Dosen Pengampu: Dr. H. Suparman Jassin, M.Ag & Dina Marliana, M.Ag
Disusun Oleh:
2022
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt yang telah memberikan rahmat
dan hidayah- Nya sehingga kami dapat menyelesaikannya makalah karya ilmiah ini.
Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah limpahkan kepada junjunan kita Nabi
Muhammad saw, yang telah membawa risalah islam yang penuh dengan ilmu
pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu keislaman, sehingga dapat menjadi bekal hidup kita
baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Pemakalah
1
DAFTAR ISI
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. A. LATAR BELAKANG
Hampir dapat dikatakan bahwa seluruh dunia islam sejak awal abad ketujuh belas
telah jauh dalam dominasi kekuatan Barat. Baik itu dalam bidang ekonomi, militer, politik,
teknologi dan lain sebagainya. Situasi ini kemudian mengilhami memunculnya gerakan
reformisme islam internasional yang pada gilirannya kemudian, melalui kontak-kontak
intelektual, mempengaruhi sebagian masyarakat Islam Indonesia untuk melakukan
pembaruan pemikiran Islam. Untuk itu, langkah awal yang ditempuh adalah berusaha
menghilangkan pikiran-pikiran tradisional yang tidak mendukung upaya umat Islam dalam
melepaskan diri dari kebodohan, kemiskinan dan penjajahan.
Pada awal mulanya, gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh kelompok muslim
moderenis di indonesia, timbul akibat pengaruh gerakan pemurnian Muhammad ibn Abd al-
Wahab (1703-1778) di Jazirah Arab; perjuangan politik Pan-Islamisme Jamaluddin Al-
Afghani (1839-1897), yang merupakan perwujudan pembaharuan pemikiran politik islam,
dalam usaha mempersatukan umat islam di seluruh dunia, yang kemudian mendapatkan
kerangka ideologis dan teologis dari muridnya, yaitu Muhammad Abdul di Mesir (1845-
1905); pembaharuan pemikiran Rasyid Ridha, Al-Thantawi dan Amir Ali; pembaruan
pemikiran Syeikh Waliyullah Al-Dahlawi, Ahmad Khan, Abu Kalam Azzad, Ali Jinnah di
India dan lain sebagainya. Dengan mengemukakan pendapat bahwa ajaran-ajaran islam
sepenuhnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan zaman, kendati pun masing-
masing bergerak pada berbagai bidang kehidupan umat, para tokoh pembaharu itu
mendorong umat islam untuk melakukan penelaahan ulang serta menjelaskan kembali
doktrin-doktrin islam dalam bahasa dan rumusan yang dapat diterima oleh pikiran-pikiran
modern. Demikian pula, menurut mereka, Al-Qur’an dan Sunnah merupakan satu-satunya
rujukan yang mampu memberikan dasar doktrinal atau legitimasi seluruh tindakan kehidupan
umat islam.1
Gerakan yang lahir di Timur Tengah itu telah memberikan pengaruh besar kepada
gerakan kebangkitan Islam di Indonesia. Gerakan pembaruan pemikiran yang diplopori di
1
Fachry Ali & Bahtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam (Rekonstruksi Pemikiran Islam Masa Orde Baru),
(Bandung: Mizan, 1986), h. 63.
3
Timur Tengah ini telah menginspirasi umat Islam di Indonesia untuk melakukan pembaruan
juga, diantaranya ialah munculnya organisasi modernis seperti Al-Irsyad, Jami’atul Khair,
Muhammadiyah, Sarekat Dagang Islam (SDI) yang kemudian menjadi Syarekat Islam (SI),
Persatuan Islam (Persis), Jami’iyah Al-Washliyah, dan lain sebagainya menunjukkan betapa
kuatnya pengaruh pembaruan atau modernisasi pemikiran islam bagi Indonesia. Lalu
muncullah organisasi Nahdlatul Ulama (NU) akibat dari munculnya pemikiran pembaruan
tersebut.
Dengan munculnya banyak organisasi islam, maka Islam memberikan pengaruh yang
menimbulkan munculnya kelompok baru yang disebut ulama dan santri, yang kemudian
oleh penguasa asing ingin dijauhkan dari pengaruh politik. Inidapat dilihat dari beberapa
aspek. Pertama, Islam menjadi satu hal yang diterima pada lapisan bawah sosial (Grass root),
sebagai kelompok sosial yang murni, masyarakat ini menerima Islam sepenuh hati dan
menuruti ajarannya dengan yakin dan tulus terhadap agama. Mereka melihat Islam sebagai
pembebas, dimana Hindu dan ajaran lainnya tidak lagi memberi semangat dalam kehidupan,
mereka menjadi manusia, tetapi memiliki strata terendah dalam sosial (kasta-kasta). Dengan
Islam menimbulkan semangat perubahan, yang mengembalikan diri manusia menjadi
dirinya sendiri dengan bebas, dan hak-hak yang sama dengan lainnya (renaissance) Kedua,
Ajaran Islam mempengaruhi tata kehidupan, seperti perekonomian, dengan perdagangan,
orientasi ini ternyata pada masa Kolonialis Belanda mendapat tantangan, hambatan, bahkan
ancaman bagi umat Islam untuk melakukan aktivitas perdagangan, yang sebelum Kolonialis
Belanda masuk ke Indonesia telah menjadi salah satu kegiatan penting Umat Islam di
Indonesia. Adanya agresi perdagangan dan agama yang dilancarkan oleh Imperialis Barat
menimbulkan tantangan bagi umat Islam, dalam hal ini para ulama bekerja keras umtuk
membina santri-santrinya agar memiliki sikap combative spirit ( semangat siap tempur),
pesantren yang sebelumnya hanya sebagai lembaga pendidikan, fungsinya bertambah sebagai
tempat kegiatan membina pasukan suka rela. Dalam hal ini dapat kita lihat peran dan fungsi
pesantren sebagai pusat perlawanan terhadap kolonialis dan Inperialis Barat (a centre of anty
DucthCentiment).
Clifford Greertz menyatakan dalam adab ke-19 saja Belanda menghadapi
empat kali pembrontakan santri yang besar, peperangan ini sering dalam sejarah dituliskan
sebagai perang sabil, (the Holy war). Adapun pembrontakan itu. Pertama, perang
4
Cirebon, (1802-1806). Kedua,perang Diponegoro (1825-1830), yang disebut sebagai perang
Jawa Tengah yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, dibawah panji Islam.Ketiga, Perang
Padri, di Sumatera barat, (1821-1838), sebagai akibat intervensi politik Belanda terhadap
perang adat melawan ulama. Keempat, di Aceh (1873-1908). Sebagai pemberontakan santri
terpanjang, Belanda menghadapi pembrontakan santri ini hingga masa kekuasaannya
berakhir di Indonesia, dimana ulama tidak pernah absen melancarkan gerilya hingga tahun
1942.dari perlawanan Islam tersebut maka timbulah kebijakan-kebijakan pemerintah Belanda
untuk menekan perlawanan umat Islam Indonesia.
B. B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sejarah timbulnya ormas-ormas islam di indonesia ?
2. Apa pengaruh Organisasi-organisasi tersebut dalam peradaban islam di Indonesia ?
3. Bagaimana Kebijakan-kebijakan Pemerintah Belanda?
4. Bagaimana Upaya-upaya Dipolitisasi Umat Islam Indonesia?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui sejarah organisasi-organisasi Islam di Indonesia.
2. Untuk mengetahui kiprah organisasi-organisasi Islam untuk Indonesia.
3. Mengetahui Kebijakan-kebijakan Pemerintah Belanda.
4. Mengetahui Upaya-upaya Dipolitisasi Umat Islam Indonesia
5
BAB II
PEMBAHASAN
1. PERSATUAN ISLAM
Persatuan Islam (Persis) berdiri pada tahun 1920 di Bandung. Ide pendirian
organisasi ini berasal dari pertemuan yang bersifat kenduri yang dilakukan secara berkala
dirumah salah seorang anggota kelompok masyarakat. Selesai makan dalam acaran
kenduri tersebut, para anggota kenduri membicarakan berbagai permasalahan atau
peristiwa yang terjadi atau yang sedang dihadapi, termasuk membicarakan masalah-
masalah keagamaan dan gerakan-gerakan keagamaan pada umumnya. Pada saat itu lah,
Haji Zam-zam dan Haji Muhammad Yunus berbicara dan banyak mengemukakan
pemikiran-pemikiran. Diantara mereka kedua orang ini memang mempunyai pengetahuan
yang luas tentang islam. Paling tidak, Zamzam pernah memperdalam studi ke-Islaman di
mekkah kurang lebih selama tiga setengah tahun di lembaga Darul Ulum. Sekembalinya
dari mekkah, ia mengajar di Darul Muta’alimin di bandung. Di samping itu, dia pun
mempunyai hubungan akrab dengan tokoh Al-Irsyad, Yakni Ahmad Surkati.2
Tokoh utama Persatuan Islam adalah Ahmad Hassan (1887-1958). Lahir dan
besar di Singapura, Ahmad Hassan sejak remaja sudah mengenal gagasan pembaharuan
yang disebarkan majalah al-Imam. Sebagai anggota readaksi surat kabar Utusan Melayu,
Ahmad Hassan menulis banyak artikel mengenai pentingnya umat islam kembali kepada
ajaran Al-Qur’an dan Hadits. Pada tahun 1921, ia pindah kesurabaya, daerah asal ibunya,
untuk berdagang. Di kota ini Ahmad Hassan akrab dengan pengajian al-Irsyad yang
diselenggarakan Ahmad Soorkati. Kemudian pada tahun 1925, ia mencoba melakukan
usaha perdagangan bersama kawannya di Bandung. Tak lama usahanya bangkrut. Ia
kemudian menjadi anggota Persatuan Islam (Persis) dan segera menjadi juru dakwah
2
Ahmad Syaukani, Perkembangan Pemikiran Modern Di Dunia Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001),
h.123.
6
persis yang vokal, sehingga ia menjadi tokoh yang tak dapat dipisahkan dari organisasi
tersebut.
Selain Ahmad Hassan tokoh Persis yang sangat berperan dalam keorganisasian
Persis ini ialah Muhammad Natsir, ia lahir di Alahan Panjang, Sumatera Barat tanggal
17 juli 1908 dari seorang pegawai pemerintah. Di daerah kelahirannya ia pernah
mempelajari ilmu Agama di sekolah agama yang dipimpin oleh Tuanku Muda Amin,
3
Taufiq Abdullah dkk, Ensiklopedi Asia Tenggara, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 368.
4
Ahmad Syaukani, Op.Cit, h. 123-125.
7
sebagai seorang pengikut dan kawan Haji Rasul. Disamping itu, ia juga aktif mengikuti
pelajaran agama yang diberikan oleh Haji Abdullah Ahmad di Padang.5
Disebabkan oleh turut sertanya ia secara rutin di dalam sidang jum’at yang
diselenggarakan oleh organisasi Persis, hubungan Natsir dengan beberapa tokoh anggota
Persis semakin akrab. Ia semakin akrab mengikuti kegiatan-kegiatan Persis.
Dengan majalah Persis yang bernama Pembela Islam, Muhammad Natsir dapat
dikenal oleh para anggota Persis secara lebih luas. Ia dapat menyampaikan pendapat
ataupun pandangan-pandangannya melalui majalah tersebut. Sedemikian rupa perhatian
Muhammad Natsir terhadap studi ke-Islaman, sehingga ia menolak tawaran dari
pemerintah belanda yang memberikan beasiswa kepadanya untuk belajar ke tingkatan
yang lebih tinggi, yaitu sekolah tinggi Hukum di jakarta atau sekolah tinggi Ekonomi di
negri Belanda. Ia hanya memikirkan pendidikan di kalangan anak-anak muslim.
Suatu hal lagi yang menonjol dalam organisasi ini yang membedakannya dengan
organisasi-organisasi lain adalah dalam menyebarkan ide-idenya, persis lebih senang
dengan cara perdebatan-perdebatan dan polemik. Organisasi persis kerap mengajak
orang-orang yang berbeda pendapat dan pemikiran untuk berdebat.7
5
ibid, h. 125.
6
Ibid, h. 125.
7
Ibid, h. 126.
8
persis jauh lebih kecil dibanding Muhammadiyah dalam jumlah anggota dan
aktivitasnya. Persatuan Islam hanya memiliki 200 cabang di seluruh Indonesia, yang
menangani ratusan sekolah dan pesantren.8
2. MUHAMMADIYAH
Berbicara tentang Muhammadiyah tidak terlepas dari sosok tokoh pendiri
organisasi ini yaitu, Kiyai Haji Ahmad Dahlan. pada masa mudanya bernama
Muhammad Darwis. Ia berasal dari keluarga berpengaruh dan terkenal di lingkungan
kesultanan Yogyakarta, yang secara genealogis ditelusur akan sampai pada Maulana
Malik Ibrahim atau Maulana Maghribi. Muhammad Darwis dilahirkan dari pernikahan
Kyai Haji Abu Bakar dengan Nyai Haji Abu Bakar, pada tahun 1285 Hijriah (1868
Masehi) di kampung Kauman, kota Yogyakarta.9
Kauman berasal dari kata bahasa Arab qaum. Istilah ini mengandung makna
“Pejabat Keagamaan” atau abdi dalem santri. Kampung tempat masjid itu diberi nama
kauman karena daerah itu merupakan tempatnya para abdi dalem santri dan ulama yang
bertugas memelihara masjid itu.
8
Taufiq Abdullah dkk, Op.Cit, h. 369.
9
MT Arifin, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah dalam Pendidikan, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1987), h.
75.
10
Ibid, h. 75-76.
9
pada ilmu Nahwu, Fiqh, dan Tafsir di daerahnya, ia melanjutkan belajar ke Mekah pada
tahun 1890. Salah seorang gurunya ialah Syeikh Ahmad Khatib.
Dari orientasi yang cendrung bersifat keagamaan semacam itu, kita bisa menilai
bahwa Muhammadiyah berupaya untuk melakukan pembaharuan kualitatif yang bersifat
keagamaan, suatu dialektika internah yang secara inheren memang selalu muncul didalam
islam. Dengan semangat kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits, Muhammadiyah berupaya
keras untuk memurnikan agama dan menghilangkan pengaruh-pengaruh kultural dan
simbol-simbol yang tidak relevan dengan islam agar dapat lebih dinamis dalam suasana
sosial dan kultural yang baru. 13
11
Ahmad Syaukani, Op.Cit, h. 120
12
Ahmad Syaukani, Op.Cit, h. 119-120.
13
Kuntowijoyo, Pradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991), h. 196.
10
Organisasi Muhammadiyah merupakan organisasi yang bertujuan menyebarkan
pengajaran agama Nabi Muhammad SAW kepada penduduk bumiputra di Jawa dan
Madura serta memajukan pengetahuan agama para anggotanya. Untuk ini mendirikan
lembaga-lembaga pendidikan, mengadakan tabligh, mendirikan masjid, menerbitkan buku-
buku, brosur-brosur, surat-surat kabar, dan majalah.14 Pada waktu itu terdapat sembilan
pengurus inti, yaitu Ahmad Dahlan sebagai Ketua, Abdullah Sirat sebagai sekretaris,
Ahmad, Abdul Rahman, Sarkawi, Muhammad, Jaelani, Akis, dan Muhammad Fakih
sebagai anggota. Sementara itu, para anggota hanya dibatasi pada penduduk jawa dan
madura yang beragama islam.15
Setelah tahun 1917, organisasi ini mempunyai daerah operasi yang lebih puas. Pada
tahun tersebut, rumah Ahmad Dahlan dijadikan sebagai pusat tempat Kongres Budi Utomo.
Dalam kesempatan itu, Ahmad Dahlan melakukan tabligh yang mempesona, sehingga
pengurus muhammadiyah menerima permintaan dari berbagai tempat di Jawa untuk
mendirikan cabang-cabangnya. Pada tahun 1920, organisasi Muhammadiyah meliputi
pulau Jawa dan itu berkembang ke seluruh persada nusantara.
14
Ahmad Syaukany, Op.Cit, h. 121.
15
Tim Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan, 1 Abad Muhammadiyah (gagasan Pembaruan
Sosial Keagamaan), (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010), h.26.
16
Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam(Dirasah
Islamiyah III), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h.100.
11
Ada beberapa hal yang mempermudah berkembang dan meluasnya organisasi
Muhammadiyah di bumi indonesia. Pribadi Ahmad Dahlan dan caranya berpropaganda
dengan memperlihatkan toleransi dan perhatian kepada pendengarannya memporeleh
sambutan yang sangat memuaskan. Mereka yang mengenal pembaharuan di mesir melihat
pula pada Muhammadiyah sebagai jalan untuk menyebarkan pemikiran-pemikiran
pembaharuan tersebut di Indonesia, sehingga mereka memberikan bantuan kepada
organisasi ini.
1. ‘Aisyiyah
Aisyiyah merupakan lembaga wanita dari Muhammadiyah. Lembaga-
lembaga ini pada mulanya merupakan organisasi wanita yang didirikan di
daerah Kauman, Yogyakarta, pada tahun 1918 dengan nama Sopotresno.
Kelompok ini dipimpin oleh Badillah Zubeir, Aisyah Hilal, Busyro Isyrom,
Zahro Mushin, Wadiah Nuh, Dalalah Hisyam, Siti Badriah, dan Dawimah.
Atas nasihat haji Muchtar, organisasi ini mempunyai peraturan yang
permanen, dan pada tahun 1922 menjadi bagian dari muhammadiyah.17
17
MT Arifin, Op.Cit, h. 125-124
12
• Dalam kongres yang ke-27 di Medan diputuskan agar ‘Aisyiyah
menambah usahanya, yaitu menyantuni anak yatim dan fakir miskin
yang terkena musibah. Usaha yang lain adalah menambah pendirian
taman kanak-kanak (Bustanul Athfal) (1939).18
Kegiatan organisasi ini antara lain adalah pada tahun 1925 membeli sebuah
rumah yang sekarang bernama Gedung ‘Aisyiyah yang terletak di Kauman,
Yogyakarta. Gedung ini digunakan sebagai pusat segala kegiatan. Tahun
berikutnya, 1926, kegiatan Nasyiatul ‘Aisyiyah sudah menghiasai majalah
Suara Aisyiyah. Pada saat itu dan cabang yang petama kali didirikan adalah
di Surakarta. Tahun 1929 anak-anak Nasyiatul ‘Aisyiyah sudah di kader
menjadi calon guru dengan mengajar di taman kanak-kanak (Bustanul
Athfal), terutama mereka yang sudah besar
3. NAHDATUL ‘ULAMA (NU)
Nahdah al-‘Ulama’ = Kebangkitan Ulama. Salah satu organisasi sosial keagamaan
di Indonesia, didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H/ 31 Januari 1926 di Surabaya atas
prakarsa K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Abdul Wahab Hasbullah; disingkat NU.
Organisasi ini berkedudukan ibu kota Negara, tempat pengurus besarnya berada. NU
berakidah Islam menurut paham Ahlussunah Wal Jama’ah dan menganut mazhab empat
18
Tim Majelis Pendidikan Tinggi penelitian dan pengembangan, Op.Cit, h.107
13
(Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali). Asasnya adalah Pancasila.19 Tokoh pendirinya
ialah K.H. Hasyim Asy’ari dengan didukung oleh para tokoh alim ulama yang
diantaranya yaitu:
a) K.H. Abdul Wahab Hasbullah
b) K.H. Bisri Jombang
c) K.H. Ridwan Semarang
d) K.H. Nawawi Pasuruan
e) K.H. R. Asnawi Kudus
f) K.H. R. Hambali Kudus
g) K. Nakhrawi Malang
h) K.H. M. Alwi Abdul Aziz
i) K.H. Doromuntaha Bangkalan, dan lain-lain.20
Mengenai sebab-sebab lahirnya organisasi Nahdatul Ulama ada beberapa pendapat,
Menurut Muhammad Thaha Ma’ruf bahwa kelahiran Nahdatul Ulama dilatar belakangi
oleh persoalan keagamaan di mana NU lahir pada saat umat islam berada dalam suasana
perdebatan akibat munculnya beberapa aliran baru yang mengusung isu modernisme.21
Pendapat lain mengatakan bahwa NU didirikan untuk mewakili kepentingan-kepentingan
kiai, vis a vis pemerintahan dan juga kaum pembaharu dan untuk menghambat
perkembangan organisasi-organisasi yang hadir terlebih dahulu. Dan didalam ensiklopedi
Islam menyatakan bahwa tujuan didirikannya ialah untuk memperjuangkan berlakunya
ajaran islam yang berhaluan Ahlussunnah Wal Jama’ah dan menganut mazhab empat
ditengah-tengah kehidupan di dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia yang
berasaskan Pancasila.22
Warna-warni analisa seputar kelahiran Nahdlatul Ulama tak mungkin terhindarkan.
Analisis yang berkembang di atas menunjukkan tingginya respons masyarakat terhadap
organisasi para ulama ini. Kesulita pelacakan dokumentasi tentang proses kelahiran NU,
menurut Saifuddin Zuhri, adalah sesuatu yang wajar. Sebab kelahiran NU saat itu memang
tidaak menarik bagi para politisi, kaum pergerakan, akademis, peneliti. Saat itu NU
19
Dewan Redaksi Ensklopedi Islam, Ensklopedi Islam Cet. 4, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h.345
20
Ahmad Syaukani, Op.Cit. h. 133.
21
Moeh Thaha Ma’ruf, Pedoman Pemimpin Pergerakan, (jakarta: PBNU, 1954), h. 103.
22
Dewan Readaksi Ensklopedi Islam, Op.Cit. h. 345.
14
menjadi organisasi yang menarik untuk dipelajari pada 40 tahun pasca kelahirannya, ketika
telah menjelma menjadi kekuatan besar di Indonesia.
Hanya saja sebenarnya analisis tersebut masih jauh dari subtansi eksistensi NU di
Indonesia. Ragam pendapat itu lebih menjelaskan faktor-faktor yang mendorong
percepatan proses kelahiran Nahdlatul Ulama. Sebab NU lahir di tengah-tengah
kebangkitan aspiraasi pesantren, para kiai dan santri yang jauh dari jangkauan penguasa
dan elite politik. Kalaupun ragam analisis diatas mendekati kebenaran, mereka gagal
menjelaskan mengapa NU lahir paada 1926 dan tidak lima atau sepuluh tahun lebih awal,
ketika Sarekat Islam sedang giat-giatnya dan ketika banyak keluhan terhadap kaum
pembaru yang agresif menyebarkan ajarannya di Jawa.23
Hal yang dapat dipastikan bahwa Nahdlatul Ulama lahir dengan melalui proses yang
panjang. Secara Organisatori, hal ini dimulai ketika para tokoh islam pesantren, K.H.
Wahab Hasbullah dan Mas Mansoer mendirikan madrasah yang bernama Nahdlatul
Wathan pada 1916 di Surabaya. Staf pengajar Nahdlatul Wathan didominasi oleh ulama
pesantren, seperti Bisri Syansuri (1886-1980), Abdul Hakim Leimuding dan Abdullah
Ubaid (1899-1938). Pada 1918, Abdul Wahab Hasbullah dan K.H. Ahmad Dahlan dari
kebondalem mendirikan Tashwirul Afkar, yaitu sebuah forum diskusi ilmiah keagamaan
yang mempertemukan kelompok pesantren dan modernis. Pada tahun yang sama, Abdul
wahab Hasbullah bersama K.H. Hasyim Asy’ari mendirikan sebuah koperasi dagang yang
bernama Nahdlatul Tujjar. Hanya saja memasuki tahun 1920-an, kebersamaan dan upaya
saling pengertian antara kelompok islam pesantren dan modernis berubah menjadi
persaingan yang mengelompok.24
Dalam upayanya untuk mencapai maksud tersebut maka organisasi NU melakukan usaha-
usaha sebagai berikut:
1) Mengadakan silaturahmi, di antara ulama-ulama yang bermazhab tersebut di atas.
2) Memeriksa kitab-kitab sebelum dipakai untuk mengajar untuk mengetahui apakah kitab
itu termasuk kitab-kitab Ahli Sunnah Waljama’ah atau kitab-kitab ahli bid’ah.
3) Menyiarkan agama Islam berasaskan pada mazhab tersebut dengan jalan yang baik.
23
Hilmy Muhammadiyah& Sulthan Fatoni, NU: Identitas Islam Indonesia, (Jakarta: elSAS, 2004), h.117.
24
Ibid, h. 118.
15
4) Berusaha memperbanyak madrasah-madrasah yang berasaskan agama Islam
5) Mempertalikan hal-hal yang berhubungan dengan masjid-masjid, surau-surau dan
pondok-pondok, anak yatim, dan fakir miskin.25
Dalam organisasi NU ini kekuasaan tertinggi dipegang oleh Muktamar. Muktamar
diadakan sekali dalam lima tahun untuk membicarakan dan merumuskan: 1) Masa’il
diniyyah (masalah-masalah keagamaan), 2) pertanggung jawaban kebijaksanaan pengurus
besar, 3) Program Dasar NU untuk jangka waktu Lima tahun, 4) masalah-masalah yang
bertalian dengan agama, umat, dan Mas’alah ‘ammah (masalah yang bersifat umum), 5)
menetapkan anggaran dasar dan anggaran Rumah Tangga, dan 6) memilih Pengurus Besar.
Muktamar dihadiri oleh Pengurus Besar,Pengurus wilayah, dan Pengurus Cabang. Instansi
permusyawaratan tertinggi setelah Muktamar ialah Konferensi Besar. Konferensi besar ini
bertugas membicarakan pelaksanaan keputusan-keputusan muktamar, mengkaji
perkembangan organisasi serta perannya di tengah-tengah masyarakat, dan membahas
masalah keagamaan dan kemasyarakatan.26
Program kerja NU meliputi tiga belas bidang garapan, yaitu bidang diniyah
(keagamaan), bidang pendidikan dan kebudayaan, bidang dakwah, bidang Mabarrat
(sosial), bidang perekonomian, bidang tenaga kerja, bidang pertanian dan nelayan, bidang
generasi muda, bidang kewanitaan, bidang pemberdayaan sumber daya manusia, bidang
penerbitan dan informasi, bidang kependudukan, dan bidang lingkuangan hidup.27
Badan otonom adalah perangkat organisasi NU yang berfungsi membantu
melaksanakan kebijakan NU, khususnya yang berkaitan dengan kelompok masyarakat
tertentu. Kepengurusan Badan Otonom diatur menurut peraturan Dasar dan Peraturan
Rumah Tangga masing-masing serta berkewajiban menyesuaikan akidah, asas, tujuan, dan
usahanya dengan NU.
NU mempunyai sembilan badan otonom, yaitu:
a. Muslimat Nahdlatul Ulama, organisasi wanita NU.
b. Gerakan Pemuda Anshor (GP Anshor), organisasi pemuda NU.
c. Fatayat NU, organisasi pemudi NU.
25
Ahmad Syaukani, Op.Cit, h. 133.
26
Dewan Redaksi Eniklopedi Islam, Op.Cit, h. 345.
27
Ibid, h. 346.
16
d. Ikatan Putra Nahdatul Ulama (IPNU), organisasi remaja NU.
e. Ikatan Putri-Putri Nahdatul Ulama (IPPNU), organisasi remaja putri NU
f. Jami’iah Ahl at-Tariqah al-Nu’tabarah an-Nahdiyyah, organisasi pengikut tarekat
Muktabarah di kalangan NU
g. Jam’iah al-Qurra’ wa al-Huffaz, organisasi qari dan penghafal Al-Qur’an.
h. Persatuan Guru Nahdlatul Ulama.
i. Ikatan Sarjana Islam Indonesia.28
28
Ibid, h. 347.
29
K.H. Firdaus, Syarikat Islam bukan Budi Utomo (meluruskan Sejarah Pergerakan Bangsa), (Jakarta: CV.
DATAYASA, 1997), h.9
17
H. Ahmad Dahlan, dengan Muhammadiyahnya; K.H. Wahab Hasbullah dan K.H.
Hasyim Asy’ari, dengan Tswirul Afkar dan NU-nya, serta berbagai tokoh dan organ
islam lain yang juga mendukung arah perjuangan SI.30
Mula-mulanya organisasi ini adalah Serikat Dagang Islam (SDI) di bawah pimpinan H.
Samanhudi. Kemudian namanya diganti menjadi Sarekat Islam (SI) dipimpin oleh
H.O.S. Cokroaminoto.
Tujuan organisasi ini sebagaimana tercantum dalam anggaran dasarnya ialah untuk
mengembangkan jiwa berdagang, memberi bantuan kepada anggota-anggota yang
menderita kesukaran, memajukan pengajaran dan semua yang mempercepat naiknya
derajat bumiputra, dan menentang pendapat-pendapat yang keliru tentang islam.
Pergantian nama dari Sarekat Dagang Islam (SDI) menjadi Serikat Islam (SI)
dilakukan ketika kepemimpinan H.O.S Cokroaminoto. Cokroaminoto diserahi untuk
memimpin organisasi ini pada tahun 1912. Ia berusaha melebarkan sayapnya agar lebih
luas dengan menukar nama SDI menjadi SI. Akhirnya Serikat Islam di bawah pimpinan
Cokroaminoto memperoleh kemajuan yang gilang gemilang, dan anggotanya banyak
tersebar di seluruh Indonesia.31
Usaha dan jasa Cokroaminoto dalam memimpin Sarekat Islam ialah:
1) Mengangkat kaum bumiputra menjadi manusia yang sejati dan terhormat.
Sebelumnya, para pelajar sekolah dokter Jawa dan rakyat biasa tidak boleh
memakai sepatu dan topi, bahkan tidak boleh memakai setelan (baju jas dan
pantolan seperti orang belanda). Atas usaha Cokroaminoto, hal itu dapat diubah.
2) Mengajarkan dan memajukan rakyat dalam soal politik. Waktu itu rakyat dilarang
membicarakan politik. Atas usahanya, rakyat dibolehkan campur tangan dalam soal
politik, seperti terbentuknya Volksraad yang menjadi tangga terbentuknya
Parlemen Indonesia.
3) Berusaha mempersatukan umat islam Indonesia dengan berkali-kali mengadakan
kongres Al-Islam. Dalam kongres V di Bandung tahun 1929 diputuskan untuk
mengirim dua orang utusan ke Mukthamar Alam Islami di mekah yang diwakili
30
Nasihin, Sarekat Islam Mencari Ideologi 1924-1945, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h.48-49
31
Ahmad Syaukany, Op.Cit, h. 127.
18
oleh Cokroaminoto dan K.H. Mas Mansur. Dengan demikian, umat islam Indonesia
dunia.
4) Membela dan mempertahankan kesucian agama islam dari penghinaan dan caci
maki yang dilontarkan kepada Islam dan diri Nabi Muhammad SAW. pada waktu
itu banyak penghinaan dan cacian yang dilontarkan kepada Islam, lalu
Cokroaminoto menggerakkan umat islam untuk bangkit dan berdiri dalam
mempertahankan kesucian agama Islam.
5) Menerbitkan surat kabar Utusan Hindia yang berisikan keluh kesah rakyat serta
halaman kepada surat kabar yang berisi hinaan terhadap bangsa Indonesia.
6) Mengeluarkan buku yang berjudul Islam dan Sosialisme yang menerangkan
perkara sosialisme ala Islam menurut teori dan praktek. Di samping itu, buku ini
juga membendung propaganda sosialisme ala Karl Mark.
7) Pada tahun 1929, Cokroaminoto bersama H. Agus Salim menerbitkan harian Fajar
Asia, majalah Al-Jihad untuk menolak serangan dan cacian terhadap kesucian
agama Islam dan sebagai spirit untuk membangunkan Umat Islam.32
Tampilnya Sarekat Islam (SI) sebagai partai politik Islam pertama turut memberikan
warna tersendiri bagi kehidupan gerakan pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Pada
masa ke pemimpinan Cokroaminoto, fungsi SI, secara realistis, ialah berusaha menghapus
segala penderitaan rakyat, menganggap dirinya sederajat dengan setiap orang belanda.
Kontribusi SI terbesar dalam spektrum gerakan pembaruan Islam barangkali terletak pada
usahanya mengarahkan kesadaran umat Islam dalam berbangsa dan bernegara degan suatu
wawasan baru. Pengarahan demikian di kemudian hari mendorong munculnya gerakan-
gerakan Islam yang terlibat aktif dalam perjuangan kemerdekaan bangsa, yang
berkulminasi pada berdirinya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang didirikan di
Surabaya pada bulan September 1937.33
32
Ahmad Syaukany, Op.Cit, h. 128
33
Fachry & Bahtiar Effendi, Op.Cit, h. 75.
19
B. SIKAP KOLONIAL TERHADAP ORGANISASI ISLAM
1. KEBIJAKAN PEMERINTAH HINDIA BELANDA
Setelah VOC jatuh bangkrut pada akhir abad ke-18 pemerintah Belanda mengambil
alih kepemilikan VOC pada tahun 1816. Sebuah pemberontakan di Jawa berhasil
ditumpas dalam Perang Diponegoro pada tahun 1825-1830. Setelah tahun 1830 sistem
tanam paksa yang dikenal sebagai cultuurstelsel dalam bahasa Belanda mulai
diterapkan. Dalam sistem ini, para penduduk dipaksa menanam hasil-hasil perkebunan
yang menjadi permintaan pasar dunia pada saat itu, seperti teh, kopi dll. Sistem tanam
paksa ini adalah salah satu kebijakan yang diterapkan Hindia Belanda kepada
masyarakat Indonesia secara umum. Meskipun di Jawa pemberontakan besar-besaran
di bawah panji Islam telah berhenti setelah perang diponogoro, frekuensi
pemberontakan petani-petani di bawah pimpinan Islam setempat makin meningkat34
a) Asosiasi Keagamaan
Sejak 1889 taktik Belanda berubah dalam menghadapi ulama dan umat Islam.
Perubahan ini diletakan dasarnya oleh prof. Dr. Snouck Hurgronje yang diangkat
sebagai Adviseur Voor Inlandsche Zaken. Dari hasil risetnya baik selama di
Mekkah maupun di Aceh mengakui bahwa ulama dan santri merupakan kelompok
kecil yang sangat mempengaruhi politik rakyat dan raja-raja di Indonesia maka SH
34
Harry J. benda (terj), Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang, Jakarta:
Pustaka Jaya,1980., hlm 40
20
memberikan diagnosis yang dijadikan sebagai Dutc Islamic Policy. Ia melihat
Islam dari dua bagian, Islam sebagai agama dan Islam sebagai Politik, ulama dan
santri tidak berbahaya sekalipun mereka berada di desa-desa dekat dengan petani
jika mereka dijauhkan dari propaganda politik. Maka Belanda menjadikan mereka
tunapolitik (dipolitisasi) baik dari politik dalam negeri maupun luar negeri (pan
Islamisme dari Timur Tengah).
35
H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1996., hlm 23
21
menjadi salah satu sebab umat Islam (Kaum santri) selalu tidak setuju dengan
pemerintah, dan menilainya sebagai kafir.
Ulama dan santri yang bermata pencaharian sebagai petani akan mudah dipatahkan
dengan penguasaan atas tanah. Sistem tanam paksa ini benar-benar telah
melumpuhkan rakyat. Seperti yang telah digambarkan oleh Ronggowarsito
“...ngeres macek sasambate tanpa uwis, uwas kaworan maras” (keluh kesah tanpa
sudah, khawatir dan takut silih berganti). Pemelaratan petani Jawa Barat yang letak
geografinya dekat dengan Jakarta diperhebat. Belanda takut kepada ulama dan
santri Jawa Barat yang memberontak selama mereka mampu menguasai tanah
sawahnya. Karena itu pelaksanaan tanam paksa harus diperkeras dan diperlama.
Akibatnya kemelaratan benar-benar menindih kehidupan petani muslim Jawa
Barat, yang digambarkan dalam pribahasa Sunda ”nete semplek nincak semplak,
ngajuru dikebon tarum (segala usaha tidak berhasil, kesedihan dan kesusahan
bertimbun, sampai-sampai melahirkan pun di kebon tanam paksa Nila).
b) Asosiasi Kebudayaan
Dalam hal ini, menurut SH pertama, Belanda harus memisahkan antara
Islam sebagai agama dan Islam sebagai doktrin politik, karena makin jauh kedua
hal tersebut akan mempercepat proses kehancuran Islam. Untuk mencapai maksud
teresebut pemerintah harus menghidupkan golongan pemangku adat karena mereka
22
ini akan menentang Islam36. Kedua, Belanda juga harus mengadakan kerja sama
kebudayaan Indonesia- Belanda, hal ini dapat dicapai dengan memperalat golongan
priyai yang selalu berdekatan dengan pemerintah karena kebanyakan dari mereka
menjabat sebagai pamog praja. Ketiga, operasi meliter ke daerah pedalaman dan
menindak secara kekerasan terhadap para ulama, dan tidak memberi kesempatan
kepada mereka untuk merekrut para santrinya sebagai pasukan suka rela. Keempat,
Terhadap orang awam, pemerintah harus meyakinkan bahwa Belanda tidak
memusuhi agama Islam dan bahkan melindungi agama Islam37.
Petani sebagai basis suplai yang telah rusak kehidupannya, tidak mendapat
pembelaan dari Pangreh Praja pada saat itu. Raja-raja tidak mampu menolong
rakyat. Mereka telah kehilagan syariat Islam sebagai landasan hukum dasarnya.
Ronggowarsito menggambarkan sebaga “Mangkaya darajating Praja, kawuryan
wus sunya ruri, rurah pangrehing ukara, karana tanpa palupi” (kini tingkat derajat
negara, tampak telah sunyi sepi, rusak jalannya perundang-undangan, karena tanpa
teladan)
36
Ahmad Mansur Surya Negara, Menemukan Sejarah, Bandung, Mizan., hlm, 140
37
Ibid., hlm 140
23
conquest (bangsawan Indonesia telah kehilangan tambatan budaya dan politik
mereka, sebagai akibat penaklukan belanda). Kondisi demikian ini menyebabkan
kaum bangsawan yang kebanyakan sebagai Pangreh Praja sangat membantu skema
politik Islamnya Snouck Hurgronje.
1) Asosiasi pendidikan
Dalam bidang pendidikan permerintah Hindia Belanda menempatkan Islam
sebagai saingan yang harus dihadapi, sehingga Hindia Belanda menformalasikan
pendidikan barat sebagai faktor yang akan mengahancurkan Islam di Indonesia,
dalam hal ini SH sangat optimis bahwa Islam tidak akan sanggup bersaing dengan
pendidikan barat, dan ia menganngap agama ini beku dan penghalang kemajuan,
sehingga harus diimbangi dengan meningkatkan taraf kemajuan primbumi. Akan
tetapi pada kenyataannya, ramalan SH tersebut malah terbalik, hal itu disebabkan
munculnya ide modernisasi Islam yang menjalar kepada umat Islam. SH ternyata
juga belum memperhitungkan kesanggupan Islam menyerap kekuatan dari luar
untuk meningkatkan diri38. Sehingga dengan kebijakan tersebut, muncullah
nasionalis Islam yang belajar ilmu barat kemudian menjadi musuh bagi Belanda.
38
H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1996., hlm 51
24
mengharuskan Belanda membuat kebijakan kebijakan yang mengekang umat Islam
antara lain: Pertama: ordonansi guru, yaitu suatu kebijaksanaan pemerintah Hindia
Belanda yang mengharuskan setiap guru agama Islam untuk meminta dan
memperoleh izin terlebih dahulu utnuk melaksanakan tugasnya sebagai guru
agama39.
Kebijakan ini menibulkan banyak reaksi umat Islam baik dari kaum pribumi
maupun dari organisasi Islam seperti Muhammadiyah. Kedua, Ordonansi sekolah
liar, kebijakan ini dikeluarkan oleh pihak Belanda karena menjalarnya pendidikan
Islam swasta yang dianggapnya mengancam pihak Belanda, dengan begitu Belanda
melarang mendirikan sekolah-sekolah tampa izin pemerintah, kebijakan ini ini
mendapat kritik keras oleh tokoh pendidikan Ki Hadjar. Partai politik turut
mendukung protes tersebut dan memperjuangkanya di Volksraad. Begitu juga
dengan surat-surat kabar saat itu. Akhirnya pada 1935, setelah dua tahun
mengalami proses alot, ordonansi sekolah liar dihapuskan40.
39
H. Aqib Suminto, Ibid. hlm 51
40
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan, Depdikbud, hlm. 20-21.
41
J.C. Van Leur, 1955. Hal 143
25
pesantren. Dalam hal ini Clifford Geertz Menyatakan pada abad ke 19 saja Belanda
menghadapi empat kali pemberontakan besar dari kaum santri. Peperangan ini oleh
ahli sejarah sering disebut dengan perang Sabil (Holy War). Yaitu perang Cirebon
(1802-1806), perang Diponegoro (1825-1830) yang sering disebut sebagai perang
Jawa Tengah yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro di bawah panji Islam,
perang Paderi di Sumatra Barat (1821-1838) sebagai akibat dari intervensi politik
Belanda terhadap perang adat melawan ulama, kemudian di Aceh (1873-1908)
sebagai pemberontakan santri terpanjang karena Belanda menghadapi santri Aceh
sampai akhir kekuasaannya42. Perlawanan santri tersebut atau dikenal
dengan perang sabil tidak hanya terjadi pada abad ke 19 saja, menurut Harry J.
Banda menyatakan bahwa partisipasi ulama dan santri in berlangsung selama empat
abad. Hal inilah yang kemudian menyebabkan Belanda meletakan sistem baru
bagaimana mengeliminasi peran ulama yang sangat dominan itu. Belanda
menempuh cara menghancurkan ulama dan Islam dengan melancarkan politik
pengembangan agama Islam atau Kristenisasi. Namun gerakan ini hanya mampu
menarik suku-suku terasing masuk ke agamanya.
42
A. Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah, hal 24o
26
masalah atau sebab lain. Sebagian dari mereka tidak mengetahui keadaan kehinaan
Umat Islam yang diluar pagar rumahnya”. Ini merupakan gambaran buruk dari
ulama yang ada di pulau Jawa.
Lalu bagaimana keadaan ulama yang ada di Aceh yang tidak mau menyerah
kalah terhadap pemerintah kolonial?. Snouch Hurgronje menganjurka untuk
dilancarkan kebijaksanaan yang tanpa kenal belas kasih terhadap para ulama.
Belanda membuat ulama tidak mungkin lagi menjalankan fungsi kepemiminannya
dengan cara melancarkan serangan dan gangguan yang meletihkan. Selain itu, juga
menggunakan ulama bayaran. Ulama macam ini dibelinya dan dipersenjatainya,
kemudian ditugaskan untuk menyerang ulama-ulama militan.
27
Sedangkan politik Belanda sejak abad ke 18, berusaha mencegah asimilasi
antara Cina dan Islam. Kesatuan Islam dengan Cina akan mudah dujalinnya karena
memiliki latar belakang sejarah yang memudahkan kesatuan tersebut. Sebagai
misal, hubunga Cina dengan umat Islam telah terjadi pada abad ke 18, setelah
Belanda melancarkan pembunuhan terhadap Cina (1740). Peristiwa ini
menumbuhkan hubungan baik dan bahkan beberapa Cina masuk Islam, sehingga
terjadi kerja sama dalam menyerang benteng benteng Belanda.
28
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Organisasi-organisasi islam di Indonesia terbentuk karena faktor pembaruan
pemikiran islam yang di pelopori oleh orang-orang dari Timur Tengah seperti, Rasyid
Ridha, Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan lain-lain. Pada awalnya
pembaruan pemikiran dibidang pendidikan yang dilakukan oleh orang-orang Arab di
Indonesia yaitu organisasi Jami’atul Khair (1905) lalu berkembang dan berkembang
lagi dan timbullah organisasi sosial-keagamaan seperti, Sarekat Dagang Islam (SDI) di
bogor (1909) yang kemudian menjelma menjadi organisasi Sarekat Islam (SI), lalu
Muhammadiyah di Yogyakarta (1912), Persatuan Islam (Persis) di Bandung (1920),
Nahdlatul Ulama di Surabaya (1926) dan lain- sebagainya.
Peran Organisasi-organisasi tersebut bisa dikatakan sangatlah luar biasa baik itu di
bidang ekonomi, pendidikan, politik, maupun dalam mencapai kemerdekaan bagi
negara Indonesia. Hal tersebut juga masih kita rasakan sampai sekarang ini dimana
organisasi-organisasi islam tersebut banyak yang masih eksis dan menjaga kestabilan di
indonesia didalam sebuah pemerintahan.
Juga kehadiran Belanda mendapat perlawanan dari umat Islam Indonesia
terutama dari kaum Ulama dan Santri, terhitung hampir empat abad Belanda mendapat
perlawanan dari Umat Islam Indonesia dan pada abad ke 19 Belanda mendapatkan
empat kali perlawanan yaitu Perang Cirebon, Perang Diponegoro, Perang Paderi dan
Perang Aceh.
Perlawanan tersebut menuntut Belanda untuk mengeluarkan kebijakan atas
nasehat dari Snouck Hurgronje yang merupakan seorang profesor Belanda yang
didatangkan untuk mempelajari tentang Islam Indonesi. Kebijakan-kebijakan tersebut
meliputi, asosiasi keagamaan, asosiasi kebudayaan dan asosiasi pendidikan.
Atas saran dari Snouck Hurgronje pula Belanda menetapkan Politik Islam
Belanda yang mendepolitisasi umat Islam Indonesia. Ulama dan santri dijadikan
tunapolitik dan didesak kehidupannya di desa dengan menerapkan sistem tanam paksa
karena kebanyakan dari ulama dan santri merupakan seorang petani, Belanda juga
berhasil menghancurkan mental masyarkat Pribumi.
29
DAFTAR PUSTAKA
Nizar, Samsul, Sejarah Pendidikan Islam (menelusuri jejak Sejarah Pendidikan era Rasulullah
sampai Indonesia), Jakarta: Kencana, 2013.
Arifin, MT, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah dalam Pendidikan, Jakarta: Dunia Pustaka
Jaya, 1987.
Tim Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan, 1 Abad Muhammadiyah (gagasan
Pembaruan Sosial Keagamaan), Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010.
Dewan Redaksi Ensklopedi Islam, Ensklopedi Islam Cet. 4, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Firdaus, K.H., Syarikat Islam bukan Budi Utomo (meluruskan Sejarah Pergerakan Bangsa),
Jakarta: CV. DATAYASA, 1997.
Muhammadiyah, Hilmy & Sulthan Fatoni, NU: Identitas Islam Indonesia, Jakarta: elSAS, 2004.
Nasihin, Sarekat Islam Mencari Ideologi 1924-1945, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Syamsu, Muhammad, Ulama pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya, Jakarta: Lentera
Basritama, 1999.
Benda, Harry J. (terj), 1980, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa
Pendudukan Jepang, Jakarta: Pustaka Jaya
Jurnal al-Hikmah,2009, Paratai Politik Islam PadaMasa Orla dan Orba, vol.1/no.
30