Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

SEJARAH LAHIRNYA NU DAN NILAI-NILAI DASAR KE-NU-AN

Untuk Memenuhi Salah Satu Mata Kuliah Keaswajaan.


Dosen Pengampu : Ust. Dr. Ahmad Sodikin, M.Pd.

Disusun Oleh:

Khoirul Anam NIM. 2286230064


M. Zakky Ikhsan Fadli NIM. 2286230053
M. Irfan Amirulloh NIM. 2286230059

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS AGAMA ISLAM


UNIVERSITAS NURUL HUDA OGAN KOMERING
ULU TIMUR
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Sang Pencipta alam raya Allah
SWT. Yang telah memberikan petunjuk dan nikmat Kesehatan sehingga penuli
Dapat menyelesaikan karya tulis ini.

Puji shalawat salam tetap terlimpahkan kepada pendidik agung, pendidik


utama, pendidik umat manusia, Muhammad SAW. Yang telah memberikan
pencerahan pikiran melalui Al Qur’an sebagai hudan li nas rahmatan lil alamin.

Beliaulah pendidik terhebat dan teragung bagi seluruh alam semesta. Karya
tulis ini merupakan salah satu syarat untuk memenuhi tugas

Perkuliahan, penulis menyadari bahwa baik dalam perjalanan studi maupun


dalam penyelesaian tugas ini, penulis banyak memperoleh bimbingan dan motifasi
dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis menyampaikan rasa syukur dan
terimakasih sedalam-dalamnya.

Sukaraja, januari 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……………………………………………………………..i


KATA PENGANTAR ……………………………………………………….......ii
DAFTAR ISI ……………………………………………………….…………...iii

BAB 1 PENDAHULUAN …………………………………………………..…...1


A. Latar Belakang ……………………………………………………..…1
B. Rumusan Masalah ………………………………………………….....1
C. Tujuan Penulisan …………………………………………………..….2

BAB II PEMBAHASAN ………………………………………………...………3


A. Sejarah Kelahiran NU..…..…………………...……………………….3
B. Nulai-Nilai Dasar NU..
………………………………………………...5

BAB III PENUTUP ……………………………………………….……………..7


A. Kesimpulan ……………………………………………………......…
11
B. Saran ………………………...……………………………………….11

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Nahdlatul Ulama didirikan sebagai Jam’iyah Diniyah Ijtima’iyah (organisasi
keagamaan kemasyarakatan) untuk menjadi wadah perjuangan para ulama dan
pengikutnya. Tujuan didirikannya NU ini diantaranya adalah : Memelihara,
Melestarikan, Mengembangkan dan Mengamalkan ajaran Islam Ahlu al-Sunnah
Wal Jama’ah yang manganut salah satu pola madzhab empat: Imam Hanafi, Imam
Maliki,Imam Syafi’i dan Imam Hanbali, Mempersatukan langkah para ulama dan
pengikut-pengikutnya, dan Melakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk
menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian harkat
serta martabat manusia. Kendala utama yang menghambat kemampuan umat
melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar dan menegakkan agama dan karena
kemiskinan dan kelemahan dibidang ekonomi. Maka, muktamar mengamanatkan
PBNU untuk mengadakan gerakan penguatan ekonomi warga. Para pemimpin NU
waktu itu menyimpulkan bahwa kelemahan ekonomi ini bermula dari lemahnya
sumber daya manusianya (SDM). Mereka lupa meneladani sikap Rasulullah
sehingga kehilangan ketangguhan mental. Setelah diadakan pengkajian,
disimpulkan ada beberapa prinsip ajaran Islam yang perlu ditanamkan kepada
warga NU agar bermental kuat sebagai modal perbaikan sosial ekonomi meliputi
Mabadi Khaira Ummah, Khittah Nahdhiyah, dan UkhuwahNahdhiyah.

B. RUMUSAN MASALAH
a. Bagaimana sejarah kelahiran NU ?
b. Bagaimana konsep nilai-nilai dasar NU ?

C. TUJUAN PENULISAN
a. Menjelaskan konsep tentang sejarah kelahiran NU.
b. Menjelaskan konsep tentang nilai-nilai dasar NU.

iv
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Kelahiran NU
Pada awal abad 20, Islam Tradisionalis disaingi oleh kaum pembaharu
(modernis) yang ide-ide pembaharuannya diperoleh dari para pembaharu Timur
Tengah seperti Jamaluddin al-Afghani (1838-1897), Muhammad ‘Abduh (1849-
1905), dan Rasyid Ridha (1865-1935). Mereka yang tergolong ke dalam Islam
Modernis berusaha untuk menghilangkan sikap taklid yang dianut oleh Islam
Tradisionalis dengan mengikuti sikap talfik Mereka juga menganggap kaum
tradisionalis itu merupakan penyebab merosotnya ekonomi umat Islam yang saat
itu dijajah oleh etnis-etnis seperti Eropa Kristen, Cina, Arab, India dan Belanda.
Mereka juga memandang praktik keagamaan yang diajarkan kaum Tradisionalis
tidak bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah, seperti ziarah ke makam para wali
serta tawassul4yang dianggap syirik atau menyekutukan Allah. Mereka juga
berargumen tentang praktik sufi dan tidak suka dengan khotbah Jum’at yang
berbahasa Arab karena sebagian besar jama’ah tidak mengerti maksud yang
terkandung di dalamnya.
Perdebatan antara Islam tradisionalis dan Islam Modernis berlangsung sangat
panas. Mereka berdiskusi yang berpusat pada persoalan praktik ibadah, reformasi
pendidikan dan strategi dalam berorganisasi yang sudah lama dipertahankan oleh
Islam tradisionalis.
Sekitar tahun 1910-an, kedua pihak sudah mulai mengerti satu sama lain
terhadap perbedaan pendapat selama ini dan mereka mulai dilakukan kesepakatan-
kesepakatan dalam hal-hal seperti reformasi pendidikan dan pemberlakuan syarat-
syarat sebelum dilakukannya ijtihaddalam persoalan hukum Islam. Awal tahun
1920-an, Islam Modernis kembali mempermasalahkan ajaran keagamaan Islam
tradisionalis terhadap otoritas keagamaan kiai dalam memutuskan hal-hal yang
berkaitan dengan hukum agama.
Dalam pembentukan organisasi, kaum modernis sudah melakukan strategi
yang berlapis dengan membentuk sebuah madrasah sebagai tempat belajar
mengajar yang menjadi penguat organisasinya yaitu: Muhammadiyah didirikan

v
pada 1912 di Yogyakarta, al-Irsyad dibentuk pada 1914 di Jakarta dan Persis
(Persatuan Islam) didirikan pada 1923 di Bandung. Sementara itu, di sisi yang lain
Islam tradisionalis hanya memiliki tiga lembaga yaitu: Nahdlatul Wathan
(Kebangkitan Tanah Air) yang dibentuk pada 1916, Tashwirul Afkar (Forum
Diskusi Para Ulama) didirikan pada 1918 dan Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan
Saudagar) yang dibentuk pada 1918.
Nahdlatul Ulama atau biasa disingkat NU ini didirikan pada 31 Januari 1926 dan
bergerak dalam bidang sosial keagamaan7 yang dipimpin oleh KH. Hasyim
Asy’ari dan KH. Abdul Wahab Hasbullah sebagai penggerak dibalik
pembentukan NU. NU adalah organisasi Islam terbesar di Hindia-Belanda dan
berkembang pesat pada 1940-an. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dibagi dua
badan yaitu: Syuriah (Badan Keulamaan) dan Tanfidziyah (Badan Eksekutif) yang
dipimpin oleh sebagian besar beranggotakan saudagar dan pengusaha kecil. Pada
masa awal, syuriah diketuai oleh KH. Hasyim Asy’ari dan diberi gelar Rais
Akbar8 (Ketua Tertinggi), Ahmad Dahlan (Ahyad) sebagai Wakil Ketua, Kyai
Abdul Wahab Hasbullah sebagai Sekretaris, dan para anggota yang sebagian besar
berasal dari Jawa Timur.

B. NILAI-NILAI DASAR AN-NAHDLIYAH


1 Mabadi Khaira Ummah
a. Pengertian Mabadi Khaira Ummah
Mabadi Khaira Ummah merupakan langkah awal pembentukan langkah awal
pembentukan umat terbaik. Gerakan Mabadi Khaira Ummah merupakan langkah
awal pembentukan “umat terbaik” (Khaira Ummah) yaitu suatu umat yang
mampu melaksanakan tugas-tugas amar ma’ruf nahi mungkar yang merupakan
bagian terpenting dari kiprah NU karena kedua sendi mutlak diperlukan untuk
menopang terwujudnya tata kehidupan yang diridlai Allah SWT. sesuai dengan
cita-cita NU. Dan nahi mungkar adalah menolak dan mencegah segala hal yang
dapat merugikan,merusak dan merendahkan,nilai-nilai kehidupan dan hanya
dengan kedua sendi tersebut kebahagiaan lahiriyah dan bathiniyah dapat tercapai.
b. Butir-butir Mabadi Khaira Ummah dan pengertiannya
Perlu dicermati perbedaan konteks zaman antara masa gerakan mabadi khaira
ummah pertama kali dicetuskan dan masa kini. Melihat besar dan mendasarnya

vi
perubahan sosial yang terjadi dalam kurun sejarah tersebut, tentulah perbedaan
konteks itu membawa konsekuensi yang tidak kecil. Demikian pula halnya
denangan perkembangan kebutuhan interal NU sendiri. Oleh karena itu perlu
dilakukan beberapa penyesuaian dan pengembangan dari gerakan mabadi khaira
ummah yang pertama agar lebih jumbuh dalam konteks kekinian.Jika semula
mabadi khaira ummah tiga butir, maka dua butir perlu ditambahkan untuk
mengantisipasi persoalan kontemporer, yaitu ’adalah dan istiqamah, yang dapat
pula disebut dengan al-Mabadi al-Khamsah dengaan kerincian berikut ini:
Ash-shidqu. Butir ini mengandung arti kejujuran atau kebenaran, kesunguhann.
Jujur dalam arti satunya kata dengan perbuatan ucapan dengan pikiran. Apa yang
diucapkan sama dengan yang dibatin. Tidak memutarbalikkan fakta dan
meberikan informasi yang menyesatkan, jujur saat berpikir dan bertransaksi. Mau
mengakui dan menerima pendapat yang lebih baik.
Al-amanah wal wafa bil ‘ahdi. Yaitu melaksanakan semua beban yang harus
dilakukan terutama hal-hal yang sudah dijanjikan. Karena itu kata tersebut juga
diartikan sebagai dapat dipercaya dan setia dan tepat pada janji, baik bersifat
diniyah maupun ijtimaiyah. Semua ini untuk menghindarkan berapa sikap buruk
seperti manipulasi dan berkhianat. Manah ini dilandasi kepatuhan dan ketaatan
pada Allah.
Al’Adalah. Berarati bersikap obyektif, proporsional dan taat asas, yang menuntut
setiap orang menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, jauh dari pengaruh

egoisme, emosi pribadi dan kepentingan pribadi. Distorsi semacam itu bisa
menjerumuskan orang pada kesalahan dalam bertindak. Dengan sikap adil,
proporsional dan obyektif relasi sosial dan transaksi ekonomi akan berjalan lancar
saling menguntungkan.
At–ta’awun. Tolong-menolong merupakan sendi utama dalam tata kehidupan
masyarakat, manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan pihak lain. Ta’awun
berarti bersikap setiakawan, gotongroyong dalam kebaikan dan dan taqwa.
Ta’awaun mempunyai arti timbal balik, yaitu memberi dan menerima. Oleh
karena itu sikap ta’awun mendorong orang untuk bersikap kreatif agar memiliki
sesuatu untuk disumbangkan pada yang lain untuk kepentingan bersama, yang ini
juga berarti langkah untuk mengkonsolidasi masyarakat.

vii
Istiqamah, dalam pengertian teguh, jejeg ajek dan konsisten. Tetap teguh dengan
ketentuan Allah dan Rasulnya dan tuntunan para salafus shalihin dan aturan main
serta rencana yang sudah disepakati bersama. Ini juga berarti kesinambungan dan
keterkaitan antara satu periode dengan periode berikutnya, sehingga kesemuanya
merupakan kesatuan yang saling menopang seperti sebuah bangunan. Ini juga
berarti bersikap berkelanjutan dalam sebuah proses maju yang tidak kenal henti
untuk mencapai tujuan.
Kebangkitan kembali prinsip mabadi khaira ummah ini didorong oleh
kebutuhan-kebutuhan dan tantangan nyata yang dihadapi oleh NU khususnya dan
bangsa Indonesia pada umumnya. Kemiskinan dan kelangkaan sumber daya
manusia, kemerosotan budaya dan mencairnya solidaritas sosial adalah
keprihatinan yang dihadapi bangsa Indonesia umumnya dan NU pada khususnya.
Sebagai nilai-nilai universal butir-butir mabadi khaira ummah dapat dijadikan
sebagai jawaban langsung bagi problem-problem sosial yang dihadapi masyarakat
dan bangsa ini.

2. Khittah Nahdliyah
a. Pengertian Khittah Nahdiyah
Khittah artinya garis yang diikuti, garis yang biasa atau selalu ditempuh.
Kalau kata khittah dirangkai dengan Nahdhatul Ulama’(selanjutnya
disingkat NU), maka artinya garis yang biasa ditempuh oleh orang orang NU
dalam kiprahnya mewujudkan cita cita yang dituntun oleh faham keagamaannya
sehingga membentuk kepribadian khas NU.
Jadi pengertian Khitthah NU adalah landasan berfikir, bersikap,
danbertindakwarga NU, secara individual maupun organisatoris. Landasan yang
dimaksud adalah fahamAhlussunnah wal jama’ah yang diterapkan menurut
kondisi masyarakat Indonesia.
Itulah hakikat khittah NU yang kemudian dirumuskan dalam “Khittah NU” oleh
Muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo.

B. Latar Belakang Perumusan Khittah Nahdliyah

viii
Gagasan untuk merumuskan khittah NU baru muncul sekitar tahun 1975-an,
ketika NU sudah kembali menjadi jam'iyyah diniyah. (organisasi sosial
keagamaan). Karena sebelumnya NU memfusikan fungsi politik praktisnya ke
dalam PPP, sebagai tindak lanjut dari langkah penyederhanaan partai-partai di
Indonesia(1973).
Setelah kembali menjadi jam’iyah diniyah, baru terasa bahwa NU kembali
kepada garisnya yang semula, kepada khitthahnya. Terasa sekali selama ini ada
kesimpangsiuran. Ada kesemrawutan di dalam tubuh dan gerak NU. Banyak yang
berharap terutama kalangan ulama sepuh serta generasi muda, bahwa akan
tumbuh udara segar di dalam tubuh NU sehingga ada pembenahan dalam
bergerak.
Saat itulah mulai terdengar kalimat kembali kepada semangat 1926,
kembali pada khitthah 1926 dan lain-lain. Makin lama gaung semboyan tersebut
kian kencang. Apalagi fakta menunjukkan sesudah berfusi politik ke dalam PPP,
kondisi NU bukan bertambah baik, justru kian semrawut dan terpuruk.
Tetapi gagasan “kembali pada khitthah” itu terhadang oleh kesulitan tentang
bagaimana rumusannya. Apa saja yang termasuk unsur atau komponen khitthah
danbagaimana rumusan redaksionalnya. Orang sudah sering mengemukakan
bahwa NU sudah memiliki khitthah yang hebat. Tetapi bagaimana runtutnya dan
bagaimana jluntrungnya kehebatan itu, belum dapat diketahui, dipelajari dengan
mudah dan cepat.
Adapun sebab utama timbulnya kesulitan perumusan itu adalah: Pertama,
Nahdliyyin melalui ketauladanan dan petunjuk yang berangsur-angsur diberikan
oleh para ulama, dibanding dengan diberikan secara tertulis sekaligus legkap
berupa risalah.
Kedua, aktivitas tulis-menulis di kalangan para tokoh-tokoh NU
belum membudaya, masih lebih banyak merumuskan atau menyampaikan pesan
secara lisan dan kesulitan ketiga, kaum nahdliyyin umumnya belum biasa
menerima pesan-pesan atau pikiran- pikiran tertulis sebab budaya membaca belum
tinggi.
Namun betapapun sulitnya merumuskan Khitthah NU, perumusan harus
dilakukan karena hal itu sangat diperlukan. Sudah banyak generasi baru NU yang

ix
tidak sempat berguru secara intensif kepada tokoh generasi pertama. Tidak salah
kalau kemudian pemahaman dan penghayatan mereka terhadap apa dan
bagaimana NU secara benar, kurang mendalam dan lengkap. Padahal di antara
mereka yang tidak memiliki pengetahuan cukup memadai itu sudah banyak
berperan penting sebagai pengurus, wakil-wakil NU di berbagai lembaga dan lain-
lain. Pada sisi lain dokumen-dokumen yang dapat dipergunakan sebagai sarana
pewarisan penghayatan khitthah sangat minim atau boleh dibilang tidak ada.
Pada tahun 1979 menjelang diselenggarakannya Muktamar di semarang, Kiai
Achmad Siddiq yang tergolong pemikir di antara para pemikir NU yang
sedikit jumlahnya, merintis rumusan khitthah dengan menulis sebuah buku yang
berjudul Khitthah Nahdliyyah. Cetakan kedua dari buku tersebut terbit pada 1980
dan merupakan cikal bakal rumusan khitthah.
Pada 12 Mei 1983 di Hotel Hasta Jakarta, ada 24 orang yang mayoritas terdiri
daritokohtokoh muda NU. Mereka membicarakan kemelut yang melanda NU
dan bagaimanamengantisipasinya. Meskipun mereka tidak memiliki otoritas apa-
apa pada masa itu, namun kesungguhan mereka ternyata mendatangkan hasil.
Mula-mula mereka menginventariskan gagasan-gagasan, kemudian membentuk
”tim tujuh untuk pemulihan khitthah” yang bertugas merumuskan,
mengembangkan dan memperjuangkan gagasan. Rumusannya berjudul “Menatap
NU di Masa Depan” yang kemudian “ditawarkan” kepada segenap “kelompok” di
dalam NU.
Pendekatan demi pendekatan dilakukan. Hasil pertama ialah keberanian Rais
Aam Kiai Haji Ali Ma’sum beserta para ulama sepuh lainnya untuk mengadakan
Musyswarah Nasional Alim Ulama NU di Situbondo tepatnya di
Pesantren Salafiyah Syafi’iyah asuhan KH. As’ad Syamsul Arifin tahun 1983.
Panitia penyelenggara Munas adalah KH. Abdurrahman Wahid dan kawan-kawan
yang sebagian juga tokoh-tokoh Tim Tujuh atau juga dikenal sebagai Majelis 24.
Ternyata Munas Alim Ulama NU kali ini benar-benar monumental, memiliki
arti sejarah penting bagi NU, bahkan bagi tata kehidupan berbangsa dan bernegara
di Indonesia. Ada dua keputusan yang sangat penting, yaitu: Pertama, penjernihan
kembali pandangan NU dan sikap NU dan Pancasila, yang dituangkan dalam
dekralasi tentang hubungan Pancasila dengan Islam dan Rancangan

x
Mukaddimah Anggaran Dasar NU. Kedua, pemantapan tekad kembali pada
khatthah NU yang dituangkan dalam pokok-pokok pikiran tentang pemulihan
khitthah NU 1926.
Dengan keputusan-keputusannya, terutama dua keputusan tersebut, Munas
Alim Ulama NU 1983 dapat menerobos kemacetan menuju penanggulangan
kemelut internal NU, sekaligus mengubah citra organisasi dalam pandangan
hampir semua pihak di luar NU, terutama pihak pemerintah. NU yang selama
dasawarsa ini “dijauhi”, sekarang “didekati” bahkan disanjung-sanjung.
Keberhasilan Munas ini berlanjut dengan “rujuk internal” di Sepanjang,
Sidoarjo (rumah alm. KH. Hasyim Latif) beberapa waktu berselang. Dengan
begitu Muktamar ke-27 setahun kemudian, dapat diselenggarakan oleh PBNU
dalam kondisi sudah utuh kembali.
Ketika itu NU tidak lagi dipandang sebagi kelonpok eksklusif yang sulit di
ajakbekerjesama, tetapi sebagai kelompok yang positif konstruktif, tidak lagi
sebagai kelompok yang “harus ditinggalkan” tetapi menjadi “pihak yang
selalu diperlukan”.
Muktamar ke-27 yang diadakan di tempat yang sama pada 1984dan dibuka
oleh presiden, mendapat perhatian sangat besar dari semua pihak baik dalam
maupun luar negeri, serta tidak ketinggalan masyarakst pada umumnya. Seseorang
karyawan televisi Jepang menerangkan bahwa kunjungan massa sebanding
dengan ketika pemakaman Presiden Aquino di Filipina dan pemakaman Gamal
Abdul Naser di Mesir. Perusahaannya ingin menyuting dari udara. Tetapi sayang
tidak diizinkan.
Dengan bekal semangat dan tekad kembali kepada khitthah 1926 dan dengan
modal cikal bakal risalah Khitthah Nahdliyyah karya KH. Achmad
Siddiq yang dikembangkan dengan menatap NU masa depan (Tim Tujuh untuk
pemulihan Khitthah, 1983), serta dipadukan dengan makalah “Pemulihan
Khitthah NU 1926”. (KH. Achmad Siddiq pada Munas Alim Ulama NU,1983)
serta pokok-pokok pikiran tentang pemulihan khitthah NU 1926 (kesimpulan
Munas), maka Muktamar ke-27 Nahdlatul Ulama pada tahun 1984 di Situbondo
menetapkan rumusan terakhir “Khitthah Nahdlatul Ulama”.

xi
Di samping itu, Muktamar juga menerima dan mengesahkan keputusan
Munas Alim Ulama pada 1983, termasuk Deklarasi Tentang Hubungan Pancasila
dengan Islam. Inilah perjalanan panjang tentang Khitthah NU. Para pendahulu
telah berusaha memberikan alternatif bagi perjalanan NU pada masanya. Sekarang
tugas generasi muda NU untuk meneruskan prestasi para ulama terdahulu dengan
tetap menjaga kemurnian NU sebagai sebuah jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah
seperti harapan pendiri dan para pendahulu.
3. Ukhuwah Nahdliyah NU

a. Pengertian Ukhuwah Nahdliyah NU


Secara umum, ukhuwah dapat diartikan sebagai suatu sikap yang ciderminkan
rasapersaudaraan, kerukunan, persatuan, dan solidaritas yang dilakukan oleh
seseorang terhadaporang lain atau suatu kelompok kepada kelompok lain, dalam
interaksi sosial (Muamalahijtimaiyah). Sikap ukhuwah dalam masyarakat
biasanya timbul karena dua hal, yaitu :Adanya persamaan, dalam baik masalah
keyakinan/agama, wawasan, pengalaman,kepentingan, tempat tinggal maupun
cita-cita.

b. Sikap yang mempengaruhi Ukhuwah


Adanya kebutuhan yang dirasakan hanya dapat dicapai dengan melalui kerja
sama,gotong royong dan persatuan. Keberlangsungan sikap ukhuwuwah dalam
realisasi kehidupansosial dipengaruhi oleh beberapa sikap dasar, antara lain :
1. Saling mengenal (Ta’aruf)
2. Saling menghargai dan menegangkan (tasamuh)
3. Tolong menolong (ta’awun)
4. Saling mendukung (tadlamun)
5. Saling menyayangi (tarahum)

c. Sikap yang dapat mengganggu Ukhuwah


Sebaliknya, ukhuwah akan terganggu kelestariannya apabila terjadi sikap-
sikapdestruktif (Muhlikat) yang bertentangan dengan etika sosial yang baik
(akhlakul karimah),seperti :
1. Saling menghina (Assakhriyah)

xii
2. Saling mencela (allamzu)
3. Berburuk sangka (suudhan)
4. Suka mencemarkan nama baik (ghibah)
5. Sikap curiga yang berlebihan (Tajassus)
6. Sikap congkak (Takabb

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Dari materi yang sudah disampaikan diatas maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa Nahdlatul ‘Ulama sebagai jam’iyah diniyah adalah wadah para Ulama’ dan
pengikut-pengikutnya, dengan tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan
dan mengamalkan ajaran Islam yang berhaluan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
NU sebagai oraganisasi masyarakat terbesar di Indonesia telah memainkan
peranan yang penting dalam kemerdekaan dan perkembangan bangsa dan agama.
Sebagai oraganisasi yang bergerak dalam bidang sosial, pendidikan, dan dakwah
Islamiyah, NU telah memberikan banyak perubahan dan kemajuan. Semangat NU
zaman dahulu hingga sekarang semestinya harus tetap tumbuh, sehingga dapat
terus mewujudkan apa yang telah di cita-citakan oleh sang pendiri KH. Hasyim
Asy’ari.

B.SARAN
Sejarah sebagai sesuatu ibrah memiliki arti yang sangat penting bagi kehidupan
generasi selanjutnya. Akan jauh bijaksana, jika mampu mengambil pelajaran dari
kejadian-kejadian masa lampau dalam rangka menyusun kebijakan baru untuk masa
mendatang

xiii
DAFTAR PUSTAKA
Sumber: Abdul Mun’im DZ (Editor), Piagam Perjuangan Kebangsaan, 2011
(Jakarta: Setjen PBNU-NU Online)
IPNU IPPNU BUMI AYU, “Materi MAKESTA ke NU an”
MOH NAJIB, “Perjalanan NU dari masa ke masa part I”, diakses dari http://my-
dock.blogspot.sg/2013/03/perjalanan-nahdlatul-ulama-dari-masa-ke.html

MOH NAJIB, “Perjalanan NU dari masa ke masa part II”, diakses dari http://my-
dock.blogspot.sg/2013/03/perjalanan-nahdlatul-ulama-dari-masa-ke_9.html

MOH NAJIB, “Perjalanan NU dari masa ke masa part III”, diakses dari
http://my-dock.blogspot.sg/2013/03/perjalanan-nahdlatul-ulama-dari-masa-
ke_6718.html

xiv

Anda mungkin juga menyukai