Anda di halaman 1dari 9

BAB IV

ANALISIS PERBANDINGAN KONSEP AL-SHALAH WA AL-


ASHLAH BAGI ALLAH PERSPEKTIF MU’TAZILAH DAN
ASY’ARIYAH

1.1 Konsep al-Shalah wa al-Ashlah aliran Mu’tazilah

Setelah sebelumnya disinggung mengenai asal-usul penamaan aliran

Mu’tazilah, serta founding fathernya yaitu Wasil bin ‘Atha, selanjutnya

akan dibahas mengenai pokok-pokok aliran Mu’tazilah. Perlu diketahui

sebelumnya, pada masa lahirnya aliran Mu’tazilah, umat Islam telah

banyak melakukan kontak dengan pemikiran Yunani, filsafat Yunani

banyak memakai rasio dalam fondasinya, dan orang-orang Mu’tazilah

termasuk yang paling tertarik pada filsafat tersebut. Oleh sebab itu, dalam

membangun pokok-pokok ajarannya mereka mengutamakan akal atau

rasio sebagai manhaj berpikirnya dalam menyelesaikan masalah

i’tiqadiyyah.1

Secara garis besar aliran Mu’tazilah memiliki lima pokok ajaran yang

sering disebut ushul al-khamsah. Kelima landasan tersebut adalah prinsip

tauhid atau nafy al-sifat, al-‘adl atau keadilan Tuhan, al-Manzilah bain al-

Manzilatain, al-Wa’d wa al-Wa’id, dan Amr Ma’ruf wa an-Nahy an al-

Munkar. Dari kelima pokok ini, ketiga pokok pandangan yang pertama

1
Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, (Jakarta: AMZAH, 2021), hlm.70
merupakan ajaran Wasil bin ‘Atha, sedangkan dua sisanya dikukuhkan

oleh para penerusnya.2

Konsep maslahat bagi Allah termasuk kedalam pokok ajaran al-‘adl

atau keadilan tuhan. Mu’tazilah sepakat bahwa Allah Ta’ala tidak

melakukan perbuatan selain berbuat maslahat dan kebaikan, hal ini wajib

berdasarkan pada hikmah menjaga kemaslahatan pada hamba-hamba-Nya.

Karena jika Allah berbuat keburukan atau kedzaliman pada hamba-Nya,

maka Allah itu memilki sifat dzalim, hal ini tidak mungkin terjadi, karena

Allah disucikan dari hal tersebut, oleh karenanya Allah wajib berbuat

maslahat bagi hamba-Nya.3

Al-Qadhi Abdul Jabar, salah satu ulama Mu’tazilah, menetapkan

bahwa seluruh perbuatan Allah adalah kebaikan. Karena Allah merupakan

Dzat yang mengetahui buruknya suatu keburukan, tidak memerlukan

keburukan, serta mengetahui bahwa Ia tidak memerlukan keburukan

tersebut.4 Karena jika kita mensifati Allah dengan sifat Maha Adil dan

Maha Bijaksana, bermakna Allah tidak berbuat buruk atau tidak memilih

perbuatan buruk tersebut, karenanya wajib seluruh perbuatan Allah itu

kebaikan berdasarkan atas sifat adil dan bijaksana-Nya.5

2
Nunu Burhanuddin, Ilmu Kalam Dari Tauhid Menuju Keadilan Ilmu Kalam Tematik,
Klasik, dan Kontemporer, hlm. 105
3
Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dar al-Fikr, 2008), Jld. 1, hlm. 45
4
Muhammad Shalih Muhammad Sayid, Madkhal Ila Ilm al-Kalam, (Kairo: Dar Quba,
2001), hlm. 244.
5
Abdul Jabbar bin Ahmad, Syarh al-Ushul al-Khamsah, (Kairo: Maktabah Wahbah,
1996), hlm. 301
Dasar dalil bahwa Allah mengetahui buruknya suatu keburukan adalah

sungguh Allah itu maha mengetahui atas dzat-Nya, dengan demikian Allah

mengetahui segala hal atas pengetahuan yang berkaitan dengan-Nya

termasuk buruknya suatu keburukan. Begitu pula dalil bahwa Allah tidak

memerlukan keburukan, karena secara mutlak Allah tidak membutuhkan

apapun. Hal ini secara otomatis mencakup penjelasan dalil bahwa Allah

mengetaui Ia tidak memerlukan keburukan.6

Abdul Jabbar merinci lagi bahwa dasar penafian ini bukan berarti

Allah tidak bisa melakukan perbuatan buruk, melainkan karena sifat

bijaksana dan keadilan perbuatan Allah atas hamba-Nya. Pendapat ini

merupakan konsensus ulama Mu’tazilah, ia menyebutkan pendapat ini

selaras dengan yang ditutrkan oleh Abu Hudzail dan kebanyakan

pengikutnya, Abu Ali, dan Abu Hasyim. Mereka mensifati bahwa Allah

berkuasa untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat menimbulkan

kemadharatan atau kedzaliman, namun Allah tidak melakukannya, karena

Ia mengetahui buruknya perbuatan tersebut dan konsekuensi bagi hamba-

Nya, serta Allah juga mengetahui Ia tidak memerlukan perbuatan

tersebut.7

Ia menguatkan argumentasinya dengan menjelaskan bahwa keburukan

dan kebaikan merupakan satu jenis perbuatan, yang membedakannya

hanya konsekuensi yang terjadi setelahnya. Atas dasar ini dzat yang

6
Ibid. Hlm. 302
7
Muhammad Shalih Muhammad Sayid, Madkhal Ila Ilm al-Kalam, hlm. 245
mampu melakukan suatu perbuatan buruk, juga mampu untuk melakukan

perbuatan baik, karena dzat yang mampu atas satu jenis perbuatan mampu

juga melakukan opsi perbuatan lain dari jenis yang sama. Konklusinya

apabila Allah disifati dengan Maha Adil, maka Allah mampu untuk

melakukan kebalikannya yaitu dzalim.8

Sebagaimana tercantum dalam banyak ayat Alquran, diantaranya:

٤٦ ‫َو َم ا َر ُّبَك ِبَظاَّل ٍم ِّلْلَع ِبْيِد ۔‬...

“...Tuhanmu sama sekali tidak menzalimi hamba-hamba(-Nya).”9

٤٠ ... ۚ‫ِاَّن َهّٰللا اَل َيْظ ِلُم ِم ْثَقاَل َذ َّر ٍة‬

“Sesungguhnya Allah tidak akan menzalimi (seseorang) walaupun

sebesar zarah...”10

٤٩ ࣖ‫َو اَل َيْظ ِلُم َر ُّبَك َاَح ًدا‬...

“Tuhanmu tidak menzalimi seorang pun.”11

Dalam ayat di atas tidak ada keuntungan sama sekali bagi Allah memuji

dzat-Nya dengan menafikan perbuatan dzalim dan bukan berarti Allah

tidak mampu melakukannya, melainkan Allah memuji dzat-Nya karena

8
Ibid.
9
Q.S. Fussilat [41]: 46
10
Q.S. an-Nisa [4]: 40
11
Q.S. al-Kahfi [18]: 49
tidak melakukan perbuatan dzalim demi kemaslahatan hamba-hamba-

Nya.12

Atas dasar dalil-dalil yang telah dijelaskan, aliran Mu’tazilah

menetapkan bahwa wajib bagi Allah SWT. untuk melaksanakan al-shalah

wa al-ashlah bagi hamba-hambanya. Dalam praktek penerapan ajaranya

ini, mereka terpecah kedalam tiga kelompok, pertama Mu’tazilah Baghdad

menyebutkan bahwa Allah wajib melaksanakan al-shalah wa al-ashlah

dalam permasalahan agama dan dunia, kedua Mu’tazilah Bashrah

berpendapat bahwa Allah wajib melaksanakan al-shalah wa al-ashlah

hanya dalam permasalahan agama. Mereka juga berbeda pendapat tentang

apa yang dimaksud al-ashlah, Mu’tazilah Baghdad memaknainya dengan

yang paling sesuai dengan hikmah dan tadbir. Sedangkan Mu’tazilah

Bashrah memaknai al-ashlah dengan yang paling bermanfaat.13

Simpulannya menurut Mu’tazilah jika ada dua perkara yang satu

baik dan yang lainnya buruk, maka Allah wajib melakukan yang baik bagi

hamba-Nya. Sedangkan jika ada dua perkara yang satu baik dan yang satu

lagi lebih baik, maka Allah wajib melakukan yang lebih baik bagi

makhluk-Nya. Karena Allah mengetahui mana yang baik dan mana yang

lebih baik, serta maha bijaksana dalam dalam memilih perkara bagi

hamba-Nya.

12
Muhammad Shalih Muhammad Sayid, Madkhal Ila Ilm al-Kalam, hlm. 245
13
Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad asy-Syafi’i al-Baijuriy, Tuhfah al-Murid Syarh
Jauhar al-Tauhid, (Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyyah, 2004), hlm. 122-123
1.2 Konsep al-Shalah wa al-Ashlah aliran Asy’ariyyah
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, Asy’ariyyah merupakan

aliran yang dicetuskan oleh Abu Hasan al-Asy’ariy setelah ia merasa

janggal dengan aliran yang ia anut sebelumnya, yaitu Mu’tazilah. Setelah

aliran Mu’tazilah mengalami kemunduran, aliran As’ariyyah mengisi

posisi yang ditinggalkan oleh aliran Mu’tazilah.

Secara umum pandangan aliran As’ariyyah merupakan anti-tesis dari

paham aliran Mu’tazilah. Ini disebabkan karena sebelumnya Abu Hasan

al-Asy’ari merupakan tokoh besar aliran Mu’tazilah, dan ia merasa bahwa

pemahamannya selama ini telah keliru. Oleh karenanya, ia keluar dari

aliran Mu’tazilah dan ingin menyebarkan bahwa pemahaman Mu’tazilah

selama ini telah keliru.

Salah satu paham Mu’tazilah yang ia sanggah adalah tentang konsep

Allah wajib melaksanakan al-shalah wa al-ashlah. Bermula saat ia

bertanya kepada al-Juba’i tentang kedudukan dari orang mu’min, kafir,

dan anak kecil di akhirat, yang mana al-Juba’i menjawab bahwa orang

mu’min berada di surga, orang kafir di neraka, dan anak kecil selamat dari

neraka tapi tidak bertempat di surga. Kemudian di sanggah oleh al-

Asy’ari, bagaimana jika anak kecil itu bertanya pada Allah mengapa ia di

matikan ketika kecil, al-Juba’i menjawab karena ketika besar ia akan

berbuat dosa dan menjadi kafir, karenanya ia dimatikan ketika kecil karena

itu lebih baik baginya, al-Asy’ari merespon lagi bagaimana jika orang

kafir bertanya kepada Allah kenapa ia tidak dimatikan ketika kecil,


bukankah hal tersebut merupakan yang terbaik baginya?, dalam hal ini al-

Juba’i tidak menjawab sama sekali.14

Dari percakapan di atas al-Juba’i tidak dapat menjawab kebenaran

konsep al-shalah wa al-ashlah Mu’tazilah, oleh karenanya aliran

Asy’ariyah meyakini bahwa perbuatan Allah atas al-shalah wa al-ashlah,

bukan merupakan suatu kewajiban, melainkan termasuk dalam perbuatan


15
jaiz bagi Allah. Karena apabila Allah wajib melaksanakan yang terbaik

bagi hamba-Nya, maka tidak akan ada ujian atau cobaan, tidak akan ada

orang kafir, tidak akan ada yang disiksa di dunia dan akhirat, dan tidak

akan ada rasa sakit bagi anak kecil yang belum tertaklif. 16 Oleh karenanya

tidak ada perbuatan yang wajib dilakukan ataupun ditinggalkan bagi Allah,

karena Allah berkehendak secara mutlak, apabila ada intervensi tertentu

terhadap perbuatan Allah, maka Allah tidak memiliki kehendak mutlak,

adapun ayat-ayat yang menunjukan Allah memiliki kewajiban melakukan

suatu perbuatan, seperti dalam ayat:

٦ ...‫َو َم ا ِم ْن َد ۤا َّبٍة ِفى اَاْلْر ِض ِااَّل َع َلى ِهّٰللا ِرْز ُقَها‬

“Tidak satu pun hewan yang bergerak di atas bumi melainkan


dijamin rezekinya oleh Allah.”17

14
Muhammad Shalih Muhammad Sayid, Madkhal Ila Ilm al-Kalam, hlm. 266
15
Ahmad bin Muhammad al-‘Adawi ad-Dardiri, Syarh Khoridah al-Bahiyyah fi ‘Ilm at-
Tauhid, (Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyyah, 2004), hlm. 101
16
Ibid.
17
Q.S. Hud [11]: 6
Bukan dimaknai sebagai kewajiban Allah memberikan rezeki kepada

makhluknya, melainkan dimaknai sebagai janji Allah SWT. kepada

makhluknya sebagai bentuk Fadhal dari-Nya.18

Menurut al-Karim Allah bersifat adil dalam perbuatannya, dengan

pengertian bahwa Tuhan bebas bertindak dalam kerajaan dan milik-Nya.

Segala sesuatu yang menjadi milik-Nya sesuai dengan kehendaknya dan

ilmu-Nya.19 Adil lawannya zalim yang pengertiannya adalah bertindak

terhadap sesuatu bukan pada proporsinya. Dengan pengertian demikian,

tidak tergambar bahwa Allah berlaku tidak adil atau zalim terhadap

hamba-Nya, maka kalau Allah memasukkan semua makhluk kedalam

surga ataupun ke dalam neraka, tidaklah Allah dikatakan zalim, karena

Allah adalah pemilik mutlak tehadap segala sesuatu, maka Allah bebas

bertindak apa saja terhadap milik-Nya.

1.3 Perbedaan
Setelah pemaparan tentang paham dari aliran Mu’tazilah dan aliran

Asy’ariyyah ditemukan beberapa perbedaaan, diantaranya:

1. Mu’tazilah menetapkan bahwa Allah wajib berbuat baik (al-

shalah) dan yang terbaik (al-Ashlah) terhadap hambanya,

sedangkan Asy’ariyyah menetapkan bahwa Allah tidak memiliki

kewajiban apapun terhadap hamba-Nya.

18
Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad asy-Syafi’i al-Baijuriy, Tuhfah al-Murid Syarh
Jauhar al-Tauhid, hlm. 183
19
Muhammad Ibnu al- Karim al- Syahrastani, al-Milal wa an- Nihal, (Kairo:
Muassasah al-Halabi, 1968), hlm. 98.
2. Menurut Mu’tazilah perbuatan Allah atas hamba-Nya terbatas

pada al-shalah wa al-ashlah, sedangkan Asy’ariyyah perbuatan

Allah atas hamba-Nya tidak terbatas (kekuasaan mutlak), karena

adalah milik penciptanya.

3. Mu’tazilah menetapkan konsep keadilan Allah dari perspektif

manusia, bagi mereka keadilan erat hubungannya dengan hak

dan keadilan yang diartikan memberi seseorang akan haknya.

Asy’ariyyah menetapkan konsep keadilan pemilik terhadap

barang yang dimilikinya, terserah pemilik tersebut mau berbuat

apa, maka Allah yang merupakan Dzat pemilik segalanya, tetap

berlaku adil atas segala perbuatan-Nya.

Asy’ariyyah juga menambahkan aspek keberadaban dalam hubungan

vertikal hamba dengan penciptanya. Mereka mengatakan bahwa apabila

ada seseorang yang terkena tanggungan hukum wajib dan sebagainya,

maka ia dipaksa oleh hukum tersebut, sedangkan jika hal tersebut

disandarkan pada Allah, maka sungguh ia tidak memiliki adab. Karena

merupakan sesuatu yang mustahil apabila Allah dituntut atau dipaksa

oleh sesuatu.20

20
Ahmad bin Muhammad al-‘Adawi ad-Dardiri, Syarh Khoridah al-Bahiyyah fi ‘Ilm at-
Tauhid, (Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyyah, 2004), hlm. 101

Anda mungkin juga menyukai