Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Fikih dan Ushul Fiqih disetiap masyarakat berbeda-beda. Banyak


corak fikih dan ushul fiqih yang terdapat di Negara-negara atau daerah-
daerah tertentu. Setiap ulama dalam menentukan hukum fiqih tentu saja
banyak berbeda pemikiran. Seperti pemikiran imam Hambali dan imam
Syafi’i dalam menentukan hukum fikih, tentu ada yang berbeda dari
pemikiran keduanya. Perbeda ini juga di pengaruhi oleh kondisi
masyarakat di daerah tersebut. Seperti masalah adat istiadat, atau di dalam
ushul fiqih dikenal dengan ‘Urf, masalah kemaslahatan, dan sebagainya.

Di Indonesia juga pandangan para ulama berbeda-beda. Seperti


pandangan fikih dan ushul fikih NU dan Muhammadiyah. Meskipun guru
dari pendiri keduanya sama, tetapi cara berfikir dari pendiri keduannya
berbeda. Muhammadiyah lebih mengarah kepada politik, sedangkan NU
lebih mengarah kepada mempertahankan tradisi yang ada di masyarakat
Indonesia. Tentu saja pemikiran itu dilatarbelakangi oleh pola pikir dari
pendirinya masing-masing.

Pada makalah ini kita akan membahas tentang pemikiran Fikih dan
Ushul Fikih dari Bashu Masail NU. Kita akan membahas tentang sejarah
berdirinya, pola pikir, dan karya-karya dari Bashu Masail NU. Materi ini
dibahas guna menambah pengetahuan kita bagaimana cara Bashu Masail
NU dalam menetapkan Fikih dan Ushul Fikih dan merampungkan tugas
yang diamanahkan ke kami.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sejarahBathu Masail NU?
2. Bagaimana pola pikir atau sistem dari Bathu Masail NU?
3. Bagaiman Fiqrah NU?
4. Bagaimana dinamika NU?
5. Bagaiman Aplikasi dari Bathu Masail NU?

C. TUJUAN
1. SejarahBathu Masail NU
2. Pola pikir atau sistem dari Bathu Masail NU
3. Fiqrah NU

1
4. Dinamika NU
5. Aplikasi dari Bathu Masail NU

2
BAB II

PEMBAHASAN

NU lahir pada tanggal 31 Januari 1926 didirikan oleh para kiai pesantren.
Antaralain KH. Hasyim Asy’ary, KH. Abdul Wahab Chasbullah, KH, Asnawi dan
lain-lain. Rais Akbar PBNU pertama dipegang oleh KH. Hasyim Asy’ari. NU
merupakan Jam’iyyah Diniyyah Islamiyyah beraqidah Islam menurut paham
ahlussunnah wal jamaah mengikuti salah satu empat madzhab dalam fiqih.1
Di dalam NU, bagian khusus yang mengurus masalah ijtihad hukum Islam
adalah Lajnah Bahtsul Masail. System pengambilan hukum Islam dalam Bahtsul
MAsail Nahdlatul Ulama (BMNU) diterapkan dalam Musyawarah Nasional
(Munas) alim Ulama NU di Bandar lambung pada 21-25 Januari 1992.
Menurut KH. Hussein Muhammad, secara umum, system pengambilan
keputusan BMNU dirumuskan dalam tiga atau prosedur. Pertama, melalui apa
yang disebut Taqrir jama’i. Melalui cara ini permasalahan hukum dicarikan
jawabannya dengan mengutip kitab-kitab kuning yang dijadikan rujukan. Cara
taqrir dilatarbelakangi oleh suatu pandangan bahwa apa yang sudah diputuskan
oleh ulama (Qaul al-faqih) masa lalu selalu memiliki relevansi dengan kehidupan
masa kini dan harus dipakai tanpa reserve. Prosedur ini dipandang memasung
kreatifitas ijtihad NU.2
Kedua, prosedur penetapan hukum yang disebut ilhaq al-masail bi
nadzairiha, sebagai istilah pengganti qiyas yang dipandang tidak patut dilakukan.
Pada ilhaq, yang dipersamakan adalah persoalan fiqih yang belum ditemui
jawabannya dalam kitab kuning secara tekstual dengan persoalan yang sudah ada
jawabannya dalam kitab kuning. Sedangkan qiyas adalah persoalan yang belum
terjawab dianalogkan kepada Al-Qur’an dan Hadits karena adanya kesamaan ilat.
Meskipun lebih maju dibandingkan yang prosedur penetapan hukum yang
pertama, tetapi secara substensial unsur taqlidnya masih sangat kental.3
Ketiga, penetapan hukum Islam ala NU yang disebut istinbath, suatu
istilah lain ijtihad yang ingin dihindari oleh NU. Secara esensial, istinbath dan
ijtihad adalah dua istilah yang sama, yaitu melakukan kajian intensif dan
maksimal dari para ahli terhadap persoalan-persoalan fiqh melalui teori-teori atau
kaidah-kaidah fiqh. Inilah yang kemudian disebut fiqh manhajy atau berijtihad
secara manhajy.4 Prosedur penetapan Ijtihad NU yang ketiga ini mulai
diwacanakan dan didorong untuk dilaksanakan NU agar ijtihadnya lebih kreatif
dan orogresif.

1
M. Ali HAidar. Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik (Jakarta:
Gramedia, 1998), h. 69.
2
M. Imdadun Rahmat (ed,), Op. Cit., h. 27.
3
Ibid, h. 31.
4
Ibid, h. 33.

3
Dalam Munas Alim Ulama DI Bandar Lampung tahun 1992, secara garis
besar, metode pengambilan keputusan hukum yang digunakan NU dirinci menjadi
dua bagaian. Bagian pertama memuat keten tuan umum, dan bagaian kedua
memuat sistem pengambilan keputusan hukum serta petunjuk pelaksana.
Dalam ketentuan umum dijelaskan mengenai al-kutub al-mu’tabarat yaitu
kitab-kitab yang sesuai dengan akidah ahlussunnah waljamaah. Penjelasan berikut
merupakan rumusan mengenai cara-cara bermadzhab atau mengikuti aliran
hukum (fikih0. Madzhab fikih dapat diikuti dengan dua cara. Pertama, secara
qauli yaitu mengikuti pendapat-pendapat ulama yang sudah jadi, kedua,
bermadzhab secara manhajy yaitu bermadzhab dengan mengikuti jalan oikiran
dan kaidah oenetapan huk yang telah disusun oleh imam madzhab.
Keputusa BUMN dibuat dalam bermadzhab dengan salah satu dari empat
madzhab yang disepakati dan mengutamakan bermadzhab secara qauli. Oleh
karena itu, prosedur pengambilan hukum BUMN adalah sebagai berikut:
Pertama, apabila masalah atau pertanyaan telah terdapat jawabanya dalam
kitab-kitab standard dan dalam kitab-kitab tersebutbhanya terdapat satu qaul /
wajih saja, maka qoul atau wajih tersebut dapat digunakan sebagai jawaban atau
keputusan.
Kedua, apabila masalah atau pertanyaan telah terdapat pada kitab-kitab
muktabar, akan tetapi dalam kitab-kitab tersebut terdapat beberapa qaul atau wajih
maka yang dilakukan adalah taqrir jama’I yaitu upaya secara kolektif untuk
memilih satu qaul atau wajih dengan mempertimbangkan tingkatan (secara
hirarkis) sebagai berikut;
(1) Pendapat yang disepakati oleh syaikhani (imam Nawawi dan imam
Rafi’i).
(2) Pendapat yang dipegangi oleh Nawawi saja.
(3) Pendapat yang dipegangi oleh Rafi’I saja.
(4) Pendapat yang dipegangi oleh mayoritas ulama.
(5) Penfapat ulama yang terpandai.
(6) Pendapat ulama yang paling wara.

Ketiga, apabila masalah atau pertanyaan tidak terdapat jawabanya sama


sekali dalam kitab-kitab standard (baik qaul maupun wajah), langkah yang
dilakukan adalah ilhaq al-masail binadzariha yang dilakuka secara kolektif. Ilhaq
dilakukan dengan mempertimbangkan mulhaq bih, mulhaq alaih dan wajh ilhaq.

Keempat, apabila pertanyaan atau kasus tidak terdapat jawabanya (sama


sekali) dalam kitab-kitab standard (baik qauli maupun wajh), dan tidak
memungkinkan untuk melakukan ilhaq, maka langkah yang ditempuh adalah
istinbath secara kolekktif dengan prosedur bermadzhab secara manhaj oleh para
ahlinya.

4
A. Sejarah Berdirinya Lajnah Bahsul Masail

Secara historis, forum bahsul masail sudah ada sebelum NU


berdiri. Saat itu sudah ada tradisi diskusi dikalangan santri yang hasilnya
diterbitkan dalam bulletin LINO, selain memuat hasil, bahsul masail juga
menjadi ajang diskusi interaksi jarak jauh antar para ulama. Seorang kiyai
menulis ditanggapi kiyai lain, begitu seterusnya.5

Jadi sejarahnya, Bahat Al Masil NU, sebenarnya sudah ada atau di


pelopori perkumpulan hijaz,guna menentang adanya pergerakan wahabi
yang dianggap sudah melampaui batas. Nah, dari sini kemudian forum
tersebut di kukuhkan sebagai Bahat Al Masail NU.

Latar belakang munculnya lajnah bahsul masail (lembaga


pengkajian masalah agama-agama) adalah karena adanya kebutuhan
masyarakat terhadap hukum isalam, terutama yang menyangkut kebutuhan
peraktis bagi kehidupan sehari-hari. Hal ini mendorong para ulama dan
intelektual NU untuk masail mencari solusinya dengan melakukan bahsul .
jika ditelusuri hasil-hasilnya, maka bahsul masail ini pertama dilaksanaakn
1926, yaitu beberapa bulan setelah berdirinya NU.

Secara resmi institusi lajnah bahsul masail diusulkan


pembentukanya pada muktamar XXVII di Yogyakarta tahun 1989. Pada
waktu itu komisi satu bahsul masail merekomendasikan kepada PBNU
untuk membentuk lajnah bahsul masail ‘Diniyah’ (lembaga pengkajian
masalah-masalah islam) sebagai lembaga permanen yang khusus mengenai
persoalan keagamaan.

Pada tanggal 26-28 Januari 1990, bertempat di Pondok Mamba’ul


Ma’arim, dilakukan serasehan guna menindaklanjuti lajnah bahsul masail
diniyah. Harapanya waktu itu, kegiatan tersebut dapat menghimpun para
ulama dan intelektual NU untuk melakukan istinbat jam’i (penggalian dan
penetapan secara kolektif). Berkat desakan muktamar XXVIII dan halaqoh
Denanyar tersebut. Akhirnya pada tahum 1990 terbentuklah lajnah bahsul
masail diniyah berdasarkan surat keputusan PBNU No. 30/A.1.05/5/1990.

Kegiatan bahsul masail pada mulanya dilaksanakan setiap tahun,


yaitu pada muktamar I sampai dengan muktamar XVII (1946-1947)
muktamar XVII dan XIX (1950-1951) muktamar XX dan XXI (1954-
1956). Namun, selama kurun waktu 1957-1979, penyelanggaraan bahsul
masail tidak stabil. Pada periode ini bahsul masail hanya terlaksana
delapan kali. Baru pada periode 1980-1990an bahsul masail dapat

5
Dr. Sodikin, Ali. 2014. Fikih Ushul Fiqih. Dicetak Berdasarkan SK Rektor Nomor: 152.72 Tahun
2014 Tanggal 26 Agustus 2014

5
berlangsung secara periodic selama dua sampai tiga tahun sekali.
Pelaksanaanya silih berganti, yaitu bersamaan dengan penyelenggaraan
musyawaroh nasional (munas) dan muktamar. Sejak tahun 1926-1999
setelah diselenggarakan bahsul masail tingkat nasional sebanyak 39 kali.
Namun karena ada beberapa muktamar yang dokumenya belum atau tidak
ditemukan yaitu muktamar XVII, XVIII, XIX, XXI, XXII, dan XXIV,
maka yang dapat dihimpun hanya 33 kali bahsul masail yang dapat
menhasilkan 505 keputusan.

Forum bahsul masail dikoordinasi oleh lembaga suriah (legislatif)


Nahdlotul Ulama. Forum ini bertugas mengambil keputusan tentang
hukum-hukum islam baik yang berkaitan dengan masail fiqhiyah (masalah
fikih), masalah ketauhidan, dan bahkan masalah-masalah tasawuf (tarikat).
Pesertanya adalah para anggota suriah, ulama-ulama NU yang berada
diluar struktur organisasi, dan juga pengasuh pesantren. Masalah-masalah
yang dibahas umumya merupakan kejadian (waqiah) yang diajukan
masyarakat kepada suriah, baik oleh organisasi ataupun perorangan.
Setelah diinventarisasi maka suriah menentukan skala prioritas
pembahasanya. Jika terjadi kemacetan (mauquf) dalam pembahasanya,
maka akan diulang dan diajukan ketingkat organisasi yang lebih tinggi:
dari ranting ke cabang, dari cabang ke wilayah, dari wilayah ke pengurus
besar, dan dari PB ke munas dan pada akhirnya ke muktamar

Bahsul masail NU menunjukkan sebuah forum ijtihad yang


dinamis, demokratis ‘berwawasan luas’. Dikatakan dinamis sebab
persoalan (masail) yang dibahas lalu mengikuti perkembangan (trend)
hukum dimasyarakat. Demokratis karena dalam forum tersebut semua
perserta dianggap sama kedudukanya, tidak ada perbedaan antara kiyai,
santri baik yang tua maupun muda. Pendapat siapapun yang paling kuat
itulah yang diambil. Dikatakan ‘berwawasan luas’ sebab dalam forum
bahssul masail tidak ada dominasi madzhab dan selalu sepakat dalam
khilaf.

6
B. Sistem Bath Al Masail dalam Nahdotul Ulama

Lembaga bath al-masail merupakan sebuah forum yang


mengaji(forum diskusi)yang berada di bawah naungan Nahdlotul Ulama.

Pengertian istimbat hukum menurut kalangan nahdlotul Ulama


bukan mengambil langsung dari sumber aslinya,yaitu quran dan sunnah.
Akan tetapi akan memberlakukan secara dinamis Nas fuqaha dalam
konteks permasalahan yang dicari hukumnya. Sedangkan istinbat dalam
pengertian (menggali dari quran dan sunnah) cenderung kearah perilaku
ijtihad yang oleh para ulama nahdlotul ulama sangat sulit karena
keterbatasan penunjang yang dikuasai oleh mujtahid.sebagai gantinya
melalui refrensi minhaji’ yaitu qutub al fuqaha. 6

Adapun mekanisme pemecahan masalah yang ditempuh lembaga


bath al masail sebagian besar adalah merujuk pada kitab al mu’tabarah dari
kalangan empat madzhab terutama syafi’i,hal ini berbeda dengan kaum
pembaharu yang lebih banyak merujuk langsung pada al quran dan
sunnah.Kaum pembeharu dalam kadar tertentu membolehkan dengan cara
rasio,sedangkan ulama tradisional selama masih bisa
dimungkinkan ,cenderung pada penerapan harfiyah Hukum fiqih yang
telah ditetapkan ulama besar pada masa lalu.Rifyal kabah menjelaskan
bahwa hal ini karena nahdlotul ulama gigih dalam mempertahankan
tradisionalisme yang berupakan peninggalan ulama salaf 7

Bath al masaill yang dilakukan oleh Nahdlotul Ulama terkadang


mengalami mauquf karena tidak ditemukan jawaban dalam ibarat
kitab.Bila hal ini terjadi jalan keluarnya adalah mengulang
pembahasannya dalam forum yang lebih tinggi,yaitu cabang ke
wilayah,dari wilayah ke pengurus besar,baru di lanjutka musyawarah
nasional dan terakhir muktamar .Apabila di muktamar pun mauquf, maka
akan dilakukan pengkajian ulang di bath al masail selanjutnya dengan
mendatangkan sumber ahli yang lebih banyak.

Dalam hal memahami islam ,NU terkesan sangat hati hati dan tidak
mau memecahkan masalah keagamaan yang dihadapi dengan merujuk
langsung kepada quran maupun sunnah. Hal ini tidak terlepas dari
pandangan bahwa mata rantai pemindahan ilmu agama tidak boleh
terputus dari suatu generasi kegenerasi yang baik, adalah menelusuri mata
rantai yang baik dan sah pada seiap generasi

6
Sahal,bath al masail diambil dari bath al masail muhtadi:79
7
Rifyal ka’bah,keputusan tarjih muhammadiyah dan bath al masail sebagai keputusan jama’I di
indonesia

7
Rais akbar NU KH.Hasyim Asy’ari dalam muqadimah Al Quran
Al Asasi li jam’iyat Nahdat al Ulama menyatakan:

‘’Wahai para ulama dan pemimpin yang bertaqwa dari golongan


ahli sunnah wal jamaah,golongan madzhab imam empat,anda telah
menuntut ilmu dari orang sebelum kalian.Orang orang sebelum kamu juga
menuntut ilmu dari orang orang sebelumnya dengan sanad yang
bersambung sampai dengan anda sekalian.Dan anda sekalian selalu
meneliti dari siapa mempelajari agama .Maka dengan demikian andalah
gudang dan pintu ilmu itu. Jangan memasuki rumah melainkan melalui
pintu pintunya,narang siapa yang memasuki rumah tidak melalui pintunya
maka ia disebut pencuri.”

Dari pernyataan tersebut dapat dipahami mengapa NU dalam


memecahkan persoalan keagamaan yang dihadapi merasa perlu
berkonsultasi kepada kitab kitab yang dianggap mu’tabarah yang ditulis
ulama empat madzhab. tradisi bermadzhab ini dilestarikan melalui
lembaga pendidikan pesantren yang berada dibawah naungan NU. Oleh
karena itu sikap dan pandangan yang demikian dalam memahami dan
menafsirkan ajaran islam,para pengamat sering menyebut dan
mengelompokkan NU dalam golongan tradisionalis.

Ini bukan berrti NU tidak menghendaki ijtihad, tapi yang


dikehendakiadalah ijihad yang dilakukan oleh orang-orang yang
memenuhi persaratan sebagai mujtahid. Sedangkan orang orang yang
memiliki ilmu agama mendalam tapi tidak memenuhi persyaratan mujtahid
lebih baik taklid kepada ulama yang berkompeten berijtihad. Bagi NU
Taqlid tidak hanya mengikuti tanpa mengetahui dalilnya,melainkan
mengikuti jalan imam madzhab dalam menggali hukum

Adapun metode yang digunakan dalam bath al masail ada tiga


macam secara berjrnjang:

1. Metode qawli

Metode ini adalah salah atu cara dalam istibat hukum yang di
gunakan dalam bath al masaildengan mempeljari masalah yang
dihadap kemuadian mencari jawabannya pada kitab kitab fiqih dan
madzhab empatdengan mengacu dan merujuk secara langsungpada
bunyi teksnya,atau dengan katalain mengikuti pendapat yang sudah
jadi pada lingkup tertentu. 8

8
Masyhuri,masalah keagamaan 364,zahro,tradisi intelektual Nu 118,bath al masail ahmad
muhtadi 84

8
Keputusan bath al masail dibuat kerangka bermadzhab kepada
salah satu madzhab empatyang disepakati dan mengutamakan
bermadzhab secara qawli.Oleh karena itu prosedur penjawaban
masalah dalam urutan sebagai berikut:

a) Dalam kasus ketika jawaban bisadicukupi oleh ibarat kitab


dan disana trdapat hanya satu qawl/wajah 9 maka dipakailah
wajah /qawl sebagaimana dalam ibarat tersebut.

b) Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab


dan disana terdapat lebih dai satu qawl/wajah maka dilakukan
taqrir jama’i10 untuk memilih salahsatu qawl/wajah.

Adapun preosedur pemilihan qawl/wajah jika menjumpai


qawl/wajah maka memilih salah sat dengan prosedur berikut:

a) Dengan mengambil pendapat yang lebih kuat

b) Sedapat mungkin dengan melaksanakan etentuan


mukhtamar I tahun1926,bahwa perbedaan akan diselesaikan
dengan:

• Pendapat yang disepakati oleh syaikhani( al nawawi dan al


rafi’i)

• Pendapat yang dipegangi oleh al rafi’i

• Pendapat yang dipegangi oleh al nawawi

• Pendapat yang didukung mayoritas ulama

• Pendapat ulama yang terpandai

• Pendapat ulama yang paling wara’

2. Metode ilhaqi.

Metode ini sebagai langkah kedua jika metode sebelumnya tidk


ditemukan jawaban tekstual dari kitab mukhtabar,maka yang
dilakukan adalah ilhak al masail bi mazairiha yakni menyamakan
hukum suatu kasus /masalahyang belum dijawab oleh ikitab
( belum ada ketetapan hukumnya) dengan kasus / masalah yang

9
Yang dimaksud dengan qawl adalah pendaoat imam madzhab,sedangkan wajah adalah
pendapat ulama madzhab,Masyhuri masalah keagamaan 364,bath al masail ahmad muhtadi 84
10
Takrir jam’I merupakan penetapan salah satu dari dua wajah.ibid

9
serupa yangg di jawab oleh kitab (telah ada ketetapannya ) /
menyamakan dengan pendapat yang sudah jadi. 11

Sedangkan metode ilhaqi adalah dengan memperhatikan


ketentuan sebagai berikut:mulhaq bih(sesuatu yang belum ada
keentuan hukumnya),mulhaq ‘alyh(sesuatu yang sudah ada
ketentuan hukumnya),wajh al ilhaq (faktor keserupaan antara
mulhaq bih dengan mulhaq alyh)

Meode penjawawban semacam ini kemudian disebut metode


penjawaban sebagai metode ilhaqi,dalam prakteknya menggunakan
prosedur mirip qiyas,oleh karenanya dapat dinamakan metode qiah
versi NU.

Dalam metode ilhaqi nampak ada kecenderungan agar tidak


terjadi stagnasi(mauquf) .Penyebab kebuntuan itu terjadi karena
keterbatasan sumber rujukan,kazanah klasik ditangan para ulama
tidlah lengkap.ketidak lengkapan itu lebih cenderung kedalam
kitab syafiiyah.sehingga kitab diluar itu terabaikaan untuk
dimiliki.Ini sngat mengherankan ,karena dalam AD-ART NU telah
disebutkan:bermadhab kepada salahsatu madzhab empat sebagai
hukumnya, namun diktum ini sudah mengalami reduksi dalam
ralitanya,yakni hanya pada kitab syafiiah semata ,pendapat dari
madzhab lain hampir diabaikan.

3. Metode manhaji.

Metode minhaji merupakan salah satu metode menyelesaikan


masalah keagamaan yanng ditempuh dalam bath masail dengan
megikuti jalan pikiran dan kaidah yang sudah disusun oleh imam
madzhab 12

Jawaban terhadap permasalahan yang dikaji dalam bath masail


yand tidak mencantumkan dalil ataumemberikan argumentasi
secara detail,setelah tidak dapat di rujukkan pada teks kitab
mu’tabar maka digunakan metode minhaj dengan mendasarkan
mula pada al quran ,setelah tidak ditemukan dalam al quran
maupun hadits akhirnya sampailah pada jawaban dari kaidah
fiqhiyah. 13

11
Masyhuro,masalah keagamaan 364,zahro tradisi intelektual Nu 121,ahmad muhtadi bath al
masail 87
12
Mashuri, masalah keagamaan, 364, ahmad muhtadi bath al masail ,90
13
Ibid,126 ahmad muhtadi bath al masail 91

10
Proses pengambilan hukum yang tercermin dalam bath al
masail dapat di jelaskan sebagai berikut:

Pertama,penetapan hukum dalam bath masail merupakan repon


terhadap pertanyaan rill pada berbagai daerah tingkatan oranisasi
baik diajukan perseorangan maupun masyarakat.

Kedua, sebelun diajukan ke PBNU pusat permasalahan tersebut


sudah dibahas dalam bath masail sesuai tingkat jajarannya,tapi
tidak mendapat jawaban atau solusi yang mmuaskan.

Ketiga,melakukan identifikasi untuk mempersiapkan jawaban


sebelum pra-sidang bath masail.

Keempat,mencari jawabannya dalam kitab klasik atau moderen


/artikel/majalah yang ditulis para ulama yang diakui redibilitas
keilmuannya,disinilah terjadi penilaian, yang menjadi hukum
tertinggi adalah komitmen seseorang seseorang penulis dalam
bermadzhab, utamanya madzhab syafi’i,kewira’iyan dan kejelasan
argumen yang di tampilkan dalam redaksi kitab /rujukan uang
dipilih.Biasanya pemilihan dilakukan secara alami,apakah dari
pesantren yang secara terkait dengan NU atau tidak?,jika
diterimma kitab itu dijadikan rujukan.

Kelima,setelah mendengar argumen dari lembaga LBM dengan


landasan redaksional(teks) kitab yang menjadi
pegangannya,pimpinan sidang membuat kesimpulan,dan
ditawarkan kembali kepada peserta bath masail untuk dietapkan
kembali ketentuan hukumnya secara kolektif(takrir jama’i).

Keenam, kesimpulan ketetapan seperti itulah yang populer


dalam NU dengan ahkam al fuqaha.adapun format secara
singkatnya sebagai berikut:

a. Setiap masalah dikemukakan depskripsi masalahnya

b. Pertimbangan hukum (Tidak selalu ada)

c. Rumusan soal (pertanyaan) yang dibahas

d. Jawaban(kalimat yang singkt dan jelas)

e. Dasar pengambilan (ma’khadh),yakni kitab kitab fiqih yang


menjadi rujukan

f. Uraian teks /redaksi dalilnya

11
.

C. Fikrah Nahdliyah

Manhaj Fikrah Nahdliyah (Metode berpikir ke-NU-an)

Dalam merespon persoalan, baik yang berkenaan dengan persaoalan


keagamaan maupun kemasyarakatan, Nahdlatul Ulama memiliki manhaj
Ahli sunnah wal Jama’ah sebagai berikut:

1. Dalam bidang Aqidah/teologi, Nahdlatul Ulama mengikuti


manhaj dan pemikiran Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur
Al-Maturidi.

2. Dalam Bidang Fiqih/Hukum Islam, Nahdlatul Ulama


bermazhab secara qauli dan manhaji kepada salah satu Al-
Madzahib Al-‘Arba’ah (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali)

3. Dalam bidang Tasawuf, Nahdlatul Ulama mengikuti Imam al


Junaid al Baghdadi (w.297H.) dan Abu Hamid al Ghazali (450-
505 H./1058-1111 M.).

Khashaish (Ciri-ciri) Fikrah Nahdliyah:

1. Fikrah tawassuthiyyah (pola pikir moderat), artinya Nahdlatul


Ulama senantiasa bersikap tawazun (seimbang) dan i’tidal
(moderat) dalam menyikapi berbagai persoalan. Nahdlatul
Ulama tidak tafrith atau ifrath.

2. Fikrah tasamuhiyah (pola pikir toleran), artinya Nahdlatul


Ulama dapat hidup berdampingan secara damai dengan pihak
lain walaupun aqidah, cara pikir, dan budayanya berbeda.

3. Fikrah Ishlahiyyah (pola pikir reformatif), artinya Nahdlatul


Ulama senantiasa mengupayakan perbaikan menuju ke arah
yang lebih baik (al-ishlah ila ma huwa al-ashlah).

4. Fikrah Tathowwuriyah (pola pikir dinamis), artinya Nahdlatul


Ulama senantiasa melakukan kontekstualisasi dalam merespon
berbagai persoalan.

5. Fikrah Manhajiyah (pola pikir metodologis), artinya Nahdlatul


Ulama senantiasa menggunakan kerangka berpikir yang

12
mengacu kepada manhaj yang telah ditetapkan oleh Nahdlatul
Ulama.

D. Dinamika Perkembangan Bath Al Masail

Forum Bath Al-masail NU memiliki rekam jejak panjang sebagai


produsen fatwa hukum Islam dalam bingkai konteks Indonesia. Cara kerja Bath
Al-masail dikenal amat dinamis, produktif, dan resoponsif menjawab beragam
dinamika problem aktual mulai dari persoalan privat domestic sampai problem
public global. Dari persoalan sederhana kehidupan keseharian orang desa, hingga
masalah rumit dunia kedokteran, dan isu kontroversial politik kenegaraan. Bath
Al-masail tidak hanya beroprasi ditingkat nasional, tapi juga bergerak di level
provinsi, kabupaten, kecamatan, desa, dan unit pesantren. Masing-masing
memiliki kadar Intelektualitas dan model tema kajian sesuai lingkupnya sendiri-
sendiri, dengan demikian kegiatan yang natabene bernilai akademik ini telah
menjadi denyut nadi kehidupan keorganisasian kaum nahdliyin disemua
tingkatan.

Sejauh ini, produk Bath Al-masail hanya bersetatus pendapat hukum yang
memang menyumbang besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan hukum.
Namun, sebagai intrumen regulasi tidak memiliki kekuatan impratif (mengikat)
sebagaimana peraturan perundang-undangan atau putusan pengadilan. Daya
ikatnya hanya sebatas fatwa, yang hanya mengikat pembuat fatwa dan peminta
fatwa.

Bath Al-masail telah mengalami perkembangan, pada awalnya hanya


membahas masalah Waqi’iyah saja. Tapi setelah Munas Lampung, ditambahkan
tentang pembahasan Maudhu’iyah (tematik). Kemudian pada Munas Surabaya
tahun 2006 telah ditambahkan pula pembahasan masalah Qaununiyah (perundang-
undangan).14

Menurut Sahal Mahfud forum ini sangat dinamis, demokratis, dan


berwawasan luas. Dikatakan dinamis sebab persoalan yang dibahas selalu
mengikuti perkembangan trend hukum dimasyarakat. Dikatakan demokratis
karena dalam forum tersebut tidak ada perbedaan antara kiyai, santri, baik yang
tua maupun yang muda. Pendapat siapapun yang paling kuat itulah yang diambil.
Dikatakan berwawasan luas sebab dalam forum Bath Al-masail tidak ada
dominasi madzhab dan selalu sepakat dalam Khilaf. 15

Terjadinya dinamika pemikiran hukum NU tidak lepas dari dua factor.


Pertama, factor internal yakni munculnya banyak kiyai muda kritis yang
14
Bath al masil Nu,ahmad muhtadi ansor :100
15
Sahal bath al masail,buku muhtadi ansor:102

13
mempunyai wawasan keagamaan inklusif dan menyadari munculnya pluralitas
agama dan pemahaman keagamaan. Kedua, factor eksternal yang tidak bisa
dihindari. Pergumulan sosial warga nahdliyin dengan berbagai wacana modern
membentuk sikap kritis pada doktrin-doktrin ajaran yang baku. Untuk itu
kontekstualisasi ajaran agama menjadi urgen bagi organisasi sosial keagamaan
semacam NU. 16

E. Contoh Hasil atau aplikasi Bath Al-Masail NU


1) Keputusan mu’tamar NU 1 di Surabaya 12 Oktober 1926, tentang
orang fasik jadi wali nikah.17
Soal:
Bolehkah seorang yang tidak mengerjakan ibadah sholat menjadi
wali nikah anak perempuannya? Apabila tidak boleh, maka siapakah
yang berhak menjadi wali pada perkawinan itu? Hakim atau lainnya?
Jawab: seorang fasik karena tidak mengerjakan sholat fardu atau
karena lainnnya menurut Madzhab, tidak sah menjadi wali nikah anak
perempuannnya. Tapi menurut pendapat kedua (Al-qawl Al-thani) sah
menjadi wali nikah.

Keterangan: sebagaimana dalam kitab Al-Qulyubi’ala al-mahalli juz III.

“menurut madzhab (syafi’I, yang pertama) orang fasik tidak boleh menjadi wali ,
karena orang fasik pada masa awal Islam tidak dilarang un tuk mengawinkannya.”

2) Putusan Mu’tamar NU ke-2 di Surabaya tanggal 9 Oktober 1927


tentang memakai pendari emas 18
Soal:
Bagaimana hukumnya memakai pendari emas, haram atau tidak?
Jawab: hukum memakai pendari emas adalah haram. Karena termasuk
larangan memakai bejana dari emas, seperti tempat cetak (mirwad).
Demikian ini menurut madzhab Syafi’i. tapi dalam madzhab Hanafi,
terdapat pendapat yang memperbolehkannya. Oleh karenannya para
pemakai tempat cetak supaya mengikuti pendapat tersebut (madzhab
Hanafi) supaya terhindar dari hukum haram.

Keterangan: dalam kitab Bajuri ‘ala Fathul Qarib

“dan tidak diperbolehkan diluar keadaan darurat bagi laki-laki dan perempuan
memakai bejana emas dan perak. Dikalangan madzhab Hanafi terdapat pendapat
yang memperbolehkan penggunaan tempat kopi (yang terbuat dari emas dan
perak), walaupun pendapat yang lebih banyak dijadikan pedoman (mu’tamat)
16
Ibid.
17
Imam gazali said,solusi hikum islam keputusan muktamar,munas dan konbes
NU(Surabaya:diantama,2006),bath Al Masail,ahmad muhtadi,85
18
Said (ed) solusi hukum islam 36-37,ahmad muhtadi bath al masail 87

14
dikalangan mereka adalah haram. Maka bagi mereka yang diuji harus
menggunakan bejana dari emas dan perak tersebut sebagaimana yang terjadi,
maka sebaiknya ia mengikuti pendapat Hanafi agar terhindar dari haram (maksud
tanpa darurat) jika menggunakan dari emas dan perak seperti mirwad itu suatu
keharusan (darurat) sebagai alat cetak, agar mata menjadi terang, maka itu
dihukumi boleh.”

3) Keputusan mu’tamar NU 1 di Surabaya tanggal 21 Oktober 1926


tentang sedekah kepada mayit.19
Soal:
dapat pahalakah sedekah kepada mayit?
Jawab: dapat

Keterangan: dalam kitab Al-Bukhari Bab Jenazah

“ibnu Abbas meriwayatkan bahwa ada seorang bertanya kepada Rasulullah:


‘sesungguhnya ibuku sudah meninggal, apakah bermanfaat baginya kalau aku
bersedekah atas nama ibuku? ‘Rasulullah menjawab ‘Ya’ . orang itu kemudian
berkata ‘sesungguhnya akui memiliki sekeranjang buah, maka aku ingin engkau
menyaksikan bahwa sesungguhnya aku menyedekahkan atas nama ibuku.”

4) Keputusan mu’tamar NU 1 di Surabaya tanggal 21 Oktober 1926


tentang alat-alat orkes.20
Soal:
Bagaimana hukum alat orkes yang dipergunakan untuk bersenang-
senang? Apabila haram, apakah termasuk juga terompet perang,
terompet jama’ah haji, seruling permainan anak-anak?
Jawab:
Mu’tamar memutuskan bahwa segala macam alat-alat orkes seperti
seruling dan segala macam jenisnya dan alat-alat orkes lainnya semua
itu haram, kecuali terompet perang, terompet jama’ah haji, dan lainnya
sebagaimana yang tidak dimaksudkan dipergunakan hiburan.

Keterangan: dari kitab Ihya Ulumuddin

“dengan pengertian ini maka haramlah seruling Iraq dan seluruh peralatan alat
music yang menggunakan senar seperti ‘ud, al-dhabh, Rabab, Barth, sedangkan
selain itu maka tidak termasuk pengertian yang diharamkan. Seperti bunyi suara

19
Said (ed) solusi hukum islam 19-20,ahmad muhtadi bath al masail 91
20
Masalah keagamaan. Munas NU ke I s/d XXX, oleh Kyai Haji Aziz Mashuri. Diambil dari:
Https://aslibumiayu.net

15
menyerupai burung elang yang dilakukan para penggembala, jama’ah haji, dan
suara gendering”

BAB III

PENUTUP

16
A. KESIMPULAN
Bath al masail NU merupaknan salah satu forum diskusi yang
berdiri dibawah naungan Nahdlotul ulama,guna menghadapi persoalan
pertanyaan aktual dalam masyarakat dan persoalan zaman dalam lingkup
agama.Dalam bath al masail NU ini memiliki sejarah dan metode khas
yang telah diuraikan diatas,selain itu mujtahid(pelaku ijtihad) harus
memenuhi sarat atau berkompeten dalam bidang tersebut, sehungga dinilai
cocok untuk menghadapi persoalan (hukum) islam dalam masyarakat yang
bersifat dinamis.

B. SARAN
Dalam hal ini penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata
sempurna,karena banyak keterbatasan ilmu yang dikuasai penulis.Selain
itu penulis juga berterimakasih kepada dosen matakuliah Pengantar
Perbandingan Madzhab yang telah membimbing kami.tak lupa pula kami
memohon saran kepada pembaca. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi penulis maupun pembaca.

DAFTAR PUSTAKA
AHMAD ANSOR_MUHAMMAD.2012.Bahth Al Masail NAHDLATUL ULAMA
Melacak dinamila pemikiran madzhab kaum tradisionalis.Yogyakarta:Teras

Rokhmad_Abu.2016.Ushul Fiqih.Semarang:Varos MU

17
Shodiqin_Ali.2014.Fiqih Ushul Fiqih.Yogyakarta:UIN SUNAN KALIJAGA

Keputusan Musyawarah Nsional Ulama No:02/Munas/VII/2006,Fikrah


nahdliyiyah

Jurnal NU.ac.id

Ka’bah_ Rifyal.2016.Hukum Islam di Indonesia.Jakarta:Universitas Yasri

18

Anda mungkin juga menyukai