Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

NAHDLATUL ULAMA
Dosen pengampu: Prof. Dr. H. Abd. Rahim Yunus, M.A

Oleh:
Rahmiati 40200120085
Muh.Saiful 40200120062

SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS NEGERI ISLAM ALAUDDIN MAKASSAR
TAHUN AKADEMIK 2022/2023

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat allah SWT. Yang telah memberikan kita rahmat
dan hidayah- Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Sejarah Berdiri dan berkembangnya Nahdlatul Ulama” dengan tepat waktu. Solawat
beserta salam kita haturkan kepada junjungan kita nabi besar Muhammad SAW. yang telah
membawa kita dari alam kegelapan menuju alam yang terang menderang seperti yang kita
rasakan saat ini dan karena adanya juga beliau sehingga kita bisa membedakan mana
perkara yang haq dan mana yang bathil.

Makalah ini di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Sejarah Intelektual Islam
Indonesia” selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan bagi para pembaca dan
juga bagi penulis. Penulis mengucapkan terimah kasih kepada bapak ‘Prof.Dr.H. Abd.
Rahim Yunus, M.A". Selaku dosen mata kuliah Sejarah Intelektual Islam Indonesia.
Ucapan terimah kasih juga di sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
penyelesaian makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan
kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

ii
DAFTAR ISI

SAMPUL ......................................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... ii

DAFTAR ISI..................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1

A. Latar Belakang ...................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................ 2

A. Sejarah perkembangan Nahdlatul Ulama.............................................................. 2

B. Sejarah Kelahiran Nahdlatul Ulama ..................................................................... 3

C. NU Sebelum Kemerdekaan ................................................................................... 4

D. NU Paska Kemerdekaan ....................................................................................... 10

E. NU Masa Awal Orde Baru .................................................................................... 11

BAB III PENUTUP ......................................................................................................... 13

A. Kesimpulan ........................................................................................................... 13

B. Saran ..................................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 14

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang

Nahdlatul Ulama (NU) didirikan pada tanggal 31 Januari 1926. Nahdlatul Ulama
adalah sebagai organisasi ulama yang tetap ingin mempertahankan pelaksanaan ajaran
agama dengan berpegang teguh pada salah satu mazhab Ahli Al Sunnah Waal Jama’ah, yakni
Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali (Pasal 2, Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama tahun
1928). Dalam kenyataannya mazhab yang diikuit Nahdlatul Ulama adalah mazhab Syafi’i
dan orientasi pada fiqih (hukum Islam) mazhab ini tampak kental sekali. Hal itu tidak lepas
karena basis organisasi ini, yakni pesantren, yang pada umumnya sangat menekankan
pengajaran fiqih, dan hanya mengajarkan kitab yang ditulis oleh ulama mazhab Syafi’i.
Sebagai organisasi keagamaan, Nahdlatul Ulama berusaha agar semua sikap dan tingkah
laku warganya sejalan dengan agama Islam.1

Latar belakang pendirian NU sangat kompleks dan proses pendiriannya pun tidak
instan. Sejarah berdirinya NU melalui proses panjang. Pergulatan panjang dari para
pendirinya seperti KH Hasyim Asyari dan KH Wahab Hasbullah dalam menyikapi
perkembangan masyarakat di Indonesia, khususnya di Jawa dalam menghadapi kolonialisme
Belanda serta perkembangan dunia Islam di Saudi Arabia terutama dikaitkan dengan
menguatnya gerakan Wahabiah, runtuhnya kekhalifahan di Turki, timbul tenggelamnya
gagasan Pan Islamisme dan pertentangan tajam diantara para pengikut aliran atau pemikiran
Islam di Indonesia merupakan latarbelakang berdirinya NU. Sejarah itu dimulai sejak
kepulangan KH Wahab Hasbullah dan Kiai Mas Mansur dari Mekkah setelah pecah perang
dunia I.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Perkembangan Nahdlatul Ulama ?
2. Bagaimana Sejarah Kelahiran Nahdlatul Ulama ?
3. Bagaimana NU Sebelum Kemerdekaan ?
4. Bagaimana NU Paska Kemerdekaan ?
5. Bagaimana NU Masa Awal Orde Baru ?

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah perkembangan Nahdatul Ulama
Berdasarkan sejarah NU, organisasi islam terbesar di Indoneisa ini telah
memantapkan dirinya sebagai pengawas tradisi dengan mempertahankan ajaran empat
Mazhab Syafi’i, yang diterima oleh sebagian besar umat Islam di seluruh tanah air. Selain itu,
NU memberikan perhatian khusus pada bidang-bidang yang berkaitan dengan kegiatan
ekonomi, seperti kehidupan pemilik tanah dan para pedagang.Sebenarnya, Nahdlatul Ulama,
salah satu organisasi masyarakat (ormas) terbesar di Indonesia dari komunitas Islam yang ada
sejak kelahirannya di tahun 70-an. Selain itu NU juga selalu menekankan pentingnya
menjaga dan menghormati kekayaan budaya nusantara. Terinspirasi dari tipikal tudingan
terhadap Wali Songo yang berhasil “menghubungkan” bidang agama (Islam) dengan wilayah
budaya. Dalam praktiknya NU berwajah familiar atau muda, sebagaimana diakui oleh seluruh
masyarakat.
Untuk menghindari pendekatan negatif memerlukan dorongan dari dua hal yang
sangat dibutuhkan dalam konteks pluralisme, yakni: Pertama, melekatnya identitas nasional
karena mereka mengikuti jalur budaya dengan karakter pluralistic. Komunitas budaya jarang
merasa bahwa keberadaan mereka secara langsung atau tidak langsung terancam. Dari sinilah
muncul aturan hukum Islam “al`adah muhakkamah”. Ini memberikan peluang besar untuk
mengubah tradisi apa pun menjadi bagian dari hukum Islam. Kecuali ibadah Mahdah, seperti
shalat atau puasa, kegiatan budaya sangat mungkin dianggap sebagai kegiatan yang
dipaksakan secara agama jika berperan dalam mendukung prinsip-prinsip Islam. Dan
setidak-tidaknya kegiatan budaya tersebut tidak dilarang kecuali mengganggu
kemanfaatannya.1
Oleh karena itu, kehormatan Islam di Indonesia selalu didukung dengan cara yang
dapat diterima oleh kelompok lain, meskipun secara statistik dikategorikan mayoritas, dan
tidak dipaksakan oleh kepentingan masyarakat dan penindasan atau penolakan
keberadaannya. Langkah-langkah ini dapat sangat membantu dalam mendukung upaya untuk
memantapkan identitas nasional bersama.Kedua, Pengembangan nilai- nilai kemanusiaan
yang tidak bisa dipungkiri bahwa kemunculan Islam yang toleran secara tidak langsung
berdampak positif terhadap upaya penegakan nilai-nilai kemanusiaan jika dibandingkan

1
Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967 (Yogyakarta: LKis Group, 2011), hlm.26.

2
dengan sikap tegas beragama yang dapat membahayakan hak asasi manusia. Mudah memicu
kekerasan agama dari keringnya keterlibatan Islam yang memonopoli kebenaran dan
menunjukkan kelemahan iman. Toleransi, di sisi lain, tampaknya menjadi bukti keutuhan
pemahaman agama, yang diyakini menjadi berkah bagi semua. Pada akhirnya, sikap pemaaf
yang muncul dari kesadaran untuk memahami perbedaan dan keragaman budaya merupakan
salah satu landasan kokoh dalam berpikir, bersikap, dan berperilaku yang lebih peka terhadap
nilai- nilai kemanusiaan. Jadi orang tidak Seharusnya diperlakukan secara manusiawi hanya
karena mereka adalah Muslim, tetapi didasarkan pada pemahaman bahwa nilai- nilai
kemanusiaan adalah milik semua orang.2
Nahdlatul Ulama menjadikan dirinya sebagai organisasi sosiologis dan keagamaan
dalam menjawab permasalahan bangsa. Bukan seluruh sejarah negara Indonesia, Nahdlatul
Ulama telah melalui tahap yang berkembang dari akhir abad ke-19 hingga saat ini. Ini adalah
proses pengujian dan antitesis. Pada masa pergerakan kemerdekaan. Oleh karena itu,
diperlukan pemahaman tingkat berikutnya untuk menelusuri dan memahami sejarah NU yang
panjang dan sangat berpengaruh pada perkembangan Negara Indonesia pulau.3
B. Sejarah kelahiran NU

Pada awal abad 20, Islam Tradisionalis disaingi oleh kaum pembaharu (modernis)
yang ide-ide pembaharuannya diperoleh dari para pembaharu Timur Tengah seperti
Jamaluddin al-Afghani (1838-1897), Muhammad ‘Abduh (1849-1905), dan Rasyid Ridha
(1865-1935). Mereka yang tergolong ke dalam Islam Modernis berusaha untuk
menghilangkan sikap taklid yang dianut oleh Islam Tradisionalis dengan mengikuti sikap
talfik. Mereka juga menganggap kaum tradisionalis itu merupakan penyebab merosotnya
ekonomi umat Islam yang saat itu dijajah oleh etnisetnis seperti Eropa Kristen, 4Cina,
Arab, India dan Belanda. Mereka juga memandang praktik keagamaan yang diajarkan kaum
Tradisionalis tidak bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah, seperti ziarah ke makam para

2
Yaitu sikap yang mempertahankan ajaran empat madzhab bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah.
Lihat Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967 (Yogyakarta: LKis Group, 2011), hlm. 27.
3
Yaitu kebebasan memilih dari berbagai empat madzhab secara berbeda dengan mencampurkan antara
satu madzhab dengan madzhab yang lain. Lihat Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 19521967
(Yogyakarta: LKis Group, 2011), hlm. 28.
4
Menyebut nama mereka (para wali) sebelum berdoa. Lihat Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama:
Sejarah NU 1952-1967 (Yogyakarta: LKis Group, 2011), hlm. 28.

3
wali serta tawassul yang dianggap syirik atau menyekutukan Allah. Mereka juga
berargumen tentang praktik sufi dan tidak suka dengan khotbah Jum’at yang berbahasa Arab
karena sebagian besarjama’ah tidak mengerti maksud yang terkandung di dalamnya.5

Perdebatan antara Islam tradisionalis dan Islam Modernis berlangsung sangat panas.
Mereka berdiskusi yang berpusat pada persoalan praktik ibadah, reformasi pendidikan
dan strategi dalam berorganisasi yang sudah lama dipertahankan oleh Islamtradisionalis.
Sekitar tahun 1910-an, kedua pihak sudah mulai mengerti satu sama lain terhadap
perbedaan pendapat selama ini dan mereka mulai dilakukan kesepakatankesepakatan dalam
hal-hal seperti reformasi pendidikan dan pemberlakuan syaratsyarat sebelum dilakukannya
ijtihaddalam persoalan hukum Islam. Awal tahun 1920an, Islam Modernis kembali
66
mempermasalahkan ajaran keagamaan Islam tradisionalis terhadap otoritas keagamaan
kiai dalam memutuskan hal-hal yang berkaitan dengan hukum agama.
Dalam pembentukan organisasi, kaum modernis sudah melakukan strategi yang
berlapis dengan membentuk sebuah madrasah sebagai tempat belajar mengajar yang
menjadi penguat organisasinya yaitu: Muhammadiyah didirikan pada 1912 di Yogyakarta,
al-Irsyad dibentuk pada 1914 di Jakarta dan Persis (Persatuan Islam) didirikan pada 1923 di
Bandung. Sementara itu, di sisi yang lain Islam tradisionalis hanya memiliki tiga lembaga
yaitu: Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang dibentuk pada 1916, Tashwirul
Afkar (Forum Diskusi Para Ulama) didirikan pada 1918 dan Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan
Saudagar) yang dibentuk pada 1918.7

Nahdlatul Ulama atau biasa disingkat NU ini didirikan pada 31 Januari 1926 dan
bergerak dalam bidang sosial keagamaan7 yang dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari dan KH.
Abdul Wahab Hasbullah sebagai penggerak dibalik pembentukan NU. NU adalah organisasi
Islam terbesar di Hindia-Belanda dan berkembang pesat pada 1940an. Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama dibagi dua badan yaitu: Syuriah (Badan Keulamaan) dan Tanfidziyah
(Badan Eksekutif) yang dipimpin oleh sebagian besar beranggotakan saudagar dan
pengusaha kecil. Pada masa awal, syuriah diketuai oleh KH. Hasyim Asy’ari dan diberi
8
gelar Rais Akbar (Ketua Tertinggi), Ahmad Dahlan (Ahyad) sebagai Wakil Ketua,

5
Unsur utama dalam program para Islam Modernis untuk mereformasi Islam. Lihat Greg Fealy,
Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967 (Yogyakarta: LKis Group, 2011), hlm. 27.

6
Nur Khalik Ridwan, NU dan Neoliberalisme: Tantangan dan Harapan Menjelang Satu
Abad(Yogyakarta: LKis Yogyakarta, 2008), hlm. 26.

4
Kyai Abdul Wahab Hasbullah sebagai Sekretaris, dan para anggota yang sebagian besar
berasal dari Jawa Timur.
Lahirnya Nahdlatul Ulama mempunyai tujuan yaitu berpegang teguh pada satu
madzhab dari empat madzhab. Secara langsung NU menolak Islam Modernis yang
berpandangan akan kebebasan memilih dan mencampur empat madzhab tersebut.
Sebagai sebuah organisasi sosial keagamaan NU mencoba memberikan pelayanan-
pelayanan dalam bidang pembangunan madrasah, memberikan pelayanan yang baik
terhadap anak yatim dan orang miskin, meningkatkan perekonomian mereka, merawat buku-
buku pelajaran yang sesuai dengan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah, bukan dengan prinsip-
prinsip ahli bid’ah.
C. NU sebelum kemerdekaan
Organisasi NU berkembang sangat pesat. Hal ini terlihat dari setiap Muktamar yang
diadakan. Contohnya pada tahun 1926, Muktamar pertama NU yang dihadiri 96 kiai,
Muktamar kedua tahun 1927 dihadiri oleh 146 kiai dan 242 peserta. Selanjutnya pada tahun
1928, Muktamar yang dihadiri oleh 260 kiai dan 35 cabang yang telah dibentuk. Pada tahun
1929, NU memiliki 63 cabang dan 1450 peserta dan peninjau dihadirkan oleh NU dan pada
tahun 1933, anggotanya diperkirakan telah mencapai 40.000. Kemudian pada tahun 1935,
jumlah anggotanya makin bertambah mencapai 67.000 orang yang telah tersebar di 76
cabang dan tahun 1938, NU memiliki 99 cabang terdaftar dengan jumlah anggotanya
100.000. Pada masa pendudukan Jepang tahun 1942, NU sudah memiliki 120 cabang.9

Lonjakan yang cepat berdasarkan data-data di atas, menunjukkan bahwa organisasi


ini cukup diminati oleh masyarakat pada umumnya. Adapun para anggota NU kebanyakan
berdomisili di Jawa, yaitu Jawa Timur dan Madura, sepanjang pantai utara Jawa Tengah,
serta di wilayah Cirebon dan Banten, Jawa Barat. Selain itu, dari luar Jawa khususnya kota
Banjar di Kalimantan Timur juga mendukung NU, serta kiainya pun menghadiri Muktamar
dari awal berdirinya NU. Dan pada 1930 didirikan cabang pertama NU di luar Jawa
didirikan di Kalimantan Selatan, kaum Islam Tradisionalis lainnya yang mendukung NU di
antaranya Batak Mandailing di Sumatra Utara, Bugis di Sulawesi Selatan, Sasak dan
Sumbawa di Nusa Tenggara Barat (NTB)10 yang juga membentuk cabang NU yang
berkembang selama 10 tahun dari tahun 1930 sampai dengan tahun 1940.
NU tidak hanya mengalami pertumbuhan dalam jumlah anggota, dengan banyaknya
kehadiran para kiai dan peserta, NU juga berhasil dalam bidang pendidikan dengan banyak
cabang besar NU yang mendirikan madrasah dan menambah jumlah pesantren. Metode

5
pengajarannya campuran antara mata pelajaran agama dan mata pelajaran umum yang
8 11
disusun sama dengan metode pengajaran bandongan di pesantren. Agar berjalan dengan
baik, maka pada 1938 dibentuk Lembaga Pendidikan Ma’arif yang dipimpin oleh Kiai
Wahid Hasyim.12

Dalam bidang ekonomi, NU juga berkembang cepat dan pada tahun 1929
didirikannya koperasi kaum muslimin mencontoh dari Nahdlatut Tujjar, yang bertujuan untuk
mengatur jalannya penjualan barang seperti gula, kacang, minyak goreng, buah- buahan dan
sayuran yang bersumber dari petani-petani kecil tradisionalis. Setelah berjalan, kemudian
didirikan koperasi yang lebih luas dari sebelumnya yang bernama Syirkah Mu’awanah
artinya sebuah koperasi yang memperjual belikan hasil pertanian, hasil laut, batik, rokok dan
sabun. 1314
Seiring berjalannya waktu, Syirkah Mu’awanahberkembang sangat cepat
menjadi perdagangan internasional yang bermanfaat sebagai sumber pemasukan cabang dan
para anggota NU. Kemudian PBNU sendiri membentuk Bagian Urusan Perusahaan dan
k Perniagaan yang berguna dalam mengelola barang yang diproduksi dan memberi simbol
NU pada grabah, rokok, kopi,dan bahan makanan.15
Adapun kegiatan ekonomi yang lainnya yaitu dalam mengelola harta wakaf yang
hasilnya dipakai untuk pemeliharaan bangunan masjid dan pesantren. Akan tetapi, untuk
menghindari adanya penyalahgunaan dana yang disumbangkan oleh masyarakat, maka pada
tahun 1930 dibentuk Lajnah Waqfiyah (Badan Wakaf) dan tujuh tahun kemudian diganti
menjadi Waqfiyah Nahdlatul Ulama.
Pembentukan divisi pemuda dan pemudi dalam NU juga penting, walaupun
awalnya menimbulkan pertentangan, karena berbagai kekhawatiran para kiai terhadap
dampak negatif jika mereka menyetujui pembentukan kedua divisi tersebut. Setelah
mengalami berbagai hambatan, akhirnya kedua divisi itu berhasil terbentuk yaitu
Persatuan Pemuda Nahdlatul Ulama pada tahun 1931. Sebelumnya, terdapat kelompok
pemuda tradisional yang sudah ada sejak pertengahan 1920 di antaranya Syubbanul Wathan
(Pemuda Negeri), Sayap Pemuda dari Nahdlatul Wathan dan Da’watus Subban (Suara
Pemuda). PBNU tidak menyetujui adanya organisasi Persatuan Pemuda Nahdlatul Ulama
karena banyak ulama yang bersikap mempertahankan keadaan, tidak terburu-buru dalam

7
Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967 (Yogyakarta: LKis Group, 2011), hlm.
39.

6
mengambil sikap.
Pada 1934, kelompok pemuda mencoba menghadap PBNU untuk mendapat
persetujuan atas keberadaan organisasi Persatuan Pemuda Nahdlatul Ulama dengan
memakai nama Anshor16 yang dipimpin oleh Kiai Wahid Hasyim,17 Abdullah Ubaid,18 dan
Mahfoedz Siddiq 19 serta dukungan penuh dari Kyai Abdul Wahab Hasbullah dengan
argumentasi yang mereka kemukakan adalah tentang pentingnya pembinaan kader. Dan
pada Muktamar NU tahun 1934, usulan mereka berhasil mendapat persetujuan dan duduk
menjadi salah satu divisi NU. Anshor mengajukan usulannya tentang pembentukan gerakan
pemuda dan drum band berseragam ditolak oleh PBNU. Akibatnya, mereka sulit mendirikan
cabang Anshor di wilayah lain.
Pada Muktamar 1938, untuk memaksimalkan peran para perempuan dan
anakanak, mereka diperbolehkan bergabung akan tetapi sebagai anggota, sedangkan lakilaki
saja yang boleh menjadi pemimpin. Untuk mengatasi masalah tersebut, dalam Muktamar
tahun 1940 para perempuan mengusulkan agar mereka diberi hak otonomi.20 Usulan tersebut
diterima dan diberi hak otonomi dalam Muktamar pada tahun 1946 dengan dibentuk
Muslimat Nahdlatul Ulama, yang kemudian berkembang sangat aktif dengan membangun
fasilitas umum di antaranya klinik ibu dan anak, panti asuhan yatim piatu dan juga sekolah
perempuan. Pada 1950, mereka mendirikan organisasi di bawah pimpinan Pengurus
Muslimat NU yang bernama Fatayat Nahdlatul Ulama.
Selain bidang pendidikan dan ekonomi, NU juga aktif dalam bidang penerbitan yang
sebelum Perang Dunia II pada tanggal 1 September 1939, mereka menerbitkan majalah-
majalah NU melalui percetakannya di Surabaya di antaranya Swara Nahdhatoel Oelama,
Oetoesan Nahdhatoel Oelama dan Berita Nahdhatoel Oelama, juga buletin bulanan seperti
Lailatul Ijtima’ Nahdhatoel Oelama (LINO) yang berisikan daftar nama anggota NU yang
meninggal.

Sikap NU dalam bidang politik dan juga hubungannya dengan organisasi Islam
Modernis mengalami perubahan yang signifikan, penyebabnya adalah saling mempengaruhi
antara faktor internal dan eksternal. Contohnya di kalangan umat Islam muncul
ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah Belanda yang dirasakan bertentangan dengan
hukum Islam.21 Kaum Islam tradisionalis maupun kaum Islam Modernis mempunyai alasan
yang sama untuk melawan tindakan pemerintah Belanda Cara pandang di dalam NU juga
berubah dengan diangkatnya tokoh-tokoh pemuda seperti Kiai Wahid Hasyim, Muhammad
Ilyas, Mahfoedz Siddiq, dan Abdullah Ubaid. Mereka tidak hanya berpendidikan pesantren,

7
tetapi juga menjalin hubungan yang baik dengan kaum Islam Modernis. Mereka sudah tidak
begitu tertarik untuk mempermasalahkan perbedaan ajaran antara Islam tradisionalis dan
Islam Modernis. Akan tetapi, ketertarikan mereka lebih kepada isu-isu sosial dan politik
secara lebih luas. Mereka ingin menyatukan kembali pemikiran bersama antara Islam
Modernis dan Islam Tradisionalis di antaranya tentang larangan berpoligami dan melakukan
otopsi jenazah orang muslim.

Upaya saling mendekatkan antara Islam tradisionalis dan Islam Modernis dilakukan
oleh Kiai Wahid Hasyim, Muhammad Ilyas, Mahfoedz Siddiq, dan Abdullah Ubaid dengan
berhasil membentuk MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) pada tanggal 21 September
1937.22 Latar belakang terbentuknya MIAI digagas oleh Kyai Abdul Wahab Hasbullah dan
Ahmad Dahlan Kebondalem yang kemudian digantikan oleh Kiai Wahid Hasyim dan
Mahfoedz Siddiq pada 1941, dengan penambahan anggota baru yaitu Mas Mansoer dari
Muhammadiyah dan W. Wondoamiseno dari SI. Peran NU dan Muhammadiyah tidak dapat
dihilangkan dari terbentuknya MIAI, yang memiliki tujuan memperbaiki sosialisasi dan
kerjasama antar umat Islam. Berdirinya MIAI banyak mendapat dukungan dari masyarakat
luas, MIAI yang awal mulanya terdiri dari 7 anggota yang kemudian bertambah menjadi 23
anggota pada tahun yang sama (tahun 1941).
Sikap NU dalam politik pada Muktamar tahun 1938 yaitu dengan mengajukan
usulan agar organisasi tersebut dapat ikut serta dalam perwakilan politik dan mendapatkan
pertimbangan langsung melalui dewan rakyat kepada pemerintah Belanda. Akan tetapi
usulan tersebut ditolak oleh pemerintah Belanda. Tidak lama sesudah itu, gebrakan NU
mengejutkan pemeritah kolonial dan organisasi-organisasi modernis dengan mengajukan
tuntutan secara terbuka agar dicabutnya tuntutan Guru Ordonnantie 1925 yang isinya
tentang pengajaran agama yang lebih ketat. Hal ini menjadi sorotan mereka karena pertama
kalinya NU menentang kebijakan yang diberikan pemerintah Belanda terhadapnya.
Pada tahun 1939, NU mendukung terbentuknya GAPI (Gabungan Politik Indonesia)
dan ikut serta dalam Kongres Rakyat Indonesia (Korindo) yang memiliki tujuan
mengajukan tuntutan untuk membuat undang-undang dasar nasional dan parlemen yang
anggotanya terdiri dari orang Indonesia di antaranya yang menjabat sebagai Presidium
yaitu Kiai Wahid Hasyim, Mahfoedz Siddiq, dan Muhammad Ilyas. Pada tahun 1940, para
pengurus NU semakin berani untuk memberikan usulan dengan memberikan surat kepada
pemerintah Belanda yang berisikan tuntutan pencabutan terhadap pembatasan bagi guru
dan ustadz, menghapus beasiswa yang diberikan kepada sekolah-sekolah Kristen, dan

8
penerapan larangan untuk mencemarkan nama Islam.23 Kemudian pada tahun 1941,
diadakannya rapat tertutup untuk membahas untuk mencalonkan Soekarno menjadi
Presiden, jika Indonesia telah disahkan menjadi negara yang bebas penjajah.

Pada masa pendudukan Jepang, peran NU lebih menonjol dengan menjadi alat utama
ketika Jepang menyerang Hindia-Belanda pada bulan Maret 1942 dalam memobiliasikan24
rakyat pedesaan untuk ikut dalam perang tersebut. Kiai dan ulama seperti KH. Hasyim
Asy’ari menjabat sebagai Shumubu (Kepala Kantor Urusan Agama) dan juga penasihat
utama Jawa Hohokai (Perhimpunan Layanan Jawa).

Selain itu, NU juga berperan dalam organisasi Masyumi yang dibentuk oleh Jepang
setelah adanya pembubaran terhadap MIAI pada bulan November 1943. Kegiatan yang
dilakukan Masyumi yaitu berdakwah, mempelajari praktek keagamaan dalam kehidupan
sehari-hari, ceramah-ceramah tentang keagamaan, menerbitkan majalah Soeara Moeslimin
25
Indonesia. bertujuan agar kegiatan NU tercatat di dalamnya dan majalah tersebut
terbit satu bulan sekalidan bertujuan untuk mengumpulkan dana untuk membantu fakir
miskin.26
Sebagian tokoh besar NU seperti KH. Hasyim Asy’ari yang diangkat sebagai Ketua
Umum Pertama NU yang sebagian besar tugasnya dilaksanakan oleh Kiai WahidHasyim, dan
KH. Abdul Wahab Hasbullah sebagai Penasihat Dewan Pelaksana. Begitupun dengan
anggota-anggota NU lainnya yang dilatih secara militer dalam PETA (Pembela Tanah
Air).27 Banyak kiai yang menjadi anggota korps perwira28 pada organisasitentara tersebut.
29
Sedangkan kepemimpinan Hizbullah diberikan kepada Zainul Arifin yang juga
tokoh NU, Jepang yang mengadakan pelatihan khusus untuk para kiai yang bertujuan
mendidik tokoh-tokoh Islam dalam cara memobilisasi dan propaganda. Adapun propaganda
yang dilakukan pemerintah Jepang yaitu dengan melipat gandakan hasil pertanian. Meskipun
propaganda tersebut juga menguntungkan bagi umat Islam, akan tetapi hal tersebut secara
tidak sadar menjadikan Masyumi menjadi alat propaganda Jepang.
Menjelang kemerdekaan Indonesia, jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk pada bulan Maret 1945. Salah
satu tokoh NU yang terlibat dalam persiapan kemerdekaan Indonesia yaitu Kiai Wahid
Hasyim yang menjabat sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang
tugasnya merumuskan pernyataan kemerdekaan untuk dibacakan pada17 Agustus 1945.
Hal ini berarti kebijakan yang dilakukan Jepang terhadap NU tidak hanya melibatkan

9
para kiai dan santri dalam kegiatan politik saja, melainkan juga banyak kiai yang dilibatkan
untuk didudukan pada posisi-posisi yang mempunyai tanggung jawab lebih besar dan
berpengaruh dalam urusan kebangsaan dan kenegaraan.
30
Pada masa revolusi Indonesia yang berlangsung selama empat tahun (19451949)
telah menjadikan NU sebagai kekuatan utama dalam perlawanan fisik menentang
kembalinya Belanda, dengan melalui rapat yang diadakan di Surabaya pada tanggal 22
Oktober tahun 1945 oleh tokoh-tokoh NU. Dalam rapat tersebut keluarlah keputusan untuk
melakukan “Resolusi Jihad”31 yang menyatakan bahwa perjuangan untuk merdeka adalah
perang suci (Jihad). Hal tersebut menjadi kekuatan bagi perlawanan umat Islam kepada
Belanda. Pasukan Hizbullah yang diikuti oleh pasukan gerilya muslim dari organisasi
Sabilillah32 yang baru terbentuk di bawah pimpinan seorang tokoh NU yaitu KH. Masykur33
terlibat dalam perang melawan tentara Inggris dan juga tentara Belanda. Pasukan ini yang
memiliki peran penting dari kekuatan militer Republik Indonesia, meskipun mereka kurang
terlatih untuk berperang dengan senjata yang sangat terbatas sehingga banyak korban
berjatuhan dalam perang tersebut. Selain melakukan perlawanan fisik para kyai NU juga
melakukan perlawanan non fisik yaitu dengan menentang penandatanganan Persetujuan
Linggarjati3435 dan PersetujuanRenville36 dengan Belanda.

Masyumi awalnya adalah sebuah organisasi yang dibentuk oleh Jepang pada tahun
1943 dan pada tanggal 10 November 1945, Masyumi ini menjadi partai politik dan
kemudian menjadi satu-satunya partai politik Islam dengan menjadikan NU dan
Muhammadiyah sebagai anggota utamanya. Dengan susunan kepengurusan sebagai berikut:
KH. Hasyim Asy’ari sebagai Ketua Umum Majelis Syuro (Dewan Penasihat Keagamaan),
Wahid Hasyim sebagai wakilnya dan KH. Abdul Wahab Hasbullah sebagai anggota dewan
dan kekuasaan sepenuhnya dibawah urusan Dewan Pengurus Partai (DPP) yang
beranggotakan Kiai Wahid Hasyim dan Kiai Zainul Arifin.3738

D. NU Pasca Kemerdekaan

Dalam Muktamar di Purwokerto tahun 1946, NU mendorong anggotanya untuk


bersama-sama masuk ke dalam partai politik Masyumi. Masyumi kemudian berganti nama
menjadi Majelis Syuro39 tahun 1951 di bawah pimpinan Kyai Abdul Wahab Hasbullah.
Berbagai cara dilakukan NU untuk menjadikan Majelis Syuro seperti Syuriah NU tidak
tercapai karena perbedaan tradisi keduanya yang menyulitkan NU. NU ingin menjadikan
Masyumi sebagai federasi 40 partai-partai atau membentuk federasi baru tidak dapat berjalan

10
sesuai dengan harapan karena banyak organisasi yang kemudian bergabung dengan Liga
Muslimin pada tahun 1959 seperti PSII dan PERTI. NU keluar dari Masyumi pada tanggal 5-
6 April tahun 1952 dalam Muktamar ke 19 yang diselenggarakan di Palembang dan
membentuk partai NU sendiri.
PBNU berusaha menjadi partai modern yang mampu bersaing dalam perpolitikan
nasional. Sebagai sebuah partai politik, NU membentuk susunan kepengurusan dan
bentuk PB (Pengurus Besar) yang terdiri dari tokoh-tokoh sebagai berikut Wahid Hasyim
selaku ketua muda PBNU, Idham Chalid, Zainul Arifin, Mohammad Dahlan, A.S. Bahmid,
dan A.A. Aksin sebagai sekretaris jenderal. Sebelum pemilu diselenggarakan ada
“kampanye” yang dilakukan NU dalam bentuk pengajian keagamaan yang membahas
tentang pandangan keagamaan yang sangat menyentuh iman, akhlak dan membuat para
jama’ahnya merasa tertarik.
Pada pemilihan umum tahun 1955 NU berhasil menjadi pemenang dengan
mengumpulkan suara sebanyak 6.955.141 berarti 18,4% dari seluruh pemilih sebesar
37.78.299. Mayoritas masyarakat di Pulau Jawa, khususnya di Jawa Timur dan Jawa
Tengah.41 NU juga memperoleh suara terbanyak di wilayah Cirebon, Banten, etnis Betawi
di Jakarta Raya, dan Tasiklamaya. Di luar Jawa, NU mempunyai para pendukung di
Kalimantan Selatan yang wilayahnya Banjar dan Hulu Sungai. Di Makassar (Ujung
Pandang) dan Bone Sulawesi, Lombok Nusa Tenggara dan sebagian besar dari etnis Sasak
Waktu Lima. Di Sumatra NU banyak didukung di daerah Tapanuli Selatan dan lebih banyak
lagi dari etnis Batak Mandailing. Yang menjadi pusat-pusat pendukung NU di Sumatra yaitu
Batanghari dan Indragiri wilayah pantai timur Sumatra Tengah, Kabupaten Merangin
bertempat di Pedalaman, dan Lahat di Sumatra Selatan.

Pada tahun 1957-1965 dibentuk kabinet Djuanda42 oleh Presiden Soekarno yang
disebut sebagai ekstra parlementer 43 . Dan pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno membentuk
kabinet presidensiil dengan membentuk DPRGR (DPR Gotong Royong) pada awal 1960
berdasarkan pada UUDS tahun 1945. Susunan keanggotaan kabinet presidensiil yang
dibentuk dengan cara menunjuk langsung dengan tidak memakai hak pemungutan suara, hal
itu ditentang oleh NU. Menurut NU, memakai cara itu sama saja merampas hak rakyat. Akan
tetapi suara yang diberikan NU tidak ditanggapi, akhirnya NU membebaskan anggotanya
untuk ikut serta menjadi anggota DPRGR.
E.NU masa awal Orde Baru
Pada tahun 1971, pemilihan umum diikuti 10 partai politik yaitu NU, PNI, IPKI,

11
Murba, Partai Katolik, Parkindo, PSII, Perti, Parmusi dan Sekretariat Bersama Golkar
(Sekber Golkar).44 NU mengumpulkan suara sebesar 10.213.650 berarti 18,6% dariseluruh
suara pemilih sebesar 54.696.887. Sementara itu, Golkar memaksa masyarakat tanah air untuk
tidak memilih partai politik dengan cara menggerakkan aparat sipil dan militer berjaga di TPS,
kekerasan fisik pun yang dilakukan terhadap para kiai dan para santri yang mendukung NU
dengan cara dianiaya dan dibunuh.45
Berbagai cara yang dilakukan Golkar dalam memenangkan pemilihan umum dengan
menyingkirkan NU, dan membentuk organisasi Gabungan Usaha Perbaikan Pesantren
Indonesia (GUPPI) di bawah pimpinan Mayjen Ali Murtopo dan Mayjen Sujono
Humardani. Berdirinya organisasi ini otomatis menyingkirkan peran NU dengan kiai-kiai
yang terpaksa menjadi anggota GUPPI dan para santri yang dipaksa meninggalkan
pesantren-pesantren.
Golkar yang mendapatkan kursi DPR-RI dengan memenangkan pemilihan umum
tahun 1971, NU menduduki posisi setelah Golkar. Setelah pemilihan umum tahun 1971,
Soeharto memaksa NU membentuk PPP (Partai Persatuan Pembangunan) dengan
dibentuknya empat badan seperti Pimpinan Pusat, Presidensi, Majelis Pertimbangan Partai,
dan Majelis Syura.46
Pada Muktamar NU di Surabaya tahun 1971 mengenai penyederhanaan sistem
kepartaian, NU tetap ingin bertahan sebagai partai politik dan membentuk partai-partai baru
sebagai wadah dalam menampung kegiatan-kegiatan di luar politik. Dan pada

Muktamar NU tahun 1984 di Situbondo, NU kembali menjadi organisasi sosial


keagamaan dengan meninggalkan politik. Kemudian perjuangan NU lebih difokuskan pada
peningkatan kualitas pendidikan, ekonomi, dan dakwah. Pada masa sekarang, NU semakin
dikenal di dalam negeri dan di luar negeri, NU mendirikan Pengurus Cabang Istimewa (PCI)
di beberapa Negara seperti Amerika, Australia, Inggris, Jepang, Saudi Arabia, Sudan, Mesir,
dan lain sebagainya.
Pada tahun 2004, NU mendirikan International Conference of Islamic Schoolars
(ICIS) atau Konferensi Internasional Cendekiawan Islam47 di Jakarta. Melalui ICIS, NU
semakin banyak dikenal di dunia sebagai pelopor Gerakan Islam Moderat.

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Nahdlatul Ulama atau biasa disingkat NU ini didirikan pada 31 Januari 1926 dan
bergerak dalam bidang sosial keagamaan 48 yang dipimpin oleh KH. HasyimAsy’ari dan KH.
Abdul Wahab Hasbullah sebagai penggerak dibalik pembentukan NU. NU adalah organisasi
Islam terbesar di Hindia-Belanda dan berkembang pesat pada 1940an. Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama dibagi dua badan yaitu: Syuriah (Badan Keulamaan) dan Tanfidziyah
(Badan Eksekutif) yang dipimpin oleh sebagian besar beranggotakan saudagar dan
pengusaha kecil. Pada masa awal, syuriah diketuai oleh KH. Hasyim Asy’ari dan diberi
gelar Rais Akbar49 (Ketua Tertinggi), Ahmad Dahlan (Ahyad) sebagai Wakil Ketua, Kyai
Abdul Wahab Hasbullah sebagai Sekretaris, dan para anggota yang sebagian besar berasal
dari Jawa Timur.

Masyumi awalnya adalah sebuah organisasi yang dibentuk oleh Jepang pada tahun
1943 dan pada tanggal 10 November 1945, Masyumi ini menjadi partai politik dan
kemudian menjadi satu-satunya partai politik Islam dengan menjadikan NU dan
Muhammadiyah sebagai anggota utamanya. Dengan susunan kepengurusan sebagai berikut:
KH. Hasyim Asy’ari sebagai Ketua Umum Majelis Syuro (Dewan Penasihat Keagamaan),
Wahid Hasyim sebagai wakilnya dan KH. Abdul Wahab Hasbullah sebagai anggota dewan
dan kekuasaan sepenuhnya dibawah urusan Dewan Pengurus Partai (DPP) yang
beranggotakan Kiai Wahid Hasyim dan Kiai Zainul Arifin.
B. Saran

Demikian makalah tentang sejarah perkembangan tarekat islam semoga bermanfaat


bagi para pembaca, kritik dan saran kami harapkan agar dimasa yang akan datang dapat
membuat makalah yang lebih baik lagi.

13
DAFTAR PUSTAKA

Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967 (Yogyakarta: LKis Group, 2011),
hlm.26.
Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967 (Yogyakarta: LKis Group, 2011),
hlm.27.
Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 19521967 (Yogyakarta: LKis Group, 2011),
hlm.28.
Nur Khalik Ridwan, NU dan Neoliberalisme: Tantangan dan Harapan Menjelang
Satu Abad(Yogyakarta: LKis Yogyakarta, 2008), hlm. 26.
Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967 (Yogyakarta: LKis Group, 2011),
hlm.39
Soeleiman Fadeli & Mohammad Subhan, “Antologi NU: Sejarah-Istilah-Amaliah-Uswah” ,
hlm.222
Muassis Nahdlatul Ulama: Manaqib 26 Tokoh Pendiri NU”, hlm. 9.
Soeleiman Fadeli & Mohammad Subhan, “Antologi NU: Sejarah-Istilah-Amaliah-Uswah” ,
hlm.170
Soeleiman Fadeli & Mohammad Subhan, “Antologi NU: Sejarah-Istilah-Amaliah-Uswah” ,
hlm.244
Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967 (Yogyakarta: LKis Group,
2011), hlm.46-47
Ali haidar, Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik
(Waru Sidoarjo: Al-Maktabah, 2011), hlm. 229

14

Anda mungkin juga menyukai