Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

SEJARAH PERKEMBANGAN MADZHAB DALAM


HUKUM ISLAM

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Semester Mata Kuliah Fiqh Muqarran Prodi
Pendidikan Agama Islam Semester VI Unit 1

Dosen Pembimbing : DR. SITI HAWA, MA


Disusun Oleh :
ADINDA SAFIRA (21219735)
NURHAFNI YANTI (21219753)
NURUL AZIZA (21219754)

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH AL-HILAL SIGLI


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 2024

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat,
taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
makalah yang berjudul “SEJARAH PERKEMBANGAN MADZHAB DALAM
HUKUM ISLAM”.
Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw,
keluarganya, para sahabatnya, dan tabi’-tabi’in hingga akhir zaman.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis telah banyak menerima
bimbingan, arahan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karenanya, penulis
menghaturkan terima kasih kepada dosen pengampu kami tercinta Ibu DR. SITI
HAWA, MA.
Penulis menyadari di dalam penyusunan makalah ini terdapat kekurangan
dan kekeliruan. Untuk itu penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya. Waktu
dan jasa serta nasihat yang telah diberikan semoga merupakan amal baik di sisi
Allah serta mendapat balasan yang lebih baik dan bermanfaat. Akhirnya, semoga
kehadiran proposal yang sederhana ini mendatangkan manfaat khususnya bagi
penulis dan pembaca umumnya. Amin......

Sigli, 23 Februari 2024

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATAPENGANTAR...................................................................................... 2
DAFTAR ISI.................................................................................................... 3
BAB I :PENDAHULUAN .................................................... 4
A. Latar Belakang ......................................................................................4
B. Rumusan Masalah ..................................................................................5
C. Tujuan Penulisan ...................................................................................5

BAB II : PEMBAHASAN .......................................................6


A. Pengertian Mazhab ............................................................................... 6
B. Sejarah Kehidupan Dan Latar Belakang Imam Mazhab ....................... 7
C. Pemikiran Dan Model Istinbat Hukum Imam Mazhab ......................... 14
D. Pengembangan Model Istinbath Hukum Islam Periode Klasik.......... 25
E. Perbandingan Mazhab Dan Korelasi Dengan Mazhab Di Indonesia.. 27

BAB III : PENUTUP .................................................................31


A. Kesimpulan .......................................................................................31
B. Saran .......................................................................................31

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................32

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Masalah khilafiah merupakan persoalan yang terjadi dalam realitas
kehidupan manusia. Di antara masalah khilafiah tersebut ada yang
menyelesaikannya dengan cara yang sederhana dan mudah, karena ada saling
pengertian berdasarkan akal sehat. Tetapi dibalik itu masalah khilafiah dapat
menjadi ganjalan untuk menjalin keharmonisan di kalangan umat Islam karena
sikap ta’asub (fanatik) yang berlebihan, tidak berdasarkan pertimbangan akal
sehat dan sebagainya.
Perbedaan pendapat dalam lapangan hukum sebagai hasil penelitian
(ijtihad), tidak perlu dipandang sebagai faktor yang melemahkan kedudukan
hukum Islam, bahkan sebaliknya bisa memberikan kelonggaran kepada orang
banyak sebagaimana yang diharapkan Nabi: “Perbedaan pendapat di kalangan
umatku adalah rahmat” (HR. Baihaqi dalam Risalah Asy‟ariyyah).
Hal ini berarti, bahwa orang bebas memilih salah satu pendapat dari
pendapat yang banyak itu, dan tidak terpaku hanya kepada satu pendapat saja.
Kelahiran mazhab-mazhab hukum dengan pola dan karakteristik tersendiri ini, tak
pelak lagi menimbulkan berbagai perbedaan pendapat dan beragamnya produk
hukum yang dihasilkan.
Para tokoh atau imam mazhab seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
Syafi‟i, Ahmad bin Hanbal dan lainnya, masing-masing menawarkan kerangka
metodologi, teori dan kaidah kaidah ijtihad yang menjadi pijakan mereka dalam
menetapkan hukum. Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh
para tokoh dan para Imam Mazhab ini, pada awalnya hanya bertujuan untuk
memberikan jalan dan merupakan langkah-langkah atau upaya dalam
memecahkan berbagai persoalan hukum yang dihadapi baik dalam memahami
nash al-Quran dan al-Hadis maupun kasus-kasus hukum yang tidak ditemukan
jawabannya dalam nash.

4
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan mazhab?
2. Bagaimana sejarah kehidupan imam mazhab?
3. Bagaimana metode istinbat hukum imam mazhab?
4. Bagaimana pengembangan model istinbath hukum islam periode
klasik?
5. Bagaimana perbandingan mazhab dan korelasi dengan mazhab di
indonesia?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan mazhab.
2. Untuk mengetahui bagaimana sejarah kehidupan imam mazhab.
3. Untuk mengetahui bagaimana metode istinbat hukum imam
mazhab.
4. Untuk mengetahui pengembangan model istinbath hukum islam
periode klasik.
5. Untuk mengetahui perbandingan mazhab dan korelasi dengan
mazhab di indonesia.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Mazhab
Menurut Bahasa “mazhab” berasal dari shighah mashdar mimy (kata sifat)
dan isim makan (kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il madhi
“dzahaba” yang berarti pergi”. Sementara menurut Huzaemah Tahido Yanggo
bisa juga berarti al-ra’yu yang artinya “pendapat”.
Sedangkan secara terminologis pengertian mazhab menurut Huzaemah
Tahido Yanggo, adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam
Mujtahid dalam memecahkan masalah, atau mengistinbatkan hukum Islam.
Selanjutnya Imam Mazhab dan mazhab itu berkembang pengertiannya menjadi
kelompok umat Islam yang mengikuti cara istinbath Imam Mujtahid tertentu atau
mengikuti pendapat Imam Mujtahid tentang masalah hukum Islam.
Jadi bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud mazhab meliputi dua
pengertian, yaitu: Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh
seorang Imam Mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan
kepada al-Qur‟an dan hadis. Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam
Mujtahid tentang hukum suatu peristiwa yang diambil dari al-Qur‟an dan hadis.
Dalam perkembangan mazhab-mazhab fiqih telah muncul banyak mazhab fiqih.
Menurut Ahmad Satori Ismail, para ahli sejarah fiqh telah berbeda
pendapat sekitar bilangan mazhab. Tidak ada kesepakatan para ahli sejarah fiqh
mengenai berapa jumlah sesungguhnya mazhab-mazhab yang pernah ada.
Namun dari begitu banyak mazhab yang pernah ada, maka hanya beberapa
mazhab saja yang bisa bertahan sampai sekarang. Menurut M. Mustofa Imbabi,
mazhab-mazhab yang masih bertahan sampai sekarang hanya tujuh mazhab saja
yaitu: Mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, Hambali, Zaidiyah, Imamiyah dan Ibadiyah.
Adapun mazhab-mazhab lainnya telah tiada.

6
B. Sejarah Kehidupan Dan Latar Belakang Imam Mazhab
Sebenarnya ikhtilaf telah ada di masa sahabat, hal ini terjadi antara lain
karena perbedaan pemahaman di antara mereka dan perbedaan nash (sunnah)
yang sampai kepada mereka, selain itu juga karena pengetahuan mereka dalam
masalah hadis tidak sama dan juga karena perbedaan pandangan tentang dasar
penetapan hukum dan berlainan tempat Dari fragmentasi sejarah, bahwa
munculnya madzhab-madzhab fiqih pada periode ini merupakan puncak Dari
perjalanan kesejarahan tasyri‟.
Bahwa munculnya madzhab-madzhab fiqih itu lahir dari perkembangan
sejarah sendiri, bukan karena pengaruh hukum romawi sebagaimana yang
dituduhkan oleh para orientalis.Fenomena perkembangan tasyrik pada periode ini,
seperti tumbuh suburnya kajian-kajian ilmiah, kebebasan berpendapat, banyaknya
fatwa-fatwa dan kodifikasi ilmu, bahwa tasyri‟ memiliki keterkaitan sejarah yang
panjang dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya.
Munculnya madzhab dalam sejarah terlihat adanya pemikirah fiqih dari
zaman sahabat, tabi’in hingga muncul madzhab-madzhab fiqih pada periode ini.
Seperti contoh hukum yang dipertentangkan oleh Umar bin Khattab dengan Ali
bin Abi Thalib ialah masa iddah wanita hamil yang ditinggal mati oleh suaminya.
Golongan sahabat berbeda pendapat dan mengikuti salah satu pendapat
tersebut, sehingga munculnya madzhab-madzhab yang dianut. Di samping itu,
adanya pengaruh turun temurun dari ulama-ulama yang hidup sebelumnya tentang
timbulnya madzhab tasyri’, ada beberapa faktor yang mendorong, diantaranya:
1. Karena semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam sehingga hukum
islampun menghadapi berbagai macam masyarakat yang berbeda-beda
tradisinya.
2. Muncunya ulama-ulama besar pendiri madzhab-madzhab fiqih berusaha
menyebarluaskan pemahamannya dengan mendirikan pusat-pusat studi
tentang fiqih, yang diberi nama Al-Madzhab atau Al-Madrasah yang
diterjemahkan oleh bangsa barat menjadi school, kemudian usaha tersebut
dijadikan oleh murid-muridnya.

7
3. Adanya kecenderungan masyarakat Islam ketika memilih salah satu
pendapat dari ulama-ulama madzhab ketika menghadapi masalah hukum.
Sehingga pemerintah (kholifah) merasa perlu menegakkan hukum islam
dalam pemerintahannya. Permasalahan politik, perbedaan pendapat di
kalangan muslim awal tentang masalah politik seperti pengangkatan
kholifah-kholifah dari suku apa, ikut memberikan saham bagi munculnya
berbagai madzhab hukum.

1. Imam Syafi’i
Imam Syafi’i lahir pada bulan Rajab tahun 150 H (767 M) di Gazza bagian
selatan Palestina. Sedangkan kampung halamannya bukan di Gazza melainkan di
Makkah (Hijaz). Menurut keterangan sejarah, konon ibu dan bapak Imam al-
Syafi’i datang ke Gazza hanya untuk suatu keperluan, namun tidak lama setelah
itu al-Syafi’i dilahirkan. Menurut suatu riwayat, pada tahun itu juga wafat Imam
Abu Hanifah di Baghdad. Nama lengkap Imam Syafi’i adalah Abu Abdillah
Muhammad ibn Idris ibn Abbas ibn Syafi’i ibn Saib ibn ‘Ubaid ibn Yazid ibn
Hasyim ibn Adb. Al-Muthalib ibn Abd. Al-Manaf ibn Qushay al-Quraisyisy.
Sedangkan gelar beliau adalah Abu Abdillah.
Adapun nasab Imam Syafi’i bin Fatimah binti Abdullah ibn Hasan ibn
Husen ibn Ali ibn Abi Thalib. Dengan demikian, maka ibu Imam Syafi’i adalah
cucu dari Sayyidina Ali ibn Abi Thalib, menantu Nabi Muhammad SAW. dan
khalifah keempat yang terkenal. Dalam sejarah ditemukan bahwa Saib ibn Yazid,
kakek Imam Syafi’i yang kelima adalah sahabat Nabi Muhammad SAW. Dengan
demikian, beliau adalah keturunan dari keluarga bangsa Quraisy dan keturunan
beliau bersatu dengan keturunan Nabi SAW., pada Abdul Manaf.1
Beratnya kehidupan di sana bagi seorang janda, membuat ibu Al-Syafi'i
tidak mampu bertahan hidup di sana. Sang ibu lalu membawanya ke Asqalan dan
kemudian ke Makkah kembaii dengan maksud agar Al-Syafi'i bisa hidup di
tengah-tengah keluarga dan nenek moyangnya dengan kehidupan yang cukup.
Kenyataannya kehidupannya di Makkah tidak lebih baik dari kehidupan yang
1
Fahrur Rozi, Pemikiran Mazhab Fiqh Imam Syafi’i, Jurnal Hukum Islam, Vol. 5, 2021,
Hal. 92-93.

8
kasar, tetapi dengan kesadaran akan penderitaan hidup inilah Al-Syafi'i mulai
mengawali aktivitas keilmuannya. Aktivitas pendidikannya dimulai dengan studi
Al-Quran dalam hal tilawah, tajwid dan tafsirnya dengan guru-guru yang ada di
Masjid Al-Haram. Kesungguhan dan ketekunannya dalam menghafal Al-Quran
teriihat ketika pada usia sembiian tahun beliau telah mampu menghafal Al-Quran
dan beberapa hadits di luar kepala. Hafalannya terhadap banyak hadits lebih
merupakan akibat dari kurangnya sarana untuk menulis pelajaran yang
diterimanya.2
2. Imam Malik
Nama besar Imam Malik Rahimahullah adalah Abu Abdullah Malik bin
Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amar bini al-Haris bin Ghaiman bin Qutail bin
Amar bin al-Harist al-Asbahi. Imam Malik dilahirkan di Kota Madinah pada 93
Hijriah bersamaan dengan tahun 713 Masehi, yaitu pada zaman pemerintahan
Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik daripada kerajaan Bani Umayyah. Beliau
berasal dari keturunan Arab yang terhormat dan dimuliakan oleh masyarakat
karena datuknya Amir bin al-Harist banyak berkorban bersama Nabi Muhammad
S.A.W, dalam menegakkan agama Islam. Kehidupan keluarganya yang susah
tidak memadamkan cita-citanya untuk menjadi orang yang berilmu. Berkat
usahanya yang gigih dan bersungguh-sungguh, akhirnya beliau muncul sebagai
seorang ulama, hartawan, dermawan dan berjaya memegang jawatan mufti besar
di Madinah. Beliau pernah menjadi guru sedari usia 17 tahun dan dapat mengajar
dengan baik walaupun masih muda. Majlis pengajian beliau dilakukan di Masjid
Nabawi.3
Beliau adalah pendiri Madzhab Maliki dan meninggal dunia saat usianya
86 tahun pada 10 Rabiulawal 179 Hijriah atau 798 Masehi, beliau meninggalkan
tiga orang putera dan seorang puteri. Mazhab Maliki berkembang di beberapa
tempat di dunia, seperti Maghribi, Algeria, Libya, Iraq dan Palestina.4

2
Rohidin, Historisitas Pemikiran Hukum Imam Asy-Syafi'i, Jurnal Hukum, Vol. 11, 2004,
Hal. 97-105.
3
Abdurrahman, Perbandingan Madzhab-Madzhab, (Bandung: Sinar Baru, 1986), Cet. Ke-
1, H.29.
4
Hudhari Bik, Tarikh Al Tasyri‟ Al Islam. Terj. Mohammad Zuhri “Sejarah Pembinaan
Hukum Islam”, (Bandung: Darul Ihya, 1980), H. 419.

9
Imam Malik bin Anas tumbuh dan berkembang di kota Madinah diantara
sahabat, tabi‟in, kaum Anshar, ulama dan fuqoha‟. Jadi, sepanjang umur
hidupnya Imam Malik terus menetap di Madinah, tidak pernah pindah ke negeri
lain kecuali ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Sehingga Imam Malik
mendapat gelar Imam Dar al-Hijrah. Imam Malik bin Anas hidup sezaman dengan
Imam besar lainnya, seperti Imam Ja‟far Ash-Shadiq, Imam Al-Layts ibn Sa‟ad
(Mesir), dan Imam Abu Hanifah. Imam Malik pernah bertemu dengan Abu
Hanifah, waktu Abu Hanifah ke Madinah. Menurut A. Djazuli usia Abu Hanifah
13 tahun lebih tua dari Malik bin Anas . Imam Malik bin Anas merupakan orang
yang saleh, sangat sabar, ikhlas dalam berbuat, mempunyai daya ingat dan hafalan
kuat, serta kokoh dalam pendiriannya.
Selain itu Imam Malik mempunyai ciri-ciri fisik tinggi tegap, hidungnya
mancung, matanya biru dan jenggotnya panjang. Setelah menjadi ulama besar,
Imam Malik mempunyai dua tempat pengajian yaitu masjid dan rumahnya
sendiri. Yang disampaikan pertama adalah hadist dan yang kedua merupakan
masalah-masalah fiqih. Dalam hal mengajar, Imam Malik sangat menjaga diri
agar tidak salah dalam memberi fatwa. Oleh karena itu, untuk masalah yang
ditanyakan, sedang beliau belum yakin betul akan kebenaran jawabannya, lalu
beliau menjawabnya dengan la adri (saya tidak tahu). Meskipun Imam Malik
dikelompokkan kepada ahlu hadist, tetapi tidak berarti hanya menggunakan hadist
saja dalam memutuskan hukum. Sebab Imam Malik juga menggunakan al-
Maslahah.
3. Imam Hanafi
Mazhab Hanafi merupakan mazhab yang paling tua di antara empat
mazhab ahli sunnah wal jama’ah yang populer. Mazhab ini dinisbahkan kepada
imam besar Abu Hanifah AnNu’man bin Tsabit bin Zauti At-Taimi Al-Kufi atau
lebih dikenal dengan nama Abu Hanifa. Abu Hanifah dilahirkan di Kufah tahun
80 H, dan meninggal di Baghdad tahun 150 H.5
Imam Abu Hanifah tumbuh dalam keluarga pedagang, namun
ketekunannya yang tinggi mempelajari ilmu agama mengantarkannya pada
5
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri‟ Sejarah Legislasi Hukum Islam, (Jakarta: Amzah,
2009), H. 172.

10
kedudukan yang tinggi di kalangan ulama. Dikenal sebagai kalangan tabi‟it
Tabi‟in (generasi setelah tabi‟in), meskipun pada masanya ada beberapa orang
sahabat yang masih hidup, namun beliau tidak sempat menemuinya dan berguru
kepadanya. Maka beliau berguru kepada beberapa orang tabi‟in yang sempat
berguru kepada para sahabat radhiallahuanhum ajma‟in.6
Menurut suatu riwayat, ia dipanggil dengan sebutan Abu Hanifah, karena
Ia Mempunyai Seorang Putra Bernama Hanifah. Menurut Kebiasaan, Nama Anak
menjadi panggilan bagi ayahnya dengan memakai kata Abu (Bapak/Ayah),
sehingga ia dikenal dengan sebutan Abu Hanifah. Tetapi menurut Yusuf Musa, ia
disebut Abu Hanifah karena ia selalu berteman dengan “tinta” (dawat), dan kata
Hanifah (‫ة‬MM‫( حنيف‬menurut bahasa Arab berarti “tinta”. Abu Hanifah senantiasa
membawa tinta guna menulis dan mencatat ilmu pengetahuan yang diperoleh dari
teman-temanya.
Abu Hanifah menekuni ilmu fiqih di Kufah yang pada waktu itu
merupakan pusat pertemuan para ulama fiqih yang cenderung rasional. Di Irak
terdapat Madrasah Kufah, yang dirintis oleh Abdullah bin Mas’ud (wafat 63
H/682 M). kepemimpinan madrasah Kufah kemudian beralih kepada Ibrahim Al-
Nakhha’i, lalu Hammad bin Sulaiman Al-Asy’ari (wafat 120 H). Hammad bin
Sulaiman adalah seseorang Imam Besar (terkemuka) ketika itu.
Ia murid dari Al-Qamah ibn Qais dan Al-Qadhi Syuriah, keduanya adalah
tokoh dan pakar fiqih yang terkenal di Kufah dari golongan tabi‟in. dari Hammad
ibn Abi Sulaiman itulah Abu Hanifah belajar fiqih dan hadits. Setelah itu, Abu
Hanifah beberapa kali pergi ke Hijaz untuk mendalami fiqih dan hadits sebagai
nilai tambah dari apa yang ia peroleh di Kufah. Sepeninggal Hammad, majelis
madrasah Kufah sepakat untuk mengangkat Abu Hanifah menjadi kepala
madrasah. Selama itu ia mengabdi dan banyak mengeluarkan fatwa dalam
masalah fiqih.
Fatwa-fatwa itu merupakan dasar utama dari pemikiran mazhab Hanafi
yang dikenal sekarang ini. Abu Hanifah adalah seorang mujtahid yang ahli ibadah,
ahli zuhud serta sudah sampai kepada tingkatan ma’rifat kepada Allah SWT.
6
Abdullah Haidir, Mazhab Fiqih: Kedudukan Dan Cara Menyikapinya, (Riyadh: Dar
Khalid Bin Al-Waleed. 2004), H. 39.

11
Dalam bidang fiqih beliau belajar kepada Hammad bin Abu Sulaiman pada awal
abad kedua hijriah dan beliau banyak belajar pada ulama-ulama Tabi‟in, seperti
Atha bin Abi Rabah dan Nafi’ Maula Ibnu Umar. Abu Hanifah adalah seorang
ulama yang sangat mempunyai kepandaian yang sangat tinggi dalam
mempergunakan ilmu mantiq dan menetapkan hukum syara‟, dengan qiyas dan
istihsan. Beliau juga terkenal sebagai seorang ulama yang berhatihati dalam
menerima sesuatu hadits.7
4. Imam Hambali
Imam Ahmad ibn Hanbal adalah imam yang keempat dari fuqoha Islam. Dia
memiliki sifat-sifat yang luhur dan tinggi, imam umat Islam, imam Darussalam,
Mufti di Irak, Zahid dan saleh, sabar menghadapi cobaan, seorang ahli hadits dan
contoh teladan bagi orang-orang yang ahli hadits. Sayyid Rasyid Ridho
berpendapat bahwa Ahmad ibn Hanbal adalah seorang mujaddid (pembaharu)
abad ketiga.Bahkan dalam pandangan peneliti lainnya berpendapat bahwa Imam
Ahmad ibn Hanbal lebih utama, dengan gelar tersebut, dari pada Ibnu Suraij,
Syafi’i,Thahawy, al-Khilal dan an-Nasa’i.8
Ayah ibn Hanbal meninggal dunia ketika dia masih kecil.Karenaitulah dia
diasuh dan dibesarkan serta dididik oleh ibunya yang bernamaShatiyah binti
Maimunah binti Abdul Malik Asy-Syaibani dari Bani Amir.Maka ayah dan bunda
dia adalah keturunan Arab asli suku Syaiban yangtinggal di Basrah.Karena itu dia
juga diberi gelar al-Basri. Ketika dia berziarah ke Basra dirinya menyempatkan
untuk shalat di masjid Mazinbani Syaiban. Dia berkata, “sesungguhnya masjid ini
adalah masjid nenek moyangku. Ketika ayah ibn Hanbal meninggal dunia,
ayahnya hanyameninggalkan harta pas-pasan untuk menghidupi keluarganya.
Sebuahriwayat menyebutkan bahwa jika Ahmad ibn Hanbal ditanya asal
usulsukunya, dia mengatakan bahwa ia anak dari suku orang-orang miskin . Dan
semenjak kematian ayahnya, ibunya tidak menikah lagi, meskipun diamasih muda
dan banyak laki-laki yang melamarnya. Hal itu dilakukandengan tujuan agar ia

7
Asep Saefudin Al-Mansur, Kedudukan Mazhab Dalam Syariat Islam, (Jakarta: Pustaka
Al Husna, 1984), H. 46.
8
Imam Munawwir, Mengenal Pribadi 30 Pendekar Dan Pemikir Islam Dari Masa Ke
Masa, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1985, Cet.Ke-1,H.291.

12
bisa memfokuskan perhatian pada Ahmad ibnHanbal sehingga bisa tumbuh
sebagaimana yang ia harapkan.
Ahmad ibn Hanbal dibesarkan di Baghdad dan mendapatkanpendidikan
awalnya di kota tersebut hingga usia 19 tahun. Sejak kecilAhmad disekolahkan
kepada seorang ahli Qiroat. Pada umur yang masihrelatif muda ia sudah
menghafalkan al-Quran, sejak usia enam belas tahunAhmad juga belajar hadits.
Karena kecintaan Ahmad terhadap hadits pagi pagi buta dia selalu pergi ke
masjid-masjid hingga ibunya merindukannya. Tahun 183 H Ahmad ibn Hanbal
pergi ke beberapa kota dalamrangka mencari ilmu. Dia pergi ke Kuffah pada
tahun 183 H, kemudian keBashrah pada tahun 186, ke Makkah pada tahun 187,
dilanjutkan keMadinah, Yaman (197), Siria dan Mesa Mesopotamia. Ibn
Hanbalmempelajari hadits untuk pertama kalinya dari Abu Yusuf Ya’qub bin
Ibrahim al-Qodhi , seorang ahl alra’yi pengikut Abu Hanifah. Dia belajarfiqih dan
hadits dari Abi Yusuf.Karena itulah Abu Yusuf terhitungsebagai guru pertama
bagi Ibn Hanbal.
Sebagian peneliti berpendapat bahwa pengaruh Abu Yusufterhadap Ibn
Hanbal tidak begitu kuat. Sehingga ada yang mengatakanbahwa Abu Yusuf bukan
guru pertamanya melainkan Hasyim8 bin Basyirbin Abu Hazim al-Wasithy.
Sesungguhnya dialah yang memberi pengaruhyang jelas pada diri Ibn Hanbal.Ibn
Hanbal berguru pada Hasyim selama4 tahun dan mengambil hadits dan
menulisnya sebanyak 3000 hadits.

C. Pemikiran Dan Model Istinbat Hukum Imam Mazhab


1. Imam Syafi’i
Mengingat luasnya buah pikiran Imam Syafi’i tentang segala aspek ilmu
pengetahuan, adapun masalah pikirannya dapat dilihat dari mazhab-mazhab qadim
dan mazhab jadidnya. Imam Syafi’i tidak menyukai ilmu kalam karena ilmu
kalam itu dibangun golongan muktazilah, sedang mereka menyalahi jalan yang

13
ditempuh ulama salaf dalam mengungkapkan akidah dan Al-Qur’an. Sebagai
seorang fiqh/muhaddits tentu saja beliau mengutamakan Ittiba’ dan menjahui
ibtida’ sedang golongan muktazilah mempelajarinya secara falsafah.
Imam Syafi’i terkenal sebagai seorang yang membela mazhab Maliki dan
mempertahankan mazhab ulama Madinah hingga terkenallah beliau dengan
sebutan Nasyirus Sunnah (penyebar Sunnah). Hal ini adalah hasil
mempertemukan antara fiqh Madinah dengan fiqh Irak.
Mengenai dasar-dasar hukum yang dipakai oleh Imam Syafi’i sebagai
acuan pendapatnya termaktub dalam kitabnya ar-Risalah sebagai berikut:
a. Al-Qur’an, beliau mengambil dengan makna yang lahir kecuali jika didapati
alasan yang menunjukkan bukan arti yang lahir itu, yang harus dipakai atau
dituruti.
b. As-Sunnah, beliau mengambil sunnah tidaklah mewajibkan yang mutawatir
saja, tetapi yang Ahad pun diambil dan dipergunakan pula untuk menjadi
dalil, asal telah mencukupi syarat-syaratnya, yakni selama perawi hadits itu
orang kepercayaan, kuat ingatannya dan bersambung langsung sampai kepada
Nabi SAW.
c. Ijma’, dalam arti bahwa para sahabat semua telah menyepakatinya. Di
samping itu, beliau berpendapat dan meyakini bahwa kemungkinan Ijma’ dan
persesuaian faham bagi segenap ulama itu, tidak mungkin karena berjauhan
tempat tinggal dan sukar berkomunikasi. Imam Syafi’i masih mendahulukan
hadits Ahad dari pada Ijma’ yang bersendikan ijtihad, kecuali kalau ada
keterangan bahwa Ijma’ itu bersendikan naqal dan diriwayatkan orang ramai
hingga sampai kepada Rasulullah.
d. Qiyas, Imam Syafi’i memakai qiyas apabila dalam ketiga dasar hukum di atas
tidak tercantum, juga dalam keadaan memaksa. Hukum qiyas yang terpaksa
itu hanya mengenai keduniaan atau muamalah, karena segala sesuatu yang
bertalian ibadah telah cukup sempurna dari al-Qur’an dan as-Sunnah
Rasulullah. Untuk itu beliau dengan tegas berkata: “Tidak ada hukum qiyas
dalam ibadah”. Beliau tidak terburuburu menjatuhkan hukum secara qiyas

14
sebelum lebih menyelidiki tentang dapat atau tidaknya hukum itu
dipergunakan.
e. Istidlal (Istishhab), Maulana Muhammad Ali dalam bukunya Islamologi
mengatakan bahwa Istidlal makna aslinya menarik kesimpulan suatu barang
dari barang lain. Imam Syafi’i memakai jalan istidlal dengan mencari alasan
atas akidah-akidah agama ahli kitab yang terang-terangan tidak dihapus oleh
Al-Qur’an. Beliau tidak sekali-kali mempergunakan pendapat atau buah
pikiran manusia.
Seterusnya beliau tidak mau mengambil hukum dengan cara Istihsan.
Imam Syafi’i berpendapat mengenai Istihsan ini sebagai berikut: “Barang siapa
menetapkan hukum dengan Istihsan berarti ia membuat syariat tersendiri”.
Qaul Qadim (sebagai hasil ijtihad yang pertama ) dan qaul jadid (sebagai
pengubah keputusan hukum yang pertama) Imam Syafi’i itu terungkap dalam
beberapa masalah, antara lain sebagai berikut:
a) Air yang kena najis.
Qaul Qadim: Air yang sedikit dan kurang dari dua kulllah, atau kurang dari
ukuran yang telah ditentukan, tidak dikategorikan air mutanajis, selama air itu
tidak berubah.
Qaul Jadid: Air yang sedikit dan kurang dari dua kullah atau kurang dari ukuran
yang telah ditentukan, tidak dikategorikan air mutanajis, apakah air berubah atau
tidak.
b) Bersambung (muwaalah) dalam berwudhu.
Qaul Qadim: Bersambung (muwaalah) dalam berwudhu hukumnya wajib.
Qaul Jadid: Bersambung dalam berwudhu itu hukum sunah karena berdasarkan
riwayat, bahwa Rasulullah SAW. Pernah berwudhu dan menunda membasuh kaki
beliau itu.
c) Hukum mendatangkan saksi sewaktu rujuk.
Qaul Qadim: Harus ada saksi sewaktu suami ingin rujuk kepada isrtinya, sesuai
dengan firman Allah SWT “ Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil
di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah” (QS.
At-Thalaq: 2) .

15
Qaul Jadid: Tidak wajib mendatangkan saksi, karena rujuk itu adalah hak suami,
sesuai dengan firman Allah SWT: “…/Dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah…” (QS.
Al.Baqarah: 228).
Demikianlah dikemukakan beberapa contoh qaul qadim dan qaul jadid
sebagai fakta nyata, bagaimana keluasan pandangan Imam Syafi’i dalam
menetapkan suatu hukum.
Perubahan penetapan hukum yang beliau lakukan itu, karena dua sebab,
diantaranya:
a. Beliau menemukan dan berpendapat, bahwa ada dalil yang dipandang lebih
kuat sewaktu beliau sudah pindah ke Mesir, atau dengan kata lain meralat
pendapat yang lama.
b. Beliau mempertimbangkan keadaan setempat, situasi dan kondisi. Faktor
yang kedua inilah barangkali jangkauannya lebih luas, namun tetap terbatas,
karena walaupun bagaimana beliau tetap lebih bersifat hati-hati dalam
menetapkan suatu hukum, sebagaimana kita lihat dari pendirian beliau
menyatakan ketidaksetujuannya dalam menetapkan hukum dengan cara
istihsan (Imam Hanafi).
2. Imam Malik
Imam Malik adalah seorang mujtahid dalam bidang ilmu fikih,
sebagaimana halnya imam Abu Hanifah, imam Syafi’i dan Hambali. Karena
ketekunan dan kecerdasannya, beliau menjadi ulama besar, terutama dalam bidang
ilmu hadis dan fikih. Al-Dahlawy mengatakan: “Malik adalah orang yang paling
ahli dalam bidang ilmu hadis di Madinah, yang paling mengetahui keputusan
Umar, yang paling mengetahui tentang pendapat-pendapat Abdullah Ibn ‘Umar,
‘Aisyah R.A. dan sahabat-sahabat lainnya”.9
Pola pemikiran atau metode istidlal imam Malik dalam menetapkan
hukum Islam, dapat dirangkum sebagai berikut:
a) Al-Qur’an al-Karim, pengambilan hukum dari Al-Qur’an meliputi zahir-nya
nash atau keumumannya, mafhum mukhalafah, misalnya: Rasulullah SAW
9
Abdur Rakib, Bashori Alwi, Pemikiran Fiqh Imam Malik Bin Anas, HAKAM; Jurnal
Kajian Hukum Islam, Vol. 6, 2022, Hal. 5-9.

16
bersabda yang artinya, pada hewan ternak yang digembalakan ada zakatnya,
mafhum mukhalafah-nya, hewan ternak yang diberi makan dengan biaya
sendiri tidak wajib mengeluarkan zakat. Dan mafhum al-Aula dengan
memperhatikan ‘illat-nya.
b) Al-Sunnah al-Nabawiyyah, menurut Imam malik: apabila dalil syar’i
menghendaki adanya pen-ta’wil-an, maka yang dijadikan pegangan adalah
arti ta’wil tersebut. Jika terdapat pertentangan antara makna zahir al-Qur’an
dengan makna yang terkandung dalam Sunnah, maka yang diambil adalah
makna zahir al-Qur’an, tetapi apabila makna yang dikandung oleh al-Sunnah
tadi dikuatkan oleh ijma’ ahl al-Madinah, maka ia lebih mengedepankan
makna yang terkandung dalam Sunnah daripada zahir al-Qur’an, sunnah yang
dimaksud disini adalah Sunnah al-Mutawatirah.
c) Ijma’ Ahl al-Madinah, yaitu ijma’ yang asalnya dari al-Naql, hasil dari
mengikuti Rasulullah SAW, bukan dari hasil ijtihad ahl al-Madinah, seperti
tentang ukuran mud, sha’ dan penentuan suatu tempat, seperti tempat mimbar
Nabi atau tempat dilakukannya amalan-amalan rutin seperti adzan ditempat
yang tinggi dan lain sebagainya. Ijma’ semacam ini yang dijadikan hujjah
oleh imam Malik. Dikalangan Mazhab Maliki, ijma’ ahl al-Madinah lebih
diutamakan daripada khabar ahad, sebab menurut mereka ijma’ ahl al-
Madinah merupakan pemberitaan dari jama’ah atau banyak orang, dibanding
khabar ahad yang hanya diberitakan oleh perorangan. c. Amalan ahl al-
madinah yang dijadikan pen-tarjih antara dua dalil yang saling bertentangan.
Artinya, ketika bertentangan, maka dalil yang diperkuat oleh amalan ahl al-
madinah yang dijadikan hujjah menurut mazhab Maliki. d. Amalan ahl al-
madinah setelah masa-masa yang menyaksikan langsung amalan Nabi SAW.
Amalan ahl al-madinah seperti ini, tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.
d) Fatwa Sahabat, maksudnya sahabat besar yang pengetahuan mereka terhadap
suatu masalah berdasarkan al-Naql. Sahabat yang dimaksud misalnya:
Khulafa al-Rasyidin, Mu’adz, Ubay, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas dan yang
setara dengan mereka. Menurut imam Malik, para sahabat tidak akan
mengeluarkan fatwa, kecuali atas dasar apa yang betul-betul dipahami dari

17
Rasulullah SAW. Namun beliau mensyaratkan bagi fatwa sahabat tersebut,
tidak boleh bertentangan dengan hadis marfu’. Fatwa sahabat yang terpenuhi
syaratnya tadi, lebih dikedepankan dari pada qiyas.
e) Khabar Ahad dan Qiyas, imam Malik tidak mengakui khabar ahad sebagai
sesuatu yang datang dari Rasulullah, jika khabar tersebut bertentangan
dengan sesuatu yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Madinah, kecuali
khabar ahad tadi dikuatkan oleh dalil-dali lain yang qath’iy. Dalam
menggunakan khabar ahad, kadang beliau mengedepankan qiyas daripada
khabar ahad, kalau khabar ahad itu tidak dikenal kalangan masyarakat
madinah. Tidak dikenalnya khabar itu oleh masyarakat madinah,
membuktikan bahwa khabar tersebut tidak berasal dari Rasulullah SAW,
sehingga dalam hal ini, beliau lebih memilih menggunakan qiyas.
f) Al-Istihsan, menurut mazhab Maliki, Istihsan adalah: “Menggali hukum
dengan mengambil maslahah yang merupakan bagian dalam dalil bersifat
kully atau menyeluruh dengan maksud mengutamakan al-Istidlal al-Mursal
daripada qiyas, sebab dengan menggunakan istihsan, tidak berarti hanya
mendasarkan pada pertimbangan perasaan semata, melainkan berdasarkan
pertimbangan maksud pembuat syara’ secara keseluruhan.” Dari definisi tadi
jelas bahwa, istihsan lebih mengedepankan maslahah juz’iyyah atau masalah
tertentu dibandingkan dengan dalil kully atau dalil yang umum atau dengan
kata lain, istihsan adalah beralih dari satu qiyas ke qiyas lain yang dianggap
lebih kuat dilihat dari tujuan syari’at diturunkan. Artinya jika terdapat satu
masalah yang menurut qiyas semestinya diterapkan hukum tertentu, tetapi
dengan hukum itu ternyata akan menghilangkan suatu maslahah atau
membawa mudharat tertentu, maka ketentuan qiyas yang demikian, harus
dialihkan ke qiyas lain yang tidak berdampak akibat negatif.
g) Al-Maslahah al-Mursalah, adalah maslahah yang tidak ada dalil khusus yang
menganggap atau membatalkannya, yakni kembali kepada tujuan
diturunkannya syari’at. Tujuan syari’at diturunkan dapat diketahui melalui al-
Qur’an, hadis atau ijma’. Sadd al-Zara’i, imam Malik menggunakan ini
sebagai sandaran hukum. Menurut beliau, semua jalan atau sebab yang

18
menuju kepada yang haram, hukumnya haram, sebaliknya semua jalan yang
menuju kepada yang halal, halal hukumnya.
h) Istishhab, adalah tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa kini atau yang
akan datang, berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah ada di masa
lampau. Imam Malik menjadikannya pula sebagai landasan hukum. Misalnya:
seorang yang telah yakin sudah berwudhu dan dikuatkan lagi, bahwa ia baru
saja menyelesaikan shalat shubuh, kemudian datang keraguan tentang sudah
batal atau belum wudhunya, maka hukumnya adalah belum batal wudhunya,
berpegang pada hukum yang pertama.
i) Syar’u Man Qablana Syar’un Lana, menurut Qadhy Abul Wahab al-Maliki,
bahwa Imam Malik menggunakannya sebagai landasan hukum. Tetapi
menurut Muhammad Musa, tidak ditemukan secara jelas pernyataan imam
Malik tentang hal itu. Menurut Abdul Wahab Khallaf, bahwa apabila al-
Qur’an dan al-Sunnah al-Shahihah menyebutkan suatu hukum yang pernah
diberlakukan pada umat terdahulu melalui para Rasul, dan hukum-hukum
tersebut diaminkan pula dalam al-Qur’an atau al-Sunnah, maka hukumhukum
tersebut masih berlaku pula bagi kita. Contohnya: Surat al-Baqarah ayat 183,
tentang kewajiban berpuasa. Selanjutnya, jika dalam al-Qur’an dan hadis
menyatakan, bahwa hukum-hukum tersebut telah di-nasakh, maka hukum-
hukum tersebut tidak lagi berlaku bagi kita. Contoh: Syari’at Nabi Musa, tiap
orang dari umatnya jika berbuat maksiyat, tidak boleh lagi bertobat kecuali
dengan cara bunuh diri. Hukum tersebut pernah dipraktekkan Nabi Musa,
tetapi tidak berlaku bagi kita, sebagaimana disebutkan al-Qur’an Surat al-
Baqarah, ayat 186 .
3. Imam Hanafi
Metode istinbath yang digunakan Imam Abu Hanifah tidak menjelaskan
dasar ijtihad secara detail, namun kaidah umum (ushul kulliyah) yang melandasi
konstruksi fikih dapat dilihat pada pernyataan beliau: “Saya kembalikan semua
pertanyaan kepada Kitab, jika saya tidak menemukan jawaban yang sah dalam
Kitab Allah, saya merujuk pada Sunnah Nabi dan jika saya tidak menemukan

19
jawaban yang sah dalam Kitab Allah atau Sunnah Nabi, maka saya mengambil
pendapat para sahabat Nabi dan tidak mengambil fatwa selain dari mereka.
Ketika masalah sampai ke Ibrahim, Sha'b, Hasan, Ibnu Sirini, Atha' dan
Sa'id bin Musayyib (sebagian) Tabi'in), maka saya berhak berijtihad seperti
mereka.” Dari situ kita mengetahui bahwa prinsip istidlal yang digunakan oleh
Abu Hanifah bersumber dari Al-Qur'an, Sunnah dan Ijtihad dalam arti luas.
Dengan kata lain, jika Nash Al-Qur'an dan As-Sunnah secara jelas mengacu pada
suatu hukum, maka hukum itu disebut "diambil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah".
Namun jika Nash menunjukkannya secara tidak langsung atau sekedar
memberikan aturan dasar berupa tujuan moral, malam, dan lain-lain, maka
pengambilan hukumnya disebut qiyas. Nash Al-Qur'an yang memerintahkan
shalat seperti "Mulailah shalat", ayat ini jelas menunjukkan bahwa hukum shalat
diambil dari Nash-nash Al-Qur'an.
Tetapi larangan meminum minuman yang memabukkan, sebagaimana
firmanNya: Ya Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
(minum) anggur, judi, (pengorbanan) kepada berhala, membuang undi dengan
anak panah termasuk perbuatan setan”. (Maidah: 90). Pada ayat sebelumnya
disebutkan hanya miras, tetapi karena malam (alasan) diharamkannya miras
adalah sifatnya yang memabukkan, maka segala yang memabukkan dilarang
syariat. Jenis penalaran ini disebut qiyas.
Pada dasarnya, yang membedakan prinsip pemikiran Abu Hanifah dengan
para imam lainnya adalah keinginannya untuk mendalami hukum dan menyentuh
tujuan dan kepentingan moral yang menjadi objek utama pembuatan hukum. Ini
termasuk penggunaan Qiyas, Istihsan, 'Urf (kewajiban), teori pahala dan teori
lainnya. Di atas adalah Istinbat madzhab Hanafi dalam pengertian umum dan jika
secara umum disimpulkan bahwa prinsip-prinsip madzhab Imam Abu Hanifah
didasarkan pada Al-quran, sunnah, atsar-atsar Rasulullah adalah shahih dan
terkenal di kalangan ulama, fatwa para sahabat, qiyas, istihsan dan kebiasaan
umum di komunitas Muslim. Demikianlah prinsipprinsip madzhab Imam Abu

20
Hanifah dalam menegakkan fikih sebagaimana dikenal oleh para ulama ushul-
fiqh.10
4. Imam Hambali
Pemikiran fikih Imam Ahmad Al Hanbal sangat dipengaruhi oleh
kedalaman pengetahuannya tentang hadis. Hadis menempati posisi sentral, di
samping Alquran dalam mazhab fikihnya. Dia menentang keras pendapat yang
berdasarkan kepada Alquran semata dengan mengabaikan hadis. Tetapi bukan
berarti Imam Ahmad bersikap pesimis dalam menerima hadis. Hadis-hadis
diseleksinya dengan ketat, terutama hadis-hadis hukum. Hadis-hadis yang tidak
berkaitan langsung dengan masalah hukum, dia memperlonggar seleksi
penerimaannya. Imam Ahmad dapat menerima hadis dha’if sebagai hujjah dalam
masalah fadha'il al-'amal, selama kedhaifannya bukan karena perawinya
pembohong.
Ahmad berprinsip bahwa fatwa harus berdasarkan dalil-dalil yang bisa
diterima dan dipertanggungjawabkan. Dia menentang fatwa tanpa dasar yang kuat
atau fatwa yang berdasarkan pemikiran saja. Ahmad memiliki metode sendiri
dalam menginstimbathkan hukum. Metodologi fikih Ahmad dapat disarikan dari
fatwa-fatwa fikih yang disampaikan murid dan pengiktunya.11
a) Nash Alquran dan Sunnah
Alquran dan Sunnah disebutkan secara bersamaan dan pada tempat yang
sejajar di peringkat pertama urutan sumber dan dalil hukum. Keduanya
mempunyai hubungan timbal balik yang erat. Kehujjahan sunnah ditetapkan
melalui aqidah, sementara itu sunnah sendiri merupakan penjelasan bagian
Alquran. Meskipun demikian pada hakekatnya sunnah ditempatkan pada
peringkat kedua. Apabila Ahmad menemukan nash dalam Alquran atau sunnah,
maka ditetapkan hukum berdasarkan dalil tersebut. Dia tidak mempertimbangkan
dalil lain yang mungkin memiliki perbedaan dalam penunjuk hukum dengan nash-
nash tersebut, meski berupa fatwa sahabat sekalipun. Misalnya, Ahmad tidak
10
Murni Utami, Noor Hafizah, Nurul Izatil Hasanah, Mazhab Hanafiah Dan
Perkembangannya: Sejarah Dan Peta Pemikiran, Journal Islamic Education, Vol. 1, 2023, Hal. 28-
29.
11
Marzuki, Ahmad Bin Hanbal (Pemikiran Fikih Dan Ushul Fikihnya), Jurnal Hunafa,
Vol. 2, 2005, Hal. 107-118.

21
menerima fatwa Mu'az bin Jabal dan Mua'awiyah yang membolehkan seorang
muslim mewarisi harta orang kafir, sebab bagi Ahmad sudah cukup jelas dan
shahih hadis yang melarang hubungan kewarisan antara muslim dan kafir karena
perbedaan agama.
b) Fatwa Sahabat
Apabila para sahabat mengeluarkan fatwa tentang suatu masalah hukum
dan tidak terdapat perbedaan pendapat di antara mereka, maka Ahmad
menerimanya sebagai sumber dan dalil hukum setelah alQur'an dan Sunnah.
Meskipun tidak terdapat perbedaan pendapat, Ahmad tidak menyebutnya sebagai
ijmak. Ahmad lebih suka menyebutnya dengan fatwa sahabat. Ketika Ahmad
tidak menemukan fatwa sahabat seperti di atas, Ahmad mencari fatwa yang
diperselisihkan di kalangan sahabat dengan memiliki fatwa yang lebih sesuai
dengan Alquran dan Sunnah. Pada hakekatnya Ahmad juga memakai fatwa tabi'in
apabila tidak ditemukan fatwa yang dikemukakan sahabat.
c) Hadis Mursal dan Hadis Dha'if
Dalil dan sumber hukum selannjutnya menurut Ahmad adalah hadis
mursal dan hadis dha'if. Ahmad membagi tingkatan hadis ditinjau dari kualitas
perawinya kepada hadis shahih dan hadis dha'if.
Hadis dha'if yang dimaksud Ahmad tidak sama dengan hadis dha'if dalam
pengertian ilmu hadis yang membagi hadis kepada, hasan dan dha'if. Hadis dha'if
versi Ahmad dapat dikelompokkan kepada hadis Hasan dalam kategorisasi hadis
dalam ilmu hadis dewasa ini. Menurut Ibnu Qayyim, sebagaimana dikutip oleh
Abu Zahra, hadis dha'if pada versi Ahmad bukanlah hadis bathil atau hadis
mungkar. Pada hadis tersebut tidak ada kerusakan pada periwayatannya sehingga
tidak boleh dijadikan dalil hukum. Hadis dha'if yang dimaksud adalah hadis yang
perawi-perawinya tidak sampai kepada derajat tsiqah dan tidak pula jatuh kepada
iltiham (rusak/jelek). Sedangkan hadis mursal adalah hadis yang tidak disebutkan
perawinya pada tingkat sahabat.
d) Qiyas
Apabila Ahmad tidak menemukan dalil hukum dalam Alquran Sunnah,
fatwa sahabat dan tabi'in, serta hadis mursal dan hadis dha'if, maka Ahmad

22
menggunakan qiyas. Penggunaan qiyas ini dilakukan dalam keadaan terpaksa,
dalam arti tiada dalil-dalil lain seperti yang disebut di atas. Di samping
menggunakan ke lima dalil dan sumber hukum yang dijelaskan Ibnu Qayyim di
atas, menurut Abu Zahra, Imam Ahmad juga menggunakan dalil atau sumber lain
seperti ijmak, al-mashalih, istishlah, zara'i dan istishlah. Abu Zahra mencoba
mengemukakan pandangan Imam Ahmad dalam penggunaan dalil-dalil dan
sumbersumber hukum tersebut.
e) Ijmak
Ijmak merupakan kesepakatan para mujtahid dalam suatu masa tentang
suatu hukum syarah berdasarkan dalil-dalil dari Alquran dan Sunnah (dan juga
qiyas menurut sebagian fuqaha'). Ijmak dari segi lapangan hukumnya terbagi dua.
Pertama, ijmak tentang dasar-dasar kewajiban seperti jumlah raka'at salat, puasa
dan haji. Barang siapa yang mengingkari ijmak ini berarti mengingkari masalah-
masalah agama yang harus diketahui secara pasti dan berarti telah keluar dari
Agama; kedua, Ijmak di luar masalah-masalah di atas seperti ijmak para sahabat
tentang kewajiban membunuh orang yang murtad.
Ahmad membagi ijmak kepada dua, pertama, ijmak al-'ulya, yaitu ijmak
para sahabat. Ijmak ini bisa dijadikan hujjah karena sesuai dengan Alquran dan
sunnah shahihah, sebab tidak mungkin para sahabat mengingkari sunnah sahihah,
sedangkan mereka adalah perawi-perawi; kedua adalah pendapat yang masyhur
yang tidak diketahui ada yang menyalahinya, sehingga disebutkan dengan istilah
"ijma". Ahmad menolak pemberian istilah ijmak terhadap kategori kedua ini,
sebab bila kemudian diketahui ada pendapat yang berbeda, maka batallah
statusnya sebagai ijmak.
Tentang hal ini, putra Ahmad– Abdullah–menyampaikan ucapan Ahmad:
"Siapa yang mendakwakan, terjadinya ijmak, maka dia telah berdusta.
Sesungguhnya tabiat manusia adalah berbeda pendapat. Ada pendapat yang
diketahui dan ada pula yang belum diketahui oleh seseorang. Untuk itu bila
ditemui kesamaan pendapat yang masyhur, hendaklah katakan "Saya belum
mengetahui ada pendapat yang menentangnya".
f) Al-Mashalih

23
Yang dimaksud adalah al-mashalih al-mursalah, yakni kemashlahatan
yang tidak ditemukan dalilnya dalam Alquran maupun sunnah. Ahmad menerima
al-mashalih al-mursalah sebagai dalil hukum, sebab menurutnya para sahabat juga
menggunakannya. Ahmad banyak menggunakan mashlah dalam masalah al-
siyasah alsyar'iyyah, misalnya memperberat hukuman bagi orang yang meminum
minuman keras pada siang hari di bulan Ramadan.
Kalangan Hanabilah mengikuti sikap Ahmad ini. Mereka antara lain
berfatwa bolehnya memakan pemilik rumah untuk menampung tuna wisma jika
rumah tersebut memungkinkan untung menampung tuna wisma tersebut. Menurut
Abu Zahra, al-mashlahah al-muraslah yang diambil Ahmad sebagai dalil hukum
pada dasarnya termasuk ke dalam bab qiyas yang telah diperluas maknanya. Al-
mashlahah al-mursalah di qiyaskan kepada al-mashlah al-mu'tabarah pada fikih
Islam umum yang tercakup dalam keseluruhan nash, bukan dalam suatu nash
tertentu. Oleh sebab itu, penggunaannya sebagai dalil hukum dikemudiankan dari
hadis mursal dan hadis dha'if serta hanya digunakan dalam keadaan terpaksa.
g) Istihsan
Istihsan dalam mazhab Hanafi adalah penerapan hukum terhadap suatu
masalah yang belum ada hukumnya dengan mencari bandingannya dalam dalil
Alquran, sunnah, ijmak atau hukum darurat dengan cara berpaling dari qiyas
zhahir (nyata) kepada qiyas aqwa (lebih kuat). Menurut Abu Zahrah, tidak
mungkin Ahmad menolak istihsan, sebab proses pengambilan hukumnya tetap
berdasarkan nash, ijmak atau tunduk kepada hukum darurat. Jika ditinjau dari
mazhab Maliki, istihsan termasuk cara pengambilan hukum berdasarkan
mashlahah dengan cara berpaling dari kaedah yang sudah tetap. Menurut Abu
Zahrah, karena Ahmad juga menerima mashlahah sebagai dalil hukum maka tidak
mungkin mereka menentang istihsan.
h) Al-Zari'ah
Zari'ah berarti washilah, yaitu atau perantara yang menghasilkan dan
menyebabkan terwujudnya suatu perbuatan hukum tertentu. Menurut Ahmad dan
pengikutnya, bilamana Syari' memerintahkan sesuatu, berarti juga memerintahkan
wasilahnya. Begitu pula bila Syari' melarang sesuatu, berarti melarang

24
wasilahnya. Dengan demikian zari'ah memainkan peranan penting dalam
pertimbangan hukum mazhab Hanbali.
i) Istishab
Istihsab adalah melanjutkan pemberlakuan hukum yang sudah ditetapkan
sampai ada dalil yang merubahnya. Mazhab Hanbali menggunakan dalil ini dalam
istimbath hukum. Misalnya mereka menggunakan kaidah fikih dalam masalah-
masalah aqad, syarat dan lain-lain.

D. Pengembangan Model Istinbath Hukum Islam Periode Klasik


Hukum istinbat adalah istilah dalam hukum Islam yang merujuk pada
proses penarikan hukum dari sumber-sumber hukum Islam, terutama Al-Quran
dan Hadis. Pada periode klasik, pengembangan hukum istinbat dilakukan oleh
para ulama dan cendekiawan hukum Islam melalui metode interpretasi tekstual
dan analogi (qiyas) untuk menjawab isu-isu hukum yang belum diatur secara
langsung dalam teks-teks utama. Selain itu, ijma (konsensus) dan ijtihad
(penalaran hukum) juga merupakan metode penting dalam pengembangan hukum
istinbat pada periode klasik 12
Para cendekiawan seperti Imam Syafi'i, Imam Malik, Imam Hanafi, dan
Imam Hambali adalah beberapa tokoh utama yang berkontribusi dalam
pengembangan hukum istinbat pada periode klasik.
Istinbat hukum dalam Islam mengacu pada proses penarikan hukum dari
sumber-sumber hukum Islam, yaitu Al-Qur'an, Sunnah (tradisi Nabi Muhammad),
Ijma (kesepakatan para ulama), dan Qiyas (analogi). Perkembangannya terjadi
sepanjang sejarah Islam, melalui berbagai metode interpretasi dan analisis oleh
ulama-ulama hukum. Selain itu, dalam konteks modern, beberapa ulama juga
menggunakan ijtihad (penalaran independen) untuk menghadapi perkembangan
zaman dan masalah-masalah baru.
Istinbat hukum, atau deduksi hukum dari sumber-sumber hukum Islam,
telah mengalami perkembangan yang signifikan selama periode klasik Islam. Pada
masa ini, para ulama menggunakan metode ijtihad (analogi), qiyas
12
Ibn Taymiyyah, Karya-Karya Tentang Hukum Islam Dan Metodologi Istinbath, 2009,
Hal. 12.

25
(pembandingan), dan istihsan (penilaian keadilan) untuk menetapkan hukum
berdasarkan prinsip-prinsip yang terdapat dalam Al-Quran, hadis, ijma
(kesepakatan para ulama), dan qiyas (analogi). Perkembangan ini dipengaruhi
oleh konteks sosial, politik, dan intelektual pada masa itu, dan menjadi landasan
bagi pengembangan hukum Islam selanjutnya
Pada periode klasik, pengembangan model istinbat hukum dilakukan oleh
mazhab-mazhab hukum Islam, seperti Mazhab Hanafi, Maliki, Shafi'i, dan
Hanbali. Setiap mazhab memiliki pendekatan dan metodologi istinbat yang khas
berdasarkan interpretasi terhadap sumber-sumber hukum Islam, seperti Al-Quran
dan Hadis.
Perbandingan antar mazhab melibatkan perbedaan dalam interpretasi
hukum, prinsip-prinsip istinbat, dan penekanan pada sumber hukum tertentu. Di
Indonesia, masyarakat umumnya mengikuti salah satu dari empat mazhab
tersebut, dengan mayoritas mengikuti Mazhab Shafi'i.
Korelasi antara mazhab dan istinbat hukum di Indonesia tercermin dalam
praktik hukum Islam lokal. Beberapa ulama dan cendekiawan hukum mencoba
mengintegrasikan aspek lokal dalam istinbat hukum, mempertimbangkan budaya
dan tradisi Indonesia. Korelasi ini mencerminkan upaya untuk menjaga
konsistensi hukum Islam dengan konteks sosial di Indonesia.
Pengembangan model istinbat hukum Islam pada periode klasik
merupakan fase penting dalam sejarah hukum Islam. Dalam konteks ini, mazhab-
mazhab hukum Islam, seperti Hanafi, Maliki, Shafi'i, dan Hanbali, memainkan
peran signifikan.
1. Interpretasi Al-Quran dan Hadis
Para ulama pada periode klasik memusatkan perhatian pada interpretasi
Al-Quran dan Hadis sebagai sumber utama hukum Islam. Metodologi istinbat
mereka melibatkan analisis bahasa Arab, konteks sejarah, dan kehidupan Nabi
Muhammad.
2. Qiyas (analogi hukum)
Pengembangan konsep qiyas sebagai metode istinbat hukum turut
mendominasi periode klasik. Para ulama menggunakan analogi untuk

26
mengaplikasikan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Quran dan Hadis
ke situasi baru yang tidak terdokumentasikan secara langsung.
3. Ijma (konsensus umat)
Prinsip ijma, atau kesepakatan umat, juga menjadi aspek penting dalam
istinbat hukum Islam pada masa tersebut. Kesepakatan ulama tentang suatu
hukum menjadi landasan otoritatif.
4. Ra'y (pendapat perorangan)
Beberapa mazhab, seperti Hanafi, memberi penekanan pada penggunaan
ra'y atau ijtihad perorangan dalam menghadapi situasi yang tidak diatur secara
eksplisit oleh sumber-sumber utama hukum.
5. Pemikiran Filosofis dan Hukum
Pengembangan model istinbat juga dipengaruhi oleh pemikiran filosofis,
terutama pada mazhab Mutazilah yang menekankan rasionalitas dalam interpretasi
hukum Islam.
Pada akhir periode klasik, mazhab-mazhab hukum Islam ini memiliki
metodologi istinbat yang mapan, menyediakan dasar bagi pengembangan lebih
lanjut dalam tradisi hukum Islam.

E. Perbandingan Mazhab Dan Korelasi Dengan Mazhab Di Indonesia


Keberadaan hukum Islam di Indonesia sekarang ini sesungguhnya
memiliki sejarah yang sangat panjang. Akar geneologisnya dapat ditarik jauh ke
belakang, yaitu saat pertama kali Islam masuk ke Nusantara. Jadi, hukum Islam
masuk ke wilayah Indonesia (Nusantara) bersama-sama dengan masuknya agama
Islam di Indonesia.13
Hukum Islam di Indonesia dewasa ini sebagian merupakan hukum yang
tidak tertulis dalam kitab perundangundangan, namun menjadi hukum yang hidup,
berkembang dan berlaku serta dipahami oleh masyarakat Islam yang berdiri
sendiri di samping undang-undang tertulis, sebagai sebuah realitas sejarah untuk
memenuhi kebutuhan serta hajat hidup masyarakat.

13
M. Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia (Jakarta: Inis, 1993), H. 12.

27
Dilihat dari sejarah perkembangan pemikiran hukum Islam yang telah
dimulai jauh sebelum kermerdekaan, beberapa cara dan upaya untuk
menginkorporasikan serta mempertimbangkan suatu unsur struktur kebudayaan
(adat) ke dalam rumusan hukum Islam ternyata telah dilakukan oleh banyak
kalangan. Para pemikir hukum Islam di Indonesia fase awal telah
mendemonstrasikan secara baik tata cara menyantuni aspek lokalitas di dalam
ijtihad hukum yang mereka lakukan. Hasilnya, walaupun tidak sampai muncul
seorang mujtahid tentunya dengan independensi metode penemuan hukun sendiri,
kita dapat melihat lahirnya berbagai karya dengan memuat analisa penemuan
hukum yang kreatif, cerdas dan inovatif.
1. Hazairin dan Konsepsi Fikih Mazhab Indonesia
Menurut Hazairin, hukum (fikih) Indonesia harus berdasarkan atau
bersumber pada ketetapan Allah (Al-Qur’an) dan ketetapan Rasul (Hadis) serta
ketetapan ulul amri. Ketetapan Rasul ataupun ulul amri ini berfungsi sebagai
penjelasan (suplemen) bagi ketetapan Allah, dan ketetapan Rasul maupun
ketetapan ulul amri tersebut tidak boleh bertentangan dengan ketetapan Allah.
Jadi, menurut Hazairin, sumber hukum Islam ada tiga, yaitu: Al-Qur’an,
Sunnah/Hadis, dan otoritas ulul amri.
Dalam konteks Indonesia, yang dimaksud oleh Hazairin dengan ulul amri
adalah semacam majelis fatwa yang didesain untuk bekerja melakukan ijma’ dan
ijtihad, atau konsensus melalui diskusi. Hazairin menamakannya dengan national
mazhab atau Indonesian mazhab atau Syafi’i plus Indonesia mazhab. Pada
awalnya, ada tiga proyek besar pembaruan hukum Islam yang dikerjakan oleh
Mazhab Indonesia-nya Hazairin ini, yaitu: Pertama, zakat dan Baitul Ma>l dalam
karakteristik masyarakat Indonesia. kedua, reformasi hukum perkawinan dan
menggagas sistem bilateral dalam realitas masyarakat Indonesia. ketiga,
menggagas hukum kewarisan Nasional.
Dasar pemikiran dan prinsip-prinsip yang digunakan dalam gagasan
pembentukan hukum kewarisan nasional rancangan Hazairin adalah:
Pertama, hukum kewarisan individual bilateral tidak hanya cocok untuk
masyarakat yang beragama Islam saja, namun juga untuk kepentingan masyarakat

28
yang bukan beragama Islam. Sistem kewarisan bilateral cocok dengan bentuk
kekerabatan masyarakat Indonesia pada umumnya, bukan masyarakat patrilineal
Arab.
Kedua, hukum kewarisan bilateral sesuai dengan landasan yang terdapat
dalam Pancasila dan UUD 1945 terutama pasal 27 dan 29. Hukum Kewarisan
Nasional haruslah berjiwakan pada agama, berperikemanusiaan, berbudi luhur
kebangsaan, demokrasi dan anti feodal.
Ketiga, memberlakukan Hukum Kewarisan Nasional berarti mencabut
hukum kewarisan tertulis zaman kolonial. Ini adalah pokok pikiran Hazairin yang
tidak lepas dari sosok dirinya yang seorang pejuang, nasionalis dan sekaligus
Islamis.14
2. Hasbi Ash-Shiddieqy: Penggagas Fikih Indonesia
Munculnya gagasan Fikih Indonesia, di mana genesisnya telah mulai diintrodusir
oleh Hasbi ash-Shiddieqy, seorang pakar dalam berbagai studi keislaman, pada
sekitar tahun 1940-an. Dengan artikel pertamanya yang berjudul “Memdedahkan
Pengertian Islam”, Hasbi menyatakan pentingnya pengambilan ketetapan fikih
dari hasil ijtihad yang lebih cocok dengan kebutuhan nusa dan bangsa Indonesia,
agar fikih tidak menjadi barang asing dan diperlakukan sebagai barang antik.
Hasbi terlihat gamang akan prospek dan masa depan hukum Islam di Indonesia
yang tidak mempunyai arah yang jelas. Menurutnya, pengkultusan terhadap
pemikiran hukum Islam (taqdis al afkar) yang telah terjadi dan yang hingga
sekarang masih terus berlangsung, harus ditinjau ulang dalam kerangka dasar
meletakkan sendi ijtihad baru.
Konsep dan pemikiran hukum Islam yang terasa tidak relevan dan asing
harus segera dicarikan alternatif baru yang lebih memungkinkan untuk
dipraktikkan di Indonesia. Hingga interval waktu yang cukup lama, tepatnya
hingga tahun 1948, gagasan awal Fikih Indonesia ini belum atau bahkan tidak
mendapatkan respons yang memadai (positif) dari masyarakat. Melalui tulisannya
yang berjudul “Menghidupkan Hukum Islam dalam Masyarakat” yang dimuat
dalam majalah aliran islam, Hasbi mencoba mengangkat kembali ide besarnya itu.

14
Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, (Jakarta: Tintamas, 1982), H. 19.

29
Dalam tulisan itu dikatakan bahwa eksistensi hukum Islam pada tataran praktis
telah sampai pada tingkat dekadensi yang klinis, tampil bagai sosok yang terasing,
tidak berarti dan juga tidak berdaya guna.9 Kehadirannya tidak lagi dianggap ada
oleh umat, karena tidak sanggup lagi mengakomodir berbagai tuntutan perubahan
zaman.15

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan berbagai penjelasan di atas dapat kita pahami bahwa
perbedaan pendapat di kalangan umat Islam bukanlah suatu fenomena baru, tetapi
semenjak masa Islam yang paling dini perbedaan pendapat itu sudah terjadi.
Perbedaan terjadi adanya ciri dan pandangan yang berbeda dari setiap mazhab
dalam memahami Islam sebagai kebenaran yang satu. Untuk itu kita umat Islam
harus selalu bersikap terbuka dan arif dalam memandang serta memahami arti
15
Nouruzzaman Siddiqi, Fiqih Indonesia: Penggagas Dan Gagasannya, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1997), H. 215-216.

30
perbedaan, hingga sampai satu titik kesimpulan bahwa berbeda itu tidak identik
dengan bertentangan – selama perbedaan itu bergerak menuju kebenaran – dan
Islam adalah satu dalam keragaman. Perbedaan pendapat di kalangan umat ini,
sampai kapan pun dan di tempat mana pun akan terus berlangsung dan hal ini
menunjukkan kedinamisan umat Islam, karena pola pikir manusia terus
berkembang.
Perbedaan pendapat inilah yang kemudian melahirkan mazhabmazhab
Islam yang masih menjadi pegangan orang sampai sekarang. Masing-masing
mazhab tersebut memiliki pokok-pokok pegangan yang berbeda yang akhirnya
melahirkan pandangan dan pendapat yang berbeda pula, termasuk di antaranya
adalah pandangan mereka terhadap kedudukan al-Qur‟an dan al-Sunnah.
B. Saran
Setelah menelaah dan mengkaji tentang timbulnya berbagai madzhab
dalam Islam ini penulis berharap kita semua bisa jauh lebih baik dan perbedaan
dalam madzhab yang kita pegang jangan sampai menjadi terpecah belah ukhuwah
Islamiyah di antara kaum muslimin. Penulis berharap, susunan makalah ini
menjadi motivasi untuk dapat lebih memahami ajaran agama Islam dan bisa
menjalankan/ mengamalkan sesuai dengan hukum yang di perintahkan di
dalamnya. Amin.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Haidir (2004), Mazhab Fiqih: Kedudukan Dan Cara Menyikapinya,


(Riyadh: Dar Khalid Bin Al-Waleed.), Hal. 39.
Abdurrahman, Perbandingan Madzhab-Madzhab, (Bandung: Sinar Baru, 1986),
Cet. Ke-1, Hal. 29.
Abdur Rakib, Bashori Alwi, Pemikiran Fiqh Imam Malik Bin Anas, HAKAM;
Jurnal Kajian Hukum Islam, Vol. 6, 2022, Hal. 5-9
Asep Saefudin Al-Mansur (1984), Kedudukan Mazhab Dalam Syariat Islam,
Jakarta: Pustaka Al Husna, H. 46.

31
Fahrur Rozi (2021), Pemikiran Mazhab Fiqh Imam Syafi’i, Jurnal Hukum Islam,
Vol. 5, Hal. 92-93.
Hudhari Bik (1980), Tarikh Al Tasyri‟ Al Islam. Terj. Mohammad Zuhri “Sejarah
Pembinaan Hukum Islam”,Bandung: Darul Ihya, H. 419.
Ibn Taymiyyah, Karya-Karya Tentang Hukum Islam Dan Metodologi Istinbath,
2009, Hal. 12.
Imam Munawwir, Mengenal Pribadi 30 Pendekar Dan Pemikir Islam Dari Masa
Ke Masa, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1985, Cet. Ke-1, H. 291.
Marzuki (2005), Ahmad Bin Hanbal (Pemikiran Fikih Dan Ushul Fikihnya),
Jurnal Hunafa, Vol. 2, Hal. 107-118.
M. Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia (Jakarta: Inis, 1993), H.
12.
Murni Utami, Noor Hafizah, Nurul Izatil Hasanah (2023), Mazhab Hanafiah Dan
Perkembangannya: Sejarah Dan Peta Pemikiran, Journal Islamic
Education, Vol. 1, Hal. 28-29.
Nouruzzaman Siddiqi, Fiqih Indonesia: Penggagas Dan Gagasannya,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), H. 215-216.
Rasyad Hasan Khalil (2009), Tarikh Tasyri‟ Sejarah Legislasi Hukum Islam,
Jakarta: Amzah, H. 172.
Rohidin (2004), Historisitas Pemikiran Hukum Imam Asy-Syafi'i, Jurnal Hukum,
Vol. 11, Hal. 97-105.

32

Anda mungkin juga menyukai