Anda di halaman 1dari 12

KAEDAH KULLIYYAH KUBRO

KEDUA AL-YAQIN LA YUZALUBI AS-SYAKK

Oleh

Kurnia Hanita 2307103

Dosen Pengampu : Mabrur Syah, S.Pd.I, S.IPI MHI

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI CURUP

2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita haturkan atas kehadirat Allah yang Maha Esa. Dengan ridho
dan nikmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Kaidah Fiqhiyah. Makalah
ini tentunya dibuat dengan sebaik mungkin sejauh kemampuan kami.
Semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi mahasiswa lainnya dalam
perkuliahan ini. Yang paling utama kami mohon maaf jika masih terdapat kesalahan dan
kekurangan di dalamnya, harap untuk dimaklumi. Terimah kasih banyak.

Curup, September 2023

i
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang

Ajaran agama Islam tidak pernah mempersulit umatnya. Justru, agama ini hadir
di muka bumi untuk memberikan kemudahan dan jalan keluar dari kesulitan yang ada.
Karena itu,segala sikap yang cenderung yang berlebih-lebihan dan mempersulit diri
dalam ber agama sangatlah tidak di benarkan. Karena hal ini dapat menimbulkan
sikap was-was. Inilah yang menjadikan alasan para ulama menjelaskan bahwa was-
was itu disebabkan karena dua hal; pertama, adanya keraguan adanya kebenaran
ajaran agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, sehingga merasa perlu untuk
ditambah, atau yang kedua,karena lemahnya akal (kurangnya pemahaman terhadap
ajaran agama).
Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa was-was sebenarnya adalah usaha setan
untuk mengganggu ibadah seseorang muslim agar tidak memiliki keikhlasan dalam
ibadahnya. Atau agar dapat meragukan sesuatu yang sudah jelas dalam ajaran agama.
Karena itu, cara yang di anggap efektif untuk menghilangkan perasaan was-was itu
adalah dengan melawan atau menentang perasaan was-was itu sendiri dengan di
dasari ilmu dan keyakinan.
B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
1. Apa Makna kaidah al-yaqin la yuzalubi as- syakk?
2. Apa Dasar hukum Al-Yaqin La Yuzalu BI as-Syakk ?
3. Apa Saja Contoh Pemakaian Kaidah al-Yaqin La Yuzalu bi as-Syakk ?
4. Apa saja Kaidah-Kaidah Turunan al-Yaqin La Yuzalu bi as-Syak ?

C. Tujuan Masalah
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Mengetahui makna kaidah al-yaqin la yuzalubi as- syakk ;
2. Mengetahui dasar hukum Al-Yaqin La Yuzalu BI as-Syakk ;
3. Mengetahui Contoh Pemakaian Kaidah al-Yaqin La Yuzalu bi as-Syakk;
4. Mengetahui Kaidah-Kaidah Turunan al-Yaqin La Yuzalu bi as-Syak.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Makna kaidah al-yaqin la yuzalubi as- syakk
Secara etimologis, al yaqin adalah sesuatu yang menetap (al istiqrar),
kepercayaan yang pasti (al jazim), teguh (al tsabit), dan sesuai dengan kenyataan (al
muthabiq al waqi’). Bisa juga di maknai sebagai ilmu, sesuatu yang dapat menjauhkan
keraguan, dan sesuatu yang nyata, jadi yaqin merupakan kebalikan dari syakk, dan
syakk lawannya yaqin. Adapula yang mengartikan al yaqin dengan ilmu tentang
sesuatu yang membawa kepada kepastian dan kemantapan hati tentang hakikat
sesuatu itu, dalam arti tidak ada keraguan lagi.
Keyakinan yang di maksud disini adalah keyakinan yang benar-benar datang
dari hatinya, bukan sekedar pura-pura yaqin apalagi dengan alasan malu kepada orang
lain, karena malu kepada allah harus lebih di dahulukan. Ulama malikiyah
mengatakan,”seseorang tidak bisa lepas dari tuntutan ibadah kecuali dengan
melaksanakannya secara benar dan meyakinkan. Sholat yang sah hanya jika di
dahului dengan wudhu yang sah, bukan dengan wudhu yang diragukan apakah sah
atau tidak.”
Sedang al syakk adalah keraguan antara dua masalah/peristiwa yang
berlawanan tanpa mengunggulkan salah satunya. Menurut Ali Ahmad al-Nadwi
mendefinisikan al syakk sebagai suatu pertentangan antara kepastian dengan
ketidakpastian tentang kebenaran dan kesalahan dengan kekuatan yang sama, dalam
arti tidak bisa ditarjihkan salah satunya.
Secara terminologis, yang dimaksud dengan al yaqin adalah sesuatu yang
menjadi tetap, baik berdasarkan penganalisaan maupun dalil. Sedangkan yang
dimaksud dengan al syakk adalah sesuatu yang tidak menentu antara ada dan
tiadanya, dan dalam ketidaktentuan itu sama antara batas kebenaran dan kesalahan,
tanpa dapat dimenangkan salah satunya.
Dari sini menjadi jelaslah bahwa sesuatu yang hanya berdasar pada perasaan
atau keraguan, tidak dapat dijadikan pedoman untuk memutuskan tentang sah atau
tidaknya suatu ibadah. Di dalam kitab-kitab fikih banyak dibicarakan tentang hal yang
berhubungan dengan keyakinan dan keraguan. Misalnya, orang yang sudah yakin suci
dari hadas, kemudian dia ragu, apakah sudah batal wudhunya atau belum? maka dia
tetap dalam keadaan suci. Hanya saja untuk ihtiyath (kehati-hatian), yang lebih utama
adalah memperbarui wudhunya (tajdid al-wudhu).
2
Kaidah ini sama dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocent)
dalam hukum barat. Selain itu, secara moral, seorang Muslim harus mempunyai
husnudzan (bersangka baik) kepada orang lain sebelum ada bukti yang meyakinkan
bahwa orang lain tersebut tidak baik.
B. Dasar hukum Al-Yaqin La Yuzalu BI as-Syakk
Mengenai rujukan kaidah ini, para ulama telah memaparkan dalil-dalil yang
dinilai sebagai dasarnya, baik itu firman Allah SWT ataupun sunnah Rasulullah
SAW. Di antaranya adalah ayat Al-Qur’an surat Yunus ayat 36:

‫َو َم ا َيَّتِبُع َأْكَثُر ُهْم ِإاَّل َظًّناۚ ِإَّن الَّظَّن اَل ُيْغ ِني ِم َن اْلَح ِّق َشْيًئاۚ ِإَّن َهَّللا َع ِليٌم ِبَم ا َيْفَع ُلوَن‬
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja.
Sesunggunya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.
Sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.”
Selain itu, ada juga berkata hadis Nabi SAW yang telah mengajarkan
bagaimana cara supaya keyakinan itu muncul, khususnya bagi orang yang sedang
melaksanakan sholat, sebagaimana pendapat dalam sebuah riwayat yang berbunyi:
“Dari Abbad bin Tamim dari pamannya, bahwa ia menyampaikan kepada
Rasulullah SAW permasalahan seorang laki-laki yang muncul keraguannya dengan
anggapan adanya sesuatu yang membatalkan wudhunya padahal dia dalam keadaan
sholat, lalu Nabi SAW berkata: “ia tidak boleh pergi meninggalkan sholatnya, sampai
ia mendengar adanya suara yang keluar (dari duburnya) atau ia mencium bau yang
tidak sedap.” (HR Bukhari).
Pada hadis lain dengan redaksi yang berbeda tapi maknanya senada disebutkan:
“Dari Abi Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda: jika seseorang
merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu ia ragu apakah sesuatu itu telah keluar atau
belum, maka orang tersebut tidak boleh keluar dari masjid (membatalkan sholatnya)
hingga ia mendengar suara (kentut) atau mencium baunya.” (HR.Muslim).
“Dari Abi Al Haura’I al-Sa’di berkata, aku bertanya kepada Hasan bin Ali, apa
yang engkau hafal dari Rasulullah SAW ? ia menjawab: aku menhafal hadis dari
Rasul: “tinggalkanlah apa yang meragukanmu, berpindahlah kepada yang tidak
meragukanmu.” (HR.Nasa’i).
Maka ketika seseorang ragu, tapi ada suatu pendukung lain yang bisa
meyakinkan atau membatalkan keraguan yang ada pada dirinya, maka hal semacam
itu tidak termasuk dalam kategori al syakk, karena hal itu bisa di kaji (dikuatkan)

3
salah satunya dengan yang lebih menyakinkan. Namun, ketika tidak ada penguat dari
salah satunya, dan betul-betul ragu tidak bisa menentukan salah satunya, maka inilah
yang di namakan al syakk.
C. Contoh Pemakaian Kaidah al-Yaqin La Yuzalu bi as-Syakk
Hadis lain dengan redaksi yang berbeda tapi maknanya senada disebutkan:
“Dari Abi Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda: jika seseorang merasakan
sesuatu dalam perutnya, lalu ia ragu apakah sesuatu itu telah keluar atau belum,
maka orang tersebut tidak boleh keluar dari masjid (membatalkan sholatnya) hingga
ia mendengar suara (kentut) atau mencium baunya.” (HR.Muslim)
“Dari Abi Al Haura’I al-Sa’di berkata, aku bertanya kepada Hasan bin Ali, apa yang
engkau hafal dari Rasulullah SAW ? ia menjawab: aku menhafal hadis dari Rasul:
“tinggalkanlah apa yang meragukanmu, berpindahlah kepada yang tidak
meragukanmu.” (HR.Nasa’i)
Maka ketika seseorang ragu, tapi ada suatu pendukung lain yang bisa
meyakinkan atau membatalkan keraguan yang ada pada dirinya, maka hal semacam
itu tidak termasuk dalam kategori al syakk, karena hal itu bisa di kaji (dikuatkan)
salah satunya dengan yang lebih menyakinkan. Namun, ketika tidak ada penguat dari
salah satunya, dan betul-betul ragu tidak bisa menentukan salah satunya, maka inilah
yang di namakan al syakk.[4]

‫َالَيِقيُن ُيَز اُل ِبالَيِقيِن ِم ْثِلِه‬


”Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti lain yang meyakinkan pula”
Sebagai contoh, kita yakin sudah berwudhu, tetapi kemudian kita yakin pula buang air
kecil, maka wudhu kita akan menjadi batal. Contoh lain, kita berpraduga tidak
bersalah pada seseorang, tetapi kemudian ternyata orang tersebut tertangkap tangan
sedang melakukan kejahatan, maka orang tersebut adalah bersalah dan harus
dihukum.[5]

‫َأَّن َم ا َثَبَت ِبَيِقْيٍن َال ُيْر َتَفُع ِأَّال ِبَيِقْيٍن‬


“Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan
keyakinan lagi”
Sebagai contoh, Thawaf ditetapkan dengan dasar dalil yang meyakinkan yaitu harus
tujuh putaran. Kemudian dalam keadaan thawaf, seseorang ragu apakah yang
dilakukannya putaran ke enam atau ke lima. Maka yang meyakinkan adalah jumlah
yang ke lima, karena putaran yang kelima itulah yang meyakinkan.

4
Jadi dalam hal yang berhubungan dengan bilangan, apabila seseorang itu ragu,
maka bilangan yang terkecil itulah yang meyakinkan.

‫َاَألْص ُل َبَر اَء ُة الِذ َّم ِة‬


“Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab”
Pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dari tuntutan, baik
yang berhubungan dengan hak Allah maupun dengan hak adami. Setelah dia lahir
muncullah hak dan kewajiban pada dَirinya.[6]
Sebagai contoh, anak kecil lepas dari tanggung jawab melakukan kewajiban sampai
datangnya waktu baligh. Tidak ada hak dan kewajiban antara pria dan wanita yang
bersifat pernikahan sampai terbukti adanya akad nikah. Contoh lain, makan dan
minum asalnya dibolehkan sampai datangnya dalil yang melarang makan-makanan
dan minum-minuman yang diharamkan.

D. Kaidah-Kaidah Turunan al-Yaqin La Yuzalu bi as-Syak


Macam-macam Kaidah Cabang Al Yaqinu La Yuzalu Bi al-Syak dibagi
menjadi sebagai berikut :
1. ‫اُء َم اَك اَنَع َلى َم اَك ان‬uu‫( اأْل ضْص ُل َبق‬Asal itu tetap sebagaimana semula bagaimanapun
keberadaannya)
Kaidah ini menjelaskan bahwa setiap perkara yang telah memiliki status hukum
yang pasti sebelumnya, harus tetap dipertahankan sebagaimana kondisi hukum
semula, hukum tersebut tidak bisa diubah, selama belum ada bukti kuat dan
meyakinkan yang bisa mengubahnya.
2. ‫( َأْلْص ُل َبَر َء ُة الِذَّمِة‬Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab)
Pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dari tuntutan, baik hal
Allah maupun hak Adami. Setelah dia lahir muncullah hak dan kewajiban pada
dirinya.
3. ‫( اَأْلْص ُل ِفي الِّص َفاِت اْلعأِر َضِة اْلَع َد ُم‬Hukum asal pada sifat-sifat yang datang kemudian
adalah tidak ada)
Misal : Apabila terjadi persengketaan antara penjual dan pembeli tentang aib
(cacat) barang yang diperjualbelikan, maka yang dianggap adalah perkataan si
penjual, karena pada asalnya cacat iti tidak ada. Ada pula ulama’ yang
menyatakan, karena hukum asalnya adalah akad jual beli telah terjadi. Sudah tentu

5
ada kekecualian yaitu apabila si pembeli bisa memberikan bukti yang meyakinkan
bahwa cacat barang itu telah ada ketika barang tersebut masih ditangan penjual.
4. ‫( اَأْلْص ُل ِفي ُك ِّل َح اِدِث َتَق ِّد ُر ُه ِبَأْقَر ِبالَّز َم أن‬Asal setiap kejadian dilihat dari waktu yang
terdekat)
Kaidah diatas terdapat dalam kitab-kitab madzhab Syafi’i, sedangkan dalam kitab-
kitab madzhab Hanafi juga terdapat ‫( اَأْلْص ُل ِإَض َفُة اْلحأِدِث ِإَلى أْقَرَب َأْو َقاِت ِه‬Hukum asal
adalah penyandaran suatu peristiwa kepada waktu yang lebih dekat dengannya)
secara substansi sama saja.
Apabila terjadi keraguan karena perbadaan waktu dalam suatu peristiwa, maka
hukum yang ditetapkan adalah menurut waktu yang paling dekat kepada peristiwa
tersebut, karena waktu yang paling dekat yang menjadikan peristiwa itu. Kecuali
ada bukti lain yang meyakinkan bahawa peristiwa tersebut telah terjadi pada
waktu yang lebih jauh.
5. ‫( اَأْلْص ُل ِفي اَأْلْش َياِء اِإْل َباَح ُة َح َّتى َي ُدَّل الَّد ِلْيُل َع َلى الَّتْح ِرْيِم‬Hukum asal segala sesuatu adalah
kebolehan sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya)
Apabila ada binatang yang belum ada dalil yang tegas tentang keharamannya,
maka hukumnya boleh dimakan.
Dikalangan madzhab Hanafi ada pula ‫( اَأْلْص ُل ِفي اَأْلْش َياِء اْلَح َظ ُر‬Hukum asal segala
sesuatu adalah larangan(haram)
Kaidah ini hanya berlaku untuk bidang fiqh mu’amalah, sedangkan untuk fiqh
ibadah digunakan kaidah ‫( اَأْلْص ُل ِفي اْلِعَبَد ِة اْلمُبْطاَل ُنَح َّتى َيُقَم الَّد ِلْيُل َع َلى اَأْلْم ِر‬
Hukum asal ibadah mahdhah adalah batal sampai ada dalil yang
memerintahkannya), kaidah ini semakna dengan ‫( اَل ُح ْك ُم ِلَأْلْفَع اِل َقْبل ُوُرْو ِد الَّش ْر ِع‬Tidak
ada hukum terhadap suatu perbuatan sampai datangnya syari’ah) dan kaidah
‫( اْلَم ْشُك ْو ُك ِفي ُوُجْو ِبِه اَل َيِج ُب ِفْع ُلُه‬Yang meragukan tentang hukum wajibnya, maka tidak
wajib dilakukan).
6. ‫( اْلَيِقُن ُي َزاُل باْلَيِقْيِن ِم ْثِل ِه‬Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti yang
meyakinkan pula)
Misal :
1. Kita berpraduka tidak bersalah kepada seseorang, tetapi kemudian ternyata
orang tersebut tertangkap sedang melakukan kejahatan, maka orang tersebut
adalah bersalah dan harus dihukum.
2. Si A berhutang kepada si B, tetapi kemudian ada bukti bahwa si A telah
membayar utangnya kepada si B, misalnya ada kuitansi yang ditandatangani si
6
B yang menyatakan bahwa hutang A sudah lunas. Maka, si A yang tadinya
berhutang, sekarang sudah bebas dari hutangnya.
7. ‫ ( َأْن َم اَثَبَت َيِقْيٍن اَل ُيْر َتَفُع ِإاَّل َيِقْيٍن‬Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa
hilang kecuali dengan keyakinan lagi)
Thawaf ditetapkan dengan dasar dalil yang meyakinkan yaitu harus tujuh putaran.
Kemudian dalam keadaan thowaf, seseorang ragu apakah yang dilakukannya
putaran keenam atau kelima. Maka yang meyakinkan adalah jumlah yang kelima.
Jadi dalam hal yang berhubungan dengan bilangan, apabila seseorang itu ragu,
maka bilangan yang terkecil itulah yang meyakinkan.
8. ‫( اَأْلْص ُل ِفي اْلَكاَل ِم الَح ِقْيَقُة‬Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya)
Kaidah teresebut lebih dekat dimasukkan ke dalam kelompok kaidah ushul
daripada kaidah fiqh. Alasannya, kaidah tersebut berkenaan dengan kebahasaan.
Sedangkan kaidah-kaidah bahasa berhubungan erat dengan arti yang terkandung
dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
9. ‫( َأْلْص ُل ِفي اَأْلْبَض اِع الَّتْح ِر ْيُم‬Hukum asal bersenggama adalah haram)Persoalan lain
yang menurut fikih (Islam) memiliki hukum asal haram adalah melakukan
persetubuhan (senggama). Dalam kaidah ini disebutkan bahwa ketentuan dasar
melakukan persetubuhan dengan perempuan adalah haram, kecuali dengan ada
sebab yang diyakininya bisa menghalalkannya, yakni pernikahan.
10. ‫( اَل ِع ْب َر ُة ِب الَّظِّن اَّل ِذ ي َيْظَه ُر َخ َط اُء ُه‬Tidak dianggap [diakui], persangkaan yang jelas
salahnya)
Apabila seorang debitor telah membayar hutangnya kepada kreditor, kemudian
wakil debitor atau penanggungjawabnya membayar lagi uang debitor atas
sangkaan bahwa hutang belum dibayar oleh debitor, maka wakil debitor atau
penanggungjawabnya berhak meminta dikembalikan uang yang dibayarkannya,
karena pembayarannya dilakukan atas dasar prasangka yang jelas salahnya.
11. ‫َو ُّهِم‬ ‫َر ُة ِللَّت‬ ‫( اَل ِع ْب‬Tidak diakui adanya wahan[kira-kira])
Bedanya zhann dan wahann adalah di dalam zhann yang salah itu
persangkaannya. Sedangkan dalam wahann, yangsalah itu zatnya. Apabila
seseorang meningal dengan meninggalkan sejumlah ahli waris, maka harta
warisan dibagikan diantara mereka, tidak diakui ahli waris yang dikira-kira.

7
E. Definisi Syakk Dan Tingkatannya
Kaidah al-Yaqīn lā Yazūl bi al-Syak merupakan salah satu dari enam kaidah
induk fikih, dari setiap kaidah induk tersebut terlahir kaidah-kaidah cabang. Kaidah
al-Yaqīn lā Yazūl bi al-Syak terdiri dari beberapa kata dan setiap kata memiliki arti
masing-masing, jika dilihat dari susunan katanya maka terdiri dari dua kata inti yaitu
al-Yaqīn dan al-Syak. Secara bahasa al-Yaqīn adalah pengetahuan yang tidak
dibarengi dengan keraguan Al-Yaqīn juga bermakna lawan dari keraguan.
Al-Yaqīn secara istilah menurut para ulama adalah sebuah keyakinan yang
sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Al-Yaqīn yang diinginkan dalam kaidah al-
Yaqīn lā Yazūl bi al-Syak adalah makna istilah, bukan makna bahasa, karena
terkadang yang dinginkan pada kata al-Yaqīn adalah al-ẓann yang derajatnya lebih
rendah.
Adapun yang dimaksud dengan al-Syak secara bahasa adalah keragu-raguan
atau keraguan antara dua hal yang berlawanan tanpa adanya pendapat yang paling
kuat antara keduanya. Pada kaidah ini yang dimaksud al-Syak adalah sesuatu yang
derajatnya lebih rendah yaitu al-Wahm. syekh Muslim ibn Muḥammad ibn Mājid al-
Dausarī mendefinisikan al-Wahm secara istilah dengan munculnya kemungkinan
yang tidak dianggap dari dua kemungkinan yang lain atau lebih sehingga
menyebabkan pikiran ragu antara keduanya, baik kemungkinan itu didasari oleh dalil
atau tidak.
Adapun makna dari kaidah al-Yaqīn lā Yazūl bi al-Syak adalah hukum sesuatu
yang tetap berdasarkan sebuah keyakinan tidak akan terhapus, kecuali dengan dalil
yang pasti, dan tidak boleh dihukumi hilang hanya karena keraguan yang muncul.

8
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kaidah al-Yaqīn lā Yazūl bi al-Syak dalam fikih salat adalah dengan


menetapkan bahwa sebuah keraguan tidak bisa menghilangkan sesuatu yang sudah
tetap (yaqīn) dan hanya bisa diangkat dengan sesuatu yang yakin pula seperti gālib al-
ẓann atau memang yang sudah jelas diyakini. Sementara keyakinan itu bisa
didapatkan dari bilangan yang paling sedikit atau mengambil hukum asal yaitu belum
dikerjakan amalan yang diragukan tersebut atau datangnya keyakinan yang
menggantikan keyakinan sebelumnya.
Kaidah ini merupakan salah satu kaidah yang agung di dalam syari’at Islam,
dan banyak permasalahan fikih yang dilandasi oleh kaidah ini. Kaidah ini meng-cover
banyak permasalahan, mulai dari masalah ibadah, muamalah, hingga hal-hal yang
berkaitan dengan hukuman bagi para pelaku kriminal atau yang dikenal dalam dunia
fikih dengan sebutan hudud. Sumber dari kaidah ini dilandasi dari banyak ayat dalam
al-Qur’an dan hadis Rasulullah SAW.

Kandungan kaedah secara umum, menjelaskan bahwa sesuatu yang hanya


berdasar pada perasaan atau keraguan, tidak dapat dijadikan pedoman untuk
memutuskan tentang sah atau tidaknya suatu ibadah. Penerapan kaedah fiqih dalam
urusan pemerintahan, salah satu contohnya saat menentukan penetapan 1 Ramadhan
dan 1 Syawwal di Indonesia, yang mana setiap ulama dan organisasi memiliki
pandapatnya masing-masing. Maka dari itu, dengan adanya kaidah maka pendapat
yang berbeda tersebut bisa diatasi, dengan melihat dasar kaedah ini.

9
Daftar Pustaka

Prof. H. A. Djazuli, “Kaidah-Kaidah Fikih”, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2006)

Djazuli, A. “Kaidah-Kaidah Fikih:Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan


Masalah-Masalah Yang Praktis”. (Jakarta:Kencana,2006.)

Fadal, Kurdi. ”Kaidah-Kaidah Fikih”. (Jakarta:Arta Rivera,2008.)

Rohana, Ade. “Ilmu Qowa’id Fiqhiyyah:Kaidah-kaidah Hukum Islam”. (Jakarta:Gaya Media


Pratama,2008.)

Andiko, Toha. “Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah”. (Yogyakata: Teras,2011)

10

Anda mungkin juga menyukai