, distributif, interaksional, dan struktural seperti pemaparan


diatas, menurut penulis juga dapat berhubungan dengan instrument ekonomi. Sejarah
mencatat bahwa gerakan radikal Islam di Timur Tengah berhubungan dengan kesulitan
ekonomi yang dialami negara-negara Arab ketika hubungan ekonomi dengan Moskow
putus setelah Uni Soviet jatuh tahun 1991. Kekerasan kaum fundamentalis Islam
berhubungan dengan frustrasi akibat modernisasi yang secara tidak langsung
memposisikan umat Islam berada pada posisi klas pekerja rendahan.

Hegemoni politik, ekonomi dan budaya Barat (non Islam) terhadap umat Islam yang
dianggap membahayakan Islam dan umat Islam. Bagi kalangan fundamentalis ide-ide
modernisme Barat dianggap telah mendistorsi tradisionalisme mereka. Ketika ide-ide
modernisme memasuki ranah kehidupan dan ideologi umat Islam maka harus dilakukan
upaya-upaya membendung modernisme karena akan membuat ide-ide tradisional
fundamentalis mereka akan menjadi menguat dan mempunyai daya tarik tersendiri,
bahkan beberapa penulis melihat bahwa faktor ekonomi, alam yang gersang, dan

12
semacamnya menjadi pemicu munculnya ekspresi gerakan fundamentalisme dalam
bentuk perang suci dengan menaklukkan wilayah lain.

3. Faktor Psikologis:

Faktor ini sangat terkait dengan pengalaman hidup individual seseorang.


Pengalamannya dengan kepahitan hidupnya, linkungannya, kegaggalan dalam karir dan
kerjanya, dapat saja mendorong sesorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang
menyimpang dan anarkis. Perasaan yang menggunung akibat kegagalan hidup yang
dideranya, mengakibatkan perasaan diri terisolasi dari masyarakat. Jika hal ini terus
berlangsung tanpa adanya pembinaan dan bimbingan yang tepat. Orang tersebut akan
melakukan perbuatan yang mengejutkan sebagai reaksi untuk sekedar menampakkan
eksistensi dirinya.

Dr. Abdurrahman al-Mathrudi pernah menulis, bahwa sebagian besar orang yang
bergabung kepada kelompok garis keras adalah mereka yang secara pribadi mengalami
kegagalan dalam hidup dan pendidikannya. Mereka inilah yang harus kita bina, dan kita
perhatikan. Maka hendaknnya kita tidak selalu meremehkan mereka yang secara ekonomi
dan nasib kurang beruntung. Sebab mereka ini sangat rentan dimanfaatkan dan dibrain
washing oleh kelompok yang memiliki target terorisme tertentu.

e. Pencegahan Radikalisme Agama

Program yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka menanggulangi paham


radikalisme agama yaitu dilakukan melalui cara yang dikenal dengan deredikalisasi.
Deradikalisasi adalah suatu upaya mereduksi kegiatan-kegiatan radikal dan menetralisir
paham radikal bagi mereka yang terlibat teroris dan simpatisannya serta anggota masyarakat
yang telah terekspose paham-paham radikal teroris.

Deradikalisasi mempunyai makna yang luas, mencakup hal-hal yang bersifat keyakinan,
penanganan hukum, hingga pemasyarakatan sebagai upaya mengubah yang radikal menjadi
tidak radikal. Oleh karena itu deradikalisasi dapat dipahami sebagai upaya menetralisasi
paham radikal bagi mereka yang terlibat aksi terorisme dan para simpatisasinya, hingga
meninggalkan aksi kekerasan.

13
Deradikalisasi dilakukan melalui proses meyakinkan kelompok radikal untuk meninggalkan
penggunaan kekerasan. Program ini juga bisa berkenaan dengan proses menciptakan
lingkungan yang mencegah tumbuhnya gerakan-gerakan radikal dengan cara menanggapi
root cause (akar-akar penyebab) yang mendorong tumbuhnya gerakan-gerakan ini.

Menurut Azyumardi (2012), deredikalisasi dilakukan dengan enam pendekatan, yaitu


rehabilitasi, reedukasi, resosialisasi, pembinaan wawasan kebangsaan, pembinaan keagamaan
moderat, dan kewirausahaan. Adapun penjelasan pendekatan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Rehabilitasi. Program rehabilitasi dilakukan dengan dua cara, yaitu; 1) pembinaan


kemandirian untuk melatih dan membina para mantan napi mempersiapkan keterampilan
dan keahlian, serta 2) pembinaan kepribadian untuk melakukan pendekatan dengan
berdialog kepada para napi teroris agar mindset mereka bisa diluruskan serta memiliki
pemahaman yang komprehensif serta dapat menerima pihak yang berbeda dengan
mereka. Proses rehabilitasi dilakukan bekerjasama dengan berbagai pihak seperti polisi,
lembaga Pemasyarakatan, Kementerian Agama, Kemenkokersa, ormas, dan lain
sebagainya. Diharapkan program ini akan memberikan bekal bagi mereka dalam
menjalani kehidupan setelah keluar dari lembaga Pemasyarakatan.

b. Reedukasi. Reedukasi adalah penangkalan dengan mengajarkan pencerahan kepada


masyarakat tentang paham radikal, sehingga tidak terjadi pembiaran berkembangnya
paham tersebut. Sedangkan bagi narapidana terorisme, redukasi dilakukan dengan
memberikan pencerahan terkait dengan doktrin-doktrin menyimpang yang mengajarkan
kekerasan sehingga mereka sadar bahwa melakukan kekerasan seperti bom bunuh diri
bukanlah jihad melainkan identik dengan aksi terorisme.

c. Resosialisasi. Resosialiasi adalah program yang dilakukan dengan cara membimbing


mantan narapidana dan narapidana teroris dalam bersosialisasi, berbaur dan menyatu
dengan masyarakat. Deradikalisasi juga dilakukan melalui jalur pendidikan dengan
melibatkan perguruan tinggi, melalui serangkaian kegiatan seperti publik lecture,
workshop, dan lainnya. Mahasiswa diajak untuk berpikir kritis dan memperkuat
nasionalisme sehingga tidak mudah menerima doktrin yang destruktif.

14
d. Pembinaan wawasan kebangsaan adalah memoderasi paham kekerasan dengan
memberikan pemahaman nasionalisme kenegaraan, dan kebangsaan Indonesia.

e. Pembinaan keagamaan adalah rangkaian kegiatan bimbingan keagamaan kepada


mereka agar memiliki pemahaman keagamaan yang inklusif, damai, dan toleran.
Pembinaan keagamaan mengacu pada moderasi ideologi, yaitu dengan melakukan
perubahan orientasi ideologi radikal dan kekerasan kepada orientasi ideologi yang
inklusif, damai, dan toleran.

f. Pendekatan kewirausahaan dengan memberikan pelatihan dan modal usaha agar dapat
mandiri dan tidak mengembangkan paham kekerasan. Kewirausahaan memiliki peran
yang besar dalam pelaksanaan deradikalisasi. Dunia usaha mampu menciptakan lapangan
kerja, mengurangi pengangguran, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan
meningkatkan produktivitas. Selain itu, dunia usaha juga memiliki peranan penting untuk
menjadikan masyarakat lebih kreatif dan mandiri.

15
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Jadi kesimpulannya berdasarkan definisi secara etimologi maupun terminologi,


radikalisme agama adalah suatu paham yang menghendaki adanya perubahan yang
mendasar (fundamental) sesuai dengan interpretasi ideologi yang dianutnya dimana
dalam penerapannya cenderung menggunakan tindak kekerasan sampai tindakan yang
tidak sesuai dengan norma sosial yang berlaku.

Radikalisme dalam “Gerakan Keagamaan” Radikalisme mula-mula adalah aliran yang


digunakan oleh kaum revolusioner nasional di dunia Barat untuk merebut kekuasaan
politik, demikian juga aliran yang digunakan oleh kaum nasionalis anti kolonial kemudian
digunakan oleh para aktifis sosial untuk mencapai tujuan-tujuan sosial. Namun dalam
perkembangannya radikalisme digunakan oleh kelompok-kelompok militan yang
mendasarkan dirinya pada interpretasi agama. Secara global, radikalisme dikaitkan
dengan beberapa diskursus, antara lain: radikalisme dalam revolusi sosial dan politik,
radikalisme dalam gerkan pembebasan nasional, radikalisme dalam gerakan sosial,
radikalisme dalam gerakan keagamaan. Dalam pemabahasan kali ini teori radikalisme
hanya akan difokuskan pada gerakan keagamaan.

Dewasa ini gerakan politik keagamaan yang radikal berbasis Islam muncul dan
berkembang terutana di negara-negara yang menjadi lahan subur radikalisasi seperti
Timur Tengah, Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, Filipina dan Thailand,
termasuk Checnya. Gerakan radikal-kekerasan yang berideologi lebih keras muncul di
Mosul, Iraq, ketika Abu Bakar Al-Baghdadi pada 5 Juli 2014 berpidato di Masjid Agung
Mosul mengumumkan berdirinya Negara Islam Irak-Suriah (ISIS) yang berideologi

16
Khilafah. Dalam memahami ideoligi ISIS, harus difahami melalui dua bagian, yakni
Salafisme Jihadi dan Orientasi garis keras ISIS. Pemahaman mengenai Salafisme Jihadi
mengacu pada praktik kaum salah yakni zaman Rasulullah saw.

Faktor Penyebab Radikalisme Agama Islam Radikalisme Islam pada zaman dulu banyak
dilatarbelakangi oleh adanya kelemahan umat Islam baik pada bidang aqidah, syari’ah
maupun perilaku, sehingga radikalisme Islam merupakan ekspresi dari tajdid
(pembaruan), islah (perbaikan), dan jihad (perang) yang dimaksudkan untuk
mengembalikan muslim pada ruh Islam yang sebenarnya.69 Tetapi akar radikalisme
Islam di zaman modern ini sangat kompleks.

Menurut Yusuf al-Qaradhawi, faktor utama munculnya radikalisme dalam beragama


adalah kurangnya pemahaman yang benar dan mendalam atas esensi ajaran agama Islam
itu sendiri dan pemahaman literalistik atas teks-teks agama.

Faktor Pemahaman Agama Seperti yang dijelaskan dalam deskripsi sebelumnya,


faktor utama munculnya radikalisme Islam adalah ideologi yang minim pemahaman
mendalam atas esensi ajaran agama Islam itu sendiri, di mana Islam hanya dipahami
secara dangkal dan parsial. Kelompok muslim yang berafiliasi pada Islam radikal,
melakukan tindak kekerasan dengan dalih melakukan dakwah, ‘amr ma’ruf nahi munkar,
dan jihad untuk memberantas ketidakadilan, menegakkan kebenaran, pemerataan
kemakmuran, dan semacamnya.

Jadi, radikalisme yang berhubungan dengan ajaran agama (dakwah, ‘amr ma’ruf nahi
munkar, jihad, dan kafir) disebabkan oleh persepsi dan pengetahuan mereka sendiri
terhadap ajaran yang berlandaskan kitab suci. Jadi ajaran agama khususnya dakwah, amar
makruf nahi mungkar dan jihad, tidak otomatis melahirkan radikalisme, melainkan
melibatkan proses konstruksi yang dilakukan para pemikir dan pemeluk agama.

Sebagai contoh berbagai gerakan radikalisme Islam dipicu oleh persepsi ketidakadilan
prosedural dan ketidakadilan distributif yang dilakukan Blok Negara Barat yang dipimpin
oleh Amerika Serikat dengan instrumen ekonomi dan politik berupa lembaga IMF, World
Bank, dan WTO. Sedangkan ketidakadilan interaksional berupa pihak Blok Barat
menerapkan standar ganda dalam hubungan mereka dengan Israel yang sangat berbeda
dengan perlakuan mereka pada negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim.

17
Hegemoni politik, ekonomi dan budaya Barat (non Islam) terhadap umat Islam yang
dianggap membahayakan Islam dan umat Islam.

Saran
Dalam penyusunan makalah ini kami menyadari bahwa masih banyak kesalahan baik
dari penyusunan, tulisan maupun yang lainya. Oleh karena itu, saran dan kritik pembaca
sangat diharapkan penyusun untuk mencapai kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Dede rodin, “Islam Dan Radikalisme: Telaah atas Ayat-ayat ‘Kekerasan’ dalam al-
Qur’an”, jurnal, ADDIN Vol. 10 No. 1, 2016, h. 35

35 Junaidi Abdillah, “Dekonstruksi Tafsir Ayat-Ayat ‘Kekerasan’ dalam Al-Qur’an”,


...h.283

36 Dede rodin, “Islam Dan Radikalisme: Telaah atas Ayat-ayat ‘Kekerasan’ dalam al-
Qur’an”,... h.34

18

Anda mungkin juga menyukai