Di susun oleh :
Supriadin (3120230043)
Syukur alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi tugas untuk mata kuliah Ushul Fiqih, dengan judul “DALIL HUKUM IJTIHADI
(SYAR’U MAN QOBLANA, MADZHAB SAHABI, SHADDU DZARIAH)”
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak
yang dengan tulus memberikan doa, saran dan kritik sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna di karenakan
terbatasnya pengalamaan dan pengetahuan yang saya miliki. Oleh karena itu, Saya
mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari
berbagai pihak. Akhirnya Saya berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan dunia pendidikan.
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan telah ditetapkan bahwa dalil syar’i yang dijadikan dasar pengambilan
hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia itu ada empat: al-Qur’an, al-Sunnah, al-
Ijma’, dan al-Qiyas, jumhur ulama telah sepakat bahwa empat hal itu dapat digunakan sebagai
dalil, juga sepakat bahwa urutan penggunaan dalil tersebut adalah sebagai berikut: pertama al-
Qur’an, kedua al-Sunnah, ketiga al-Ijma’ dan keempat al-Qiyas.
Akan tetapi, ada dalil lain selain dari yang empat di atas, yang mana mayoritas ulama
Islam tidak sepakat atas penggunaan dalil-dalil tersebut. Sebagian di antara mereka ada yang
menggunakan dalil-dalil ini sebagai alasan penetapan hukum syara’ dan sebagian yang lain
mengingkarinya. Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya sebagai hujjah dalam
menetapkan suatu hukum, beberapa diantaranya adalah mazhab (qaul) al-Shahabi, Syar’u Man
Qoblana, dan Sad al-Zari’ah. Sehingga, dalam makalah ini kami akan membahas tentang hal-
hal tersebut.
B. Tujuan penulisan
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. MAZHAB SHAHABI
Yang dimaksud dengan mazhab shahabi ialah pendapat sahabat rasulullah SAW
tentang suatu kasus diaman hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur’an
dan Sunnah Rasulullah.
Sedangkan menurut sebagian ulama Ushul Fiqh mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan mazhab shahabi yaitu, pendapat hukum yang dikemukakan oleh
seorang atau beberapa sahabat Rasulullah secara individu, tentang suatu hukum syara’
yang tidak terdapat ketentuanya dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah SAW.
Sedangkan mazhab shahabi itu sendiri menunjuk pengertian pendapat hukum para
sahabat secara keseluruhan tentang suatu hukum syara’ yang tidak terdapat dalam Al-
Qur’an dan Sunnah, dimanan pendapat para sahabat tersebut nerupakan hasil
kesepakatan diantara mereka. Dengan demikian dapat dipahami, perbedaan antara
keduannya ialah,qaul ash-shahabi merupakan pendapat perorangan,yang antara satu
pendapat sahabat dengan pendapat sahabat yang lainya dapat berbeda. Sedangkan
mazhab shahabi merupakan pendapat bersama.
Namun ada juga pendapat lain yang memberikan defenisi mazhab shahabi
tersebut. Beliau mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mazhab shahabi adalah
fatwa sahabat secara perorangan. maksudnya adalah bahwa fatwah itu adalah
mengandung suatu keterangan atau penjelasan tentang hukum syara’ yang dihasilkan
melalui usaha ijtihad. Namun perbedaan pengertian ini tidaklah harus kita jadikan
sebagai permasalahan, karena dari beberapa defenisi diatas tentang mazhab shahabi itu
adalah mengarah pada pengertian yang sama, hanya saja pengunaan bahasa yang sedikit
berbeda. Oleh karena itu perbedaan pengertian yang ada hanyalah sebuah tujuan penulis
untuk mempermudah pembaca, agar lebih mudah untuk diapahami.
Baik juga disebutkan, terdapat perbedaan pengertian antara jumhur ulama ushul
fiqh dan jumhur ulam hadist tentang yang dimaksud dengan sahabat Rasulullah.
Menurut jumhur ulama, yang dimaksud dengan sahabat ialah, setiap orang mukmin
yang bertemu dengan Rasulullah, wafat dalam keadaan mukmin dan bergaul dengan
beliau dalam waktu yang lama. Sedangkan menurut jumhur ulama hadist mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan sahabat adalah setiap orang mukmin yang bertemu
dengan Rasulullah dan wafat dalam keadaan mukmin, baik pergaulan mereka tersebut
dalam waktu yang lama maupun sebentar.
Sejarah membuktikan,qaul ash shahabi merupakan rujukan hukum mengenai
peristiwa- peristiwa hukum yang baru terjadi setelah wafatnya Rasulullah, yang tidak
terdapat ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an maupun Sunnah. Akan tetapi harus
dikatakan sebagaimana layaknya suatu komunitas masyarakat, tidak semua sahabat ahli
dalam hukum islam. Bakat dan keahlianya pun berbeda-beda. Sebagian sahabat
2
3
3
4
3
Maksud kehujjahan disini adalah kekuatan yang mengikat untuk dijalankan oleh
umat islam, sehingga akan berdosa jika meninggalkannya sebagaimana berdosanya
meninggalkan perintah Nabi. Pembicaraan tentang apakah mazhab shahabi itu
menyangkut beberapa segi pembahasan yaitu; Pembahasan dari kehujjahannya
terhadap sesame sahabt lain, dan kehujjahannya terdapat generasi berikutnya atau
oaring yang selain sahabat. Pembahasan dari segi bentuk mazhab shahabi dapat
dibedakan antara kemungkinannya berasal dari ijtihad pribadi sahabat tersebut atau
melalui cara lain. Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Beberapa diantaranya
yaitu;
1. Pendapat sahabat yang berada diluar lingkup ijtihad atau hal lain yang secara
qath’I berasal dari Nabi meskipun secara terang tidak disebutkan berasal
dari Nabi dapat menjadi hujjah. Bila terdapat dua pendapat atau lebih yang
berbeda dalam bentuk ini maka diselesaikan dengan cara atau metode yang
lazim (berlaku).
2. Pendapat sahabat dalam lingkup ijtihad dan bukan dalam bentuk tafiq,
tenetang kehujjahannya tergantung untuk siapa pendapat sahabat itu
diberlakukan. Para ulama sepakat bahwa pwndapat sahabat dalam bentuk
ini tidak menjadi hujjah untuk sesama sahabat lainya, baik ia seorang
imam,hakim atau mufti. Kesepakatan ulama ini di nukilkan oleh dua pakar
ushul fiqh, yaitu; Ibn Subki dan al-Asnawi, yang mengajukan beberapa
argumen.
3. Para imam mazhab yang empat sepakat menjadikan qaul ash-shahabi
sebagai rujukan terhadap masalah-masalah yang bukan merupakan wilayah
ijtihad. Sebab, dalam masalah-masalah yang bukan merupakan wilayah
ijtihad, qaul ash-shahabi dipandang berkedudukan sebagai al khabar at-
tawqifi (informasi keagamaan yang diterima tanpa reserve) yang bersumber
dari rasulullah.
4
5
3
4. Para ulama juga sepakat, qaul ash-shahabi menjadi rujukan hukum berkaitan
dengan ketentuna hukum dari masalah yang disepakati oleh para sahabat
(ijma’ ash-shahabi) baik kesepakatan tersebut bersifat pernyataan bersama
(ijma’ ash-sharih) maupun yang dipandang sebagai kesepakatan bersama
karena tidak ada pendapat yang berbeda dengan pendapat yang
berkembang (ijma’ as-sukuti) yang dalam istialh lain disebut dengan
mazhab ash-shahabi, misalnya :bagian warisan nenek perempuan adalah
seperenam harta warisan. Sebaliknnya, para ulam juga sepakat, bahwa qaul
ash-shahabi yang merupakan hasil ijtihad perorangan tidak menjadi hujjah
terhadap sahabat lainya. Sebab fakta sejarah menunjukan dikalangan
sahabat sendiri terjadi perbedaan pendapat dalam beberapa masalah hukum
syara’ tertentu. Sekiranya pendapat seorang sahabat menjadi hujjah
terhadap sahabat lainya, tentu perbedaan pendapat tersebut tidak terjadi.
5. Pendapat perorangan merupakan hujjah bagi generasi tabi’in dan generasi
berikutnya atau tidak? Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat ulama
diantaranya yaitu; Menurut jumhur ulama, yaitu ulama Hanfiyyah, Imam
Malik, pendapat Asy-Syafi’I yang lama (qaul al-qadim) dan menurut
pendapat Ahmad bin Hanbal yang terkuat: qaul ash-shahabi merupakan
hujjah. Bahkan menurut mereka qaul ash-shahabi didahulukan dari pada al-
qiyas. Pendapat ini didasarkan kepada beberapa dalil sebagai berikut :
Firman Allah SWT pada suarah Ali Imran (3): 110 yang berbunyi :
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman
kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi
mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah
orang-orang yang fasik.”
Ayat ini ditujukan kepada sahabat, sehingga menunjukan bahwa apa yang
mereka perintahkan adalah yang baik. Sedangkan perintah yang baik wajib
diterima.
5
6
3
Dalam beberapa literature ushul fiqh, dikemukakan pendapat para ulama yang
berpandangan bahwa kehujjahan pendapat sahabat itu adalah secara terbatas bagi
sahabat-sahabat tertentu saja. Beberpa pendapat mereka adalah sebagai berikut :
1. Pendapat sahabat yang berdaya hujjah hanyalah lahir dari Abu Bakar dan
‘Umar ibn Khattab bersama-sama. Dasarnya adalah hadits Nabi yang
menyatakan “ikutilah dua orang sesudahku yaitu Abu Bakar dan ‘Umar”.
Hadits ini dinyatakan hasan al-Tarmidzi.
2. Pendapat dari empat orang Khulafa al-Rasyidin menjadi hujjah dan tidak
dari sahabat lainya. Dasarnya adalah hadits Nabi yang dishahihkan oleh al-
Tarmidzi; “adalah kewajibanmu untuk mengikuti sunnahku dan sunnah
khulafa al-Rasyidin yang datang sesudahku”.
3. Pendapat selain Khulafa al-Rasyidin selain Ali menjadi hujjah. Pendapat ini
dinukilkan dari al-Syafi’i. tidak dimasukkannya Ali dalam kelompok
shahabat ini oleh al-Syafi’I bukan karena kurang dari segi kualitasnya
disbandingkan pendahulunya, tetapi karena setelah menjadi khalifah ia
memindahkan kedudukanya ke khulafa dan waktu itu para sahabat yang bisa
menjadi nara sumber bagi khalifah dalam forum musyawarah pada masa
sebelum ‘Ali sudah tidak ada lagi.
4. Pendapat sahabat yang mendapat keistimewaan pribadi dari Rasulullah
menjadi hujjah bila ia berbicara dalam bidang keistimewaannya itu, seperti
Zaid bin Tsabit dalam bidang faraid (hukum waris); Muaz ibn Jabal dalam
bidang hukum diluar faraid, dan Ali Abi Thalib dalam masalah peradilan.
Dikalangan ulama yang menerima kehujjahan pendapat sahabat secara
mutlak muncul perbedaan pendapat dalam menempatkannya bila ia
berhadapan dengan qiyas. Ulama yang berpendapat bahwa sahabat itu
menjadi hujjah dan berada diatas qiyas, sehingga kalau terjadi pembenturan
antara keduanya, maka yang harus didahulukan adalah pendapat sahabat
atas qiyas. Berdasarkan pendapat ini, bila ada dua pendapat yang berada
dalam satu masalah, maka penyelesaiannya adalah sebagaimana
penyelesaiannya dua dalil yang bertentangan yaitu melalui tarjih (mencari
dalil yang terkuat).
5. Ulama yang berpendapat bahwa pendapat sahabat itu menjadi hujjah,
namun kedudukanya dibawah qiyas dan bila terjadi pembenturan antara
keduanya maka harus didahulukan qiyas atas pendapat sahabat.
Berdasarkan pendapat kedua diatas, apakah pendapat sahabat itu dapat
digunakan untuk mentakhsis umunya dalil lafaz suatu hukum? Dalam hal
ini para ulama juga berbeda pendapat yaitu: Ulama yang membolehkan
6
7
3
Ulama lainya berpendapat tidak boleh untuk mentakhsis umumnya dalil, karena
para sahabat biasa meninggalkan pendapatnya bila mendengar dalil yang umum.
Dikalangan ulama yang menolak kehujjahan mazhab shahabi berbeda pendapat pula
dalam hal apakah orang (generasi) sesudah sahabat boleh bertaqlid kepada sahabat.
Dalam hal ini ada dua pendapat yaitu: (1) Membolehkan secara mutlak dengan alasan
rasional, bahwa bila orang boleh bertaqlid kepada seorang mujtahid sesudah sahabat,
tentu akan lebih boleh lagi bertaqlid kepada mujatahid sahabat. (2) Qaul qadim
(pendapat lama)dari al-Syafi’I mengatkan boleh bertaqlid kepada sahabat asalkan
pendapatnya itu sudah tersebar luas, meskipun belum dibukukan.
Yang dinamakan dengan Syar’u Man Qablana, yaitu ajaran-ajaran atau syari’at
Syari’at Nabi - nabi terdahulu yang berhubungan dengn hukum, seperti Syari’atnya Nabi
Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa. Dengan Kata lain, seluruh ajaran-ajaran Nabi-Nabi
terdahulu yang berkaitan dengan suatu kasus hukum itu dapat dijadikan acuan dalam
instimbat hukum ( penggalian hukum ) jika termaktub dalam Alqur’an serta mempunyai
ketegasan bahwa syari’at itu berlaku bagi umat Nabi Muhammad S.A.W.
Dalil Naqli yang digunakan oleh segolongan Ulama’ atas kebolehan menggunakan
Syar’u Man Qablana dijadikan sebagai hujjah, khususnya pengikut
Hanafiyah,Malikiyah,Syafi’iyah yaitu :
1. “Dia Telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang Telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang Telah kami wahyukan kepadamu
dan apa yang Telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu:
Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. amat berat
bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah
menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk
kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).
Ayat di atas menegaskan bahwa syariat yang Allah turunkan kepada Nabi
Muhammad SAW juga telah disyari’atkan kepada Nabi sebelum beliau. Ayat ini
juga menunjukkan bahwa pada dasarnya seluruh Syari’at yang diturunkan Allah
SWT merupakan satu kesatuan.
7
8
3
a) Pendapat para ulama’ tentang Syar’u Man Qablana
Seperti yang sudah dicantumkan diatas bahwa dalil dibolehkannya syar’u Man
Qablana tercantum dalam Kitab Suci Al-Qur’an. Lantas pertanyaanya, Syari’at-
syari’at yang lampau manakah yang boleh kita ambil untuk mengatasi situasi zaman
sekarang ini ? Perlu ditegaskan bahwa syar’u man Qablana yang tidak tercantum dalam
Al – qur’an dan As – Sunah, itu tidak berlaku lagi Bagi Nabi S.A.W dan umatnya.
Sebab, Risalah yang dibawa Nabi Muhammad S.A.W bersifat menggantikan Syari’at
terdahulu, secara otomatis tidak berlaku lagi bagi umat sekarang. Misalnya,
diharamkanya memakan semua daging binatang yang berjumlah genap, aksi bunuh diri
sebagai cara taubat serta memotong bagian kain yang terkena najis.
Selanjutnya, Segolongan Ulama; sepakat bahwa Syar’u man Qablana yang
tercantum dalam Al – qur’an maupun Sunah dan secara tegas dinyatakan berlaku oleh
Rosulullah S.A.W, maka keberlakuannya bukan hanya sekedar kedudukannya sebagai
Syar’u Man Qablana, melainkan karena disyari’atkan oleh Al-qur’an atau sunah Nabi
Muhammad S.A.W. Seperti Disyari’atkanya Puasa kepada umat-umat terdahulu juga
berlaku bagi umat Nabi. Hal ini tercantum dalam Al-Qur’an surat Al Baqoroh ayat
183.
Adapun yang menjadi objek perbedaan pendapat dikalangan Ulama’ ialah,
hukun dari masalah – masalah yag tidak secara tegas diberlakukan pada syari’at Nabi
Muhammad S.A.W, tetapi tidak ada nash yang menasakhkanya atau mengapusnya.
Dalam hal ini ada dua kelompok yang saling bertolak belakang atas diberlakukanya
Syar’u Man Qablana dengan menggunakan ijtihad mereka masing – masing.
8
9
3
C. SADD AL-DZARÎ’AH
Kata sadd menurut bahasa berarti “Menutup” dan kata az-zari’ah berarti
“wahsilah” atau jalan ke suatu tujuan. Dengan demikian sadd az-zari’ah secara bahasa
berarti menutup jalan kepada suatu tujuan. Imam al-satibi mendefenisikan dzari’ah
dengan “melakukan suatu pekerjaan yang semula mengandung suatu kemaslahatan
untuk menuju kesuatu kemasadatan. Maksudnya adalah seseorang melakukan suatu
pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan karena mengandung suatu kemaslahatan
tetapi tujuan yang akan dia capai berahir pada suatu kemafsadatan.
Menurut istilah ushul fiqih seperti dikemukakan oleh abdul karim zaidan Sadd
Az-Zari’ah berarti:
Umpamanya:
• Qs. Al-an’am 6: 108
9
10
• QS. Al-Baqarah:104
10
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah kami paparkan, maka daat ditarik suatu kesimpulan
sebagai berikut: Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya sebagai hujjah dalam
menetapkan suatu hukum, beberapa diantaranya adalah mazhab (qaul) al-Shahabi, Syar’u Man
Qoblana, dan Sad al-Zari’ah.
Sad Secara bahasa kata Sadd berarti menutup dan adzariah berarti wasilah atau jalalan kesuatu
jalan kesuatu tujuan. Dengan demikian sadd al-zariah berarti menutup jalan yang mencapaikan
kepada tujuan dengan demikian sadd- Dzariah berarti menutup jalan yang mencapai kepada
tujuan, menurut imam Asy Syatibi sadd-Dzariah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang
yang sebelumnya mengandung kemaslahatan tetapi berakhir seuatu kerusakan.
B. SARAN
Dalam penulisan makalah ini penulis merasa masih jauh dari kesempurnaan, sehingga
penulis mengharapkan adanya kritikan dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Diharapkan kepada mahasiswa selanjutnya lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan
daya pikirnya kedepan untuk memajukan syari’at Islam.
11
DAFTAR PUSTAKA
Bakry, Nazar. 1994. Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Haroen, Nasrun. 1997. Ushul Fiqh 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Munadi.
2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia. Syarifuddin, Amir. 2009. Ushul
12