Anda di halaman 1dari 23

Makalah Studi Islam

Madzhab Syafi’i
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Islam

Dosen Pengampu: Drs. M. Tabah Rosyadi, M.A.

Disusun Oleh:
Amanda Haiqal (11200970000021)

PROGRAM STUDI FISIKA


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT. karena atas rahmat, karunia
serta kasih sayang Nya saya dapat menyelesaikan makalah mengenai Madzhab Syafi’i
ini dengan sebaik mungkin. Sholawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi
terakhir, penutup para Nabi sekaligus satu-satunya uswatun hasanah kita, Nabi
Muhammad SAW. tidak lupa pula saya ucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. M.
Tabah Rosyadi, M.A. selaku dosen mata kuliah Studi Islam.
Dalam penulisan makalah ini, saya menyadari masih banyak terdapat kesalahan
dan kekeliruan, baik yang berkenaan dengan materi pembahasan maupun dengan teknik
pengetikan, walaupun demikian, inilah usaha maksimal saya selaku penulis.
Semoga dalam makalah ini para pembaca dapat menambah wawasan ilmu
pengetahuan dan diharapkan kritik yang membangun dari para pembaca guna
memperbaiki kesalahan sebagaimana mestinya.

Tangerang, 2 Oktober 2020

Penyusun

II
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................... II


Daftar Isi ......................................................................................................... III

BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................ 1
C. Tujuan ............................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................. 2


A. Pengertian Madzhab ......................................................................... 2
B. Sejarah Madzhab Syafi’i .................................................................. 2
C. Dasar-Dasar Madzhab Syafi’i .......................................................... 3

BAB IV PENUTUP...................................................................................... 16
A. Saran .............................................................................................. 16
B. Kesimpulan ..................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 17

LAMPIRAN ................................................................................................... 18

III
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Bagi umat islam Indonesia pada umumnya, mazhab Syafi’i telah menyatu dalam
kehidupannya, baik kehidupan pribadi mupun kehidupan bermasyarakat. Sedemikian
rupa lekatnya, sehingga umat merasa tidak perlu lagi mengenal sumber dan proses
penetapan hukum-hukum keagamaan. Akibatnya, hubungan umat dengan ajaran
mazhab lebih tampak sebagai ikatan kultural emosional daripada Ikatan intelektual
rasional.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian madzhab?
2. Bagaimana sejarah dari adzhab Syafi’i?
3. Apa saja dasar-dasar dari terbentuknya madzhab Syafi’i?

C. TUJUAN
Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui, memahami, dan menambah
khazanah tentang sejarah dan dasar dasar Madzhab Imam Syafi’i sekaligus untuk
memenuhi tugas mata kuliah Studi Islam.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN MADZHAB
Menurut bahasa, madzhab berasal dari shighah mashdar mimy (kata sifat) dan
isim makan (kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il madhy
“dzahaba” (‫ )ذهب‬yang berarti “pergi”. Bisa juga berarti ar-ra’yu yang berarti
pendapat”.

Sedangkan yang dimaksud dengan mazhab menurut istilah, meliputi dua


pengertian, yaitu:

a. Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang Imam
Mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada Al-
Qur’an dan hadits.

b. Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum
suatu peristiwa yang diambil dari Al-Qur’an dan hadits.

Jadi mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam Mujtahid
dalam memecahkan masalah, atau mengistinbathkan hukum Islam. Selanjutnya Imam
mazhab dan mazhab itu berkembang pengertiannya menjadi kelompok umat Islam
yang mengikuti cara istinbath Imam Mujtahid tertentu atau mengikuti pendapat Imam
Mujtahid tentang masalah hukum Islam.

B. SEJARAH MADZHAB SYAFI’I


Madzhab ini didirikan oleh Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i. Beliau lahir
di Palestina (Syam) pada tahun 150 H dan wafat di Mesir tahun 204 H. Beliau
termasuk keturunan Rasulullah SAW yang bertemu di garis keturunan kakeknya,
Abdul Manaf. Setelah ayahnya meninggal, ibunya membawanya kembali kembali ke
Makkah untuk berguru kepada seorang mufti, Imam Muslim bin al-Khalid.
Beliau telah menghafal Al-Qur’an pada usianya yang baru genap 7 tahun. Beliau
diberi izin mengeluarkan fatwa ketika berusia 15 tahun. Kemudian beliau pindah ke

2
Madinah, berguru pada Imam Malik bin Anas, dan berhasil menghafalkan kitab al-
Muwattha’, karangan Imam Malik hanya dalam 9 malam.
Setelah bertemu dengan Imam Malik di Madinah, ia menuju Irak untuk berguru
kepada Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan. Keduanya adalah
sahabat Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi). Imam Syafi’i memperoleh pengetahuan
yang lebih luas mengenai cara – cara hakim memeriksa dan memutuskan perkara,
cara memberi fatwa, cara menjatuhkan hukuman, serta berbagai metode yang
diterapkan oleh para mufti yang tidak pernah dilihatnya di Hijaz.
Aktifitasnya di bidang pendidikan dimulai dengan mengajar di Madinah dan
menjadi asisten Imam Malik. Selain sebagai ulama ahli fiqh, ia pun dikenal sebagai
ulama ahli hadis, tafsir, bahasa dan kesusastraan Arab, ilmu falak, ilmu usul, dan
tarikh. Disamping itu, Syafi’i memiliki kemampuan khusus dalam ilmu kiraah. Ia
sangat mahir dalam melagukan ayat – ayat Al-Qur’an. Suaranya yang bagus dan
bahasanya yang fasih memukau setiap orang yang mendengarkan bacaannya.
Imam Syafi’i diberi gelar Nasir As-Sunnah artinya “pembela sunnah atau hadis”
karena sangat menjunjung tinggi sunnah Nabi Muhammad SAW, sebagaimana ia
sangat memuliakan para ahli hadist.

C. DASAR-DASAR MADZHAB SYAFI’I


Menurut Rasyad Hasan Khalil, dalam istinbath hukum Madzhab Syafi‟i
menggunakan beberapa sumber, yaitu:
1. Nash al-Qur’an.
Imam Syafi’i memandang Al-Qur’an dan Sunnah, kedua masuk dalam satu
martabat, beliau menempatkan al-Qur’an sejajar dengan al-Qur’an, karena
menurut beliau, sunah itu menjelaskan Al-Qur’an, kecuali hadis Ahad yang tidak
sama dengan al-Qur’an dan hadis mutawatir. Disamping itu karena Al-Qur’an dan
Sunnah keduanya adalah wahyu, meskipun kekukautan sunnah secara terpisah
tidak sekuat Al-Qur’an. Dengan demikian keduanya merupakan sumber utama
bagi fiqih Islam, dan selain keduanya berarti pengikut saja. Para sahabat
terkadang sepakat atau berbeda pendapat, tetapi tidak pernah bertentangan dengan
Al-Quran atau sunnah.

3
2. Ijma’
Merupakan salah satu dasar yang dijadikan hujjah oleh imam Syafi’i
menempati urutan setelah Al-Quran dan Sunnah. Beliau mendefinisikannya
sebagai kesepakatan ulama suatu zaman tertentu terhadap satu masalah hukum
syar’i dengan bersandar kepada dalil. Adapun ijma pertama yang digunakan oleh
imam Syafi’i adalah ijmaknya para sahabat, beliau menetapkan bahwa ijma
diakhirkan dalam berdalil setelah Al-Qur’an dan sunnah. Apabila masalah yang
sudah disepakati bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah maka tidak ada
hujjah padanya.
Imam Syafi’i membagi pendapat sahabat kepada tiga bagian. Pertama, sesuatu
yang sudah disepakati, seperti ijma’ mereka untuk membiarkan lahan pertanian
hasil rampasan perang tetap dikelola oleh pemiliknya. Ijma seperti ini adalah
hujjah dan termasuk dalam keumumannya serta tidak dapat dikritik. Kedua,
pendapat seorang sahabat saja dan tidak ada yang lain dalam suatu masalah, baik
setuju atau menolak, maka imam Syafi’i tetap mengambilnya. Ketiga, masalah
yang mereka berselisih pendapat, maka dalam hal ini imam Syafi’i akan memilih
salah satunya yang paling dekat dengan Al-Qur’an, sunnah atau ijma’, atau
menguatkannya dengan qiyas yang lebih kuat dan beliau tidak akan membuat
pendapat baru yang bertentangan dengan pendapat yang sudah ada.

3. Qiyas
Imam Syafi’i menetapkan qiyas sebagai salah satu sumber hukum bagi syariat
Islam untuk mengetahui tafsiran hukum Al-Qur’an dan Sunnah yang tidak ada
nash secara pasti. Beliau tidak menilai qiyas yang dilakukan untuk menetapkan
sebuah hukum dari seorang mujtahid lebih dari sekedar menjelaskan hukum
syariat dalam masalah yang sedang digali oleh seorang mujtahid.

4. Istidlal
Imam Syafi’i memakai jalan istidlal dalam menetapkan hukum, apabila tidak
menemukan hukum dari kaidah-kaidah sebelumnya di atas. Dua sumber istidlal
yang diakui oleh imam Syafi’i adalah adat istiadat dan undang-undang agama
yang diwahyukan sebelum Islam. Namun begitu, kedua sumber ini tidak termasuk

4
metode yang digunakan oleh imam Syafi’i sebagai dasar istinbath hukum yang
digunakan oleh imam Syafi’i.

5. Qaul Qadim dan Qaul Jadid

a. Definisi Qaul Qadim dan Qaul Jadid


Qaul qadim artinya secara Bahasa adalah bentukan dari 2 kata. Qaul artinya
perkataan, pendapat atau pandangan. Sedangkan qadim artinya adalah masa lalu.
Jadi makna dari qaul qadim adalah pandangan fiqih Al-Imam Asy-Syafi’i versi
masa lalu. Qaul jadid, kebalikan dari qaul qadim. Jadid artinya baru, maka qaul
jaded adalah pandangan fiqih Al-Imam Asy-Syafi’i menurut versi terbaru.
Qaul qadim dan qaul jadid adalah sekumpulan fatwa, bukan satu atau dua
fatwa. Memang seharusnya digunakan istilah aqwal yang bermakna jama’,
namun entah kenapa istilah itu terlanjur melekat, sehingga sudah menjadi lazim
untuk disebut dengan istilah qaul qadim dan qaul jadid saja.
Qaul qadim adalah pendapat Imam Syafi’i yang pertama kali di fatwakan
Ketika beliau tinggal di Baghdad Irak (195H), setelah beliau diberi wewenang
untuk berfatwa oleh para ulama/ ahli hadist dan oleh gurunya, yaitu Syekh
Muslim bin Kholid (Mekah) dan Imam Malik (Madinah). Sebagai tinjauan
pendapat Imam abi Hanufah, sebagaimana dikatakan Abdul Ghoni ad Dakir
yang artinya sebagai berikut: “Berkata Zakaria as Saji, telah mengabarkan
kepadaku Ibrohim bin Ziyad, aku mendengar Buyuti telah berkata kepada Imam
Syafi’i : ahli hadist telah bersepakat tentang diriku dan memintaku untuk
mengkritik kitab Abu Hanifah, maka aku katakan : Aku tidak tahu bagaimana
dia berpendapat hingga aku meninjau kitabnya, maka aku diperintahkan,
kemudian aku mendapatkan tulisan Muhammad bin Hasan kemudian aku
menelaahnya selama satu tahun hingga aku menghafalnya. Baru kemudian aku
menulis fatwaku di Baghdad yakni Al Hujjah”
Abu Abdullah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i setelah ilmunya tinggi dan
pemahamannya tajam, hingga sampai ke derajat mujtahid mutlak, terdorong
memiliki inspirasi baru untuk berfatwa sendiri. Ia termotivasi untuk
mengeluarkan hukum syar’i dari Al-Qur’an dan al-Hadits sesuai dengan

5
ijtihadnya, yang terlepas dari madzhab-madzhab gurunya, yakni Imam Hanafi
dan Imam Maliki
Keinginan sepertinya mulai tampak tepatnya pada tahun 198 H di Baghdad,
yaitu setelah usianya genap 48 tahun. Utamanya lagi sesudah merasakan masa
belajar kurang lebih 40 tahun. Pada mulanya beliau mengarang kitab ushul al-
fiqh di Irak yang diberi nama al-Risalah (surat kiriman). Kitab ini ditulis atas
permintaan Abdurrahman bin al-Mahdi di Makkah, yang memesan kepada Imam
Syafi’i agar menerangkan satu kitab yang mencakup ilmu tentang arti al-Qur’an
dan hal ihwal al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas dan nasakh dan Mansukh. Setelah
selesai ditulis oleh Imam Syafi’i dan disalin oleh murid-muridnya, berikutnya
dikirim kepada Abdurrahman bin al-Mahdi.
Berkenaan dengan kitab ar-Risalah yang ditulisnya, Fakhru Rozi dalam
kitab al-Manakib al-Syafi’i menilai dan mengatakan bahwa umat Islam sebelum
Imam Syafi’i membicarakan fiqh, untuk sekadar membantah dan mengambil
dalil-dalil saja, belumlah ditemukan peraturan umum yang bisa dijadikan
pedoman dalam menerima dan menolak dalil itu. Namun begitu Imam Syafi’i
menulis dengan ilmu-ilmu barunya, yang lebih popular dengan sebutan kitab
ushul fiqh dalam kitab ar-Risalah, dimana ia telah meletakkan di dalamnya
dasar-dasar dan peraturan-peraturan umum, maka sejak itulah banyak pihak
yang mempu menyelidiki derajat dalil-dalil syari’at Islam.
Dengan demikian jelaslah apa yang disebut madzhab (aliran) lama dan
aliran baru. Apa saja yang dikatakan dan ditulis Imam Syafi’i Ketika berada di
Irak dinamakan aliran lama, sedangkan yang dikatakan dan ditulis di Mesir
dinamakan dengan aliran baru. Pandangan senada juga dikemukakan oleh
Ahmad Amin Abd al-Mun’im al-Bahy, menurutnya ulama yang telah membagi
fuqh Imam Syafi’i menjadi dua madzhab, yaitu madzhab qadim (fatwa lama)
dan madzhab jadid (fatwa baru). Adapun yang disebut sebagai madzhab qadim
adalah fiqh Imam Syafi’i yang ditulis dan dikatakan di Irak. Sedangkan yang
disebut madzhab jadid adalah apa saja yang ditulis dan dikatakan ketika ia
berada di Mesir.
Pembedaan penggunaan qaul qadim dan jadid sebenarnya hanya untuk
membedakan tempat penulisan dan pengungkapan fatwa. Sementara madzhab

6
Imam Syafi’i sendiri tetap satu dan tidak dua. Hanya saja kesempurnaan
madzhabnya hingga mencapai pada bentuk final, baru terjadi ketika ia berada di
Mesir.
Kedudukan para ulama Mesir diatas pada prinsipnya memang tidak bisa
lepas dari prediksi dan perhitungan-perhitungan matang dari pemikiran Imam
Syafi’i jauh sebelum ia dating ke Mesir. Begitu keinginan untuk menuju ke
Mesir, ia telah berusaha untuk mengantongi berbagai informasi tentang situasi
dan kondisi Mesir, utamanya beberapa persoalan yang berkenaan langsung
dengan madzhab yang berkembang di Mesir ketika itu. Al-Rabi’ ulama
berkebangsaan Mesir adalah orang yang besedia untuk berdialog secara intens
dengan Imam Syafi’i, Mesir menurut al-Rabi’ telah diwarnai oleh dua corak
aliran fiqh yang sangat tajam. Pertama, corak yang selalu condong dan
mengikuti aliran Maliki. Kedua, corak yang condong dan setia pada aliran
Hanafi.
Ketika Imam Syafi’i berada di Mesir, beliau berusaha meninjau ulang
beberapa fatwanya yang diungkapkannya di Baghdad. Akibatnya, ada diantara
sebagian kitab yang ditetapkan dan ada Sebagian kitab yang dikoreksi. Berawal
dari kenyataan ini timbullah qaul qadim dan qaul jadid, dimana qaul qadim
adalah pendapat yang difatwakan di Baghdad dan qaul jadid adalah pendapat
yang difatwakan di Mesir.
b. Faktor-Faktor yang Membelakangi Lahirnya Qaul Qadim Qaul Jadid

1.1 Faktor Sosial

Secara umum, faktor sosial memiliki andil dalam suatu proses


perubahan, termasuk dalam fenomena qaul qadim Imam Syafi`i hingga
berubah menjadi qaul jadid. Di masa kehidupan Syafi`i, terutama pada masa
awal Dinasti Abbasiyah, kerajaan-kerajaan Islam berada dalam satu payung
yang besar, yaitu daulah Islamiyah yang bertujuan untuk terjadi interaksi
jasadiyah dan ruhiyah, aqliyah dan fikriyah.di mana saat itu Baghdad menjadi
salah satu pusat ilmu pengetahuan dunia . untuk terjadi interaksi jasadiyah dan
ruhiyah, aqliyah dan fikriyah di mana saat itu Baghdad
Itulah fakta kondisi sosial pemerintahan Abbasyiah yang berpengaruh
langsung terhadap kehidupan Imam Syafi`i. Yaitu, ketika itu dia hidup di

7
Baghdad-dimana dia menulis kitabnya yang berjudul Ar-risalah yang dijadikan
sebagai ibu Negara dan telah mencapai puncak keagungannya.
Sehingga, bangkitnya keilmuan Syafi`i tidak bisa lepas dari kegiatan
keilmuan tersebut. Dan ketika Imam Syafi`i pergi ke Mesir, pola pemikirannya
menjadi berubah dan berbeda dari pola pikir yang telah ditulis dan
diungkapkan di Baghdad.Yaitu lahirnya pemikiran qaul qadim dan qaul jadid
salah satunya adalah dipengaruhi faktor sosial, sehingga Imam Syafi`I
melakukan upaya aktualisasi dan kontekstualisasi terhadap hukum yang telah
difatwakan sebelumnya, karena batas kubu besar aliran fiqih di Mesir saat itu
sudah terlihat jelas. Sehingga, Imam syafi`i berusaha memposisikan dirinya
berada di antara dua kubu tersebut, al-ra`yu dan ahl hadits.

1.2 Faktor Politik

(1) Politik Internal


Politik internal pemerintahan Abbasyiyah pertama, lebih khusus lagi pada
masa Imam As-Syafi’i telah menunjukkan adanya karakter politik yang berbeda
jauh jika dibandingkan dengan karakter politik pemerintahan Dinasti
Umayyah.Pemerintahan Abbasyiah lebih banyak berpegang pada unsur-unsur
Persi, sedangkan Dinasti Bani Ummayah lebih banyak berpegang pada unsur
kearaban. Adapun corak pemerintahan yang dikehendaki pada masa
pemerintahan Abbasyiah adalah politik yang tetap memiliki respon tinggi
kepada para ulama dan ilmu pengetahuan.
(2) Politik Eksternal
Kondisi politik eksternal pemerintahan Abbasyiah, khususnya pada masa
kehidupan Imam Syafi`i, sedikitpun tidak mengalami perkembangan dan
kemajuan. Bahkan kekuasaan pemerintahan Abbasiyah jauh dari pusat
kekuasaan pemerintahan yaitu kota Baghdad telah banyak mengalami
penyusutan, seperti munculnya pemberontakan di Armenia. Pemberontakan-
pemberontakan itu disebabkan oleh:
a. Kurangnya perhatian pemerintahan Abbasyiah terhadap persoalan-
persoalan yang membahayakan.
b. Semakin menguatnya peran Persia, padahal semangat kemenangan
mereka lebih kecil jika dibandingkan dengan orang Arab.

8
c. Adanya kecerobohan sebagian khalifah pada persoalan eksternal
pemerintahan.
d. Kecemburuan sosial lahir akibat adanya kepemihaan pemerintah yang
tidak seimbang antara dua unsur bangsa yang dominan, yaitu Persia dan Arab.
Jika kondisi politik tersebut dihubungkan dengan kondisi Imam Syafi`i,
maka erat kaitannya, yaitu Imam Syafi`i adalah keturunan Quraisy yang sangat
fanatis terhadap Arabisme. Keadaan inilah yang membuatnya terhalang untuk
mensosialisasikan ilmunya yang pemerintah saat itu didominasi oleh unsur
Persia. Dalam hal ini, dia dituduh sebagai penyebar syiah, karena itu selama 14
tahun berada di Mekkah, setelah itu dia kembali ke Baghdad dengan
menganggap bahwa fanatisme terhadap Persia tidak sekuat dulu dan dia hendak
menjadi mujtahid yang membangun dan memasyarakatkan madzhabnya.
Namun, setelah pemerintahan dipegang Al-Makmun, Syafi`i meninggalkan
Baghdad dan pergi ke Mesir, yaitu dengan alasan bahwa Al-Makmun
mendukung paham mu`tazilah serta menentang kaum ahli sunnah dan ulama
hadits.
Namun, di Mesir Imam Syafi`i merasakan kenyamanan baru dan kota
tersebut kondusif untuk pengembangan madzhab barunya. Dan hal ini tidak
menutup kemungkinan dari adanya materi hukum yang telah fatwakan di Irak
banyak yang mengalami perubahan, walaupun hanya dalam materi furu` saja.
1.3 Faktor Budaya
Faktor kebudayaan dan adat istiadat sangat mempengaruhi terhadap
pertumbuhan dan perubahan hukum Islam. Selama 18 tahun Imam Syafi`i
(mulai dari usia dua tahun) dia tinggal di Mekkah. Kota tersebut kental dengan
kearabannya, sementara pemerintah Abbasyiah saat itu didominasi oleh unsur
Persia.Sebelum kedatangan Islam.
Kompleksitas dan pluralitas budaya, baik langsung atau tidak, banyak
berpengaruh bagi kematangan daya pemikiran Imam Syafi`i. Kematangan daya
nalarnya yang telah lama terbangun oleh pengalaman pengembaraan selama
hidupnya, ditambah lagi dengan berbagai budaya yang telah berinteraksi,
membuatnya bertambah kritis dan dinamis. Dan perubahan hukum yang terjadi
ketika Imam Syafi`i berada di Irak dan Mesir merupakan bukti akan

9
kesempurnaan ilmu dan pengalamannya. Karena di Mesir ia menemukan dalil
yang lebih pasti, yaitu akibat dari ragam budaya pemikiran yang berkembang di
Mesir. Dimana pemikiran Syafi’i adalah hasil penelitian keilmuan yang
berkembang sebelumnya.
1.4 Faktor Geografis
Faktor geografi sangat menentukan terhadap perkembangan dan
pembentukan hukum Islam. Faktor geografis yang sangat menentukan tersebut
adalah iklim dan perkembangan daerah itu sendiri. Seperti telah diketahui iklim
di Hijaz berbeda dengan iklim di Irak dan berbeda pula dengan iklim yang ada di
Mesir, sehingga melahirkan fatwa Imam Syafi’i yang berbeda. Adanya qaul
qadim dengan qaul jadid, membuktikan adanya berbedanya iklim dan geografi.
Ulama ahli ra’yi dan ahli hadits berkembang dalam dua wilayah geografis
yang berbeda. Ulama ahli rayi dengan pelopornya Imam Abu Hanifah
berkembang di kota Kufah dan Baghdad yang metropolitan, sehingga harus
menghadapi secara rasional sejumlah persoalan baru yang muncul akibat
kompleksitas kehidupan kota. Sebaliknya Imam Malik bin Anas yang hidup di
Madinah yang tingkat kompleksitas hidup masyarakatnya lebih sederhana,
ditambah kenyataan banyaknya hadits-hadits yang beredar di kota ini, cendrung
banyak menggunakan hadits ketimbang rasio atau akal. Kota- kota yang secara
geografis dipengaruhi oleh ahli filsafat akan berbeda dalam pembentukan hukum
dibanding dengan kota-kota yang secara geografis dipenuhi oleh ahli-ahli tasauf.
Kota-kota yang tingkat kompleksitasnya lebih tinggi akan berbeda pula
pengaruh hukumnya dengan kota-kota yang tidak ada kompleksitasnya.
Kota-kota yang modern akan berbeda pula pengaruh hukumnya dengan
kota-kota yang sederhana dan tertutup. Artinya tingkat urbanisasi disuatu daerah
akan menentukan dalam pembentukan hukum pada daerah itu sendiri. Mesir
secara geografis lebih subur dibandingkan dengan Irak, karena adanya Sungai
Nil yang selalu meluap, di Mesir air lebih mudah didapatkan jika dibandingkan
dengan di Irak. Oleh karena itu dalam masalah yang ada kaitannya dengan air
(iklim), seperti thaharah, berwudhu, shalat dalam keadaan tidak ada air dan
lain sebagainya, Imam Syafi’i telah mengeluarkan fatwa yang berbeda
dengan fatwa sebelumnya ketika di Irak.

10
1.5 Faktor Ilmu Pengetahuan
Faktor Ilmu Pengetahuan bisa mempengaruhi hasil ijtihad para imam
mujtahid dalam menggali hukum dan menentukan hukum. Imam Syafi’i seorang
yang ahli hadits, beliau belajar hadits kepada Imam Malik bin Anas di Madinah,
Imam Syafi’i juga seorang ahli ra’yu, karena beliau belajar kepada Imam Abu
Yusuf dan Imam Muhamamd bin Hasan murid Imam Abu Hanifah di Irak.
Imam Syafi’i menggabungkan kedua pendapat gurunya itu menjadi fatwanya
sendiri.
Setelah Imam Syafi’i tinggal di Mesir, pengalaman Imam Syafi’i semakin
bertambah dan Imam Syafi’i tetap bertukar fikiran kepada ulama-ulama Mesir.
Sehingga setelah berada di Mesir Imam Syafi’i menemukan ada dalil-dalil yang
lebih kuat dan lebih shahih bila dibandingkan dengan hasil ijtihadnya ketika
masih berada di Irak.
Oleh karena itu Imam Syafi’i memandang perlu untuk meluruskan dan
meralat kembali fatwa-fatwa beliau ketika masih berada di Irak, karena
menganggap fatwa-fatwa beliau yang dikeluarkan di Irak tidak didukung dengan
dalil yang lebih kuat.

6. Fatwa Sahabat
Dalam hal lain Musthafa Sa’id al-Khin, yang mengambil pendapat imam
Syairazi dalam kitabnya at-Tabsirah berkata “Apabila seorang sahabat
mengeluarkan fatwa dan tidak tersebar, maka hal itu bukanlah hujjah, dan
mendahulukan qiyas dari padanya dalam qaul jadidnya. Dalam qaul jadidnya,
imam Syafi’i mengatakan: “Ia (fatwa sahabat) hujjah yang harus di kedepankan
atas qiyas, dan mentakhsis umum dengannya.

7. Al Istishab
Al-Istishab Secara bahasa menetapkan, memberlakukan, menuntut
kebersamaan dan tanpa ada pemisah. Sebagaimana dalam kamus al-Misbah al-
Munir, istishab berarti “Setiap sesuatu itu tetap dan membutuhkan kebersamaan,
dan selalu membawa”. Secara istilah permintaan untuk memberlakukan hukum
yang terdahulu, seperti keluarnya sesuatu pada selain dua jalur tidak membatalkan

11
wudhu. Menurut imam al-ghazali istishab adalah berpegang pada dalil akal dan
syara’ bukan berarti tidak menggunakan (al-Qur’an dan sunnah) yang tanpa ilmu
dan tidak mengetahui dalil, tetapi setelah dilakukan pembahasan dan penelitian
cermat, tidak ada dalil yang mengubah hukum yang telah ada.
Imam al-ghazli membagi istishah itu terbagi menjadi empat macam, yaitu:
1) Istishab hukum al-bara’ah al-ashliyah (memberlakukan kebebasan asal)
2) Istishab tetap memberlakukan dalil yang bersifatnya umumsampai ada
yang mengkhususkan, istishab dengan nash sampai ada yang menasakh.
3) Istishab yang menurut syara’ hukumnya tetap dan berlangsung terus.
4) Hukum yang ditetapkan oleh ijma’ akan tetapi keberadaanya
diperselisihkan, dan ini tidak sah.
Madzhab syafi’i mengamalkan istishab, sebagaimana al-Amidi dalam kitab
al-Ihkam berkata;” segolongan dari para sahabat asy syafi’i seperti al-Muzani, al-
Syairafi, al-Ghazali, dan para muhaqiq lainnya berpendapat sahnya hujjah
dengannya (istishab), dan ini adalah pendapat yang terpilih.

8. Al-Istiqra(Umum-Khusus)
Menurut bahasa al-istiqra, terambil dari perkataan qara’tu asy-syai qur’anan
yang berarti menghimpun dan mengabungkan sebagain dengan yang lainnya.
Secara istilah hukum universal yang berasal dari cabang-cabangnya. Imam al-
Gazali mengatakan menyelidiki kasus-kasus parsial guna memperoleh kesimpulan
umum yang melingkupi semua katagori turunannya.
Dari ulama ushul syafi’iyah istiqra merupakan salah satu sumber yang sangan
penting bagi mereka , karena hal itu berfaedah. Imam Ays-Syatibi mengatakan
bahwa istiqra dan kegunaannya dapat menentukan hukum, beliau mengatakan
istiqra dapat diterima oleh para ulama ahli dibidang ilmu dan akal.

9. Al-akhdzu bi al-aqal ma Qila (mengambil target minimal atau yang terendah


dari suatu ukuran yang diperselisihkan)
Menurut al-Qatthan al-akhdzu bi al-aqalli ma qila adalah bila para sahabat
berbeda pendapat tetantang suatu ukuran. Sebagian mereka berpendapat misalnya
100, sebagian yang lain mengatakan 50. Jika ada dalil atau bukti yang

12
menguatkan salah satu diantara keduanya, maka yang itulah yang diambil. namun
jika tidak diambil tentu para sahabat madzhab kami tentu selalu berbeda pendapat.
Diantara mereka yang mengambil pendapat ini (target terendah atau minimal)
mereka melihat pada sisi terendahnya. dikatakan ini adalah madzhab syafi’i,
kendati demikian sesungguhnya beliau berhujah; ”Bahwasanya orang Yahudi
ketika ingin memberikan diyat sebanyak sepertiga. Sebagian dari mereka
mengatakan setengah saja, sebagian yang lain mengatakan harus sama dengan
orang muslim, maka yang diambil adalah target yang paling rendah (sepertiga).
ada juga mereka mengatakan seperempat, juga ada yang serperlima, maka yang
diambil oleh mereka (seperempat) dari target yang paling rendah.
Menurut al-Qadhi abd al-wahab, sebagian ulama ushul telah menyepakti
bahwa (al-akhdzu bi al-aqalli ma qila) dapat digunakan sebagai istinbath
hukum.47 Al-sam’ani mengambil isinbath al-akhdzu bi al-aqalli ma qila, karena
beliau mempunyai dua, alasan yaitu :
1) Pada asalnya sesuatu itu bebas dari tanggungan, jika terjadi perbedaan
kewajiban atau menggugurkan, maka tentu menggugurkan lebih utama, hal ini
karena ada kesesuaian pada kaedah al-baraah al-dzimmah (bebas tanggungan),
selama tidak ada dalil yang mewajibkan. Bahkan madzhab syafi‟I juga
memperselisihkan sesuatu yang sudah menjadi kesepakatan seperti sudah
diwajibkannya hukum diyat bagi pembunuh.
2) Adakalanya sesuatu sudah menjadi ketetapan dalam diyat, seperti
kelompok yang mewajibkan, tetapi disertai dengan perbedaan ulama pada jumlah
yang akan disepekati, apakah harus mengambil dalil yang paling minimal, untuk
membebaskan tanggungan. dengan catatan pembebasan tanggungan tidak boleh
diputuskan dengan keraguan (syak).

10. Al-‘Urf (Kebiasaan atau Adat)


‘Urf adalah sesuatu (kebiasaan) yang sudah berjalan dimasyarakat dan
diulang-ulang dimasa hidupnya baik berupa perkataan, perbuatan, umum dan
khusus, benar ataupun salah dapat juga berarti kebiasan manusia yang dapat
diterima oleh akal, dan mereka senantiasa mengulang-ulanginya. Imam syafi’i
menjadikan ‘urf sebagai dalil. orang yang mengkaji persoalan-persoalan cabang

13
menurut syafi’iyah akan melihat bahwa banyak diantaranya yang dikembalikan
pada ‘urf, seperti tempat penyimpanan harta dan yang lain.
Mengenai kehujjahan ‘urf, para ulama mengatakan ‘urf itu merupakan cikal
bakal asal yang dapat digunakan dalam istinbath hukum, darinya dapat dibangun
beraneka ragam hukum. Sebagaimana pendapat mereka dengan menunjukkan
kehujahan’ urf, yaitu: “al-adat al-muhkamah” (adat itu menjadi standar patokan
hukum). “al-ma’ruf ‘urfan ka al- masyrut syarthan” (sesuatu yang sudah ma’ruf
secara kebiasaan harus disesuaikan dengan syarat ketentuan yang berlaku).

Amanda haiqal amanda haiqal amanda haiqal amanda haiqal Amanda haiqal amanda
haiqal amanda haiqal amanda haiqal
Amanda haiqal amanda haiqal amanda haiqal amanda haiqal
Amanda haiqal amanda haiqal amanda haiqal amanda haiqal
Amanda haiqal amanda haiqal amanda haiqal amanda haiqal
Amanda haiqal amanda haiqal amanda haiqal amanda haiqal
Amanda haiqal oke.

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan di atas, saya menarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Dengan adanya madzhab Syafi’i membuat aturan hukum-hukum
Islam menjadi lebih teratur dan jelas.
2. Madzhab Syafi’i memiliki peraturan-peraturan yang lebih rinci dan
sedikit berbeda dengan madzhab yang lain termasuk madzhab
gurunya.
3. Madzhab Syafi’i juga memiliki peraturan yang berbeda di satu
wilayah dengan wilayah lain seperti yang telah dijelaskan di atas.

B. Saran
Selain kesimpulan di atas, saya juga memiliki beberapa saran sebagai
berikut:
1. Mempelajari ajaran agama Islam bermadzhab apapun harus kepada
yang ahlinya.
2. Harus tetap saling menghormati walaupun menganut madzhab yang
berbeda.
3. Mempelajari ajaran agama Islam bermadzhab apapun dan tetap hanya
berpegang pada satu madzhab agar tidak plin-plan ketika beribadah.

15
DAFTAR PUSTAKA

• Anam, M. Khoirul. "DASAR-DASAR ISTINBATH HUKUM IMAM


SYAFI’I." Al-Ihda': Jurnal Pendidikan dan Pemikiran 13.1 (2018): 1-24.

• Buku NIZHAM, Vol. 4, No. 01 Januari - Juni 2015

• http://ahsinunniam.blogspot.com/2016/10/makalah-madzhab-syafii.html

• Abbas, KH Siradjuddin. Sejarah dan keagungan madzhab Syafi'i. Pustaka


Tarbiyah, 1994. Dari scholar.google.co.id:
https://scholar.google.co.id/scholar?hl=id&as_sdt=0%2C5&q=Abbas%2C+KH+
Siradjuddin.+Sejarah+dan+keagungan+madzhab+Syafi%27i.+Pustaka+Tarbiyah
%2C+1994.&btnG=

• Nur Sillaturohmah dan Budiman Mustofa,Fikih Muslimah


Terlengkap,Surakarta:Al-Qudwah Publishing, 2014, hal 25

• Fakhria, Sheila. "Madzhab Hukum Islam." Tribakti: Jurnal Pemikiran Keislaman


26.1 (2015): 180-200.

• "Shafiʿi School of Law ." Encyclopedia of the Modern Middle East and North
Africa. . Retrieved October 01, 2020 from Encyclopedia.com:
https://www.encyclopedia.com/humanities/encyclopedias-almanacs-transcripts-
and-maps/shafii-school-law

16
LAMPIRAN

17
The Shafiʿi school of law was founded by Muhammad ibn Idris al-Shafiʿi (died
820), a disciple of Malik ibn Anas (died 795) and Muhammad ibn Hasan al-Shaybani
(died 805). Bringing about a synthesis between the rationalists and the tradition-alists,
Shafiʿi elaborated a system of positive law and a rudimentary legal theory that attracted
a number of scholars who propagated his teachings, thus creating the first personal
school of law (madzhab) in Islam. His two chief treatises that survived are al-Umm, a
collection of treatises mainly concerned with positive law and disagreements among the
early jurists, and al-Risala (also known as al-Kitab, ) a work on legal theory with
particular emphasis on Prophetic hadith (traditions) as a binding source of law.
The immediate students of Shafiʿi who were responsible for propagating his
teachings, and thus for laying the first roots of the school, were al-Buwayti (died 846),

18
Harmala (died 857), Muzani (died 878), al-Zaʿfarani (died 874), al-Karabisi (died c.
859), and al-Rabi ibn Sulayman al-Jizi (died 870). Al-Rabi ibn Sulayman al-Muradi
(died c. 884) is known as the transmitter of most of Shafiʿi's extant works. Other
scholars, such as Ibn Hanbal (died 854) and Abu Thawr (died 855), initially the
disciples of Shafiʿi, became themselves the founders of independent law schools.
The widespread influence of the Shafiʿi school must be credited to the work of
Ibn Surayj (died 918), significantly nicknamed the "Little Shafiʿi." He was responsible
for harmonizing the teachings of the school and for training a generation of influential
Shafiʿi scholars who guaranteed not only the survival of the school but indeed its
success. Among the most important of these scholars are Abu Bakr al-Sayrafi (died
942) and al-Qaffal al-Shashi (died 948), who are considered two of the first major
authors of complete works on Shafiʿite legal theory (usul al-fiqh).
Among the many names that dominated the later history of Shafiʿism are: Abu
Bakr al-Baqillani (died 1013), Abu Ishaq al-Isfara'ini (died 1015), Abu Muhammad al-
Juwayni (died 1046) and his son Imam al-Haramayn (died 1085), Bayhaqi (died 1066),
al-Mawardi (died 1058), Abu Ishaq alShirazi (died 1083), Ghazali (died 1111), Abu
Bakr al-Shashi (died 1113), Fakhr al-Din al-Razi (died 1209), Rafiʿi (died 1226), Izz al-
Din (b. Abd alSalam; died 1262), Muhyi al-Din al-Nawawi (died 1277), and Suyuti
(died 1505). The positive law (furu) treatises of Juwayni, Shirazi, Ghazali, Rafiʿi, and
Nawawi became standard for the later period, whereas in legal theory, the works of
Juwayni, Ghazali, and Razi gained popularity.
Today the Shafiʿi school has followers in Egypt—mainly in rural areas—as well
as in Syria, Lebanon, Palestine, Jordan, Iraq, Hijaz, Bahrain, Yemen, Pakistan, Iran,
India, and Indonesia.

Madzhab Syafi’i didirikan oleh Muhammad ibn Idris al-Shafiʿi (wafat 820),
murid Malik ibn Anas (wafat 795) dan Muhammad ibn Hasan al-Shaybani (wafat 805).
Membawa sintesis antara rasionalis dan tradisi-alist, Syafi’i menguraikan sistem hukum
positif dan teori hukum dasar yang menarik sejumlah ulama yang menyebarkan
ajarannya, sehingga menciptakan mazhab pribadi pertama (madzhab) dalam Islam. Dua
risalah utamanya yang bertahan adalah al-Umm, kumpulan risalah yang terutama
berkaitan dengan hukum positif dan perselisihan di antara para ahli hukum awal, dan al-
Risala (juga dikenal sebagai al-Kitab) sebuah karya tentang teori hukum dengan
penekanan khusus pada Nabi hadits (tradisi) sebagai sumber hukum yang mengikat.
Murid-murid langsung Syafi’i yang bertanggung jawab untuk menyebarkan
ajarannya, dan dengan demikian meletakkan akar pertama sekolah, adalah al-Buwayti
(meninggal 846), Harmala (meninggal 857), Muzani (wafat 878), al-Zaʿfarani (wafat)
874), al-Karabisi (wafat c. 859), dan al-Rabi ibn Sulaiman al-Jizi (wafat 870). Al-Rabi
ibn Sulaiman al-Muradi (wafat sekitar 884) dikenal sebagai penyampai sebagian besar
karya Syafi'i yang masih ada. Ulama lain, seperti Ibn Hanbal (wafat 854) dan Abu
Thawr (wafat 855), awalnya murid Syafi'i, menjadi pendiri sekolah hukum independen.

19
Pengaruh luas mazhab Syafi'i harus dikaitkan dengan karya Ibn Surayj (wafat
918), yang secara signifikan dijuluki "Syafi'i Kecil." Dia bertanggung jawab untuk
menyelaraskan ajaran sekolah dan untuk melatih generasi ulama Syafi'i berpengaruh
yang tidak hanya menjamin kelangsungan sekolah tetapi juga keberhasilannya. Di
antara yang paling penting dari ulama ini adalah Abu Bakar al-Sayrafi (meninggal 942)
dan al-Qaffal al-Shashi (wafat 948), yang dianggap sebagai dua dari penulis utama
pertama dari karya lengkap teori hukum Syafiit (usul al-fiqh).
Di antara banyak nama yang mendominasi sejarah Syafi’isme selanjutnya
adalah: Abu Bakar al-Baqillani (wafat 1013), Abu Ishaq al-Isfara'ini (wafat 1015), Abu
Muhammad al-Juwayni (wafat 1046) dan putranya Imam al- Haramayn (wafat 1085),
Bayhaqi (wafat 1066), al-Mawardi (wafat 1058), Abu Ishaq alShirazi (wafat 1083),
Ghazali (wafat 1111), Abu Bakr al-Shashi (wafat 1113), Fakhr al-Din al- Razi (wafat
1209), Rafiʿi (wafat 1226), Izz al-Din (lahir Abd al-Salam; wafat 1262), Muhyi al-Din
al-Nawawi (wafat 1277), dan Suyuti (wafat 1505).hukum positif (furu) RisalahJuwayni,
Syirazi, Ghazali, Rafiʿi, dan Nawawi menjadi standar di kemudian hari, sedangkan
dalam teori hukum, karya Juwayni, Ghazali, dan Razi mendapatkan popularitas.
Saat ini madzhab Syafi'i memiliki pengikut di Mesir — terutama di daerah
pedesaan — juga di Suriah, Lebanon, Palestina, Yordania, Irak, Hijaz, Bahrain, Yaman,
Pakistan, Iran, India, dan Indonesia.

20

Anda mungkin juga menyukai