termasuk yang paling tertarik pada filsafat tersebut. Oleh sebab itu, dalam
i’tiqadiyyah.1
Secara garis besar aliran Mu’tazilah memiliki lima pokok ajaran yang
tauhid atau nafy al-sifat, al-‘adl atau keadilan Tuhan, al-Manzilah bain al-
Munkar. Dari kelima pokok ini, ketiga pokok pandangan yang pertama
1
Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, (Jakarta: AMZAH, 2021), hlm.70
merupakan ajaran Wasil bin ‘Atha, sedangkan dua sisanya dikukuhkan
melakukan perbuatan selain berbuat maslahat dan kebaikan, hal ini wajib
maka Allah itu memilki sifat dzalim, hal ini tidak mungkin terjadi, karena
Allah disucikan dari hal tersebut, oleh karenanya Allah wajib berbuat
tersebut.4 Karena jika kita mensifati Allah dengan sifat Maha Adil dan
Maha Bijaksana, bermakna Allah tidak berbuat buruk atau tidak memilih
2
Nunu Burhanuddin, Ilmu Kalam Dari Tauhid Menuju Keadilan Ilmu Kalam Tematik,
Klasik, dan Kontemporer, hlm. 105
3
Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dar al-Fikr, 2008), Jld. 1, hlm. 45
4
Muhammad Shalih Muhammad Sayid, Madkhal Ila Ilm al-Kalam, (Kairo: Dar Quba,
2001), hlm. 244.
5
Abdul Jabbar bin Ahmad, Syarh al-Ushul al-Khamsah, (Kairo: Maktabah Wahbah,
1996), hlm. 301
Dasar dalil bahwa Allah mengetahui buruknya suatu keburukan adalah
sungguh Allah itu maha mengetahui atas dzat-Nya, dengan demikian Allah
termasuk buruknya suatu keburukan. Begitu pula dalil bahwa Allah tidak
apapun. Hal ini secara otomatis mencakup penjelasan dalil bahwa Allah
Abdul Jabbar merinci lagi bahwa dasar penafian ini bukan berarti
pengikutnya, Abu Ali, dan Abu Hasyim. Mereka mensifati bahwa Allah
tersebut.7
hanya konsekuensi yang terjadi setelahnya. Atas dasar ini dzat yang
6
Ibid. Hlm. 302
7
Muhammad Shalih Muhammad Sayid, Madkhal Ila Ilm al-Kalam, hlm. 245
mampu melakukan suatu perbuatan buruk, juga mampu untuk melakukan
perbuatan baik, karena dzat yang mampu atas satu jenis perbuatan mampu
juga melakukan opsi perbuatan lain dari jenis yang sama. Konklusinya
apabila Allah disifati dengan Maha Adil, maka Allah mampu untuk
sebesar zarah...”10
Dalam ayat di atas tidak ada keuntungan sama sekali bagi Allah memuji
8
Ibid.
9
Q.S. Fussilat [41]: 46
10
Q.S. an-Nisa [4]: 40
11
Q.S. al-Kahfi [18]: 49
tidak melakukan perbuatan dzalim demi kemaslahatan hamba-hamba-
Nya.12
baik dan yang lainnya buruk, maka Allah wajib melakukan yang baik bagi
hamba-Nya. Sedangkan jika ada dua perkara yang satu baik dan yang satu
lagi lebih baik, maka Allah wajib melakukan yang lebih baik bagi
makhluk-Nya. Karena Allah mengetahui mana yang baik dan mana yang
lebih baik, serta maha bijaksana dalam dalam memilih perkara bagi
hamba-Nya.
12
Muhammad Shalih Muhammad Sayid, Madkhal Ila Ilm al-Kalam, hlm. 245
13
Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad asy-Syafi’i al-Baijuriy, Tuhfah al-Murid Syarh
Jauhar al-Tauhid, (Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyyah, 2004), hlm. 122-123
1.2 Konsep al-Shalah wa al-Ashlah aliran Asy’ariyyah
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, Asy’ariyyah merupakan
dan anak kecil di akhirat, yang mana al-Juba’i menjawab bahwa orang
mu’min berada di surga, orang kafir di neraka, dan anak kecil selamat dari
Asy’ari, bagaimana jika anak kecil itu bertanya pada Allah mengapa ia di
berbuat dosa dan menjadi kafir, karenanya ia dimatikan ketika kecil karena
itu lebih baik baginya, al-Asy’ari merespon lagi bagaimana jika orang
bagi hamba-Nya, maka tidak akan ada ujian atau cobaan, tidak akan ada
orang kafir, tidak akan ada yang disiksa di dunia dan akhirat, dan tidak
akan ada rasa sakit bagi anak kecil yang belum tertaklif. 16 Oleh karenanya
tidak ada perbuatan yang wajib dilakukan ataupun ditinggalkan bagi Allah,
14
Muhammad Shalih Muhammad Sayid, Madkhal Ila Ilm al-Kalam, hlm. 266
15
Ahmad bin Muhammad al-‘Adawi ad-Dardiri, Syarh Khoridah al-Bahiyyah fi ‘Ilm at-
Tauhid, (Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyyah, 2004), hlm. 101
16
Ibid.
17
Q.S. Hud [11]: 6
Bukan dimaknai sebagai kewajiban Allah memberikan rezeki kepada
tidak tergambar bahwa Allah berlaku tidak adil atau zalim terhadap
Allah adalah pemilik mutlak tehadap segala sesuatu, maka Allah bebas
1.3 Perbedaan
Setelah pemaparan tentang paham dari aliran Mu’tazilah dan aliran
18
Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad asy-Syafi’i al-Baijuriy, Tuhfah al-Murid Syarh
Jauhar al-Tauhid, hlm. 183
19
Muhammad Ibnu al- Karim al- Syahrastani, al-Milal wa an- Nihal, (Kairo:
Muassasah al-Halabi, 1968), hlm. 98.
2. Menurut Mu’tazilah perbuatan Allah atas hamba-Nya terbatas
oleh sesuatu.20
20
Ahmad bin Muhammad al-‘Adawi ad-Dardiri, Syarh Khoridah al-Bahiyyah fi ‘Ilm at-
Tauhid, (Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyyah, 2004), hlm. 101