Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

“MASLAHAH MURSALAH”
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas kelpmpok Semester 3
Mata Kuliah usul fiqh III
Dosen Pengampu : Reza Zulkifli Syakir, S.H., M.H

Disusun Oleh :
Nafil Haikal Fajri (2112.2337)
Iwan Gunawan (2112,2325)
M. Rafli Alfarizki (2112,2327)
Haydar Nawawi (2112,2322)
SEMESTER TIGA
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL-MASTHURIAH
SUKABUMI
2022

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah SWT .sholawat dan salam selalu tercurahkan
kepada Rasulullah SAW berkat limpahan dan rahmatnya penyusun mampu
menyelesaikan tugasdengan membuat makalah dengan judul Maslahah
AlMursalah.

Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang
penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan
materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan orang tua,
temanteman, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi.

Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang


Maslahah Al-Mursalah. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai
rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar.
Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah akhirnya
makalah ini dapat terselesaikan.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan
menjadi sumbangan pemikkiran kepada pembaca. Kami sadar bahwa makalah ini
masih banyak kekurangan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kepada dosen
pembimbing kami meminta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah di
masa yang akan datang dan mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.

Sukabumi, 3 November 2022

Penulis

ii

DAFTAR ISI

COVER................................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR......................................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................iii
BAB 1................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG............................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH.........................................................................................2
C. TUJUAN..................................................................................................................2
BAB II...............................................................................................................................3
PEMBAHASAN...............................................................................................................3
A. PENGERTIAN MASLAHAH MURSALAH..........................................................3
B. JENIS-JENIS MASLAHAH...................................................................................4
C. PERBEDAAN ULAMA AKAN KEABSAHAN MASLAHAH MURSALAH
SEBAGAI SUMBER HUKUM...................................................................................7
D. RELEVANSI MASLAHAH MURSALAH DENGAN SUMBER HUKUM
ISLAM LAINNYA.....................................................................................................10
E. CONTOH PENERAPAN MASLAHAH MURSALAH DALAM EKONOMI
ISLAM........................................................................................................................12
BAB III............................................................................................................................18
PENUTUP.......................................................................................................................18
A. KESIMPULAN.....................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................20

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Seluruh hukum Islam yang ditetapkan Allah Swt atas hamba-Nya
dalam bentuk perintah atau larangan mengandung mashlahah atau manfaat.
Seluruh perintah Allah Swt pada manusia mengandung manfaat. Manfaat
tersebut terkadang langsung dapat dirasakan saat itu juga, namun ada juga
yang dapat dirasakan sesudahnya. Salah satu contoh adalah perintah
melakukan puasa, yang di dalamnya terkandung banyak kemaslahatan bagi
kesehatan jiwa dan raga manusia. Konsep maslahah tumbuh berkembang
sejalan dengan berkembangnya hukum Islam. Secara aplikatif
keberadaannya telah ada sejak periode awal Islam. Pespektif pemikiran
hukum Islam, mashlahah dikaji dalam dua fungsi. Pertama sebagai tujuan
hukum (maqashid al-syari’ah) dan kedua sebagai sumber hukum yang
berdiri sendiri (adillat al-syari’ah). Teori tentang mashlahah sebagai tujuan
hukum telah mengalami kematangan dengan diklasifikasikannya
sektorsektor dan skala prioritasnya. Bermula dari paparan mengenai
mashlahah sebagai tujuan hukum, pembahasan kemudian berkembang
menuju kontroversi tentang mashlahah sebagai dalil atau sumber hukum
Islam.
Menurut Husain Hâmid Hisân, Adanya kontoversi pemikiran di
kalangan ulama klasik termasuk Imam Malik dan Imam Syafi’i mengenai
penggunanan maslahah mursalah sebagai sumber hukum adalah karena
tidak adanya dalil khusus yang menyatakan diterimanya maslahah itu oleh
Syar’i baik secara langsung maupun tidak langsung karena menurut
jumhur ulama’ maslahah itu bisa diaplikasikan kalau ada dukungan dari
Syar’i, meskipun secara tidak langsung. Digunakannya maslahah itu bukan
karena maslahah, tetapi karena adanya dalil syar’i yang mendukungnya.

1
B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang dimaksud dengan maslahah mursalah?

2. Apa saja jenis-jenis maslahah?

3. Bagaimana perbedaan para ulama tentang keabsahan maslahah


mursalah sebagai sumber hukum?

4. Bagaimana relevansi maslahah mursalah dengan sumber hukum


lainya?

5. Apa contoh maslahah mursalah sebagai sumber hukum dalam


ekonomi?

C. TUJUAN

1. Mengetahui pengertian dari maslahah mursalah.

2. Mengetahui jenis-jenis maslahah.

3. Mengetahui perbedaan para ulama tentang keabsahan maslahah


mursalah sebagai sumber hukum.

4. Mengetahui relevansi maslahah mursalah dengan sumber hukum


lainya.

5. Mengetahui contoh maslahah mursalah sebagai sumber hukum dalam


ekonomi.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN MASLAHAH MURSALAH

Kata maslahah berakar pada al-aslu,ia merupakan bentuk


masdar dari kata kerja salaha dan saluha, yang secara etimologis berarti
manfaat, faedah, bagus, baik, patut, layak, sesuai. Dari sudut pandang
ilmu saraf (morfologi), kata maslahah satu pola dan semakna dengan
kata manfa’ah.
Kedua kata ini (maslahah dan manfa’ah) telah diubah ke dalam bahasa
Indonesia menjadi ‘maslahat’ dan‘manfaat’.1

Dari segi bahasa, kata al-maslahah adalah seperti


lafazalmanfa’at, baik artinya maupun wazan-nya (timbangan kata), yaitu
kalimat masdar yang sama artinya dengan kalimat al-maslahah seperti
halnya lafaz al-manfa’at sama artinya dengan al-naf’u. Bisa juga
dikatakan bahwa almaslahah itu merupakan bentuk tunggal dari kata al-
masali. Sedangkan arti dari manfa’at sebagaimana yang dimaksudkan
oleh pembuat hukum syara’ (Allah SWT) yaitu sifat menjaga agama,
jiwa, akal, keturunan, dan hartanya untuk mencapai ketertiban nyata
antara Pencipta dan makhlukNya. Ada pula ulama yang mendefinisikan
kata manfa’at sebagai kenikmatan atau sesuatu yang akan mengantarkan
kepada kenikmatan.2
Ungkapan bahasa arab menggunakan maslahat dalam arti manfaat
atau perbuatan dan pekerjaan yang mendorong serta mendatangkann
manfaat kepada manusia.3 Sedangkan dalam arti umum maslahah
diartikan sebagai sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat umum, baik

1 Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh (Jakarta: Penerbit Amzah, 2011), h. 127..

2 Muhammd bin Ali Al-Saukhani, Irshad al-fuhul Ila Tahqiq Al-Haqq min Il i Al-Ushul, Jilid 2
(Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1999), h. 269.
3 Abdul Aziz Dahlan, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid IV (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2001) h. 1143

3
dalam arti menarik atau menghasilkan, seperti menghasilkan keuntungan
atau kesenangan atau dalam arti menolak atau menghindarkan seperti
menolak kemudaratan atau kerusakan. Jadi, setiap yang mengandung
manafaat patut

disebut maslahat meskipun manfaat yang dimaksud mengandung dua sisi,


yaitu mendatangkan kebaikan dan menghindarkan dari bahaya atau
kerusakan disisi lain.4
Sedangkan al-mursalah adalah berasal dari kata rasala dengan
penambahan huruf “alif” diawalnya sehingga menjadi arsala yang isim
maf’ulnya adalah al-mursalah. Al-Mursalah secara etimologi berarti
terlepas (bebas) dan apabila dihubungkan dengan kata maslahah
maksudnya terlepas atau bebas dari keterangan yang menunjukkan boleh
atau tidak boleh dilakukan.
Menurut ahli ushul fiqh, maslahah al-mursalah ialah
kemaslahatan yang telah disyari’atkan oleh syari’ dalam wujud hukum, di
dalam rangka menciptakan kemaslahatan, di samping tidak terdapatnya
dalil yang membenarkan atau menyalahkan. Karenanya, maslahah
almursalah itu disebut mutlak lantaran tidak terdapat dalil yang
menyatakan
benar dan salah.5
Berdasarkan pada pengertian tersebut, pembentukan hukum
berdasarkan kemaslahatan ini semata-mata dimaksudkan untuk mencari
kemaslahatan manusia. Artinya, dalam rangka mencari sesuatu yang
menguntungkan, dan juga menghindari kemudharatan manusia yang
bersifat sangat luas. Maslahat itu merupakan sesuatu yang berkembang
berdasar perkembangan yang selalu ada di setiap lingkungan. Mengenai
pembentukan hukum ini, terkadang tampak menguntungkan pada suatu
saat, akan tetapi pada suatu saat yang lain justru mendatangkan mudharat.

4 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih (Jakarta: Kencana), h. 354


5 Sayfuddin Abi Hasan Al-Amidi, “al-Ahkam fi usul al-ahkam” (Riyad:muassasah Al-
Halibi,1972), h. 142.

4
Begitu pula pada suatu lingkungan terkadang menguntungkan pada
lingkungan tertentu, tetapi mudharat pada lingkungan lain.6

B. JENIS-JENIS MASLAHAH
Menurut teori ushul fiqh, jika ditinjau dari segi ada atau tidaknya

dalil yang mendukung terhadap suatu kemaslahatan, maslahah terbagi


menjadi tiga macam, yaitu:
1. Maslahah Al-Mu’tabarah yaitu kemaslahatan yang didukung oleh
syari’at. Maksudnya, ada dalil yang menjadi bentuk dan jenis
kemaslahatan tersebut. Dalam kasus peminum khamr misalnya,
hukuman atas orang yang meminum minuman keras dalam hadist nabi
dipahami secara berlainan oleh para ulama fikih, disebabkan perbedaan
alat pemukul yang digunakan oleh Rasulullah SAW. Maslahah
menjaga agama, nyawa, keturunan (juga maru’ah) dan akal. Syara’
telah mensyariatkan jihad untuk menjaga nyawa, hukuman hudud
kepada pezina dan penuduh untuk menjaga keturunan (dan maru’ah).7

2. Maslahah mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak karena


bertentangan dengan hukum syaraʻ. ini bukanlah maslahah yang benar,
bahkan hanya disangka sebagai maslahah atau ia adalah maslahah
yang kecil yang menghalang maslahah yang lebih besar daripadanya.
Misalnya, kemaslahatan harta riba untuk menambah kakayaan,
kemaslahatan minum khomr untuk menghilangkan stress, maslahah
orang-orang penakut yang tidak mau berjihad, dan sebagainya.8

3. Maslahah al-mursalah, yaitu al-maslahah yang tidak diakui secara


eksplisit oleh syara’ dan tidak pula ditolak dan dianggap palsu oleh
syara’. Akan tetapi masih sejalan secara subtantif dengan kaidahkaidah

6 Miftahul Arifin, Ushul fiqh Kaidah-Kaidah Penerapan Hukum Islam (Surabaya, Citra Media,
1997), h. 143.
7 Rizal Fahlevi, “Implementasi Maslahah Dalam Kegiatan Ekonomi Syariah”, jurnal ekonomi
syariah, Vol. 14, No. 2, Desember 2015, STAIN Batusangkar.
8 Ibid.

5
hukum yang universal. Sebagaimana contoh, kebijakan hukum
perpajakan yang ditetapkan oleh pemerintah.9

Kebijakan pemerintah tersebut mengenai perpajakan tidak diakui


secara eksplisit oleh syara’ dan tidak pula ditolak dan dianggap palsu
oleh syara’. Akan tetapi kebijakan yang demikian justru sejalan secara
substantif dengan kaidah hukum yang universal, yakni tasarruful imam
‘ala alra’iyyah manutun bil al-maslahah. Dengan demikian, kebijakan
tersebut

mempunyai landasan shar’iyyah, yakni maslahah almursalah.10


Menurut As-Syatibi, maslahah dibagi menjadi tiga tingkatan yang
meliputi:

1. Maslahah dharuriyyah (kebutuhan primer), yaitu segala sesuatu yang


harus ada demi tegaknya kehidupan manusia untuk menopang
kemaslahatan agama dan dunia dimana apabila maqasid ini tidak
terpenuhi, stabilitas akan hancur dan rusaklah kehidupan manusia di
dunia dan akhirat menghilangnya keselamatan dan rahmat. Manurut
As-Syatibi, maqasid ini terdiri dari lima pokok, yakni agama, jiwa,
keturunan, harta dan akal. Untuk memilihara lima hal pokok inilah
syariat islam diturunkan seperti perlindungan terhadap hak milik
dalam ekonomi.11

2. Maslahah hajiyyah (kebutuhan sekunder), adalah maqasid yang


dibutuhkan untuk memberikan kemudahan dan menghilangkan
kesulitan. Jika maqasid hajiyyah ini tidak diperhatikan manusia akan
mengalami kesulitan, kendati tidak akan merugikan kemaslahatan
umum. Seperti ibadah shalat dan dibolehkannya akad salam
(pesanan).12

9 Muhammad bin Husain bin Hasan Al-Jizzani,Mu‘alimUshulAl-Fiqh, (Riyadh: DariIbnuAl-


Jauzi, 2008), h. 235.
10 Asmawi, Perbandingan Ushul fiqh (Malang: Amzah, 2013), h. 129.
11 Rizal Fahlevi, “Implementasi Maslahah....”, h.
6 12Ibid. 13Ibid.

6
3. Maslahah tahsaniyyah (kebutuhan pelengkap), adalah maqasid yang
mengacu pada pengambilan apa yang sesuai dengan adat kebiasaan
terbaik dan menghindari cara-cara yang tidak disukai orang bijak,
seperti menutup aurat dalam ibadah shalat dan larangan menjual
makanan yang mengandung najis.13
Dilihat dari segi kandungan maslahah, para ulama ushul fiqih
membaginya kepada:

1. Maslahah al-Ammah, yaitu kemaslahatan umum menyangkut


kepentingan orang banyak. Kemaslahatan iyu tidak berarti untuk
kepentingan semua orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan
mayoritas umat atau kebanyakan umat. Misalnya para ulama

membolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak


‘aqidah umat, karena menyangkut kepentingan orang banyak.

2. Maslahah al-Akashah, yaitu kemaslahatan pribadi dan ini sangat


jarang sekali, seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan
pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang
(maqfud).12
Pentingnya pembagian kedua kemashlahatan ini berkaitan dengan
prioritas mana yang harus didahulukan apabila antara kemashlahatan
umum bertentangan dengan kemashlahatan pribadi. Dalam pertentangan
kedua kemashlahatan ini, Islam mendahulukan kemashlahatan umum
daripada kemashlahatan pribadi.13
Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi, untuk bisa menjadikan
maslahah al-mursalah sebagai hujjah, menurut kalangan
Malikiyyah dan Hambaliah adalah sebagai berikut:
1. Kemaslahatan itu sejalan dengan kehendak syara’ dan termasuk dalam
jenis kemaslahatan yang didukung nash secara umum.

12 Muhammad Musthafa al-Syalabi, Ta’lil al-Ahkam, (Mesir: Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyah), hlm
281
13 Ibid.

7
2. Kemaslahatan itu bersifat rasional dan pasti, bukan sekedar perkiraan,
sehingga hukum yang ditetapkan melalui maslahah al-mursalah itu
benar-benar menghasilkan manfaatkan dan menghindari atau menolak
kemudharatan.

3. Kemaslahatan menyangkut kepentingan orang banyak, bukan


kepentingan pribadi.14

C. PERBEDAAN ULAMA AKAN KEABSAHAN MASLAHAH


MURSALAH SEBAGAI SUMBER HUKUM
Terdapat tiga ulama besar kita yaitu Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan
Imam Al-Ghazali yang memiliki pandangan berbeda akan keabsahan
maslahah mursalah sebagai sumber hukum.

1. Pemikiran Imam Maliki

Menurut Imam Maliki bahwa maslahah mursalah adalah


kemaslahatan yang tidak ada pembatalan nash dan juga tidak
disebutkan secara jelas oleh nash akan tetapi maslahah mursalah ini
tidak boleh bertentangan dengan nash. Teori maslahah mursalah
menurut Imam Malik sebagaimana dinukilkan oleh imam Syatibi
dalam kitab alI’tisham adalah suatu maslahat yang sesuai dengan
tujuan, prinsip, dan dalil-dalil syarak, yang berfungsi untuk
menghilangkan kesempitan, baik yang bersifat dharuriyah (primer)
maupun hujjiyah (sekunder).15 Bagi kalangan Malikiyah, maslahah
mursalah bukan berati tidak memilki legitimasi syara’ sama sekali,
namun secara tidak langsung meskipun jauh tetap memiliki legitimasi
syara’ karena tidak ada legitimasi secara jelas tentang diterima ataupun
ditolaknya. Madzab Imam Maliki secara jelas menggunakan maslahah
mursalah dengan beberapa alasan yang cukup rasional, contohnya :

14 Muksana Pasaribu, “Maslahat dsan Perkembangan Sebagai Dasar Penetapan Hukum Islam”,
jurnal yustisio, Vol. 1 No. 4, Desember 2014, hlm 357
15 Abu Ishak al-Syatibi, “Al-I’tisham”, Jilid II (Baerut: Dar al-Ma’rifah, 1975), h. 39.

8
Pertama, para sahabat Nabi banyak yang menggunakan maslahah
mursalah sebagai dalil hukum. Kedua, menggunakan maslahah
mursalah sama halnya mengaplikasikan tujuan syar’i. Imam maliki
juga memberi kriteria dalam pengaplikasian maslahah mursalah
seperti harus bersifat rasionable dan relevan terhadap kasus hukum
yang telah ditetapkan. Kemudian maslahah mursalah tersebut tidak
bertentangan dengan dalil syara’ yang qat’i.16
2. Pemikiran imam Syafi’i
Sumber hukum Islam madzhab Syafi’i ada empat, yaitu: al-Qur’an,
Sunnah, ijma’ dan Qiyas. Imam Syafi’i tidak menjadikan maslahah
mursalah sebagai dalil hukum berijtihad. Menurut Imam Syafi’i
mashlahah mursalah tidak dapat diterima sebagai metode istinbat
karena mashlahah mursalah itu tidak memiliki standar yang pasti dari
nash maupun qiyas, sedangkan pendirian as-Syafi’i semua hukum

haruslah diberdasarkan nash atau di sandarkan pada nash sebagaimana


qiyas.17
Menurut Imam Syafi’i seperti yang telah dinukilkan Husein Hamid
Hasan, menyatakan bahwa maslahah mursalah sama seperti dalam
pengertian qiyas, alasannya karena keduanya memiliki persamaan
unsur-unsur, syarat qiyas ada tiga, pertama, adanya peristiwa yang
tidak ada nash hukumnya yang jelas, kedua, adanya hukum yang
dinashkan oleh syar’i yang mungkin dihubungkan dengan peristiwa itu
melalui pengertian ma’nawi. ketiga, peristiwa yang tidak ada nash
hukumnya itu terkandung dalam kejadian yang mansus secara implisit.
Ketiga sayarat qiyas ini menurutnya sejalan seperti maslahah
mursalah atau maslahah mulaimah.18

16 Taufiqur Rohman, “Kontroversi Pemikiran Antara Imam Malik dengAn Imam Syafi’i tentang
Maslahah Mursalah Sebagai Sumber Hukum”, international Journal ihya’ ‘ulum Al-din, vol. 19
No. 1, 2017, h. 77-78.
17 Ibid., 79
18 Ibid., 80.

9
3. Imam Al-Ghazali
Menurut teori imam al Ghazali, maslahah adalah: “memelihara
tujuan-tujuan syari’at”. Sedangkan tujuan syari’at meliputi lima dasar
pokok, yaitu: 1) melindungi agama (hifzh al diin); 2) melindungi jiwa
(hifzh al nafs); 3) melindungi akal (hifzh al aql); 4) melindungi
kelestarian manusia (hifzh al nasl); dan 5) melindungi harta benda
(hifzh al mal). Al-Gazali menyebutkan macam-macam maslahat dilihat
dari segi dibenarkan dan tidaknya oleh dalil syarak terbagi menjadi 3
macam, yaitu :

1. Maslahat yang dibenarkan oleh syarak, dapat dijadikan hujjah


dan kesimpulannya kembali kepada qiyas, yaitu mengambil
hukum dari jiwa/semangat nash dan ijma’.

2. Maslahat yang dibatalkan oleh syarak. Contoh: pendapat


sebagian ulama kepada salah seorang raja ketika melakukan
hubungan suami istri di siang hari Ramadhan, hendaklah
berpuasa dua bulan berturutturut.

3. Maslahat yang tidak dibenarkan dan tidak pula dibatalkan oleh


syarak.19
Dapat disimpulkan dari penjelasan diatas bahwa Imam Maliki
menggunakan maslahah mursalah sebagai sumber hukum, tetapi Imam
Maliki menekankan bahwa pembentukan hukum ini tidak boleh
bertentangan dengan dasar hukum yang telah ditetapkan oleh nash dan
‘ijma. Apabila terjadi pertentangan maka wajib mendahulukan nash
dibandingkan kemaslahatan. Sedangkan Imam Syafi’i tidak
menggunakan maslahah mursalah sebagai sumber hukum karena
mashlahah mursalah itu tidak memiliki standar yang pasti dari nash
maupun qiyas, karena pendirian Imam Syafi’i semua hukum haruslah
19 Muhammad al-Gazali, Al-Mustasfa min Ilm Ushul, Tahqiq Muhammad Sulaiman al-Asyqar
(Baerut/Libanon: Al-Risalah, 1997 M./1418 H.) h. 414-416

10
diberdasarkan nash atau di sandarkan pada nash sebagai mana qiyas.
Meski demikian hati-hatinya, Imam Syafi’i tidak berarti tidak beranjak
sama sekali dari nash dan qiyas karena Imam Syafi’i pernah
melakukan penelitian yang nyata-nyata tidak dijelaskan sama sekali
oleh al-Qur’an,
sebut saja misalnya ketika ia ditanya tentang batasan darah haid.20

D. RELEVANSI MASLAHAH MURSALAH DENGAN SUMBER


HUKUM ISLAM LAINNYA
Metode maslahah mursalah (istislâh) yang dipahami sebagai
kemaslahatan, tidak mendapat legalitas khusus dari nas tentang
keberlakuan dan ketidakberlakuannya, karena tidak ter-cover secara
eksplisit dalam Alquran dan Sunnah-sunnah. Menurut Imâm al-Ghazâlî
mengklasifikasikan istislâh atau maslahah mursalah sejajar dengan
istihsân di antara metode penalaran yang mempunyai validitas tidak sama
seperti yang dimiliki
qiyâs.21
Namun menurut Imam Syafi’ menyatakan bahwa maslahah
mursalah sama seperti dalam pengertian qiyas, alasannya karena keduanya

memiliki persamaan unsur-unsur, syarat qiyas ada tiga, pertama, adanya


peristiwa yang tidak ada nash hukumnya yang jelas, kedua, adanya hukum
yang dinashkan oleh syar’i yang mungkin dihubungkan dengan peristiwa
itu melalui pengertian ma’nawai, ketiga, peristiwa yang tidak ada nash
hukumnya itu terkandung dalam kejadian yang mansus secara implisit.
Ketiga sayarat qiyas ini menurutnya sejalan seperti maslahah mursalah
atau maslahah mulaimah yaitu: pertama, peristiwa yang ingin diketahuinya
melalui maslahah adalah peristiwa yang tidak ada nashnya secara jelas,
seperti jaminan atau ganti rugi para pekerja apabila merusak barang yang

20 Taufik Rohman, “Kontroversi Pemikiran Antara Imam Malik....” h. 81


21 Mohammad Rusfi, “Validitas Maslahat Al-Mursalah Sebagai Sumber Hukum”,
AL-‘ADALAH, Vol. 12 No. 1, 2014, h. 66-67.

11
dikerjakannya, kedua, ada hukum-hukum syari’at yang dinashkan oleh
syari’ atas suatu peristiwa yang maknanya dapat ditemukan oleh para
mujtahid, ketiga, peristiwa tidak ada nash tersebut memiliki makna yang
sama dengan makna yang terkandung dalam peristiwa yang ada nashnya.22
Untuk itu, jumhur (mayoritas) intelektual Islam berpendapat bahwa
maslahah mursalah dapat dijadikan hujjah dalam melakukan istinbât
hukum selama tidak ditemukan nash (Alquran dan Sunnah) tentang itu,
atau ijmak (konsensus) ulama, qiyâs (analogi) dan istihsân. Artinya, jika
terjadi suatu peristiwa yang menuntut penyelesaian status hukumnya,
pertamatama intelektual hukum Islam harus melacak dan
mengidentifikasinya dalam nash (Alquran dan Sunnah), jika ditemukan
hukumnya maka diamalkan sesuai dengan ketentuan nash tersebut, jika
tidak maka diidentifikasi apakah ada ditemukan konsensus ulama tentang
hal itu. Selanjutnya, jika konsensus ulama tidak ditemukan maka
digunakan qiyâs, dengan menganalogikannya dengan peristiwa yang
sejenis. Jika qiyâs juga tidak mampu menyelesaikan masalah maka
diterapkan metode istihsân. Akhirnya, jika istihsân tidak bisa
menyelesaikannya maka digunakan maslahah mursalah.25
Dapat disimpulkan bahwa sangat banyak persoalan yang
mengandung kemaslahatan dan merupakan kebutuhan manusia dalam
membangun kehidupan mereka. Tetapi setelah diteliti dalam nash
(Alquran

dan Sunnah), tidak ditemukan satu dalil pun yang memberikan legitimasi,
menjustifikasi, ataupun yang menolaknya. Untuk mengatasi persoalan ini
diterapkanlah prinsip kemaslahatan-dalam konteks maslahah mursalah,
sebagaimana yang juga telah diterapkan oleh kalangan ulama klasik
(ortodoks) maupun ulama modern dan kontemporer.

22 Taufik Rohman, “Kontroversi Pemikiran Antara Imam Malik....” h. 80


25
‘Abd al-Wahhâb Khallâf, ‘Ilm Usûl al-Fiqh, h. 85.

12
E. CONTOH PENERAPAN MASLAHAH MURSALAH DALAM
EKONOMI ISLAM
Sejalan dengan perkembangan kemajuan dan peradaban, maka
permasalahan kehidupan manusia akan semakin kompleks dan beragam
dan memerlukan kepastian hukum. Beberapa perkembangan di bidang
ekonomi Islam yang sebelumnya belum pernah ada, juga memerlukan
kepastian hukum apakah model-model, produk-produk tersebut boleh
diterapkan. Persoalan-persoalan ekonomi kontemporer tersebut misalnya
tidak akan mampu diselesaikan jika hanya mengandalkan pada pendekatan
metode lama yang dipergunakan oleh ulama terdahulu. Kesulitan untuk
mendapatkan nash-nash dalam persoalan-persoalan tertentu sangat
mungkin terjadi sehingga tidak bisa diselesaikan dengan menggunakan
qiyas karena tidak ditemukan padanannya di dalam nash, atau ijma ulama
karena masanya yang sudah terlalu jauh. Dalam kondisi demikian, maka
proses penetapan hukum maslahah mursalah dapat dijadikan sebagai salah
satu alternatif metode penetapan hukum.

Karena hal-hal diatas, maka berikut adalah beberapa contoh


maslahah mursalah dalam perekonomian islam :

1. Pendirian Lembaga Keuangan Syariah

Fungsi bank dalam masyarakat sangatlah besar. Bank sudah


menjadi sarana tolong menolong sesama baik menabung, meminjam
uang, transfer, bahkan menjadi penyalur dana bagi masyarakat yang
terkena musibah. Secara konseptual islam tidak memerintahkkan
pendirian lembaga perbankan. Namun tidak ada satupun ayat al-
Quran dan Hadist yang melarang pendirian perbankan. Di dalam
islam, ada beberapa akad yang memiliki manfaat bagi pelakunya,
salah satu contohnya adalah akad mudharabah. Konsepnya
hubungann dua orang atau lebih yang bukan lembaga seperti bank,
mengadakan perjanjian dimana pemilik modal menyerahkan uangnya
kepada orang yang dipercaya untuk kemudian diolah dan hasil
keuntungan dari pengolahan tersebut dibagi sesuai kesepakatan. Akan

13
tetapi dengan pendirian bank, manfaatnya dirasa lebih besar dan
dapat dirasakan banyak orang, disamping hal tersebut manfaatnya
tidak bertentangan dengan hukum yang telah ada.23

2. Intervensi Harga

Pada dasarnya Islam memandang mekanisme pasar sebagai suatu


alamiah sehingga intervensi pasar tidak diperlukan. Dalam ekonomi
Islam penentuan harga dilakukan oleh kekuatan pasar yaitu
permintaan dan penawaran, harus terjadi secara sukarela, dan tidak
ada pihak yang teraniaya atau merasa terpaksa untuk bertransaksi.24
Dengan demikian, tinggi atau rendahnya harga bergantung pada
perubahan penawaran dan permintaan. Bila seluruh transaksi sudah
sesuai aturan, kenaikan harga yang terjadi merupakan sunnatullah. 25
Harga yang terbentuk melalui mekanisme pasar ini oleh ahli fiqh
disebut dengan saman misl (price equivalent).26

Jumhur ulama sepakat bahwa harga yang adil adalah harga yang
terbentuk karena interaksi kekuatan penawaran dan permintaan
(mekanisme pasar), bahkan mayoritas ulama sepakat tentang
haramnya campur tangan pemerintah dalam menentukan harga pasar,
karena melindungi kepentingan pembeli sama pentingnya dengan
melindungi penjual. Oleh karena melindungi keduanya sama
perlunya, maka

produsen dan konsumen bebas untuk menetapkan harga secara wajar


berdasarkan keridaan keduanya. Memaksa salah satu pihak untuk
menjual atau membeli dengan harga tertentu merupakan satu

23 Ahmad Qorib dan Isnani Harahap, “Penerapan Maslahah Mursalah dalam Ekonomi Islam”,
Jurnal Ekonomi Islam Vol. 05, No. 01, 2016, h. 8
24 Rachmat Syafei, MA. Fiqih Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 8

25 Ibn Taimiyah. Public Duties in Islam: The Institution of The Hisba. (United Kingdom: Islamic
Foundation, 1982), h. 52

26 Ibn Taimiyah. Majmu‟ al-Fatawa (Riyadh: al-Riyard Press, 1963), h. 520-521

14
kezaliman. Di samping itu, adanya anggapan bahwa kenaikan harga
adalah sebagai akibat ketidakadilan penjual tidak selamanya benar
karena harga ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran.27

Menurut Ibnu Taimiyah, keabsahan pemerintah dalam


menetapkan kebijakan intervensi dapat terjadi pada situasi dan
kondisi sebagai berikut:

a. Produsen tidak mau menjual produknya kecuali pada harga yang


lebih tinggi daripada harga umum pasar, padahal konsumen
membutuhkan produk tersebut.
b. Terjadi kasus monopoli (penimbunan), para fuqoha’ untuk
memberlakukan hak hajar (ketetapan yang membatasi hak guna
dan hak pakai atas kepemilikan barang) oleh pemerintah.
c. Terjadi keadaan al-hasr (pemboikotan), dimana distribusi barang
hanya terkonsentrasi pada satu penjual atau pihak tertentu.
Penetapan harga disini untuk menghindari penjualan barang
tersebut dengan harga yang ditetapkan sepihak dan semena-mena
oleh pihak penjual tersebut.

d. Terjadi koalisi dan kolusi antar penjual (kartel) dimana sejumlah


pedagang sepakat untuk melakukan transaksi diantara mereka,
dengan harga diatas ataupun dibawah harga normal.
e. Produsen menawarkan produk-nya pada harga yang terlalu tinggi
menurut konsumen, sedangkan konsumen meminta pada harga
yang terlalu rendah menurut produsen.

f. Pemilik jasa, misal tenaga kerja, menolak untuk bekerja kecuali


pada harga yang lebih tinggi dari pada harga pasar yang berlaku,
padahal masyarakat membutuhkan jasa tersebut.

27 Ibn Tamiyah, “Al-Hisbah fil Islam”, (Kairo, Mesir, tt), h. 24

15
Sementara itu tujuan adanya intervensi pasar yang dilakukan oleh
pemerintah menurut Ibnu Qudamah al Maqdisi 1374 M adalah sebagai
berikut:

a. Intervensi harga menyangkut kepentingan masyarakat.

b. Untuk mencegah ikhtikar dan ghaban faa-hisy.

c. Untuk melindungi kepentingan masyarakat yang lebih luas.

3. Larangan Dumping dalam Penjualan Produk

Menurut kamus lengkap perdagangan Internasional dumping


adalah penjualan suatu komoditi di suatu pasar luar negeri pada
tingkat harga yang lebih rendah dari yang nilai yang wajar, biasanya
di anggap sebagai tingkat harga yang lebih rendah daripada tingkat
harga pasar domestiknya atau di Negara ketiga.

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, dumping adalah sistem


penjualan barang di pasaran luar negeri denga jumlah banyak dengan
harga yang murah sekali dengan tujuan agar harga pembelian di
dalam negeri tidak diturunkan sehingga akhirnya dapat menguasai
pasaran luar negeri dan dapat menguasai harga kembali.28

Sesuai peraturan perdagangan internasional, praktek dumping


dianggap sebagai praktek perdagangan yang tidak jujur dan dapat
merugikan produsen produk saingan serta mengacaukan sistem pasar
internasional. Praktek dumping dalam menimbulkan kalah
bersaingnya produk sejenis dalam negeri akibat harga produk impor
tersebut jauh lebih murah dibandingkan harga produk sejenis yang
ada dalam negara domestik, sehingga bukan saja potensial untuk
menutup industri sejenis di dalam negeri tetapi juga pemutusan
hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran karena perusahaan dalam
negeri harus menghemat biaya operasionalnya agar dapat bersaing
dengan barangbarang impor yang harganya sangat murah.

28 Departemen Pendidikan Nasional, kamus besar Bahasa Indonesia, Cet. I, edidi IV, (Jakarta :
Balai Pustaka), h. 279

16
Dalam hukum Islam, praktek dumping tidak ditemukan ayat

maupun hadis yang melarangnya.32 Perdagangan luar negeri itu wajib


bebas, tidak boleh ada yang membatasi dengan sesuatu apapun,
termasuk pemerintah tidak boleh ikut campur dalam pelaksanaan atau
penentuan kebijaksanaan perdagangan. Namun, tetap ada
batasanbatasan yang tetap harus diperhatikan, yakni jangan sampai
ada yang dirugikan dalam perdagangan tersebut. Karena itulah,
dengan pertimbangan untuk menciptakan kemaslahatan dan
menghindarkan kemudharatan bagi masyarakat luas praktek dumping
secara tegas dilarang dalam Islam.

4. Penerapan Revenue Sharing pada Bagi Hasil

Perbankan Syari'ah memperkenalkan sistem bagi hasil pada


masyarakat dengan istilah revenue sharing yaitu sistem bagi hasil
yang dihitung dari total pendapatan pengelolaan dana tanpa dikurangi
dengan biaya pengelolaan dana. Revenue sharing dalam arti
perbankan adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada total
seluruh pendapatan yang diterima sebelum dikurangi dengan biaya-
biaya yang telah dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut.
Sistem revenue sharing berlaku pada pendapatan bank yang akan
dibagikan dihitung berdasarkan pendapatan kotor, yang digunakan
dalam menghitung bagi hasil untuk produk pendanaan bank.

Penerapan reveue sharing pada bank syariah merupakan salah


satu aplikasi dalil maslahah mursalah. Hal ini dapat kita lihat dari
Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 15/DSN-MUI/IX/2000 Tentang
Prinsip Distribusi Hasil Usaha Dalam Lembaga Keuangan Syari'ah.
Di dalam fatwa tersebut terdapat beberapa kaidah maslahah yang
digunakan di antaranya “Di mana terdapat kemaslahatan, di sana
terdapat hukum Allah." Penerapan maslahah pada fatwa ini juga
dapat dilihat dari ketentuan umum yang ada pada fatwa DSN tersebut
yang menyatakan

17
Nita Anggraeni, Dumping Dalam Perspektif Hukum Dagang Internasional dan Hukum Islam,
32
Mazahib, Jurnal Pemikiran Hukum Islam. Vol. XIV, No. 2, Desember 2015. h. 10

bahwa dilihat dari segi kemaslahatan saat ini, maka pembagian hasil
usaha pada lembaga keuangan syariah sebaiknya menggunakan
prinsip bagi hasil revenue sharing.

18
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Menurut ahli ushul fiqh, maslahah al-mursalah ialah kemaslahatan
yang telah disyari’atkan oleh syari’ dalam wujud hukum, di dalam rangka
menciptakan kemaslahatan, di samping tidak terdapatnya dalil yang
membenarkan atau menyalahkan. Karenanya, maslahah al-mursalah itu
disebut mutlak lantaran tidak terdapat dalil yang menyatakan benar dan salah.

Maslahah terbagi menjadi tiga macam, yaitu : 1. Maslahah


AlMu’tabarah yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syari’at. 2.
Maslahah mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak karena bertentangan
dengan hukum syaraʻ. ini bukanlah maslahah yang benar, bahkan hanya
disangka sebagai maslahah atau ia adalah maslahah yang kecil yang
menghalang maslahah yang lebih besar daripadanya. 3. Maslahah al-
mursalah, yaitu almaslahah yang tidak diakui secara eksplisit oleh syara’
dan tidak pula ditolak dan dianggap palsu oleh syara’. Akan tetapi masih
sejalan secara
subtantif dengan kaidah-kaidah hukum yang universal.
Imam Maliki menggunakan maslahah mursalah sebagai sumber
hukum, tetapi Imam Maliki menekankan bahwa pembentukan hukum ini
tidak boleh bertentangan dengan dasar hukum yang telah ditetapkan oleh
nash dan ‘ijma. Sedangkan Imam Syafi’i tidak menggunakan maslahah
mursalah sebagai sumber hukum karena mashlahah mursalah itu tidak
memiliki standar yang pasti dari nash maupun qiyas, karena pendirian
Imam Syafi’i semua hukum haruslah diberdasarkan nash atau di sandarkan
pada nash sebagai mana qiyas. Sedangkan Al-Gazali menyebutkan
macammacam maslahat dilihat dari segi dibenarkan dan tidaknya oleh dalil
syarak terbagi menjadi 3 macam sebagaimana sudah disebutkan diatas.
Sangat banyak persoalan yang mengandung kemaslahatan dan
merupakan kebutuhan manusia dalam membangun kehidupan mereka.

19
Tetapi setelah diteliti dalam nash (Alquran dan Sunnah), tidak ditemukan
satu dalil pun yang memberikan legitimasi, menjustifikasi, ataupun yang
menolaknya. Untuk mengatasi persoalan ini diterapkanlah prinsip
kemaslahatan-dalam konteks maslahah mursalah, sebagaimana yang juga
telah diterapkan oleh kalangan ulama klasik (ortodoks) maupun ulama
modern dan kontemporer. Sedangkan contoh penerapan maslahah
mursalah diantaranya adalah pendirian lembaga keuangan syariah, intervensi
harga, larangan dumping dalam penjualan produk, penerapan revenue sharing
pada bagi hasil.

20
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Dahlan, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid IV (Jakarta: PT Ichtiar
Baru Van Hoeve, 2001)
Ahmad Qorib dan Isnani Harahap, Penerapan Maslahah Mursalah dalam Ekonomi
Islam, Jurnal Ekonomi Islam Vol. 05, No. 01, 2016
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih (Jakarta: Kencana)

Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh (Jakarta: Penerbit Amzah, 2011).

Departemen Pendidikan Nasional, kamus besar Bahasa Indonesia, Cet. I, edisi IV,
(Jakarta : Balai Pustaka)

Ibn Taimiyah. Majmu‟ al-Fatawa (Riyadh: al-Riyard Press, 1963)

Ibn Taimiyah. Public Duties in Islam: The Institution of The Hisba. (United
Kingdom: Islamic Foundation, 1982)

Ibn Tamiyah, Al-Hisbah fil Islam, (Kairo, Mesir, tt)

Miftahul Arifin, Ushul fiqh Kaidah-Kaidah Penerapan Hukum Islam (Surabaya,


Citra Media, 1997)
Mohammad Rusfi, “Validitas Maslahat Al-Mursalah Sebagai Sumber Hukum”,
AL-
‘ADALAH, Vol. 12 No. 1, 2014
Muhammad al-Gazali, Al-Mustasfa min Ilm Ushul, “Tahqiq Muhammad
Sulaiman al-
Asyqar” (Baerut/Libanon: Al-Risalah, 1997 M./1418 H.)
Muhammad bin Husain bin Hasan Al-Jizzani,Mu‘alimUshulAl-Fiqh, (Riyadh:
Dari Ibnu Al-Jauzi, 2008)
Muhammad Musthafa al-Syalabi, Ta’lil al-Ahkam, (Mesir, Dar al-Nahdhah
al‘Arabiyah)

Muhammd bin Ali Al-Saukhani, Irshad al-fuhul Ila Tahqiq Al-Haqq min Il i Al-
Ushul, Jilid 2 (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1999)
Muksana Pasaribu, Maslahat dsan Perkembangan Sebagai Dasar Penetapan
Hukum Islam, jurnal yustisio, Vol. 1 No. 4, Desember 2014

21
Nita Anggraeni, Dumping Dalam Perspektif Hukum Dagang Internasional dan
Hukum Islam,
Mazahib, Jurnal Pemikiran Hukum Islam. Vol. XIV, No. 2, Desember 2015
Rachmat Syafei, MA. Fiqih Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2000)

Rizal Fahlevi, “Implementasi Maslahah Dalam Kegiatan Ekonomi Syariah”,


jurnal ekonomi syariah, Vol. 14, No. 2, Desember 2015, STAIN
Batusangkar.
Sayfuddin Abi Hasan Al-Amidi, “al-Ahkam fi usul al-ahkam” (Riyad : Muassasah
Al-
Halibi, 1972)

22

Anda mungkin juga menyukai