Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

PERSELISIHAN MAZHAB FIQIH DAN UPAYA TALFIQ


Dosen Pengampu : Agus Nurohman

Disusun Oleh :

Diyas Chandra Naufal ( C1B230107 )


Luthfi Dwiandra ( C1B230019 )
Mohammad Fadly Setiandi ( C1B230013 )
Rafli Fadilah ( C1B230059 )
Rafly Anugrah ( C1B230007 )
Tegar Al Fatthah ( C1B230122 )

PRODI ADMINISTRASI NEGARA


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
2023 – 2024

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Alhamdulillah, puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah Ta’ala atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga tugas penulisan makalah yang berjudul “Sejarah
Perkembangan Ilmu Politik” dapat penulis selesaikan dengan baik. Tidak lupa pula penulis
haturkan shalawat serta salam kepada junjungan Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam. Semoga syafaatnya mengalir pada kita di hari akhir kelak.

Pada kesempatan ini, penulis ucapkan terima kasih kepada bapak Agus Nurohman
selaku dosen mata kuliah Pendidikan agama islam yang telah memberikan tugas makalah
ini, sehingga penulis dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi
yang ditekuni. Harapan penulis, informasi dan materi yang terdapat dalam makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, baik dari segi
penyusunan, bahasa, maupun penulisannya. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran dari para pembaca guna menjadi acuan agar penulis dapat lebih baik di masa
mendatang.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Bandung, 26 Maret 2024

Penulis

DAFTAR ISI
2
Kata Pengantar.........................................................................................................................2
Daftar Isi....................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................4
1.1. Latar Belakang.....................................................................................................................4
1.2. Rumusan Masalah................................................................................................................5
1.3. Tujuan..................................................................................................................................5
BAB 2 PEMBAHASAN............................................................................................................6
2.1. Pengertian mazhab..............................................................................................................7
2.2. Sejarah lahirnya mazhab......................................................................................................8
2.3. Faktor terjadinya perbedaan pendapat dalam mazhab.........................................................8
BAB 3 PENUTUP....................................................................................................................11
Kesimpulan...............................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................12

BAB I
3
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Ada dua sikap fanatik yang berkembang dalam masyarakat Islam yaitu fanatik dalam
bermazhab dan fanatik anti mazhab. Orang yang fanatik dalam bermazhab memandang
bahwa hanya mazhab yang dianutnya yang benar, sedangkan mazhab yang lain adalah salah.
Atau seseorang tetap berpegang pada mazhabnya walaupun dia mengetahui bahwa dalil yang
dipakai mazhabnya lemah, sedangkan dalil yang dipakai oleh mazhab yang lain lebih shahîh.
Atau ada yang berpandangan bahwa talfiq (berpindah mazhab) hukumnya haram. Di samping
itu kelompok ini sangat mengkultuskan imam panutannya sampai pada level melecehkan
imam lainnya. Golongan anti mazhab berpendapat bahwa taqlid kepada mazhab hukumnya
haram. Mereka berpandangan bahwa taqlid kepada mazhabnya sama artinya meninggalkan
al-Quran dan Sunnah.

Sikap dan kondisi seperti ini telah menimbulkan perselisihan dan perpecahan dalam tubuh
kaum Muslimin. Bahkan tidak jarang perbedaan dalam masalah furu’ (cabang) dapat
menyulut terjadinya pertengkaran dan pertumpahan darah di antara sesama Muslim. Pada
titik inilah persoalan mazhab dalam syari’at Islam itu menjadi penting untuk ditelisik lebih
lanjut.

Mayoritas umat Islam di dunia ini masih tetap berpegang teguh kepada fatwa-fatwa dan
pendapat-pendapat Imam Mazhab yang empat dalam urusan furu’iyyah. Sebagian umat Islam
juga ada yang menganut selain mazhab empat tersebut, seperti mazhab Dzahiri dan mazhab
Syi’ah. Namun terdapat pula umat Islam yang melepaskan dirinya dari mazhab-mazhab itu,
dalam pengertian yang lain mereka tidak mengikuti salah satu mazhab yang empat atau yang
lainnya. Akan tetapi mereka menjalankan pendapat mereka sendiri. Tentunya hal tersebut di
atas membuat bingung umat Islam yang telah lama berpegang teguh pada pendapat-pendapat
imam madzhab mereka. Tentunya menarik untuk dikaji lebih jauh bagaimanakah
sesungguhnya madzhab dalam bangunan syari’at Islam.

4
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa Faktor terjadinya perbedaan pendapat dalam Mazhab?


2. Bagaimana upaya menyamakan atau merapatkan dua pendapat yang berbeda (Taliq)?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui faktor terjadinya perbedaan pendapat dalam Mazhab
2. Untuk mengetahui upaya menyamakan atau merapatkan dua pendapat yang berbeda
(Talfiq)

5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Mazhab
Secara linguistik, Mazhab berasal dari kata sigat Masdar Mimy (kata sifat) dan
isim makan (kata yang menunjukkan suatu tempat), yang diambil dari kata fi’il
zahaba, yazhabu, berniat pergi. Mazhab juga berarti al-ra'yu (pendapat), visi
(pandangan), keyakinan, ideologi, ajaran, doktrin, pemahaman, dan sekte. Namun
pengertian mazhab menurut istilah mencakup dua hal: Pertama, mazhab adalah cara
berpikir atau cara yang ditempuh para mujtahir untuk menentukan hukum suatu
peristiwa berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits. kedua, mazhab adalah fatwa atau
pendapat seorang mujtahid tentang hukum suatu peristiwa yang diambil dari Al-
Qur'an dan Hadits. Dari kedua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa mazhab
adalah gagasan pokok atau landasan yang digunakan para mujtah untuk
menyelesaikan permasalahan atau menafsirkan hukum Islam. Aliran ini mempunyai
dua model yaitu manhaji dan qauli. Mujtahid menggunakan Manhaji untuk
mengetahui (istinbat) ajaran hukum Islam berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits. Qauli
merupakan hasil istinbat yang dilakukan mujtahid dengan metode manhaj.
Pemahaman ini menunjukkan bahwa apabila seseorang termasuk dalam mazhab
Hanafi, berarti ia mengikuti cara berpikir Imam Hanafi terhadap permasalahan yang
diambil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan analisa dan pendapatnya.
Penyelenggaraan sekolah Manhaji hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang
mempunyai syarat kemandirian, walaupun belum mencapai mujtahid mut}laq maqil
(Mujtahid mandiri sebagai pembina sekolah), namun dalam perkembangan sekarang
mujtahid seperti itu sudah tidak ditemukan lagi, maka yang ada adalah mujtahid
mustanbit} (kesimpulan) kadarnya di bawah mujtahid mutalaq. Mereka adalah orang-
orang yang berpeluang tergabung dalam mazhab Manhaj dan dapat melakukan
istinbat jama'i (upaya penarikan hukum Islam secara bersama- sama) dan bukan
istinbat fardi (upaya penarikan hukum Islam secara pribadi).

Sedangkan menurut istilah ada beberapa rumusan:


1. Menurut A. Hasan
Mazhab adalah mengikuti hasil ijtihad seorang imam tentang hukum suatu masalah
atau tentang hukum suatu masalah atau tentang kaidahkaidah istinbathnya.
2. Menurut M. Husain Abdullah
6
mazhab adalah kumpulan pendapat mujtahid yang berupa hukum-hukum Islam, yang
digali dari dalil-dalil syariat yang rinci serta berbagai kaidah (qawa’id) dan landasan
(ushul) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain sehingga
menjadi satu kesatuan yang utuh.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam mujtahid dalam
memecahkan masalah; atau mengistinbathkan hukum Islam.

2.2 Sejarah lahirnya Mazhab


Bila diruntut ke belakang, mahzab fiqih itu sudah ada sejak zaman sahabat.
Misalnya mazhab Aisyah ra, mazhab Ibn Mas’ud ra, mazhab Ibn Umar.
Masingmasing memiliki kaidah tersendiri dalam memahami nash Al-Qur’an Al-
Karim dan sunnah, sehinga terkadang pendapat Ibn Umar tidak selalu sejalan dengan
pendapat Ibn Mas’ud atau Ibn Abbas. Tapi semua itu tetap tidak bisa disalahkan
karena masing-masing sudah melakukan ijtihad. Di masa tabi’in, kita juga mengenal
istilah fuqaha al-Madinah yang tujuh orang yaitu; Said ibn Musayyib, Urwah ibn
Zubair, Al-Qasim ibn Muhammad, Kharijah ibn Zaid, Ibn Hisyam, Sulaiman ibn
Yasan dan Ubaidillah. Termasuk juga Nafi’ maula Abdullah ibn Umar. Di kota Kufah
kita mengenal ada Al-Qamah ibn Mas’ud, Ibrahim An-Nakha’i guru al-Imam Abu
Hanifah. Sedangkan di kota Bashrah ada al-Hasan Al-Bashri. Dari kalangan tabiin ada
ahli fiqh yang juga cukup terkenal; Ikrimah Maula Ibn Abbas dan Atha’ ibn Abu
Rabbah, Thawus ibn Kiisan, Muhammad ibn Sirin, Al-Aswad ibn Yazid, Masruq ibn
al-A’raj, Alqamah an Nakha’i, Sya’by, Syuraih, Said ibn Jubair, Makhul ad Dimasyqy,
Abu Idris al-Khaulani. Di awal abad II hingga pertengahan abad IV hijriyah yang
merupakan fase keemasan bagi itjihad fiqh, yakni dalam rentang waktu 250 tahun di
bawah Khilafah Abbasiyah yang berkuasa sejak tahun 132 H.9 Pada masa ini, muncul
13 mujtahid yang madzhabnya dibukukan dan diikuti pendapatnya. Mereka adalah
Sufyan ibn Uyainah (w.198H) dari Mekah, Malik ibn Anas (w.179H) di Madinah,
Hasan AlBasri (w.110H) di Basrah, Abu Hanifah(w.150H) dan Sufyan Ats Tsaury
(w.160H) di Kufah, Al-Auza’i (157 H) di Syam, asy-Syafi’i(w.204H), Laits ibn
Sa’ad(w.175H) di Mesir, Ishaq ibn Rahawaih (w.238H) di Naisabur, Abu
Tsaur(w.240H), Ahmad ibn Hanbal(w.241H), Daud Adz Dzhahiri (w.270H) dan Ibn
Jarir At Thabary (w. 310 H)10, keempatnya di Baghdad.

7
Imam Yahya dalam bukunya Dinamika Ijtihad NU menjelaskan bahwa paling
tidak ada dua pandangan dalam melihat realitas sosial timbulnya mazhab hukum
dalam Islam, yaitu perspektif politik dan perspektif teologi. Politik memiliki pengaruh
timbulnya mazhab, peristiwa politik dengan perkembangan fikih terjadi pada abad
kedua hijriah. sejak akhir pemerintahanBani Umayyah hingga masa munculnya
khalifah Bani Abbasiyah. Kemudian pada masa Bani Abbasiyah ulama dibagi menjadi
dua kelompok, yaitu kelompok ulama Kuffah dan Madinah, dimana pemerintahan
Bani Abasiyah lebih mendukung pada kelompok ulama Kuffah. Setelah itu pada abad
ketiga kelompok ulama tersebut lebih mengarah pada penokohan pribadi, sebagai
contoh: Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Awal abad ketiga hijriah ini
telah berkembang di masyarakat muslim lebih dari lima ratus mazhab, namun yang
mampu bertahan hanya ada beberapa mazhab yang berkembang, di antaranya Mazhab
Maliki, Hanafi, Syafi’i, Hanbali, Zaidiyah, Imamiyah, dan Ibadiyah. Huzaemah
Tahido Yanggo dalam bukunya Pengantar Perbandingan Mazhab lebih jauh
mengelompokkan mazhab fikih antara lain: Mazhab Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah
yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, Mazhab Syi’ah yang terdiri atas
Syi’ah Zaidiyah dan Syi’ah Imamiyah, Khawarij, Mazhab yang telah musnah yaitu:
Mazhab al-Auza’i, al-Zahiri, al-Tabari, dan al-Laisi.
Secara teologis, Lahirnya mazhab juga didasarkan pada pemahaman ayat Allah
swt.
yang disebutkan dalam AlquranSurah al-Taubah ayat 122 sebagai berikut:
Terjemahannya:
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa
tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk
memperdalam pengetahuan.
2.3 Faktor terjadinya perbedaan pendapat dalam mazhab
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan mazhab yaitu
1.Perbedaan dalam sumber hukum (mashdar al-ahkam);
1) Periwayatan Hadith
Hal yang menyebabkan perbedaan hukum yang berkembang di kalangan ahli fiqh
dalam hal periwayatan dan penerapan hadith meliputi;
 Keberadaan Hadith.

8
Ada banyak sekali kasus di mana periwayatan hadith-hadith tertentu tidak sampai
kepada sebagian ulama karena adanya fakta domisili sahabat yang meriwayatkan
hadith berbeda, demikian juga mazhab-mazhab besar tumbuh dan berkembang di
wilayah yang berbeda pula.
Contoh: Imam Abu Hanifah menetapkan bahwa sholat istisqa’ tidak termasuk sholat
jamaah sunnat.
 Periwayatan hadith-hadith daif.
Dalam beberapa kasus di mana sebagian ahli hukum mendasarkan ketetapannya pada
hadith yang dalam faktanya daif (lemah dan tidak dan dipercaya). Hal ini disebabkan
pendapat bahwa hadith daif digunakan untuk melakukan qiyas (deduksi analogis).
Contoh: Imam Syafi’i, Imam Malik berpendapat dua alasan bahwa qay (muntah) tidak
membatalkan wudhu’. Pertama, hadith yang disebutkan di atas tidak sahih dan kedua,
qay (muntah) tidak secara khusus disebutkan dalam sumber hukum Islam lainnya
sebagai suatu tindakan yang membatalkan wudhu.
 Persyaratan penerimaan hadith
Perbedaan lain di kalangan para ahli fiqh di wilayah sunnah muncul dari beragamnya
persyaratan yang mereka tetapkan untuk menerima hadith. Para mujtahidin Irak (Abu
Hanifah dan para sahabatnya), misalnya, berhujjah dengan sunnah mutawatirah dan
sunnah masyhurah dari kalangan ahli fiqh; sedangkan para mujtahidin Madinah
(Malik dan sahabat-sahabatnya) berhujjah dengan sunnah yang diamalkan penduduk
Madinah.
2. Perbedaan dalam cara memahami nash
Sebagian mujtahidin membatasi makna nash syariat hanya pada yang tersurat dalam
nash saja. Mereka disebut Ahl al-Hadits (fukaha Hijaz). Sebagian mujtahidin lainnya
tidak membatasi maknanya pada nash yang tersurat, tetapi memberikan makna
tambahan yang dapat dipahami akal (ma‘qul). Mereka disebut Ahl ar-Ra‘yi (fukaha
Irak). Dalam masalah zakat fitrah, misalnya, para fukaha Hijaz berpegang dengan
lahiriah nash, yakni mewajibkan satu sha’ makanan secara tertentu dan tidak
membolehkan menggantinya dengan harganya. Sebaliknya, fukaha Irak menganggap
yang menjadi tujuan adalah memberikan kecukupan kepada kaum fakir (ighna’
alfaqir), sehingga mereka membolehkan berzakat fitrah dengan harganya, yang senilai
satu sha‘ (1 sha‘= 2,176 kg takaran gandum).
3. Perbedaan dalam sebagian kaidah kebahasaan untuk memahami nash.

9
hal ini terpulang pada perbedaan dalam memahami cara pengungkapan makna dalam
bahasa Arab (uslub al-lughah al-‘arabiyah). Perbedaan yang terjadi di antara ulama
fiqh berkaitan dengan uslub allughah al-‘arabiyah mencakup hal-hal sebagai berikut:
 Kata-kata musytarak, ialah kata-kata yang mempunyai makna rangkap (multi
makna). Contoh Kata quru’ adalah lafal musytarak, yaitu suci dan haid
 Pengertian suruhan dan larangan, Contohnya adalah suruhan menulis
perjanjian utang-piutang dan mendatangkan dua saksi pada dalam al-Quran:
 Kata-kata mutlaq dan muqayyad, Mutlaq adalah lafal khas yang tidak diberi
qayyid (pembatasan) yang berupa lafal yang dapat mempersempit keluasan
artinya. Sedangkan muqayyad adalah lafal khas yang diberi qayyid yang
berupa lafal yang dapat mempersempit keluasan artinya.Seperti kata raqabah
(hamba sahaya).
 Mafhum Mukhalafah, adalah penetapan lawan hukum yang diambil dari dalil
yang disebutkan dalam nash (manthuqbih) kepada suatu yang tidak disebutkan
dalam nash (maskut’anhu).
 Kata-kata Haqiqiy dan Majazy ,Suatu kata kadang dipakai dalam arti haqiqiy
(arti sebenarnya) dan kadang dipakai dalam arti majazy (bukan arti
sebenarnya).
 Istisna’ (pengecualian) setelah serangkain perkataan
2.4 upaya menyamakan atau merapatkan dua pendapat yang berbeda (Taliq)
1. Harus mengatahui benar prosedur dan kriteria yang diikuti misalnya ber-talfiq pada
Imam Malik bahwa siput tidak haram, namun harus mengetahui syarat makan siput,
di antaranya adalah disembelih dahulu sebelum di masak.
2. Harus memperhatikan kondisi masyrakat setempat. Kalau di suatu Negara banayak
yang bermadzhab Syafi’I, maka sebaiknya hukum dan undang-undang Negara di
terapkan menurut madzhan Syafi’I pula, sehingga tidak membingingkan umat.
Misalnya menurut Syafi’I nikah harus memakai wali, sedangkan Hanafi tidak
mengisaratkan. Apabila suatu Negara tidak memastikan maka berakibat perselisihan
bagi pihak penggugat harta waris yang menikahi (suami yang bercerai mati),
sementara wali tidak mengetahui apakah anak wanitanya bersuami atau tidak.
3. Upaya talfiq tidak berhenti di sini saja, tetapi harus terus menggali dasar dan
sumber
hukum yang di praktikan, sehingga pada akhirnya ia tidak menjadi seorang yang

10
selalu bertalfiq tetapi mampu beriztihad sendiri.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
mazhab adalah gagasan pokok atau landasan yang digunakan para mujtah untuk
menyelesaikan permasalahan atau menafsirkan hukum Islam. Aliran ini mempunyai dua
model yaitu manhaji dan qauli. Mujtahid menggunakan Manhaji untuk mengetahui (istinbat)
ajaran hukum Islam berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits. Qauli merupakan hasil istinbat yang
dilakukan mujtahid dengan metode manhaj.
Awal abad ketiga hijriah telah berkembang di masyarakat muslim lebih dari lima ratus
mazhab, namun yang mampu bertahan hanya ada beberapa mazhab yang berkembang, di
antaranya Mazhab Maliki, Hanafi, Syafi’i, Hanbali, Zaidiyah, Imamiyah, dan Ibadiyah.
Secara teologis, Lahirnya mazhab juga didasarkan pada pemahaman ayat Allah swt.yang
disebutkan dalam AlquranSurah al-Taubah ayat 122 sebagai berikut:
Terjemahannya:
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa
tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk
memperdalam pengetahuan.
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan mazhab yaitu
1.Perbedaan dalam sumber hukum (mashdar al-ahkam);
2.Perbedaan dalam cara memahami nash, dan
3.Perbedaan dalam sebagian kaidah kebahasaan untuk memahami nash.

11
Daftar pustaka
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Cet. X, Jakarta: PT Ichtiar Baru
Van Hoeve, 2002), h. 214., Luwais Ma’luf.Al-Munjid Fi al-lugah,(Beirut: Daral-Masyriq,
1998), h. 240.
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab (Cet. I, Jakarta: Logos,
1997), h. 71., Qadri Azizi, Eklektisisme Hukum Nasional (Cet. I., Yogyakarta: Gama
Media, 2002), h.20
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (1997), h. 72.
Abu Ameenah Bilal Philips, Asal-usul, 131.
Dihimpun oleh Ibnu Majah dari Aisyah dan dianggap daif oleh Nasiruddin al-alBani
dalam Daif Jami’ as-Shagiir, (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1979), 167.
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah pembentukan , Ibid, 97. Lihat juga Wahbah Al-Zuhaili ,
Al-Fiqh alIslamiy wa Adillatuhu, (Beirut: Darul Fikr, 1996), Juz II, 909-911.
QS. al-Baqarah, ayat 228.
M.Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, 158-159.
QS. an-Nuur ayat 4-5.
M.Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Ibid, 136-139

12

Anda mungkin juga menyukai