Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu ilmu yang dapat membantu terwujudnya manusia yang


berkualitas adalah ilmu tasawuf. Ilmu tersebut satu mata rantai dengan ilmu-ilmu
yang lainnya dengan pada sisi luar yang dhahir yang tak ubahnya jasad dan roh
yang tak dapat terpisahkan keduanya, ilmu tersebut dinamakan juga ilmu bathin.
Ilmu ada dua macam yaitu, ilmu yang ada dalam qalbu, itulah ilmu yang
bermanfaat dan ilmu yang diucapkan oleh lidah adalah ilmu hujjah/hukum.

Ilmu batin yang keluar dari qalbu itu adalah ilmu tasawuf yang dikerjakan
dan diamalkan oleh qalbu atau hati, dan ilmu dhahir yang keluar dari lidah adalah
ilmu yang diucapkan oleh lidah dan diamalkan oleh jasad yang di sebut ilmu
syari’ah. Kedua ilmu tersebut tidak dapat dipisahkan karena ilmu dhahir
diucapkan dan digerakkan oleh jasad/tubuh dan ilmu bathin diamalkan oleh qalbu
dan serentak pengalaman bersamaan keduanya.

Hal tersebut menunjukkan bahwa ilmu tersebut tidak dapat dipisahkan


keduanya bahkan makin dalam ilmu tasawuf seseorang makin dalam pula
pengalaman syari’atnya, bahkan keluar masuk nafasnya dan khatar (kata hatinya)
itu, juga dipelihara

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah ilmu tasawuf?
2. Bagaimanakah dasar-dasar ilmu tasawuf?
3. Bagaimanakah sejarah munculnya tasawuf?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tasawuf
Secara etimologi, pengertian tasawuf berasal dari istilah yang dikonotasikan
dengan “ahlu suffah” yang berarti sekelompok orang pada masa rasulullah yang
hidupnya diisi dengan banyak berdiam di serambi serambi masjid, dan mereka
yang mengabdikan hidupnya diisi dengan banyak berdiam di serambi masjid, dan
mereka mengabdikan hidupnya hanya kepada Allah.
Selain itu, istilah lain dari tasawuf itu berasal dar kata “shafa”. Kata “shafa
ini berbentuk fi’il mabni majhul sehingga menjadi isim mulhaq dengan huruf ya’
nisbah, yang berarti nama bagi orang orang yang bersih atau suci. Maksudnya
adalah orang yang menyucikan dirinya di hadapan Tuhannya. Tasawuf juga
berasal dari kata shaf yang bermakna dinisbahkan kepada orang orang yang
ketika shalat selalu berada di saf paling depan.1
Sedangkan menurut Grek bahwa tasawuf ini disamakan maknyanya dengan
kata hikmah, yang berarti kebijaksanaan. Orang yang berpendapat seperti ini
adalah Mirkas, kemudian diikuti oleh Jurji Zaidan, dalam kitabnya Adab Al
Lughah Al ‘Arabiyyah. Dia menyebutkan bahwa para filosof Yunani dahulu telah
menjelaskan pemikiran atau kata kata yang dituliskan dalam buku buku filsafat
yang mengandung kebijaksanaan. Ia mendasari pendapatnya dengan argumentasi
bahwa istilah sufi atau tasawuf tidak ditemukan sebelm masa penerjemahan kitab
kitab yang berbahasa Yunani ke dalam Bahasa Arab terjadi proses asimilasi ,
misalnya orang Arab mentransliterasikan huruf sin menjadi huruf shad, seperti
dalam kata tasawuf menjadi tashawuf.2
Menurut Muhammad Ali Al-Qossab, tasawuf secara epistemologi adalah
akhlak mulia yang timbul pada waktu mulia dari seorang mulia di tengah-tengah
kaumnya yang mulia pula.” Sedangkan menurut Al-Junaidi bahwa tasawuf adalah

1
. Athoullah Ahmad, Diktat Ilmu Akhlak Dan Ilmu Tasawuf(serang: Fakultas Syari’ah IAIN
Sunan Gunung Djati. 1985), h. 96.

2
. Barmawie Umarie, Sistematika Tasawuf (sala: Penerbit Siti Syamsiyah. 1966), h. 9.

2
membersihkan hati dari apa saja yang mengganggu perasaan makhluk, berjuang
menanggalkan pengaruh budi yang asal pemikiran kita, memadamkan sifat-sifat
kelemahan kita sebagai manusia, menjauhi segala seruan hawa nafsu, mendekati
sifat-sifat kerohanian, tergantung pada ilmu-ilmu hakikat, memakai barang yang
penting dan terlebih kekal, menaburkan nasihat kepada semua orang, memegang
teguh janji dengan Allah dalam hal hakikat, dan mengikuti contoh Rasulullah
dalam hal syariat.3

B. Dasar-Dasar Ilmu Tasawuf


Dasar-dasar ilmu tasawuf ada 2 di antaranya sebagai berikut :
1. Bersumber dari Al-Qur’an
Al-qur’an dan as-sunnah adalah nash. Setiap muslim kapan dan dimana
pun dibebani tanggung jawab untuk memahami dan melaksanakan kandungannya
dalam bentuk amalan yang nyata. Pemahaman terhadap nash tanpa pengamalan
akan menimbulkan kesenjangan, ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah, Aisyah
menjawab, “Al-Qur’an.” Para shaabat terkenal sebagai orang-orang yang banyak
menghafalkan isi Al-Qur’an dan kemudian menyebarkannya kepada yang lain
dengan disertai pengamalan atau penjiwaan terhadap isinya. Mereka berusaha
menerapkan akhlak atau perilaku mereka dengan mencontoh akhlak Rasulullah
yaitu akhlak Al-Qur’an.
Pada awal pembentukan tasawuf adalah manifestasi akhlak atau
keagamaan. Moral keagamaan ini banyak disinggung dalam Al-Qur’an dan As-
Sunnah. Dengan demikian, sumber pertama tasawuf adalah ajaran-ajaran islam,
sebab tasawuf ditimba dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan amalan-amalan serta
ucapan para saahabat. Amalan serta ucapan para sahabat tentu saja tidak keluar
dari luang lingkup Al-Qur’an dan As-Sunnah. Justru dua sumber utama tasawuf
adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah itu sendiri.
Al-Qur’an merupakan kitab Allah yang didalamnya terkandung muatan-
muatan ajaran islam, baik aqidah, syari’ah maupun muamalah. Ketiga muatan
tersebut banyak tercermin dalam ayat-ayat yang tercantum dalam Al-Qur’an.
Ayat-ayat Al-Qur’an disatu sisi memang ada yang perlu dipahami secara tekstual-
3
. Ibid, h.96.

3
lahiriah, tetapi disisi lain juga ada hal yang perlu dipahami secara kontekstual-
rohaniah. Sebab, jika ayat-ayat Al-Qur’an dipahami secara lahiriah saja, akan
terasa kaku, kurang dinamis, dan tidak mustahil akan ditemukan persoalan yang
yang tidak dapat diterima secara fisik.
Secara umum, ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah dan
batiniah. Pemahaman terhadap unsur kehidupan yang bersifat batiniah pada
gilirannya melahirkan tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapatkan
perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran islam, Al-Qur’an dan As-Sunnah,
serta praktik kehidupan nabi dan para sahabatnya.4

‫ِم ْنُك ْم َعْن ِد ْيِن ه َفَس ْو َف َي ْأِتى الّٰل ُه ِبَق ْو ٍم ِحُّي ُّبُه ْم َو ِحُي ُّبْو َن هۙ َاِذ َّل ٍة َعَلى‬ ‫ٰٓيَاُّيَه ا اَّل ِذ ْيَن ٰاَم ُنْو ا َمْن َّيْر َت َّد‬
‫ِب ِل الّٰلِه اَل َخَيا َن َل َة ۤاَلِٕى ٍم ۗ ٰذ ِلَك َفْض الّٰلِه ْؤ ِت ِه‬ ‫ِه‬ ‫اْل ْؤ ِمِن َاِع َّز ٍة َلى اْلٰك ِف ِر َۖن‬
‫ُل ُي ْي‬ ‫َو ُفْو ْو َم‬ ‫َجُيا ُد ْو َن ْيِف َس ْي‬ ‫ْي‬ ‫َع‬ ‫ُم َنْي‬
‫ُۗء ّٰل ِس ِل‬
‫َمْن َّيَش ۤا َو ال ُه َو ا ٌع َع ْيٌم‬
Artinya: “ Hai orang orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang
murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu
kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya,
yang bersikap lemah lembut terhadap orang orang yang mukmin, yang
bersikap keras terhadap orang orang kafir, yang berjihad di jalan
Allah, dan yang tidak takut kepada celaan mereka yang suka mencela.
Itukah karunia Allah kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah
Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.5

2. Dasarnya bersumber dari Sunnah (hadis)


Sejalan dengan apa yang disitir dalam Al-Qur’an , sebagaimana dijelaskan
diatas, ternyata tasawuf juga dapat dilihat dalam kerangka hadis. Umumnya yang
dinyatakan sebagai ajaran ajaran tasawuf adalah hadis hadis berikut :
a. Aisyah berkata :“bahwasannya Nabi bangun shalat malam (qiyam al
lail), sehingga bengkak kakinya. Aku berkata kepadanya, ‘Gerangan
apakah sebabnya, wahai utusan Allah, engkau sekuat tenaga
melakukan ini, padahal Allah berjanji akan mengampuni kesalahanmu
baik yang terdahulu maupun yang akan datang ?’ Beliau menjawab

4
. M. Solihin, Ilmu Tasawuf , (Bandung: Cv. Pustaka Setia, 2008), h. 16-19.

5
. Q.S. Al Maidah (5) : 54

4
‘Apakah aku tidak akan suka menjadi seorang hamba Allah yang
bersyukur?’ (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)
b. Rasulullah bersabda : “Demi Allah aku memohon ampunan kepada
Allah dalam sehari semalam tak kurang dari tujuh puluh kali” (H.R.
Al-Bukhari).
c. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT telah berfirman ,
“siapa memusuhi kekasih-Ku ,maka Aku menyatakan perang
kepadanya; tida ada yang paling Aku sukai dari hamba-Ku yang
mendekatkan diri kepada-Ku selain menjalankan kewajibannya.
Hendaklah hamba-Ku mendekatkan diri dengan-Ku juga dengan
menjalankan kesunahan kesunahan sehingga aku mencintainya. Jika
aku sudah mencintainya, maka aku akan menjadi pendengaran dan
penglihatannya , juga akan menjadi tangan dan kakinya. Setiap
permohnannya pasti akan aku kabulkan. Jika meminta perlindungan,
Aku akan melindunginya.” (HR. Bukhari-Muslim).

Selanjutnya dalam kehidupan Nabi Muhammad juga terdapat petunjuk yang


menggambarkan bahwa dirinya adalah sebgai seorang sufi. Nabi Muhammad
telah melakukan pengasingan diri ke Gua Hira menjelang datangnya wahyu.
Beliau menjauhi pola hidup kebendaan saaat orang Arab tengah tenggelam di
dalamnya, seperti dalam praktik perdagangan yang didasarkan pada prinsip
menghalalkan segala cara. Selama di Gua Hira, Rasulullah hanyalah bertafakur,
beribadah , dan hidup sebagai seorang zahid . Beliau hidup sangat sederhana,
bahkan terkadang memakai pakaian tambalan, tidak memakan makanan dan
meminum, kecuali halal, dan setiap malam senantiasa beribadah kepada Allah
SWT.

Kalangan sahabat pun ada yang mengikuti praktik bertasawuf sebagaimana


yang dipraktikan Nabi Muhammad. Abu Bakar Ash Shiddiq, misalnya pernah
berkata, “Aku mendapatkan kemuliaan dalam ketakwaan, kefana’an dalam
keagungan dan kerendahan hati.”

5
Uraian dasar dasar tasawuf di atas , baik Al Qur’an , Al – Hadist, maupun
suri tauladan sahabat, ternyata merupakan benih benih tasawuf dalam
kedudukannya sebagai ilmu tentang tingkata (maqamat) dan keadaan (ahwal).
Dengan kata lain, ilmu tentang moral dan tingkah laku manusia terdapat
rujukannya dalam Al Qur’an. Dari sini, jelaslah bahwa pertumbuhan pertamanya,
tasawuf ternyata ditimba dari sumber Al Qur’an itu sendiri.

C. Sejarah dan Perkembangan Tasawuf


Timbulnya tasawuf dalam islam tidak bisa dipisahkan dengan kelahiran
islam itu sendiri, yaitu semenjak Nabi Muhammad SAW diutus menjadi Rasul
untuk segenap umat manusia dan alam semesta. Fakta sejarah menunjukan bahwa
pribadi Nabi Muhammad SAW sebelum diangkat menjadi Rasul telah berulang
kali melakukan tahanuts dan khalawat di gua Hira’ disamping untuk
mengasingkan diri dari masyarakat kota Mekkah yang sedang mabuk
memperturutkan hawa nafsu keduniaan. Di sisi lain Muhammad juga berusaha
mencari jalan untuk membersihkan hati dan mensucikan noda- noda yang
menghinggapi masyarakat pada masa itu. Tahanuts dan khalawat yang dilakukan
Muhammad SAW bertujuan untuk mencari ketenagan jiwa dan keberhasilan hati
dalam menempuh liku- liku probelma kehidupan yang beraneka ragam , berusaha
untuk memperoleh petunjuk dan hidayah serta mencari hakikat kebenaran , dalam
situasi yang demikianlah Muhammad menerima Wahyu dari Allah SWT, yang
berisi ajaran- ajaran dan peraturan- peraturan sebagai pedoman dalam mencapai
kebahagiaan hidup didunia dan di akhirat.6
Dalam sejarah Islam sebelum munculnya aliran tasawuf, terlebih dahulu
muncul aliran zuhud pada akhir abad ke I (permulaan abad ke II). Pada abad I
Hijriyah lahirlah Hasan Basri seorang zahid pertama yang termashur dalam
sejarah tasawuf. Beliau lahir di Mekkah tahun 642 M, dan meninggal di Basrah
tahun 728M. ajaran Hasan Basri yang pertama
adalah Khauf dan Rajah’ mempertebal takut dan harap kepada Tuhan, setelah itu
muncul guru-guru yang lain, yang dinamakan qari’, mengadakan gerakan

6
. Proyek pembinaan Perguruan Tinggi Agama, Institute Agama Islam Negeri Sumatra
Utara , Pengantar Ilmu Tasawuf, 1981. h. 35.

6
pembaharuan hidup kerohanian di kalangan umat muslim. Sebenarnya bibit
tasawuf sudah ada sejak itu, garis- garis mengenai tariq atau jalan beribadah
sudah kelihatan disusun, dalam ajaran- ajaran yang dikemukakan disana sini
sudah mulai mengurangi makna (ju’), menjauhkan diri dari keramaian dunia
( zuhud ).
Abu al-Wafa menyimpulkan, bahwa zuhud Islam pada abad I dan II Hijriyah
mempunyai karakter sebagai berikut:
1. Menjaukan diri dari dunia menuju akhirat yang berakar pada nas agama ,
yang dilator belakangi oleh sosipolitik, coraknya bersifat sederhana,
praktis( belum berwujud dalam sistematika dan teori tertentu ), tujuanya
untuk meningkatkan moral.
2. Masih bersifat praktis, dan para pendirinya tidak menaruh perhatian untuk
menyusun prinsip- prinsip teoritis atas kezuhudannya itu. Sementara
sarana- saranapraktisnya adalah hidup dalam ketenangan dan
kesederhanaan secara penuh, sedikit makan maupun minum, banyak
beribadah dan mengingat Allah SWT. Dan berlebih- lebihan dalam merasa
berdosa, tunduk mutlak kepada kehendak Nya., dan berserah diri kepada
Nya. Dengan demikian tasawuf pada masa itu mengarah pada tujuan
moral.
3. Motif zuhudnya ialah rasa takut yaitu rasa takut, yaitu rasa takut yang
muncul dari landasan amal keagamaan secara sungguh- sungguh.
Sementara pada akhir abad II Hijriyah, ditangan Rabi’ah al- Adawiyah
muncul motif rasa cinta, yang bebas dari rasa takut trhadap adhab- Nya
maupun harapan terhadap pahala Nya. Hal ini dicerminkan lewat
penyucian diri dan abstraksinya dalam hubungan antara manusia dengan
Tuhan.

Akhir abad II Hijriyah, sebagian zahid, khususnyadi Khurasan, dan Rabi’ah


al- Adawiyah ditandai kedalaman membuat analisa, yang bias dipandang sebagai
masa pendahuluan tasawuf, atau cikal bakal para pendiri tasawuf falsafati abad
ke- III dan IV Hijriyah. Abu al- Wafa lebih sependapat kalau mereka dinamakan

7
zahid, qari’, dan nasik (bukan sufi) (Abu alo- Wafa, 1970). Sejalan dengan
pemikiran ini, sebelum Abu al- Wafa, al- Qusyairi tidak memasukkan Hasan al-
Basri dan Rabi’ah al-Adawiyyah dalam deretan guru tasawuf.7
Sedangkan zuhud menurut para ahli sejarah tasawuf adalah fase yang
mendahului tasawuf. Menurut Harun Nasution, station yang terpenting bagi
seorang calon sufi ialah zuhd yaitu keadaan meninggalkan dunia dan hidup
kematerian. Sebelum menjadi sufi, seorang calon harus terlebih dahulu menjadi
zahid. Sesudah menjadi zahid, barulah ia meningkat menjadi sufi. Dengan
demikian tiap sufi ialah zahid, tetapi sebaliknya tidak setiap zahid merupakan
sufi.8
Secara etimologis, zuhud berarti raghaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya
tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti
mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah. Sedangkan terminologis
menurut Prof. Dr. Amin Syukur, tidak bisa dilepaskan dari dua hal. Pertama,
zuhud sebagai bagian yang tak terpisahkan dari tasawuf. Kedua, zuhud sebagai
moral (akhlak) Islam dan gerakan protes. Apabila tasawuf diartikan adanya
kesadaran dan komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan sebagai
perwujudan ihsan, maka zuhud merupakan suatu station (maqam) menuju
tercapainya “perjumpaan” atau ma’rifat kepada-Nya.9
Lahirnya tasawuf didorong oleh beberapa faktor: (1) reaksi atas
kecenderungan hidup hedonis yang mengumbar syahwat, (2) perkembangan
teologi yang cenderung mengedepankan rasio dan kering dari aspek moral-
spiritual, (3) katalisator yang sejuk dari realitas umat yang secara politis maupun
teologis didominasi oleh nalar kekerasan, (4) perang politik yang saling
mengorbankan satu dengan yang lain. Karena itu sebagian ulama memilih
menarik diri dari pergulatan kepentingan yang mengatasnamakan agama dengan
praktek-praktek yang berlumuran darah.

7
. Amin Syakur, Menggugat Tasawuf, Cet.I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 28.
8
. Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1995), h.
40.
9
. Ibid, h. 30.

8
Peri hidup Rasulullah dan sahabat-sahabatnya tidak didasarkan pada nilai-
nilai material, nilai-nilai yang bersifat duniawi, misalnya mencari kekayaan
pribadi, melainkan bertumpu pada nilai-nilai ibadah, mencari keridhaan Allah
Subhanahu wata’ala. Akhlak mereka demikian tinggi, tunduk, patuh kepada
Allah, tawadhu’ (merendah diri) dan sebagainya, bagaikan tanaman padi, kian
berisi kian merunduk. Peri hidup Nabi dan para sahabatnya yang terpuji (akhlaqul
karimah) tersebut antara lain:10
1. hidup zuhud (tidak mementingkan keduniaan).
2. hidup qanaah (menerima apa adanya).
3. hidup taat (senantiasa menjalankan perintah allah dan menjauhi
larangan-nya).
4. hidup istiqamah (tetap beribadah).
5. hidup mahabbah (sangat cinta kepada allah dan rasul-nya, melebihi cinta
kepada dirinya dan makhluk lainnya).
6. hidup ubudiah (mengabdikan diri kepada allah).11
Dalam posisi ini menurut A. Mukti Ali, zuhud berarti menghindar dari
berkehendak terhadap hal – hal yang bersifat duniawi atau ma siwa Allah.
Berkaitan dengan ini al-Hakim Hasan menjelaskan bahwa zuhud adalah
“berpaling dari dunia dan menghadapkan diri untuk beribadah melatih dan
mendidik jiwa, dan memerangi kesenangannya dengan semedi (khalwat),
berkelana, puasa, mengurangi makan dan memperbanyak dzikir”.
Jadi zuhud merupakan hal yang tidak bisa terpisahkan dengan tasawuf
sebagai seorang zahid yang menjauhkan diri dari kelezatan duniaserta
mengingkarinya serta lebih mengutamakan kehidupan yang kekal dengan
mendekatkan diri untuk supaya tercapai keridhoan dan makrifat perjumpaan
dengan-Nya. Hal ini agar lebih mendekatkan diri sebagai makhluk dengan Kholik
sehingga dapat meraih keuntungan akhirat.
Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam, dan gerakan protes yaitu sikap
hidup yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim dalam menatap dunia fana
10

11
. Khoiri, dkk., Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, Akhlak Tasawuf, (Yogyakarta,
2005), h. 35.

9
ini. Dunia dipandang sebagai sarana ibadah dan untuk meraih keridlaan Allah
subhanahu wata’ala., bukan tujuan tujuan hidup, dan di sadari bahwa mencintai
dunia akan membawa sifat–sifat mazmumah (tercela).
Dari pemaparan beberapa ahli atas tersebut, zuhud itu merupakan bahwa
seseorang tidak merasa bangga atas kemewahan dunia yang telah ada ditangan
dan tidak merasa sedih saat kehilangannya. Zuhud merupakan hikmah
pemahaman yang membuat seorang memiliki pandangan khusus terhadap
kehidupan duniawi itu. Mereka tetap bekerja dan berusaha akan tetapi kehidupan
duniawi itu tidak menguasai kecenderungan kalbunya dan tidak membuat mereka
mengingkari Tuhannya.
Selanjutnya menurut al-Dzahabi (1987:23), istilah sufi mulai dikenal pada
abad ke-2 Hijriyah, tepatnya pada tahun 150H. Orang pertama yang dianggap
memperkenalkan istilah ini kepada dunia Islam adalah Abu Hasyim Al-sufi.
Tetapi ada pendapat lain yang menyebutkan bahwa tasawuf baru muncul didunia
islam pada awal abad ke-3 H. Tokoh ini menggambarkan pemikiran bahwa
cinta(mahabbah) kepada Allah adalah sesuatu yang tidak diperoleh melalui belajar
. melainkan karena faktor pemberian (mauhibah)dan keutamaan dari-Nya. Adapun
tasawuf baginya adalah mengambil kebenaran-kebenaran hakiki.12

12
. Ibid, h. 37

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Lahirnya tasawuf didorong oleh beberapa faktor: (1) reaksi atas
kecenderungan hidup hedonis yang mengumbar syahwat, (2) perkembangan
teologi yang cenderung mengedepankan rasio dan kering dari aspek moral-
spiritual, (3) katalisator yang sejuk dari realitas umat yang secara politis maupun
teologis didominasi oleh nalar kekerasan, (4) perang politik yang saling
mengorbankan satu dengan yang lain. Karena itu sebagian ulama memilih
menarik diri dari pergulatan kepentingan yang mengatasnamakan agama dengan
praktek-praktek yang berlumuran darah.
Peri hidup Peri hidup Rasulullah dan sahabat-sahabatnya tidak didasarkan
pada nilai-nilai material, nilai-nilai yang bersifat duniawi, misalnya mencari
kekayaan pribadi, melainkan bertumpu pada nilai-nilai ibadah, mencari keridhaan
Allah SWT. Akhlak mereka demikian tinggi, tunduk, patuh kepada Allah,
tawadhu’ (merendah diri) dan sebagainya, bagaikan tanaman padi, kian berisi kian
merunduk. Peri hidup Nabi dan para sahabatnya yang terpuji (akhlaqul karimah)
tersebut antara lain:
1. Hidup zuhud (tidak mementingkan keduniaan).
2. Hidup qanaah (menerima apa adanya).
3. Hidup taat (senantiasa menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-
Nya).
4. Hidup istiqamah (tetap beribadah).
5. Hidup mahabbah (sangat cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, melebihi
cinta kepada dirinya dan makhluk lainnya).
6. Hidup ubudiah (mengabdikan diri kepada Allah).

B. Saran
Kami selaku penulis berharap semoga makalah ini dapat menjadi pedoman untuk
kita bersama,terkhusus bagi pembaca makalah ini,namun kami selaku penulis menyaran

11
kan kepada pembaca agar sebagus nya mencari referensi lain untuk menambah keyakinan
kita dalam menimba ilmu,dan membuat ilmu yang kita pegang menjadi kokoh. Sekian
dari kami,banyak maaf atas segala ke khilafan.

12
DAFTAR PUSTAKA

Amin Syakur, Menggugat Tasawuf, Cet.I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999..

Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1995.

Proyek pembinaan Perguruan Tinggi Agama, Institute Agama Islam Negeri


Sumatra Utara , Pengantar Ilmu Tasawuf, 1981.

M. Solihin, Ilmu Tasawuf , Bandung: Cv. Pustaka Setia, 2008.

Khoiri, dkk., Akhlak Tasawuf, Yogyakarta, Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga,
2005.

13

Anda mungkin juga menyukai