MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Qawaidul Fiqh yang Dibina Oleh
Disusun Oleh:
Muawwanah (21381012099)
FAKULTAS TARBIYAH
MEI 2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadiran Allah Swt. yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul ”Al-
‘Adah Muhakkamah dan Cabang-Cabangnya” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
pada mata kuliah Qawaidul fiqh dengan dosen pengampu Bapak Ainul Yaqin M.A.
Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang “Al-
‘Adah Muhakkamah dan Cabang-Cabangnya” bagi para pembaca dan juga bagi
penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ainul Yaqin M.A., selaku
dosen pada mata kuliah Qawaidul Fiqh yang telah memberikan tugas ini sehingga
dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami
tekuni. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan .................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Al-‘Adah Muhakkamah ...................................................... 3
B. Dasar-Dasar Kaidah Al-‘Adah Muhakkamah ....................................... 4
C. Cabang-Cabang Kaidah Al-‘adah Muhakkamah ................................. 6
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1. Untuk mengetahui pengertian dari al-‘adah muhakkamah.
2. Untuk mengetahui dasar-dasar hukum kaidah al-‘adah muhakkamah.
3. Untuk mengetahui cabang-cabang kaidah al-‘adah muhakkamah.
2
BAB II
PEMBAHASAN
عبا رة عما يستقر ىف النفوس من العمور املتكرر املقبولة عند الطباع السليمة
“Sesuatu ungkapan dari apa yang terpendam dalam diri perkara yang
berulang-ulang yang bisa diterima oleh tabi’at (perangai) yang sehat.”3
Istilah lain dari al-‘adah yaitu al-‘urf yang secara harfiah berarti suatu
keadaan, ucapan, perbuatan atau ketentuan yang dikenal manusia dan telah
menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya.4 Sedangkan
secara terminologi, seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidan, istilah ‘urf
berarti sesuatu yang tidak asing lagi bagi satu masyarakat karena telah menjadi
1
Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hlm. 79.
2
Satria Efendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 153.
3
Ibid., hlm. 79-80.
4
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 128.
3
kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan
ataupun perkataan. Istilah ‘urf dalam pengertian tersebut sama dengan
pengertian istilah Al-‘adah (adat istiadat). Singkatnya, ‘urf adalah sesuatu yang
telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka
baik berupa perkataan maupun perbuatan.5
Maksud dari kaidah ini adalah bahwa sebuah tradisi baik umum atau yang
khusus itu dapat menjadi sebuah hukum untuk menetapkan hukum syariat
Islam (hujjah) terutama oleh seorang hakim dalam sebuah pengadilan, selama
tidak atau belum ditemukan dalil nash yang secara khusus melarang adat itu
atau mungkin ditemukan dalil Nas tetapi dalil itu terlalu umum sehingga tidak
bisa mematahkan sebuah adat.
Namun bukan berarti setiap adat kebiasaan dapat diterima begitu saja,
karena suatu adat bisa diterima jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
5
Abdul Wahab Khallaf, Ushul Fikih, (Jakarta: Rhineka Cipta, 2005), hlm. 104.
6
Muchlis dan Usman, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam (Kaidah-Kaidah Ushuliyah
Fiqhiyyah), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2020), hlm.210.
4
اعةَ ۗ َو َعلَى الْ َم ْولُْوِد لَهٗ ِرْزقُ ُه َّن َّ ْي لِ َم ْن اََر َاد اَ ْن يُّتِ َّم
ِ ْ َْي َك ِامل
ِ ْ َت يُر ِض ْعن اَْوََل َد ُه َّن َح ْول ِ
َض َ الر َ ْ ُ ۞ َوالْ ٰول ٰد
ۤ ِف ََل ت َكلَّف ن ْفس ا ِۗ وكِسوُُتُ َّن ِِبلْمعرو
ٗضا َّر َوالِ َدةٌ ۢبَِولَ ِد َها َوََل َم ْولُْوٌد لَّهٗ بَِولَ ِدهَ ت
ُ َلَ ۚ اه ع س و
ََ ْ ُ ٌ َُل َّ َ ُ ُْْ َ َْ َ
اح َعلَْي ِه َما َۗواِ ْن اََرْد ُُّّْت اَ ْن ِ
َ َص ًاَل َع ْن تَ َراض منْ ُه َما َوتَ َش ُاور فَ َل ُجن
ِ ِ ِث ِمثْل ٰذل
َ ُ ِ َو َعلَى الْ َوا ِر
َ ك ۚ فَا ْن اََر َادا ف
ِۗ تَسَت ِضعْٓوا اَوََل َد ُكم فَ َل جنَاح علَي ُكم اِذَا سلَّمتم َّمآْ اٰتَي تم ِِبلْمعرو
ف َواتَّ ُقوا ٰاللَ َو ْاعلَ ُمْْٓوا اَ َّن ٰاللَ ِِبَا ُْْ َ ْ ُ ْ ْ ُ ْ َ ْ ْ َ َ ُ ْ ْ ْ ُ َْ ْ
ِ تَعملُو َن ب
{٢٣٣} ٌص ْي َ ْ َْ
Artinya: “Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh,
bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Kewajiban ayah
menanggung makan dan pakaian mereka dengan cara yang patut.
Seseorang tidak dibebani, kecuali sesuai dengan kemampuannya.
Janganlah seorang ibu dibuat menderita karena anaknya dan jangan
pula ayahnya dibuat menderita karena anaknya. Ahli waris pun seperti
itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun)
berdasarkan persetujuan dan musyawarah antara keduanya, tidak ada
dosa atas keduanya. Apabila kamu ingin menyusukan anakmu
(kepada orang lain), tidak ada dosa bagimu jika kamu memberikan
pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan
ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan.”
b. Al-Qur’an Surah Al-A’raf [7] ayat 199:
ِ ِ ِ
ْ ُخذ الْ َع ْف َو َوأْ ُم ْر ِِبلْعُ ْرف َواَ ْع ِر
َ ْ ض َع ِن ا ْْلٰ ِهل
{١٩٩} ْي
Artinya: “Jadilah pemaaf, perintahlah (orang-orang) pada yang makruf, dan
berpalinglah dari orang-orang bodoh.”
2. Dasar hukum di dalam hadist
“Fatimah binti Abi Hubaisy bertanya kepada Nabi SAW, dia berkata: “Saya ini
berada dalam kondisi haidh yang tidak berhenti apakah saya harus
5
meninggalkan shalat?”. Nabi menjawab: “Tidak, itu adalah darah penyakit, tapi
tinggalkanlah shalat berdasarkan ukuran hari-hari yang engkau biasa
menstruasi. Kemudian mandilah dan shalatlah”. (HR.Al-Bukhari dari
‘Aisyah).7
Dari hadis diatas, jelas bahwa kebiasaan para wanita, baik itu menstruasi,
nifas, dan menghitung waktu hamil yang paling panjang adalah jadi pegangan
dalam penetapan hukum. Kata-kata qadra ayyam dan seterusnya menunjukkan
bahwa ukuran-ukuran tertentu bagi wanita mengikuti yang biasa terjadi pada
diri mereka.
Berdasarkan dalil di atas kita menemukan dua kata kunci yakni Al ‘adah
dan al-‘urf. Para ulama Ushul fiqih menggunakan dua kata ini secara
bergantian untuk menjelaskan kebiasaan. Al-‘adah (adat) didefinisikan suatu
perbuatan yang dikerjakan secara berulang tanpa hubungan rasional.
Sedangkan al-‘urf didefinisikan sebagai kebiasaan mayoritas umat, baik dalam
perkataan maupun perbuatan. Jadi, makna kaidah al-‘adah wa al-‘urf itu
sesuatu yang telah biasa berlaku, diterima dan dianggap baik oleh masyarakat.
Maksud kaidah ini adalah apa yang sudah menjadi adat kebiasaaan
dimasyarakat, menjadi pegangan, dalam arti setiap anggota masyarakat
menaatinya.
7
Dzazuli, Kaidah-Kaidah Fikih (Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-
Masalah Yang Praktis, ( Jakarta: PT Kencana, 2002), hlm. 84.
6
Contohnya: menjahitkan pakaian kepada tukang jahit, sudah menjadi adat
kebiasaan bahwa yang menyediakan benang, jarum, dan menjahitnya adalah
tukang jahit.8
“Sesuatu yang telah dikenal karena’urf seperti yang diisyaratkan dengan suatu
syarat.”
Maksud kaidah ini adalah sesuatu yang menjadi adat di antara pedagang,
seperti disyaratkan dalam transaksi. Kaidah ini lebih mengkhususkan adat atau
‘urf yang ada (terbiasa) diantara para pedagang saja, dimasukan disini
dikarenakan masih dalam kaitannya dengan kaidah al-adah muhakkamah.
Sehingga maksud kaidah ini adalah segala sesuatu yang sudah umum (biasa)
dikenal dikalangan para pedagang, maka posisi (status hukum) sesuatu ini
adalah sama dengan seperti sebuah ketetapan syarat yang berlaku diantara
mereka, walau sesuatu itu tidak disebutkan dengan jelas dalam sebuah akad
atau ucapan. Namun aplikasi kaidah ini tidak hanya berlaku untuk transaksi
8
Jaih Mubarok, Kaidah Fiqih ( Sejarah dan kaidah-kaidah Asasi), ( Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002), hlm. 157.
7
antara sesama pedagang saja, akan tetapi juga berlaku antara pedagang dan
pembeli, selama terkait dalam bidang perdagangan,
Contohnya: transaksi jual beli batu bata, bagi penjual untuk menyediakan
angkutan sampai kerumah pembeli. Biasanya harga batu bata yang dibeli sudah
termasuk biaya angkutan ke lokasi pembeli.9
"Yang ditetapkan oleh (adat) Urf sama dengan yang ditetapkan oleh Nash."
ِ ْي ِِبلن ِ
َّص ْ ْي ِِبلْعُ ْرف َكالت
ِ ْ َِّعي ُ ْ َِّعي
ْ الت
“Arti hakiki (yang sebenarnya) ditinggalkan karena ada petunjuk arti menurut
adat.”
9
Ibid., hlm. 158.
10
Dahlan Tambrin, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Kulliyah Al-Khamsah), ( Malang: UIN Maliki
Press, 2010), hlm. 240.
8
Maksudnya: arti yang sesungguhnya ditinggalkan apabila ada arti lain
yang ditunjukkan oleh adat kebiasaan.
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kaidah fikih asasi kelima adalah tentang adat atau kebiasaan, dalam
bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-
‘adah dan al’urf. Al-‘adah atau al-‘urf adalah apa yang dianggap baik dan benar
oleh manusia secara umum yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga
menjadi kebiasaan. Istilah adat dan al-‘urf memang berbeda jika ditinjau dari
dua aspek yang berbeda pula. Perbedaannya, istilah al-‘adah menekankan pada
aspek pengulangan pekerjaan. Sementara al-‘urf hanya melihat pelakunya.
Maksud dari kaidah ini adalah bahwa sebuah tradisi baik umum atau yang
khusus itu dapat menjadi sebuah hukum untuk menetapkan hukum syariat
Islam (hujjah) terutama oleh seorang hakim dalam sebuah pengadilan, selama
tidak atau belum ditemukan dalil nash yang secara khusus melarang adat itu
atau mungkin ditemukan dalil Nas tetapi dalil itu terlalu umum sehingga tidak
bisa mematahkan sebuah adat. Syarat-syarat yang harus dipenuhi supaya suatu
adat bisa diterima, yaitu sebagai berikut:
1. Tidak bertentangan dengan syariat.
2. Tidak menyebabkan kemafsadatan dan tidak menghilangkan kemaslahatan.
3. Telah berlaku pada umumnya orang muslim.
4. Tidak berlaku dalam ibadah mahdhah.
5. ‘Uruf tersebut sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan hukumnya.
B. Saran
Dalam pembuatan makalah ini, pasti ada kesalahan dan juga kekurangan
dari penulis. Oleh karena itu, kami sangat menerima kritikan dan juga saran
yang membangun dari pembaca. Kurang lebihnya mohon maaf. Terima kasih.
10
DAFTAR PUSTAKA
Mubarok, Jaih. Kaidah Fiqih ( Sejarah dan kaidah-kaidah Asasi. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002.
11