Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

MASLAHAH AL-MURSALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Pengantar Ilmu Fiqih 1
Dosen Pengampu : Drs. Khoerul Anwar M. Pd.

Disusun Oleh:

Ernisa Aulia sari : 22862321008


Hopipah : 22862321022
Rizky. A : 22862081057
Ulya Mar’atus shalihah : 22862081089
Annisa Fadilah : 22862083002

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NASIONAL (IAIN) LAA ROIBA

TAHUN AKADEMIK 2022-2023


KATA PENGANTAR
Puji serta syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt. yang telah memberikan
kemudahan dalam menyelesaikan tugas ini. Sholawat beserta salam semoga senantiasa
tercurahkan kepada Rasulullah Saw., keluarganya, sahabat, tabi’in, itbatabi’in dan kepada
kita sebagai umatnya yang semoga mendapatkan syafa’at darinya, Aamiin.
Kami bersyukur, karena telah menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Penyusunan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Ilmu Fiqih 1, program
sarjana mengenai “MASLAHAH AL-MURSALAH”.
Kami mengucapkan terimakasih kepada Dosen Pengampu Drs. Khoerul Anwar M. Pd. yang
telah membimbing kami dalam penyusunan makalah ini serta rekan-rekan yang telah
berpartisipasi dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan
segala kerendahan hati, kami menerima kritik dan saran agar penyusunan selanjutnya menjadi
lebih baik. Untuk itu kami mengucapkan terimakasih dan semoga makalah ini bemanfaat bagi
pembaca.

Cibinong, 17 Desember 2022

i
DAFTAR ISI

Halaman Judul
Kata Pengantar ..................................................................................................................... i
Daftar Isi ..............................................................................................................................ii
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang ......................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................................... 1
C. Tujuan Pembahasan ................................................................................................. 1
Bab II Pembahasan
A. Pengertian Mashlahah Mursalah ............................................................................... 2
B. Jenis-jenis Maslahah Al-mursalah ............................................................................ 6
C. Hukum Maslahah Al-Mursalah................................................................................. 8
Bab III Penutup
A. Kesimpulan ............................................................................................................. 12
Daftar Pustaka ..................................................................................................................... 13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Para ulama Islam sepakat bahwa sumber utama hukum Islam adalah al-Qur'an dan
hadits. Sumber (dalil-dalil) lain seperti ijma', qiyas, istihsan, mashlahah mursalah masih
diperselisihkan, baik eksistensinya maupun intensitasnya sebagai dalil hukum. Namun yang
penulis bahas adalah mashlahat/istishlah. Mashlahat merupakan suatu dalil hukum yang dapat
memberikan gerak yang lebih cepat dan luas kepada para mujtahid untuk berfikir, karena
tidak begitu banyak memerlukan kaitan pada nash sebagaimana yang berlaku pada qiyas.
Namun yang lebih ditekankan adalah suatu keyakinan bahwa di dalamnya terdapat mashlahat
umat.
Aplikasi mashlahat di masa sahabat telah banyak dirintis dan diprakarsai di antaranya
oleh Umar ibn Khattab terhadap masalah-masalah baru yang tidak ditemukan pada masa
Nabi. Seperti 'Umar tidak memberikan hak zakat untuk mu'allaf yang jelas tersurat di dalam
al-Qur'an (QS. 9: 60), tindakan tidak membagikan harta rampasan tanah di Iraq untuk
pasukan perang, yang sebenarnya berbenturan dengan ketentuan al- Qur'an (QS. 8: 41),
penetapan terhadap orang yang sekaligus menjatuhkan. talak tiga, dianggap jatuh tiga juga,
padahal menyalahi sunnah Nabi yang menetapkan jatuh satu, tidak menjatuhkan hukuman
had kepada pencuri karena terpaksa dalam kondisi kelaparan dan lain-lain. Semua itu
menurutnya, cara itulah yang paling umum mashlahatnya.1
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Mashlahah Mursalah
2. Apa Saja jenis-jenis maslahah al-mursalah
3. Apa Hukum Mashlahah Al-mursalah
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk Mengetahui Pengertian Maslahah Al-Mursalah
2. Untuk Mengetahui Jenis-jenis Maslahah-Al-Mursalah
3. Untuk Mengetahui Hukum Maslahah Al-Mursalah

1 Yusuf al-Qardhawi, 'Awamil al-Sa'ah wa al-Murunah fi al-Syari 'AhalIslamiyyah, al-Qahirah : DarSakhawah,


Cet I, 1986, hal. 99-102.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Mashlahah Mursalah


Mashalih adalah jamak dari mashlahah, dalam bahasa Indonesia menjadi maslahat,
yang berarti: sesuatu yang mendatangkan kebaikan"2 Maslahat wazannya adalah mafalat
yang mengandung arti "banyak" maksudnya, yang ditunjukkan oleh arti asalnya banyak
terjadi atau banyak.
Terdapat Dalam bahasa Arab, mashlahat itu lawan kata dari mafsodat yang berarti
kerusakkan atau kebinasaan. Shalih lawannya fasid yang berarti orang yang merusak atau
membinasakan. Istishlah yang berarti mencari yang maslahat, lawannya istifad yang berarti
sesuatu yang mengakibatkan kebaikan atau keuntungan. Suatu pekerjaan yang mendatangkan
manfaat untuk diri dan kelompoknya yang dilakukan oleh seseorang.
Secara terminologi, terdapat beberapa definisi mashlahah yang dikemukakan ulama
ushul fiqh, yang pada prinsipnya hampir sama dengan Imam Al-Ghazali, mengemukakan
bahwa pada prinsipnya mashlahah adalah mengambil manfaat dan menolak kemudharatan
dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara'3 Kemudian, Abdul Wahab Khallaf,
Mashlahah mursalah, adalah suatu kemaslahatan yang tidak ditetapkan oleh syara' untuk
mewujudkan suatu hukum yang tidak pula terdapat suatu dalil syara yang memerintahkan
untuk memperhatikannya mengabaikannya.
Selanjutnya, Muhammad Abu Zahrah, Mashlahah mursalah sama dengan istishlah,
yaitu maslahat-maslahat yang bersesuaian dengan tujuan- tujuan syari'at Islam dan tidak
ditopang oleh sumber dalil yang khusus, baik bersifat melegitimasi atau membatalkan
maslahat tersebut 4 Sebagian ulama, seperti Imam Al Ghazali, manamai mashlahah mursalah
dengan istishlah, maksudnya beramal dengan maslahah musrsalah Imam Malik adalah
sebagai tokoh yang mempelopori dan menggunakan mashlahah mursalah.
Mashlahah mursalah tediri dari dua kata, yaitu mashlahah dan mursalah. Kata
"maslahat" yang sudah "mengindonesia" berasal dari bahasa Arab (mashlahah) dengan
jama'nya mashalih yang secara etimologi berarti manfaat, faedah, bagus, baik, kebaikan, guna
atau kegunaan. Mashlahah merupakan bentuk mashdar dari fi'il shalaha, ia merupakan lawan
dari kata mafsadat yang berarti kerusakan dan kebinasaan.

2 WJS Poewadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta BalaiPustaka, 1978), h 635
3 Abu Hamid al Ghazali, Al Mustashfa filimi at Ushal, ilid 1, (Beirut: Dar al- Kutub al- Islamiyyah, 1983), h.
286.
4 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Kairo: Dar al Fikr al Arabi, 1958), h221

2
Sebelum kata mashlahah menjadi suatu istilah yang digunakan dalam membicarakan
hukum Islam, orang tidak memerlukan penafsiran atau pengertian khusus, karena pada
ghalibnya orang Arab sudah mengerti kata mashlahat ini dipakai dalam rangkaian kalimat.
Sementara itu para sahabat Nabi saw yang mempergunakan kata mashiahat ini tidak
mempersoalkan definisinya.
Dari segi tata bahasa Arab, wazan dari mashlohat adalah mafalat yang mengandung arti
banyak Maksudnya yang ditunjukkan oleh arti kata asalnya adalah "banyak terjadi" atau
"banyak terdapat5 Sehingga dengandemikian dapat dikatakan bahwa mashlahat adalah
sesuatu yang banyak mendatangkan manfaat atau kebaikan. Mashlahat secara etimologi
adalah kata mufrad dari mashlahat sama artinya dengan alshalah yaitu mendatangkan
kebaikan. Terkadang dipakai istilah lain yaitu istislah yang berarti mencari kebaikan. Sering
pula kata mashlahat atau istishlah ini diidentikan dengan al- Munasib yaitu berarti hal-hal
yang cocok, sesuai dengan tempat penggunaannya. Dari pengertian-pengertian ini dapat
ditegaskan bahwa setiap sesuatu apa saja yang mengandung manfaat di dalamnya baik itu
untuk meraih kemanfaatan, kelezatan ataupun untuk menolak kemudharatan, maka hal itu
disebut dengan mashlahat.
Secara general, mashlahat ini seperti manfaat menurut lafal dan maknanya Manfaat
diartikan dengan lezat, baik dalam memperolehnya maupun dalam menjaga,
mempertahankan atau memeliharanya Karena itu setiap yang mengandung manfaat, baik itu
cara menarik atau menghasilkannya, maupun cara menolak atau menghindarkannya dari
bahaya dan kepedihan, dapat dinamakan dengan maslahat.
Pengertian mashlahah menurut istilah dapat ditemukan pada kajian Ushuliyyin, antara
lain sebagai berikut:
1. Al-Khawarizmi (W. 997H) memberikan definisi bahwa mashlahah adalah memelihara
tujuan hukum Isla dengan menolak bencana/ kerusakan/ hal-hal yang merugikan dari
makhluk (manusia)
2. Al-Thufi (657 H-716 H) merumuskan definisi mashlahah menurut urf (pemahaman
umum yang berlaku di masyarakat) adalah sebab yang membawa kepada
kemashlahatan (manfaat), seperti bisnis menyebabkan seseorang memperoleh untung.
Menurut pandangan hukum Islam, mashlahat adalah sebab yang membawa akibat
bagi tercapainya tujuan Syari, baik dalam bentuk ibadat maupun adat/muamalat.

5 Wahbah Zuhaili, Ushul Figh al Islamiy, (Beirut Dar al- Fikr al- Ma'asir, 1986), h. 752-755 181 Luwis Maluf,
Munjid fi al Lughah wa al A'lam, Dar al Masyriq, Beirut, 1976, cet XXIV pendahuluan. Hal h, ism makan wa
wazan

3
Kemudian mashlahat itu terbagi menjadi dua: (1) mashlahat yang dikehendaki oleh
Syari sebagai hak prerogatif-Nya seperti ibadat, dan (2) mashlahat yang dimaksudkan
untuk kemashlahatan makhluk/umat manusia dan keteraturan urusan mereka.
3. Al-Ghazali (450 H- 505 H) memberikan definisi mashlahat menurut makna asalnya
berarti menarik manfaat atau menolak mudharat/ hal-hal yang merugikan. Akan
tetapi, bukan itu yang kami kehendaki, sebab meraih manfaat dan menghindar dari
mudharat adalah tujuan makhluk (manusia). Kemaslahatan makhluk terletak pada
tercapainya tujuan mereka. Tetapi yang kami maksud dengan maslahat ialah
memelihara tujuan syara' / hukum Islam. Tujuan hukum Islam yang ingin dicapai dari
makhluk atau manusia ada lima, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan
harta mereka. Setiap hokum yang mengandung tujuan memelihara ke lima hal ini
disebut mashlahat, dan setiap hal yang meniadakannya disebut mafsadah dan
menolaknya disebut mashlahat.
Rusydi Ali Muhammad, mashlahat atau mashlahah adalah sesuatu yang dipandang baik
menurut akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan menghindarkan kerusakan atau
keburukan bagi manusia serta sejalan dengan tujuan syara' dalam menetapkan hukum. Dari
beberapa definisi mashlahat di atas dapat dipahami bahwa mashlahat menurut istilah hukum
Islam ialah setiap hal yang dimaksudkan untuk memelihara agama. akal, jiwa, keturunan
(kehormatan) dan harta. Ke lima hal ini merupakan kebutuhan primer bagi hidup dan
kehidupan manusia dengan terpelihara dan terjaminnya ke lima hal tersebut, manusia akan
meraih kemashlahatan, kesejahteraan, dan kebahagiaan yang hakiki, Tahir bathin, jasmani
rohani. material spiritual, dunia dan akhirat.
Dari beberapa definisi di atas dapat ditegaskan bahwa secara redaksional terdapat
perbedaan, tetapi secara prinsip adalah sama yaitu bahwa yang dimaksud dengan mashlahat
adalah suatu sarana untuk menetapkan hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan manusia,
yang bersendikan azas menarik manfaat dan menolak kemudharatan. Sedangkan mursalah
artinya sama dengan mutlaqah, yaitu terlepas. Maksudnya, mashlahat atau kemashlahatan itu
tidak ada dalil tertentu yang membenarkan atau membatalkannya. Mengenal rumusan definisi
mashlahah mursalah menurut istilah ushuliyyin dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Menurut al-Ghazali (450-505 H)
Mashlahah yang tidak ditunjukkan oleh dalil tertentu dari syara' yang membatalkan atau
membenarkan. Al-Ghazali membagi mashlahat menjadi tiga Pertama, mashalaht yang
dibenarkan oleh syara': kedua mashlahat yang dibatalkan (tidak dibenarkan oleh syara'); dan
ketiga, mashlahat yang tidak ada dalil tertentu yang membenarkan atau membatalkannya.

4
Yang pertama dapat dijadikan hujjah dan implementasinya kembali kepada qiyas Yang kedua
tidak dapat dijadikan hujjah Sedangkan yang ketiga diperselisihkan. Yang ketiga inilah yang
disebut dengan mashlahah mursalah.
Untuk mempertegas mashlahat dalam kategori yang ketiga tersebut mashlahat mursalah
al-Ghazali menyatakan: "Setiap mashlahat yang kembali untuk memelihara tujuan syara'
yang diketahui dari al-Kitab (al Qur'an), sunnah, dan ijma', mashlahat itu tidak keluar dari
dalil-dalil tersebut.la tidak dinamakan qiyas, tetapi dinamakan mashlahah mursalah. Sebab
qiyas ada dalil tertentu. Adanya mashlahat tersebut dikehendaki oleh syara' diketahui bukan
saja dari satu dalil, namun berdasarkan dalil yang cukup banyak yang tidak terhitung, baik
dari al-Qur'an, sunnah, kondisi dan situasi, serta tanda-tanda yang lain, yang karenanya
dinamakan mashlahah mursalah.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa mashlahah mursalah menurut al-Ghazali ialah
mashlahah yang sejalan dengan tindakan syara' yang dimaksudkan untuk memelihara tujuan
syara' (hukum Islam), tidak ada dalil tertentu yang menunjukkannya, dan kemashlahatan itu
tidak berlawanan dengan al-Qur'an, sunnah, atau ijma.
2. Menurut al-Syathibi
Mashlahat itu sejalan dengan tindakan syara'. Artinya pada mashlahat tadi ada jenis yang
dibenarkan oleh syara' dalam kasus lain tanpa dalil tertentu. Itulah istidlal mursal yang
dinamakan mashalih murslahah. Al- Syatibhi membagi mashlahat menjadi tiga. Pertama,
mashlalat yang ditunjukkan oleh dalil syara' untuk diterima Kedua, mashlahat yang
ditunjukkan oleh dalil syara'untuk ditolak. Dan ketiga, mashlahat yang tidak ditunjukkan oleh
dalil khusus untukditerima atau ditolak Yang ketiga ini kemudian dibagi menjadi dua.
Pertama, mashlahat yang tidak ditunjukkan oleh dalil khusus yang membenarkan atau
membatalkan, tetapi ada nash yang sejalan dengan mashlahat tersebut. Kedua, mashlahat
yang tidak ditunjukkan oleh dalil tertentu yang membatalkan atau membenarkan dan
mashlahat tersebut sejalan dengan tindakan syara' Indah yang dikenal dengan mashalah
mursalah.
Dalam kaitan ini al-Syatibhi di dalam al-Muwafaqatnya menyatakan "Setiap dasar agama
(kemashlahatan) yang tidak ditunjukkan oleh nash tertentu, dan ia sejalan dengan tindakan
syara' maka hal itu benar, dapat dijadikan landasan hukum dan dijadikan tempat kembali.
Demikian itu apabila kemashlahatan tersebut berdasarkan kumpulan beberapa dalil dapat
dipastikan kebenarannya. Sebab dalil-dalil itu tidak mesti menunjukkan kepastian hukum
secara berdiri sendiri tanpa dihimpun dengan yang lain, sebagaimana penjelasan terdahulu.
Karena yang demikian itu nampaknya sulit terjadi Termasuk hal ini adalah istidlal mursal

5
yang dipedomani oleh Malik dan Syafi'i Kendati cabang itu tidak ditunjukkan oleh dalil
tertentu, namun telah didukung oleh dalil kuli (yang bersifat umum). Dalil kuli apabila
bersifat qath1 statusnya sama dengan dalil tertentu".
Apa yang dikemukakan oleh al-Syatibhi di atas intinya adalah sama dengan yang
dikemukakan oleh Al Ghazali Perbedaannya hanya terjadi pada pembagian mashlahat
Mashlahat yang tidak ditunjukkan oleh dalil tertentu yang membenarkan atau membatalkan
oleh al Syatibhi dibagi menjadi dua. Sementara al-Ghazali tidak membaginya lagi Sebab
contoh penggandaian yang diberikan oleh al-Syatibhi itu dianggap tidak ada oleh al-Ghazali
Untuk itu tidak perlu ada pembagian seperti itu Disini pandangan al-ghazali nampak lebih
realistis dan mudah difahami.
B. Jenis-jenis Maslahah Al-mursalah
Menurut teori ushul fiqh, jika ditinjau dari segi ada atau tidaknya dalil yang mendukung
terhadap suatu kemaslahatan, maslahah terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
1. Maslahah Al-Mu'tabarah
Maslahah al-mu'tabarah yakni al-maslahah yang diakui secara eksplisit oleh syara'
dan ditunjukkan oleh dalil (Nash) yang spesifik. Disepakati oleh para ulama, bahwa
maslahah jenis ini merupakan hujjah shar'iyyah yang valid dan otentik. Manifestasi
organik dari jenis al maslahah ini ialah aplikasi qiyas. Sebagai contoh, di dalam QS.
Al-Baqarah (2) 22. Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang haidh Katakanlah:
"Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri
dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka
suci. Apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. Dari ayat tersebut
terdapat norma bahwa isteri yang sedang menstruasi (haid) tidak boleh (haram)
disetubuhi oleh suaminya karena faktor adanya bahaya penyakit yang ditimbulkan.
2. Maslahah Al-Mulghah
Maslahah al-mulghah merupakan al-maslahah yang tidak diakui oleh syara', bahkan
ditolak dan dianggap batil oleh syara. Sebagaimana ilustrasi yang menyatakan opini
hukum yang mengatakan porsi hak kewarisan laki-laki harus sama besar dan setara
dengan porsi hak kewarisan perempuan, dengan mengacu kepada dasar pikiran
semangat kesetaraan gender. Dasar pemikiran yang demikian memang mengandung
al-maslahah, tetapi tidak sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan oleh Allah

6
SWT, sehingga al maslahah yang seperti inilah yang disebut dengan al-maslahah
almulghah.
3. Maslahah al-mursalah
Maslahah al mursalah yaitu al-maslahah yang tidak diakui secara eksplisit oleh syara'
dan tidak pula ditolak dan dianggap batil oleh syara', akan tetapi masih sejalan secara
substantif dengan kaidah-kaidah hukum yang universal. Sebagaimana contoh,
kebijakan hukum perpajakan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Kebijakan pemerintah tersebut mengenai perpajakan tidak diakui secara eksplisit oleh
syara' dan tidak pula ditolak dan dianggap palsu oleh syara'. Akan tetapi kebijakan yang
demikian justru sejalan secara substantif dengan kaidah hokum yang universal, yakni
tasarruful imam 'ala al ra'iyyah manutun bil al-maslahah. Dengan demikian, kebijakan
tersebut mempunyai landasan shar'iyyah, yakni maslahah almursalah.
Dilihat dari segi kekuatannya sebagai hujah (tendensi) dalam menetapkan hukum,
maslahah terbagi menjadi tiga macam:
1. Maslahah Daruriyat
Maslahah Daruriyat merupakan kemaslahatan yang menduduki kebutuhan primer.
Kemaslahatan ini erat kaitannya dengan terpeliharanya unsur agama dan dunia.
Keberadaan maslahah dharuriyat ini bersifat penting dan merupakan suatu keharusan
yang menuntut setiap manusia terlibat di dalamnya dan merupakan unsure terpenting
dalam kehidupan manusia. Hal ini bisa dipahami sebagai sarana perenungan bahwa
pada hakikatnya manusia tidak bisa hidup dengan tentram apabila kemaslahatan ini
tidak dimilikinya.
2. Maslahah Hajiyat
Maslahah Hajiyat adalah kemaslahatan yang menduduki pada taraf kebutuhan
sekunder. Artinya suatu kebutuhan yang diperlukan oleh manusia agar terlepas dari
kesusahan yang akan menimpa mereka Maslahah Hajiyat jika seandainya tidak
Jerpenuhi maka tidak sampai mengganggu kelayakan, substansi serta tata sistem
kehidupan manusia, namun dapat menimbulkan kesulitan dan kesengsaraan bagi
manusia dalam menjalani kehidupannya Contoh sederhana dari maslahah hajiyat yaitu
Allah SWT telah. memberikan keringanan-keringanan dalam beribadah dikhususkan
terhadap mereka yang melakukan perjalanan jauh sehingga mereka mengalami
kesulitan apabila melakukan ibadah secara normal, dalam hal ini menjama' serta
mengqashar salat lima waktu.

7
3. Maslahah Tahsiniyat
Maslahah Tahsiniyat adalah kemaslahatan yang menempati pada posisi kebutuhan
tersier yang dengan memenuhinya dapat menjadikan kehidupan manusia terhindar
dan bebas dari keadaan yang tidak terpuji. Dengan memenuhi maslahah ini, seseorang
dapat menempati posisi yang unggul. Ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi
maslahah ini tidak mengakibatkan rusaknya tatanan kehidupan dan hubungan antar
sesama manusia serta tidak menyebabkan kesulitan yang berarti untuk kehidupan
manusia.
C. Hukum Maslahah Al-Mursalah
Menurut para ulama usul, sebagian ulama menggunakan istilah maslahah almursalah itu
dengan kata al-munasib al-mursal. Ada pula yang menggunakan al-istislah dan ada pula yang
menggunakan istilah al-istidlal al-mursal. Istilah-istilah tersebut walaupun tampak berbeda
namun memiliki satu tujuan, masing-masing mempunyai tinjauan yang berbeda- beda. Setiap
hukum yang didirikan atas dasar maslahah dapat ditinjau dari tiga segi, yaitu:
1. Melihat maslahah yang terdapat pada kasus yang dipersoalkan.
Misalnya pembuatan akta nikah sebagai pelengkap administrasi akad nikah di masa
sekarang. Akta nikah tersebut memiliki kemaslahatan. Akan tetapi, kemaslahatan
tersebut tidak didasarkan pada dalil yang menunjukkan pentingnya pembuatan akta
nikah tersebut. Kemaslahatan ditinjau dari sisi ini disebut maslahah al-mursalah.
2. Melihat sifat yang sesuai dengan tujuan syara' (al-wasf al-munasib) yang
mengharuskan adanya suatu ketentuan hukum agar tercipta suatu kemaslahatan.
Misalnya surat akta nikah tersebut mengandung sifat yang sesuai dengan tujuan syara'
antara lain untuk menjaga status keturunan. Akan tetapi sifat kesesuaian ini tidak
ditunjukkan oleh dalil khusus. Inilah yang dinamakan al-munasib al-mursal.
3. Melihat proses penetapan hukum terhadap suatu maslahah yang ditunjukkan oleh dalil
khusus.
Dalam hal ini adalah penetapan suatu kasus bahwa hal itu diakui sah oleh salah satu
bagian tujuan syara'. Proses seperti ini dinamakan istislah (menggali dan menetapkan
suatu kasus bahwa hal itu diakui sah oleh salah satu bagian tujuan syara'. Proses
seperti ini dinamakan istislah (menggali dan menetapkan suatu maslahah),139
Apabila hukum itu ditinjau dari segi yang pertama, maka dipakai istilah maslahah al-
mursalah. Istilah ini yang paling terkenal. Bila ditinjau dari segi yang kedua, dipakai
istilah al-munasib al-mursal. Istilah tersebut digunakan oleh Ibnu Hajib dan Baidawi
(Al-Qadi Al Baidawi: 135). Untuk segi yang ketiga dipakai istilah al-istislah yang

8
dipakai oleh Imam Ghazali dalam kitab Al-Mustashfa (Al Ghazali: 311) atau dipakai
istilah al-istidlal al-mursal, seperti yang dipakai oleh Al- Syatibi dalam kitab Al-
Muwafaqat (Al Muwafaqat Juz 1.39)
Jika melihat permasalahan umat yang semakin kompleks, teori Maslahah almursalah
bisa dijadikan untuk menetapkan hujjah dari istinbat hukum karena pada dasarnya Allah
SWT telah menciptakan segala hal di dunia ini tidak sia-sia sehingga tidak ada manfaat yang
tidak bisa diperoleh darinya, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Ali Imran: 191.
Artinya: (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau
dalam keadanberbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci
Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.
Perbedaan Pendapat Para Ulama Terkait Teori Maslahah al-mursalah dan Kaidah
Fiqhiyyah Terdapat perbedaan pandangan di antara beberapa ulama ahli ushul fiqh terkait
maslahah al mursalah. Akan tetapi pada hakikatnya adalah satu, yaitu setiap manfaat yang di
dalamnya terdapat tujuan syara' secara umum, namun tidak terdapat dalil yang secara “khusus
menerima atau menolaknya”. Berikut adalah beberapa ulama yang berselisih pendapat dalam
menanggapi hakikat dan pengertian maslahah almursalah:
1. Abu Nur Zuhair dalam pendapatnya mengatakan bahwa maslahah almursalah adalah
suatu sifat yang sesuai dengan hukum, tetapi belum tentu diakui atau tidaknya oleh
syara (Muhammad Abu Nur Zuhair, IV 185)
2. Abu Zahrah mendefinisikan maslahah al-mursalah sebagai suatu maslahah yang
sesuai dengan maksud-maksud pembuat hukum (Allah SWT) secara umum, tetapi
tidak ada dasar yang secara khusus menjadi bukti diakui atau tidaknya. (Abu Zahrah:
221)
3. Al-Ghazali menyatakan bahwa setiap maslahah yang kembali kepada pemeliharaan
maksud syara' yang diketahui dari Al-Quran, As-Sunnah dan lima', tetapi tidak
dipandang dari ketiga dasar tersebut secara khusus dan tidak juga melalui metode
qiyas, maka dipakailah maslahah al-mursalah. Dari pernyataan Imam Al-Ghazali
tersebut dapat disimpulkan bahwa maslahah al-mursalah (istislah) menurut
pandangannya ialah suatu metode Istidlal (mencari dalil) dari Nash syara' yang tidak
merupakan dalil tambahan terhadap Nash syara', tetapi ia tidak keluar dari Nash
syara'. Menurut pandangannya, maslahah al-mursalah merupakan hujjah qat'iyyat
selama mengandung arti pemeliharaan maksud syara', walaupun dalam penerapannya
zanni. Sehingga Al-Ghazali menegaskan kembali bahwa jika al-maslahah almursalah

9
ditafsirkan untuk pemeliharaan maksud syara' maka tidak ada jalan bagi siapapun
untuk berselisih dalam mengikutinya, bahkan wajib meyakini bahwa maslahah seperti
itu adalah hujjah agama.
4. Asy Syatibi, salah seorang ulama mazhab Maliki mengatakan, maslahah al mursalah
merupakan setiap prinsip syara' yang tidak disertai bukti Nash khusus, namun sesuai
dengan tindakan syara' serta maknanya diambil dari dalil-dalil syara' Prinsip yang
dimaksud tersebut adalah sah sebagai dasar hukum dan dapat dijadikan rujukan
sepanjang ia telah menjadi prinsip dan digunakan syara' yang qat'i Adapun
kesimpulan dari pendapat Imam Asy-Syatibi terkait maslahah. al mursalah, yaitu:
a) Maslahah al-mursalah adalah suatu maslahah yang tidak ada tertentu, tetapi
sesuai dengan tindakan syara.
b) Kesesuaian maslahah dengan syara' tidak diketahui dari satu dalil dan tidak dari
Nash yang khusus, melainkan dari beberapa dalil dan Nash secara keseluruhan
yang menghasilkan hukum qat'i walaupun secara bagian-bagiannya tidak
menunjukkan qat'i.
5. Imam Malik memberikan gambaran yang lebih jelas tentang maslahah al-mursalah,
yaitu suatu maslahah yang sesuai dengan tujuan, prinsip dan dalil-dalil syara' yang
berfungsi untuk menghilangkan kesempitan, baik yang bersifat daruriyat (primer)
maupun hajiyat (sekunder) (All'tisham, juz 2: 1229). Perselisihan pendapat tentang
kehujjahan maslahah al-mursalah yang dijadikan sumber hukum oleh kalangan para
ulama memicu perhatian para ulama ahli ushul fiqh untuk mengkaji teori fiqh tersebut
lebih lanjut. Beberapa pendapat para ulama yang dianggap paling kuat adalah sebagai
berikut:
a) Al-Qadi dan beberapa ahli fiqh lainnya menolak kehujjahan maslahah al mursalah
menjadi sumber hukum Islam dan menganggap sebagai sesuatu yang tidak ada
dasarnya.
b) Imam Malik menganggapnya ada dan memakainya menjadi sumber hukum Islam
secara mutlak.
c) Imam Asy-Syafi'i dan para pembesar golongan Hanafiyyah memakai maslahah
almursalah dalam permasalahan yang tidak dijumpai dasar hukumnya yang sahih
Namun mereka mensyaratkan dasar hukum yang mendekati hukum yang sahih.
Hal ini senada dengan pendapat Al- Juwaini.
d) Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa bila kecocokannya itu ada dalam tahap
tahsin atau tazayyun (perbaikan), tidaldah dipakai sampai ada dalil yang lebih

10
jelas, Adapun bila neraca pada martabat penting maka boleh memakainya tetapi
harus memenuhi beberapa syarat. Beliaupun berkata, jangan sampai para mujtahid
menjauhi untuk melaksanakannya. Namun pendapatnya berbeda-beda tentang
derajat pertengahan, yakni martabat kebutuhan. Dalam kitab Al-Mustashfa, Imam
Ghazali menolak maslahah al-mursalah, namun dalam kitab Syifa'u al-Ghalil,
Imam Ghazali menerimanya. (Al-Mustashfa 1:141)

11
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Mashlahah mursalah tediri dari dua kata, yaitu mashlahah dan mursalah. Kata
"maslahat" yang sudah "mengindonesia" berasal dari bahasa Arab (mashlahah) dengan
jama'nya mashalih yang secara etimologi berarti manfaat, faedah, bagus, baik, kebaikan, guna
atau kegunaan. Mashlahah merupakan bentuk mashdar dari fi'il shalaha, ia merupakan lawan
dari kata mafsadat yang berarti kerusakan dan kebinasaan.
Mashlahat atau mashlahah adalah sesuatu yang dipandang baik menurut akal sehat
karena mendatangkan kebaikan dan menghindarkan kerusakan atau keburukan bagi manusia
serta sejalan dengan tujuan syara' dalam menetapkan hukum. Dapat dipahami bahwa
mashlahat menurut istilah hukum Islam ialah setiap hal yang dimaksudkan untuk memelihara
agama.
Menurut teori ushul fiqh, jika ditinjau dari segi ada atau tidaknya dalil yang mendukung
terhadap suatu kemaslahatan, maslahah terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
1. Maslahah Al-Mu'tabarah
2. Maslahah Al-Mulghah
3. Maslahah al-mursalah
Setiap hukum yang didirikan atas dasar maslahah dapat ditinjau dari tiga segi, yaitu:
1. Melihat maslahah yang terdapat pada kasus yang dipersoalkan.
2. Melihat sifat yang sesuai dengan tujuan syara' (al-wasf al-munasib) yang mengharuskan
adanya suatu ketentuan hukum agar tercipta suatu kemaslahatan.
3. Melihat proses penetapan hukum terhadap suatu maslahah yang ditunjukkan oleh dalil
khusus.

12
DAFTAR PUSTAKA

Yusuf al-Qardhawi, 'Awamil al-Sa'ah wa al-Murunah fi al-Syari 'AhalIslamiyyah, al-Qahirah:


DarSakhawah, Cet I, 1986, hal. 99-102.
WJS Poewadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta BalaiPustaka, 1978), h 635
Abu Hamid al Ghazali, Al Mustashfa filimi at Ushal, ilid 1, (Beirut: Dar al- Kutub
al-Islamiyyah, 1983), h. 286.
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Kairo: Dar al Fikr al Arabi, 1958), h221
Wahbah Zuhaili, Ushul Figh al Islamiy, (Beirut Dar al- Fikr al- Ma'asir, 1986), h. 752-755
181 Luwis Maluf, Munjid fi al Lughah wa al A'lam, Dar al Masyriq, Beirut, 1976, cet
XXIV pendahuluan. Hal h, ism makan wa wazan

13

Anda mungkin juga menyukai