Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

USHUL FIKIH
“QIYAS DAN MASHLAHAH AL-MURSALAH SEBAGAI
DALIL HUKUM ISLAM”

Disusun Oleh :

Disusun Oleh :
Hikma Hayati : 23329130
Ririn Mila Wulandari : 23329164
Maysitah Lestari : 23329015

Dosen Pengampu :
Fakhriyah Annisa Afroo, S.H., M.H

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2024
KATA PENGANTAR

Puji Syukur Alhamdulillah kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan
karunia dan rahmat-Nya sehingga saya mampu untuk menyusun makalah ini dengan tepat waktu.
Tidak lupa juga kami curahkan shalawat serta salam kepada junjungan kita Nabi besar
Muhammad Shallallahu `alaihi Wa Sallam, beserta keluarganya, para sahabatnya dan semua
ummatnya yang selalu istiqomah sampai akhir zaman.

Penulisan makalah ini memiliki tujuan untuk memenuhi tugas mata pelajaran Sejarah
Kebudayaan Islam dengan tema“QIYAS DAN MASLAHAH AL-MURSALAH SEBAGAI
DALIL HUKUM ISLAM”.

Namun, kami sadar bahwa makalah ini penuh dengan kekurangan,mungkin dari segi
penulisan susunan paragraf dan lainnya. Oleh karena itu, saya sangat berharap kritik dan saran
dari pembaca atau pendengar demi penyempurnaan makalah ini,karena manusia tidak pernah
luput dari kesalahan. Harapan kami semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi sumber
ilmu pengetahuan bagi semua pihak.

Padang, 22 Maret 2024

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................... 2


DAFRAR ISI .......................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 4
A. Latar Belakang ............................................................................................. 4
B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 4
C. Tujuan ........................................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................... 6


A. Pengertian ..................................................................................................... 6
B. Macam-macam Mashlahah ......................................................................... 7
C. Kehujjahan Mashlahah ............................................................................... 9
D. Kaidah-Kaidah Mashlahah ......................................................................... 10
E. Qiyas sebagai Dalil Hukum Syara‟ ............................................................ 11
F. Dasar Keabsahan Qiyas Sebagai Landasan Hukum ................................ 12
G. Rukun dan Syarat Qiyas ............................................................................. 14
H. Macam-Macam Qiyas .................................................................................. 15
BAB III PENUTUP .................................................................................................. 17
A. Kesimpulan ................................................................................................... 17
B. Saran ............................................................................................................. 18
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 19
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam yang dibawa oleh Nabi Saw. adalah sebagai agama yang lurus,
diturunkan langsung dari Sang Pencipta alam semesta ini termasuk menciptakan manusia.
Dialah yang memerintahkan manusia agar menyembbah beribadah semata kepada-Nya,
berhukum dengan hukum-hukum-Nya dan mengembalikan segala urusan kepada Allah dan
Rasul-Nya.
Al-mashlahah al-mursalah merupakan sebuah kosep yang dikenal luas di dalam studi
ushul fiqh. Hampir setiap karya ushul fiqh senantiasa tak lepas dari pembicaraan almashlalah al-
mursalah. Ia merupakan sebuah metode istinbath hukum fiqih di antara berbagai metode
istinbath lainnya. Keberadaannya sebagai sebuah metode istinbath hukum telah dipraktekkan
sejak masa yang paling awal, baik oleh para sahabat maupun oleh imam mazhab.

Berbagai ketetapan Rasulullah Saw, mengenai hukum menjadi acuan bagi para sahabat,
seakan-akan selama itu beliau melatih mereka mengembangkan syari‟at. Setelah sumber hukum
al-Qur‟an, Hadits dan Ijma sahabat maka yang terakhir adalah Qiyas. Maka qiyas adalah salah
satu yang menjadi rujukan dalam memproduksi hukum, karena sebagai sumber hukum.

Dengan kata lain kita mengenal pokok-pokok yang dijadikan landasan atau sumber
hukum. Selain al-Qur‟an, sunnah dan ijma‟, ada pula qiyas (analogi). Sebuah mekanisme untuk
mengetahui sebuah hukum dengan cara menganalisis terlebih dahulu permasalahan baru yang
timbul dan mengkaitkan permasalahan tersebut dengan dalil-dalil hukum Islam yang ada yaitu
al-Qur‟an, sunnah dan ijma‟. Apabila tidak ditemukan kejelasan hukumnya, barulah metode
qiyas ini digunakan, yakni menerapkan hukum atas permasalahan yang sudah jelas nash hanya
pada masalah baru tersebut setelah diyakini adanya kesamaan dalam „illat hukumnya. Kajian ini
menjadi penting dan akan lebih menarik ketika muncul masalah-masalah baru (kontemporer)
yang secara eksplisit tidak ditemukan jawabannya pada kitab-kitab hukum Islam yang disusun
oleh para ulama terdahulu.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian qiyas dan maslahah al-mursalah sebagai dalil hukum islam?
2. Apa macam-macam Mashlahah?
3. Apa Kehujjahan Mashlahah?

4
4. Apa Kaidah-Kaidah Mashlahah?
5. Apakah Qiyas sebagai Dalil Hukum Syara‟?
6. Apakah Dasar Keabsahan Qiyas Sebagai Landasan Hukum?
7. Apa saja Rukun dan Syarat Qiyas?

C.Tujuan Masalah
1. Memahami definisi pengertian qiyas dan maslahah al-mursalah sebagai dalil hukum islam.
2. Mengetahui macam-macam Mashlahah.
3. Memahami Kehujjahan Mashlahah.
4. Mengetahui Kaidah-kaidah Maslahah.
5.Mengetahui apakah Qiyas sebagai Dalil Hukum Syara‟.
6. Mengetahui Dasar Keabsahan Qiyas Sebagai Landasan Hukum.
7. Mengetahui Rukun dan Syarat Qiyas.

5
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian
Menurut bahasa, kata maslahah berasal dari Bahasa Arab dan telah dibakukan ke dalam
Bahasa Indonesia menjadi kata maslahat, yang berarti mendatangkan kebaikan atau yang
membawa kemanfaatan (manfa‟ah) dan menolak kerusakan (mafsadah) (Kholil, 1995). Karena
pada hakikatnya syari‟at diturunkan di dunia ini hanya untuk kemaslahatan manusia (innama
unzilati syari‟atu litahqiqi mashalihil anam) (Hadi, 2014). Menurut bahasa aslinya kata maslahah
berasal dari kata salaha, yasluhu, salahan, (‫ ص لحا‬, ‫ي ص لح‬, ‫( ص لح‬artinya sesuatu yang baik,
patut, dan bermanfaat. Sedang kata mursalah artinya terlepas bebas, tidak terikat dengan dalil
agama (Sirat et al., 2016). (Alqur‟an dan al-Hadits) yang membolehkan atau yang melarangnya.

Secara etimologi, mashlahah mempunyai makna yang identik dengan manfaat,


keuntungan, kenikmatan, kegembiraan atau segala upaya yang bisa mendatangkan hal itu.
Mashlahah juga sama dengan manfaat baik dari segi lafadz maupun maknanya. Di sisi lain,
maslahat juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Secara
terminologi, terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh para pakar Ushul Fiqh tetapi
seluruh definisi tersebut mengandung pengertian yang sama secara substansial meskipun redaksi
definisinya bervariasi. Imam al-Gazali mengemukakan bahwa pada prinsipnya mashlahah adalah
mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara.

Sedangkan Qiyas secara etimologi, qiyas merupakan bentuk masdar dari kata qâsa-
yaqîsu, yang artinya ukuran, mengetahui ukuran sesuatu. Amir Syarifudin menjelaskan bahwa
qiyas berarti qadara yang artinya mengukur, membandingkan sesuatu dengan yang semisalnya.
Sebagai contoh, "Fulan Meng-qiyas-kan baju dengan lengan tangannya", artinya
membandingkan antara dua hal untuk mengetahui ukuran yang lain. Secara bahasa juga berarti
"menyamakan", dikatakan "Fulan meng-qiyas-kan extasi dengan minuman keras", artinya
menyamakan antara extasi dengan minuman keras.3 Dalam perkembanganya, kata qiyas banyak
digunakan sebagai ungkapan dalam upaya penyamaan antara dua hal yang berbeda, baik
penyamaan yang berbentuk inderawi, seperti pengqiyasan dua buah buku. Atau pengqiyasan
secara maknawiyah, misalnya “Fulan tidak bisa diqiyaskan dengan si Fulan”, artinya tidak
terdapat kesamaan dalam bentuk ukuran. Adapun arti qiyas secara terminologi menjadi
perdebatan ulama, antara yang mengartikan qiyas sebagai metode penggalian hukum yang harus
tunduk pada nash, dan yang mengartikan qiyas sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri di
luar nash.

6
Qiyas merupakan suatu cara penggunaan ra‟yu untuk menggali hukum syara‟ dalam hal-
hal yang nash al-Qur‟an dan sunnah tidak menetapkan hukumnya secara jelas. Pada
dasarnya ada dua macam cara penggunaan ra‟yu, yaitu penggunaan ra‟yu yang masih
merujuk kepada nash dan penggunaan ra‟yu secara bebas tanpa mengaitkannya kepada nash.
Bentuk pertama secara sederhana disebut qiyas, meskipun qiyas tidak menggunakan nash
secara langsung, tetapi karena merujuk kepada nash, maka dapat dikatakan bahwa qiyas juga
menggunakan nash walaupun tidak secara langsung.

Sedang mengenai definisinya menurut ulama ushul fiqh, qiyas berarti menghubungkan
suatu kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian lain yang ada nashnya, dalam
hukum yang telah ditetapkan oleh nash karena adanya kesamaan dua kejadian itu dalam
illat hukumnya (Abdul Wahab Khallaf, 2002:74).Para ulama Hanabilah berpendapat bahwaillat
merupakan suatu sifat yang berfungsi sebagai pengenalsuatu hukum. Sifat pengenal dalam
rumusan definisi tersebut menurut mereka sebagai suatu tanda atau indikasi keberadaan
suatu hukum. Misalnya, khamer itu diharamkan karena ada sifat memabukkan yang terdapat
dalam khamer.

B. Macam-macam Mashlahah
Macam-macam mashlahah dapat dibagi dari dua segi yaitu dari segi kekuatannya sebagai
hujjah dalam menetapkan hukum dan juga dari segi keserasian dan kesejalanan anggapan baik
oleh akal dengan tujuan syara‟. Dari dua segi tersebut, dari segi kekuatannya sebagai hujjah
terbagi tiga macam yaitu:

1. Mashlahah dharuriyah
Mashlahah dharuriyah yakni kemaslahatan yang keberadaannya sangat dibutuhkan
oleh kehidupan manusia. Artinya, kehidupan manusia tidak ada artinya bila satu dari lima
prinsip pokok kehidupan manusia itu tidak ada Lima prinsip pokok bagi kehidupan manusia
yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Segala usaha yang secara langsung menjamin
keberadaan lima prinsip tersebut adalah baik. Karena itu Allah memerintahkaan manusia
melakukan usaha bagi pemenuhan kebutuhan tersebut. Sedangkan segala sesuatu yang
secara langsung menyebabkan lenyap atau rusaknya salah satu dari lima prinsip tersebut
adalah buruk karena itu Allah melarangnya. Meninggalkan dan menjauhi larangan Allah
adalah baik atau mashlahah dalam tingkat dharuri. Dalam hal ini Allah melarang murtad
untuk memelihara agama; melarang membunuh untuk memelihara jiwa; melarang minum-
minuman keras untuk memelihara akal; melarang berzina untuk memelihara keturunan; dan
melarang mencuri untuk memelihara harta.

2. Mashlalah hajiyah
Mashlalah hajiyah,yakni kemaslahatan yang tingkat kebutuhan hidup manusia kepadanya
tidak berada pada tingkat dharuri. Namun, jika tidak terpenuhi dalam kehidupan manusia, tidak

7
sampai secara langsung mengakibatkan rusaknya lima unsur pokok tersebut, tetapi secara tidak
lanngsung mengakibatkan perusakan. Contohnya, menuntut ilmu agama untuk tegaknya agama,
makan untuk kelangsungan hidup, mengasah otak untuk sempurnanya akal, melakukan jual beli
untuk mendapatkan harta. Sebaliknya, ada pula perbuatan yang secara tidak langsung akan
berdampak pada berkurangnya atau rusaknya lima kebutuhan pokok, seperti: menghina agama
berdampak pada pemelliharaan agama, mogok makan pada pemeliharaan jiwa, minum dan makan
yang merangsang pada pemeliharaan akal, melihat aurat pada pemeliharaan keturunan, dan menipu
akan berdampak pada pemeliharaan harta. Semua itu adalah perbuatan buruk yang dilarang dan
menjauhinya adalah baik atau mashlalah tingkat haji.

3. Mashlahah Tahsiniyah
Mashlahah Tahsiniyah, yakni kebutuhan hidup manusia yang tidak sampai pada
tingkat dharuri, juga tidak sampai pada tingkat haji. Namun perlu dipenuhi untuk memberi
kesempurnaan dan keindahan bagi hidup manusia serta masih berkaitan dengan lima
kebutuhan pokok manusia. Dari segi keserasian dan kesejalanan anggapan baik oleh akal
dengan tujuan syara‟ dalam menetapkan hukum, dari tujuan yang dimaksud usaha mencari
dan menetapkan hukum, mashlahah dapat disebut dengan munasib atau keserasian
mashlahah dengan tujuan hukum. Dari segi pembuat hukum (syari‟) memperhatikan atau
tidaknya, mashlahah terbagi menjadi tiga, yaitu:
a. Mashlalah mu‟tabarah
Mashlalah mu‟tabarah, yakni mashlahah yang diperhitungkan oleh syari‟. Maksudnya,
ada petunjuk dari syari‟, baik langsung maupun tidak langsung yang memberi petunjuk
pada adanya mashlahah yang menjadi alasan menetapkan hukum. Mashlahah mu‟tabarah
terbagi menjadi dua, yaitu:

1. Munasib mu‟atstsir,
Munasib mu‟atstsir yaitu ada petunjuk langsung dari pembuat hukum (syari‟) yang
memerhatikan mashlahah tersebut. Maksudnya, ada petunjuk syara‟ dalam bentuk
nash atau ijma‟ yang menetapakan mashlahah tersebut dapat dijadikan alasan dalam
menetapkan hukum. Contoh, tidak baik mendekati wanita yang sedang haid dengan
alasan haid itu adalah penyakit. Hal ini disebut mashlahah karena menjauhkan diri
dari kerusakan atau penyakit dan alasan adanya “penyakit” ini dikaitkan dengan
larangan mendekati perempuan, yang disebut munasib.Hal ini ditegaskan dalam
surah al-Baqarah (2): 222:
Artinya:“Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid.
Katakanlah, “itu adalah sesuatu yang kotor.” Karena itu jauhilah istri pada waktu
haid....”.11

2. Munasib mulaim
Munasib mulaim, yakni tidak ada petunjuk langsung dari syara‟ baik dalam bentuk
nash maupun ijma‟ tentang perhatian syara‟ terhadap mashlahah tersebut, namun

8
secara tidak langsung ada. Maksudnya, meski syara‟ secara tidak langsung
menetapkan suatu keadaan menjadi alasan untuk menetapkan hukum yang
disebutkan, namun ada petunjuk syara‟ bahwa keadaan itulah yang ditetapkan oleh
syara‟ sebagai alasan untuk hukum yang sejenis. Umpamanya:

a) .Bolehnya jama‟ sholat bagi orang yang muqim (penduduk setempat) karena
hujan.

b). Menetapkan keadaan “dingin” menjadi alasan untuk halangan shalat berjamaah.
Tidak ada petunjuk dari syara‟ yang menetapkan dingin itu sebagai alasan untuk
tidak ikut shalat berjamaah, namun ada petunjuk syara‟ bahwa keadaan yang sejenis
dengan dingin, yaitu “perjalanan” yang dijadikan syara‟ sebagai alasan bagi hukum
yang sejenis dengan meninggalkan shalat tersebut, yaitu jama‟ shalat. “Dingin”
sejenis dengan “perjalanan” yaitu sama dalam hal menyulitkan, sedangkan
meninggalkan shalat berjamaah sejenis dengna shalat jama‟ shalat yaitu sama-sama
rukhsah hukumnya.

b. Mashlahah al-Mulghah atau mashlahah yang ditolak, yakni mashlahah yang dianggap
baik oleh akal, tetapi tidak diperhatikan oleh syara‟ dan ada petunjuk syara‟ yang
menolaknya. Maksudnya, akal menganggapnya baik dan telah sejalan dengan tujuan
syara‟, namun ternyata syara‟ menetapkan hukum yang berbeda dengan apa yang
dituntut oleh mashlahah itu. Umpamanya, ada seorang raja atau orang kaya yang
melakukan pelanggaran hukum yaitu mencampuri isterinya di siang hari di bulan
Ramadhan. Untuk orang ini sanksi yang paling baik adalah disuruh puasa dua bulan
berturut-turut, karena cara inilah yang diperkirakan akan membuatnya jera melakukan
pelanggaran, pertimbangan ini memang baik dan masuk akal bahkan sejalan dengan
tujuan syari‟ dalam menetapkan hukum. Namun, yang dianggap baik oleh akal ini, tidak
demikian menurut syari‟, bahkan ia menetapkan hukum yang berbeda, yaitu harus
memerdakakan hamba sahaya, meskipun sanksi ini dinilai kurang relevan untuk dapat
membuat jera.

3. Mashlahah al-Mursalah,

Mashlahah al-Mursalah,yakni apa yang dipandang baik oleh akal, sejalan dengan tujuan
syara‟ dalam menetapkan hukum, namun tidak ada petunjuk syara‟ yang
memperhitungkannya dan tidak ada pula petunjuk syara‟ yang menolaknya. Jumhur
ulama sepakat menggunakan mashlahah mu‟tabarah, sebagaimana mereka juga sepakat
menolak mashlahah al-mulghah.

C. Kehujjahan Mashlahah

9
Dalam kehujjahan mashlahah, di kalangan para ulama ushul memiliki perbedaan
pandapat, di antaranya :

1. Mashlahah tidak dapat dijadikan sebagai hujjah atau dalil. Pendapat ini menurut ulama-
ulama Syafi‟iyah, Hanafiyah dan sebagian ulama Malikiyah seperti Iibnu Haajib dan
Ahli Tahir.
2. Mashlahah dapat menjadi hujjah atau dalil menurut sebagian ulama Maliki dan sebagian
ulama Syafi‟i, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ulama-
ulama ushul. Jumhur Hanafiyah dan Syafi‟ah mensyaratkan hendaknya dimasukkan di
bawah qiyas yaitu bila terdapat hukum asli yang dapat diqiyaskan kepadanya dan juga
terdapat illat mudahbit (tepat), sehingga dalam hubungan hukum itu terdapat tempat
untuk merealisir kemaslahatan.
3. Imam al-Qarafi berkata tentang maslahah mursalah: “Sesungguhnya berhujjah dengan
mashlahah mursalah dilakukan semua mazhab, karena mereka melakukan qiyas dan
mereka membedakan antara satu dengan lainnya karena adanya ketentuan-ketentuan yang
mengikat”. Dalam kehujjahan mashlahah, di kalangan para ulama ushul memiliki
perbedaan pandapat, di antaranya14 : 1. Mashlahah tidak dapat dijadikan sebagai hujjah
atau dalil. Pendapat ini menurut ulama-ulama Syafi‟iyah, Hanafiyah dan sebagian ulama
Malikiyah seperti Iibnu Haajib dan Ahli Tahir. 2. Mashlahah dapat menjadi hujjah atau
dalil menurut sebagian ulama Maliki dan sebagian ulama Syafi‟i, tetapi harus memenuhi
syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ulama-ulama ushul. Jumhur Hanafiyah dan
Syafi‟ah mensyaratkan hendaknya dimasukkan di bawah qiyas yaitu bila terdapat hukum
asli yang dapat diqiyaskan kepadanya dan juga terdapat illat mudahbit (tepat), sehingga
dalam hubungan hukum itu terdapat tempat untuk merealisir kemaslahatan. 3. Imam al-
Qarafi berkata tentang maslahah mursalah: “Sesungguhnya berhujjah dengan mashlahah
mursalah dilakukan semua mazhab, karena mereka melakukan qiyas dan mereka
membedakan antara satu dengan lainnya karena adanya ketentuan-ketentuan yang
mengikat”.

D. Kaidah-Kaidah Mashlahah
Kaidah dalam bahasa Indonesia berarti patokan, dasar, rumusan yang menjadi hukum.15
Dalam hukum islam mengenal dua kaidah yang sangat penting. Yaitu, kaidah Ushul Fiqh dan
kaidah Fiqh. Kaidah Ushul fiqh merupakan kaidah yang bersifat umum. Sedangkan kaidah fiqh
adalah kaidah yang bersifat khusus.

Dalam kaitannya mashlahah sangat sulit menemukan kaidah ushulnya. Karena kaidah ushul
disebut sebagai kaidah lughawiyah. Yakni, kaidah yang berdasarkan makna dan tujuan
ungkapan-ungkapan yang ditetapkan oleh para ahli bahasa Arab. Sedangkan masalah mashlahah
merupakan masalah yang tidak disebutkan di dalam Nash secara tersurat. Hanya saja mashlahah
tetap memegang pada prinsip-prinsip hukum Islam.

10
Namun, kita dapat memperoleh kaidah tentang mashlahah ini melalui tujuan dari
pembentukan hukum islam (maqashid sayari‟ah) itu sendiri. Seperti yang diungkapkan Prof.
Abdul Wahhab Khallaf, bahwa “tujuan sayr‟i dalam pembentukan hukumnya, yaitu untuk
merealisir kemashlahatan manusia”. Dan itu terdiri dari tiga hal pokok (maqashid daruruyat,
maqashid hajiyat, dan maqashid tahsiniyat) seperti yang dijelaskan sebelumnya.

Kaidah yang sangat signifikan dalam kaitan mashlahah adalah kaidah fiqh (qawa‟id fiqh).
Kaidah tersebut ialah:
“Kemudaratan (harus) dihilangkan”.

Hal ini berlandaskan atas Q.S. Al Qhasas 77, Al A‟raf 55, Al Baqarah 195, dan beberapa
hadis nabi. Ini merupakan kaidah terpenting dalam masalah hukum islam khususnya metode
mashlahah.

E. Qiyas sebagai Dalil Hukum Syara‟


Tidak ada dalil atau petunjuk pasti yang menyatakan bahwa qiyas dapat dijadikan dalil
syara‟ untuk menetapkan hukum. Juga tidak ada petunjuk yang membolehkan mujtahid
menetapkan hukum syara‟ di luar yang ditetapkan oleh nash. Oleh karena itu terdapat perbedaan
pendapat tentang kedudukan qiyas sebagai dalil hukum syara‟.Tentang perbedaan pendapat
mengenai kedudukan qiyas, dikalangan ahli fiqih terbagi menjadi tiga kelompok seperti berikut:

 Pertama, Kelompok Jumhur, yang menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal
yang tidak jelas nashnya dalam Qur‟an, hadits, pendapat sahabat dan ijma‟ ulama.
Kelompok ini menggunakan qiyas dengan tidak berlebihan.
 Kedua, kelompok Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, kelompok ini menolak qiyas secara
penuh dan tidak mengakui illat nash, juga tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan
nash, termasuk mengungkap alasan-alasan guna menetapkan suatu kepastian hukum
yang sesuai dengan illat.
 Ketiga, kelompok yang memperluas penggunaan qiyas, mereka berusaha
menggabungkan dua hal yang tidak terlihat kesamaan illat diantara keduanya, bahkan
menerapkan qiyas sebagai pembatas keumuman alQur‟an dan hadits.

Alasan ketiga kelompok ulama tentang penggunaan qiyas dapat dibagi lagi kedalam dua
kelompok yaitu kelompok yang menerima dan menolak menggunakan qiyas, yang masing-
masing mengemukakan dalil al-Qur‟an, sunnah, ijma‟ ulama atau sahabat dan dalil akal.

Ketiga, kelompok zhahiriyah, pandangan mereka tentang qiyas sebanarnya kelihatan dari
tanggapan mereka atas argumentasi yang dikemukakan jumhur ulama. Mereka tidak
menggunakan qiyas, sebagai penggantinya mereka menggunakan kaidah umum lafaz nash.
Sebagai contoh jumhur ulama menetapkan haramnya memukul orang tua diqiyaskan kepada
haramnya mengucap kata “uf” kepada orang tua. Ulama zhahiri tidak menggunakan meng-qiyas-

11
kan “uf” dengan memukul orang tua namun menggunakan lafaz umum bahwa perintah Allah
untuk berbuat baik kepada orang tua.

Dengan demikian dapat dijelaskan diantara keraguan mereka yang paling jelas pendapatnya
bahwa qiyas didasarkan hanya pada dugaan, seperti illat hukum nash adalah begini. Dan Allah
melarang mengikuti orang-orang yang megikuti dugaan, dasarnya menurut kelompok ini. Maka
tidak sah sebuah hukum yang yang berdasarkan qiyas, karena qiyas adalah mengikuti dugaan.

F. Dasar Keabsahan Qiyas Sebagai Landasan Hukum

Keabsahan qiyas sebagai landasan hukum, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama
ushul fiqh. Jumhur ulama ushul fiqh sepakat, bahwa qiyas dapat dijadikan sebagai dasar dalam
menetapkan hukum Islam dan sekaligus sebagai dalil hukum Islam yang bersifat praktis.
Sedangkan menurut mazhab Nidzamiyah, Zahiriyah, dan sebagian Syi‟ah berpendapat
sebaliknya, yakni qiyas tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum.
Adapun argumentasi dari kelompok jumhur di atas adalah sebagai berikut:

1. Surat an-Nisa‟ (4): 59


„Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benarbenar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya .‟ Ayat ini menujukkan, bahwa jika ada perselisihan pendapat di
antara ulama tentang hukum suatu masalah, maka solusinya adalah dengan
mengembalikannya kepada al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw. Cara
mengembalikannya antara lain dengan qiyas.
2. Hadis yang berisi dialog antara Rasulullah saw., dengan sahabat Muadz bin Jabal ketika
Muadz itu dikirim menjadi hakim di Yaman. Dalam dialog itu, Muadz ditanya oleh
Rasulullah saw, bahwa dengan apa engkau akan memutuskan perkara yang dihadapkan
kepadamu? Kemudian Muadz menjawabanya dengan mengatakan bahwa ia akan
memutuskan hukum dengan berdasarkan kitab Allah (al-Quran) dan jika tidak
didapatkan dalam kitab Allah, ia putuskan berdasarkan Sunnah Rasulullah saw. Dan
seterusnyadengan hasil ijtihadnya sendiri jika hukum suatu masalah tidak ditemukan
dalam dua sumber hokum tersebut. Mendengar jawaban itu, Rasulullah saw.,
mengatakan: Segala pujian bagi Allah yang telah memberikan taufiq atas diri utusan
Rasulullah.(HR. Tirmidzi).
Hadis di atas menurut mayoritas ulama ushul fiqh mengandung pengakuan Rasulullah
terhadap qiyas, karena praktik qiyas adalah satu macam dari ijtihad yang mendapatkan
pengakuan dari Rasulullah saw dalam dialog tersebut. 3.
3. Alasan lain yang dikemukakan oleh jumhur adalah ijma‟para sahabat. Dalam praktiknya,
para sahabat menggunakan qiyas, seperti apa yang dilakukan sahabat Abu Bakar terkait
dengan persoalan kalalah yang menurutnya, adalah orang yang tidak mempunyai ayah

12
dan anak laki-laki. Pendapat ini dikemukakan Abu bakar berdasarkan pendapat akalnya,
dan qiyas termasuk kedalam pendapat akal. Bahkan dalam kisah yang amat popular juga
adalah bahwa Umar bin al-Khattab menulis surat kepada Abu Musa al-Asy‟ari, ketika ia
ditunjuk sebagai menjadi hakim di Bashrah, Irak. Dalam suratanya yang panjang itu,
Umar menekankan agar dalam menghadapi berbagai persoalan yang tidak ditemukan
hukumya dalam nash, agar Abu Musa menggunakan qiyas.
Menurut Jumhur Ulama ushul fiqh, baik terhadap pendapat Abu Bakar maupun terhadap
sikap Umar ibn al-Khattab di atas, tidak satu orang sahabat pun yang membantahnya. .
4. Secara Logika, menurut jumhur Ulama ushul fiqh, bahwa hukum Allah mengandung
kemaslahatan untuk umat manusia dan untuk itulah maka hukum disyariatkan. Apabila
seorang mujtahid menjumpai kemaslahatan yang menjadi „Illat dalam suatu hukum yang
ditentukan oleh nash dan terdapat juga dalam kasus yang sedang ia carikan hukumnya,
maka ia menyamakan hukum kasus yang ia hadapi dengan hukum yang ada pada nash
tersebut. Dasarnya adalah kesamaan „Illat antara keduanya.
Sedangkan argumentasi yang dikemukakan oleh kelompok penolak qiyas 18 adalah
sebagai berikut:
a) Firman Allah SWT.dalam surat al-Hujurat (49): 1:
„Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan
RasulNya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar
lagi Maha Mengetahui .‟ Ayat ini, menurut mereka, melarang seseorang untuk
beramal dengan sesuatu yang tidak ada dalam al-Quran dan Sunnah Rasulullah
SAW. Sehingga menurut mereka, mempedomani qiyas, merupakan sikap
beramal dengan sesuatu yang di luar al-Quran dan Sunnah Rasulullah, dan
karenanya dilarang.
b) Sedangkan dasar dari Hadis yang digunakan menurut mereka adalah hadis yang
diriwayatkan oleh al-Daraquthni yang artinya: „Sesungguhnya Allah SWT
menentukan berbagai ketentuan, maka jangan kamu abaikan; menentukan
beberapa batasan, jangan kamu langgar; Dia haramkan sesuatu, maka jangan
kamu melanggar larangan itu. Dia juga mendiamkan hukum sesuatu sebagai
rahmat bagi kamu, tanpa unsur kelupaan, maka janganlah kamu bahas hal itu.‟
(H.R. al-Daraquthni).
Hadis ini menurut mereka, menunjukkan bahwa sesuatu itu adakalanya wajib,
adakalanya haram, dan adakalanya didiamkan saja, yang hukumnya berkisar
antara dimaafkan dan mubah (boleh). Apabila diqiyaskan sesuatu yang
didiamkan syara‟kepada wajib, misalnya, maka ini berarti telah menetapkan
hukum wajib kepada sesuatu yang dimaafkan dan dibolehkan.
c) Mereka juga beralasan dengan sikap sebagian sahabat yang mencela qiyas,
meskipun sebagian sahabat lainnya bersikap diam atas celaan sahabat tersebut.
Hal ini, menurut mereka, menunjukan bahwa para sahabat secara diam-diam
sepakat ( ijama‟ sukuti ) untuk mencela qiyas. Umar ibn alKhattab sendiri pernah

13
berkata:Hindarilah orang-orang yang mengemukakan pendapatnya tanpa alasan,
Karena mereka itu termasuk musuh Sunnah dan hindarilah orang-orang yang
menggunakan qiyas. Kisah ini diriwayatkan oleh Qasim ibn Muhammad, yang
menurut para ahli hadis, periwayatannya munqathi ‟(terputus para penuturnya).

G. Rukun dan Syarat Qiyas


Para ahli Ushul yang mempergunakan qiyas sebagai dalil dalam menetapkan ketika qiyas
itu telah memenuhi rukunnya. Rukun qiyas ada empat:

1) Ashlun, yaitu merupakan hukum pokok yang diambil persamaan atau sesuatu
yang ada nash hukumnya. Syarat-syarat ashl:
1. Hukum yang hendak dipindahkan kepada cabang masih ada pada pokok. Kalau
sudah tidak ada misalnya, sudah dihapuskan (mansukh) maka tidak mungkin
terdapat perpindahan hukum.
2. Hukum yang ada dalam pokok harus hukum Syara‟ bukan hukum akal atau
hukum bahasa.
2) Far‟un, yaitu merupakan hukum cabang yang dipersamakan atau sesuatu yang
tidak ada nash hukumnya. Syarat-syarat:
1. Hukum cabang tidak lebih dulu adanya daripada hukum pokok.
2. Cabang tidak mempunyai kekuatan sendiri.
3. „„Illat yang terdapat pada hukum cabang harus sama dengan „Illat yang terdapat
pada pokok.
4. Hukum cabang harus sama dengan hukum pokok.
3) „Illat, yaitu sifat yang menjadi dasar persamaan antara hukum cabang dengan
hukum pokok. Syarat-syaratnya:
1. „Illat harus berupa sesuatu yang terang dan tertentu.
2. „Illat tidak berlawanan dengan nash, apabila berlawanan maka nash yang
didahulukan.
4) Hukum, yaitu merupakan hasil dari qiyas tersebut. Lebih jelasnya biasa
dicontohkan bahwa Allah telah mengharamkan arak, karena merusak akal,
membinasakan badan, menghabiskan harta. Maka segala minuman yang
memabukkan dihukumi haram. Dalam hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Segala minuman yang memabukkan adalah far‟un atau cabang artinya yang
diqiyaskan.
2. Arak, adalah yang menjadi ukuran atau tempat menyerupakan atau
mengqiyaskan hukum, artinya ashal atau pokok.
3. Mabuk merusak akal, adalah „Illat penghubung atau sebab.
4. Hukum, segala yang memabukkan hukumnya haram.

Bahwasanya Allah SWT tidaklah mensyariatkan suatu hukum melainkan untuk suatu
kemaslahatan dan bahwasanya kemaslahatan hamba merupakan sasaran yang

14
dimaksudkan dari pembentukan hukum.8 Maka apabila suatu kejadian yang tidak ada
nashnya menyamai suatu kejadian yang ada nashnya dari segi „Illat hukum yang
menjadi mazhinnah al-maslahah, maka hikmah dan keadilan menuntut untuk
dipersamakannya dalam segi hukum, dalam rangka mewujudkan kemaslahatan yang
menjadi tujuan Syari‟ (pembuat hukun) dan i pembentukan hukumnya. Keadilan dan
kebijaksanaan Allah tidak akan sesuai jika Dia mengharamkan minuman khamr
karena ia memabukkan dengan maksud untuk memelihara akal hamba-Nya dan
minuman keras lainnya yang didalamnya mengandung ciri-ciri khas khamr, yaitu
memabukkan. Karena acuan larangan ini adalah memelihara akal dari sesuatu yang
memabukkan, sedangkan meninggalkan pengharaman minuman keras lainnya
merupakan suatu penawaran untuk menghilangkan akal dengan sesuatu yang
memabukkan lainnya. Dan bahwasanya qiyas merupakan dalil yang dikuatkan oleh
fitrah yang sehat dan logika yang benar, sesungguhnya orang yang dilarang meminum
minuman karena minuman itu beracun. Maka ia akan mengqiyaskan segala minuman
yang beracun dengan minuman tersebut. Maka qiyas merupakan sumber
pembentukan hukum yang sejalan dengan kejadian yang terus menerus datang dan
menyingkap hukum Syari‟at terhadap berbagai peristiwa baru yang terjadi dan
menyelaraskan antara pembentukan hukum dan kemaslahatan.

H. Macam-Macam Qiyas
Ulama ushul diantaranya al-Amidi dan asy-Syaukani, mengemukakan bahwa qiyas terbagi
kepada beberapa segi, antara lain :

a. Dilihat dari segi kekuatan `illat yang terdapat pada furu‟


 Qiyas aulawi, yaitu qiyas yang `illat-nya mewajibkan adanya hukum. Dan hukum yang
disamakan (cabang) mempunyai kekuatan hukum yang lebih utama dari tempat
menyamakannya (ashal). Misalnya, berkata kepada kedua orang tua dengan mengatakan
“uh”, “eh”, “buset”, atau kata -kata lain yang menyakitkan maka hukumnya haram.
Sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-Isra ayat 23 berikut:
.... ‫أ ل هما ت قل ف ال‬ .....

Artinya: .... maka sekali – kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan
“ah”.....(QS. Al – Isra :23) Maka mengqiyaskan berkata “uh”, “buset”, dan sebagainya
bahkan dengan memukul itu hukumnya lebih utama. Dengan demikian, berkata “uh” saja
tidak boleh apalagi memukulnya, karena memukul tentu lebih menyakitkan.

 Qiyas musawi, yaitu qiyas yang `illat-nya mewajibkan adanya hukum yang sama antara
hukum yang ada pada ashal dan hukum yang ada pada furu` (cabang). Contohnya
keharaman memakan harta anak yatim sesuai dengan firman Allah dalam QS. An – Nisa
ayat 10 berikut: ‫إ ي أك ذي ن‬ ‫ارا ب طى هم ف ى ي أك لى إ ما ظ لما ال ي تمى أمىال ل ى ال‬
‫ س ع يرا و س ي ص لى‬Artinya : Sesungguhnya orang – orang yang memakan harta anak

15
yatim secara aniaya, maka sesungguhnya mereka itu menelan api neraka ke dalam
perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api neraka yang menyala – nyala. (QS. An –
Nisa : 10)
 Qiyas adna, yaitu `illat yang ada pada far`u (cabang) lebih rendah bobotnya dibandingkan
dengan `illat yang ada pada ashal. Misalnya sifat memabukkan yang terdapat dalam
minuman keras seperti bir itu lebih rendah dari sifat memabukkan yang terdapat pada
minuman keras khamr yang diharamkan dalam al-Qur`an.

b. Dilihat dari segi kejelasan `illat hukum


 Qiyas jaly, yaitu qiyas yang `illat nya ditegaskan oleh nash bersamaan dengan penetapan
hukum ashal, atau `illat-nya itu tidak ditegaskan oleh nash, tetapi dapat dipastikan bahwa
tidak ada pengaruh dari perbedaan antara ashal dan furu`. Contohnya, dalam kasus
dibolehkannya bagi musafir laki-laki dan perempuan untuk mengqashar shalat ketika
perjalanan, sekalipun diantara keduanya terdapat perbedaan (kelamin). Tetapi perbedaan
ini tidak mempengaruhi terhadap kebolehan wanita mengqashar shalat. `illat-nya adalah
sama-sama dalam perjalanan. Menqqiyaskan memukul orang tua kepada larangan berkata
“ah” seperti pada contoh qiyas aulawi sebelumnya.
 Qiyas khafy, yaitu qiyas yang `illat-nya tidak disebutkan dalam nash. Contohnya
mengqiyaskan pembunuhan dengan menggunakan benda berat kepada pembunuhan
dengan menggunakan benda tajam dalam pemberlakuan hukum qiyas, karena `illat-nya
sama-sama yaitu pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja.

16
BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan
 Mashlalah adalah sesuatu yang dipandang baik oleh akal sehat karena mendatangkan
kebaikan dan menghindarkan keburukan (kerusakan) bagi manusia, sejalan dengan tujuan
syara‟ dalam menetapkan hukum.
 Macam-macam mashlahah dibagi menjadi dua segi. Pertama, dari segi kekuatannya
sebagai hujjah dalam menetapkan hukum. Yaitu, mashlahah dharuriyah (primer; sangat
dibutuhkan), mashlalah hajiyah (skunder), mashlahah Tahsiniyah (tersier). Kedua, dari
segi keserasian dan kesejalanan anggapan baik oleh akal dengan tujuan syara‟. Yaitu,
mashlalah mu‟tabarah (ada dalil sayr‟i yang mendukung), mashlahah al-Mulghah
(ditentang oleh syar‟i), mashlahah mursalah (syar‟i tidak menentang dan tidak menolak).
 Kehujjahan metode mashalahah terdapat dua perbedaan. Pertama, mashlahah tidak dapat
dijadikan sebagai hujjah atau dalil. Pendapat ini menurut ulama-ulama Syafi‟iyah,
Hanafiyah. Kedua, mashlahah dapat menjadi hujjah atau dalil menurut sebagian ulama
Maliki dan sebagian ulama Syafi‟i, tetapi harus memenuhi syaratsyarat yang telah
ditentukan oleh ulama-ulama ushul.
 Kaidah-kaidah metode mashlahah dapat ditemui di dalam kaidah fiqh. Pertama, bahwa
segala sesuatu tergantung pada niat. Ini penting karena mashlahah harus lurus niatnya.
Sehingga tidak terjadi anggapan bahwa mashlahah akan mengikuti hawa nafsu. Kedua,
kemudharatan harus dihilangkan. Inilah kaidah terpenting dalam istinbath hukum
menggunakan metode mashlahah. Karena, mashlahah bertujuan mengambil kebaikan dan
menolak kerusakan.
 Qiyas termasuk dapat dijadikan hujjah atau dalil atas hukum-hukum mengenai perbuatan
manusia dan menduduki martabat atau posisi keempat diantara hujjahhujjah syar‟iyah,
dengan pengertian apabila tidak didapati dalam suatu kejadian itu hukum menurut nash
atau ijma‟. Qiyas merupakan suatu cara penggunaan ra‟yu untuk menggali hukum syara‟
dalam hal-hal yang nash al-Qur‟an dan sunnah tidak menetapkan hukumnya secara jelas.
 Tidak ada dalil atau petunjuk pasti yang menyatakan bahwa qiyas dapat dijadikan dalil
syara‟ untuk menetapkan hukum. Juga tidak ada petunjuk yang membolehkan mujtahid
menetapkan hukum syara‟ di luar yang ditetapkan oleh nash. Oleh karena itu terdapat
perbedaan pendapat tentang kedudukan qiyas sebagai dalil hukum syara‟.
 Qiyas adalah Menerapkan hukum yang terdapat pada ashl (pokok) kepada far’ (cabang),
karena terdapat kesamaan ‘illat hukum antara keduanya. Qiyas sebagai metode penggalian
hukum Islam sangat tergantung dengan ‘illat hukum. Untuk mengetahui ‘illat hukum dilakukan
beberapa cara, yaitu: Pertama, nas yang menunjukkan ‘illat hukum. Kedua, ijma’ dan

17
ketiga,dengan penelitian/ijtihad. Meskipun qiyas sebagai salah satu metode penggalian hukum
Islam, tetapi para ulama masih berselisih pendapat dalam kehujjahannya. Jumhur ulama
menjadikannya hujjah dalam penggalian hukum Islam, sedangkan ulama al-Nazhzham, Dawud
alZhahir, Syi’ah Imamiyah tidak mengakuinya.

B. Saran
Demikianlah makalah yang berjudul ”QIYAS DAN MASLAHAH AL-MURSALAH
SEBAGAI DALIL HUKUM ISLAM ” kami buat berdasarkan sumber-sumber yang ada. Kami
juga menyadari, masih ada banyak kekurangan di dalam penulisan makalah ini. Sehingga
perlulah bagi kami, dari para pembaca untuk memberikan saran yang membantu dan
membangun supaya makalah ini menjadi lebih baik untuk kedepannya. Atas segala perhatian,
kami ucapkan terima kasih.

18
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul fiqh.

Dadang Jaya.,Sebagai Metodologi Penetapan Hukum Islam,‟ Sekolah Tinggi Agama Islam
(STAI) Syamsul Ulum Gunungpuyuh

Edy Muslimin,.2019., QIYAS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM‟, Institut Islam


Mamba‟ul „Ulum Surakarta.

Rahmatiah, Sabarudin Ahmad., 2012., MASHLAHAH.,‟SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM


NEGERI PALANGKA RAYA.
Satria Zakky al-Din Sya‟ban, Ushul al- Fiqh al-Islami, (Mesir: Dar al-Ta‟lif, 1964).

Wiwik Dyah Aryani, Abdul Holik, Asyifa Nur Rohmah, Noor Falah, Sodikin, Neng Ely
Alawiyah, Asyif Zainal Mutaqin, Aziz T. Mutaalimin, Oom Komalasari, Aam Ridwan
Mustopa., 2023.,USHUL FIQIH.
Zakky al-Din Sya‟ban, Ushul al- Fiqh al-Islami, (Mesir: Dar al-Ta‟lif, 1964).

19

Anda mungkin juga menyukai