Dosen Pengampu:
Disusun Oleh:
Bismillahirrahmanirrohim
Alhamdulillah atas kehadirat ALLAH SWT yang telah memberi taufiq serta nikmat sehat yang tiada
batasnya serta menciptakan akal untuk berfikir sehingga termotivasi untuk ilmu pengetahuan.sehingga
penulis diberi kemampuan untuk menyelesaikan makalah ini dengan proses berfikir dan mengkaji dalil
yang sesungguhnya itu tidak mudah tanpa karunia mu.
Sholawat dan salam semoga tetap tercurah limpahkan atas nabi Muhammad SAW semoga syafaatnya
senantiasa melimpahi kehidupan kita amiin.
DAFTAR ISI
COVER
PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I.PENDAHULUAAN………………………………………………………………………..
BAB II.PEMBAHASAN...................................................................................................................
1. Kesimpulan................................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………….
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Berdirinya Nahdlatul Ulama (NU)
NU didirikan di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926 oleh para ulama yang samasama memiliki
kepaduan wawasan keagamaan dan bisa menyebut diri mereka dengan al-Sunnah wa al-Jama’ah.
Pandangan ini menekankan pada tiga prinsip. Pertama, dalam bidang teologi cenderung mengikuti
paham Asy’ariyyah dan Maturidiyyah; kedua, dalam bidang fiqh cenderung mengikuti empat mazhab
yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali; dan ketiga, dalam bidang tasawwuf lebih cenderung pada
pemikiran al-Junayd.
Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka K. H. Hasyim Asyari merumuskan kitab Qanun
Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I’tiqad Ahlussunnah Wal 'amaah. Kedua kitab
tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga
NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
Peran NU dari sejak berdirinya, 1926, sampai hari ini cukup signifikan. Tidak hanya dalam hal
keagamaan, melainkan juga dalam bidang-bidang lain, termasuk politik."ini, ketika NU memasuki usia
84 tahun, kami menyuguhkan penggalan-penggalan kisah
sepuluh tokoh berpengaruh dalam kehidupan ormas keagamaan terbesar di Indonesia itu,diantaranya
ialah :
1. Hadratusy Syaikh ".K. H. Hasyim Asy-ari:.
2. K. H. Abdul Wahab Chasbullah
3. K. H. Bisri Syamsuri
4. K. H. Ahmad Siddiq
5. K. H. Wahid Hasyim.
6. K. H. Ilyas Ruhiyat
7. K. H. M A Sahal Mahfudz
8. K. H. Idmam Kholid
9. K. H. Ali Maksum
10. K. H. Abdurrahman Wahid
Tujuan didirikannya NU adalah untuk memelihara, melestarikan, mengemban
g k a n d a n mengamalkan ajaran islam yang berhaluan Ahlussunnah Wal 'ama-ah dengan
menganut salahsatu dari madhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) serta mempersatukan
lagkah para ulama beserta pengikut-pengikutnya dan melakukan kegiatan-kegiatan yang
bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian
harkat serta martabat manusia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Corak Pemikiran Nahdlotul Ulama
1. Nahdlatul Ulama mendasarkan paham keagamaannya kepada sumber ajaran islam, yaitu Al-
Quiran, As-Sunnah, Al, Ijma’ (kesepakatan pada sahabat dan ulama), dan A Qiyas (analogi).
2. D a l a m m e m a h a m i , m e n a f s i r k a n I s l a m d a r i s u m b e r - s u m b e r n y a d i a t a s ,
N a h d l a t u l U l a m a mengikuti paham Ahlussunnah Wal Jamaah dan menggunakan jalan
pendekatan IAl Madhab. Di bidang bidang aqidah, Nahdlatul Ulama mengikuti paham
Ahsusunnah Wa J'amaah yang di pelopori oleh Imam Abul Hasan Al Asy’ari dan Imam
Manshur Al Maturidi. Di bidang Fiqh, Nahdlatul Ulama mengikuti jalan pendekatan (AL-
Madzhab) salah satu dari empat madzhab, yaitu : Abu an Hanifah An Nu’man, Imam Malik bin
Anas, Imam Muhammad bin Idris As- Syafi-i, serta Imam Ahmad bin Hambal. Di
bidang Tasawuf mengikuti Imam Al Junaidi Al Baghdady dan Imam Ghazali, serta imam
lainnya.
3. Nahdaltul Ulama mengikuti pendirian bahwa Islam adalah agama yang fitri yang bersifat
menyempurnakan segala kebaikan yang dimiliki oleh manusia. Faham keagamaan
yang dianut Nahdlatul Ulama bersifat menyempurnakan nilai-
nilai yang baik yang sudah ada dan menjadi milik serta ciri-ciri suatu kelompok manusia
seperti suku maupun bangsa, dan tidak bertujuan menghapus nilai-nilai tersebut.
Sebagai upaya untuk mengakomodasi persoalan-persoalan yang dihadapi ummat, khususnya dalam
persoalan hukum suatu perkara, maka NU membentuk sebuah lembaga yang dikenal dengan lembaga
bahth al-masa’il (pembahasan mengenai berbagai macam permasalahan). Untuk memahami corak
pemikiran hukum yang dikeluarkan oleh lembaga ini secara obyektif, maka sedikit banyak akan bisa
dibaca dari kerangka ijtihad yang mereka lakukan.
Secara garis besar, NU agaknya memang terkesan hati-hati dalam menafsirkan problematika hukum
yang berkembang di tengah masyarakat. Kelihatannya organisasi ini menganggap karya-karya fiqh
mazhab sebagai pedoman utama. Hal ini berkorelasi erat dengan pandangan NU terhadap mata rantai
transmisi ilmu pengetahuan Islam yang disinyalir tidak boleh terputus. Sehingga yang muncul kemudian
adalah bahwa ketika NU berkeinginan memecahkan hukum suatu persoalan, maka yang selalu dilakukan
adalah menelusuri mata rantai yang baik dan sah pada setiap generasi (Zamakhsyari Dhofier, 1984:149-
153). Pandangan seperti ini misalnya terlihat dari pernyataan K.H. Hasyim Asy’ari dalam pengantar
Anggaran Dasar NU tahun 1947.
“Sesungguhnya umat Islam telah sepakat dan serujuk bahwasannya agar memahami mengetahui dan
mengamalkan syariat agama Islam dengan benar, harus mengikuti orangorang terdahulu. Para tabi’in di
dalam mengajarkan syari’at mengikuti atau berpegang pada amaliah sahabat Rasulullah. Sebagaimana
generasi setelah tabi’in mengikuti para tabi’in, maka setiap generasi selalu mengikuti generasi sebelumnya.
Akal yang waras menunjukkan kebaikan sistem yang demikian ini. Karena syari’at agama Islam tidak dapat
diketahui kecuali dengan jalan memindahkan dari orang-orang terdahulu dan mengambil pelajaran dan
ketentuan atau patokan dari orang-orang terdahulu itu” (KH. Hasyim Asy’ari, 1971:37).
Pernyataan K.H. Hasyim Asy’ari di atas menunjukkan alasan yang dikemukakan oleh NU mengapa
perlu berkonsultasi dengan kitab-kitab ‘ulama empat mazhab yang dianggap mu’tabar.
NU mengambil mazhab Syafi’i sebagai dasar paham keagamaannya terutama dalam bidang fiqh.
Penyandaran ke mazhab ini bukan berarti mazhab yang selainnya berkualitas lebih rendah dan tidak
benar, akan tetapi lebih karena faktor sejarah (Muzadi, 1986: 40-46). Dengan kata lain, NU melanjutkan
tradisi bermazhab Syafi’i dikarenakan para penyebar Islam di Nusantara pada masa dahulu sebagian
besar bermazhab Syafi’i (Azra, 1995: 23-28). Lagi pula secara geografis dan sosiologis masyarakat
Indonesia merasa lebih sesuai dengan paham ini.
Tradisi bermazhab sedemikian rupa dilestarikan oleh NU melalui lembaga pendidikan pesantren
yang berada di bawah naungan NU Dalam sejarahnya, organisasi massa ini tidak bisa dipisahkan dengan
dunia pesantren, karena pesantren merupakan bagian integral dari NU. Tidak heran bila beberapa
pengamat pemikiran keagamaan di Indonesia mengelompokkannya dalam golongan tradisionalis (Noer,
1986: 150-225).
Meskipun NU menyatakan dan mengambil sikap bermazhab dalam memahami dan mengamalkan
ajaran-ajaran Islam, bukan berarti organisasi ini menolak adanya ijtihad. Yang dikehendaki NU adalah
bahwa ijtihad hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang telah memenuhi persyaratan sebagai
seorang mujtahid seperti yang termaktub dalam kitab-kita usul al-fiqh. Bagi mereka yang telah
memenuhi persyaratan tersebut tidak diperkenankan lagi untuk bertaqlid. Sedangkan orang-orang yang
tidak memenuhi kualifikasi tersebut lebih baik taqlid kepada ulama yang memiliki otoritas untuk
berijtihad. Taqlid oleh NU bukan hanya dipahami sebagai mengikuti pendapat seseorang tanpa diketahui
dalilnya, akan tetapi juga mengikuti jalan pikiran imam mazhab dalam menggali suatu hukum (Shidiq,
1980: 36- 41) .
Sekalipun demikian, NU masih saja terkesan berhati-hati dalam menafsirkan Islam dan terlihat
konservatif. Hal ini misalnya dapat dilihat dari penyelesaian kasus-kasus fiqhiyyah. NU dalam sebagian
besar keputusannya masih tetap mengembalikan kepada pendapat-pendapat ulama mazhab, terutama
mazhab Syafi’i (Zul Ashri, 1990: 93).
Meski argumen di atas dapat diterima, tapi NU yang bergerak dinamis, khususnya selama berada di
bawah pimpinan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), para generasi muda NU terus memasukkan
gagasan-gagasan pembaharuan di tubuh NU. Sebagai contoh keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes
NU di Bandar Lampung tahun 1992 yang diantaranya memasukan perlunya bermazhab secara manhaji.
Yakni bermazhab pada kaidahkaidah yang digunakan oleh para ulama mazhab dalam ijtihad mereka
(Tim Penyusun Munas Lampung, 1993: 1-8).
Fakta ini menunjukkan bahwa pandangan dan sikap NU dalam paham keagamaan mengalami
dinamika tersendiri yang menuju arah pembaharuan secara internal. Namun demikian yang perlu
digarisbawahi NU tetap pada sikap semula yang menyatakan bahwa ijtihad dalam arti pembentukan
mazhab baru adalah tidak bisa diterima, sebab pembentukan mazhab baru dianggap tidak perlu.
Secara organisatoris, di dalam NU, Syuriah merupakan institusi yang berkompeten dalam bidang
keputusan hukum untuk hal pemberian fatwa. Melalui forum bahth al-masa’il para ulama yang
tergabung dalam institusi Syuriah melakukan ijtihad secara jama’i. Bahkan dalam struktur
keorganisasian NU, Syuriah memiliki otoritas tertinggi, baik dalam memberikan fatwa, melakukan
pengawasan maupun bimbingan kepada unsur-unsur lain dalam NU. Sebagaimana disebutkan dalam
pasal 16 Anggaran Dasar NU bahwa Syuriah adalah pimpinan tertinggi NU (Tim Penyusun Pedoman
PenyelenggaraanOrganisasi NU, tt : 17).
Penyelesaian berbagai kasus fiqh dalam Bahth al-Masa’il NU diusahakan untuk dikonsultasikan
dengan kitab-kitab mazhab Syafi’i dengan prioritas pendapat yang disepakati oleh al-Nawawi dan al-
Rafi’i. Bila terdapat perbedaan di antara kedua ulama tersebut, maka yang lebih dipegangi adalah
pendapat al- Nawawi. Jika dalam kitab alNawawi tidak dapat ditemukan jawaban dari permasalahan
yang muncul, maka dicari dalam karya-karya al-Rafi’i. Dan jika dalam karyanya tidak pula ditemukan
jawabannya, maka dicari pendapat-pendapat yang dipegang oleh jumhur ‘ulama’.
Ketika berhadapan dengan kasus-kasus baru yang tidak dapat dikembalikan kepada pendapat ulama
Syafi’i maka Syuriah NU melakukan qiyas, baik kepada asal maupun kepada cabang. Qiyas kepada asal
adalah upaya penyamaan hukum dari satu peristiwa yang belum ada nas hukumnya dengan persoalan
yang sudah ada nasnya. Sementara qiyas kepada cabang adalah qiyas kepada pendapat ulama mengenai
suatu peristiwa (Zahra,tt:183-184).
1. ISTIQOMAH
Lisannya selalu istiqamah dzikir "La Ilaha Illallah" (kalimat Talqin) dan hatinya selalu berniat
baik dalam setiap hal apa pun. Dari sikap istiqamah inilah yang membuat warga NU punya banyak
rutinan saban hari seperti tahlilan, shalawat Nariyah, shalawatan bareng, istighotsah, manakib, ratiban,
khataman Qur'an, dan lain sebagainya. Bahkan setiap organ NU, punya rutinan sendiri-sendiri. Muslimat
punya rutinan pengajian. Fatayat punya rutinan diba'an. PCNU punya rutinan lailatul ijtima. Ansor
punya rutinan majelis dzikir dan shalawat Rijalul Ansor. IPNU-IPPNU punya rutinan shalawatan dan
latihan pidato.
2. ISTIFADAH
Yaitu terus menambah ilmu, sehingga tak heran dalam setiap acara NU selalu ada sesi mauidlah
hasanah. Selain itu kegiatan NU juga selalu diakhiri dengan pembacaan surat Al-'Ashr tiga kali dengan
tujuan untuk mengingatkan bahwa warganya selalu berupaya menambah iman, amal saleh serta saling
mengingatkan dalam kebaikan dan kesabaran.
3. ISTISYAROH
Istisyaroh artinya suka musyawarah. Sebab apa pun keputusan di NU, selalu diambil dengan
jalan musyawarah. Tak lupa juga di NU juga ada tradisi Bahtsul Masail yaitu musyawarah untuk
membahas status hukum suatu masalah (utamanya masalah baru atau kekinian), yang tak ada
penjelasannya di Al-Qur'an dan Hadits.
4. ISTIKHARAH
Semua keputusan di NU, diupayakan selalu dengan pendekatan langit. Seperti pendirian
organisasi NU saja, KH Hasyim Asy'ari masih menunggu istikharah dari KH Kholil Bangkalan selama
dua tahun. Sebelumnya KH Wahid Hasyim ketika diminta ayahnya yaitu KH Hasyim Asy'ari untuk
membantu NU, beliau tidak langsung menjawab ya. Akan tetapi beliau istikharah dulu selama empat
tahun, sembari mempelajari kitab-kitab dan landasan-landasan amaliah NU.
5. ISTIGHOTSAH
Inspirasi Istigotsah ini berasal dari cerita Nabi Muhammad SAW yang melakukan istighotsah
jelang Perang Badar. Sebagaimana diabadikan dalam QS Al-Anfal ayat 9, Nabi Muhammad SAW juga
pernah berpesan kepada sahabat Ketika punya masalah agar istigosah dengan membaca kalimat "ya
Hayyu Ya Qoyyum, Birahmatika Astaghitsu".
Terakhir saya akan kutipkan sebuah ayat Al-Qur'an dan dawuh Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi
sebagai berikut:
Jadilah engkau pemaaf dan serulah orang-orang yang mengerjakan yang makruf serta berpalinglah dari
orang-orang yang bodoh {Q.S. Al-A’raf}
Saling sesama teman adalah keharusan. Padanya berpusat segala urusan, maka saling berwasiatlah
kepada teman.
Semoga tulisan ini bisa bermanfaat, terkhusus buat semua warga NU..
"Ya Allah Ya Rabbana. Hidupkanlah kami bersama Ulama-Ulama NU, cabutlah nyawa kami di saat
berkhidmah untuk NU dan kepada Ulama-Ulama NU serta kumpulkanlah kami kelak di akhirat bersama
rombongan Ulama-Ulama NU dibelakang Rois Akbar kami Hadrotussyaikh Mbah Hasyim Asy'ari.
Amiin Ya Rabbal 'Alamiin"
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari uraian keterangan di atas kami dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut :
DAFTAR PUSTAKA
1900-1942
, (Jakarta: PT Pustaka LP3ESIndonesia, 1996)Fadeli, Soeleiman dan Mohammad Subhan.,
Antologi NU
, (Surabaya: Khalista,2010)Hussein Badjerei,
Al-Irsyad Mengisi Sejarah Bangsa
, (Jakarta: Presto Prima Utama.1996)http://www.muhammadiyah.or.id diakses pada 06-04-
2014.http://www.nu.or.id diakses pada 05-03-2014K. H,M. Isa Anshori,
Menifes Perjuangan Persaatuan Islam,
(Bandung: Pasifik,1958)LPP WAMI.
Gerakan Keagamaan dan Pemikiran
. (Jakarta:Al-IslahyPress.1995)
Rozikin Daman,
Membidik NU,
(Yogyakarta: Gama Media, 2001)Masyhur Amin,
NU & Ijtihad politik Kenegaraannya,
(Yogyakarta: AL-Amin, 1996)Solikhin,
Sejarah Peradaban Islam
, (Semarang: Rasail, 2005)Musthafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban,
Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2000)Tim Pembina Al-Islam dan Kemuhammadiyahan Universitas
Muhammadiyah malang,
Muhammadiyah Sejarah, pemikiran dan Amal Usaha,
(Malang: PT Tiara Wacana Yogya danUniversitas Muhammadiyah Malang Press, 1990)