Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

ISLAM NUSANTARA DAN PROBLEMATIKANYA

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

“Pengantar Studi Islam”

Dosen Pengampu :
Drs. H. M. Faishol Munif, M.Hum

Disusun Oleh :
Dyah Ayu Sekar S. (08040420112)
Dyah Emi Rahmawati (08040420113)

JURUSAN EKONOMI SYARI’AH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

2021
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji Syukur kami berikan kepada Allah SWT berkat rahmat dan
hidayahNya lah kami dapat menyelesaikan makalah ini sebagai tugas kelompok
dengan judul “Islam Nusantara dan Problematikanya” dengan tepat waktu.
Shalawat serta salam kami hadiahkan kepada Nabi kita yaitu Nabi
Muhammad SAW. Yang membawa kita dari zaman kebodohan menuju alam yang
berlimpah ilmu pengetahuan. Adapun tujuan pembuatan makalah ini untuk
memenuhi tugas Dosen, dan semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
Atas terselesainya tugas ini kami mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Masdar Hilmy. S.Ag. M.A., Ph.D selaku Rektor UIN
Sunan Ampel Surabaya.
2. Bapak Dr. H. AH. Ali Arifin, M.M selaku Dekan Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel Surabaya.
3. Bapak Achmad Room Fitrianto, S.E., M.E.I selaku Kepala Program
Studi Ekonomi Syariah.
4. Bapak Drs. H. M. Faishol Munif, M.Hum selaku Dosen mata kuliah
Pengantar Studi Islam UIN Sunan Ampel Surabaya.
5. Orang tua yang selalu mendukung dan memberi semangat serta tak
pernah lelah memberi doa dan motivasi.
6. Serta teman-teman yang membantu.
Semoga makalah yang kami buat ini dapat dipahami serta berguna. Saya
mohon maaf atas segala kesalahan kata-kata yang mungkin kurang berkenan, dan
kembali lagi kami memohon kritik serta saran yang membangun demi perbaikan
di masa yang mendatang.

Jember, 01 April 2021

Kelompok 12

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ 2

DAFTAR ISI ........................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 4

1.1. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 4

1.2. Rumusan Masalah .................................................................................... 5

1.3. Tujuan Masalah ........................................................................................ 6

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 7

2.1. Sejarah Islam Nusantara ........................................................................... 7

2.2. Islam Nusantara Secara Pendekatan Sosiologis, Filosofis, Dan Historis 11

2.3. Strategi Penyebaran Islam di Nusantara ................................................. 12

2.4. Peran Ulama (Walisongo) Dalam Pengembangan Islam Nusantara ...... 14

2.5. Praktik Islam Nusantara Dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa,


Dan Bernegara ................................................................................................... 15

2.6. Pro Dan Kontra Islam Nusantara ............................................................ 16

2.7. Hal Yang Harus Dipertahankan dan Hal Yang Harus Direkonstruksi Dari
Islam Nusantara ................................................................................................. 22

2.8. Tantangan bagi Islam Nusantara ............................................................... 26

BAB III PENUTUP............................................................................................... 29

3.1. Kesimpulan ............................................................................................. 29

3.2. Saran ....................................................................................................... 31

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 32

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamiin yang bersifat universal,
yaitu misi dan ajaran Islam tidak hanya ditujukan kepada satu kelompok
atau negara, melainkan seluruh umat manusia. Namun, pemaknaan universal
Islam dalam kalangan umat muslim sendiri tidak seragam. Maksudnya ialah
ada kelompok yang mendefinisikan bahwa ajaran Islam yang dibawa Nabi
Muhammad yang notabenenya berbudaya Arab adalah final, sehingga harus
diikuti sebagaimana adanya. Ada pula kelompok yang memaknai universal
Islam sebagai yang tidak terbatas pada waktu dan tempat, sehingga bisa
masuk ke budaya apapun.

Menurut Kasdi (2000, 20) kelompok fundamentalis adalah


kelompok yang berambisi menyeragamkan seluruh budaya yang ada di
dunia menjadi satu, sebagaimana yang dipraktekkan Nabi Muhammad.
Budaya yang berbeda dianggap bukan sebagai bagian dari Islam. Sementara
kelompok substantif adalah kelompok yang menginginkan Islam dihadirkan
sebagai nilai yang bisa memengaruhi seluruh budaya yang ada karena Islam
terletak pada nilai, bukan bentuk fisik dari budaya itu sendiri. Ada satu lagi
kelompok yang menengahi keduanya, yang menyatakan, bahwa ada dari
sisi Islam yang bersifat substantif, dan ada pula yang literal.

Kehadiran wacana Islam Nusantara tidak terlepas dari pertarungan


tiga kelompok di atas. Islam Nusantara ingin memosisikan diri pada
kelompok ketiga. Ia muncul akibat “kegagalan” kelompok pertama yang
menghadirkan wajah Islam tidak ramah dan cenderung memaksakan kepada
budaya lain, bahkan menggunakan kekerasan dalam mendakwahkan Islam.
Begitu juga kelompok kedua yang dianggap mendistorsi ajaran Islam.

4
Islam Nusantara merujuk pada fakta sejarah penyebaran Islam di
wilayah Nusantara dengan cara pendekatan budaya, bahwa Islam di
Nusantara didakwahkan dengan cara merangkul budaya. Ajaran agama
Islam di Indonesia, dilakukan dengan cara damai, tidak memaksa, dan
menghargai nilai-nilai kearifan budaya lokal (local wisdom). Penyebaran
Islam di Indonesia tidak lepas dari peran Walisongo yang mendakwahkan
Islam ke wilayah Indonesia, yang terpusat di Jawa. Mereka mengajarkan
Islam dengan cara-cara unik yang dikemas dalam bentuk kesenian seperti
wayang kulit, dan gamelan. Cara-cara seperti inilah yang membuat Islam
bisa diterima oleh masyarakat Indonesia dan membentuk sebuah corak
Islam baru, yaitu Islam Nusantara.

Islam Nusantara lahir sebagai alternatif model pemikiran,


pemahaman, dan pengamalan Islam yang moderat, terhindar dari paham
fundamentaslime dan liberalisme. Islam Nusantara menawarkan sebuah
konsep dan gagasan yang diharapakan mampu membangun sebuah
keharmonian sosial, budaya, dan agama, serta membangun peradaban dan
kemanusian Islam di Indonesia.1

Meski demikian, wacana tentang Islam Nusantara telah mengundang


banyak perdebatan di berbagai kalangan umat Islam saat ini. Berbagai
definisi maupun maksud sering terdengar belakangan ini. Sebagian ada yang
menolak sebagian pula ada yang menerima. Alasan penolakan karena istilah
Islam Nusantara tidak sejalan dengan keyakinan bahwa Islam itu satu yang
hanya merujuk pada Al-Qur‟an dan As-Sunnah sedangkan alasan kedua
penolakan itu terjadi karena apa yang dipandang tersebut berbeda (Wahib,
2001: 24).

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana sejarah masuknya Islam di Nusantara?

1
Ahmad Agis Mubarok dan Diaz Gandara Rustam, ISLAM NUSANTARA:
MODERASI ISLAM DI INDONESIA, (Yogyakarta: Journal of Islamic Studies and
Humanities, 2018), 155.

5
2. Apa itu Islam nusantara secara pendekatan sosiologis, filosofis, dan
historis?
3. Bagaimana strategi penyebaran Islam di nusantara?
4. Bagaimana peran ulama (walisongo) dalam pengembangan Islam
Nusantara?
5. Bagaimana praktik Islam Nusantara dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara?
6. Apa pro dan kontra Islam Nusantara?
7. Apa yang harus dipertahankan dan apa yang harus direkonstruksi dari Islam
Nusantara?
8. Apa tantangan dari Islam Nusantara?

1.3. Tujuan Masalah


1. Untuk mengetahui sejarah masuknya Islam di Nusantara
2. Untuk mengetahui arti Islam nusantara secara pendekatan sosiologis,
filosofis, dan historis
3. Untuk mengetahui strategi penyebaran Islam di Nusantara
4. Untuk mengetahui peran ulama (walisongo) dalam pengembangan Islam
Nusantara
5. Untuk mengetahui praktik Islam Nusantara dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
6. Untuk mengetahui pro dan kontra Islam Nusantara
7. Untuk mengetahui hal yang harus dipertahankan dan hal yang harus
direkonstruksi dari Islam Nusantara
8. Untuk mengetahui tantangan dari Islam Nusantara

6
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Sejarah Islam Nusantara


Sejak zaman prasejarah, penduduk kepulauan Indonesia dikenal
sebagai pelayar-pelayar yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal
masehi sudah ada rute-rute pelayaran dan perdagangan antara kepulauan
Indonesia dengan berbagai daerah di daratan Asia Tenggara2, karena hasil
bumi yang dijual di sana menarik bagi para pedagang, dan menjadi daerah
lintasan penting antara Cina dan India.

Proses masuknya agama Islam ke nusantara tidak berlangsung secara


revolusioner, cepat, dan tunggal, melainkan berevolusi, lambat-laun, dan
sangat beragam. Menurut para sejarawan, teori-teori tentang kedatangan
Islam ke Indonesia dapat dibagi menjadi:

1. Teori Arab. Dasar teori ini yaitu karena Muslimin alam Melayu berpegang
pada mazhab Syafi‟i yang lahir di semenanjung tanah Arab, teori ini
didukung oleh Sir John Crowford. Dibuktikan setelah wafatnya Rasulullah
SAW pada tahun 632 M, di mana kepemimpinan Islam dipegang oleh para
khalifa.
2. Teori Gujarat. Teori ini lahir setelah tahun 1883 M, dibawa oleh Snouck
Hurgronje. Teori ini didukung oleh banyak ilmuwan seperti Gonda
Marrison, R.A. Kern, C.A.O. Van Nieuwenhuize, Van Ronkel. Dasar teori
ini yaitu adanya perhubungan perniagaan yang teguh antara India dengan
gugusan pulau-pulau Melayu. Dibuktikan dengan peninggalan artefak
berupa batu nisan di Pasai, kawasan utara Sumatera pada 1428 M.
3. Teori Cina. Teori ini dikemukakan oleh Emanuel Godinho de Eradie
seorang scientiss Spanyol yang menulis tahun 1613 M. katanya:
“Sesungguhnya akidah Muhammad telah diterima di Patani dan Pam di
2
Dede Mathlubul Fard, SEJARAH ISLAM DI NUSANTARA (Masuk & Proses
Islamisasi), (STISNU NUSANTARA TANGERANG, 2017)

7
pantai Timur kemudian diterima dan diperkembangkan oleh Permaiuri
(yaitu Parameswara) di tahun 1411 M.3 Bukti dari teori ini yaitu banyak
pendakwah Islam keturunan Cina yang punya pengaruh besar di
Kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa
4. Teori Persia. Dipelopori oleh P.A. Hoesin Djajadiningrat dari Indonesia.
Titik pandang teori ini memiliki perbedaan dengan teori Gujarat dan
Mekah mengenai masuk dan datangnya Islam di Nusantara. Islam masuk
ke Indonesia menurut Hoisen Djajadiningrat berasal dari Persia abad ke-7
M. Teori ini memfokuskan tinjauannya pada sosio-kultural di kalangan
masyarakat Islam Indonesia yang ada kesamaan dengan di Persia.
Penolakan teori ini didasarkan pada alasan bahwa, bila Islam masuk abad
ke-7 M. Yang ketika itu kekuasaan dipimpin Khalifah Umayyah (Arab),
sedangkan Persia Iran belum menduduki kepemimpinan dunia Islam. Dan
masuknya Islam dalam suatu wilayah, bukankah tidak identik langsung
berdirinya kekuasaan politik Islam.4
a. Kondisi dan Situasi Politik Kerajaan-kerajaan di Indonesia
Pada abad ke-7 sampai ke-10 M, kerajaan Sriwijaya meluaskan
kekuasaannya ke daerah Semenanjung Malaka sampai Kedah. Datangnya
orang-orang muslim ke daerah itu sama sekali belum memperlihatkan
dampak-dampak politik, karena mereka datang hanya untuk usaha
pelayaran dan perdagangan. Keterlibatan orang-orang Islam dalam bidang
politik baru terlihat pada abad ke-9 M, ketika mereka terlibat dalam
pemberontakan petani-petani Cina terhadap kekuasaan Tang pada masa
pemerintahan Kaisar Hi-Tsung (878-889 M). Akibat pemberontakan itu,
kaum muslimin banyak yang dibunuh.
Kemajuan politik dan ekonomi Sriwijaya berlangsung sampai abad
ke-12 M. Pada akhir abad ke-12 M, kerajaan ini mulai memasuki masa
kemundurannya. Kemunduran politik dan ekonomi Sriwijaya dipercepat

3
Alma‟arif, ISLAM NUSANTARA: Studi Epistemologis Dan Kritis(UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2015)
4
Abd. Ghofur, Tela‟ah Kritis Masuk dan Berkembangnya Islam di Nusantara, (Jurnal
Ushuluddin, 2011)

8
oleh usaha-usaha kerajaan Singasari yang sedang bangkit di Jawa.
Kelemahan Sriwijaya tersebut dimanfaatkan oleh pedagang-pedagang
muslim untuk mendapatkan keuntungan politik dan perdagangan. Mereka
mendukung daerah-daerah yang muncul dan daerah yang menyatakan diri
sebagai kerajaan bercorak Islam, yaitu kerajaan Samudra Pasai di pesisir
Timur Laut Aceh. Daerah ini sudah disinggahi pedagang-pedagang
Muslim sejak abad ke-7 dan ke-8 M. Proses Islamisasi tentu berjalan di
sana sejak abad tersebut. Kerajaan Samudra pasai dengan segera
berkembang baik dalam bidang politik maupun perdagangan. Karena
kekacauan dalam negeri sendiri akibat perebutan kekuasaan di istana di
kerajaan Singasari dan Kerajaan Majapahit pun. tidak mampu mengontrol
daerah Melayu dan Selat Malaka dengan baik, sehingga kerajaan Samudra
Pasai dan Malaka dapat berkembang dan mencapai puncak kekuasaannya
hingga abad ke-16 M.
b. Munculnya Pemukiman-permukiman Muslim Di Kota-kota Pesisir

Menjelang abad ke-13 M, di pesisir Aceh sudah ada permukiman


Muslim, yaitu kerajaan Samudra Pasai yang didirikan pada pertengahan
abad ke-13 M. Setelah kerajaan Islam ini berdiri, perkembangan
masyarakat Muslim di Malaka makin lama makin meluas dan pada awal
abad ke -15 M, di daerah ini lahir kerajaan Islam, yang merupakan
kerajaan Islam Kedua di Asia Tenggara. Kerajaan ini cepat berkembang,
bahkan dapat mengambil alih dominasi pelayaran dan perdagangan dari
kerajaan Samudra Pasai yang kalah bersaing. Kemudian Malaka jatuh ke
tangan Portugis (1511), mata rantai penting pelayaran beralih ke Aceh,
kerajaan Islam yang melanjutkan kejayaan Samudra Pasai.5

Sementara itu, di Jawa, proses Islamisasi sudah berlangsung, sejak


abad ke-11 M, meskipun belum meluas; terbukti dengan ditemukannya
makam Fatimah binti Maimun di Leran Gresik yang berangka tahun 475 H

5
Dede Mathlubul Fard, SEJARAH ISLAM DI NUSANTARA (Masuk & Proses
Islamisasi), (STISNU NUSANTARA TANGERANG, 2017)

9
(1082 M). Perkembangan Islam di Jawa bersamaan waktunya dengan
melemahnya posisi raja Majapahit. Hal itu memberi peluang kepada raja-
raja Islam pesisir untuk membangun pusat-pusat kekuasaan. Pengaruh
Islam masuk ke Indonesia bagian Timur, khususnya daerah Maluku, tidak
dapat dipisahkan dari jalur perdagangan yang terbentang pada pusat lalu
lintas pelayaran internasional di Malaka, Jawa, dan Maluku. Orang-orang
Islam datang ke Maluku tidak menghadapi kerajaan-kerajaan yang sedang
mengalami perpecahan sebagaimana halnya di Jawa. Mereka datang dan
menyebarkan agama Islam melalui perdagangan, dakwah, dan perkawinan.
Kalimantan Timur pertama kali di Islamkan oleh Datuk Ri Bandang dan
Tunggang Parangan. Kedua mubalig itu datang ke Kutai setelah orang-
orang Makassar masuk Islam. Proses Islamisasi di Kutai dan daerah
sekitarnya diperkirakan terjadi sekitar tahun 1575.

Sulawesi, terutama bagian selatan, sejak abad ke-15 M sudah didatangi


oleh pedagang-pedagang Muslim, mungkin dari Malaka, Jawa, dan
Sumatera. Pada awal abad ke-16 M, di Sulawesi banyak sekali kerajaan
yang masih beragama berhala. Akan tetapi , pada abad ke-16 di daerah
Gowa, sebuah kerajaan terkenal di daerah itu, telah terdapat masyarakat
Muslim. Di Gowa dan tallo raja-rajanya masuk Islam secara resmi pada
tanggal 22 September 1605 M. Proses Islamisasi pada taraf pertama di
kerajaan Gowa dilakukan dengan cara damai oleh Dato‟ Ri Bandang dan
Dato‟ Sulaeman keduanya memberikan ajaran-ajaran Islam kepada
Masyarakat dan raja. Setelah secara resmi memeluk agama Islam, ada tiga
kerajaan lainnya yaitu Bone, Soppeng, Wajo tidak berkenan untuk
memeluk Islam. Maka Kerajaan Gowa memutuskan untuk menggunakan
kekerasan, sehingga Gowa memerangi Bone, Soppeng, Wajo yang lebih
dikenal dengan musu selleng. Satu persatu kerajaaan tersebut pun masuk
Islam, Wajo, 10 mei 1610 M dan Bone, 23 November 1611 M.

10
2.2. Islam Nusantara Secara Pendekatan Sosiologis, Filosofis, Dan
Historis
Islam Nusantara bukanlah aliran Islam baru atau agama baru.
Bukan pula paham atau sekte baru dalam Islam yang mengubah atau
mempersempit ajaran Islam yang sakral dan universal. Islam Nusantara
adalah cara memahami dan menjalankan ajaran Islam yang dilakukan
oleh bangsa Nusantara sehingga menjadi sistem nilai, tradisi dan budaya
Islami yang khas Nusantara. Islam Nusantara berusaha menjaga prinsip-
prinsip dasar ajaran Islam dan berusaha mengamalkannya dalam
kehidupan sehari-hari, sebagaimana yang ada dalam Al quran dan hadis.

a. Sosiologis
Islam Nusantara adalah Islam khas sebagai hasil interaksi,
kontekstualisasi, indigenisasi konstruktif dan vernakularisasi. Islam
universal dengan realitas sosial, budaya dan agama di Indonesia.
Istilah tersebut secara resmi diperkenalkan dan digalakkan oleh
organisasi Islam Nahdlatul Ulama pada 2015, sebagai bentuk
penafsiran alternatif masyarakat Islam global yang selama ini selalu
didominasi perspektif Arab dan Timur Tengah. Islam Nusantara
didefinisikan sebagai penafsiran Islam yang mempertimbangkan
budaya dan adat istiadat lokal di Indonesia dalam merumuskan
fikihnya.
b. Filosofis
Islam Nusantara adalah Islam sinkretis yang merupakan perpaduan
antara nilai-nilai teologis Islam dengan nilai-nilai tradisi lokal (non
teologis), budaya dan adat istiadat tanah air.
c. Historis
Islam Nusantara merupakan hasil ijma dan ijtihad para ulama
nusantara dalam melakukan istinbath melawan al-muktasab min
adillatiha-tafshiliyah. Islam Nusantara adalah idrakul hukmi min
dalilihi ala sabili-rujhan. Islam Nusantara memberikan karakter

11
sektarian dalam teks para ulama nusantara untuk menghubungkan
kita dengan tradisi nenek moyang kita untuk dihormati dan untuk
kita teladan.6

2.3. Strategi Penyebaran Islam di Nusantara


Dalam penyebaran Islam di Nusantara terdapat strategi yang
dilakukan sehingga Islam lebih mudah diterima dibandingkan dengan
agama lain. Strategi yang dilakukan bermacam-macam dan tidak terdapat
unsur paksaan. Di antara strategi penyebaran islam tersebut adalah:
Pertama, melalui jalur perdagangan. Awalnya Islam merupakan
komunitas kecil yang kurang berarti. Interaksi antar pedagang muslim dari
berbagai negeri seperti Arab, Persia, Anak Benua India, Melayu, dan Cina
yang berlangsung lama membuat komunitas Islam semakin berwibawa, dan
pada akhirnya membentuk masyarakat muslim. Selain berdagang, para
penyebar agama Islam dari berbagai kawasan tersebut, juga menyebarkan
agama yang dianutnya, dengan menggunakan sarana pelayaran.
Kedua, melalui jalur dakwah bi al-hal yang dilakukan oleh para
mubalig yang merangkap tugas menjadi pedagang. Proses dakwah tersebut
pada mulanya dilakukan secara individual. Mereka melaksanakan
kewajiban-kewajiban syari‟at Islam dengan memperhatikan kebersihan, dan
dalam pergaulan mereka menampakkan sikap sederhana.
Ketiga, melalui jalur perkawinan, yaitu perkawinan antara pedagang
Muslim, muballigh dengan anak bangsawan Nusantara. Berawal dari
kecakapan ilmu pengetahuan dan pengobatan yang didapati dari tuntunan
hadits Nabi Muhammad SAW. ada di antara kaum muslim yang berani
memenuhi sayembara yang diadakan oleh raja dengan janji, bahwa barang
siapa yang dapat mengobati puterinya apabila perempuan akan dijadikan
saudara, sedangkan apabila laki-laki akan dijadikan menantu. Dari
perkawinan dengan puteri raja lah Islam menjadi lebih kuat dan berwibawa.7

6
Gazali, TEOLOGI ISLAM NUSANTARA, (IAIN Batusangkar, 2019)
7
Achmad Syafrizal, “SEJARAH ISLAM NUSANTARA,” Islamuna: Jurnal Studi Islam
2, no. 2 (5 Desember 2015): 235–53.

12
Keempat, melalui jalur pendidikan. Setelah kedudukan para
pedagang mantap, mereka menguasai kekuatan ekonomi di bandar-bandar
seperti Gresik. Pusat-pusat perekonomian itu berkembang menjadi pusat
pendidikan dan penyebaran Islam. Pusat-pusat pendidikan dan dakwah
Islam di kerajaan Samudra Pasai berperan sebagai pusat dakwah pertama
yang didatangi pelajar-pelajar dan mengirim muballigh lokal, di antara-
nya mengirim Maulana Malik Ibrahim ke Jawa.
Kelima, melalui jalur kultural. Awal mulanya kegiatan Islamisasi
selalu menghadapi benturan dengan tradisi Jawa yang banyak dipengaruhi
Hindu-Budha. Setelah kerajaan Majapahit runtuh kemudian digantikan
oleh kerajaan Islam. Di Jawa Islam menyesuaikan dengan budaya lokal
sedang di Sumatera adat menyesuaikan dengan Islam. Islam terus
berkembang dan menyebar dari masa ke masa hingga sekarang melalui
tahapan-tahapan dan jasa para mubaligh. Meskipun demikian masih
terdapat perbedaan-perbedaan dalam cara ibadah disebabkan oleh faktor
kultural. Maka apa yang harus dilakukan oleh para penerus bangsa
Indonesia untuk dapat menyatukan pemahaman tentang Islam. 8

Islam Nusantara memiliki tiga pilar yaitu Fiqroh (pikiran), Harokah


(gerakan), dan Amaliyah (tindakan). Pilar-pilar di atas dapat kita pahami
dengan beberapa pengertian sebagai berikut :

1. Fiqroh merupakan keilmuan dari hasil suatu pemikiran seseorang yang


kemudian dikembangan untuk menjadi suatu pemikiran yang
konsisten.
2. Harokah dapat kita kenal dengan suatu perilaku atau tindakan atau
gerakan dari hasil pemikiran tersebut.
3. Amaliyah seperti halnya kegiatan kehidupan kita setiap hari,
contohnya ibadah maupun muamalah.

8
Achmad Syafrizal, “SEJARAH ISLAM NUSANTARA,” Islamuna: Jurnal Studi Islam
2, no. 2 (5 Desember 2015): 235–53.

13
2.4. Peran Ulama (Walisongo) Dalam Pengembangan Islam Nusantara
Masuknya Islam ke Indonesia tidak mengubah budaya lokal, tetapi
memodifikasinya sedemikian rupa, sehingga menjadi budaya yang lebih
Islami dan bermoral. Para penyebar Islam di Indonesia secara tidak
langsung menggunakan tiga cara tersebut dalam menyebarkan Islam di
Indonesia, yaitu mengadopsi budaya dan tradisi Indonesia yang tidak
bertentangan dengan spirit Islam (tahmil), menghilangkan budaya yang
tidak sesuai dengan spirit Islam (tahrim), dan merekonstruksi budaya dan
tradisi, seperti sesajen, percaya kepada kekuatan gaib menjadi simbol yang
memiliki makna untuk mengesakan Tuhan (taghyir). Setelah melalui tiga
tahapan tersebut, barulah Islam di Indonesia dinamakan Islam Nusantara.
Setelah melalui aspek-aspek di atas dapat disimpulkan bahwa Islam
Nusantara terbentuk dari perpaduan antara budaya lokal dengan ajaran Islam
yang dibawa oleh para pedagang dari Gujarat India dengan pendekatan
tasawuf dan perilaku kesufian. Tahapan selanjutnya, penyebaran Islam
diteruskan oleh Walisongo yang merupakan tokoh penyebar Islam di
Indonesia khususnya di tanah Jawa. Di Pulau Jawa, para ulama penyebar
Islam tergabung dalam Wali Songo (Sembilan Wali), yang terdiri atas
Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik), Raden Rahmat (Sunan Ampel),
Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Raden Sahid (Sunan Kalijaga),
Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), Raden Qasim (Sunan Drajad),
Raden Paku (Sunan Giri), Ja'far Shadiq (Sunan Kudus), Raden Umar Said
(Sunan Muria).9
Penyebaran Islam yang dilakukan oleh Walisongo tidak jauh beda
dengan penyebaran Islam oleh para pendahulunya. Walisongo menyebarkan
Islam dengan ramah dan moderat, sehingga masyarakat bisa menerima
Islam dengan baik. Cara yang dilakukan Walisongo ini mampu menarik
perhatian masyarakat Jawa, karena mengakulturasikan budaya lokal dengan

9
Hawwin Muzakki, MENGUKUHKAN ISLAM NUSANTARA: KAJIAN
SOSIOLOGIS-HISTORIS, (Madiun: An-Nuha: Jurnal Kajian Islam, Pendidikan, Budaya
Dan Sosial, 2019)

14
ajaran Islam, seperti kesenian wayang, tarian, dongeng, dan upacara-upacara
adat. Walisongo tidak menghapus budaya lokal, tetapi memodifikasinya
menjadi lebih Islami.

2.5. Praktik Islam Nusantara Dalam Kehidupan Bermasyarakat,


Berbangsa, Dan Bernegara
Islam Nusantara lahir dengan wajah yang akomodatif, toleran, damai
dan pluralism. Wajah Islam Nusantara tersebut dibuktikan dengan dakwah
Islam yang tanpa perang, melainkan dengan jalan dakwah, seni, pernikahan,
akulturasi budaya dan sekarang hampir seluruh masyarakat Indonesia
memeluknya. Artinya, dalam perspektif sejarah masyarakat Indonesia
menerima Islam sebagai agama yang tidak berwajah radikal, ekstrem dan
fundamental, melainkan agama yang menawarkan toleransi tinggi terhadap
perbedaan-perbedaan.
Untuk menginternalisasi wajah Islam Nusantara yang penuh dengan
keindahan toleransi, sebagai warga negara Indonesia juga perlu
memperkenalkan secara konkret berbagai macam bentuk perbedaan yang
ada di Indonesia, dari mulai agama, suku, budaya, bahasa, ras, golongan,
etnis dan sebagainya. Islam Nusantara adalah gambaran agama Islam yang
anti terhadap konflik apalagi aksi radikal dan terorisme. Islam dengan wajah
yang memposisikan perbedaan sebagai suatu rahmat, sangat relevan dengan
karakteristik masyarakat Indonesia dengan Etika Jawanya. Islam Nusantara
memiliki akar sejarah sikap akomodatif dan toleran yang kuat dalam tradisi
masyarakat Indonesia yang terekam dengan Istilah “Bhineka Tunggal Ika”
terdapat dalam kitab Kakawin Sutasoma karangan Mpu Tantular. Islam
yang mengajarkan rahmatan lil ‘alamin datang pada masyarakat Indonesia
yang memiliki sikap toleran sebagai watak dasar suku-suku bangsanya
merupakan perpaduan sempurna terwujudnya Islam Nusantara di Indonesia.
Islam Nusantara mempunyai ciri-ciri yang khas dan beda dengan Islam
transnasional. Ciri khas tersebut diambil dari tiga hal penting yaitu :
1. Karakter bangsa yang salah satunya dipengaruhi oleh etika awa.

15
2. Masuknya Islam ke Indonesia melalui jalan damai, seperti yang telah
dilakukan oleh wali songo diantaranya melalui kesenian maupun
pernikahan.
3. Sejarah masa lampau tentang Indonesia antara agama Hindu dan Budha
yang hidup saling berdampingan, berinteraksi dan berakulturasi.
Tradisi-tradisi islam nusantara sangat banyak sekali macam dan
bentuknya, diantaranya menjadi dua bagian yaitu:
1. Seni dan Budaya Nusantara bernafaskan islam yaitu seperti: Musik
Gambus dan Rebana, Sholawat Nabi , Japin Bujang Marindu dan Japin
Hadrah, Santriswaran, Tari Zapin, Tari seudati, Suluk, Gembyung, Seni
Arsitektur Keraton dan Kasultanan, Makam atau Nisan, Bentuk Arsitek
bangunan Masjid, Surau, Langgar khas Indonesia, Wayang, Gamelan
Sekaten.
2. Tradisi Upacara Adat yang Bernafaskan Islam yaituseperti:
Penanggalan hijriyah, Sekaten, Selikuran, Suranan, Muludan, Grebeg,
Megengan, Syawalan, Akekah.
Seni budaya dan tradisi di nusantara diatas masih dipakai sampai pada
saat sekarang ini. Seperti didaerah-daerah pedesaan, namun semuanya ini
sudah mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman.

2.6. Pro Dan Kontra Islam Nusantara


Istilah Islam nusantara sangat perlu untuk di bahas dan di suarakan
untuk menghindari kesalahfahaman antar pihak, karena sudah banyak yang
mendefinisikan islam nusantara yang menjadikan masyarakat bingung
tentang arti islam nusantara yang sebenarnya.

A. Pro Islam Nusantara


M. Quraish Shihab, M.A. mengemukakan pandangannya terkait
tema Islam Nusantara. Menurutnya istilah Islam Nusantara bisa saja
diperselisihkan, terlepas setuju atau tidaknya dengan istilah tersebut, ia
lebih terfokus pada substansi, Islam sebagai substansi ajaran. Islam
pertama turun di Makkah lalu tersebar ke Madinah dan ke daerah-

16
daerah lain, negara Yaman, Mesir, Irak, India, Pakistan, Indonesia dan
seluruh dunia, Islam yang menyebar itu bertemu dengan budaya
setempat. Pada mulanya, Islam di Makkah bertemu dengan budaya
Makkah dan sekitarnya, akulturasi antara budaya dan agama ini
sebagaimana di tempat lain kemudian oleh Islam dibagi menjadi tiga,
yaitu: Pertama, Adakalanya Islam menolak budaya setempat, Kedua,
Islam merevisi budaya yang telah ada, dan yang Ketiga, Islam hadir
menyetujui budaya yang telah ada tanpa menolak dan tanpa
merevisinya.
Jadi Islam itu bisa bermacam-macam akibat keragaman budaya
setempat, bahkan adat, kebiasaan dan budaya bisa menjadi salah satu
sumber penetapan hukum Islam, seperti yang dikatakan Imam Syafii
"semua negeri memiliki ilmunya sendiri-sendiri" (Ahmad Baso ; 2015).
Dan yang paling penting adalah tidak perlu berkutat pada istilah namun
lebih pada substansi, dengan begitu umat Islam di negeri ini akan lebih
saling menerima, dan menjadikan perbedaan sebagai rahmat bukan
laknat.
Tak hanya mufassir asal Sulawesi Selatan ini menanggapi konsep
islam nusantara, alumni Universitas Al Azhar Cairo (Mesir, 1964-1970)
KH. Mustofa Bisri atau lebih dikenal dengan nama Gusmus pernah
menjabarkan tentang istilah Islam Nusantara. Menurut Gusmus, kata
Nusantara itu akan salah maksud jika dipahami dalam struktur na'at-
man'ut (penyifatan) sehingga berarti Islam yang dinusantarakan. Akan
tetapi akan benar bila diletakkan dalam struktur idhafah (penunjukan
tempat) sehingga berarti "Islam di Nusantara" (Saiful Mustofa : 2015).
Respon positif juga dari ketua MUI Jawa Tengah yang begitu tenar
di masyarakat, Habib Muhammad Luthfi Bin Yahya. Menurutnya,
Islam Nusantara adalah Islam di Nusantara, bukan merupakan ajaran
atau aliran sendiri, jadi bagaimana mewarisi Islam yang telah digagas
atau dikembangkan para wali-wali dulu, Islam di belahan bumi
Indonesia itu punya karakteristik sendiri yang unik, kalau saja Wali

17
Songo itu tidak coba beradaptasi dengan lingkungan sekitar ketika
Hindu dan Budha masih menjadi agama mayoritas, mungkin kita tidak
bisa menyaksikan Islam yang tumbuh subur seperti sekarang ini.
Sedangkan menurut Azyumardi Azra, Islam Nusantara yang
dimaksud adalah Islam yang berbunga-bunga (Flowery Islam), dengan
ritual-ritual seperti tahlilan, nyekar (ziarah kubur dengan menabur
bunga), walimatus safar, khitanan, tasyakkuran, empat bulanan, tujuh
bulanan kehamilan dan lain sebagainya yang ada di Nusantara. Ini
sepert apa yang dilakukan masyarakat islam di Indonesia pada
umumnya.
B. Kontra Islam Nusantara
Banyak juga yang menggiring umat untuk benci Islam Nusantara,
mereka berargumen konsep islam nusantara merupakan paham yang
sesat juga menyesatkan, dan bukan dari ajaran Islam sehingga wajib
ditolak, dan dilawan juga diluruskan. Hal ini karena mereka
menganggap Islam Nusantara memiliki kejanggalan, diantaranya,
menolak istilah-istilah yang diambil dari bahasa Arab, hingga sebutan
ana antum pun di kritisi, sehingga harus diganti dengan istilah-istilah
Jawa atau Indonesia sendiri. Sama seperti apa yang dikatakan Imam
Besar FPI (Front Pembela Islam) Habib Riziq Quraish Shihab "Islam
Nusantara itu alergi dengan istilah Arab namun sangat suka dan amat
fasih menggunakan istilah-istilah Barat." bahkan disangka beliau
"Islam Nusantara menolak terhadap pengafanan mayit dengan kain
putih karena beraroma tradisi Arab, sehingga perlu diganti dengan
kain batik agar kental aroma Indonesia."
Ada juga respon dari ormas HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) adalah
ormas yang secara resmi dibubarkan di Indonesia menolak terhadap
istilah Islam Nusantara. Kata salah satu jubir HTI Ismail Yusanto "Agak
kurang feer kalau membandingkan Timur Tengah sekarang dengan
Indonesia pada tahun 2015," menurutnya, yang terjadi saat ini di
sejumlah negara di wilayah Timur Tengah, misalnya Suriah, adalah

18
proses perlawanan melawan penguasa zalim, juga menyebut tidak ada
perbedaan antara Islam di Indonesia dan Timur Tengah dalam kerangka
melawan penguasa diktator. Dulu resolusi jihadnya KH Hasyim Ashari
(pendiri NU) di tahun 1945, 1949, itu juga mendapat inspirasi resolusi
Jihad dari Islam, dan beliau mengkajinya dari sumber Timur Tengah."
Tak hanya dari tokoh ormas islam yang kontra dengan islam nusantara,
beberapa penceramah pun menolak konsep ini dengan berbagai
argument. Salah satunya adalah Felix Siauw, menulis islam nusantara di
status facebooknya bahwa islam nusantara adalah sebuah narasi yang di
usung oleh pemerintahan Jokowi. Intinya Ustadz Felix Siau
mengatakan dari peristiwa penistaan Al-Maidah hingga puisi konde
dilakukan dari kelompok yang itu-itu saja dengan narasi yang sama. Ini
adalah upaya menghilangkan islam dari Nusantara dengan sekulerisasi
memisahkan agama dan Negara.

Semakin berkembangnya zaman, praktik keagamaan umat Muslim di


kawasan Nusantara begitu variatif. Terkait dengan adanya istilah Islam
Nusantara yang tidak lepas dari dua kelompok yang selalu pro-kontra
dengan adanya Istilah tersebut. Kelompok yang mendukung dan
menerapkan Islam Nusantara ini tidak lain adalah ormas yang mendominasi
di Indonesia yaitu golongan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai
pewaris terbesar gaya berislam ala Nusantara. Akan tetapi , tidak hanya
terjadi terhadap dua ormas tersebut belaka, ada beberapa tipe cara berislam
ala Nusantara yang menyesuaikan dengan budaya setempat dan juga dilihat
dari karakteristik tiap masyarakat di suatu wilayah tertentu. Sebagaimana
telah disinggung sebelumnya, tipe Islam Nusantara ala Jawa, Islam ala Goa,
Islam ala Minang dan Islam ala Aceh memiliki ciri khas tersendiri yang
disesuaikan dengan budaya dan tradisi masyarakat setempat. Meskipun
sumber ajaran dan doktrin mengenai Islam itu satu keragaman dan
peradaban budaya di setiap wilayah tidak dapat dipungkiri, setiap wilayah
memiliki karakteristik tersendiri dalam berkehidupan sosial budaya.

19
Islam yang tumbuh berkembang di Nusantara memang merupakan
sebuah kreativitas dari peradaban dan kebudayaan yang ada di wilayah
tertentu yang didasarkan pada pengamalan ajaran Islam. Selain itu, Islam
juga semakin berkembang di berbagai belahan dunia, baik dari segi
kuantitatif maupun kuanlitatif. Seperti yang terjadi di beberapa negara maju
seperti Prancis, Amerika Jepang dan Inggris. Kini pertambahan umat Islam
menduduki peringkat tertinggi. Juga perlu dipahami bahwa Islam yang
tumbuh berkembang pada beberapa negara tersebut memiliki corak
tersendiri dalam menjalankan ajaran Islam.

Kehadiran Islam di berbagai wilayah tentunya mempunyai tantangan


tersendiri yang harus dihadapi. Tantangan yang harus di hadapi yaitu
bersifat internal dan eksternal. Masalah Internal terkait dengan munculnya
kelompok Islam Puritan yang menganggap paling unggul sendiri
(supremasi), takfiri, sedikit-sedikit sesat, bid‟ah dan kerap kali muncul
kelompok-kelompok teroris yang anti kebudayaan dan akhirnya berujung
pada tindak kekerasan bahkan pembantaian. Sedangkan masalah
eksternalnya meliputi munculnya Islamophobia, yang memandang Islam
sebagai ancaman bagi mereka, baik pada level kelompok berskala kecil
maupun besar dan juga level negara. Kedua masalah tersebut sangatlah
saling memengaruhi, karena hal ini juga berdampak pada dinamika
kehidupan kebudayaan dan keagamaan pada umumnya. Akan tetapi
dinamika tersebut cenderung dan menjerumus pada keresahan dan
ketegangan masyarakat baik ranah lokal ataupun internasional.

Kelompok-kelompok puritan yang merasa paling unggul, ekstrem,


sedikit-sedikit menyesatkan, sedikit-sedikit mencapai kafir (takfiri) tersebut
merupakan kelompok anti toleran, membahayakan karena bisa saja
melakukan penyerangan baik terhadap Muslim maupun non-Muslim yang
tidak sependapat dengannya. Mereka dalam memahami Al-Qur‟an secara
tekstualis dan beranggapan Tuhan telah termanifestasikan ke dalam syariat.
Oleh karenanya, tidak heran jika mereka melakukan perbuatan sesuai ayat

20
yang perintah Al-Qur‟an tanpa memahami historisitas turunnya ayat
tersebut. Hal yang semacam ini menjadi masalah ketika hanya
mengandalkan penafsiran Al-Qur‟an dengan instan dan pemikirannya
sendiri. Sikap utama kelompok semacam ini adalah eksklusif yang tidak
mau menerima perbedaan dan merasa paling benar sendiri.

Seperti contoh kelompok Wahabiyah yang membawa budaya Timur


Tengah yang diklaim sebagai Islam yang paling benar dan menunjukkan
sikap supremasi. Dapat ditemukan kelompok gerakan radikal dan ektrem
yang mengusung isu negara Islam yang berasal dari kalangan wilayah Irak
dan Syria yang dikenal dengan ISIS (Islamic state of Iraq and
Syria). Tentunya model Islam yang seperti ini yang mulai memasuki
wilayah Nusantara seperti ormas Islam HTI (Hizbut-Tahrir Indonesia, MMI
(Majelis Mujahidin Indonesia), dan FPI (Front Pembela Islam) yang pada
intinya sama-sama mengusung jargon khilafah, sangat bertolakbelakang
dengan Islam Nusantara yang moderat.

Alasan kelompok puritan ini menentang Islam Nusantara adalah


mereka menganggap Islam yang sebenarnya dan yang paling benar, yaitu
Islam seperti yang ada di Timur Tengah, terutama wilayah Arab. Oleh
karenanya, kelompok puritan ini cenderung ingin meng-Arabisasi wilayah
Nusantara, karena Islam yang kaffah menurut mereka harus sesuai dengan
di Arab dan juga yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Berangkat
dari sinilah kelompok ini dengan mudah men-judge kafir dan sesat terhadap
umat Islam lain yang tidak sependapat dengannya dan wajib dimusnahkan
atau diperangi.

Sejalan dengan hal tersebut, hampir seluruh budaya yang menjadi ciri
khas Islam ala Nusantara di-judge bid‟ah, sesat, bahkan syirik. Model Islam
yang seperti ini yang menggunakan paksaan, kekerasan baik mencakup segi
gerakan, amalan, pemikiran, dan keyakinan yang perlu di pahamkan
kembali terkait agama dan budaya yang tidak saling terlepas, dan dengan

21
mendekatkan kepada budaya Islam Nusantara yang ramah, moderat, toleran
melalui tradisi lokal.10

2.7. Hal Yang Harus Dipertahankan dan Hal Yang Harus Direkonstruksi
Dari Islam Nusantara
1. Hal yang harus dipertahankan
a. Toleransi dalam keanekaragaman
Para penyebar Islam telah menanamkan benih-benih toleransi
kepada masyarakat Indonesia. Benih-benih yang disebar tersebut
tumbuh dan berkembang dengan subur. Penyemaian benih
toleransi oleh para penyebar Islam di nusantara tentu atas dasar
ijtihad yang mendalam dan bertanggungjawab. Mereka paham
dan mengerti bahwa Islam membawa ajaran moral yang universal,
di antaranya adalah ajaran toleransi, sebab secara fitrah, manusia
dilahirkan dalam aneka warna yang berbeda-beda.
b. Apresiasi dan penghargaan terhadap tradisi yang baik
Tradisi yang baik tidak dimusuhi, namun justru menjadi sarana
vitalisasi nilai-nilai Islam, sebab nilai-nilai Islam perlu kerangkan
11
yang akrab dengan pemeluknya. Dan untuk bisa berkembang,
justru Islam harus masuk dalam ruang tradisi, bukan
penghancuran kepada tradisi. Tetapi tradisi yang diapresiasi dan
dihargai adalah tradisi yang baik, dan memajukan peradaban,
bukan tradisi yang tidak baik seperti sistem kasta,
ketidaksetaraan, dan lain-lain yang bertentangan dengan spirit
Islam.
c. Elastis alias tidak kaku dalam membaca teks keagamaan

10
“ISlAM NUSANTARA: Corak Keislaman Indonesia dalam Menghadapi Kelompok
Puritan,” 8–10, diakses 19 Maret 2021,
https://jurnal.iainkediri.ac.id/index.php/empirisma/article/download/2347/1089+&cd=4&
hl=en&ct=clnk&gl=id.
11
Alma‟arif, Islam Nusantara: Studi Epistemologis Dan Kritis. ANALISIS: Jurnal Studi
Keislaman, (2015), 15(2), 265-291.

22
Teks suci keagamaan (Al-Tanzil al-Hakim, al-Qur‟an) turun
dalam ruang dan waktu tertentu (Masyarakat dan budaya Arab
abad ke-7). Mereka mendapati atau memahami dalam al-Tanzil
al-Hakim hal-hal yang tidak didapati orang lain. Hal ini
menegaskan bahwa al-Tanzill al-Hakim mengandung “karakter
kehidupan”, memiliki “kondisi berada” (kainunah) pada dirinya,
dan mengandung “kondisi berproses” (sayrurah) dan “kondisi
menjadi (shayrurah)” untuk lainnya. Oleh karena itu, teks itu
tetap sedangkan kandungan makna makna akan bergerak terus
menerus sesuai dengan masa yang dihadapi manusia”, dan teks
selalu beradapan dengan realists sehingga teks harus melakukan
dialektika teks dan kandungan makna.12 Hal seperti ini disadari
dan benar-benar dimengerti oleh para penyebar Islam sehingga
dalam menyebarkan Islam dengan cara yang elastis, penuh
pengertian dan tidak kaku.
2. Hal yang harus didekonstruksi
a. Doktrin al-ghazali dalam hal memusuhi filsafat dan dikotomi ilmu
Seiring dengan adanya teologi rasionalis Muktazilah yang
mengagungkan rasional tersebut, maka pada masa dinasti
Abbasiyah sekitar hampir dua abad tersebut mengalami
perkembangan ilmu pengetahuan yang menghasilkan peradaban
yang sangat tinggi, sebab teologi Muktazilah tersebut sangat
sesuai dengan filsafat maupun ilmu pengetahuan alam. Ternyata
saat Muktazilah berkuasa pada masa Abbasiyah, masih ada kaum
sunni ortodoks. Kaum Muktazilah dianggap melakukan bid‟ah.
Tetapi beberapa teolog Sunni mengikuti alAnshari (w. 935),
menerima metode-metode argumen Muktazilah dan
menggunakannya untuk membela formulasi-formulasi doktrin
standar Sunni. Pengadilan untuk menentang sunni ortodoks masih
terus berlanjut di bawah kekuasann penerus al-Makmun. Tetapi

12
Ibid.

23
pada tahun kedua kekuasaannya, 848 M, al-Mutawakkil
membalikkan dominasi Muktazilah dan kembali mengembangkan
ajaran lama (sunni ortodoks).
Dari sisi teologi, orang yang paling berjasa dalam
menghempaskan teori Muktazilah dan membangun kembali
ajaran ortodoks yang sejak saat itu menjadi warisan Sunni Islam
adalah Abu Hasan al-Asy‟ari dari Baghdad (w. 936), salah
seorang keturunan Abu Musa al-Asy‟ari, arbritator dari pihak Ali
dalam konflik melawan Mu‟awiyah. Setelah periode al-Asy‟ari,
kalangan skolastik berusaha menggabungkan ajaran agama
dengan pemikiran Yunani, sehingga menjadi bagian penting dari
kehidupan intelektual Muslim sebagaimana yang terjadi pada
perkembangan Kristen abad pertengahan.
Perkembangan teologi skolastik yang fondasinya dibangun
oleh al-Asy‟ari, kemudian dikembangkan dan disempurnakan
oleh Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111). Al-Ghazali berhasil
menguasai argumentasi yang dikembangkan dalam filsafat
neoplatonisme Arab. Ini dicapainya dengan membaca sendiri
naskah-naskah mereka (naskah orang Yunani seperti Plato).
Spekulasi mazhab ortodoks mencapai titik puncaknya. Di antara
karya-karya al-Ghazali yang sangat masyhur dalam bidang
tasawuf adalah Ihya’ ‘Ulum al-Din, Fatihat al-‘Ulum, Tahafut al-
Falasifah, al-Iqtishad fi al-I’tiqad. Karya-karya tersebut
menurunkan fiqh dari tingkatan tertinggi yang pernah dicapai,
menggunakan dialektika Yunani untuk membangun sistem
pragmatis, dan memanfaatkan filsafat untuk mengembangkan
teologi ortodoks. Setelah al-Ghazali, logika Aristotelian diterima
oleh para teolog yang lebih rasional sebagai salah satu
pelengkapan metodologi mereka, tetapi ilmu pengetahuan Yunani

24
berkurang dan tak banyak dikembangkan, kemudian mengalir ke
Eropa.13
Dari sini dapat ditegaskan bahwa Islam Nusantara merupakan
Islam yang diwariskan oleh masa kemunduran Islam, sehingga
tak satupun ada yang mengajarkan filsafat, ilmu sains alam masa
kejayaan Abbasiyah, karena memang filsafat dan sains alam yang
sudah dipadamkan oleh al-Ghazali telah mengalir ke eropa. Oleh
karena itu, sudah berabad-abad lamanya Islam ada di Indonensia,
tetapi yang dilakukan hanyalah tradisi-tradisi nusantara an sich
yang tidak problem solving bagi dinamisasi peradaban. Yang
dilakukan bukanlah tradisi keilmuwan dan menaklukkan alam
semesta dengan penguasaan sains. Oleh karena itu, Islam
nusantara tak mampu merubah menjadi zaman modern dengan
teknologi Industri, karena Islam yang diajarkan adalah Islam ala
al-Ghazali yang memusuhi filsafat dan sains alam serta
mengalirkannya ke Eropa, sehingga umat Islam di Indonesia
hanya mengandalkan alam, bukan penakluk alam. Dengan sistem
agraris tradisional, bukan teknologi industri.
b. Penjagaan yang kuat terhadap mitos dan mistik oleh Islam
Nusantara
Sebagian umat Islam Indonesia khususnya kalangan umat
Islam dan pesantren tradisional masih mengandalkan kitab-kitab
klasik warisan masa kemunduran Islam misalnya kitab al-Awfaq
karya al-Ghazali yang berisi wifq atau jimat dan kitab Syams al-
Ma’arif karya al-Buni yang konon kedua kitab tersebut (selain
kitab Mujarrabat) mampu merubah kehidupan dan menyelesaikan
masalah dalam kehidupan. Selain itu, kitab tersebut bersisi juga
cara pengobatan dengan cara mistis yang tak masuk akal.
Tradisi mitos dan mistis yang diajarkan dalam Kitab tersebut
masih dipelihara dan dijadikan andalan oleh umat Islam

13
Ibid.

25
khususnya kalangan Islam tradisional. Padahal di era kontemporer
saat ini, orang yang memiliki kemampuan untuk meneliti dan
menaklukkan alam semesta dengan sainslah yang akan maju dan
mampu membangun peradaban, bukan mengandalkan hal yang
mitos dan mistis. Semakin terjebak mistis dan mitos serta tidak
rasional dalam berpikir, maka semakin terbelakang dan tidak
maju. Sebab, alam semesta hadir untuk ditaklukkan dan dikelola
buat kepentingan manusia dengan ilmu sains, bukan dipelihara
secara mitos dan mistis. Oleh karena itu, hal-hal yang dianggap
mitos dan mistis tersebut harus didekonstruksi. Contoh
ketidakmajuan dari Islam nusantara dan bangsa Indonesia pada
umumnya karena mengandalkan mistis dan tidak menguasai alam
serta teknologi adalah hanya karena tidak hujan tujuh bulan saja
menyebabkan gagal panen karena tidak mampu merubah dari
sistem agraris ke sistem teknologi industri lantaran tidak rasional
dan tidak mengemabangkan sains.

2.8. Tantangan bagi Islam Nusantara


1. Penumpang gelap Islam Nusantara

Menurut Nasaruddin Umar, Islam Nusantara bukan keranjang sampah


yang bisa diisi segala macam paham keagamaan. Bukan juga sebagai
wadah untuk melegitimasi sebuah konsep ajaran yang menyimpang dari
ajaran dasar Islam. Juga bukan wadah untuk melegitimasi sebuah
kepentingan yang berjangka pendek dengan menempelkan diri ke dalam
Islam Nusantara. Kriteria sebuah ajaran yang dapat diklaim sebagai Islam
Nusantara adalah nilai-nilai ajarannya sesuai dengan ajaran dasar Islam
sebagai ajaran monoteistik. Jika ada ajaran yang secara terbuka mengajak
kepada kemusyrikan yakni mengakui adanya kekuatan dan kekuasaan
selain Allah Swt., tidak bisa disebut Islam Nusantara. Termasuk juga
praktik animisme, Selain animisme, masih ada nilai ajaran yang perlu

26
dicermati yaitu praktik bi‟dah, khurafat dan praktik-praktik syirik
lainnya. 14.

2. Penjagaan yang kuat terhadap mitos dan mistik oleh Islam


Nusantara

Islam Nusantara adalah warisan saat Islam mundur dan filsafat serta ilmu
sains alam dihancurkan dan beralih ke Eropa. Namun banyak orang yang
tidak menyadari hal tersebut, sehingga kemunduran ini tetap dijaga tanpa
mau bagaimana bisa maju. Hal ini terbukti, sebagian umat Islam
Indonesia khususnya kalangan umat Islam dan pesantren tradisional
masih mengandalkan kitab-kitab klasik warisan masa kemunduran Islam
misalnya kitab al-Awfaq karya al-Ghazali yang berisi wifq atau jimat dan
kitab Syams al-Ma‟arif karya al-Buni yang konon kedua kitab tersebut
(selain kitab Mujarrabat) mampu merubah kehidupan dan menyelesaikan
masalah dalam kehidupan. Selain itu, kitab tersebut berisi juga cara
pengobatan dengan cara mistis yang tak masuk akal. Tradisi mitos dan
mistis yang diajarkan dalam Kitab tersebut masih dipelihara dan
dijadikan andalan oleh umat Islam khususnya kalangan Islam tradisional.
Padahal di era kontemporer saat ini, orang yang memiliki kemampuan
untuk meneliti dan menaklukkan alam semesta dengan sains akan maju
dan mampu membangun peradaban, bukan mengandalkan hal yang mitos
dan mistis. Semakin terjebak mistis dan mitos serta tidak rasional dalam
berpikir, maka semakin terbelakang dan tidak maju. Sebab, alam semesta
hadir untuk ditaklukkan dan dikelola buat kepentingan manusia dengan
ilmu sains, bukan dipelihara secara mitos dan mistis. Oleh karena itu,
hal-hal yang dianggap mitos dan mistis tersebut harus didekonstruksi.

Jika kita menginginkan Islam Nusantara menjadi Islam yang maju


dan berperadaban di mana teknologinya tidak kalah dengan negara-
negara maju (Eropa dan Amerika) yang mampu merubah sistem agraris

14
Nasaruddin Umar, Islam Nusantara: Jalan Panjang Moderasi Beragama di Indonesia (Elex
Media Komputindo, 2019), 139–40.

27
menjadi teknologi industri, maka berpikir rasional, dan mengembangkan
sains untuk menaklukkan alam adalah jalan yang harus ditempuh.
Memelihara mistis dan mitos akan berdampak pada tidak majunya Islam
dan bangsa Indonesia pada umumnya. Contoh ketidakmajuan dari Islam
Nusantara dan bangsa Indonesia pada umumnya karena mengandalkan
mistis dan tidak menguasai alam serta teknologi adalah hanya karena
tidak hujan tujuh bulan saja menyebabkan gagal panen karena tidak
mampu merubah dari sistem agraris ke sistem teknologi industri
melainkan tidak rasional dan tidak mengembangkan sains15.

15
Islam Nusantara, “Studi Epistemologis Dan Kritis” 15 (2015): 28.

28
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Islam Nusantara merupakan Islam yang murni produk dari akulturasi
Islam dan budaya lokal Indonesia, yang menjadi ciri khas tersendiri dalam
menerapkan nilai nilai keislaman. Islam Nusantara dan Islam di Nusantara
tentu saja berbeda dan perlu pemahaman kembali. Islam di Nusantara lebih
fokus merujuk pada Islam yang ada di Nusantara, baik itu berbagai ormas
Islam dan aliran-aliran Islam baik yang moderat, puritan, radikal yang ada di
Nusantara dan bersifat umum. Dari pembahasan di atas dapat ditarik
beberapa kesimpulan yaitu:

Pertama, ajaran Islam yang meliputi aqidah, akhlak, syariah mudah


dimengerti sehingga mudah diterima oleh masyarakat Nusantara pada saat
itu. Hal itu yang membedakan dengan agama lain. Teori masuknya Islam ke
Nusantara berdasarkan tempat asal muasal dibawanya yang terdiri atas Teori
Arab, Teori Gujarat, Teori Persia, dan Teori Cina.

Kedua, Islam nusantara secara pendekatan sosiologis, yaitu Islam


universal dengan realitas sosial, budaya dan agama di Indonesia, secara
filosofis yaitu Islam sinkretis yang merupakan perpaduan antara nilai-nilai
teologis Islam dengan nilai-nilai tradisi lokal (non teologis), budaya dan
adat istiadat tanah air, sedangkan secara historis yaitu hasil ijma dan ijtihad
para ulama nusantara dalam melakukan istinbath melawan al-muktasab min
adillatiha-tafshiliyah. Islam Nusantara memberikan karakter sektarian dalam
teks para ulama nusantara untuk menghubungkan kita dengan tradisi nenek
moyang kita untuk dihormati dan untuk kita teladan

Ketiga, strategi penyebaran Islam di Nusantara banyak dilakukan


melalui jalur perdagangan, dakwah, perkawinan, pendidikan, dan
Islamisasi kultural.

29
Keempat, tokoh-tokoh penyebaran Islam di Nusantara adalah para
raja dan para ulama. Di Pulau Jawa, para ulama penyebar Islam tergabung
dalam Walisongo.

Kelima, Islam Nusantara dalam kehidupan bermasyarakat,


berbangsa, dan bernegara dalam perspektif sejarah masyarakat Indonesia
menerima Islam sebagai agama yang tidak berwajah radikal, ekstrem dan
fundamental, melainkan agama yang menawarkan toleransi tinggi terhadap
perbedaan-perbedaan.

Keenam, Islam yang tumbuh berkembang di Nusantara memang


merupakan sebuah kreativitas dari peradaban dan kebudayaan yang ada di
wilayah tertentu yang didasarkan pada pengamalan ajaran Islam. Begitu
banyak pro-kontra yang dihadapi Islam Nusantara dan juga banyaknya
tantangan, tantangan itu bersifat internal dan eksternal. Masalah Internal
terkait dengan munculnya kelompok Islam Puritan yang menganggap paling
unggul sendiri (supremasi). Sedangkan masalah eksternalnya meliputi
munculnya Islamophobia, yang memandang Islam sebagai ancaman bagi
mereka.

Ketujuh, Menganalisis secara kritis terhadap Islam nusantara


menghasilkan sebuah pemetaan. Di antara pemetaan yang dihasilkan adalah
ada hal-hal yang harus dipertahankan dari Islam nusantara, dan ada hal-hal
yang harus didekonstruksi. Diantara hal-hal yang harus dipertahankan
adalah spirit Islam nusantara yang toleransi dalam keanekaragaman,
apresiasi terhadap tradisi yang baik, dan elastisitas atau tidak kaku dalam
membaca teks keagamaan. Adapun hal-hal yang harus didekonstruksi
adalah doktrin al-Ghazali dalam hal memusuhi filsafat dan sains alam dan
penjagaan yang kuat terhadap mitos dan mistik oleh Islam nusantara yang
menghambat kemajuan dan peradaban.

30
3.2. Saran
Demikian pembahasan makalah kami mengenai "Islam Nusantara
dan Problematikanya" semoga makalah yang kami buat dapat bermanfaat
bagi kita semua yang membacanya. Dan dalam pembuatan makalah ini kami
sadar bahwa masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki. Kritik dan
saran yang membangun kami harapkan untuk menyempurnakan makalah
ini.

31
DAFTAR PUSTAKA
Al-Zastrouw, Ngatawi. “Mengenal Sepintas Islam Nusantara.” Hayula:
Indonesian Journal of Multidisciplinary Islamic Studies 1, no. 1 (30
Januari 2017): 1–18.

Arifuntaha, Fuad. “Analisis Isi Buku „Islam Kita, Islam Nusantara‟ Karya
Mohamad Guntur Romli.” Undergraduate, UIN Walisongo Semarang,
2018. http://eprints.walisongo.ac.id/8551/.

Author, Khabibi Muhammad Luthfi(1*) (1) (*) Corresponding. “Islam Nusantara:


Relasi Islam dan Budaya Lokal | Luthfi | SHAHIH: Journal of Islamicate
Multidisciplinary.” Diakses 16 Maret 2021.
http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/index.php/shahih/article/view/53.

“Contoh-Penulisan-Makalah-di-STISNU-Nusantara.pdf.” Diakses 22 Maret 2021.


https://stisnutangerang.ac.id/nusantara/wp-
content/uploads/2018/09/Contoh-Penulisan-Makalah-di-STISNU-
Nusantara.pdf.

Gazali, Gazali. “TEOLOGI ISLAM NUSANTARA.” PROCEEDING IAIN


Batusangkar 4, no. 1 (9 Juli 2019): 109–12.

“ISLAM NUSANTARA: CORAK KEISLAMAN INDONESIA DAN


PERANNYA DALAM MENGHADAPI KELOMPOK PURITAN | Azisi |
EMPIRISMA: JURNAL PEMIKIRAN DAN KEBUDAYAAN ISLAM.”
Diakses 22 Maret 2021.

“Islam Nusantara: Studi Epistemologis Dan Kritis - Neliti.” Diakses 22 Maret


2021. https://www.neliti.com/publications/56735/islam-nusantara-studi-
epistemologis-dan-kritis.

Mubarok, Ahmad Agis, dan Diaz Gandara Rustam. “ISLAM NUSANTARA:


MODERASI ISLAM DI INDONESIA.” Journal of Islamic Studies and
Humanities 3, no. 2 (29 Mei 2019): 153–68.
https://doi.org/10.21580/jish.32.3160.

32
Muzakki, Hawwin. “Mengukuhkan Islam Nusantara: Kajian Sosiologis-Historis.”
An-Nuha : Jurnal Kajian Islam, Pendidikan, Budaya Dan Sosial 6, no. 2
(10 Desember 2019): 215–39. https://doi.org/10.36835/annuha.v6i2.336.

Syafrizal, Achmad. “SEJARAH ISLAM NUSANTARA.” Islamuna: Jurnal Studi


Islam 2, no. 2 (5 Desember 2015): 235–53.
https://doi.org/10.19105/islamuna.v2i2.664.

“Tela‟ah Kritis Masuk dan Berkembangnya Islam di Nusantara | Ghofur | Jurnal


Ushuluddin.” Diakses 22 Maret 2021. http://ejournal.uin-
suska.ac.id/index.php/ushuludin/article/view/689.

33

Anda mungkin juga menyukai