Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

ORGANISASI-ORGANISASI ISLAM SEBAGAI WADAH PERGERAKAN RAKYAT


INDONESIA DAN SIKAP KOLONIAL TERHADAP KEBERADAANNYA
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Islam Indonesia II

Dosen Pengampu: Dr. H. Suparman Jassin, M.Ag & Dina Marliana, M.Ag

Disusun Oleh:

Farrel Reyhan Gunawan 1205010058

Fauzan Azhiman 1205010061

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM

2022
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt yang telah memberikan rahmat
dan hidayah- Nya sehingga kami dapat menyelesaikannya makalah karya ilmiah ini.
Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah limpahkan kepada junjunan kita Nabi
Muhammad saw, yang telah membawa risalah islam yang penuh dengan ilmu
pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu keislaman, sehingga dapat menjadi bekal hidup kita
baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Penyusuan makalah ini selain dimaksudkan untuk menyelesaikan tugas, juga


bertujuan untuk mempermudah mahasiswa dalam memahami terkait peran organisasi-
organisasi islam sebagai wadah pergerakan rakyat indonesia dan sikap kolonial terhadap
keberadaannya.

Penyusun sudah berusaha semaksimal mungkin mencari yang terbaik dalam


penyusunan ini. Namun tetap harus mengakui sifat kemanusiaannya yang tidak luput dari
kesalahan. Segala petunjuk dari para pembaca sangat diharapkan demi kesempurnaan
penyusunan makalah berikutnya, semoga makalah ini memberi manfaat khususnya bagi
penyusun dan para pembaca semua.

Bandung, 23 Juni 2022

Pemakalah

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................... 1


DAFTAR ISI................................................................................................................................... 2
BAB I .............................................................................................................................................. 3
PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 3
A. A. LATAR BELAKANG .................................................................................................... 3
B. B. RUMUSAN MASALAH ................................................................................................ 5
BAB II............................................................................................................................................. 6
PEMBAHASAN ............................................................................................................................. 6
A. ORGANISASI-ORGANISASI ISLAM PADA MASA KOLONIAL ................................ 6
1. PERSATUAN ISLAM ..................................................................................................... 6
2. MUHAMMADIYAH ....................................................................................................... 9
3. NAHDATUL ‘ULAMA (NU) ....................................................................................... 13
4. SERIKAT ISLAM (SI) .................................................................................................. 17
B. SIKAP KOLONIAL TERHADAP ORGANISASI ISLAM ............................................. 20
1. KEBIJAKAN PEMERINTAH HINDIA BELANDA ................................................... 20
2. UPAYA-UPAYA DEPOLITISASI UMAT ISLAM INDONESIA .............................. 25
BAB III ......................................................................................................................................... 29
PENUTUP..................................................................................................................................... 29
A. KESIMPULAN .................................................................................................................. 29
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 30

2
BAB I

PENDAHULUAN
A. A. LATAR BELAKANG
Hampir dapat dikatakan bahwa seluruh dunia islam sejak awal abad ketujuh belas
telah jauh dalam dominasi kekuatan Barat. Baik itu dalam bidang ekonomi, militer, politik,
teknologi dan lain sebagainya. Situasi ini kemudian mengilhami memunculnya gerakan
reformisme islam internasional yang pada gilirannya kemudian, melalui kontak-kontak
intelektual, mempengaruhi sebagian masyarakat Islam Indonesia untuk melakukan
pembaruan pemikiran Islam. Untuk itu, langkah awal yang ditempuh adalah berusaha
menghilangkan pikiran-pikiran tradisional yang tidak mendukung upaya umat Islam dalam
melepaskan diri dari kebodohan, kemiskinan dan penjajahan.
Pada awal mulanya, gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh kelompok muslim
moderenis di indonesia, timbul akibat pengaruh gerakan pemurnian Muhammad ibn Abd al-
Wahab (1703-1778) di Jazirah Arab; perjuangan politik Pan-Islamisme Jamaluddin Al-
Afghani (1839-1897), yang merupakan perwujudan pembaharuan pemikiran politik islam,
dalam usaha mempersatukan umat islam di seluruh dunia, yang kemudian mendapatkan
kerangka ideologis dan teologis dari muridnya, yaitu Muhammad Abdul di Mesir (1845-
1905); pembaharuan pemikiran Rasyid Ridha, Al-Thantawi dan Amir Ali; pembaruan
pemikiran Syeikh Waliyullah Al-Dahlawi, Ahmad Khan, Abu Kalam Azzad, Ali Jinnah di
India dan lain sebagainya. Dengan mengemukakan pendapat bahwa ajaran-ajaran islam
sepenuhnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan zaman, kendati pun masing-
masing bergerak pada berbagai bidang kehidupan umat, para tokoh pembaharu itu
mendorong umat islam untuk melakukan penelaahan ulang serta menjelaskan kembali
doktrin-doktrin islam dalam bahasa dan rumusan yang dapat diterima oleh pikiran-pikiran
modern. Demikian pula, menurut mereka, Al-Qur’an dan Sunnah merupakan satu-satunya
rujukan yang mampu memberikan dasar doktrinal atau legitimasi seluruh tindakan kehidupan
umat islam.1
Gerakan yang lahir di Timur Tengah itu telah memberikan pengaruh besar kepada
gerakan kebangkitan Islam di Indonesia. Gerakan pembaruan pemikiran yang diplopori di

1
Fachry Ali & Bahtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam (Rekonstruksi Pemikiran Islam Masa Orde Baru),
(Bandung: Mizan, 1986), h. 63.

3
Timur Tengah ini telah menginspirasi umat Islam di Indonesia untuk melakukan pembaruan
juga, diantaranya ialah munculnya organisasi modernis seperti Al-Irsyad, Jami’atul Khair,
Muhammadiyah, Sarekat Dagang Islam (SDI) yang kemudian menjadi Syarekat Islam (SI),
Persatuan Islam (Persis), Jami’iyah Al-Washliyah, dan lain sebagainya menunjukkan betapa
kuatnya pengaruh pembaruan atau modernisasi pemikiran islam bagi Indonesia. Lalu
muncullah organisasi Nahdlatul Ulama (NU) akibat dari munculnya pemikiran pembaruan
tersebut.
Dengan munculnya banyak organisasi islam, maka Islam memberikan pengaruh yang
menimbulkan munculnya kelompok baru yang disebut ulama dan santri, yang kemudian
oleh penguasa asing ingin dijauhkan dari pengaruh politik. Inidapat dilihat dari beberapa
aspek. Pertama, Islam menjadi satu hal yang diterima pada lapisan bawah sosial (Grass root),
sebagai kelompok sosial yang murni, masyarakat ini menerima Islam sepenuh hati dan
menuruti ajarannya dengan yakin dan tulus terhadap agama. Mereka melihat Islam sebagai
pembebas, dimana Hindu dan ajaran lainnya tidak lagi memberi semangat dalam kehidupan,
mereka menjadi manusia, tetapi memiliki strata terendah dalam sosial (kasta-kasta). Dengan
Islam menimbulkan semangat perubahan, yang mengembalikan diri manusia menjadi
dirinya sendiri dengan bebas, dan hak-hak yang sama dengan lainnya (renaissance) Kedua,
Ajaran Islam mempengaruhi tata kehidupan, seperti perekonomian, dengan perdagangan,
orientasi ini ternyata pada masa Kolonialis Belanda mendapat tantangan, hambatan, bahkan
ancaman bagi umat Islam untuk melakukan aktivitas perdagangan, yang sebelum Kolonialis
Belanda masuk ke Indonesia telah menjadi salah satu kegiatan penting Umat Islam di
Indonesia. Adanya agresi perdagangan dan agama yang dilancarkan oleh Imperialis Barat
menimbulkan tantangan bagi umat Islam, dalam hal ini para ulama bekerja keras umtuk
membina santri-santrinya agar memiliki sikap combative spirit ( semangat siap tempur),
pesantren yang sebelumnya hanya sebagai lembaga pendidikan, fungsinya bertambah sebagai
tempat kegiatan membina pasukan suka rela. Dalam hal ini dapat kita lihat peran dan fungsi
pesantren sebagai pusat perlawanan terhadap kolonialis dan Inperialis Barat (a centre of anty
DucthCentiment).
Clifford Greertz menyatakan dalam adab ke-19 saja Belanda menghadapi
empat kali pembrontakan santri yang besar, peperangan ini sering dalam sejarah dituliskan
sebagai perang sabil, (the Holy war). Adapun pembrontakan itu. Pertama, perang

4
Cirebon, (1802-1806). Kedua,perang Diponegoro (1825-1830), yang disebut sebagai perang
Jawa Tengah yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, dibawah panji Islam.Ketiga, Perang
Padri, di Sumatera barat, (1821-1838), sebagai akibat intervensi politik Belanda terhadap
perang adat melawan ulama. Keempat, di Aceh (1873-1908). Sebagai pemberontakan santri
terpanjang, Belanda menghadapi pembrontakan santri ini hingga masa kekuasaannya
berakhir di Indonesia, dimana ulama tidak pernah absen melancarkan gerilya hingga tahun
1942.dari perlawanan Islam tersebut maka timbulah kebijakan-kebijakan pemerintah Belanda
untuk menekan perlawanan umat Islam Indonesia.

B. B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sejarah timbulnya ormas-ormas islam di indonesia ?
2. Apa pengaruh Organisasi-organisasi tersebut dalam peradaban islam di Indonesia ?
3. Bagaimana Kebijakan-kebijakan Pemerintah Belanda?
4. Bagaimana Upaya-upaya Dipolitisasi Umat Islam Indonesia?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui sejarah organisasi-organisasi Islam di Indonesia.
2. Untuk mengetahui kiprah organisasi-organisasi Islam untuk Indonesia.
3. Mengetahui Kebijakan-kebijakan Pemerintah Belanda.
4. Mengetahui Upaya-upaya Dipolitisasi Umat Islam Indonesia

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. ORGANISASI-ORGANISASI ISLAM PADA MASA KOLONIAL

1. PERSATUAN ISLAM
Persatuan Islam (Persis) berdiri pada tahun 1920 di Bandung. Ide pendirian
organisasi ini berasal dari pertemuan yang bersifat kenduri yang dilakukan secara berkala
dirumah salah seorang anggota kelompok masyarakat. Selesai makan dalam acaran
kenduri tersebut, para anggota kenduri membicarakan berbagai permasalahan atau
peristiwa yang terjadi atau yang sedang dihadapi, termasuk membicarakan masalah-
masalah keagamaan dan gerakan-gerakan keagamaan pada umumnya. Pada saat itu lah,
Haji Zam-zam dan Haji Muhammad Yunus berbicara dan banyak mengemukakan
pemikiran-pemikiran. Diantara mereka kedua orang ini memang mempunyai pengetahuan
yang luas tentang islam. Paling tidak, Zamzam pernah memperdalam studi ke-Islaman di
mekkah kurang lebih selama tiga setengah tahun di lembaga Darul Ulum. Sekembalinya
dari mekkah, ia mengajar di Darul Muta’alimin di bandung. Di samping itu, dia pun
mempunyai hubungan akrab dengan tokoh Al-Irsyad, Yakni Ahmad Surkati.2

Tokoh utama Persatuan Islam adalah Ahmad Hassan (1887-1958). Lahir dan
besar di Singapura, Ahmad Hassan sejak remaja sudah mengenal gagasan pembaharuan
yang disebarkan majalah al-Imam. Sebagai anggota readaksi surat kabar Utusan Melayu,
Ahmad Hassan menulis banyak artikel mengenai pentingnya umat islam kembali kepada
ajaran Al-Qur’an dan Hadits. Pada tahun 1921, ia pindah kesurabaya, daerah asal ibunya,
untuk berdagang. Di kota ini Ahmad Hassan akrab dengan pengajian al-Irsyad yang
diselenggarakan Ahmad Soorkati. Kemudian pada tahun 1925, ia mencoba melakukan
usaha perdagangan bersama kawannya di Bandung. Tak lama usahanya bangkrut. Ia
kemudian menjadi anggota Persatuan Islam (Persis) dan segera menjadi juru dakwah

2
Ahmad Syaukani, Perkembangan Pemikiran Modern Di Dunia Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001),
h.123.

6
persis yang vokal, sehingga ia menjadi tokoh yang tak dapat dipisahkan dari organisasi
tersebut.

Tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa Ahmad Hassan sangat mempengaruhi


corak dan gaya organisasi Persis, yaitu keras, konsisten, tidak mengenal kompromi, dan
kadang kurang luwes dalam berdakwah. Ahmad Hassan berpendapat bahwa untuk
membuka pintu jihad harus dilakukan cara semacam Shock therapy. Sehingga umat islam
sadar dari tidurnya yang lelap.3 Persis lebih memperhatikan bagaimana
menyebarkan cita-cita dan pemikiran-pemikirannya. Untuk mewujudkan tujuan ini,
persis mengadakan pertemuan-pertemuan umum, tabligh, mendirikan sekolah-sekolah
dan menyebarkan majalah, kitab serta pamflet-pamflet. Dan organisasi persis mendapat
angin tatkala Ahmad Hassan dan Muhammad Natsir tampil dan sering berbicara atas
nama Pesis.4

Meskipun persatuan Islam mempunyai cita-cita yang sama dengan


Muhammadiyah, metode kedua organisasi ini agak berbeda. Jika Muhammadiyah
mengutamakan aksi sosial melalui sekolah, rumah sakit, dan panti asuhan, maka
persatuan islam mengutamakan dakwah lisan dan tulisan. Seperti memperbanyak tabligh,
menerbitkan buku dan majalah, mengadakan perdebatan umum dan berpolemik dimedia
massa. Buku dan majalah yang diterbitkan oleh Persatuan Islam (Persis) sering menjadi
bahan rujukan bagi kaum modernis di indonesia, terutama majalah Pembela Islam, al-
Lisan, dan at-Taqwa (diterbitkan dalam bahasa sunda). Demikian pula buku berseri
Soeal Djawab karya Ahmad Hassan terkenal di seluruh Indonesia dan Semenanjung
Malaka.

Selain Ahmad Hassan tokoh Persis yang sangat berperan dalam keorganisasian
Persis ini ialah Muhammad Natsir, ia lahir di Alahan Panjang, Sumatera Barat tanggal
17 juli 1908 dari seorang pegawai pemerintah. Di daerah kelahirannya ia pernah
mempelajari ilmu Agama di sekolah agama yang dipimpin oleh Tuanku Muda Amin,

3
Taufiq Abdullah dkk, Ensiklopedi Asia Tenggara, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 368.
4
Ahmad Syaukani, Op.Cit, h. 123-125.

7
sebagai seorang pengikut dan kawan Haji Rasul. Disamping itu, ia juga aktif mengikuti
pelajaran agama yang diberikan oleh Haji Abdullah Ahmad di Padang.5

Disebabkan oleh turut sertanya ia secara rutin di dalam sidang jum’at yang
diselenggarakan oleh organisasi Persis, hubungan Natsir dengan beberapa tokoh anggota
Persis semakin akrab. Ia semakin akrab mengikuti kegiatan-kegiatan Persis.
Dengan majalah Persis yang bernama Pembela Islam, Muhammad Natsir dapat
dikenal oleh para anggota Persis secara lebih luas. Ia dapat menyampaikan pendapat
ataupun pandangan-pandangannya melalui majalah tersebut. Sedemikian rupa perhatian
Muhammad Natsir terhadap studi ke-Islaman, sehingga ia menolak tawaran dari
pemerintah belanda yang memberikan beasiswa kepadanya untuk belajar ke tingkatan
yang lebih tinggi, yaitu sekolah tinggi Hukum di jakarta atau sekolah tinggi Ekonomi di
negri Belanda. Ia hanya memikirkan pendidikan di kalangan anak-anak muslim.

Perjuangan Persis dalam bidang pendidikan adalah dengan mendirikan madrasah-


madrasah dan pesantren-pesantren. Awal mulanya sekolah tersebut hanya ditujukan
untuk anak-anak anggota Persis, Namun Kemudian diperluas dan Menerima anak-anak
lain.6

Suatu hal lagi yang menonjol dalam organisasi ini yang membedakannya dengan
organisasi-organisasi lain adalah dalam menyebarkan ide-idenya, persis lebih senang
dengan cara perdebatan-perdebatan dan polemik. Organisasi persis kerap mengajak
orang-orang yang berbeda pendapat dan pemikiran untuk berdebat.7

Dibanding dengan Muhammadiyah, Persis tidaklah terlalu giat dalam


membentuk banyak cabang. Pembentukan suatu cabang tergantung pada inisiatif
peminatnya dan tidak ditentukan oleh program pimpinan pusat. Jika muhammadiyah
berusaha mengiring orang masuk, lalu kemudian membina orang tersebut di dalam
organisasi, maka Persis mengutamakan membina dahulu diluar, lalu yang dianggap
sudah layak baru direkrut menjadi anggota. Tidaklah mengherankan jika organisasi

5
ibid, h. 125.
6
Ibid, h. 125.
7
Ibid, h. 126.

8
persis jauh lebih kecil dibanding Muhammadiyah dalam jumlah anggota dan
aktivitasnya. Persatuan Islam hanya memiliki 200 cabang di seluruh Indonesia, yang
menangani ratusan sekolah dan pesantren.8

2. MUHAMMADIYAH
Berbicara tentang Muhammadiyah tidak terlepas dari sosok tokoh pendiri
organisasi ini yaitu, Kiyai Haji Ahmad Dahlan. pada masa mudanya bernama
Muhammad Darwis. Ia berasal dari keluarga berpengaruh dan terkenal di lingkungan
kesultanan Yogyakarta, yang secara genealogis ditelusur akan sampai pada Maulana
Malik Ibrahim atau Maulana Maghribi. Muhammad Darwis dilahirkan dari pernikahan
Kyai Haji Abu Bakar dengan Nyai Haji Abu Bakar, pada tahun 1285 Hijriah (1868
Masehi) di kampung Kauman, kota Yogyakarta.9
Kauman berasal dari kata bahasa Arab qaum. Istilah ini mengandung makna
“Pejabat Keagamaan” atau abdi dalem santri. Kampung tempat masjid itu diberi nama
kauman karena daerah itu merupakan tempatnya para abdi dalem santri dan ulama yang
bertugas memelihara masjid itu.

Kauman berkembang bersama berfungsinya masjid agung kesultanan Yogyakarta.


Secara oprasional fungsi masjid dikelola oleh para ulama yang diberi wewenang Sultan
untuk memeliharanya dan untuk mudah melaksanakan tugas mereka itu dibangunlah
tempat tinggal di sekitar masjid. Keluarga ulama tersebut merupakan keluarga pertama
yang bermukim di Kauman. Mereka itu kemudian saling ber-besanan, sehingga penghuni
kauman terus berkembang bersama berkembangnya pertalian keluarga. Akibat dari
majunya usaha batik, maka daerah ini menjadi sangat makmur, sehingga Kauman
merupakan daerah yang menyerupai casbah yang padat penduduknya tetapi makmur.10

Sewaktu kecil ia belajar agama (mengaji) dengan menggunakan sistem lama di


Pesantren yang biasa ditemui pada waktu itu. setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya

8
Taufiq Abdullah dkk, Op.Cit, h. 369.
9
MT Arifin, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah dalam Pendidikan, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1987), h.
75.
10
Ibid, h. 75-76.

9
pada ilmu Nahwu, Fiqh, dan Tafsir di daerahnya, ia melanjutkan belajar ke Mekah pada
tahun 1890. Salah seorang gurunya ialah Syeikh Ahmad Khatib.

Selama di kota suci, Ahmad Dahlan belajar menghayati cita-cita pembaharuan.


Sekembalinya dari tanah suci, ia bekerja sebagai pegawai masjid kesultanan. Di samping
itu, ia juga pernah melakukan perniagaan di berbagai kota, seperti, surabaya, Jakarta, dan
Medan. Ia kemudian mengajar di pesantren yang dikunjungi para pelajar dari berbagai
tempat.11

Organisasi Muhammadiyah merupakan organisasi sosial islam yang berdiri pada


tanggal 8 Dzulhijah 1330 H, di Yogyakarta atau pada tanggal 18 November 1912 M.
Organisasi ini dipelopori oleh K.H Ahmad Dahlan atas saran murid-muridnya dan
beberapa orang anggota Budi Utomo untuk mendirikan lembaga pendidikan yang bersifat
permanen.12

Muhammadiyah lahir dengan orientasi keagamaan. Muhammadiyah lebih


menampilkan diri sebagai gerakan puritan untuk menghapus bebean-beban kultural islam
yang terkena pengaruh budaya agrais. Tampaknya concern terbesar yang melatar belakangi
timbulnya gerakan ini adalah untuk membersihkan islam dari simbol-simbol agama yang
terbentuk dalam tradisi agrais seperti misalnya haul, manaqib, barzanji, dan semacamnya.
Bagi Muhammadiyah symbolic formation semacam itu adalah bid’ah.

Dari orientasi yang cendrung bersifat keagamaan semacam itu, kita bisa menilai
bahwa Muhammadiyah berupaya untuk melakukan pembaharuan kualitatif yang bersifat
keagamaan, suatu dialektika internah yang secara inheren memang selalu muncul didalam
islam. Dengan semangat kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits, Muhammadiyah berupaya
keras untuk memurnikan agama dan menghilangkan pengaruh-pengaruh kultural dan
simbol-simbol yang tidak relevan dengan islam agar dapat lebih dinamis dalam suasana
sosial dan kultural yang baru. 13

11
Ahmad Syaukani, Op.Cit, h. 120
12
Ahmad Syaukani, Op.Cit, h. 119-120.
13
Kuntowijoyo, Pradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991), h. 196.

10
Organisasi Muhammadiyah merupakan organisasi yang bertujuan menyebarkan
pengajaran agama Nabi Muhammad SAW kepada penduduk bumiputra di Jawa dan
Madura serta memajukan pengetahuan agama para anggotanya. Untuk ini mendirikan
lembaga-lembaga pendidikan, mengadakan tabligh, mendirikan masjid, menerbitkan buku-
buku, brosur-brosur, surat-surat kabar, dan majalah.14 Pada waktu itu terdapat sembilan
pengurus inti, yaitu Ahmad Dahlan sebagai Ketua, Abdullah Sirat sebagai sekretaris,
Ahmad, Abdul Rahman, Sarkawi, Muhammad, Jaelani, Akis, dan Muhammad Fakih
sebagai anggota. Sementara itu, para anggota hanya dibatasi pada penduduk jawa dan
madura yang beragama islam.15

Usaha-usaha pembaharuan Muhammadiyah meliputi:

a) Memurnikan ajaran islam dengan membersihkan praktek serta pengaruh yang


bukan dari ajaran islam.
b) Reformasi ajaran dan pendidikan islam.
c) Reformasi doktrin-doktrin dengan pandangan alam pikiran modern.
d) Mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan dari luar islam.16
Organisasi Muhammadiyah dalam tahun-tahun awal tidak mendadakan pembagian
tugas yang jelas di antara anggota pengurus. Sekurang-kurangnya sampai tahun 1917,
ruang gerak kegiatan organisasi ini masih sangat terbatas pada daerah Kauman Yogyagarta
dan sekitarnya.

Setelah tahun 1917, organisasi ini mempunyai daerah operasi yang lebih puas. Pada
tahun tersebut, rumah Ahmad Dahlan dijadikan sebagai pusat tempat Kongres Budi Utomo.
Dalam kesempatan itu, Ahmad Dahlan melakukan tabligh yang mempesona, sehingga
pengurus muhammadiyah menerima permintaan dari berbagai tempat di Jawa untuk
mendirikan cabang-cabangnya. Pada tahun 1920, organisasi Muhammadiyah meliputi
pulau Jawa dan itu berkembang ke seluruh persada nusantara.

14
Ahmad Syaukany, Op.Cit, h. 121.
15
Tim Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan, 1 Abad Muhammadiyah (gagasan Pembaruan
Sosial Keagamaan), (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010), h.26.
16
Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam(Dirasah
Islamiyah III), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h.100.

11
Ada beberapa hal yang mempermudah berkembang dan meluasnya organisasi
Muhammadiyah di bumi indonesia. Pribadi Ahmad Dahlan dan caranya berpropaganda
dengan memperlihatkan toleransi dan perhatian kepada pendengarannya memporeleh
sambutan yang sangat memuaskan. Mereka yang mengenal pembaharuan di mesir melihat
pula pada Muhammadiyah sebagai jalan untuk menyebarkan pemikiran-pemikiran
pembaharuan tersebut di Indonesia, sehingga mereka memberikan bantuan kepada
organisasi ini.

Ada tiga bagian organisasi Muhammadiyah yang aktivitasnya pantas diteladani


oleh generasi saat ini. Ketiga bagian organisasi itu ialah:

1. ‘Aisyiyah
Aisyiyah merupakan lembaga wanita dari Muhammadiyah. Lembaga-
lembaga ini pada mulanya merupakan organisasi wanita yang didirikan di
daerah Kauman, Yogyakarta, pada tahun 1918 dengan nama Sopotresno.
Kelompok ini dipimpin oleh Badillah Zubeir, Aisyah Hilal, Busyro Isyrom,
Zahro Mushin, Wadiah Nuh, Dalalah Hisyam, Siti Badriah, dan Dawimah.
Atas nasihat haji Muchtar, organisasi ini mempunyai peraturan yang
permanen, dan pada tahun 1922 menjadi bagian dari muhammadiyah.17

Ada beberapa kegiatan yang dilakukan pada masa itu.


• Gerakan pemberantasan Buta Huruf (PBH), baik buta huruf Arab
maupun Latin (1923)
• Menerbitkan majalah wanita Suara ‘Aisyiyah (1925).
• Bersama-sama dengan organisasi wanita lain, pengurus membentuk
badan federasi dengan nama Kongres Perempuan Indonesia (sekarang
Kowani), berjuang untuk membebaskan bangsanya dari kebodohan.
• Mengadakan kursus bahasa indonesia (1930).
• Mengadakan baby Show dalam rangka perhatiannya tentang kesehatan
ibu dan Anak (1934).

17
MT Arifin, Op.Cit, h. 125-124

12
• Dalam kongres yang ke-27 di Medan diputuskan agar ‘Aisyiyah
menambah usahanya, yaitu menyantuni anak yatim dan fakir miskin
yang terkena musibah. Usaha yang lain adalah menambah pendirian
taman kanak-kanak (Bustanul Athfal) (1939).18

2. Nasyiatul ‘Aisyiyah (NA)


Disamping ‘Aisyiyah, muhammadiyah juga mempunyai bagian
organisasi yang bernama Nasyiatul ‘Aisyiyah (NA). Organisasi ini
merupakan kelanjutan dari perkumpulan Siswa Praya Wanita (SPW) yang
semakin hari semakin banyak pengikutnya. Secara organisatoris, sejak tahun
1922 Siswa Praya Wanita merupakan bagian dari ‘Aisyiyah. Pada masa
sebelumnya kegiatan organisasi ini dipusatkan di rumah Haji Irsyad
(sekarang sebagai musala ‘Aisyiyah), tetapi karena anggotanya semakin
banyak, kegiatannya dipindahkan ke rumah Siti Ummiyah, yang tempatnya
memang lebih luas.

Kegiatan organisasi ini antara lain adalah pada tahun 1925 membeli sebuah
rumah yang sekarang bernama Gedung ‘Aisyiyah yang terletak di Kauman,
Yogyakarta. Gedung ini digunakan sebagai pusat segala kegiatan. Tahun
berikutnya, 1926, kegiatan Nasyiatul ‘Aisyiyah sudah menghiasai majalah
Suara Aisyiyah. Pada saat itu dan cabang yang petama kali didirikan adalah
di Surakarta. Tahun 1929 anak-anak Nasyiatul ‘Aisyiyah sudah di kader
menjadi calon guru dengan mengajar di taman kanak-kanak (Bustanul
Athfal), terutama mereka yang sudah besar
3. NAHDATUL ‘ULAMA (NU)
Nahdah al-‘Ulama’ = Kebangkitan Ulama. Salah satu organisasi sosial keagamaan
di Indonesia, didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H/ 31 Januari 1926 di Surabaya atas
prakarsa K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Abdul Wahab Hasbullah; disingkat NU.
Organisasi ini berkedudukan ibu kota Negara, tempat pengurus besarnya berada. NU
berakidah Islam menurut paham Ahlussunah Wal Jama’ah dan menganut mazhab empat

18
Tim Majelis Pendidikan Tinggi penelitian dan pengembangan, Op.Cit, h.107

13
(Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali). Asasnya adalah Pancasila.19 Tokoh pendirinya
ialah K.H. Hasyim Asy’ari dengan didukung oleh para tokoh alim ulama yang
diantaranya yaitu:
a) K.H. Abdul Wahab Hasbullah
b) K.H. Bisri Jombang
c) K.H. Ridwan Semarang
d) K.H. Nawawi Pasuruan
e) K.H. R. Asnawi Kudus
f) K.H. R. Hambali Kudus
g) K. Nakhrawi Malang
h) K.H. M. Alwi Abdul Aziz
i) K.H. Doromuntaha Bangkalan, dan lain-lain.20
Mengenai sebab-sebab lahirnya organisasi Nahdatul Ulama ada beberapa pendapat,
Menurut Muhammad Thaha Ma’ruf bahwa kelahiran Nahdatul Ulama dilatar belakangi
oleh persoalan keagamaan di mana NU lahir pada saat umat islam berada dalam suasana
perdebatan akibat munculnya beberapa aliran baru yang mengusung isu modernisme.21
Pendapat lain mengatakan bahwa NU didirikan untuk mewakili kepentingan-kepentingan
kiai, vis a vis pemerintahan dan juga kaum pembaharu dan untuk menghambat
perkembangan organisasi-organisasi yang hadir terlebih dahulu. Dan didalam ensiklopedi
Islam menyatakan bahwa tujuan didirikannya ialah untuk memperjuangkan berlakunya
ajaran islam yang berhaluan Ahlussunnah Wal Jama’ah dan menganut mazhab empat
ditengah-tengah kehidupan di dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia yang
berasaskan Pancasila.22
Warna-warni analisa seputar kelahiran Nahdlatul Ulama tak mungkin terhindarkan.
Analisis yang berkembang di atas menunjukkan tingginya respons masyarakat terhadap
organisasi para ulama ini. Kesulita pelacakan dokumentasi tentang proses kelahiran NU,
menurut Saifuddin Zuhri, adalah sesuatu yang wajar. Sebab kelahiran NU saat itu memang
tidaak menarik bagi para politisi, kaum pergerakan, akademis, peneliti. Saat itu NU

19
Dewan Redaksi Ensklopedi Islam, Ensklopedi Islam Cet. 4, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h.345
20
Ahmad Syaukani, Op.Cit. h. 133.
21
Moeh Thaha Ma’ruf, Pedoman Pemimpin Pergerakan, (jakarta: PBNU, 1954), h. 103.
22
Dewan Readaksi Ensklopedi Islam, Op.Cit. h. 345.

14
menjadi organisasi yang menarik untuk dipelajari pada 40 tahun pasca kelahirannya, ketika
telah menjelma menjadi kekuatan besar di Indonesia.
Hanya saja sebenarnya analisis tersebut masih jauh dari subtansi eksistensi NU di
Indonesia. Ragam pendapat itu lebih menjelaskan faktor-faktor yang mendorong
percepatan proses kelahiran Nahdlatul Ulama. Sebab NU lahir di tengah-tengah
kebangkitan aspiraasi pesantren, para kiai dan santri yang jauh dari jangkauan penguasa
dan elite politik. Kalaupun ragam analisis diatas mendekati kebenaran, mereka gagal
menjelaskan mengapa NU lahir paada 1926 dan tidak lima atau sepuluh tahun lebih awal,
ketika Sarekat Islam sedang giat-giatnya dan ketika banyak keluhan terhadap kaum
pembaru yang agresif menyebarkan ajarannya di Jawa.23
Hal yang dapat dipastikan bahwa Nahdlatul Ulama lahir dengan melalui proses yang
panjang. Secara Organisatori, hal ini dimulai ketika para tokoh islam pesantren, K.H.
Wahab Hasbullah dan Mas Mansoer mendirikan madrasah yang bernama Nahdlatul
Wathan pada 1916 di Surabaya. Staf pengajar Nahdlatul Wathan didominasi oleh ulama
pesantren, seperti Bisri Syansuri (1886-1980), Abdul Hakim Leimuding dan Abdullah
Ubaid (1899-1938). Pada 1918, Abdul Wahab Hasbullah dan K.H. Ahmad Dahlan dari
kebondalem mendirikan Tashwirul Afkar, yaitu sebuah forum diskusi ilmiah keagamaan
yang mempertemukan kelompok pesantren dan modernis. Pada tahun yang sama, Abdul
wahab Hasbullah bersama K.H. Hasyim Asy’ari mendirikan sebuah koperasi dagang yang
bernama Nahdlatul Tujjar. Hanya saja memasuki tahun 1920-an, kebersamaan dan upaya
saling pengertian antara kelompok islam pesantren dan modernis berubah menjadi
persaingan yang mengelompok.24
Dalam upayanya untuk mencapai maksud tersebut maka organisasi NU melakukan usaha-
usaha sebagai berikut:
1) Mengadakan silaturahmi, di antara ulama-ulama yang bermazhab tersebut di atas.
2) Memeriksa kitab-kitab sebelum dipakai untuk mengajar untuk mengetahui apakah kitab
itu termasuk kitab-kitab Ahli Sunnah Waljama’ah atau kitab-kitab ahli bid’ah.
3) Menyiarkan agama Islam berasaskan pada mazhab tersebut dengan jalan yang baik.

23
Hilmy Muhammadiyah& Sulthan Fatoni, NU: Identitas Islam Indonesia, (Jakarta: elSAS, 2004), h.117.
24
Ibid, h. 118.

15
4) Berusaha memperbanyak madrasah-madrasah yang berasaskan agama Islam
5) Mempertalikan hal-hal yang berhubungan dengan masjid-masjid, surau-surau dan
pondok-pondok, anak yatim, dan fakir miskin.25
Dalam organisasi NU ini kekuasaan tertinggi dipegang oleh Muktamar. Muktamar
diadakan sekali dalam lima tahun untuk membicarakan dan merumuskan: 1) Masa’il
diniyyah (masalah-masalah keagamaan), 2) pertanggung jawaban kebijaksanaan pengurus
besar, 3) Program Dasar NU untuk jangka waktu Lima tahun, 4) masalah-masalah yang
bertalian dengan agama, umat, dan Mas’alah ‘ammah (masalah yang bersifat umum), 5)
menetapkan anggaran dasar dan anggaran Rumah Tangga, dan 6) memilih Pengurus Besar.
Muktamar dihadiri oleh Pengurus Besar,Pengurus wilayah, dan Pengurus Cabang. Instansi
permusyawaratan tertinggi setelah Muktamar ialah Konferensi Besar. Konferensi besar ini
bertugas membicarakan pelaksanaan keputusan-keputusan muktamar, mengkaji
perkembangan organisasi serta perannya di tengah-tengah masyarakat, dan membahas
masalah keagamaan dan kemasyarakatan.26
Program kerja NU meliputi tiga belas bidang garapan, yaitu bidang diniyah
(keagamaan), bidang pendidikan dan kebudayaan, bidang dakwah, bidang Mabarrat
(sosial), bidang perekonomian, bidang tenaga kerja, bidang pertanian dan nelayan, bidang
generasi muda, bidang kewanitaan, bidang pemberdayaan sumber daya manusia, bidang
penerbitan dan informasi, bidang kependudukan, dan bidang lingkuangan hidup.27
Badan otonom adalah perangkat organisasi NU yang berfungsi membantu
melaksanakan kebijakan NU, khususnya yang berkaitan dengan kelompok masyarakat
tertentu. Kepengurusan Badan Otonom diatur menurut peraturan Dasar dan Peraturan
Rumah Tangga masing-masing serta berkewajiban menyesuaikan akidah, asas, tujuan, dan
usahanya dengan NU.
NU mempunyai sembilan badan otonom, yaitu:
a. Muslimat Nahdlatul Ulama, organisasi wanita NU.
b. Gerakan Pemuda Anshor (GP Anshor), organisasi pemuda NU.
c. Fatayat NU, organisasi pemudi NU.

25
Ahmad Syaukani, Op.Cit, h. 133.
26
Dewan Redaksi Eniklopedi Islam, Op.Cit, h. 345.
27
Ibid, h. 346.

16
d. Ikatan Putra Nahdatul Ulama (IPNU), organisasi remaja NU.
e. Ikatan Putri-Putri Nahdatul Ulama (IPPNU), organisasi remaja putri NU
f. Jami’iah Ahl at-Tariqah al-Nu’tabarah an-Nahdiyyah, organisasi pengikut tarekat
Muktabarah di kalangan NU
g. Jam’iah al-Qurra’ wa al-Huffaz, organisasi qari dan penghafal Al-Qur’an.
h. Persatuan Guru Nahdlatul Ulama.
i. Ikatan Sarjana Islam Indonesia.28

4. SERIKAT ISLAM (SI)


Serikat islam yang dilahirkan di Solo pada 16 Oktober 1905 dengan sifat Nasional
dan dasar Islam yang tangguh yang kini berusia 91 tahun, adalah organisasi islam yang
terpanjang dan tertua umurnya dari semua organisasi massa di tanah air kita Indonesia.29
Sarekat Islam berdiri tiga tahun setelah berdirinya organisasi Budi Utomo. Latar
belakang ekonomis dari organisasi ini adalah sebagai tanggapan (perlawanan) terhadap
pedagangan (penyalur) oleh orang Cina. Peristiwa itu merupakan isyarat bagi orang
muslim bahwa telah tiba waktunya untuk menunjukkan eksistensinya. Oleh karena itu,
para pendiri Sarekat Islam mendirikan organisasi ini bukan semata-mata untuk
mengadakan perlawanan terhadap orang-orang Cina, tetapi juga untuk membuat front
melawan semua penghinaan terhadap rakyat bumi putra. Organisasi ini merupakan reaksi
terhadap rencana kristenings Politik (politik Pengkristenan) dan Kaum Zending,
perlawanan terhadap kecurangan-kecurangan dan penindasan-penindasan dari pihak
ambtenaar-ambtenaar bumiputra dan Eropa.
Sebagai upaya untuk menekan laju persebaran agama kristen (Kristenings Politik)
di Indonesia, para kiai, haji dan ulama meningkatkan nilai-nilai ke-Islaman serta
membentuk sebuah perkumpulan sebagai wadah persatuan umat islam bumi putera.
Seperti halnya H. Samanhudi, H.O.S. Tjokrominoto, H. Agus Salim serta para haji
lainnya, melalui organisasi Sarekat Islam (SI), mereka bergerak bersama bumiputra
lainnya melawan bentuk-bentuk kolonialisme serta kristenisasi yang dilakukan belanda.
SI dalam perjuangannya juga dibantu oleh para tokoh beserta organ Islam lainnya seperti

28
Ibid, h. 347.
29
K.H. Firdaus, Syarikat Islam bukan Budi Utomo (meluruskan Sejarah Pergerakan Bangsa), (Jakarta: CV.
DATAYASA, 1997), h.9

17
H. Ahmad Dahlan, dengan Muhammadiyahnya; K.H. Wahab Hasbullah dan K.H.
Hasyim Asy’ari, dengan Tswirul Afkar dan NU-nya, serta berbagai tokoh dan organ
islam lain yang juga mendukung arah perjuangan SI.30
Mula-mulanya organisasi ini adalah Serikat Dagang Islam (SDI) di bawah pimpinan H.
Samanhudi. Kemudian namanya diganti menjadi Sarekat Islam (SI) dipimpin oleh
H.O.S. Cokroaminoto.
Tujuan organisasi ini sebagaimana tercantum dalam anggaran dasarnya ialah untuk
mengembangkan jiwa berdagang, memberi bantuan kepada anggota-anggota yang
menderita kesukaran, memajukan pengajaran dan semua yang mempercepat naiknya
derajat bumiputra, dan menentang pendapat-pendapat yang keliru tentang islam.
Pergantian nama dari Sarekat Dagang Islam (SDI) menjadi Serikat Islam (SI)
dilakukan ketika kepemimpinan H.O.S Cokroaminoto. Cokroaminoto diserahi untuk
memimpin organisasi ini pada tahun 1912. Ia berusaha melebarkan sayapnya agar lebih
luas dengan menukar nama SDI menjadi SI. Akhirnya Serikat Islam di bawah pimpinan
Cokroaminoto memperoleh kemajuan yang gilang gemilang, dan anggotanya banyak
tersebar di seluruh Indonesia.31
Usaha dan jasa Cokroaminoto dalam memimpin Sarekat Islam ialah:
1) Mengangkat kaum bumiputra menjadi manusia yang sejati dan terhormat.
Sebelumnya, para pelajar sekolah dokter Jawa dan rakyat biasa tidak boleh
memakai sepatu dan topi, bahkan tidak boleh memakai setelan (baju jas dan
pantolan seperti orang belanda). Atas usaha Cokroaminoto, hal itu dapat diubah.
2) Mengajarkan dan memajukan rakyat dalam soal politik. Waktu itu rakyat dilarang
membicarakan politik. Atas usahanya, rakyat dibolehkan campur tangan dalam soal
politik, seperti terbentuknya Volksraad yang menjadi tangga terbentuknya
Parlemen Indonesia.
3) Berusaha mempersatukan umat islam Indonesia dengan berkali-kali mengadakan
kongres Al-Islam. Dalam kongres V di Bandung tahun 1929 diputuskan untuk
mengirim dua orang utusan ke Mukthamar Alam Islami di mekah yang diwakili

30
Nasihin, Sarekat Islam Mencari Ideologi 1924-1945, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h.48-49
31
Ahmad Syaukany, Op.Cit, h. 127.

18
oleh Cokroaminoto dan K.H. Mas Mansur. Dengan demikian, umat islam Indonesia
dunia.
4) Membela dan mempertahankan kesucian agama islam dari penghinaan dan caci
maki yang dilontarkan kepada Islam dan diri Nabi Muhammad SAW. pada waktu
itu banyak penghinaan dan cacian yang dilontarkan kepada Islam, lalu
Cokroaminoto menggerakkan umat islam untuk bangkit dan berdiri dalam
mempertahankan kesucian agama Islam.
5) Menerbitkan surat kabar Utusan Hindia yang berisikan keluh kesah rakyat serta
halaman kepada surat kabar yang berisi hinaan terhadap bangsa Indonesia.
6) Mengeluarkan buku yang berjudul Islam dan Sosialisme yang menerangkan
perkara sosialisme ala Islam menurut teori dan praktek. Di samping itu, buku ini
juga membendung propaganda sosialisme ala Karl Mark.
7) Pada tahun 1929, Cokroaminoto bersama H. Agus Salim menerbitkan harian Fajar
Asia, majalah Al-Jihad untuk menolak serangan dan cacian terhadap kesucian
agama Islam dan sebagai spirit untuk membangunkan Umat Islam.32
Tampilnya Sarekat Islam (SI) sebagai partai politik Islam pertama turut memberikan
warna tersendiri bagi kehidupan gerakan pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Pada
masa ke pemimpinan Cokroaminoto, fungsi SI, secara realistis, ialah berusaha menghapus
segala penderitaan rakyat, menganggap dirinya sederajat dengan setiap orang belanda.
Kontribusi SI terbesar dalam spektrum gerakan pembaruan Islam barangkali terletak pada
usahanya mengarahkan kesadaran umat Islam dalam berbangsa dan bernegara degan suatu
wawasan baru. Pengarahan demikian di kemudian hari mendorong munculnya gerakan-
gerakan Islam yang terlibat aktif dalam perjuangan kemerdekaan bangsa, yang
berkulminasi pada berdirinya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang didirikan di
Surabaya pada bulan September 1937.33

32
Ahmad Syaukany, Op.Cit, h. 128
33
Fachry & Bahtiar Effendi, Op.Cit, h. 75.

19
B. SIKAP KOLONIAL TERHADAP ORGANISASI ISLAM
1. KEBIJAKAN PEMERINTAH HINDIA BELANDA
Setelah VOC jatuh bangkrut pada akhir abad ke-18 pemerintah Belanda mengambil
alih kepemilikan VOC pada tahun 1816. Sebuah pemberontakan di Jawa berhasil
ditumpas dalam Perang Diponegoro pada tahun 1825-1830. Setelah tahun 1830 sistem
tanam paksa yang dikenal sebagai cultuurstelsel dalam bahasa Belanda mulai
diterapkan. Dalam sistem ini, para penduduk dipaksa menanam hasil-hasil perkebunan
yang menjadi permintaan pasar dunia pada saat itu, seperti teh, kopi dll. Sistem tanam
paksa ini adalah salah satu kebijakan yang diterapkan Hindia Belanda kepada
masyarakat Indonesia secara umum. Meskipun di Jawa pemberontakan besar-besaran
di bawah panji Islam telah berhenti setelah perang diponogoro, frekuensi
pemberontakan petani-petani di bawah pimpinan Islam setempat makin meningkat34

Sehingga pemerintah Hindia Belanda dengan demikian mengaharuskan membuat


arah politik baru tentang masalah-masalah-masalah Islam. Berdasar latar belakan
itulah, pada tahun 1889 seorang negarawan kolonial Belanda "Snouck Hurgronje"
(dalam makalah ini dituli SH) yang mengetahui secara mendalam tentang Islam
diangkat menjadi penasehat untuk masalah-masalah arab pribumi. Pemahaman Snouck
Hurgronje tentang hakikat Islam di Indonesia sangat membantu terhadap keberhasilan
Hindia Belanda untuk mengarahkan kebijakan politiknya terhadap Islam. Semenjak
itulah pemerintah Belanda atas nasehat Snouck Hurgronje memiliki kebijakan politik
yang jelas terhadap Islam yang dikenal dengan "Islam Politiek" yaitu kebijakan
pemerintah kolonial dalam menangani Islam di Indonesia. Kebijakan tersebut antara
lain:

a) Asosiasi Keagamaan
Sejak 1889 taktik Belanda berubah dalam menghadapi ulama dan umat Islam.
Perubahan ini diletakan dasarnya oleh prof. Dr. Snouck Hurgronje yang diangkat
sebagai Adviseur Voor Inlandsche Zaken. Dari hasil risetnya baik selama di
Mekkah maupun di Aceh mengakui bahwa ulama dan santri merupakan kelompok
kecil yang sangat mempengaruhi politik rakyat dan raja-raja di Indonesia maka SH

34
Harry J. benda (terj), Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang, Jakarta:
Pustaka Jaya,1980., hlm 40

20
memberikan diagnosis yang dijadikan sebagai Dutc Islamic Policy. Ia melihat
Islam dari dua bagian, Islam sebagai agama dan Islam sebagai Politik, ulama dan
santri tidak berbahaya sekalipun mereka berada di desa-desa dekat dengan petani
jika mereka dijauhkan dari propaganda politik. Maka Belanda menjadikan mereka
tunapolitik (dipolitisasi) baik dari politik dalam negeri maupun luar negeri (pan
Islamisme dari Timur Tengah).

Dalam merealisasikan diagnosis tersebut, SH menganjurkan untuk


pemerintah Belanda menjalankan Dwikebijaksanaan (twinn policies) yaitu
menganjurkan adanya toleransi agama, dan menindak dengan kekerasan terhadap
ulama yang masih melancarkan kegiatan politik dan militer.

SH yang telah banyak mengetahui tentang Islam, dalam mengusulkan


sebuah kebijakan yang melawan ketakutan Belanda terhadap Islam, dengan menilai
secara ralitas tempat di dalam masyarakat Indonesia, SH selantunya menawarkan
suatu sikap toleransi yang dijabarkan dalam sikap nitral terhadap kehidupan
keagamaan. Oleh karena itu, atas penjelan SH pemerintah Belanda memberikan
"kebebasan beragama" termasuk dihilangkannya rintangan naik haji ke Mekkah.

Meski demikian, SH mengaskan bahwa Islam sama sekali tidak bisa


dianggap remeh baik sebagai agama maupu sebagai kekuatan politik. Akan tetapi,
hubungan pemerintah kolonial dengan agama tidaklah bisa dilepaskan dari
hubungan antar hubungan umat beragama (umat Islam dan kristen), hal ini terlihat
jelas pada hubungan Islam - kristen yang melatar belakangi hubungan Indonesia-
Belanda. Kaum elit Belanda yang umumnya beragama kristen ternyata tidak
mampu memperlakukan pribumi yang umumnya beragama Islam sama dengan
pribumi yang beragama kristen, umat Islam seringkali mendapatkan perlakuan
yang berbeda dengan umat kristen yang dianggapnya bagian dari Eropa. Perlakuan
yang kurang nertal tersebut menimbulkan kritik tajam di kalangan umat Islam, umat
Islam memandang pemerintah kolonial melancarkan kertenisasi politik, yaitu
kebijaksanaan kebijaksanaan yang menonjang kristenisasi35. hal itulah yang

35
H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1996., hlm 23

21
menjadi salah satu sebab umat Islam (Kaum santri) selalu tidak setuju dengan
pemerintah, dan menilainya sebagai kafir.

Mematahkan Ulama melalui Tanam Paksa

Untuk mencapai terget dari diagnosis SH tersebut, Belanda memerlukan adanya


kerjasama dengan masyarakat pribumi agar misinya ini berjalan sesuai rencana,
maka dalam hal ini SH menasehatkan supaya Belanda menggunakan tenaga
Pangreh Praja. Keadaan di Jawa memungkinkan untuk tujuan tersebut, SH telah
dibantu oleh situasi yang diciptakan oleh Gubernur Jendral Van den Bosch (1830).
Melalui sistem tanam paksanya, Belanda telah berhasil melumpuhkan suplai ulama
dan santri. Pangreh Praja yang merasa mendapat keuntungan dari tanan paksa,
dengan menyalahgunakan kekuasaan telah ikut memperluas dan meratakan
kemiskinan rakyat.

Ulama dan santri yang bermata pencaharian sebagai petani akan mudah dipatahkan
dengan penguasaan atas tanah. Sistem tanam paksa ini benar-benar telah
melumpuhkan rakyat. Seperti yang telah digambarkan oleh Ronggowarsito
“...ngeres macek sasambate tanpa uwis, uwas kaworan maras” (keluh kesah tanpa
sudah, khawatir dan takut silih berganti). Pemelaratan petani Jawa Barat yang letak
geografinya dekat dengan Jakarta diperhebat. Belanda takut kepada ulama dan
santri Jawa Barat yang memberontak selama mereka mampu menguasai tanah
sawahnya. Karena itu pelaksanaan tanam paksa harus diperkeras dan diperlama.
Akibatnya kemelaratan benar-benar menindih kehidupan petani muslim Jawa
Barat, yang digambarkan dalam pribahasa Sunda ”nete semplek nincak semplak,
ngajuru dikebon tarum (segala usaha tidak berhasil, kesedihan dan kesusahan
bertimbun, sampai-sampai melahirkan pun di kebon tanam paksa Nila).

b) Asosiasi Kebudayaan
Dalam hal ini, menurut SH pertama, Belanda harus memisahkan antara
Islam sebagai agama dan Islam sebagai doktrin politik, karena makin jauh kedua
hal tersebut akan mempercepat proses kehancuran Islam. Untuk mencapai maksud
teresebut pemerintah harus menghidupkan golongan pemangku adat karena mereka

22
ini akan menentang Islam36. Kedua, Belanda juga harus mengadakan kerja sama
kebudayaan Indonesia- Belanda, hal ini dapat dicapai dengan memperalat golongan
priyai yang selalu berdekatan dengan pemerintah karena kebanyakan dari mereka
menjabat sebagai pamog praja. Ketiga, operasi meliter ke daerah pedalaman dan
menindak secara kekerasan terhadap para ulama, dan tidak memberi kesempatan
kepada mereka untuk merekrut para santrinya sebagai pasukan suka rela. Keempat,
Terhadap orang awam, pemerintah harus meyakinkan bahwa Belanda tidak
memusuhi agama Islam dan bahkan melindungi agama Islam37.

Rusaknya Mental Penguasa Pribumi

Petani sebagai basis suplai yang telah rusak kehidupannya, tidak mendapat
pembelaan dari Pangreh Praja pada saat itu. Raja-raja tidak mampu menolong
rakyat. Mereka telah kehilagan syariat Islam sebagai landasan hukum dasarnya.
Ronggowarsito menggambarkan sebaga “Mangkaya darajating Praja, kawuryan
wus sunya ruri, rurah pangrehing ukara, karana tanpa palupi” (kini tingkat derajat
negara, tampak telah sunyi sepi, rusak jalannya perundang-undangan, karena tanpa
teladan)

Selanjutnya Ronggowarsito juga memberikan gambaran tentang penguasa


pribumi setelah lepas hubungannya dengan ulama. Tingkah laku mereka mengejar
kemewahan, menambah merajalelanya penderitaan rakyat, antara lain dinyatakan
sebagai berikut”Ratune ratu utama, patihe patih linuwih, pra nayaka tyas raharja,
penekare becik becik, parandane tan dadi, paliyasing kalabendu, malah sangkin
andadra, rubeda kang ngreribeti, beda-bed hardane wong sanagara” ( Rajanya
(yang bertahta) raja utama, patihnya patih yang sangat panda, para mentri bercita-
cita sejahtera, pegawai-pegawainya pun baik-baik, meskipun demiian tidaklah jadi
penolaknya ganggu, bertebaranlah loba angkara di seluruh negara).

Harry J. Banda menggambarkan kondisi demikian dengan the Indonesian


nobility, having lost their cultural and politikal mooring, as result of Dutch

36
Ahmad Mansur Surya Negara, Menemukan Sejarah, Bandung, Mizan., hlm, 140
37
Ibid., hlm 140

23
conquest (bangsawan Indonesia telah kehilangan tambatan budaya dan politik
mereka, sebagai akibat penaklukan belanda). Kondisi demikian ini menyebabkan
kaum bangsawan yang kebanyakan sebagai Pangreh Praja sangat membantu skema
politik Islamnya Snouck Hurgronje.

Selain politik Islamnya, Snouck Hurgronje juga didukung oleh lemahnya


basis suplai ulama dan santri, seperti dikemukakan diatas. Dan juga ditunjang oleh
mengalirnya modal asing sejak diciptakan undang-undang Bumi 1870. Politik
permodalan yang demikian memang untuk sementara telah berhasil menciptakan
perubahan sosial di Indonsia.

1) Asosiasi pendidikan
Dalam bidang pendidikan permerintah Hindia Belanda menempatkan Islam
sebagai saingan yang harus dihadapi, sehingga Hindia Belanda menformalasikan
pendidikan barat sebagai faktor yang akan mengahancurkan Islam di Indonesia,
dalam hal ini SH sangat optimis bahwa Islam tidak akan sanggup bersaing dengan
pendidikan barat, dan ia menganngap agama ini beku dan penghalang kemajuan,
sehingga harus diimbangi dengan meningkatkan taraf kemajuan primbumi. Akan
tetapi pada kenyataannya, ramalan SH tersebut malah terbalik, hal itu disebabkan
munculnya ide modernisasi Islam yang menjalar kepada umat Islam. SH ternyata
juga belum memperhitungkan kesanggupan Islam menyerap kekuatan dari luar
untuk meningkatkan diri38. Sehingga dengan kebijakan tersebut, muncullah
nasionalis Islam yang belajar ilmu barat kemudian menjadi musuh bagi Belanda.

Selain itu, kesadaran bahwa pemerintah 'Hindia Belanda adalah Pemerintah


kafir yang menjajah agama mereka (khususnya tertanam di benak para santri)
sebagian umat islam indonesia (kaum santri) mengambil sikap anti
Belanda. Pesantren yang pada waktu itu merupakan pusat pendidikan Islam
mengharamkan menerima gaji guru dari pemerintah, karena dinilainya haram.
Sikap konfrotasi kaum santri tersebut dengan segala kekuarangan dan
kelemahannya berhasil mempertahankan identitas keIslaman sehingga

38
H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1996., hlm 51

24
mengharuskan Belanda membuat kebijakan kebijakan yang mengekang umat Islam
antara lain: Pertama: ordonansi guru, yaitu suatu kebijaksanaan pemerintah Hindia
Belanda yang mengharuskan setiap guru agama Islam untuk meminta dan
memperoleh izin terlebih dahulu utnuk melaksanakan tugasnya sebagai guru
agama39.

Kebijakan ini menibulkan banyak reaksi umat Islam baik dari kaum pribumi
maupun dari organisasi Islam seperti Muhammadiyah. Kedua, Ordonansi sekolah
liar, kebijakan ini dikeluarkan oleh pihak Belanda karena menjalarnya pendidikan
Islam swasta yang dianggapnya mengancam pihak Belanda, dengan begitu Belanda
melarang mendirikan sekolah-sekolah tampa izin pemerintah, kebijakan ini ini
mendapat kritik keras oleh tokoh pendidikan Ki Hadjar. Partai politik turut
mendukung protes tersebut dan memperjuangkanya di Volksraad. Begitu juga
dengan surat-surat kabar saat itu. Akhirnya pada 1935, setelah dua tahun
mengalami proses alot, ordonansi sekolah liar dihapuskan40.

2. UPAYA-UPAYA DEPOLITISASI UMAT ISLAM INDONESIA


Kepentingan Belanda di Indonesia mendapatkan rintangan dari ulama,
seperti yang telah dijelaskan diatas umat Islam mampu menunda keinginan Belanda
dalam mewujudkan sebuah pemerintahan. Rintangan yang dihadapi Belanda
terutama dalam perdagangan. Belanda melihat kegiatan umat Islam yang memiliki
dwifungsi sebagai pedlar missionaris (da’i dan pedagang). Akibatnya usaha
perdagangan Belanda menghadapi ancaman dari umat Islam. Tidaklah
mengherankan kalau Islam dijadikan senjata politik dalam hal melawan Calvinisme
VOC41.

Dari kondisi yang demikian mengubah fungsi pesantren yang tadinya


sebagai lembaga pendidikan, berubah menjadi a centre of anti-Dutc sentiment
(sebagai pusat pembangkit anti-Belanda).oleh karena itu setiap perlawanan
bersenjata terhadap Belanda tidak dapat dilepaskan hubungannya dengan

39
H. Aqib Suminto, Ibid. hlm 51
40
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan, Depdikbud, hlm. 20-21.
41
J.C. Van Leur, 1955. Hal 143

25
pesantren. Dalam hal ini Clifford Geertz Menyatakan pada abad ke 19 saja Belanda
menghadapi empat kali pemberontakan besar dari kaum santri. Peperangan ini oleh
ahli sejarah sering disebut dengan perang Sabil (Holy War). Yaitu perang Cirebon
(1802-1806), perang Diponegoro (1825-1830) yang sering disebut sebagai perang
Jawa Tengah yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro di bawah panji Islam,
perang Paderi di Sumatra Barat (1821-1838) sebagai akibat dari intervensi politik
Belanda terhadap perang adat melawan ulama, kemudian di Aceh (1873-1908)
sebagai pemberontakan santri terpanjang karena Belanda menghadapi santri Aceh
sampai akhir kekuasaannya42. Perlawanan santri tersebut atau dikenal
dengan perang sabil tidak hanya terjadi pada abad ke 19 saja, menurut Harry J.
Banda menyatakan bahwa partisipasi ulama dan santri in berlangsung selama empat
abad. Hal inilah yang kemudian menyebabkan Belanda meletakan sistem baru
bagaimana mengeliminasi peran ulama yang sangat dominan itu. Belanda
menempuh cara menghancurkan ulama dan Islam dengan melancarkan politik
pengembangan agama Islam atau Kristenisasi. Namun gerakan ini hanya mampu
menarik suku-suku terasing masuk ke agamanya.

Dipolitisasi Ulama Desa

Ulama desa yang tunapolitik tidak tahu tentang struktur pemerintahan


diatasnya. Dalam hal ini A. Mansur Suryanegara menyatakan kedudukan ulama
dinilai benar-benar menyedihkan. Para ulama Desa dan pengikutnya diputkan
hubungan langsung dengan kalangan priyayi atau bangsawan diatasnya. Mereka
tidak lagi memiliki pengetahuan apapun tentang struktur kenegaraan.

Hal tersebut diperkuat dengan adanya berita Nahdlatul Oelama yang


memberikan gambaran betapa parahnya orientasi ulama saat itu, seperti “Para
ulama kita satu dengan yang lainnya tak kenal mengenal atau kurang rapat
hubunganya hanya selaku kenalan saja. Tiada sampai pada bersama-sama kerja
untuk agama dan umat umum. Bahkan kadang-kadang adakalanya yang diantara
mereka sembur-semburan antara satu dengan lainnya. disebabkan berselisih dalam

42
A. Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah, hal 24o

26
masalah atau sebab lain. Sebagian dari mereka tidak mengetahui keadaan kehinaan
Umat Islam yang diluar pagar rumahnya”. Ini merupakan gambaran buruk dari
ulama yang ada di pulau Jawa.

Lalu bagaimana keadaan ulama yang ada di Aceh yang tidak mau menyerah
kalah terhadap pemerintah kolonial?. Snouch Hurgronje menganjurka untuk
dilancarkan kebijaksanaan yang tanpa kenal belas kasih terhadap para ulama.
Belanda membuat ulama tidak mungkin lagi menjalankan fungsi kepemiminannya
dengan cara melancarkan serangan dan gangguan yang meletihkan. Selain itu, juga
menggunakan ulama bayaran. Ulama macam ini dibelinya dan dipersenjatainya,
kemudian ditugaskan untuk menyerang ulama-ulama militan.

Namun dibalik tekanan pemerintah Belanda yang terus melemahkan peran


ulama, waktu yang tepat untuk mengadakan perubahan akhirnya datang pula.
Struktur penjajahan yang ingin menciptakan Pax Neerlandica telah menumbuhkan
efek yang menguntungkan umat Islam Indonesia. Penderitaan yang diderita telah
melahirkan persamaan nasib.

Para ulama mencoba menggerakan masyarakat dengan melalui waktu-


waktu yang sangat menguntungkan dalam pendidikan, juga memotivasi masyarakat
untuk bangkit kembali di bidang ekonomi perdagangan. Atas dasar inilah kemudian
H. Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam (16 Oktober 1905). Setahun
kemudian diubah menjadi Sarekat Islam.

Mencegah Asimilasi Pribumi-Cina

H. Samanhudi dalam usahanya membangkitkan ekonomi perdagangan dan


politik, tidak menempuh jalan membentuk organisasi politik. Karena seperti yang
telah kita ketahui kegiatan politik dilarang oleh Pemerintah Belanda maka didirikan
Sarekat Dagang Islam (SDI) atau Sarekat Islam (SI). Namun, ternyata Belanda
melihatnya dari segi lain bahwa dengan adanya organisasi atau perserikatan
diartikan sebagai usaha membina persatuan sebagai cara baru dalam kebangkitan
Islam. Apalagi selanjutnya SDI membentuk kerjasama dagang antara Islam dan
Cina Kong Sing.

27
Sedangkan politik Belanda sejak abad ke 18, berusaha mencegah asimilasi
antara Cina dan Islam. Kesatuan Islam dengan Cina akan mudah dujalinnya karena
memiliki latar belakang sejarah yang memudahkan kesatuan tersebut. Sebagai
misal, hubunga Cina dengan umat Islam telah terjadi pada abad ke 18, setelah
Belanda melancarkan pembunuhan terhadap Cina (1740). Peristiwa ini
menumbuhkan hubungan baik dan bahkan beberapa Cina masuk Islam, sehingga
terjadi kerja sama dalam menyerang benteng benteng Belanda.

Kesatuan Cina dalam Susuhunan Mataram yang disertai dengan masuknya


Cina kedalam agama Islam, mengilhami Belanda untuk melahirkan kebijaksanaan
yang beruaha memisahkan asimilasi antara Islam dengan Cina. Sehubungan dengan
hal ini Furnivall menyatakan Cina, di satu pihak, dicegah untuk mendapatkan
monopoli atas tanah dan merampas tanah milik orang-orang Jawa, dilain pihak
suatu kemajuan asimilasi Cina pada masyarakat Jawa akan melahirkan kesatuan
masyarakat baru, dan hal ini berusaha dicegah oleh Belanda. Kebijakan belanda
yang mencegah terhadap asimilasi Cina pada saat itu, mudah dimengeri karena
pada saat itu juga Negara Cina sedang berusaha menentang imperialisme Barat ini
berarti jika Cina dan Masyarakat muslim Indoneia bersatu akan mempercepat
gulung tikarnya Belanda.

Kemudian di Negara Cina berkobar Revolsi Cina, maka dengan berbagai


provokasi Belanda berusaha menimbulkan pemberontakan fisik antara Cina dan
Umat Islam, dan pancingan ini berhasil melahirkan pemberontakan anti-Cina di
Solo. Malahan pemberontakan ini ditunjang oleh Tentara Mangkuneran (1911).

Menurut Furnivall, Belanda telah berhasil mengubah sikap Cina Indonesia


sebagai penjaga setia terhadap agresi dari daratan Cina. Kebijaksanaan mencegah
asimilasi ditingkatkan dengan menyamakan status kewarganegaraan Cina dengan
Eropa. Dengan demikian Belanda telah berhasil memisahkan Cina Indonesia yang
dipelopori oleh Islam. Sekaligus timbullah hubungan Cina-Belanda menentang
perkembangan tuntutan Nasionalisme Pribumi.

28
BAB III

PENUTUP
A. KESIMPULAN
Organisasi-organisasi islam di Indonesia terbentuk karena faktor pembaruan
pemikiran islam yang di pelopori oleh orang-orang dari Timur Tengah seperti, Rasyid
Ridha, Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan lain-lain. Pada awalnya
pembaruan pemikiran dibidang pendidikan yang dilakukan oleh orang-orang Arab di
Indonesia yaitu organisasi Jami’atul Khair (1905) lalu berkembang dan berkembang
lagi dan timbullah organisasi sosial-keagamaan seperti, Sarekat Dagang Islam (SDI) di
bogor (1909) yang kemudian menjelma menjadi organisasi Sarekat Islam (SI), lalu
Muhammadiyah di Yogyakarta (1912), Persatuan Islam (Persis) di Bandung (1920),
Nahdlatul Ulama di Surabaya (1926) dan lain- sebagainya.
Peran Organisasi-organisasi tersebut bisa dikatakan sangatlah luar biasa baik itu di
bidang ekonomi, pendidikan, politik, maupun dalam mencapai kemerdekaan bagi
negara Indonesia. Hal tersebut juga masih kita rasakan sampai sekarang ini dimana
organisasi-organisasi islam tersebut banyak yang masih eksis dan menjaga kestabilan di
indonesia didalam sebuah pemerintahan.
Juga kehadiran Belanda mendapat perlawanan dari umat Islam Indonesia
terutama dari kaum Ulama dan Santri, terhitung hampir empat abad Belanda mendapat
perlawanan dari Umat Islam Indonesia dan pada abad ke 19 Belanda mendapatkan
empat kali perlawanan yaitu Perang Cirebon, Perang Diponegoro, Perang Paderi dan
Perang Aceh.
Perlawanan tersebut menuntut Belanda untuk mengeluarkan kebijakan atas
nasehat dari Snouck Hurgronje yang merupakan seorang profesor Belanda yang
didatangkan untuk mempelajari tentang Islam Indonesi. Kebijakan-kebijakan tersebut
meliputi, asosiasi keagamaan, asosiasi kebudayaan dan asosiasi pendidikan.
Atas saran dari Snouck Hurgronje pula Belanda menetapkan Politik Islam
Belanda yang mendepolitisasi umat Islam Indonesia. Ulama dan santri dijadikan
tunapolitik dan didesak kehidupannya di desa dengan menerapkan sistem tanam paksa
karena kebanyakan dari ulama dan santri merupakan seorang petani, Belanda juga
berhasil menghancurkan mental masyarkat Pribumi.

29
DAFTAR PUSTAKA

Nizar, Samsul, Sejarah Pendidikan Islam (menelusuri jejak Sejarah Pendidikan era Rasulullah
sampai Indonesia), Jakarta: Kencana, 2013.

Arifin, MT, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah dalam Pendidikan, Jakarta: Dunia Pustaka
Jaya, 1987.

Tim Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan, 1 Abad Muhammadiyah (gagasan
Pembaruan Sosial Keagamaan), Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010.

Dewan Redaksi Ensklopedi Islam, Ensklopedi Islam Cet. 4, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.

Thaha Ma’ruf, Moeh, Pedoman Pemimpin Pergerakan, jakarta: PBNU, 1954.

Firdaus, K.H., Syarikat Islam bukan Budi Utomo (meluruskan Sejarah Pergerakan Bangsa),
Jakarta: CV. DATAYASA, 1997.

Muhammadiyah, Hilmy & Sulthan Fatoni, NU: Identitas Islam Indonesia, Jakarta: elSAS, 2004.

Nasihin, Sarekat Islam Mencari Ideologi 1924-1945, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.

Syamsu, Muhammad, Ulama pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya, Jakarta: Lentera
Basritama, 1999.

Benda, Harry J. (terj), 1980, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa
Pendudukan Jepang, Jakarta: Pustaka Jaya

Nata, Abudin,2007, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta : Rajawali Press.

Suryanegara, Ahmad Mansur,1996 Menemukan Sejarah, Wacana Pergerakan Islam di


Indonesia, Bandung:Mizan.

Suminto, H. Aqib,1996, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES.

Jurnal al-Hikmah,2009, Paratai Politik Islam PadaMasa Orla dan Orba, vol.1/no.

30

Anda mungkin juga menyukai