MASLAHAH MURSALAH
0202
1
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan segala rahmat, taufik dan hidayah-Nya. Sehingga penyusun mampu menyelesaikan
makalah ini.
Shalawat serta salam kepada sang pendidik sejati Rasulullah SAW, serta para sahabat,
tabi‟in dan para umat yang senantiasa berjalan dalam risalahnya. Dengan terselesainya makalah
ini, kami tidak lupa mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada semua pihak yang
memberikan sumbangan baik moral maupun spiritual.
Selanjutnya penyusun menyadari sepenuhnya bahwa dalam makalah ini banyak terdapat
kekurangan, walaupun penyusun sudah berusaha semaksimal mungkin untuk membuat yang
terbaik. Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa di dunia ini tidak ada yang sempurna. Begitu
juga dalam penyusunan makalah ini, yang tidak luput dari kekurangan dan kesalahan.
Oleh karena itu, dengan segala ketulusan dan kerendahan hati penulis sangat
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat konstruktif demi penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya penyusun berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat. Amiin.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
Daftar isi.............................................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN
Latar belakang......................................................................................................... 4
Rumusan masalah ................................................................................................... 5
Tujuan ..................................................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN
Kesimpulan ......................................................................................................................... 12
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW., hingga masa Imam Syafi‟i terdapat kelompok
fuqaha yang masyhur dengan pendapatnya. Di sisi lain, ada sekelompok fuqaha yang
populer dengan periwayatan hadisnya. Di antara para fuqaha dari kalangan sahabat, terdapat
mereka yang terkenal dengan pendapatnya, sebagaimana sahabat lain yang masyhur dengan
hadis dan periwayatannya. Demikian pula dengan generasi tabi‟in dan tabi‟ tabi‟in, para
imam mujtahid seperti Abu Hanifah, Malik dan para fuqaha lain di berbagai negeri Islam
yang terkenal dengan pendapatnya sebagaimana banyak dari mereka yang dikenal dengan
periwayatan hadisnya.
Sementara itu, terbentuknya hukum syar‟i tidak lain dan tidak bukan hanyalah dengan
mempertimbangkan terwujudnya kemaslahatan umat manusia. Musthafa Dib al-Bugho
mengatakan dalam karyanya Ushul al-Tasyri‟ al-Islamiy: Atsar al-Adillah al-Mukhtalif Fiha:
“Pada dasarnya hukum Islam dibentuk berdasarkan kemaslahatan manusia. Setiap segala
sesuatu yang mengandung maslahah, maka terdapat dalil yang mendukungnya, dan setiap
ada kemadharatan yang membahayakan, maka terdapat pula dalil yang mencegahnya. Para
ulama sepakat bahwa semua hukum-huum Allah dipenuhi kemaslahatan hamba-Nya di
dunia dan di akhirat. Dan sesungguhnya maqshid al-syari‟ah itu hanya ditujukan untuk
merealisasikan kebahagiaan yang haiki bagi mereka”.
Dalam penetapan hukum Islam sumber rujukan utamanya adalah Alquran dan Sunnah.
Sedang sumber sekundernya adalah ijtihad para ulama. Setiap istinbath (pengambilan
hukum) dalam syari‟at Islam harus berpijak atas Alquran dan Sunnah Nabi.
4
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN
5
BAB II
PEMBAHASAN
Sedangkan pengertian secara terminology terdapat beberapa rumusan definisi yang dikemukakan
oleh para „ulama Ushul Fiqh, namun mempunyai pengertian yang saling berdekatan, diantaranya
6
3. At-Thufy menjelaskan bahwa:
“Definisi maslahah menurut „Urf (pemahaman secara umum) adalah sebab yang
membawa kebaikan, seperti bisnis yang dapat membawa orang memperoleh keuntungan.
Sedang menurut pandangan hukum Islam adalah sebab yang dapat mengantarkan kepada
tercapainya tujuan hukum Islam, baik dalam bentuk ibadah maupun mu‟amalah”.
1. Maslahah mursalah tidak dapat menjadi hujjah atau dalil menurut ulama-ulama
syafi‟iyah, ulama-ulama hanafiyyah dan sebagian ulama Malikiyah, dengan alasan:
a. Bahwa dengan nash-nash dan qiyas yang dibenarkan, syariat senantiasa
memperlihatkan kemaslahatan umat manusia. Tak ada satupun kemaslahatan
manusia yang tidak diperhatikan oleh syari‟at melalui petunjuknya.
b. Pembinaan hukum islam yang semata-mata didasarkan kepada maslahat berarti
membuka pintu bagi keinginan hawa nafsu.
2. Menurut Al Ghazali, maslahah mursalah yang dapat dijadikan dalil hanya maslahah
dharuriyah. Sedangkan maslahah hajjiyah dan maslahah tahsiniyah tidak dapat dijadikan
dalil.
3. Menurut Imam Malik, maslahah mursalah adalah dalil hukum syara‟. Pendapat ini juga
diikuti oleh Imam haromain. Mereka mengemukakan argumen sebagai berikut:
4. Nash-nash syara‟ menetapkan bahwa syari‟at itu diundangkan untuk merealisasikan
kemaslahatan manusia, karenanya berhujjah dengan maslahah mursalah sejalan dengan
karakter syara‟ dan prinsip-prinsip yang mendasarinya serta tujuan pensyariatannya.
5. Kemaslahatan manusia serta sarana mencapai kemaslahatan itu berubah karena
perbedaan tempat dan keadaan. Jika hanya berpegang pada kemaslahatan yang ditetapkan
berdasarkan nash saja, maka berarti mempersempit sesuatu yang Allah telah lapangkan
dan mengabaikan banyak kemaslahatan bagi manusia, dan ini tidak sesuai dengan
prinsip-prinsip umum syariat.
6. Para mujtahid dari kalangan sahabat dan generasi sesudahnya banyak melakukan ijtihad
berdasarkan maslahah dan tidak ditentang oleh seorang pun dari mereka. Karenanya ini
merupakan ijma‟.
Ibnu Al Qayyim berkata: “Diantara kaum muslimin ada sekelompok orang yang
berlebih-lebihan dalam memelihara maslahah mursalah, sehingga mereka menjadikan
syari‟at serba terbatas, yang tidak mampu melaksanakan kemaslahatan hamba yang
membutuhkan kepada lainnya. Mereka telah menutup dirinya untuk menempuh berbagai
jalan yang benar berupa jalan kebenaran dan jalan keadilan. Diantara mereka ada pula
orang-orang yang melampaui batas, sehingga mereka memperbolehkan sesuatu yang
7
menafi‟kan syari‟at Allah dan mereka memunculkan kejahatan yang panjang dan
kerusakan yang luas”.
1. Semakin tumbuh dan bertambah hajat manusia terhadap kemaslahatannya ,jika hukum
tidak menampung untuk kemaslahatan manusia yang dapat diterima,berarti kurang
sempurnalah syari‟at mungkin juga beku.
2. Para shahabat dan tabi‟in telah mentapkan hukum berdasarkan kemaslahatan,seperti abu
bakar menyuruh mengumpulkan musyaf Alquran demi kemaslahatan umum. Diantara
ulama yang banyak menggunakan maslahah mursalah ialah imam malik,dengan
alasan,bahwa tuhan mengutus Rasulnya untuk kemaslahatan manusia, maka
kemaslahatan ini jelas dikehendaki syara‟,sebagaimana Allah berfirman:
Artinya:
“Tidaklah semata-mata aku mengutusmu (muhammad) kecuali untuk kebaikan seluruh
alam”. (QS. Al-Anbiyaa 107).
Sedangkan menurut imam ahmad, bahwa maslahah mursalah adalah suatu jalan
menetapkan hukum yang tidak ada nash dan ijma‟. Disamping orang yang menerima
kehujjahan maslahah mursalah ada juga ulama yang menolak untuk dijadikan dasar
8
hukum, seperi imam syafi‟i, dengan alasan bahwa maslahah mursalah disamakan dengan
istihsan, selain itu alasannya ialah:
Oleh karena itu ia dapat diterima sebagai sumber hukum sebagaimana halnya diterimanya
qiyas berdasarkan sifat munasib, yaitu hikmah, tanpa memandang apakah „illat itu
mundhiabittah atau tidak. Karena begitu dekatnya pengertian sifat munasib dan maslahat
mursalah sehingga sebagian ulama mazhab Maliki menganggap bahwa sesungguhnya
semuanya ulama ahli fiqih memakai dalil maslahat, meskipun mereka menanamkannya
sifat munasib, atau memasukkannya kedalam qiyas.
9
memahami kaidah yang masyhur, setiap ada kemaslahatan, maka disitu ada syariah Allah
SWT.
Penetapan nasab anak pada kasus nikah hamil, ditetapkan dalam kompilasi
hukum Islam pasal pasal 53 dan dikaitkan pasal 98, dinyatakan bahwa anak yang lahir
dari proses pernikahan yang sah maka anak tersebut adalah anak sah dinisbahkan
nasabnya pada ibu dan ayahnya. Hal ini sejalan dengan pendapat imam Abu Hanifah,
pendapat ulama hadis dan ulama Kufah dalam memahami hadis al-walad li al-firasy
(kajian lebih lanjut pada hadis al-walad li al-firasy) dalam menetapkan nasab. Dikatakan
bahwa selama anak tersebut lahir setelah dilangsungkan aqad maka anak tersebut adalah
anak sah dan nasabnya dihubungkan dengan suami. Penetapan nasab anak dalam Islam
sangat mempertimbangkan kemaslahatan anak yang lahir dari rahim istri yang diingkari
oleh suaminya.
Oleh karena itu prinsip al-mashlahah dalam bidang muamalah menjadi acuan dan
patokan penting. Pengembangan ekonomi Islam dalam menghadapi perubahan dan
kemajuan sains teknologi yang pesat haruslah didasarkan kepada maslahah, karena itu
untuk mengembangkan ekonomi Islam, para ekonom muslim cukup dengan berpegang
kepada mashlahah. salah satu contoh penetapan hukum Islam dengan menggunakan al-
mashlahah al-mursalah adalah ketika Ibnu Taimiyah membenarkan intervensi harga oleh
pemerintah, padahal Nabi Muhammad SAW tidak mencampuri persoalan harga di
Madinah, ketika para sahabat mendesaknya untuk menurunkan harga. Tetapi ketika
kondisi berubah di mana distorsi harga terjadi di pasar, Ibnu Taimiyah mengajarkan
bahwa pemerintah boleh campur tangan dalam masalah harga.
Secara tekstual, Ibnu Taimiyah kelihatannya melanggar nash hadis Nabi Saw.
tetapi karena pertimbangan kemaslahatan, dimana situasi berbeda dengan masa Nabi,
maka Ibnu Taimiyah memahami hadis tersebut secara kontekstual berdasarkan
pertimbangan maslahah. Kehadiran lembaga-lembaga perbankan dan keuangan syari‟ah
juga berdasarkan kepada al-mashlahah al-mursalah. Inovasi zakat produktif dan wakaf
tunai juga didasarkan kepada maslahah. pendeknya semua aktivitas dan perilaku dalam
10
perekonomian acuannya adalah maslahah. Jika di dalamnya ada kemaslahatan, maka hal
itu dibenarkan dan dianjurkan oleh syari‟ah. Sebaliknya jika di sana ada kemudaratan dan
mufsadah, maka prakteknya tidak dibenarkan, seperti ihtikar, najasy, spekulasi valas dan
saham, gharar, judi, dumping, dan segala jenis yang mengandung riba.
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara etimologi, masalahah merupakan bentukan dari kata shalaha, yashluhu, shulhan,
shilahiyyatan, yang berarti faedah, kepentingan, kemanfaatan dan kemaslahatan. Sedangkan
secara terminologi, maslahah diartikan sebagai sebuah ungkapan mengenai suatu hal yang
mendatangkan manfaat dan menolak kerusakan/kemadharatan. Namun pengertian tersebut
bukanlah pengertian yang dimaksudkan oleh ahli ushul dalam terminologi mashalih al-mursalah.
Menurut pendapat mereka maslahah dalam term mashalih al-mursalah adalah al-muhafazhah
„ala maqasid al-syari‟ah (memelihara/melindungi maksud-maksud hukum syar‟i).Kedudukan
maslahah mursalah sebagai sumber hukum mengenai beberapa perbedaan pendapat dari para
ulama yang disertai dengan alasannya tersendiri. Ada pula Imam Malik membolehkan berpegang
kepadanya secara mutlak. Namun menurut Imam Syafi‟i boleh berpegang kepada maslahah
mursalah apabila sesuai dengan dalil-dalil kully atau dalil juz‟iy dari syara‟. Tentunya mereka
mempunyai alasan tertersendiri pula.
Dari kalangan mazhab ushul memang terdapat perbedaan pendapat tentang kedudukan
maslahah mursalah dan kehujjahannya dalam hukum Islam, baik yang menerima maupun
menolak. Imam Malik beserta penganut mazhab Maliki adalah kelompok yang secara jelas
menggunakan maslahah mursalah sebagai metode ijtihad. Imam Muhammad Abu Zahra bahkan
menyebutkan bahwa Imam Malik dan pengikutnya merupakan mazhab yang mencanangkan dan
menyuarakan maslahah mursalah sebagai dalil hukum dan hujjah syar‟iyyah. Maslahah
mursalah juga digunakan dikalangan non Maliki antara lain ulama Hanabilah. Menurut mereka
maslahah mursalah merupakan induksi dari logika sekumpulan nash, bukan dari nash rinci
seperti yang berlaku dalam qiyas. Bahkan Imam Syatibi mengatakan bahwa keberadaan dan
kualitas maslahah mursalah itu bersifat qat‟i, sekalipun dalam penerapannya bersifat zhanni
(relatif).
B. Saran
Demikianlah penyusunan makalah singkat ini kami selasaikan. Dengan menyadari bahwa
dalam penyusunan makalah ini tentunya tidak luput dari kesalahan maupun kesilapan. Oleh
karena itu, kita sebagai Mahasiswa Muslim, kita harus meningkatkan pemahaman tentang
mashlahah mursalah dengan lebih banyak membaca dan mengkaji buku-buku Islam agar
pemahaman tentang mashlahah mursalah ini bisa lebih luas serta lebih sempurna. Namun
demikian, kami selaku penyusun juga berharap semoga makalah ini juga bisa diambil
hikmahnya.
12
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994.
Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1993.
Abu Ishak asy-Syāthibi, Al-I‟tisham, Jilid II, Beirut; Dār al-Ma‟rīfah, 1975.
Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir: Kamus Arab Indonesia, Surabaya: Pustaka Progressif,
2002.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid 2, Cet. I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
At-Tufy sulaiman majmuddin, At-Ta‟yin fi Syarhi Al-Arabin, Beirut: Muassasah Dayyan, 1998.
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Terj.) Saefullah Ma‟sum Jakarta: Pustaka Firdaus,
2005.
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Beirut: Daar Al-Fkr Al-Araby, tt.
Musthafa Dib al-Bugho, Ushul al-Tasyri‟ al-Islamiy: Atsar al-Adillah al-Mukhtalif Fiha, cet.
3, Beirut: Dar al-Qalam. 1993.
13